Anda di halaman 1dari 21

Lampiran 11.

Proposal Program Inovasi

PROPOSAL INOVASI
FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN VAP DI RUANG ICU
RSPTN UNIVERSITAS UDAYANA

OLEH :

KELOMPOK IV

Ni Kadek Dwi Yanti Anggreni (1902621004)


Tjokorda Istri Agung Dwi Pradnyani (1902621007)
Sang Putu Angga Winata (1902621024)
Nyoman Adi Arta (1902621026)
Ni Wayan Kuslinda Sari (1902621034)
Ni Made Rai Sita Yanti (1902621040)
I Gusti Ayu Dewi Astriani (1902621049)
Ni Putu Ayu Padmanila Prasetya (1802621052)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
HAIs adalah suatu infeksi yang diperoleh atau dialami pasien selama dirawat di
rumah sakit. HAIs dapat terjadi akibat adanya transmisi mikroba patogen yang bersumber
dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Kerugian dari HAIs adalah hari rawat
pasien yang bertambah, beban biaya menjadi semakin besar, serta menjadi bukti yang
menunjukan bahwa manajemen pelayanan medis di rumah sakit tersebut kurang bermutu.
HAIs merupakan persoalan serius yang dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak
langsung kematian pasien. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada
tahun 2018, angka kejadian HAIs di rumah sakit sekitar 3 – 21% (rata-rata 9%) (Ismail &
Zahran, 2015).
Berbagai upaya dalam pencegahan HAIs sebaiknya menjadi prioritas di setiap
tempat pelayanan kesehatan. Pada tahun 2011 Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan
Permenkes 1691 tahun 2011 pasal 7 dengan bunyi “Setiap Rumah Sakit wajib menerapkan
Standar Keselamatan Pasien”. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit
(PPIRS) sangat penting dalam menggambarkan mutu pelayanan rumah sakit, ditambah lagi
pelayanan dalam pencegahan infeksi sering dijadikan sebagai acuan dalam proses
akreditasi rumah sakit.
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah HAIs yang sering ditemukan,
dengan salah satu faktor risiko utama adalah pada penggunaan alat bantu napas berupa
ventilator mekanik, terutama pada pasien ICU. VAP merupakan salah satu bagian daripada
HAI (Healthcare-associated infections). VAP menjadi utama kematian pada HAI, dengan
angka mortalitas 15 - 70% tergantung pada populasi pasien. Faktor – faktor terkait yang
mempengaruhi VAP antara lain: durasi penggunaan ventilasi mekanik, penggunaan sedasi
secara kontinyu, frekuensi penggantian sirkuit ventilator, dan kurangnya praktek
pengendalian infeksi (Kalanuria, Zai, & Mirski, 2014)
Terdapat dua cara yang digunakan dalam menggunakan ventilasi mekanik yaitu
secara invasif dan non invasif. Pemakaian secara invasif dengan menggunakan pipa Endo
Tracheal Tube (ETT) yang pemasangannya melalui intubasi, dimana pemasangan pada
pipa ETT akan menekan sistem pertahanan host, menyebabkan trauma dan inflamasi lokal,
sehingga meningkatkan kemungkinan aspirasi patogen nasokomial dari oropharing
disekitar cuff (Ismail & Zahran, 2015). Pemakaian secara non invasif dengan menggunakan
masker, penggunaan ventilator non invasif ini di ICU jarang ditemukan, karena tidak
adekuatya oksigen yang masuk kedalam paruparu, kecenderungan oksigen masuk kedalam
abdomen, maka dari itu pemakaian ventilator non invasif jarang sekali digunakan.
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah jenis infeksi paruparu yang terjadi
pada orang-orang yang terpasang mesin pernafasan (ventilator) dirumah sakit selama lebih
dari 48 jam. VAP adalah infeksi yang biasa ditemui dalam situasi perawatan kritis.
Prevalensi sebelumnya dan studi kohort prosfektif telah menunjukan bahwa VAP dikaitkan
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi berkepanjangan di ICU serta yang
tinggal dirumah sakit (Osti, Wosti, Pandey, & Zhao, 2017). Angka kejadian VAP
dilaporkan terjadi 9-27% dari semua pasien yang terintubasi (Susanti, Utomo, & Dewi,
2015). Tingkat keseluruhan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah 13,6 per 1.000
ventilator sesuai dengan International Nasocomial Infection Control Consortium (INICC).
Dengan seringnya intervensi keperawatan yang dilakukan oleh petugas yang
merawat, berakibat terjadinya penyebaran organisme dari klien ke klien lainnya. Infeksi
silang bisa disebabkan oleh perawat, dokter dan staf lainnya yang menjadi medium utama
peyebaran infeksi nasokomomial. Tingginya angka infeksi nasokomial ini tidak terlepas
dari peranan tenaga kesehatan terutama tenaga keperawatan sebagai tenaga mayoritas di
rumah sakit (Susanti, dkk., 2015). Perawat yang bekerja pada area critical care harus
ditunjang dengan kemampuan, perawat yang professional, berpengalaman, serta mampu
mengunakan peralatan modern khususnya ventilasi mekanik (Susanti, dkk., 2015).
Tindakan perawatan ventilasi mekanik merupakan salah satu aspek kegiatan perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan sehari-hari dalam fungsi independen dan
interdenpenden dengan tim medis. Menurut penelitian di Filandia tahun 2013, pengetahuan
perawat perawatan kritis tentang kepatuhan terhadap pedoman bukti dasar (EBGs/
Evidence-based guidelines), untuk mencegah VAP saat ini terbatas. Kurangnya
pengetahuan mungkin menjadi penghalang terhadap kepatuhan EBGs. Meskipun seringnya
pengingat dan pendidikan tambahan, kepatuhan dan sikap terhadap EBGs dilaporkan
miskin (Susanti, dkk., 2015).
Penelitian di Amerika tahun 2012 menegaskan, pendidikan akan meningkatkan hasil
pada pasien yang memerlukan ventilasi mekanik, dan pendidikan lanjutan sangat penting
untuk perawat yang berkualitas. Perawat harus mengembangkan strategi untuk
melaksanakan pedoman VAP dan memperluas basis pengetahuan untuk mengurangi
kejadian VAP. Disamping itu, perawat harus memiliki tanggung jawab untuk memahami
penyebab VAP.
Pengetahuan perawat sangatlah penting dalam melakukan perawatan ventilasi
mekanik yang berpengaruh terhadap perilaku perawat dalam melakukan penerapan
tindakan ventilasi mekanik yang baik. Pada survey pendahuluan di Ruang ICU ditemukan
jumlah tenaga di ruangan ICU adalah sebanyak 13 orang, dengan kapasitas 10 kapsitas
tempat tidur. BOR ICU pada saat ini adalah 10%, dan menurut standar Menkes BOR yang
bagus > 100% artinya BOR ICU di RSPTN Unud belum sesuai dengan standar Menkes.
Tenaga perawat instalasi rawat intensif RSPTN Unud memiliki 13 orang tenaga
keperawatan dengan tingkat pendidikan yang berbeda, yakni S1+Ners sebanyak 11 orang
dan D3 sebanyak 2 orang. Saat ini hanya 3 perawat ICU yang telah mendapatkan pelatihan
dasar dan sebanyak 7 orang belum mengikuti pelatihan khusus. Dengan tenaga kesehatan
yang masih kurang di ICU, BOR < 100%, serta banyak perawat yang belum memiliki
sertifikat pelatihan ICU maka sangat penting bagi perawat untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai VAP dan pencegahan pada pasien khususnya di Ruang ICU untuk memberikan
keselamatan dan kenyamanan pasien selama masa perawatan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan perawat ICU mengatakan belum memahami terkait pencegahan VAP
di ICU.
Berdasarkan uraian diatas maka dengan diadakannya FGD terkait dengan
pencegahan dan pengendalian VAP di Ruang ICU RS Universitas Udayana, diharapkan hal
ini dapat meningkatkan pengetahuan perawat, menurunkan angka kejadian VAP dan
meningkatkan keselamatan pasien selama masa perawatan.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Perawat mampu mengetahui terkait dengan HAIs dan pencegahan VAP khususnya
pada pasien yang di rawat di ruang ICU.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Perawat mengetahui HAIs
2. Perawat mengetahui faktor risiko HAIs
3. Perawat mengetahui penatalaksanaan HAIs
4. Perawat mengetahui definisi VAP
5. Perawat mengetahui penyebab VAP
6. Perawat mengetahui tanda dan gejala VAP
7. Perawat mengetahui faktor risiko VAP
8. Perawat mengetahui penatalaksanaan VAP
9. Perawat mengetahui cara pencegahan VAP
10. Perawat mengetahui indikator Penilaian VAP dengan Menggunakan CIPS
1.3 Manfaat
1.3.1 Perawat
Perawat mengetahui standar keselamatan pasien terkait HAIs dan penatalaksanaan
pencegahan VAP pada pasien yang dirawat di ruang ICU.
1.3.2 Rumah Sakit
Mengurangi angka kejadian HAIs dan VAP sehingga menjamin keselamatan
pasien selama masa perawatan di ruang ICU. Dengan berkurangnya angka kejadian
HAIs dan VAP di rumah sakit, hal tersebut dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HAIs (Healthcare Associated Infections)


Menurut definisi dari WHO (World Health Organization) HAIs merupakan infeksi
pada pasien di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lain yang belum tampak
atau tidak sedang masa inkubasi pada saat pasien pertama kali masuk atau yang terjadi
selama pasien dirawat di rumah sakit lebih dari 48 jam, yang tidak muncul pada saat
masuk rumah sakit. Termasuk juga infeksi yang didapatkan pasien selama masa
perawatan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang baru muncul setelah pasien telah
keluar, maupun juga infeksi pada staff rumah sakit (WHO 2010). Jenis HAIs yang
paling sering terjadi adalah bloodstream infection (BSI), urinary tract infection (UTI),
surgical site infection (SSI), pneumonia atau ventilator associated pneumonia (VAP)
dan gastrointestinal (GI) nosocomial infection. (Madani, 2017).

2.2 Faktor Risiko HAIs


WHO membagi beberapa faktor risiko yang meningkatkan resiko HAIs menjadi dua,
yang pertama adalah faktor risiko yang ada walaupun fasilitas yang tersedia memadai:
a. Penggunaan peralatan invasif yang terlalu lama dan tidak benar;
b. Prosedur yang berisiko tinggi;
c. Keadaan imun yang menurun dan keparahan penyakit yang mendasari pada pasien;
d. Penerapan dari standar dan teknik isolasi yang tidak benar.
Beberapa faktor resiko lebih spesifik ke keadaan dengan fasilitas yang terbatas:
a. Kebersihan lingkungan yang tidak adekuat
b. Infrastruktur yang tidak memadai;
c. Peralatan yang tidak memadai;
d. Kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM);
e. Kurangnya pengetahuan dan pengaplikasian dari dasar dasar pencegahan infeksi;
f. Prosedur yang salah;
g. Kurangnya pengetahuan mengenai keamanan tekhnik injeksi dan tranfusi darah;
h. Tidak adanya guidelines lokal maupun nasional. (WHO, 2010)

2.3 Pencegahan HAIs


Program yang termasuk pencegahan dan pengendalian HAIs yaitu, (1) Tindakan
pencegahan dan pengendalian infeksi; (2) Surveilans (HAIs dan Proses: audit
kepatuhan petugas untuk cuci tangan dan memakai APD); (3) Penerapan kewaspadaan
isolasi; (4) Pendidikan dan pelatihan PPI; (5) Penggunaan antimikroba rasional; (6)
Kesehatan karyawan (Rosa, 2015).

Tujuan dari Pencegahan dan Pengendalian Infeksi adalah untuk membantu mengurangi
penyebaran infeksi yang terkait dengan pelayanan kesehatan, dengan penilaian,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi oleh National Infection Control Policies.
Tujuan utamanya adalah untuk mendukung promosi kualitas pelayanan kesehatan yang
aman bagi pasien, petugas kesehatan, dan orang lain dalam perawatan kesehatan dan
lingkungan dengan cara yang hemat biaya (WHO, 2014).

Salah satu program pencegahan dan pengendalian HAIs yaitu dengan penerapan
kewaspadaan isolasi yang dibagi menjadi dua yaitu :

a. Kewaspadaan Standar (Standard/Universal Precautions)


Kewaspadaan standar adalah kewaspadaan dalam pencegahan dan pengendalian
infeksi rutin dan harus diterapkan terhadap semua pasien di semua fasilitas
kesehatan. Kewaspadaan standar/universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang
dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran
infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi
menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam,
2007). Tindakan dalam kewaspadaan standar meliputi:
a. Kebersihan tangan.
b. APD: sarung tangan, masker, goggle, face shield, gaun.
c. Peralatan perawatan pasien.
d. Pengendalian lingkungan.
e. Penatalaksanaan Linen.
f. Pengelolaan limbah tajam/ Perlindungan & Kesehatan karyawan.
g. Penempatan pasien
h. Hygiene respirasi/Etika batuk
i. Praktek menyuntik aman
b. Kewaspadaan berdasarkan Transmisi (Transmission based Precautions)
Kewaspadaan berdasarkan transmisi merupakan tambahan untuk kewaspadaan
standar, yaitu tindakan pencegahan atau pengendalian infeksi yang dilakukan setelah
jenis infeksinya sudah terdiagnosa atau diketahui (Akib et al, 2008). Tujuannya
untuk memutus mata rantai penularan mikroba penyebab infeksi, jadi kewaspadaan
ini diterapkan pada pasien yang memang sudah terinfeksi kuman tertentu yang bisa
ditransmisikan lewat udara, droplet, kontak kulit atau lain-lain (Muchtar, 2014).
Berdasarkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya tahun 2008, jenis kewaspadaan berdasarkan
transmisi:
- Kewaspadaan Transmisi Kontak
Transmisi kontak merupakan cara transmisi yang terpenting dan tersering
menimbulkan HAIs. Kewaspadaan transmisi kontak ini ditujukan untuk
menurunkan resiko transmisi mikroba yang secara epidemiologi ditransmisikan
melalui kontak langsung atau tidak langsung.
- Kewaspadaan Transmisi Droplet
Diterapkan sebagai tambahan kewaspadaan standar terhadap pasien dengan
infeksi diketahui atau suspek mengidap mikroba yang dapat ditransmisikan
melalui droplet (> 5μm). Droplet yang besar terlalu berat untuk melayang di
udara dan akan jatuh dalam jarak 1 m dari sumber. Transmisi droplet melibatkan
kontak konjungtiva atau mukus membran hidung/mulut, orang rentan dengan
droplet partikel besar mengandung mikroba berasal dari pasien pengidap atau
carrier dikeluarkan saat batuk, bersin, muntah, bicara, selama prosedur suction,
bronkhoskopi. Transmisi droplet langsung, dimana droplet mencapai mucus
membrane atau terinhalasi. Transmisi droplet ke kontak, yaitu droplet
mengkontaminasi permukaan tangan dan ditransmisikan ke sisi lain misal:
mukosa membran. Transmisi jenis ini lebih sering terjadi daripada transmisi
droplet langsung, misal: commoncold, respiratory syncitial virus (RSV). Dapat
terjadi saat pasien terinfeksi batuk, bersin, bicara, intubasi endotrakheal, batuk
akibat induksi fisioterapi dada, resusitasi kardiopulmoner.
- Kewaspadaan Transmisi Melalui Udara (Airbone Precautions)
Kewaspadaan transmisi melalui udara diterapkan sebagai tambahan
kewaspadaan standar terhadap pasien yang diduga atau telah diketahui terinfeksi
mikroba yang secara epidemiologi penting dan ditransmisikan melalui jalur
udara. Seperti transmisi partikel terinhalasi (varicella zoster) langsung melalui
udara. Ditujukan untuk menurunkan resiko transmisi udara mikroba penyebab
infeksi baik yang ditransmisikan berupa droplet nuklei (sisa partikel kecil < 5μm
evaporasi dari droplet yang bertahan lama di udara) atau partikel debu yang
mengandung mikroba penyebab infeksi. Mikroba tersebut akan terbawa aliran
udara > 2m dari sumber, dapat terinhalasi oleh individu rentan di ruang yang
sama dan jauh dari pasien sumber mikroba, tergantung pada faktor lingkungan,
misal penanganan udara dan ventilasi yang penting dalam pencegahan transmisi
melalui udara, droplet nuklei atau sisik kulit luka terkontaminasi (S. aureus).
2.4 Definisi VAP
Ventilator asosiated pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia nosokomial
yang terjadi setelah 48 jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik itu
melalui pipa endotrakeal maupun pipa trakeostomi. (Rozaliyani & Swidharmoko, 2010
dalam Sumiarti, 2015). Sedangkan menurut American Collegf Chest Physicians VAP
adalah suatu keadaan dimana terdapat gambaran infiltrat baru dan menetap pada foto
toraks disertai salah satu tanda yaitu, hasil biakan darah atau pleura sama dengan
mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi trakea, kavitasi pada foto
torak, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu demam,
leukositosis dan sekret purulen (American Thoracic Society Documents, 2005).
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru
(Pneumonia) yang disebabkan oleh pemakaian ventilator dalam jangka waktu yang
lama pada pasien (Smeltzer & Bare, 2001; dikutip Yolanda 2013). Jadi Ventilator
Associated Pneumonia (VAP) adalah pneumonia akibat infeksi nosokomial pada pasien
ICU yang menggunakan ventilator baik melalui pipa endotrakeal maupun pipa
trakeostomi yang terjadi setelah 48 jam menggunakan ventilator disertai hasil biakan
darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun
aspirasi trakea.
2.5 Etiologi
VAP diduga disebabkan oleh beberapa jenis kuman dan berdasarkan hasil isolasi
kuman pada pasien VAP bakteri gram negatiflah yang paling sering ditemukan. Bakteri
penyebab VAP dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan onset atau lamanya
pola kuman. Kelompok I adalah kuman gram negative (Enterobacter spp, Escherichia
coli, Klebsiella spp, Proteus spp, Serratai marcescens), Haemophilus influenza,
Streptococcus pneumoniae dan Methicillin sensitive staphylococcus aureus (MSSA).
Bakteri penyebab kelompok II adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman
anaerob, Legionella pneumophilia dan Methicillin resistan Staphylococcus aureus
(MRSA). Bakteri penyebab kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa,
Acinetobacter spp dan MRSA (Wiryana, 2007)
2.6 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang dapat ditemui pada pasien yang dicurigai terdiagnosis VAP
adalah (Morton & K. Fontaine, 2013; Osti, Wosti, Pandey, & Zhao, 2017; Perrin &
MacLeod, 2018):
a. Demam dengan suhu lebih dari 38°C, atau kurang dari 35°C.
b. Peningkatan leukosit/WBC lebih dari 12.000 sel/mm3
c. Terdapat infiltrate progresif pada X-ray.
d. Terdapat sekret purulent atau hasil kultur jaringan paru-paru positif.
e. Pertukaran gas yang memburuk.
2.7 Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko yang dicurigai dapat memicu terjadinya VAP, antara lain adalah
usia lebih dari 60 tahun, derajat keparahan penyakit, penyakit paru akut atau kronik,
sedasi yang berlebihan, nutrisi enteral, luka bakar yang berat, posisi tubuh yang supine,
Glasgow Coma Scale (GCS) kurang dari 9, penggunaan obat pelumpuh otot, perokok
dan lama pemakaian ventilator (Clare, 2005 dalam Susanti, 2015).
2.8 Penatalaksanaan
Menurut Osti et al, 2017 terdapat dua langkah penting yang direkomendasikan untuk
mengobati pasien dengan VAP yaitu tes diagnostik penyebab dan inisiasi antibiotik
segera. Pada manajemen awal VAP, antibiotik yang tepat harus dipilih untuk setiap
pasien berdasarkan faktor risiko individu untuk patogen yang multidrug-resistant dan
onset waktu dari penyakit. Selain itu, spectrum aktivitas antimikroba, keefektifan dosis
antibiotik, profil farmakokinetik dan efek merugikan antimikroba dari individu juga
harus ditinjau dengan cermat.

Pasien dengan VAP early onset dan tidak ada faktor risiko untuk multidrugresistant
(MDR) patogen direkomendasikan menggunakan empirik antibiotik seperti
Ceftriaxone, Fluoroquinolones, Ampicillinsulbactam dan Ertapenem. Sedangkan untuk
pasien VAP dengan faktor risiko MDR patogen atau late onset, terapi antibiotik yang
dapat diberikan yaitu Antipseudomonal cephalosporins (seperti cefepime, ceftazidime),
Antipseudomonal carbapenems (imipenem or meropenem), Beta-lactam/beta-
lactamase inhibitors (piperacillin-tazobactam) dengan antipseudomonal
fluoroquinolone (ciprofloxacin), atau aminoglycoside ditambah linezolid atau
vancomycin (jika ada faktor risiko untuk resisten methicillin Staphylococcus aureus)
dan Telavancin diindikasikan untuk HABP/VAP disebabkan isolasi rentan oleh
Staphylococcus aureus, mencangkup isolasi rentan dan resisten methicillin, ketika
pengobatan alternatif tidak cocok.

2.9 Pencegahan
Menurut American Thoracic Society Docume (2005) ada beberapa hal yang dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk mencegah terjadinya VAP yaitu:
1. Meninggikan kepala pasien (elevasi) 30 - 45 derajat kecuali jika pasien memiliki
kondisi medis tidak memungkinkan.
2. Periksa kemampuan pasien untuk bernafas sendiri setiap hari sehingga
penggunaan ventilator dapat dihentikan secepatnya.
3. Mencuci tangan menggunakan sabun dan air atau antiseptik berbasis alkohol
sebelum dan sesudah menyentuh pasien atau ventilator.
4. Bersihkan bagian dalam mulut pasien secara teratur.
5. Bersihkan atau ganti peralatan yang digunakan setiap pasien yang berbeda.
Intervensi pencegahan VAP (Sumiarti, 2015) yaitu:
1. Intervensi dengan tujuan mencegah kolonisasi saluran cerna - Mencegah
penggunaan antibiotik yang tidak perlu
- Membatasi profilaksis stress ulcer pada penderita risiko tinggi
- Menggunakan sukralfat sebagai profilaksis stress ulcer
- Menggunakan antibiotik untuk dekontaminasi saluran cerna secara selektif
- Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut
- Menggunakan antibiotik yang sesuai pada penderita risiko tinggi
- Selalu mencuci tangan sebelum kontak dengan penderita
- Mengisolasi penderita risiko tinggi dengan kasus MDR
2. Intervensi dengan tujuan utama mencegah aspirasi
- Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal
segera mungkin
- Posisi penderita semirecumbent atau setengah duduk
- Menghindari distensi lambung berlebihan
- Intubasi oral atau non-nasal , pengaliran sirkuit ventilator
- Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak
diperlukan
- Ventilasi masker noninvasif untuk mencegah intubasi trakea
- Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan
2.10 Indikator Penilaian VAP dengan Menggunakan CPIS
CPIS didefinisikan sebagai suatu alat dalam menegakkan diagnosis Ventilator
Associated Pneumonia (VAP) pada penderita dengan ventilator mekanik. Nilai atau
skor mulai dari 0 sampai 6 berdasarkan nilai pengukuran suhu tubuh, leukosit, sekret
trakea, fraksi oksigenasi, foto torak dan pemeriksaan mikrobiologi. Bila dari hasil
pemeriksaan komponen tersebut didapatkan nilai 6, maka dapat dinyatakan sebagai
diagnosis VAP. Diagnosis VAP ini ditegakkan setelah menyingkirkan adanya
penumonia sebelumnya. Pugin dkk (1991), menyatakan bahwa CPIS merupakan
sistem multifaktor dalam menegakkan VAP. Metode ini berdasarkan klinis, radiologi
dan fisiologik.
Komponen CPIS
Terdapat dua model komponen CPIS yang digunakan untuk menilai VAP. Yang
pertama adalah CPIS klasik dengan disertai pemeriksaan kultur. Sedangkan modifikasi
tanpa disertai pemeriksaan kultur. Keuntungan dari CPIS klasik, dengan adanya
pemeriksaan kultur memberikan manfaat sehingga dapat dihindari pemberian
antibiotik yang tidak perlu. Untuk jenis modifikasi CPIS maka komponen yang
diperiksa adalah suhu tubuh, leukosit darah, sekret trakea, oksigenasi dan foto torak.
Tabel 1. Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS):
Indicator Value Score
36,5 - 38,4 0
Temperature (oC) 38,5 - 38,9 1
≥ 39,0 or ≤ 36,5 2
≥ 4000 dan 11000 0
< 4000 dan > 11000 1
White blood cell count
Either < 4 or > 11 plus band 2
forms ≥ 500
< 14+ 0
≥ 14+ 1
Tracheal secretions
≥ 14+ plus purulent 2
secretions
Oxyigenation PaO2/FiO2 > 240 or ARDS 0
mm Hg ≤ 240 or no ARDS 2
Pulmonary radiography No infiltrate 0
Diffuse or patchy infiltrate 1
Localize iinfiltrate 2
Pathogenic bacteria cultured 0
≤ 1 or no growth
Pathogenic bacteria cultured 1
Culture of tracheal aspirate
>1
specimen
Pathogenic bacteria cultured 2
> 1 plus same pathogenic
bacteria on gram satain > 1
BAB III
METODE PELAKSANAAN

Topik : Pencegahan dan Pengendalian VAP di Ruang ICU RS Universitas


Udayana
Peserta : Perawat ICU di RS Universitas Udayana
Hari/Tanggal : Rabu, 4 Desember 2019
Waktu : 09.00 – Selesai
Tempat : Ruang Pertemuan Rumah Sakit Universitas Udayana
Pembicara : 1. -
Sub Topik :
1. Pengertian HAIs
2. Faktor Risiko HAIs
3. Pencegahan HAIs
4. Pengertian VAP
5. Etiologi VAP
6. Tanda dan Gejala VAP
7. Faktor Risiko VAP
8. Penatalaksanaan VAP
9. Pencegahan VAP

A. TUJUAN
1. Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah diberikan materi mengenai pencegahan dan pengendalian VAP diharapkan
peserta memahami cara pencegahan dan pengendalian VAP di ruang ICU RS
Universitas Udayana.
2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah diberikan materi, diharapkan:
1. Adanya peningkatan nilai dari pre-test ke post-test.
2. Peserta dapat mempraktikkan cara pencegahan VAP salah satunya dengan
melakukan 6 langkah cuci tangan yang benar baik dengan air dan sabun ataupun
hanrub.

B. PESERTA
Perawat di ruang ICU RS Universitas Udayana yang berjumlah 10 orang.
C. GARIS BESAR MATERI
1. Pengertian HAIs
2. Faktor Risiko HAIs
3. Pencegahan HAIs
4. Pengertian VAP
5. Etiologi VAP
6. Tanda dan Gejala VAP
7. Faktor Risiko VAP
8. Penatalaksanaan VAP
9. Pencegahan VAP

D. STRATEGI PELAKSANAAN
Tahap Kegiatan Penyuluh Kegiatan Peserta
Pembukaan - Moderator mengucapkan - Sasaran mendengarkan
salam dan memperkenalkan dengan seksama.
diri dan penyaji kepada - Sasaran menjawab
sasaran. kuesioner
- Moderator memberikan pre- - Sasaran menyimak serta
test kepada sasaran bertanya apabila tujuan
menggunakan kuisioner dirasa kurang jelas.
- Moderator menyampaikan - Sasaran mendengarkan
tujuan pokok materi FGD. dengan seksama.
- Moderator menjelaskan - Sasaran mendengarkan
tujuan FGD. dengan seksama.
- Moderator menjelaskan
waktu pelaksanaan.
Pelaksanaan - Menyamakan persepsi antara - Sasaran menyimak dengan
penyaji dan peserta. seksama
- Memberikan apa yang sasaran - Sasaran menyampaikan apa
belum ketahui yang belum diketahuinya
- Penyaji menjelaskan materi - Sasaran memperhatikan
mengenai : penjelasan dan memahami
1. Pengertian HAIs materi yang disampaikan
2. Faktor Risiko HAIs penyaji.
3. Pencegahan HAIs - Sasaran mendengarkan
4. Pengertian VAP dengan seksama
5. Etiologi VAP - Sasaran mengajukan
6. Tanda dan Gejala VAP pertanyaan mengenai hal-hal
7. Faktor Risiko VAP yang belum dimengerti .
8. Penatalaksanaan VAP - Sasaran mendengarkan
9. Pencegahan VAP jawaban yang diberikan.
- Peserta dapat menganalisis
- Setelah pemberian materi,
kasus dan melakukan 6
kemudian dilanjutkan diskusi
langkah cuci tangan yang
kasus dan cara pencegahan
benar.
VAP dengan melakukan 6
langkah cuci tangan yang
benar.
Penutup - Moderator melakukan evaluasi - Sasaran menjawab
hasil penyuluhan pertanyaan evaluasi.
- Moderator membagikan - Sasaran menjawab
kuesioner post test kepada kuesioner yang diberikan
peserta - Sasaran menyimak
- Notulen menyampaikan kesimpulan yang
kesimpulan materi pada disampaikan oleh notulen
sasaran - Sasaran menjawab salam
- Moderator penyuluhan dengan moderator
salam

E. METODE
Metode yang digunakan dalam pemberian materi pencegahan VAP yaitu dengan metode
focus group discussion (FGD). Sebelum FGD dimulai diawali dengan pemberian pre-test
kepada peserta, kemudian penyaji memaparkan materi terkait dengan pencegahan VAP.
Setelah pemberian materi kemudian dilanjutkan dengan diskusi kasus dan cara pencegahan
VAP salah satunya dengan 6 langkah melakukan cuci tangan benar. Penyaji kemudian
memberikan post-test kepada peserta di akhir sesi diskusi.
F. SUSUNAN ACARA
NO WAKTU DURASI KETERANGAN
1 07.40 – 08.40 60’ Registrasi peserta
2 08.40 – 08.45 5’ Pembukaan
6 08.45 – 09.00 15’ Pre-test
8 09.00 – 09.30 30’ Materi
10 09.45 – 10.00 15’ Diskusi
13 10.15 – 10.30 15’ Post-test
14 10.30 – 10.35 5’ Pembacaan kesimpulan
15 10.35 – 10.45 10’ Penutup

G. SUSUNAN KEPANITIAAN
Ketua Panitia : I Gusti Ayu Dewi Astriani
Moderator : Ni Wayan Kuslinda Sari
Narasumber :
Fasilitator : Tjokorda Istri Agung Dwi Pradnyani
Ni Made Rai Sita Yanti
Sang Putu Angga Winata
I Nyoman Adi Arta
Ni Putu Ayu Padmanila Prasetya
Notulen : Ni Kadek Dwiyanti Anggreni
H. MEDIA/ ALAT/ SUMBER
1. Alat
a. 10 buah kursi
2. Media
b. LCD
c. Sound
d. Laptop
e. Microphone
I. SETTING TEMPAT
Penyaji berada di tengah-tengah dan berdiskusi dengan seluruh peserta

Keterangan gambar:
1. : Penyaji
2. : moderator
3. : notulen

4. : Peserta

J. KRITERIA EVALUASI
Evaluasi Struktur
a. Persiapan Alat
Alat yang digunakan dalam FGD yaitu berupa LCD, Laptop, dan sound yang sudah
disiapkan sebelumnya.
b. Persiapan Materi
Materi yang akan diberikan dalam FGD sudah disiapkan sebelumnya.
Evaluasi Proses
1. Peserta kooperatif dan aktif mendengarkan materi yang disampaikan.
2. Di dalam proses pemberian materi adanya interaksi antara penyaji dan peserta.
Evaluasi hasil
1. Terjadi peningkatan dari nilai pre-test ke post-test
2. Peserta dapat mempraktikkan cara pencegahan VAP salah satunya dengan melakukan
6 langkah cuci tangan yang benar baik dengan air dan sabun ataupun hanrub.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
HAIs adalah suatu infeksi yang diperoleh atau dialami pasien selama dirawat di rumah
sakit. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah HAIs yang sering ditemukan,
dengan salah satu faktor risiko utama adalah pada penggunaan alat bantu napas berupa
ventilator mekanik, terutama pada pasien ICU. Tingginya angka infeksi nasokomial ini
tidak terlepas dari peranan tenaga kesehatan terutama tenaga keperawatan sebagai tenaga
mayoritas di rumah sakit. Perawat yang bekerja pada area critical care harus ditunjang
dengan kemampuan, perawat yang professional, berpengalaman, serta mampu
mengunakan peralatan modern ventilasi mekanik dan dapat meminimalkan angka kejadian
VAP khususnya pada pasien di Ruang ICU.
4.2 Saran
Diharapkan semua perawat memiliki sertifikat atau kualifikasi khusus di Ruang ICU agar
memiliki pengetahuan yang tinggi terkait dengan Ruang ICU dan dapat meminimalkan
angka kejadian VAP pada pasien yang di rawat di Ruang ICU.
DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society Documents. (2005). Guidelines for the Management of Adults with
Hospital-acquired, Ventilator-associated, and Healthcareassociated Pneumonia, 171.
388–416.DOI: 10.1164/rccm.200405-644ST

Augustyn, B. (2007). Ventilator-associated pneumonia risk factors and prevention. Critical


care nurse, 27(4), 32-39.
Gunasekera, P. & Gratix, A. (2015). Ventilator-Associated Pneumonia. BJA Education, 1-5.
Doi: 10.1093/bjaed/mkv046.
Hunter, J. D. (2012). Ventilator associated pneumonia. Bmj, 344(e3325), e3225.

Ismail, R & Zahran, E. (2015). The effect of nurses training on ventilator-associated pneumonia
(VAP) prevention bundle on VAP incidence rate at a critical care unit. Journal of
Nursing Education and Practice, 5 (12). Http://dx.doi.org/10.5430/jnep.v5n12p42

Kalanuria, A. A., Zai, W., & Mirski, M. (2014). Ventilator-associated pneumonia in the ICU.
Critical care, 18(2), 208.
Morton, P. G., & K. Fontaine, D. (2013). Critical Care Nursing A Holistic Aapproach (10th
ed.). NY, NY: Wolters Kluwer Health | Lippincott Williams & Wilkins.

Nurjanah, S. (2014). Ventilator Associated Pneumonia. Makalah. Yogyakarta: Konsentrasi


Intensif Care Unit Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Surya Global.

Osti, C., Wosti, D., Pandey, B., & Zhao, Q. (2017). Ventilator-Associated Pneumonia and Role
of Nurses in Its Prevention. Journal of Nepal Medical Association, 56(208), 461–468.
https://doi.org/10.31729/jnma.3270

Perrin, K. O., & MacLeod, C. E. (2018). Understanding the essentials of critical care nursing
(Third edition). NY, NY: Pearson.

Pieracci, F. M., Dore, J., & Barie, P. S. (2016). 25 Ventilator-associated pneumonia. Trauma,
Critical Care and Surgical Emergencies, 241.
Sumiarti, D., Harmayetty & Dewi, Y.S. (2015). Intervensi Vap Bundle Dalam Pencegahan
Ventilator Associated Pneumonia (Vap) Pada Pasien Dengan Ventilasi Mekanis. Junal
Ners 10 (1). 138-146
Sundana, K. (2008). Ventilator: Pendekatan Praktis Di Unit Perawatan Kritis. Bandung; CICU

Susanti, E., Utomo, E & Dewi, Y. I. (2015). Identifikasi Faktor Resiko Kejadian Infeksi
Nosokomial Pneumonia Pada Pasien Yang Terpasang Ventilator Di Ruang Intensive
Care, JOM Vol 2 No 1, 590-599

Torres, A & Ewig, S. (2004). N Engl J Med. Diagnosing Ventilatorassociated Pneumonia.


350-433

Anda mungkin juga menyukai