Anda di halaman 1dari 23

GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN VAP

Disusun oleh :

Kelompok 1

1. Erwin Asfia Udin


2. Ismawati
3. Tri Aprilyaningrum R.

PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN

INTITUT KESEHATAN DAN TEKNOLOGI PKP JAYAKARTA

DKI JAKARTA

2021 – 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Keperawatan Kritis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam penyusunan makalah ini. Penulis sadar makalah ini belum sempurna
dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
sangat dibutuhkan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan semua pihak.

Jakarta, 21 Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Contents
GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN VAP.......................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................3
A. LATAR BELAKANG......................................................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH.................................................................................................................5
C. TUJUAN PENULISAN...................................................................................................................5
D. MANFAAT PENULISAN...............................................................................................................5
BAB II TINJAUAN TEORI.........................................................................................................................7
A. DEFINISI VAP..............................................................................................................................7

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ventilasi mekanik (ventilator) memegang peranan penting bagi dunia keperawatan


kritis, dimana perannya sebagai pengganti bagi fungsi ventilasi bagi pasien dengan
gangguan fungsi respiratorik (Sundana, 2014). Ventilator merupakan alat bantu
pernafasan bertekanan negatif atau positif yang menghasilkan udara terkontrol pada jalan
nafas sehingga pasien mampu mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam
jangka waktu lama. Dimana tujuan dari pemasangan ventilator tersebut adalah
mempertahankan ventilasi alveolar secara optimal untuk memenuhi kebutuhan metabolic
pasien, memperbaiki hipoksemia, dan memaksimalkan transport oksigen (Purnawan.
2010).

Dua cara dalam menggunakan ventilasi mekanik yaitu secara invasif dan non
invasif. Pemakaian secara invasif dengan menggunakan pipa Endo Tracheal Tube (ETT)
yang pemasangannya melalui intubasi, dimana pemasangan pada pipa ETT akan
menekan sistem pertahanan host, menyebabkan trauma dan inflamasi lokal, sehingga
meningkatkan kemungkinan aspirasi patogen nasokomial dari oropharing disekitar cuff
(Setiadi & Soemantri, 2009). Pemakaian secara non invasif dengan menggunakan
masker, penggunaan ventilator non invasif ini di ICU jarang ditemukan, karena tidak
adekuatya oksigen yang masuk kedalam paruparu, kecenderungan oksigen masuk
kedalam abdomen, maka dari itu pemakaian ventilator non invasif jarang sekali
digunakan (Sherina & RSCM, 2010).

Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah jenis infeksi paru-paru yang


terjadi pada orang-orang yang terpasang mesin pernafasan (ventilator) dirumah sakit
selama lebih dari 48 jam. VAP adalah infeksi yang biasa ditemui dalam situasi perawatan
kritis. Prevalensi sebelumnya dan studi kohort prosfektif telah menunjukan bahwa VAP
dikaitkan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi berkepanjangan di ICU
serta yang tinggal dirumah sakit (Jansson, Kokko, Ylipalosaari, Syarjala, & Kyngas,
2013). Angka kejadian VAP dilaporkan terjadi 9-27% dari semua pasien yang terintubasi

1
(Mohamed, 2014). Tingkat keseluruhan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah
13,6 per 1.000 ventilator sesuai dengan International Nasocomial Infection Control
Consortium (INICC).

Ringkasan laporan data untuk 2003-2008 dibandingkan dengan 3,3 per 1.000
ventilator hari di US National Healthcare Safety Network (NHSN ; sebelumnya National
Nasocomial Infection Surveillance System (NNIS)). Pentingnya masalah ini tercermin
pada tingginya insiden dan membuat VAP antara infeksi yang paling umum di ICU dan
pengobatan dengan biaya tinggi, dengan jumlah hari rawat yang lebih besar di ICU,
durasi yang lebih lama dari ventilasi mekanis, dan kematian lebih tinggi (Mohamed,
2014).

Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengatasi VAP adalah dengan VAP
Bundle. VAP bundel digambarkan sebagai sekelompok intervensi berbasis-bukti yang
akan membantu mencegah VAP. Pentingnya Bundle dalam pencegahan infeksi
nasokomial VAP dapat mengurangi biaya 10 kali dan meningkatkan hasil pasien terkait
dan keselamatan pasien dan kualitas pelayanan. Intervensi keperawatan kritis dilakukan
secara rutin telah terbukti mengurangi angka kejadian VAP. The Institute for Healthcare
Improvement (IHI, 2006). The Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 2003)
dan A European Care Bundle (lipat Rello et al. 2010) telah merancang VAP bundle
(VBs) untuk membantu mengurangi atau menghilangkan VAP dan mempromosikan
kepatuhan terhadap pedoman bukti dasar (EBGs), dalam rangka meningkatkan hasil
pasien. Seperti elevasi kepala tempat tidur (HOB) 30 0-450, sedasi harian, Deep Vein
Trombosis (DVT) prophylaxis, ulkus peptikum prophylaxis, perawatan mulut (oral care).
Dengan seringnya intervensi keperawatan yang dilakukan oleh petugas yang merawat,
berakibat terjadinya penyebaran organisme dari klien ke klien lainnya. Infeksi silang bisa
disebabkan oleh perawat, dokter dan staf lainnya yang menjadi medium utama peyebaran
infeksi nasokomomial. Tingginya angka infeksi nasokomial ini tidak terlepas dari
peranan tenaga kesehatan terutama tenaga keperawatan sebagai tenaga mayoritas di
rumah sakit (Saanin, 2006). Perawat yang bekerja pada area critical care harus ditunjang
dengan kemampuan, perawat yang professional, berpengalaman, serta mampu
mengunakan peralatan modern khususnya ventilasi mekanik (Dewi & dkk, 2014).

Tindakan perawatan ventilasi mekanik merupakan salah satu aspek kegiatan


perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sehari-hari dalam fungsi independen

2
dan interdenpenden dengan tim medis. Menurut penelitian di Filandia tahun 2013,
pengetahuan perawat perawatan kritis tentang kepatuhan terhadap pedoman bukti dasar
(EBGs/ Evidence-based guidelines), untuk mencegah VAP saat ini terbatas. Kurangnya
pengetahuan mungkin menjadi penghalang terhadap kepatuhan EBGs. Meskipun
seringnya pengingat dan pendidikan tambahan, kepatuhan dan sikap terhadap EBGs
dilaporkan miskin (Jansson, Kokko, Ylipalosaari, Syarjala, & Kyngas, 2013).

Penelitian di Amerika tahun 2012 menegaskan, pendidikan akan meningkatkan


hasil pada pasien yang memerlukan ventilasi mekanik, dan pendidikan lanjutan sangat
penting untuk perawat yang berkualitas. Dokter dengan gelar Doktor dari praktek
keperawatan sangat berperan aktif dalam memfasilitasi kompetensi untuk perawat dalam
masalah kesehatan berkualitas, dan harus mengembangkan strategi untuk melaksanakan
pedoman VAP dan memperluas basis pengetahuan mereka dengan memberdayakan
profesi keperawatan untuk mengobati bukti-dasar pengurangan kejadian VAP.
Disamping itu, perawat harus memiliki tanggung jawab untuk memahami penyebab VAP
(Gallagher, 2012).

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk membahas tentang bagaimana gambaran
asuhan keperawatan pada pasien dengan VAP

C. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum
Agar Mahasiswa mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan VAP
2. Tujuan khusus
a Mahasiswa mengetahui pengertian dari VAP
b Mahasiswa mengetahui diagnosis VAP
c Mahasiswa memahami patogenesis VAP
d Mahasiswa mengetahui pencegahan VAP
e Mahasiswa mengetahui bagaimana penatalaksanaan VAP.
f Mahasiwa mampu memahami asuhan keperawata pada pasien dengan VAP.

D. MANFAAT PENULISAN

3
4
Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah infeksi nosokomial paling umum yang
diderita oleh pasien di ruang rawat intensif. Angka kejadian VAP mencapai 9–27% dari
seluruh pasien terintubasi dan International Nosocomial Infection Control Consortium
(INICC) melaporkan insidensi VAP mencapai 13,6 per-1.000 ventilator per hari.

Mortalitas pasien VAP berada pada rentang 24% sampai 50% dan akan meningkat
sampai dengan 76% apabila infeksi disebabkan oleh mikroorganisme multiresisten. Risiko
mortalitas pasien VAP dua kali lebih tinggi dibanding dengan pasien tanpa VAP.4 Ventilator
associated pneumonia berhubungan dengan lama perawatan dan biaya perawatan pasien,oleh
karena itu dibutuhkan metode untuk mencegah VAP terutama akibat mikroorganisme
multiresisten.

5
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI VAP

VAP didefinisikan sebagai nosokomial pneumonia yang terjadi setelah 48 jam


pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik itu melalui pipa endotrakea maupun
pipa trakeostomi. Sedangkan American College of Chest Physicians mendefinisikan
VAP sebagai suatu keadaan dimana terdapat gambaran infiltrat baru dan menetap pada
foto toraks disertai salah satu tanda yaitu, hasil biakan darah atau pleura sama dengan
mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi trakea, kavitasi pada foto
torak, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu demam,
leukositosis dan sekret purulen. Ibrahim dkk. 10 membagi VAP menjadi onset dini yang
terjadi dalam 4 hari pertama pemberian ventilasi mekanis dan onset lambat yang terjadi 5
hari atau lebih setelah pemberian ventilasi mekanik.

B. DIAGNOSIS

Diagnosis VAP ditentukan berdasarkan 3 komponen tanda infeksi sistemik yaitu


demam, takikardi, dan leukositosis disertai gambaran infiltrat baru ataupun perburukan di
foto toraks dan penemuan bakteri penyebab infeksi paru. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa pemeriksaan foto torak berulang memiliki akurasi diagnostik lebih
dari 68% yang umumnya disertai gambaran air bronchogram.

Torres dkk. menyatakan bahwa diagnosis VAP meliputi tanda-tanda infiltrat baru
maupun progresif pada foto torak disertai gejala demam, leukositosis maupun leukopeni
dan sekret purulen. Gambaran foto torak disertai dua dari tiga kriteria gejala tersebut
memberikan sensitivitas 69% dan spesifisitas 75%. Faktor-faktor risiko yang berperan
dalam strategi pencegahan yang terhadap VAP diidentifikasi melalui berbagai penelitian
disimpulkan pada table 1

Table 1. Faktor-faktor resiko berkaitan dengan VAP

Factor pejamu Factor intervensi Factor lain


Albumin serum < 2,2 g/dl Antagonis H2, antacid Musim dingin
Usia ≥ 60 th Obat paralitik, sedasi intravena
ARDS Produksi ˃4 unit darah

6
PPOK dan atau penyakit paru Penilaian tekanan intracranial
Koma/ penurunan kesadaran Ventilasi meknaik ˃2 hari
Luka bakar dan trauma PEEP
Gagal organ Reintubasi
Keparahan penyakit Pipa nasogastric
Aspirasi volume lambung Posisi telentang
Kolonisasi lambung dan PH Transport keluar dari UPI
Kolonisasi saluran nafas atas Antibiotic atau tanpa antibiotik
Sinusitis

C. PATOGENESIS

Patogenesis VAP sangat kompleks. Kollef 4 menyatakan insiden VAP tergantung


pada lamanya paparan lingkungan penyelia kesehatan, dan faktor risiko lain (tabel 1).
Faktorfaktor risiko ini meningkatkan kemungkinan terjadinya VAP dengan cara
meningkatkan terjadinya kolonisasi traktus aerodigestif oleh mikroorganisme patogen
dan meningkatkan terjadinya aspirasi sekret yang terkontaminasi ke dalam saluran napas
bawah. Kuman dalam aspirat tersebut akan menghasilkan biofilm di dalam saluran napas
bawah dan di parenkim paru. Biofilm tersebut akan memudahkan kuman untuk
menginvasi parenkim paru lebih lanjut sampai kemudian terjadi reaksi peradangan di
parenkim paru. Cook dkk. menunjukkan bahwa lambung adalah reservoir utama
kolonisasi dan aspirasi mikroorganisme. Hal dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti
pemakaian obat yang memicu kolonisasi bakteri (antibiotika dan pencegah stress ulcer),
posisi pasien yang datar, pemberian nutrisi enteral, dan derajat keparahan penyakit
pasien.

Seperti kita ketahui bersama, saluran pernafasan normal memiliki berbagai


mekanisme pertahanan paru terhadap infeksi seperti glottis dan laring, refleks batuk,
sekresi trakeobronkial, gerak mukosilier, imunitas humoral serta sistem fagositik.
Pneumonia akan terjadi apabila pertahanan tersebut terganggu dan invasi
mikroorganisme virulen. Sebagian besar VAP disebabkan oleh aspirasi kuman patogen
yang berkolonisasi dipermukaan mukosa orofaring. Intubasi mempermudah masuknya
kuman dan menyebabkan kontaminasi sekitar ujung pipa endotrakeal pada penderita
dengan posisi terlentang. Kuman gram negatif dan Staphylococcus aureus merupakan
koloni yang sering ditemukan disaluran pernafasan atas saat perawatan lebih dari 5 hari.

7
VAP dapat pula terjadi akibat makroaspirasi lambung. Bronkoskopi serat optik,
penghisapan lendir sampai trakea maupun ventilasi manual dapat mengkontaminasi
kuman patogen kedalam saluran pernafasan bawah. Penelitian terhadap 130 penderita
yang diintubasi, kuman gram negatif ditemukan dalam trakea pada 58% penderita yang
mendapatkan pengobatan antasida dan antagonis H2 serta 30% penderita yang
mendapatkan sukralfat. Enterobacteriaceae umumnya ditemukan disaluran orofaring
sedangkan Pseudomonas aeruginosa lebih sering ditemukan di trakea.

- Faktor penjamu
- Pemberian awal
antibiotik
- Strategi invasif
Kolonisasi
- Obat-obatan yang
saluran cerna
berpengaruh
terhadap
pengosongan
lambung dan pH
Aspirasi

Air yang
terkontaminasi, obat-
obatan cair, alat dan
bahan terapi

Inhalasi Bronkioli tis

Infeksi transtorak
Bakteremia
primer Mekanisme
Bronkopneumonia pertahanan
fokal/multifokal saluran nafas
Bakteremia
sekunder bawah dan
Systemic Bronkopneumoni sistemik
inflammatory a berat penjamu
response
syndrome (SIRS)
Disfungsi organ Abses paru
nonpulmoner

Gambar 1. Pathogenesis VAP

D. PENTALAKSANAAN

Kurang lebih 50% antibiotika yang diberikan di UPI adalah ditujukan untuk infeksi
saluran pernafasan. Luna dkk menyebutkan bahwa pemberian antibiotik adekuat sejak
awal dapat meningkatkan angka ketahanan hidup penderita VAP pada saat data
mikrobiologik belum tersedia. Penelitian di Perancis, menunjukkan bahwa hasil
pemeriksaan rutin biakan kuantitatif melalui aspirasi endotrakeal dapat mengidentifikasi

8
pemberian antibiotika pada 95% penderita VAP sambil menunggu hasil biakan BAL.
Penelitian lainnya oleh Fowler dkk. memberikan hasil bahwa penderita yang
mendapatkan pengobatan penisilin antipseudomonas ditambah penghambat laktamase
serta aminoglikosida memiliki angka kematian lebih rendah. Piperasilin-tazobaktam
merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan (63%) diikuti golongan
fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan aminoglikosida
(25%). Singh dkk. menyatakan bahwa siprofloksasin sangat efektif pada sebagian besar
kuman Enterobacteriaceae, Haemophilus influenza dan Staphylococcus aureus.
Pemberian antibiotika dapat dihentikan setelah 3 hari pada penderita dengan
kecendrungan VAP rendah (CPIS < 6).

E. PENCEGHAN

Olson dkk. melaporkan bahwa silvercoated tube mengurangi pembentukan biofilm


sehingga dapat mengurangi kolonisasi kuman dengan angka risiko kecil, selain itu juga
memperlambat durasi kolonisasi internal dari 1,8 ± 0,4 menjadi 3,2 ± 0,8 hari. Penderita
di UPI yang mendapatkan pengaliran subglotik intermiten memiliki insiden VAP lebih
rendah secara bermakna dibandingkan dengan kontrol. Pengurangan penggunaan
antibiotik di UPI juga dapat menurunkan insiden pneumonia nosokomial akibat resistensi
obat. Salah satu intervensi yang berkaitan dengan penurunan insidensi VAP dan
penggunaan antibiotik adalah ventilasi non invasif pada penderita gagal nafas akut.

Pencegahan terhadap VAP dibagi menjadi 2 kategori yakni strategi farmakologi


yang bertujuan untuk menurunkan kolonisasi saluran cerna terhadap kuman patogen serta
strategi non farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi

1. Intervensi dengan tujuan mencegah kolonisasi saluran cerna


 Mencegah penggunaan antibiotik yang tidak perlu
 Membatasi propilaksis tukak lambung pada penderita risiko tinggi
 Menggunakan sukralfat sebagai propilaksis tukak lambung
 Menggunakan antibiotik untuk dekontaminasi saluran cerna secara selektif
 Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut
 Menggunakan antibiotik yang sesuai pada penderita risiko tinggi
 Selalu mencuci tangan sebelum kontak dengan penderita

 Mengisolasi penderita risiko tinggi dengan kasus MDR

9
2. Intervensi dengan tujuan utama mencegah aspirasi
 Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal segera
mungkin
 Posisi penderita semirecumbent atau ½ duduk
 Menghindari distensi lambung berlebihan
 Intubasi oral atau nonnasal
 Penyaliran subglotik
 Penyaliran sirkuit ventilator
 Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak diperlukan
 Ventilasi masker noninvasif untuk mencegah intubasi trakea

 Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperluka

Pencegahan non farmakologi lebih mudah dan lebih murah untuk dilaksanakan
bila dibandingkan pencegahan VAP secara farmakologi, yang meliputi menghindari
intubasi trakea, penggunaan ventilasi mekanik sesingkat mungkin, pembagian kerja
penyelia kesehatan subglottic suctioning, intubasi non nasal, menghindari manipulasi
yang tidak perlu pada sirkuit ventilator, pemakaian heat and moisture exchangers,
posisi setengah duduk, menghindari lambung penuh, pencegahan terbentuknya
biofilm, dan mencuci tangan dan pemakaian desinfektan sebelum dan sesudah kontak
dengan pasien. Sedangkan pencegahan VAP secara farmakologi meliputi dekolonisasi
traktus aerodigestif, pencegahan pembentukan biofilm kuman, dan menghindari
penggunaan profilaksis stress ulcer yang berlebihan. Meskipun pencegahan VAP
secara non farmakologi sudah menjadi prosedur baku di UPI namun angka kejadian
VAP masih cukup tinggi, sehingga masih perlu ditambahkan pencegahan VAP secara
farmakologi.
Pencegahan VAP secara farmakologi terbukti mampu menurunkan kejadian
VAP bila dibandingkan dengan pencegahan non farmakologi saja. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa dekolonisasi traktus aerodigestif bisa menurunkan
kejadian VAP secara bermakna. Dekolonisasi dapat dilakukan dengan cara selective
docontamination of the digestive (SDD) atau oropharyngeal decontamination (OD).
Semula dekolonisasi dilakukan dengan menggunakan antibiotika, baik topikal

10
dan/atau antibiotika sistemik. Namun ternyata pemakaian antibiotika menimbulkan
suatu keadaan resistensi bakteri terhadap antibiotika, sehingga saat ini pemakaian
rutin tidak lagi dianjurkan.
Dekolonisasi juga dapat dilakukan dengan OD menggunakan antiseptik.
Berdasarkan penelitian Dourrier dkk. didapatkan data bahwa terdapat pengurangan
jumlah kolonisasi bakteri gigi sebesar 37% pada pasien yang mendapatkan OD
memakai gel chlorhexidine 0,12%. Pengurangan jumlah kolonisasi ini potensial
mengurangi insiden infeksi nosokomial di UPI. Center for Disease Control and
Prevention (CDC) mempublikasikan bahwa pemakaian chlorhexidine 0,12% pada
perioperatif bedah jantung terbukti dapat menurunkan risiko terjadinya VAP. Pada
penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Chan dan kawan-kawan, dari 11
penelitian diperoleh data bahwa chlorhexidine mampu mengurangi insiden VAP
bukan hanya pada pasien pasca bedah jantung tapi juga pada pasien yang dirawat di
UPI.
Chlorhexidine merupakan antimikroba dengan spektrum luas yang sangat
efektif untuk menghambat bateri Gram (-), Gram (+), ragi, jamur, protozoa, algae dan
virus. Chlorhexidine berbahan dasar gelatin terhidrolisa, mempunyai muatan positif,
setelah berinteraksi dengan permukaan sel akan menghancurkan membran sel untuk
masuk ke dalam sel. Kemudian chlorhexidine akan mempresipitasi sitoplasma
sehingga terjadi kematian sel. Chlorhexidine akan diserap oleh lapisan hidroksiapatit
permukaan gigi kemudian akan dilepaskan perlahan-lahan dalam bentuk aktif sampai
dengan 7-10 hari berikutnya. Pada penelitiannya, Greenfeld dkk. menyatakan bahwa
chlorhexidine mempunyai kemampuan untuk menghambat pembentukan biofilm,
suatu mekanisme kuman untuk menginvasi tubuh host. Hal ini didukung oleh McGee
DC dan Gould MK. yang menyatakan bahwa chlorhexidine lebih efektif mencegah
pembentukan biofilm bila dibandingkan dengan povidone iodine. Chlorhexidine
kurang bersifat toksik terhadap jaringan bila dibandingkan dengan povidone iodine
dan cukup aman digunakan pada ulserasi aptosa, hal yang sering dijumpai pada pasien
sakit kritis.
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengatasi VAP adalah dengan VAP
bundle. VAP bundle digambarkan sebagai sekelompok intervensi untuk membantu
mencegah VAP (Futaci, 2013). Pentingnya VAP bundle dalam pencegahan infeksi
nosokomial adalah dapat mengurangi biaya 10 kali lipat dan meningkatkan
keselamatan pasien dan kualitas pelayanan. Intervensi keperawatan kritis dilakukan
11
secara rutin telah terbukti mengurangi angka kejadian VAP (IHI, 2009). VAP bundle
untuk membantu mengurangi atau menghilangkan VAP meliputi elevasi kepala
tempat tidur (HOB) 30-45’, sedasi minimal, deep vein thrombosis (DVT) prophylaxis,
ulkus peptikum prophylaxis, menjaga cuff tetap mengembang, perawatan mulut (Oral
care). VAP bundle merupakan intervensi harian keperawatan untuk mencegah
terjadinya VAP yang harus didukung dengan pengetahuan perawat (Sari, 2011).
Ventilator associated pneumonia merupakan tantangan utama di ICU terkait
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Institute for Healthcare Improvement (IHI)
mengeluarkan sebuah rangkaian pencegahan VAP yang dinamakan VAP bundle
(VAPb). Lima rangkaian VAPb, yaitu elevasi (head of the bed) HOB 30–45 derajat,
terapi profilaksis tromboembolik, terapi profilaksis ulkus peptikum, evaluasi sedatif
harian, kesiapan esktubasi, dan perawatan oral. Penelitian di Inggris memaparkan
bahwa di rumah sakit yang menggunakan prosedur VAPb memiliki potensi penurunan
angka kejadian VAP sebesar 58%.

Observed
Practice of VCB items N (%)
1. Elevate head of the bed 30-45 ̊ unless
contraindicated.
2. Oral care using oral care kit (Chlorhexidine 1%
solution)
3. Use of appropriate sedation interruption protocol
4. GI prophylaxis and avoidance of abdominal
distention.
5. Carries out orders for DVT prophylaxis.

Gambar2. VAP Bundle

F. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan
kebutuhan atau masalah klien. Data yang di kumpulkan, meliputi data biologis,
pisikologis, sosial, dan spiritual. Kemampuan perawatan yang di harapakn dalam
melakukan pengkajian adalah mempunyai kesadaran atau tilik diri, kemampuan
mengopserfasi dengan akurat, kemampuan berkomunikasi terapeutik dan mampu
berespon secara efektif (Bararah dan Januar, 2013).
1. Identitas

12
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal MRS, nomor
register, dan diagnose medis (Purwanto, 2016).
2. Keluhan utama
Keluhan utama pada gangguan system pernafasan penting untuk mengenal
tanda serta gejala umum sistem pernafasan. Termasuk dalam keluhan utama
pada system pernafasan, yaitu batuk, batuk darah, produksi sputum berlebih,
sesak nafas, dan nyeri dada. (Muttaqin, 2008).
3. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian riwayat kesehatan sekarang pada system pernafasan seperti
menanyakan riwayat penyakit sejak timbulnya keluhan hingga klien meminta
pertolongan. Setiap keluhan utama harus di tanyakan kepada klien dengan
sedetail-detailnya dan semua di terangkan pada riwayat kesehatan sekarang
(Muttaqi, 2008).
4. Riwayat penyakit dahulu
Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah di alami klien
sebelumnya, yang dapat mendukung dengan masalah system pernafasan.
Misalnya apakah klien pernah di rawat sebelumnya,dengan sakit apa, apakah
pernah mengalami sakit yang cukup berat, pengobatan yang pernah di jalani
riwayat alergi
5. Riwayat penyalit keluarga
Menurut muttaqinm (2008), Pengkajian riwayat kesehatan keluarga pada
sistem pernafasan adalah hal yang mendukung keluhan penderita, perlu di
cari riwayat keluarga yang dapat memberikan presdiposisi keluhan seperti
adanya riwayat sesak nafas, batuk dalam jangka waktu lama, seputum
berlebih dari generasi terdahulu yaitu meliputi :
a Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
b Pola hubungan dan peran
c Pola persepsi dan konsep diri
d Pola sensori dan kognitif
e Pola reproduksi seksual
f Pola koping
g Pola tata nilai dan kepercayaan
6. Pengkajian pola-pola fungsi Kesehatan

13
a. Pola nutrisi dan metabolisme
b. Pola eliminasi
c. Pola aktivitas dan Latihan
d. Pola tidur dan istirahat
e. Pola hubungan dan peran
f. Pola persepsi dan konsep diri
7. Pemerikasaan fisik
a. Keadaan umum; biasanya pada pasien pneumonia tampak lemas sesak
nafas dan batuk respirasi takipnea, dyspnea.
b. Kepala
Rambut terlihat kotor atau tidak, mudah rontok atau tidak, penyebaran
rambut merata atau tidak, dan warna rambut sama atau tidak
c. Mata
Pada pemeriksaan mata terda[pat konjungtiva yang tampak anemis atau
tidak.
d. Hidung
Pada pemeriksan hidung penderita pneumonia tidak mengalami gangguan
yang aman menonjol
e. Telinga
Pada pemeriksaan telinga tidak ditemukan serumen dan keaddan yang
abnormal
f. Mulut
Bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor, dan adanya bau mulut
g. Payudara dan ketiak
Inspeksi ukuran, kesimentrisan dan bentuk payudara, lihat penyebaran
rambut ketiak.
h. Pemeriksaan paru
Inspeksi paru
1) Kaji bentuk toraks, apakah normal atau ada kelainan seperti bentuk
dada barel (tong), bentuk dada pigeon (burung), bentuk dada fiunner
(cekung).
2) Status pernafasan frekuensi pernafasan; Frekuensi pernafasan
Menghitung frekuensi pernafasan, normalnya adalah 12- 20x/menit.

14
Pernafasan di atas 20x/menit di sebut seabgai takipenea dan kurang
dari 12x/menit di sebut bradipnea.
3) Pola pernapasan
Melihat pola dan irama pernafasan apakah teratur (apnea) atau ada
perubahan pola pernapasan seperti :
a) Sighing ( mendesah ) merupakan pernapasan involunter (tidak
disadari) yang menghasilkan volume tidal 1,5 – 2 kali lebih besar
dibandingkan pola pernapasan normal. Pola pernapasan ini sering
dijumpai pada pasien dengan kecemasan.
b) Cheyne-Stokes merupakan pola pernapasan
crescendodecrescendo berupa pola pernapasan yang dangkal
namun semakin lama semakin dalam dan disertai dengan periode
apnea (henti napas). Pola pernapasan ini terjadi pada klien
dengan gagal jantung dank arena adanya gangguan jantung dan
karena adanya gangguan pada pusat control pernapasan.
c) Agonal merupakan pola pernapasan dengan karakteristik lambat
dan dangkal secara ireguler yang terjadi akibat penurunan
oksigen serebral
d) Apnea merupakan berhentinya pernapasan. Pola pernapasan ini
mengancam nyawa jika klien tidak segera diberikan resusitasi.
e) Kussmaul merupakan pola pernapasan cepat dan dalam. Pola
perna[asan ini ditemui pada klien dengan diabetik ketoasidosis
stadium lanjut.
f) Biot merupakan pernapasan cepat dan dalam yang diselingi
dengan periode apnea. Pola pernapasan ini terjadi pada klien
yang mengalami kerusakan pada pons akibat stroke, trauma, atau
herniasi serebral. 7. Apneustik merupakan peningkatan periode
inspirasu dengan pemendekan fase ekspirasi.
Palpasi paru
Menurut Sumantri (2008), dalam Puapitasari (2019),
mendiskripsikan pemeriksaan fisik kedalam dua bagian, yaitu palpasi
dada torak posterior dan palpasi torak anterior.
Perkusi paru

15
Menurut Sumantri (2008), dalam Puapitasari (2019),
mendiskripsikan pemeriksaan fisik melalui perkusi ke dalam dua bagian,
yaitu perkusi toraks posterior dan perkusi toraks anterior.
Auskultasi paru
Menurut Sumantri (2008), dalam Puapitasari (2019), menyatakan
bahwa ouskultasi dapat meliputi oskultasi toraks osterior dan auskultasi
toraks anterior.
i. Pemeriksaan jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS5 midklavikula sinistra
Perkusi : terdengar bunyi peka auskultas tidak ada bunyi tambahan
j. Pemeriksaan abdomen perut simetris atau tidak warna kulit merata tidak
ada lesi.
k. Pemeriksaan ekstremitas
Ekstermitas atas dan bawah Simetris atau tidak warna kulit rata atau tidak
ada odema atau tidak ada benjolan atau tidak ada nyeri tekan atau tidak.
l. Pemeriksaan integumen Warna kulit merata akral hangat, kulit kasar atau
halus dan lembab atau kering.
m. Genetalia
terpasang kateter atau tidak ada perdarahan atau tidak, rambut pubis
meata atau tidak, ada lesi atau tidak, ada atau tidak benjolan ataupun
nyeri tekan pada genetalia.
8. Pemenrikasaan penunjang
Merutut Misnadiarly (2008), pemeriksaan penunjang pada pendrita
pneumonia yaitu :
a. Sinar X
Mengidentifikasikan distribusi strukstrual (missal, lobar, bronchial) dapat
juga menyatakan abses luas atau infiltrate empiema (stapilococcus)
infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bacterial) atau penyebaran atau
perluasan infiltrate nodul (lebih sering virus). Pada pneumonia
mikoplasma sinar X dada mungkin bersih.
b. Gula darah acak (GDA)
Tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat
dan penyakiy paru yang ada

16
c. Laju endap darah (LED meningkat)
d. Fungsi paru hipoksemia, volume menurun, tekanan jalan nafas
meningkatkan dan komplen menurun.
e. Elektrolit Na dan Cl mungkin rendah.
f. Bilirubin meningkat.
g. Aspirasi atau biopsy jaringan paru.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan kebersihan jalan nafas berhubungan dengan inflamasi dan
obstruksi jalan nafas.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan
dan deformitas dinding dada.
c. Intolerasi aktivitas berhubungan dengan isolasi respiratory.
d. ketidakseimbangan nutrsi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual muntah

17
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
B. Saran

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdelrazik Othman, A., & Salah Abdelazim, M. (2017). Ventilator-associated pneumonia in


adult intensive care unit prevalence and complications. The Egyptian Journal of Critical
Care Medicine, 5(2), 61–63. https://doi.org/10.1016/j.ejccm.2017.06.001
Chastre J, Fagon JY. Ventilator associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med
2002;65:67-903.
Ewig E, Bauer T, Torres A. The pulmonary physician in critical care: nosocomial pneumonia.
Thorax 2002;57:366-71.
Ibrahim EH, Tracy L, Hill C, Fraser VJ, Kollef MH. The occurrence of ventilatorassociated
pneumonia in a community hospital. Chest 2001;120:555-61.
Klompas, M., Branson, R., Eichenwald, E. C., Greene, L. R., Howell, M. D., Lee, G., …
Berenholtz, S. M. (2014). Strategies to Prevent Ventilator-Associated Pneumonia in
Acute Care Hospitals: 2014 Update. Infection Control & Hospital Epidemiology,
35(08), 915–936. https://doi.org/10.1086/677144
Kollef M. Prevention of hospital-associated pneumonia and ventilator associated
pneumonia. Crit Care Med 2004;32:1396- 405.
Lahoorpour, F., Delpisheh, A., & Afkhamzadeh, A. (2013). Risk factors for acquisition of
ventilator-associated pneumonia in adult intensive care units. 29(5), 1105–1107.
Mendes, P., Rodrigues, D. A., Neto, C., Rodrigo, L., Santos, D. C., & Knibel, M. F. (2009).
Ventilator-associated pneumonia: epidemiology and impact on the clinical evolution of
ICU patients. 35(April), 1084–1091
Noyal, M., Sujatha, S., Tarun, K., Ashok, S., & Subhash, C. (2010). European Journal of
Internal Medicine Ventilator-associated pneumonia: A review. European Journal of
Internal Medicine, 21(5), 360–368. https://doi.org/10.1016/j.ejim.2010.07.006
Pohan, H. T. (2005). Secondary pneumonia in tetanus patients: A review of six selected
cases (case report). Medical Journal of Indonesia, 14(2), 117–121.
https://doi.org/10.13181/mji.v14i2.179
Rello J, Lorente C, Diaz E, BodiM, Boque C, SandiumengeA, et al. Incidence, etiology and
outcome of nosocomial pneumonia in ICU patients requiring percutaneous tracheotomy
for mechanical ventilation. Chest 2003;124:2239-11
Safdar, N., Crnich, C. J., & Maki, D. G. (2005). The pathogenesis of ventilatorassociated
pneumonia: Its relevance to developing effective strategies for prevention. Respiratory
Care, 50(6), 725–739. Sahiner, Y. (2018). Indications for Endotracheal Intubati

19
Sallam SA, Arafa MA, Razek AA, Naga M, Hamid MA: Device-related nosocomial infection
in intensive care units of Alexandria University Students Hospital. Eastern
Mediterranean Health Journal. 2005;11:52-61.
Wu, D., Wu, C., Zhang, S., & Zhong, Y. (2019). Risk Factors of Ventilator Associated
Pneumonia in Critically III Patients. 10(May), 1–7.
https://doi.org/10.3389/fphar.2019.0048
Xu, Y., Lai, C., Xu, G., Meng, W., Zhang, J., Hou, H., & Pi, H. (2019). Risk factors of
ventilator-associated pneumonia in elderly patients receiving mechanical ventilation.
1027–1038.

20

Anda mungkin juga menyukai