Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENERAPAN PROSEDUR PENCEGAHAN INFEKSI DI

INSTALASI BEDAH SENTRAL SELAMA MASA PANDEMI

Dosen Pengampu :
Sapta Rahayu N, S.Pd., S.Kep., Ns., M.Kep

Kelompok 4

1. MOH. ASRUL (P07120721005)


2. PAMUJI WIYANA (P07120721040)
3. SUSILO (P07120721025)
4. FX JIMMIE MANTOW (P07120721039)
5. KHAIRIL FUADI (P07120721007)
6. SUPRIADINATA (P07120721033)

PROGAM STUDI ALIH JENJANG


SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat – Nya,
serta ridha-Nya sehingga Makalah “Penerapan Prosedur Pencegahan Infeksi Di
Instalasi Bedah Sentral Selama Masa Pandemi” ini dapat terselesaikan tepat
pada waktunya.
Adapun penyelesaian makalah ini tak luput dari bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Ibu Sapta Rahayu N, S.Pd., S.Kep., Ns., M.Kep selaku Dosen mata kuliah
Anatomi, Fisiologi, Kardiorespirasi dan Neurologi.
2. Teman-teman yang ikut serta dalam membantu menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Dengan
kerendahan hati, kami memohon maaf apabila kesalahan dan ketidaksesuaian.
Sehingga saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan. Demikian kata
pengantar ini kami sampaikan Wassalamualaikum wr.wb.

Yogyakarta, Juni 2021

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 2
C. Tujuan .................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Infeksi .................................................................................................... 4
B. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ................................................... 6
C. Penerapan Prosedur Pencegahan Infeksi Di Instalasi Bedah Sentral
Selama Masa Pandemi .......................................................................... 7
1. Tingkat Risiko COVID-19 pada Pasien yang akan Menjalani
Operasi ............................................................................................. 8
2. Rekomendasi untuk Operasi Emergensi .......................................... 9
3. Rekomendasi untuk Operasi Elektif ................................................ 10
4. Manajemen selama Operasi ............................................................. 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 15
B. Saran ...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ iv

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi merupakan proses masuknya mikroorganisme (bakteri, jamur,
dan virus) ke dalam tubuh yang kemudian berkembang biak dan menimbulkan
penyakit. Mikroorganisme yang paling sering menyebabkan infeksi ialah
bakteri (Radji, 2011). Infeksi bisa terjadi dimana dan kapan saja, bahkan infeksi
dapat terjadi di tempat pelayanan kesehatan. Tempat pelayanan kesehatan
seperti klinik, laboratorium, puskesmas dan rumah sakit merupakan suatu
tempat dimana terdapat banyak orang yang ingin mendapatkan pengobatan,
perawatan dan mendapatkan kesembuhan dari suatu penyakit. Namun,
terkadang penyakit yang semula hanya memiliki satu penyebab penyakit, ketika
berada di tempat pelayanan kesehatan seorang pasien bisa mendapatkan
penyakit lain karena infeksi yang didapatkan dari tempat pelayanan tersebut,
atau sering disebut sebagai infeksi nosokomial (Darmadi, 2008).
Ruang operasi adalah suatu lingkungan yang terkendali, dan semua
praktik yang berkaitan dengan pengendalian lingkungan difokuskan pada hasil
akhir, tidak adanya infeksi pascaoperasi. Ruang operasi juga dapat menjadi
sumber utama infeksi nosokomial yang disebabkan bermacam-macam
mikroorganisme (Mutaqin,2009).
Infeksi nosokomial adalah salah satu resiko kerja yang dihadapi oleh
tenaga kesehatan di rumah sakit. Darah dan cairan tubuh sebagai media
penularan penyakit dari pasien kepada petugas kesehatan. Tenaga kesehatan
terbanyak di rumah sakit memiliki kontak yang paling lama dengan pasien dan
pekerjaan yang beresiko kontak dengan darah, cairan tubuh pasien, termasuk
jarum suntik bekas pasien, dan bahaya-bahaya lain yang dapat menjadi media
penularan penyakit. Human imuno deffeciency Virus (HIV), Hepatitis B (HBV)
dan virus Hepatitis C (HBC) merupakan ancaman terbesar bagi tenaga
kesehatan (Yusran,2008).

1
Standar pencegahan infeksi sangat penting diterapkan di ruang operasi,
mengingat adanya kontak dengan darah dan cairan tubuh pasien yang
meningkatkan pajanan dari pasien ke petugas perioperatif (Muttaqin,
2009).Penerapan kewaspadaan standar diharapkan dapat menurunkan risiko
penularan pathogen melalui darah dan cairan tubuh lain dari sumber yang
diketahui maupun yang tidak diketahui. Penerapan ini merupakan pencegahan
dan pengendalian infeksi yang harus rutin dilaksanakan terhadap semua pasien
dan semua fasilitas pelayanan kesehatan (WHO, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Masloman, Kandou, Tilaar (2011)
tentang Analisis Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Kamar
Operasi RSUD Dr Sam Ratulangi Tondano didapatkan hasil belum berjalan
sesuai dengan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi Kementerian
Kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Tobe (2013) tentang hubungan
pengetahuan perawat kamar bedah dengan kepatuhan dalam mengelola limbah
benda tajam di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP DR. Soeradji Tirtonegoro
Klaten didapatkan hasil pengetahuan dengan kepatuhan kategori kurang baik
dan tidak patuh sebanyak 13 orang (36,1%). Dari hasil penelitian tersebut dapat
diketahui bahwa pengetahuan tenaga kesehatan yang masih rendah tentang
kewaspadaan standar terutama pada pengelolaan limbah di Instalasi Bedah
Sentral memungkinkan pencegahan terhadap infeksi tidak bisa dilaksanakan
dengan baik. Selain itu, kepatuhan tenaga kesehatan yang masih rendah dalam
melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang sesuai dengan SOP
dapat menyebabkan timbulnya infeksi yang semakin meningkat dan dapat
berdampak bagi kesehatan pasien maupun tenaga kesehatan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini adalah
bagaimana penerapan prosedur pencegahan infeksi di Instalasi Bedah Sentral
selama masa pandemi.

2
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah diketahui penerapan prosedur
pencegahan infeksi di Instalasi Bedah Sentral selama masa pandemi.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Infeksi
Infeksi adalah proses invasif oleh mikroba dan berproliferasi didalam
tubuh yang menyebabkan timbulnya penyakit (Potter & Perry, 2005). Yang
termasuk mikroba yaitu bakteri, jamur dan virus. Sebagian besar
mikroorganisme yang ditemukan di tanah, air, bahan-bahan yang sedang
membusuk, maupun kebanyakan patogen, mempunyai suhu kardinal (utama)
berada pada rentang 10ºC–45ºC (Irianto, 2006). Rentang suhu tersebut dimiliki
oleh wilayah tropis seperti Indonesia. Kelembaban di wilayah tropis juga
berperan dalam pertumbuhan mikroorganisme, salah satunya jamur yang
bersifat patogen, seperti Candida albicans (Arifin, 2006).
Infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan
bersifat sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup tentunya ingin
bertahan hidup dengan cara berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok
dan mampu mencari reservoir baru dengan cara berpindah atau menyebar.
Penyebaran mikroba patogen ini tentunya sangat merugikan bagi orang-orang
yang dalam kondisi sehat, dan lebih-lebih bagi orang-orang yang sedang dalam
keadaan sakit (penderita). Orang yang sehat akan menjadi sakit dan orang yang
sedang sakit serta sedang dalam proses asuhan keperawatan di rumah sakit akan
memperoleh “Tambahan beban penderita” dari penyebaran mikroba patogen ini
(Darmadi, 2008).
Berdasarkan sumber infeksi, maka infeksi dapat berasal dari
masyarakat/komunitas (Community Acquired Infection) atau dari rumah sakit
(Healthcare-Associated Infections/HAIs). Penyakit infeksi yang didapat di
rumah sakit beberapa waktu yang lalu disebut sebagai Infeksi Nosokomial
(Hospital Acquired Infection). Saat ini penyebutan diubah menjadi Infeksi
Terkait Layanan Kesehatan atau “HAIs” (Healthcare-Associated Infections)
dengan pengertian yang lebih luas, yaitu kejadian infeksi tidak hanya berasal

4
dari rumah sakit, tetapi juga dapat dari fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Tidak terbatas infeksi kepada pasien namun dapat juga kepada petugas
kesehatan dan pengunjung yang tertular pada saat berada di dalam lingkungan
fasilitas pelayanan kesehatan (PMK no 27 thn 2017).
Jenis dan Faktor Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan atau
“Healthcare-Associated Infections” (HAIs) meliputi :
1. Jenis HAIs yang paling sering terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan,
terutama rumah sakit mencakup :
a. Ventilator associated pneumonia (VAP), yaitu pneumonia yang terjadi
lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal akibat dari
mikroorganisme yang masuk saluran pernapasan bagian bawah melalui
aspirasi sekret orofaring yang berasal dari bakteri endemik di saluran
pencernaan atau patogen eksogen yang diperoleh dari peralatan yang
terkontaminasi atau petugas Kesehatan.
b. Infeksi Aliran Darah (IAD), yaitu infeksi serius dimana bakteri atau
jamur yang berada di saluran darah yaitu bakteri atau jamur yang boleh
diisolasi dengan melakukan kultur darah ataupun “blood culture”.
Orang awam dapat menggunakan istilah “keracunan darah” untuk
menunjukkan adanya infeksi aliran darah.
c. Infeksi Saluran Kemih (ISK), yaitu kondisi ketika organ yang termasuk
dalam sistem kemih seperti ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra
mengalami infeksi. Umumnya, ISK terjadi pada kandung kemih dan
uretra.
d. Infeksi Daerah Operasi (IDO).
2. Faktor Risiko HAIs meliputi :
a. Umur : neonatus dan orang lanjut usia lebih rentan.
b. Status imun yang rendah/terganggu (immuno-compromised) : penderita
dengan penyakit kronik, penderita tumor ganas, pengguna obat-obat
imunosupresan.
c. Gangguan/Interupsi barier anatomis :
1) Kateter urin : meningkatkan kejadian infeksi saluran kemih (ISK).

5
2) Prosedur operasi : dapat menyebabkan infeksi daerah operasi (IDO)
atau “surgical site infection” (SSI).
3) Intubasi dan pemakaian ventilator: meningkatkan kejadian
“Ventilator Associated Pneumonia” (VAP).
4) Kanula vena dan arteri : Plebitis, IAD
5) Luka bakar dan trauma.
d. Implantasi benda asing :
1) Pemakaian mesh pada operasi hernia.
2) Pemakaian implant pada operasi tulang, kontrasepsi, alat pacu
jantung “cerebrospinal fluid shunts”.

B. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi


Health-care Associated Infections (HAIs) merupakan komplikasi yang
paling sering terjadi di pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal sebagai
Infeksi Nosokomial atau disebut juga sebagai Infeksi di rumah sakit ”Hospital
Acquired Infections” merupakan persoalan serius karena dapat menjadi
penyebab langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Kalaupun tak
berakibat kematian, pasien dirawat lebih lama sehingga pasien harus membayar
biaya rumah sakit yang lebih banyak.
HAIs adalah penyakit infeksi yang pertama muncul (penyakit infeksi
yang tidak berasal dari pasien itu sendiri) dalam waktu antara 48 jam dan empat
hari setelah pasien masuk rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya,
atau dalam waktu 30 hari setelah pasien keluar dari rumah sakit. Dalam hal ini
termasuk infeksi yang didapat dari rumah sakit tetapi muncul setelah pulang
dan infeksi akibat kerja terhadap pekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.
Angka kejadian terus meningkat mencapai sekitar 9% (variasi3-21%)
atau lebih dari 1,4 juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia.Kondisi
ini menunjukkan penurunan mutu pelayanan kesehatan.Tak dipungkiri lagi
untuk masa yang akan datang dapat timbul tuntutan hukum bagi sarana
pelayanan kesehatan, sehingga kejadian infeksi di pelayanan kesehatan harus
menjadi perhatian bagi Rumah Sakit. Pasien, petugas kesehatan, pengunjung

6
dan penunggu pasien merupakan kelompok yang berisiko mendapat HAIs.
Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari
pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari
petugas kepada pasien. Dengan demikian akan menyebabkan peningkatan
angka morbiditas, mortalitas, peningkatan lama hari rawat dan peningkatan
biaya rumah sakit.
Beberapa rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan merupakan
lahan praktik bagi mahasiswa/siswi serta peserta magang dan pelatihan yang
berasal dari berbagai jenjang pendidikan dan institusi yang berbeda-beda. Tak
diragukan lagi bahwa semua mahasiswa/siswi dan peserta magang/pelatihan
mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam penularan infeksi dan akan
beresiko mendapatkan HAIs. Oleh karena itu penting bagi mahasiswa/siswi,
peserta magang/pelatihan, termasuk juga karyawan baru memahami proses
terjadinya infeksi, mikroorganisme yang sering menimbulkan infeksi, serta
bagaimana pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit. Sebab bila
sampai terjadi infeksi nosokomial akan cukup sulit mengatasinya, pada
umumnya kuman sudah resisten terhadap banyak antibiotika. Sehingga semua
mahasiswa/siswi, peserta magang/pelatihan yang akan mengadakan praktik di
rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, termasuk juga karyawan
baru yang akan bertugas harus diberikan Layanan Orientasi dan Informasi
(LOI) tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

C. Penerapan Prosedur Pencegahan Infeksi Di Instalasi Bedah Sentral


Selama Masa Pandemi
Ruang operasi adalah suatu lingkungan yang terkendali, dan semua
praktik yang berkaitan dengan pengendalian lingkungan difokuskan pada hasil
akhir, tidak adanya infeksi pascaoperasi. Ruang operasi juga dapat menjadi
sumber utama infeksi nosokomial yang disebabkan bermacam-macam
mikroorganisme (Mutaqin,2009).
Seiring dengan meningkatnya jumlah kasus konfirmasi Coronavirus
disease 2019, atau COVID-19, penting sekali bagi dokter dan rumah sakit untuk

7
memahami rekomendasi operasi selama pandemi ini, agar pencegahan dan
pengendalian infeksi dapat diterapkan dengan baik.
Pada akhir tahun 2019, dunia digemparkan dengan kasus pneumonia
yang disebabkan oleh virus Corona atau SARS-CoV-2 di Wuhan, Cina.
Penyebaran virus ini sangat cepat hingga menjadi pandemi dalam waktu
singkat. Tenaga kesehatan yang berada di garis depan dalam merawat
pasien COVID-19 memiliki risiko tinggi untuk terpapar virus. Kekurangan alat
pelindung diri (APD) dan pengetahuan tentang pencegahan dan pengendalian
infeksi (PPI) COVID-19 dapat meningkatkan risiko penularan infeksi terhadap
tenaga kesehatan. Walaupun tidak berada di garis terdepan, dokter bedah,
dokter anestesi, dan tenaga kesehatan ruang operasi lainnya memiliki risiko
tinggi tertular COVID-19, terutama selama operasi berlangsung. Berikut ini
mengenai rekomendasi untuk dokter bedah dan petugas kesehatan lain yang
terlibat dalam perawatan perioperatif untuk meningkatkan keamanan dan
keselamatan pasien maupun tim medis selama pandemi COVID-19.
1. Tingkat Risiko COVID-19 pada Pasien yang akan Menjalani Operasi.
Pertama-tama penting untuk diketahui bahwa pasien yang akan
menjalani pembedahan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori risiko
untuk COVID-19 sebagai berikut :
a. Pasien Konfirmasi atau dicurigai COVID-19.
Untuk kategori ini, COVID-19 dikonfirmasi ketika hasil tes
diagnostik real-time reverse transcriptase (RT-PCR) atau rapid
test (IgM dan IgG) untuk COVID-19 positif. Sedangkan definisi kasus
yang dicurigai COVID-19 terbagi dalam dua kategori. Kategori pertama
adalah pasien yang memiliki riwayat kontak dan memenuhi dua dari
manifestasi klinis (demam dan gejala pernapasan) disertai gambaran CT
scan toraks yang sesuai dengan COVID-19. Pada tahap awal infeksi,
jumlah total leukosit dapat ditemukan normal atau menurun dan jumlah
limfosit berkurang. Kategori kedua adalah pasien tanpa riwayat
epidemiologi yang jelas dan menunjukkan tiga manifestasi klinis, yaitu
demam, gejala pernapasan, dan gambaran CT scan toraks yang sesuai

8
dengan COVID-19. Hasil pemeriksaan darah sama seperti pada kategori
pertama, yaitu total leukosit dapat normal atau menurun dan jumlah
limfosit berkurang.
b. Pasien dengan Risiko Tinggi COVID-19.
Pasien pada kategori ini adalah pasien yang telah melakukan perjalanan
ke daerah dengan risiko tinggi COVID-19 atau telah melakukan kontak
dengan kasus konfirmasi atau orang yang dicurigai COVID-19 (yang
menderita demam dan/atau gejala penyakit pernapasan akut) dalam 14
hari terakhir.
c. Pasien dengan Risiko Rendah COVID-19.
Pasien kategori ini adalah pasien yang tidak memiliki riwayat kontak
dengan kasus konfirmasi atau orang yang dicurigai COVID-19 dan tidak
mengalami demam atau gejala pernapasan serta tidak menunjukkan
gambaran khas COVID-19 pada hasil CT scan toraks dalam 14 hari
terakhir.
Tingkat risiko semua pasien bedah harus dievaluasi sebelum atau
segera setelah masuk ke rumah sakit. Selain itu, tingkat risiko ini juga perlu
dievaluasi setiap hari. Pasien konfirmasi, pasien dengan risiko tinggi, atau
pasien yang dicurigai COVID-19 harus ditempatkan dalam ruangan khusus
dan protokol PPI berupa disinfeksi dan isolasi harus dilaksanakan. Perlu
diingat bahwa pasien konfirmasi dan pasien dengan risiko tinggi COVID-
19 dapat saja memerlukan ruang perawatan intensif, tindakan ventilasi,
bahkan mengalami kematian.
2. Rekomendasi untuk Operasi Emergensi.
Dokter bedah, dokter anestesi, dan perawat di kamar operasi perlu
dilatih untuk menggunakan alat pelindung diri (APD) secara benar. Dokter
bedah harus menjadwalkan operasi berdasarkan tingkat keparahan ancaman
terhadap kehidupan dan kesehatan pasien. Selama pandemi, operasi yang
diutamakan tetap berjalan adalah yang bersifat emergensi Semua pasien
yang dinilai membutuhkan operasi emergensi harus menjalani pemeriksaan
darah terkait COVID-19 dan CT scan toraks sebelum admisi. Selain itu,

9
pengambilan sampel swab faring harus selesai sebelum operasi. Pasien
harus ditempatkan di area transisi sambil menunggu hasil. Semua prosedur
operasi emergensi harus dilakukan dengan cepat dan efisien. Setelah masuk
rumah sakit, protokol operasi akan diterapkan berdasarkan tingkat risiko
pasien COVID-19, yaitu :
a. Pada pasien konfirmasi atau pasien yang diduga COVID-19, dokter
bedah perlu melapor ke manajemen epidemi rumah sakit (jika ada),
departemen pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI), dan ruang
operasi sebelum operasi dilakukan. Operasi pada pasien dengan kategori
ini harus dilakukan di ruang operasi bertekanan negatif. Penggunaan
APD level 3 (topi bedah sekali pakai, masker N95, baju kerja, baju
pelindung medis sekali pakai, sarung tangan lateks sekali pakai,
perangkat pelindung pernapasan wajah penuh) diperlukan untuk
prosedur anestesi dan prosedur bedah. Setelah operasi selesai, pasien
dipindahkan ke ruang isolasi.
b. Pada pasien dengan risiko tinggi COVID-19, setelah persiapan
praoperasi selesai, dokter anestesi, dokter bedah dan perawat harus
menggunakan APD level 3 untuk prosedur anestesi dan prosedur bedah.
Setelah operasi selesai, pasien dikembalikan ke ruang isolasi.
c. Pada pasien dengan risiko rendah COVID-19, penggunaan APD secara
umum (topi bedah sekali pakai, masker bedah, baju kerja dan sarung
tangan lateks sekali pakai dan/atau pakaian isolasi sekali pakai jika
perlu) dapat diterapkan saat prosedur anestesi dan bedah. Setelah
operasi, pasien dipindahkan ke bangsal.
3. Rekomendasi untuk Operasi Elektif.
Pada awal pandemi, American College of Surgeons (ACS)
merekomendasikan untuk menunda operasi yang tidak urgen. Namun saat
ini, ACS telah mengklasifikasikan jenis operasi elektif ke dalam berbagai
tingkatan sesuai dengan urgensi operasi. Dari kelompok 1a hingga 2b, di
mana sebagian besar adalah operasi elektif, seperti kolonoskopi dan carpal
tunnel release, disarankan untuk ditunda. Untuk kelompok 3a dan 3b, di

10
mana sebagian besar merupakan operasi kanker, penundaan tidak
disarankan meskipun keputusan ini nantinya mungkin dapat berubah.
Elective Surgery Acuity Scale (ESAS) dari St. Louis University dapat
digunakan sebagai panduan untuk melakukan operasi elektif selama era
pandemi COVID-19, dengan rinciannya sebagai berikut :

Table 1 Rekomendasi Operasi Elektif.


Kelo Contoh Lokasi Rekomendasi
Definisi
mpok Operasi Operasi Tindakan
1a Low acuity Kolonosko Instalasi Tunda operasi
surgery/healthy pi, rawat jalan atau operasi di
patient endoskopi, rumah sakit, pusat bedah
- Operasi rawat carpal pusat bedah ambulatori
jalan tunnel ambulatori,
- Bukan release rumah sakit
penyakit yang tanpa atau
mengancam dengan kasus
jiwa COVID-19
- Pada pasien yang rendah
sehat
1b Low acuity Instalasi Tunda operasi
surgery/unhealth rawat jalan atau operasi di
y patient rumah sakit, pusat bedah
- Operasi rawat pusat bedah ambulatori
jalan ambulatori,
- Bukan rumah sakit
penyakit yang tanpa atau
mengancam dengan kasus
jiwa COVID-19
yang rendah

11
- Pada pasien
sakit
2a Intermediate Kanker Instalasi Tunda operasi
acuity risiko rawat jalan bila
surgery/healthy rendah / rumah sakit, memungkin
patient low risk pusat bedah kan atau
- Tidak cancer, ambulatori, operasi di
mengancam tulang rumah sakit pusat bedah
jiwa tetapi belakang tanpa atau ambulatori
berpotensi tidak dengan kasus
untuk urgen, COVID-19
morbiditas kolik ureter yang rendah
dan mortalitas
di kemudian
hari.
- Membutuhkan
Perawatan di
rumah sakit
- Pada pasien
sehat
2b Intermediate Instalasi Tunda operasi
acuity rawat jalan bila
surgery/healthy rumah sakit, memungkin
patient pusat bedah kan atau
ambulatori, operasi di
rumah sakit pusat bedah
tanpa atau ambulatori
dengan kasus
COVID-19
yang rendah

12
3a High acuity Sebagian Rumah sakit Jangan
surgery/healthy besar menunda
patient kanker, operasi
3b High acuity pasien Rumah sakit Jangan
surgery/unhealth yang menunda
y patient sangat operasi
bergejala
Sumber: American College of Surgeons. COVID-19: guidance for triage of
non-emergent surgical procedures.

Menurut Indian Council of Medical Research, pasien berisiko tinggi


yang akan menjalani operasi elektif perlu untuk menjalani pemeriksaan RT-
PCR COVID-19 sebelum operasi, dengan pedoman sebagai berikut :
a. Jika hasil tes RT-PCR pasien dua kali negatif, operasi dapat dilakukan.
b. Jika hasil tes RT-PCR pasien positif, pasien perlu dipindahkan ke ruang
isolasi untuk menyelesaikan persiapan praoperasi. Operasi elektif harus
ditunda sampai pasien pulih. Jika operasi emergensi perlu dilakukan
pada pasien tersebut, semua protokol dan rekomendasi pencegahan yang
telah disebutkan sebelumnya untuk pembedahan emergensi kasus
COVID-19 harus diikuti dengan ketat. APD level 3 perlu digunakan
untuk prosedur anestesi dan bedah. Setelah operasi, pasien
dikembalikan ke ruang isolasi.
4. Manajemen selama Operasi.
Selama operasi, semua cairan tubuh pasien, termasuk darah, sekret,
dan ekskreta harus dianggap berpotensi terkontaminasi. Secara khusus, tim
medis di ruang operasi harus menghindari tindakan yang dapat
menghasilkan aerosol saat menggunakan peralatan bedah elektronik. Ada
beberapa pendapat bahwa virus, seperti: HIV, HPV, dan HBV,dapat
bertahan hidup dalam asap yang dihasilkan oleh instrumen bedah. Meskipun
tidak ada bukti bahwa COVID-19 dapat ditularkan melalui asap
pembedahan, ada baiknya mengambil tindakan pencegahan sampai ada

13
bukti bahwa hal itu tidak benar. Untuk mengurangi bahaya, asap
pembedahan harus diminimalkan dengan alat penghisap dan peralatan
bedah yang menghasilkan asap harus digunakan dengan daya terendah.
Tindakan pembedahan laparoskopi disarankan untuk tidak
dilakukan. Laparoskopi sebaiknya dihindari karena kebocoran pneumo
peritoneum bertekanan tinggi dari trokar meningkatkan risiko paparan
aerosol pada tim bedah. Ahli bedah dan perawat harus menghindari cedera,
seperti luka tusukan dan cedera akibat jarum suntik selama operasi.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan meningkatnya jumlah kasus COVID-19 di seluruh dunia,
penting sekali untuk mencegah dan mengendalikan infeksi, termasuk
diperlukan protokol rekomendasi untuk perawatan pasien bedah dan
keselamatan tim bedah. Pasien yang akan menjalani prosedur pembedahan
perlu untuk diklasifikasikan sesuai tingkatan risikonya. Operasi yang bersifat
emergensi dapat tetap dilakukan dengan penggunaan APD memadai dan
pemakaian ruangan sesuai dengan tingkat risiko COVID-19. Sedangkan untuk
operasi elektif, disarankan untuk ditunda selama era pandemi. Namun, bila
perlu dilakukan operasi elektif, dapat menggunakan panduan Elective Surgery
Acuity Scale (ESAS) dari St. Louis University, dengan mempertimbangkan
beberapa hal seperti tingkat ancaman jiwa, risiko morbiditas dan mortalitas di
kemudian hari bila operasi ditunda, dan perlunya perawatan di rumah sakit.
Untuk keselamatan tim bedah, selama operasi diusahakan tidak kontak dengan
cairan tubuh pasien termasuk darah, sekret, dan ekskreta. Juga perlu untuk
menghindari tindakan yang bersifat aerosol saat menggunakan peralatan bedah
yang menghasilkan asap. Tindakan laparoskopi perlu dihindari karena dapat
mengakibatkan kebocoran pneumoperitoneum bertekanan tinggi dari trokar
yang bersifat aerosol.

A. Saran
Dengan meningkatnya jumlah kasus COVID-19 di seluruh dunia,
penting sekali untuk mencegah dan mengendalikan infeksi, termasuk
diperlukan protokol rekomendasi untuk perawatan pasien bedah dan
keselamatan tim bedah. Semakin meningkat jumlah kasus COVID-19 maka
semakin meningkat pula resiko infeksi silang terhadap petugas kesehatan. Maka

15
dari itu Penerapan Prosedur Pencegahan Infeksi Di Instalasi Bedah Sentral
Selama Masa Pandemi sangat penting dilakukan sesuai prosedur.

16
DAFTAR PUSTAKA

Radji, Maksum. 2011. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi &
Kedokteran, EGC, Jakarta
Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya, Jakarta.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari, 2009, Asuhan Keperawatan Perioperatif,. Konsep
, Proses, Dan Aplikasi. Jakarta
Potter, P.A, Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, dan Praktik, Edisi 4, Volume 2, Alih Bahasa : Renata Komalasari,
dkk. EGC. Jakarta
Irianto, K., 2006. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme, jilid 1, Yrama
Widya, Bandung.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017. Tentang
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan
The American College of Surgeons. 2020. COVID-19: Guidance for Triage of Non-
Emergent Surgical Procedures, https://www.facs.org/covid-19/clinical-
guidance/ triage, diakses pada 10 Juni 2021 pukul 16.00.
Seputra, dr. Sonny, Sp.B, M.Ked.Klin, FINACS, 2020. Rekomendasi Operasi
Selama Era Pandemi COVID-19, https://www.alomedika.com/cme-
rekomendasi-operasi-selama-era-pandemi-covid-19, diakses pada 10 Juni
2021 pukul 18.00.

iv
17

Anda mungkin juga menyukai