(KEPERAWATAN KRITIS)
Hepta Nur Anugrahini, S.Kep., Ns, M.Kep
DI SUSUN OLEH:
NINDYTA SALSABILLA ABDI
P27820821038
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Ventilator Assosiated Pneumonia” dengan
tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis.
Penulis mengucapkan terima kasih terhadap berbagai sumber yang telah memberikan
informasi sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan mudah.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
COVER............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Penelitian salah satu Rumah Sakit di Indonesia, yakni di RSUP Sanglah Denpasar
Pada Tahun 2014 yang dilakukan oleh Ni Luh Nyoman Adi Parwati, Angka kejadian VAP
1
cukup tinggi, antara 10-25% dan angka kematiannya berkisar antara 10-40%, serta bisa
mencapai 76% pada pasien yang mengunakan ventilasi mekanik yang disebabkan oleh
kuman pathogen dan penumpukan secret ditrakea. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Nugraha H. dkk, angka kejadian VAP di ICU Rumah Sakit Umum Palembang Dr. Moh.
Hoesin (RSMH) sejak bulan Juli 2011 sampai Juni 2012 cukup tinggi yaitu sebesar 31,69%
dari total 124 pasien yang menggunakan ventilator dengan angka mortalitas 54,74%. Angka
tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kepustakaan dari luar negeri. VAP
diperkirakan terjadi pada 9-27% dari semua pasien yang mendapatkan ventilasi mekanik
dengan angka mortalitas yang tinggi (sekitar 20-70%). (Mayang Indah Lestari, dkk. 2014).
Angka kejadian VAP yang tinggi dapat diturunkan melalui oral hygine dengan
antiseptic seperti Chlorxedine 0, 2%, pengunaan chlorhexidine 0, 2 % sebagai bilasan oral
sebanyak dua kali sehari dapat menurunkan tingkat kejadian infeksi saluran napas sebesar
69% (Fitri Hapsari, 2012). Efektivitas penggunaan chlorhexidine pada pasien dengan
ventilator mekanik dinilai dengan Clinical Pneumoni Infectie Score (CPIS). Penilaian
dilakukan mulai dari pasien terintubasi dan mengunakan ventilator sampai 48 jam, setelah
48 jam pasien dilakukan pengukuran kembali dengan mengunakan CPIS, bila ditemukan
score > 5, pasien menderita VAP dan bila score ≤ 5, pasien tidak mengalami VAP
(Nursalam, 2014).
2
BAB 2
PEMBAHASAN
Pemasangan ventilator bukan tanpa alasan ventilator dipasang hanya pada pasien yang
membutuhkan. Pemasangan ventilator memiliki beberapa tujuan yaitu :
Pemasangan ventilator pada pasien perlu dilakukan indekasi awal terkait kondisi pasien.
Indikasi pemasangan ventilator pasien yaitu :
1. Hipoksia Ventilator dipasang apabila pasien tidak mampu menjaga saturasi oksigen
yang adekuat dalam darah. Walapun telah diberikan oksigen dengan konsentrasi tinggi
(Hasan, 2010).
2. Hipoventilasi Indikasi dipasangnya ventilator apabila pernapasan alveolar tidak mampu
memberikan kebutuhan pasien. Ventilator digunakan untuk membantu pertukaran gas
hingga alat pernapasan pasien dapat berkerja secara normal. Keadaan hipoventilasi
3
dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti disfungsi neurologis, obstrusi jalan napas,
dan penggunan anastesi dan sedative (Hasan, 2010).
3. Peningkatan respiratory (Potat B, 2010)
4. Pola nafas yang tidak stabil (Potat B, 2010)
5. Penurunan kesadaran (Potat B, 2010)
6. Hiperkapnia dan asidosis respiratorik
4
pasien, karena tiap psien akan memiliki reaksi yang berbeda-beda terhadap obat
tersebut (Khalafi A,2011).
2.5 Etiologi
VAP disebabkan oleh karena adanya bakteri yang membentuk koloni pada paru.
Tiga penyebab utama VAP pada sebagian besar kasus adalah bakteri basil gram negatif,
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Pasien yang memerlukan perhatian
khusus adalah mereka yang berisiko terkena VAP yang disebabkan oleh Pseudomonas
aeruginosa dan Staphylococcus aureus, karena resistensinya terhadap beberapa antibiotika
dan hubungannya dengan angka mortalitas yang tinggi (Andini 2012). Secara umum, onset
penyebab VAP dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Early onset atau onset dini dan tanpa faktor risiko untuk multidrug-resistant pathogens,
yaitu Enterobacter, Klebsiella, Proteus sp, Escherichia coli, Serratia marcescens,
Haemophilus influenza, methicillin-sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan
Streptococcus pneumoniae.
2. Late onset (onset lambat) atau faktor risiko untuk multidrug-resistant pathogens, yaitu
organisme yang sama seperti di atas dan P.aeruginosa, Acinetobacter sp,
methicillinresistant S.aureus (MRSA), Klebsiella pneumoniae, dan Legionella
pneumophila.
VAP onset dini pada empat hari pertama perawatan di ICU memiliki prognosis
lebih baik disebabkan oleh kuman yang masih sensitif terhadap antibiotika. VAP onset
lambat yang terjadi setelah lima hari atau lebih perawatan memiliki prognosis yang lebih
buruk disebabkan oleh kuman patogen yang multidrug resistant (MDR).
Andini (2012) menyebutkan bahwa faktor risiko VAP dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :
1. Faktor yang berhubungan dengan host Faktor risiko yang berhubungan dengan host
termasuk kondisi sebelumnya seperti imunosupresi, penyakit paru obstruktif kronis dan
penyakit distress pernapasan akut. Faktor yang berhubungan dengan host lainnya
5
adalah posisi badan pasien, tingkat kesadaran, jumlah intubasi dan pengobatan,
termasuk obat sedatif dan antibiotika. Pada suatu studi, kontaminasi bakteri pada sekret
endotrakea lebih tinggi pada pasien dengan posisi supinasi dari pada pasien dengan
posisi semi recumbent. Berdasarkan proses patofisiologi, pengobatan dan penurunan
tingkat kesadaran menghasilkan hilangnya reflek batuk dan reflek muntah yang
berkontribusi untuk risiko aspirasi sehingga meningkatkan risiko terkena VAP.
2. Faktor yang berhubungan dengan alat Faktor yang berhubungan dengan alat antara lain
pipa endotrakea, sirkuit ventilator dan pipa nasogastrik atau orogastrik. Genangan
sekret di atas balon dari pipa endotrakea dan tekanan balon yang rendah dapat memicu
mikroaspirasi dan atau kebocoran bakteri di sekitar balon sampai ke trakea. Pipa
nasogastrik dan orogastrik mengganggu spinkter gastroesofagus yang menyebabkan
refluks dan peningkatan risiko terjadinya VAP.
3. Faktor yang berhubungan dengan staf kesehatan. Pencucian tangan yang tidak benar
yang mengakibatkan kontaminasi silang pada pasien adalah faktor risiko yang
berhubungan dengan staf kesehatan yang terbesar yang menyebabkan VAP. Pasien
yang diintubasi dan memakai ventilator mekanik sering memerlukan intervensi seperti
suctioning atau manipulasi sirkuit ventilator. Intervensi ini meningkatkan kontaminasi
silang antar pasien apabila tenaga kesehatan tidak melakukan teknik pencucian tangan
dengan benar. Kesalahan pencucian tangan dan penggantian sarung tangan pada
penanganan pasien yang terkontaminasi berhubungan dengan peningkatan insidensi
VAP.
Faktor risiko VAP dapat juga dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor yang bisa
dimodifikasi dan yang tidak bisa dimodifikasi, serta dibagi lagi menjadi faktor yang
berhubungan dengan pasien dan yang berhubungan dengan penatalaksanaan. Faktor risiko
yang tidak bisa dimodifikasi dan berhubungan dengan pasien antara lain jenis kelamin
terutama laki-laki, penyakit pernapasan yang sudah ada sebelumnya, koma, AIDS, trauma
kepala dan gangguan sistem organ multipel. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi dan
berhubungan dengan penatalaksanaan yaitu monitoring tekanan intrakranial, reintubasi,
transportasi keluar ICU (Andini, 2012).
6
Terjadinya VAP juga dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti pemakaian obat
yang memicu kolonisasi bakteri (antibiotika dan pencegah stress ulcer), posisi pasien yang
datar, pemberian nutrisi enteral, dan derajat keparahan penyakit pasien. VAP dapat pula
terjadi akibat makroaspirasi lambung, bronkoskopi serat optik, penghisapan lendir sampai
trakea maupun ventilasi manual dapat mengkontaminasi kuman patogen ke dalam saluran
pernapasan bawah.
2.7 Penatalaksanaan
Pemberian terapi awal, dengan pemberian antibiotika empiris yang adekuat dapat
meningkatkan angka ketahanan hidup penderita VAP. Apabila dicurigai adanya dugaan
VAP, kultur harus segera diambil dengan cepat dan pengobatan dimulai tanpa penundaan.
Dugaan VAP harus dipertimbangkan untuk pasien dengan skor CPIS > 6, atau adanya
infiltrat paru yang diikuti setidaknya dua dari tanda berikut: demam, leukositosis, dan
sekresi purulen. Piperasilintazobaktam merupakan antibiotika yang paling banyak
digunakan (63%) diikuti golongan fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin
(28%) dan aminoglikosida (25%).
2.8 Pencegahan
Dokter harus fokus pada eliminasi atau meminimalisir insidensi VAP melalui teknik
preventif. Pencucian tangan dengan teliti dan benar selama kurang lebih 20 detik harus
dilakukan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Selain itu, sarung tangan harus
dipakai saat kontak dengan sekret oral atau endotrakhea, serta Menjaga kebersihan mulut
pasien. Andini (2012) menyebutkan bahwa pencegahan terhadap VAP dibagi menjadi dua
kategori, yaitu :
7
e. Menjaga kebersihan mulut (oral hygiene)
f. Menggunakan antibiotika yang sesuai pada penderita risiko tinggi.
2. Strategi non farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi,
meliputi :
a. Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal sesegera
mungkin.
b. Posisi penderita semifowler atau setengah duduk.
c. Intubasi oral atau non nasal.
d. Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak diperlukan.
e. Ventilasi masker non invasive untuk mencegah intubasi trakea.
f. Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan.
2.9 Prognosis
Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (2005) menyebutkan bahwa prognosis pasien
VAP menjadi lebih buruk jika dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini, yaitu :
8
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Bagi mahasiswa selanjutnya mungkin menemukan metode lain atau sampel dan
subjek lebih dari satu menggunakan aplikasi kasus, memperpanjang waktu dalam
penelitian, untuk dibaca agar meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang Ventilator
Associated Pneumonia (VAP).
9
DAFTAR PUSTAKA
Jansson, M., Kokko, T. A., Ylipalosaari, P., Syarjala, H., & Kyngas, H. (2013). Critical
care nurses' knowledge of, adherence to and barriers toward evidence-based
guidelines for the prevention of ventilator-associated pneumonia-A survey study.
Intensive and Critical Care Nursing , 29, 216-227.
10