Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

ILMU PARU
ABSES PARU

Pembimbing :

dr. Muhamad Ilfan, Sp. P

Penyusun :

I Made Prasetya 202004200

Janette Alvina 20200420091

Jihan Delima Harvina 20200420092

Jocelyn Christabella 20200420093

DEPARTEMEN ILMU PARU

RS ANWAR MEDIKA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

2022
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
ABSES PARU

Judul referat “Abses Paru” ini telah diperiksa dan disetujui


sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Paru – Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat dengan judul
“Abses Paru” ini sebagai tugas kepaniteraan klinik di bagian paru.

Keberhasilan dalam menyelesaikan referat ini tentunya tidak lepas dari


bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih
terutama kepada dr. Muhamad Ilfan, Sp. P selaku dokter pembimbing atas
arahannya sehingga tugas ini dapat selesai.dengan baik serta terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian tugas ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna,
namun penulis berharap agar referat ini dapat memberi manfaat dan
pengetahuan bagi setiap pembacanya. Terima kasih.

Surabaya, April 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................I

KATA PENGANTAR...................................................................................II

DAFTAR ISI................................................................................................III

DAFTAR GAMBAR....................................................................................IV

BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................3

2.1 DEFINISI........................................................................................3
2.2 EPIDEMIOLOGI...............................................................................3
2.3 ETIOLOGI......................................................................................3
2.4 KLASIFIKASI..................................................................................4
2.5 PATOFISIOLOGI...............................................................................5
2.6 DIAGNOSIS.....................................................................................6
2.7. DIAGNOSA BANDING.....................................................................12
2.8. TATA LAKSANA.............................................................................12
2.9. EDUKASI......................................................................................17
2.10. KOMPLIKASI..................................................................................18
2.11. PROGNOSIS..................................................................................18

KESIMPULAN............................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................22

iv
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1 POSISI POSTERIOR-ANTERIOR (PA)...............................................8


GAMBAR 2 POSISI LATERAL...........................................................................9
GAMBAR 3 GAMBARAN CT SCAN CONTRAST-ENHANCED AXIAL......................10
GAMBAR 4 GAMBARAN USG.......................................................................10
GAMBAR 5 GAMBARAN MRI........................................................................11
GAMBAR 6 DRAINASE PERKUTAN.................................................................16

v
BAB 1
PENDAHULUAN

Abses paru adalah lesi paru yang berupa supurasi atau


pembentukan rongga (lebih dari 2 cm) yang mengandung debris atau
cairan nekrotik yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan nekrosis jaringan.
Abses paru jauh lebih umum di era preantibiotik, karena kurangnya
pengobatan, pneumonia bakteri kadang-kadang berkembang menjadi
pembentukan abses, dengan atau tanpa empiema. Pengurangan insiden
juga terjadi pada akhir 1940 dan 1950 karena ilmu kedokteran yang sudah
sudah maju dan berkembang mulai dari teknik operasi yang digunakan,
anastesi yang lebih baik dan penggunaan antibiotik yang dilakukan lebih
dini terkecuali pada pasien dengan daya tahan tubuh yang menurun
(immunocompromised) (Mustafa et al., 2015).

Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan atau


mendorong terjadinya abses paru diantaranya ialah pecandu alkohol,
penderita karies gigi, aspirasi saluran pernafasan sampai dengan kelainan
saluran pernafasan. Kuman atau bakteri penyebab dari abses paru
sangatlah bervariasi, 46% abses paru disebabkan oleh bakteri anaerob,
sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob. Kemudian pada
anak-anak ditemukan factor predisposisi dari abses paru dapat
disebabkan oleh infeksi yang berat hingga imunodefisiensi (Alsagaff &
Mukty, 2010).

Berdasarkan faktor pencetus tersebut maka abses paru dapat


diklasifikasikan menjadi (1) organisme penyebab (misalnya, abses paru
anaerobic atau abses paru stafilokokus, (2) adanya bau busuk pada
dahak yang keluar (abses paru busuk), (3) durasi gejala sebelum
diagnosis (akut, gejala muncul kurang dari satu 1 bulan kronis, gejala
muncul lebih dari 1 bulan), atau (4); atau ada atau tidak adanya kondisi
terkait (misalnya, kanker paru-paru, sindrom imunodefisiensi didapat
(AIDS), imunosupresi). Istilah abses paru primer umumnya digunakan

6
ketika abses berkembang pada individu yang rentan terhadap aspirasi
atau individu dalam kesehatan yang relatif baik. Abses paru sekunder
menunjukkan obstruksi pada saluran napas neoplasma, komplikasi
operasi intratoraks, atau kondisi atau pengobatan sistemik yang
membahayakan mekanisme pertahanan pejamu, seperti infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) atau terapi imunosupresif transplantasi.
Sekitar 80% dari abses paru adalah yang primer, dan kira-kira
setengahnya berhubungan dengan sputum yang busuk. Abses paru masih
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Angka
kematian abses paru berkisar antara 15-20% merupakan penurunan bila
dibandingkan dengan era pre-antibiotika yang berkisar 30-40% (Sipahutar,
2021).

7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Abses paru adalah lesi paru yang berupa supurasi atau


pembentukan rongga (lebih dari 2 cm) yang mengandung debris atau
cairan nekrotik yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan nekrosis jaringan.
Abses paru jauh lebih umum di era preantibiotik, karena kurangnya
pengobatan, pneumonia bakteri kadang-kadang berkembang menjadi
pembentukan abses, dengan atau tanpa empyema (Mustafa et al., 2015).

2.2 Epidemiologi

Sekitar seratus tahun yang lalu, angka kematian akibat abses paru
adalah sekitar 75% pasien. Drainase terbuka abses paru menurunkan
mortalitas pada 20-35% dan dengan terapi antibiotik penurunan mortalitas
sekitar 8,7%. Pada saat yang sama, kemajuan dalam higienitas mulut dan
gigi menurunkan kejadian abses paru. (Kuhajda et al., 2015).

Beberapa faktor predisposisi abses paru adalah :

1. Pasien immunocompromised (HIV-AIDS, pasca-transplantasi, atau


mereka yang menerima terapi supresi imun yang berkepanjangan).
2. Pasien dengan risiko tinggi aspirasi: kejang, disfungsi bulbar,
keracunan alkohol, dan gangguan kognitif (Sabulla et al., 2020).

2.3 Etiologi

Organisme utama yang bertanggung jawab untuk abses paru


adalah bakteri, khususnya bakteri anaerob. Bakteri penyebab abses paru
monomikroba adalah Staphylococcus aureus, batang gram negatif seperti
Klebsiella spp., Pseudomonas aeruginosa, Burkholderia pseudomallei
(melioidosis), Pasteurella multocida, grup A streptococci, Haemophilus

8
influenza tipe b dan c, Legoinella spp. ,Rhodococcus equi, Actinomyces
spp., dan Nocardia spp., Streptococcus pneumoniae. Organisme lain yang
dapat menyebabkan abses paru termasuk berbagai jamur, mycobacterial
spp, dan parasit (misalnya, Paragominus westermani, Entamoeba
histolytica) (Mustafa M, 2015).

Lebih dari 90% kasus abses paru disebabkan oleh bakteri anaerob,
Streptococcus sp. adalah penyebab paling umum kedua. M. tuberculosis,
fungi dan parasite juga dapat menjadi penyebab penting terjadinya infeksi
dan abses paru. (Lawrensia, 2021).

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi dari abses paru dibagi berdasarkan oleh durasi, progres


dan cara penyebarannya (Lawrensia, 2021). Berdasarkan durasi penyakit,
klasifikasi paru dibagi menjadi dua, yaitu akut dan kronis. Akut yaitu terjadi
kurang dari 6 minggu sedangkan kronis terjadi lebih dari 6 minggu
(Lawrensia, 2021 dan Kuhajda et al., 2015). Berdasarkan dari
progresivitas abses paru dibagi menjadi primer dan sekunder. Abses paru
primer adalah abses paru tanpa adanya lesi paru. Dapat disebabkan oleh
aspirasi dari sekresi orofaringeal. Abses paru sekunder adalah abses paru
dengan adanya lesi paru seperti bronkoektasis, emfisema bulosa atau
cystic fibrosis (Lawrensia, 2021). Berdasarkan dari cara penyebarannya,
abses paru dapat terjadi secara bronkogenik maupun hematogenik. Abses
paru bronkogenik terjadi karena aspirasi atau inhalasi dari secret orofaring
dan obstruksi bronkial oleh tumor, pembesaran kelenjar getah bening
serta kelainan kongenital sedangkan hematogenik terjadi karena
penyebaran dari lokasi infeksi lain seperti, sepsis abdominal, endocarditis
infektik, sepsis tromboemboli (Kuhajda et al., 2015).

9
2.5 Patofisiologi

Aspirasi bahan infektif adalah penyebab paling umum dari abses


paru. Sekitar 75% abses paru berkembang di segmen posterior lobus
kanan atas, segmen superior lobus kanan dan kiri bawah. Segmen
tersebut paling sering terkena karena bronkus segmentalnya sejajar
dengan saluran pernapasan bagian atas dalam posisi terlentang dan
setelah ini pneumonitis akut berkembang di dalam area paru. Tergantung
pada virulensi mikroorganisme dan intensitas respon inflamasi, nekrosis
parenkim paru dan kavitasi selanjutnya berkembang. Fibrosis progresif
dapat membentuk dinding abses yang berbeda. Abses paru sering
mengalir secara spontan ke jalan napas (airfluid level pada CXR) atau
dapat pecah ke dalam rongga pleura dengan empiema atau fistula
bronkopleural berikutnya (Witzke dan Anikin, 2017).

Kultur dari abses paru akibat aspirasi biasanya mengisolasi flora


campuran kokus Gram-positif anaerob dan basil Gram-negatif. Di antara
mikroorganisme yang paling sering diidentifikasi adalah Streptococcus
viridans, Streptococcus pyogenes, streptokokus a dan b-hemolitik,
Staphylococcus aureus, Staphylococcus pneumonitis dan Haemophilus
influenzae. Organisme oportunistik seperti spesies Candida, spesies
Legionella, mikobakteri atau jamur dapat ditemukan pada pasien
imunosupresi (Witzke dan Anikin, 2017).

Secara hematogen yang paling sering terjadi adalah akibat


septikemi atau sebagai fenomena septic emboli sekunder dari fokus
infeksi dari bagian lain tubunya seperti trikuspid valve endokarditis.
Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk abses multiple
dan biasanya disebabkan oleh Staphylococcus sp. (Sabulla et al., 2020).

10
2.6 Diagnosis

Diagnosis biasanya dibuat dengan radiografi dada yang menunjukkan


rongga paru-paru dengan air-fluid level. Biasanya, dinding rongga tebal
dan tidak teratur, dan sering ditemukan infiltrat paru di sekitarnya. Infiltrat
umumnya terlokalisasi pada satu segmen paru atau lobus, dan adenopati
hilar tidak menonjol. Keterlibatan multiloblar menunjukkan dan gangguan
mendasar pada mekanisme imun tubuh penderita. Computed tomography
(CT) lebih sensitif daripada radiografi dada dan berguna untuk mendeteksi
kecil rongga, memberikan bukti untuk menghalangi lesi endobronkial, dan
membedakan abses paru dari air-fluid level di rongga pleura (Alsagaff &
Mukty, 2010).
1. Manifestasi klinis

Gejala penyakit yang timbul umumnya satu hingga tiga hari setelah
aspirasi. Gejalanya menyerupai pneumonia pada umumnya,
diantaranya (Alsagaff & Mukty, 2010):

 Suhu badan

Dijumpai berkisar 70%-80% penderita abses paru. Kadang


dijumpai dengan temperatur >40oC disertai menggigil bahkan rigor.

 Batuk

Pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga


abses dengan bronkus batuknya akan menjadi meningkat disertai
dengan bau busuk yang khas (Foetor ex oroe) (40-75%)

 Produksi sputum

Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oroe dijumpai


berkisar 40-75% penderita abses paru.

 Nyeri dada (± 50% kasus)


 Batuk darah (± 25% kasus)
 Gejala tambahan lain

11
Diantaranya lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan. Jari
tabuh atau Clubbing finger dapat timbul dalam beberapa minggu
terutama jika drainase tidak baik.

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai kelainan seperti nyeri tekan


lokal, tanda-tanda konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara
bronchial dengan ronki basah atau krepitasi di tempat abses, mungkin
ditambah dengan tanda-tanda efusi pleura. Apabila abses luas dan
letaknya dekat dengan dinding dada kadang-kadang terdengar suara
amforik, suara nafas bronchial atau amforik terjadi bila kavitasnya
besar dan karena bronkus masih tetap dalam keadaan terbuka
disertai oleh adanya konsolidasi sekitar abses dan drainase abses
yang baik. Apabila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan
terjadi empiema toraks sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan
pergerakan dinding dada tertinggal di tempat lesi, fremitus vocal
menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi nafas menghilang, dan
terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum terutama
pendorongan jantung kearah kontralateral tempat lesi.

3. Pemeriksaan labolatorium
 Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat
lebih dari 12.000/mm (90% kasus) bahkan pernah dilaporkan
peningkatan sampai dengan 32.700/mm. Laju endap darah
ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada hitung jenis sel darah
putih didapatkan pergeseran shit to the left.
 Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan
KOH merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan
antibiotik secara tepat.
 Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan
merupakan cara terbaik dalam menegakkan diagnosa klinis dan
etiologis.
4. Pemeriksaan radiologi

12
 Foto polos

Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi


lesi dan bentuk abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto
dada hanya menggambarkan gambaran opak dari satu ataupun
lebih segmen paru, atau hanya berupa gambaran densitas
homogen yang berbentuk bulat. Kemudian akan ditemukan
gambaran radiolusen dalam bayangan infiltrat yang padat.
Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga terjadi
drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, maka
akan tampak kavitas irregular dengan batas cairan dan permukaan
udara (air-fuid level) di dalamnya. Kavitas ini berukuran 2 - 20 cm.
Gambaran spesifik ini tampak dengan mudah bila kita melakukan
foto dada PA dengan posisi berdiri. Khas pada paru anaerobik
kavitasnya singel (soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi
paru primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nosokomial
atau hematogen) lesinya bisa multipel (Sipahutar, 2021).

Gambar 1 Posisi posterior-anterior (PA)


Terdapat area berbatas tegas transparan di lobus kiri atas (panah putih).
Kavitas diisi oleh cairan dan udara (air-fluid level) (panah hitam)

13
Gambar 2 Posisi lateral
Kavitas terlihat di lobus kiri atas dengan udara dan cairan di dalamnya
(panah hitam).

 CT-Scan

TK merupakan scan evaluasi dengan kontras menjadi pilihan


untuk tujuan skreening dan sebagai alat bantu untuk prosedur
aspirasi perkutan dan drainase (percutaneous catheter drainage).
TK dapat menunjukkan lesi yang tidak terlihat pada pemeriksaan
foto polos dan dapat membantu menentukan lokasi dinding dalam
dan luar kavitas abses. Pemeriksaan ini membantu membedakan
abses paru dengan diagnosis banding lainnya. Pada gambaran
TK, kavitas terlihat bulat dengan dinding tebal, tidak teratur dengan
air-fluid level dan terletak di daerah jaringan paru yang rusak.
Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara
mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah
letak. Abses paru juga dapat membentuk sudut lancip dengan
dinding dada (Rasad, 2018).

14
Gambar 3 Gambaran CT scan contrast-enhanced axial
Menunjukan lesi kavitas yang besar di lobus bawah kiri dengan dinding
yang relative tebal (panah hitam). Kavitas memiliki batas dalam yang
halus dan air-fluid level (panah putih). Terdapat reaksi inflamasi pada
sekitar paru-paru (panah kuning). Terlihat adanya sudut lancip dengan
dinding posterior dada.

 Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG jarang dianjurkan pada pasien dengan abses


paru. Namum, USG juga dapat mendeteksi abses paru. Tampak
lesi hipoechic bulat dengan batas luar. Apabila terdapat kavitas,
didapati adanya tambahan tanda hyperechoic yang dihasilkan oleh
gas-tissue interface (Rasad, 2018).

Gambar 4 Gambaran USG

15
Terletak dekat dengan dinding thoraks, proses di dalam paru kira-kira
sebesar 2,5x2x2 cm (pointed angle between pleura and process) dengan
dinding membran. Setelah pengobatan, hanya terdapat sisa gambaran
hypoechoic di tempat abses sebelumnya (setelah beberapa minggu)

 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI berhasil mengidentifikasi penyakit paru secara akurat untuk


menentukan lokalisasi penyakit pada lapangan paru. Pada pasien
dengan pneumonia dan abses paru, peradangan akut
berhubungan dengan peningkatan intensitas sinyal pada T2 bila
dibandingkan dengan T1 weighted image. Pasien dengan
inflamasi pseudotumor menunjukkan peningkatan yang lebih kecil
dalam intensitas sinyal pada T2 weighted image daripada yang
terlihat di pneumonia akut. Kavitas abses adalah rongga yang
diidentifikasi sepanjang dinding yang menebal. Pada pasien
dengan penyakit paru difus (diffuse histoplasmosis, TBC milier,
penyakit Letterer-Siwe, dan alveolitis alergi), masing-masing
penyakit muncul dengan gambaran MRI yang berbeda (Rasad,
2018).

Gambar 5 Gambaran MRI


Setelah pengobatan perubahan sudut menunjukan peningkatan sinyal
pada daerah pleura kanan. Ini merupakan sisa absen membran

16
2.7. Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari abses paru, yaitu :

 Metastase karsinoma bronkial (skuamoselular atau mikroselular)


 Metastase TBC
 Empiema pleura terlokalisir
 Bula emfisematous yang terinfeksi
 Pneumokoniosis kavitas
 Hernia hiatus
 Hematoma paru
 Kista hidatidosa paru-paru
 Infark kavitas paru-paru
 Poliangiitis dengan granulomatosis (Wegener granulomatosis)
 Aspirasi benda asing
 Emboli paru septik

(Sabbula, Rammohan, & Akella., n.d.)

2.8. Tata Laksana

Penatalaksanaan abses paru dapat dibagi menjadi dua kategori;


terapi farmakologis dan terapi nonfarmakologis (Lawrensia, 2021).

- Tatalaksana Farmakologis

Antibiotik adalah landasan untuk pengobatan abses paru dan hampir


95% pasien merespon terapi antimikroba (Loukeri et al., 2015). Selama
bertahun-tahun, penisilin adalah antibiotik pilihan untuk abses paru
primer. Namun, karena anaerob oral dapat menghasilkan beta
laktamase, penisilin tidak menawarkan cakupan yang memadai; dan
klindamisin telah terbukti lebih unggul dari penisilin dalam uji klinis
(Jameson et al., 2018; Wright 2018).

17
Regimen yang direkomendasikan untuk abses paru primer adalah:

1. Antibiotik lini pertama: Direkomendasikan untuk mengobati abses paru


dengan antibiotik spektrum luas, karena poli mikroba flora (Kuhajda et al.,
2015). Klindamisin (600 mg IV tiga kali sehari; Ketika demam turun dan ada
perbaikan klinis dapat dilanjutkan dengan 150-300 mg PO empat kali sehari)
(Loukeri et al., 2015; Lawrensia, 2021; Jameson et al., 2018; Wright 2018).
2. Dengan munculnya resistensi bakteri anaerob dan Streptococci
mikroaerofilik sebagian besar terhadap penisilin G dan lebih jarang
terhadap klindamisin, karena produksi β -laktamase, kombinasi β-laktam/β-
laktamase inhibitor (amoksisilin/klavulanat, ampisilin/sulbaktam adalah
agen yang sangat efektif untuk abses paru yang didapat dari komunitas.
Regimen antimikroba ini memberikan cakupan yang memadai terhadap
gram (+), gram (-) Enterobacteriaceae (misalnya Klebsiella pneumoniae,
Enterobacter) dan bakteri anaerob (Loukeri et al., 2015).
 Ampicillin–sulbactam 3 g IV q6-8 (Lawrensia, 2021)
3. Antibiotika lain yang terbukti sama efektifnya dengan kombinasi ampisilin-
sulbactam (Kuhajda et al., 2015)
 Karbapenem termasuk ertapenem 1 g IV q24, imipenem-cilastatin 500-
1000 mg IV q6, atau meropenem 1 g IV q8 (Lawrensia, 2021).
 Florokuinolon generasi baru termasuk moxifloxacin 400 mg PO daily
(Lawrensia, 2021).
4. Metronidazol tidak boleh digunakan sebagai monoterapi. Metronidazol
tidak efektif sebagai agen tunggal karena mencakup organisme anaerob
tetapi tidak streptokokus mikroaerofilik yang sering juga merupakan
komponen flora campuran abses paru primer (Kuhajda et al., 2015; Loukeri
et al., 2015; Mustafa et al., 2015). Agen ini dapat digunakan dalam kasus
tertentu bersama dengan antibiotik beta-laktam seperti sebagai seftriakson.
Dosis standar adalah metronidazol 500 mg IV/PO q6-8 (Lawrensia, 2021).

Terapi harus dilanjutkan sampai pencitraan menunjukkan abses paru


yang regresi atau sembuh dan meninggalkan jaringan parut. Durasi

18
pengobatan dapat berkisar dari 3 – 4 minggu hingga 14 – 16 minggu.
Perbaikan klinis ditunjukkan dengan penurunan demam dalam 3-4 hari
pertama dan resolusi lengkap dalam 7-10 hari. Usia dan ukuran abses
berkorelasi positif dengan waktu yang lebih lama untuk resolusi atau
perbaikan gambaran radiologis. Demam persisten dapat dijelaskan oleh
kegagalan pengobatan karena patogen yang tidak umum (misalnya,
bakteri multi-resisten obat, mikobakteri, jamur) atau dengan adanya
diagnosis alternatif. Regimen pengobatan untuk abses paru sekunder
harus diarahkan pada patogen yang teridentifikasi. Perjalanan penyakit itu
sendiri seringkali tergantung pada immunitas host (Jameson et al.,2019;
Lawrensia, 2021; Touray et al., 2016; Wright, 2018).

Pada tahap awal abses paru, terdapat komunikasi langsung dari


cabang trakeobronkial dengan rongga abses, dan oleh karena itu bahan
purulen dapat drainase secara otomatis atau dengan bantuan fisioterapi.
Jika pasien secara klinis membaik dengan produksi sputum yang
memadai, tidak diperlukan manajemen bedah Namun, peningkatan
virulensi bakteri, konsentrasi antibiotik yang tidak mencukupi di dalam
rongga abses dan/atau penyakit pernapasan yang mendasari yang serius
dapat menyebabkan kegagalan pengobatan. Ketika ini terjadi, intervensi
bedah dapat dianggap sebagai terapi definitif, tetapi disertai dengan
angka kematian yang relatif tinggi (11%-28%). Dengan demikian, teknik
drainase perkutan dan endoskopi telah mendapatkan tempat bahkan
sebagai manajemen lini pertama, terutama untuk pasien yang bukan
kandidat untuk operasi (Loukeri et al., 2015; Lawrensia, 2021)

- Tatalaksana non-farmakologis

Abses paru dengan diameter lebih dari 6 cm cenderung tidak


merespon atau membaik hanya dengan terapi antibiotik tanpa intervensi
tambahan mungkin memerlukan lama pengobatan yang diperpanjang dan
pembedahan atau drainase. Intervensi bedah dan drainase abses adalah
dua pengobatan pilihan untuk abses paru yang tidak merespon

19
pengobatan antimikroba atau pada pasien dengan gangguan refleks batuk
(Jameson et al.,2019; Lawrensia, 2021; Touray et al., 2016; Wright, 2018).

1. Drainase

Drainase diindikasikan jika ada airfluid level pada pencitraan.


Drainase dapat dilakukan dengan teknik perkutan atau endoskopi.
Drainase perkutan adalah metode invasif minimal dengan efektivitas
terapeutik yang tinggi dan preservasi jaringan paru fungsional. Dalam
beberapa kasus seperti gangguan koagulasi, infeksi kulit di daerah thorax,
atau ketika sejumlah besar jaringan paru harus dilalui, drainase perkutan
abses paru harus dihindari, sehingga teknik endoskopi dapat menjadi
tatalaksana pilihan (Mustafa et al., 2015; Lawrensia, 2021).

 Drainase perkutan

Prosedur perkutan biasanya dipilih untuk abses paru dengan


diameter lebih besar dari 4-8 cm dan dilakukan di bawah bimbingan
fluoroscopic, ultrasound atau computed tomography. Computed
tomography umumnya lebih disukai karena informasi tambahan yang
diberikan tentang lokasi, isi dan ketebalan dinding abses. Selain itu, telah
terbukti berguna dalam membedakan antara empiema dan abses dan
dalam menyingkirkan lesi endobronkial. Durasi drainase bervariasi tetapi
biasanya diperlukan 4-5 minggu.

20
Gambar 6 Drainase Perkutan
(Izumi et al., 2017)
 Drainase Endoskopi

Guidewire dimasukkan ke dalam cavitas abcess dengan bantuan


bronkoskop fleksibel. Setelah lokasi guidewire dipastikan dengan
fluoroskopi, kateter 7 French pigtail dimasukan. Dilakukan infusi media
kontras melalui kateter, jika lokasi cavitas abcess duah benar guidewire
dan bronkoskop ditarik dan ujung kateter distabilkan di dinding nasal.
Selanjutnya, rongga dibilas setiap hari dengan larutan normal salin melalui
kateter, dan infusi antibiotik (misalnya gentamisin atau amfoterisin pada
infeksi jamur yang dikonfirmasi) melalui kateter juga dapat diberikan.
Kateter dilepas setelah 4-6 hari jika ada perbaikan segera klinis dan
pencitraan radiologis dalam 24 jam pertama.

2. Pembedahan

Pasien yang dirujuk ke ahli bedah toraks biasanya dalam situasi septik
yang serius karena abses kronis yang tidak merespon pengobatan
farmakologis baik sendiri atau sudah dikombinasikan dengan drainase
transkutan. Pasien-pasien ini biasanya datang dengan nekrosis luas
parenkim paru (ukuran abses >6 cm), obstruksi bronkus karena massa
atau benda asing, empiema, fistula bronkopleural, atau infeksi karena
mikroorganisme yang resistan terhadap banyak obat [mis. gram(-)]. Dalam
kebanyakan kasus reseksi parenkim paru diperlukan untuk mengontrol
sepsis. Ketika abses paru dengan komplikasi hemoptisis masif karena
pecahnya pembuluh darah besar, reseksi bedah diindikasikan segera.
Kavitasi pada kanker paru primer dan sekuestrasi paru yang memiliki
komplikasi pembentukan abses merupakan indikasi lain untuk manajemen
bedah (Loukeri et al., 2015; Lawrensia, 2021).

Luasnya reseksi bedah tergantung pada ukuran lesi yang


mendasarinya. Lobektomi adalah jenis reseksi bedah yang paling umum
diperlukan. Segmentektomi dilakukan pada abses yang lebih kecil (<2

21
cm), sedangkan pneumonektomi harus dilakukan pada abses multipel
atau gangren (Loukeri et al., 2015).

2.9. Edukasi

Edukasi pasien dan keluarga tentang faktor risiko terjadinya abses


paru seperti menghindari asupan alkohol yang berlebihan, perawatan gigi
yang tepat, peninggian ujung kepala tempat tidur pada pasien yang
berisiko tinggi aspirasi adalah yang paling penting. Mereka harus dididik
tentang pengenalan segera gejala abses paru seperti demam, sesak
napas, batuk, dan dahak produktif atau nonproduktif. Instruksi tentang
pentingnya kepatuhan terhadap antibiotik dan untuk memantau efek
samping obat untuk menghindari komplikasinya diperlukan. (Sabbula,
Rammohan, & Akella., n.d.)

2.10. Komplikasi

Komplikasi sekunder akibat kurang dikenali, kurang diobati, atau


penyebab abses paru yang tidak diobati. Mereka termasuk ruptur ke
dalam rongga pleura, fibrosis pleura, paru-paru yang terperangkap, gagal
napas, fistula bronkopleural, dan fistula pleurokutaneus. (Sabbula,
Rammohan, & Akella., n.d.)

2.11. Prognosis

Pada kebanyakan kasus, abses paru primer berhasil diobati


dengan terapi antibiotik empiris, diikuti dengan terapi target tergantung
pada pewarnaan gram dan hasil kultur dengan tingkat kesembuhan
sekitar 90%. Abses sekunder memerlukan pengobatan penyebab yang
mendasari untuk meningkatkan hasil. Prognosisnya buruk, terutama pada

22
pasien immunocompromised dan pasien dengan neoplasma bronkial
dibandingkan dengan abses paru primer dengan angka kematian sekitar
75%. (Sabbula, Rammohan, & Akella., n.d.)

Hirshberg dan rekan dalam penelitian terhadap 75 pasien dengan


abses paru menyimpulkan bahwa tingkat morbiditas dan mortalitas yang
tinggi (20%) berhubungan dengan abses paru meskipun terapi antibiotik
yang tepat dan perawatan suportif. Pada pasien dengan beberapa faktor
predisposisi, seperti ukuran abses yang besar dan lokasi di lobus kanan
bawah, prognosisnya lebih buruk. Pasien yang terinfeksi S.aureus,
K.pneumoniae, dan khususnya P.aeruginosa memiliki prognosis yang
buruk. Karena prognosis abses paru belum cukup membaik sejak
pengenalan antibiotik, modalitas lain harus dipertimbangkan. Di era
preantibiotik lebih dari 45% dari pasien dengan abses paru menjalani
operasi, dan sepertiga meninggal. Dalam beberapa tahun terakhir, kurang
dari 15% pasien memiliki menjalani operasi, dan angka kematian secara
keseluruhan adalah sekitar 10%. Kematian pada pasien dengan abses
paru primer atau abses yang didapat dari komunitas (sekitar 2% sampai
5%), tetapi hasil yang fatal terlihat pada lebih dari 65% kasus terkait
dengan lesi obstruktif jalan napas, gangguan imun host, atau infeksi
nosokomial. (Mustafa, et al., 2015)

23
KESIMPULAN

Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada


jaringan paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi
nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Kuman atau
bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi. 46% abses paru
disebabkan hanya olch bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran
bakteri anaerob dan aerob.

Untuk memastikan diagnosa dari abses paru maka dilakukan


serangkaian pemeriksaan dari anamnesa, pemeriksaan fisik hingga
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan
radiologi yang dapat dilakukan antara lain Foto Polos, Tomografi
Komputer, UItrasonografi (USG) dan Magnetik Resonance Imaging (MRI)
(Sipahutar, 2021).

24
Dari pemeriksaan Foto dada PA dan lateral pada pasien akan
dijumpai kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi
disekelilingnya, lebih sering djjumpai pada paru kanan dibandingkan paru
kiri. Bila terdapat hubungan dengan bronkus maka didalam kavitas
terdapat Air Fluid Level. Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya
dijumpai tanda-tanda konsolidasi (opasitas) (Sipahutar, 2021).

Pada pemeriksaan CT-Scan akan dijumpai kavitas terlihat bulat


dengan dinding tebal, tidak teratur dengan air-fluid level dan terletak di
daerah jaringan paru yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah
paru berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau
berpindah letak. Abses paru juga dapat membentuk sudut lancip dengan
dinding dada (Rasad, 2018).

Pemeriksaan USG jarang dianjurkan pada pasien dengan abses


paru. Namun, USG juga dapat mendeteksi abses paru. tampak lesi
hipoechic bulat dengan batas luar. Apabila terdapat kavitas, didapati
adanya tambahan tanda hiperechoic yang dibasilkan olch gas-tissue
interface (Rasad, 2018).

Sedangkan pemeriksaan MRI temyata akurat untuk mendiagnosa


dan menentukan lokasi penyakit paru. Pada pasien dengan pneum monia
dan abses paru, peradangan akut berhubungan dengan peningkatan
intensitas sinyal pada T2 bila dibandingkan dengan TI weighted image
(Rasad, 2018).

25
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, H., & Mukty, A. (2010). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.


Airlangga University Press.

Izumi, H. et al. (2017) ‘A case of lung abscess successfully treated


by transbronchial drainage using a guide sheath’, Respirology Case
Reports, 58(1). doi: 10.1002/rcr2.228.

Jameson JL, Fauci DL, Kasper SL, Hauser DL, Loscalzo J.


Harrison’s Principles of Internal Medicine. 20th ed. New York: McGraw-
Hill; 2018.

Kuhajda, I., Zarogoulidis, K., Tsirgogianni, K., Tsavlis, D., Kioumis,


I., Kosmidis, C., Tsakiridis, K., Mpakas, A., Zarogoulidis, P.,
Zissimopoulos, A. and Baloukas, D., 2015. Lung abscess-etiology,
diagnostic and treatment options. Annals of translational medicine, 3(13).

Lawrensia, S., 2021. Lung Abscess: Diagnosis and


Treatment. Cermin Dunia Kedokteran, 48(5), pp.286-288.

Loukeri, A. A. et al. (2015) ‘Diagnosis, treatment and prognosis of


lung abscess’, Pneumon, 1(28), pp. 55–60.

Mustafa M, Iftikhar HM, MuniandyRK, Hamid SA, Sien MM, Ootha


N. Lung abscess: Diagnosis, Treatment and Mortality. International
Journal of Pharmaceutical Science Invention. 2015;4(2):37-41

Rasad, S. (2018). Radiologi Diagnostik Edisi Kedua (I. Ekayuda


(ed.); 2nd ed.).

Sabbula, B.R., Rammohan, G. and Akella, J., 2020. Lung abscess.


In StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing.

Sipahutar, H. M. (2021). Gambaran Radiologis pada Abses Paru.


Departemen Radiologi Universitas Sumatera Utara.

Touray S, Martinez-Balzano C, Lee J, Tigas E, Kopec S. Lung


abscess: Patient characteristics, microbiology, and determinants of
complete radiographic resolution as a treatment endpoint. Chest.

26
2016;150(4):1237A.

Witzke, H.J. and Anikin, V., 2017. Other conditions of the lung
(abscesses, inhaled foreign bodies, bullous lung disease,
hydatid). Surgery (Oxford), 35(5), pp.269-273.

Wright WF. Essentials of clinical infectious diseases. New York:


Springer Publishing Company; 2018.

27

Anda mungkin juga menyukai