Oleh:
Alyntya Melati, S.Ked
NIM: 712019091
Pembimbing:
Drg. Nursiah Nasution, M.Kes
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan refferat ini yang berjudul
“Hubungan Infeksi Gusi dengan Pneumonia” sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Shalawat beserta salam selalu tercurah kepada
Rasullulah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan pengikutnya
hingga akhir zaman. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan
terimakasih kepada:
peneliti menyadari refferat ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan itu
hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun sangat peneliti harapkan demi perbaikan di masa mendatang.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan dan semoga refferat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Amin.
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH.............................iii
DAFTAR ISI……...............................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2. Faring (Tenggorokan)
Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan
percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofarings) pada
bagian depan dan saluran pencernaan (orofarings) pada bagian
belakang. Pada bagian belakang faring (posterior) terdapat laring
(tekak) tempat terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara
melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar
sebagai suara. Makan sambil berbicara dapat mengakibatkan makanan
masuk ke saluran pernapasan karena saluran pernapasan pada saat
tersebut sedang terbuka. Walaupun demikian, saraf kita akan mengatur
agar peristiwa menelan, bernapas, dan berbicara tidak terjadi
bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan. Fungsi
utama faring adalah menyediakan saluran bagi udara yang keluar
masuk dan juga sebagi jalan makanan dan minuman yang ditelan,
faring juga menyediakan ruang dengung(resonansi) untuk suara
percakapan (Patwa, A. and Shah, A, 2015).
3. Batang Tenggorokan (Trakea)
Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak
sebagian di leher dan sebagian di rongga dada (torak). Dinding
tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan
pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring
benda-benda asing yang masuk ke saluran pernapasan. Batang
tenggorok (trakea) terletak di sebelah depan kerongkongan. Di dalam
rongga dada, batang tenggorok bercabang menjadi dua cabang
tenggorok (bronkus). Di dalam paru-paru, cabang tenggorok
bercabang-cabang lagi menjadi saluran yang sangat kecil disebut
bronkiolus. Ujung bronkiolus berupa gelembung kecil yang disebut
gelembung paru-paru (alveolus) (Patwa, A. and Shah, A, 2015).
4. Pangkal Tenggorokan (laring) Laring merupakan suatu saluran yang
dikelilingi oleh tulang rawan. Laring berada diantara orofaring dan
trakea, didepan lariofaring. Salah satu tulang rawan pada laring disebut
epiglotis. Epiglotis terletak di ujung bagian pangkal laring. Laring
3
diselaputi oleh membrane mukosa yang terdiri dari epitel berlapis
pipih yang cukup tebal sehingga kuat untuk menahan getaran-getaran
suara pada laring. Fungsi utama laring adalah menghasilkan suara dan
juga sebagai tempat keluar masuknya udara. Pangkal tenggorok
disusun oleh beberapa tulang rawan yang membentuk jakun. Pangkal
tenggorok dapat ditutup oleh katup pangkal tenggorok (epiglotis). Pada
waktu menelan makanan, katup tersebut menutup pangkal tenggorok
dan pada waktu bernapas katu membuka. Pada pangkal tenggorok
terdapat selaput suara yang akan bergetar bila ada udara dari paru-paru,
misalnya pada waktu kita bicara (Patwa, A. and Shah, A, 2015).
5. Cabang Batang Tenggorokan (Bronkus) Tenggorokan (trakea)
bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri.
Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang
rawan bronkus bentuknya tidak teratur dan pada bagian bronkus yang
lebih besar cincin tulang rawannya melingkari lumen dengan
sempurna. Bronkus bercabangcabang lagi menjadi bronkiolus. Batang
tenggorokan bercabang menjadi dua bronkus, yaitu bronkus sebelah
kiri dan sebelah kanan. Kedua bronkus menuju paru-paru, bronkus
bercabang lagi menjadi bronkiolus. Bronkus sebelah kanan(bronkus
primer) bercabang menjadi tiga bronkus lobaris (bronkus sekunder),
sedangkan bronkus sebelah kiri bercabang menjadi dua bronkiolus.
Cabang-cabang yang paling kecil masuk ke dalam gelembung paru-
paru atau alveolus. Dinding alveolus mengandung kapiler darah,
melalui kapiler-kapiler darah dalam alveolus inilah oksigen dan udara
berdifusi ke dalam darah. Fungsi utama bronkus adalah menyediakan
jalan bagi udara yang masuk dan keluar paru-paru (Patwa, A. and
Shah, A, 2015).
6. Paru-paru (Pulmo)
4
7. Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian
samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh
diafragma yang berotot kuat. Paruparu ada dua bagian yaitu paru-paru
kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri
(pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh
dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang
langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura
visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang
bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura
parietalis). Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan
elastik, dan pembuluh darah. Bronkiolus tidak mempunyai tulang
rawan,tetapi ronga bronkus masih bersilia dan dibagian ujungnya
mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Setiap bronkiolus
terminalis bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus respirasi,
kemudian menjadi duktus alveolaris.Pada dinding duktus alveolaris
mangandung gelembung-gelembung yang disebut alveolus (Patwa, A.
and Shah, A, 2015).
5
2.2 Pneumonia
2.2.1 Definisi
Pneumonia adalah suatu peradangan parenkim paru distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat (Sudoyo, 2005). Pneumonia dapat
diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling sering ialah
menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya
pneumonia (pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial)
(Dunn, L, 2012). Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang
terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit, sedangkan pneumonia
nosokomial adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam atau
lebih setelah dirawat di rumah sakit (Dahlan Z. 2009).
2.2.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti
bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita
oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif,
sedangkan pneumonia rumah sakit banyak disebabkan gram negatif.
Dari laporan beberapa kota di Indonesia ditemukan dari pemeriksaan
dahak penderita komunitas adalah bakteri gram negatif (PDPI, 2003).
Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat
dan nosokomial:
a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia,
Mycoplasma pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella
pneumophila, chlamydia pneumonia, anaerob oral, adenovirus,
influenza tipe A dan
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli,
Klebsiella pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
aureus, anaerob oral (Wilson LM, 2012).
6
2.2.3 Patogenesis
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu
keaadan (imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien
dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain (Dahlan Z. 2009).
Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Adanya bakteri di paru merupakan akibat
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan
lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan
berakibat timbulnya sakit(Luttfiya MN dkk, 2010).
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:
1) Inokulasi langsung;
2) Penyebaran melalui darah;
3) Inhalasi bahan aerosol, dan
4) Kolonosiasi di permukaan mukosa (PDPI. 2003).
Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan
kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal,
mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0
mikron melalui udara dapat mencapai brokonsul terminal atau alveol
dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada
saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke
saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru.
Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal
waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum
alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring
mengandung konsentrasi bakteri yang sanagt tinggi 108-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia
(Dahlan Z. 2009).
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul
7
dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi
permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel-sel PNM
mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit
yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik mengelilingi bakteri
tersebut kemudian terjadi proses fagositosis. pada waktu terjadi
perlawanan antara host dan bakteri maka akan nampak empat zona
pada daerah pasitik parasitik terset yaitu :
1) Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan
edema;
2) Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN
dan beberapa eksudasi sel darah merah;
3) Zona konsolidasi yang luas (grey hepatization): daerah tempat
terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak; 4)
Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri
yang mati, leukosit dan alveolar makrofag (Dahlan Z. 2009).
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit
yang lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika
8
pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah
dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:
a. Batuk-batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak/purulen
c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam
d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara
napas bronkial dan ronki
e. Leukosit > 10.000 atau < 4500 (Luttfiya MN dkk, 2010).
Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian
Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) (Dahlan Z.
2009).
2.2.6 Tatalaksana
Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah
memberikan antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi
pneumonia. Pemberian antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi
kausal terhadap kuman penyebab infeksi, akan tetapi sebelum
antibiotika definitif diberikan antibiotik empiris dan terapi suportif
perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien.3 Terapi antibiotika
empiris menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada klasifikasi
pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis
umumnya tidak tersedia selama 12-72 jam.
Maka dari itu membedakan jenis pneumonia (CAP atau HAP) dan
tingkat keparahan berdasarkan kondisi klinis pasien dan faktor
predisposisi sangatlah penting, karena akan menentukan pilihan
antibiotika empirik yang akan diberikan kepada pasien.16 Tindakan
suportif meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa (SaO2
> 92%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas
hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya
tekanan jalan napas positif kontinu (continous positive airway
pressure), atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal
9
napas. Bila demam atau nyeri pleuritik dapat diberikan antipiretik
analgesik serta dapat diberika mukolitik atau ekspektoran untuk
mengurangi dahak (Alberta Clinical Practice, 2017).
2.3. Gingiva
2.3.1. Definisi
Gingiva adalah merupakan bagian dari jaringan periodontal yang
melekat pada prosesus alveolaris dan gigi. Fungsi gingiva adalah
melindungi akar gigi, selaput periodontal dan tulang alveolar
terhadap rangsangan dari luar, khususnya dari bakteri dalam mulut.
2.3.2. Anatomi gingiva
Gingiva terdiri atas epitel tipis pada lapisan terluar dan jaringan
ikat dibawahnya. Bagian-bagian dari gingiva antara lain mukosa
alveolar, pertautan gingiva (mucogingival junction), perlekatan
gingiva (attached gingiva), alur gingiva bebas (free gingiva
groove), sulcus gingiva, gingiva tepi (margin) dan gingiva
interdental (interdental papila). Gingiva yang normal dan sehat
memiliki ciri berwarna merah muda, tidak udem atau bengkak,
kenyal, dan melekat erat pada gigi dan prosesus alveolaris juga
tidak mudah berdarah (Fiorellini, dll, 2012).
10
gigi terhadap serangan Actinobacillus Actinomycetemcomitans (Aa).
Komposisi mikroorganisme yang berasal dari gusi yang sehat hampir sama
dengan komposisi plak supragingiva terutama terdiri dari mikroorganisme
fakultatif anaerob, kokus dan rod gram positif serta sedikit negatif anaerob.
Pada jaringan periodonsium yang sehat pada daerah supra- gingiva, kuman-
kunian terdiri dari kokus gram positif, yaitu Streptococcus Sanguis, Strepto-
coccus Mitis, Streptococcus Salivarius dan Lacto- bacillus. Kuman-kuman ini
mampu membentuk zat nutrisi dan lingkungan baru yang memacu
pertumbuhan kuman lain, kuman gram negatif dan bentuk filamen akan
bertambah. Tingginya penggunaan oksigen oleh kuman-kuman fakultatif
akan menurunkan oksigen, akibatnya pertumbuhan kuman anaerob terpacu.
Bila kuman-kuman supragingiva terus tumbuh dan maturasi maka akan
terjadi gingivitis. Selain itu, suasana lingkungan akan menunjang terjadinya
plak sub gingiva. Gingivitis apabila dibiarkan dapat berlanjut menjadi
Periodontitis (Notoharjo dan halim, 2010).
Ada ratusan spesies bakteri berbeda hidup di dalam mulut. Beberapa
spesies sangat berlimpah, sementara yang lain adalah spesies langka.
Beberapa dari bakteri oral ini dikenal sebagai patogen. Ada yang jinak atau
bahkan bermanfaat. Hampir setiap spesies bakteri mati dalam beberapa hari.
Tetapi tiga spesies - Klebsiella pneumoniae, Klebsiella oxytoca, dan
Providencia alcalifaciens - bertahan paling lama, dengan Klebsiella
pneumoniae dan Klebsiella oxytoca bertahan selama lebih dari 100 hari
(Journal of Oral Microbiology, 2019).
11
lebih banyak daripada gigi asli yang lain, disebabkan karena terhambatnya
aksi self-cleansing oleh cangkolan yang terdapat pada gigi tiruan sebagian
lepasan (abouelkomsan dkk, 2012). Gigi tiruan sebagian lepasan harus
didisain untuk dapat mengurangi penumpukan sisa makanan serta plak pada
gigi dan tepi gingiva dari gigi penyangga. apabila plak semakin dalam maka
akan mengakumulasi bakteri yang dapat teraspirasi ke dalam sistem respirasi
sehingga dapat berdampak menjadi patogen di saluran pernafasan (Jayasingha
dkk, 2013).
12
2.7 Gingivitis
2.7.1 Pengertian gingivitis
Gingivitis adalah inflamasi atau peradangan yang mengenai
jaringan lunak di sekitar gigi atau jaringan gingiva disebut
gingivitis. Gingivitis adalah akibat proses peradangan gingiva yang
disebabkan oleh faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer
gingivitis adalah plak, sedangkan faktor sekunder dibagi menjadi 2,
yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal diantaranya:
kebersihan mulut yang buruk, sisa-sisa makanan, akumulasi plak
dan mikroorganisme, sedangkan faktor sistemik, seperti: faktor
genetik, nutrisional, hormonal dan hematologi (Manson & Eley,
1993).
2.7.2 Patogenesis
Plak berakumulasi dalam jumlah sanagt besar di regio interdental
yang terlindungi, inflamasi gingiva cenderung dimulai pada daerah
papila interdental dan menyebar dari daerah ke sekitar leher gigi.
Histopatologi dari gingivitis kronis dijabarkan dalam beberapa
tahapan:
1. Lesi awal
Perubahan terlihat pertama kali disekitar pembuluh darah
gingiva yang kecil disebelah apikal dari epitelium junctional.
Pembuluh ini mulai bocor dan kolagen perivaskular mulai
menghilang. Digantiakn dengan beberapa sel inflamasi, sel
plasma dan limfosit T cairan jaringan dan protein serum.
2. Gingivitis tahap awal
Bila deposit plak masih teteap ada, perubahan inflamasi tahap
akan berlanjut disertai peningkatan aliran cairan gingiva dan
migrasi polymorphonuclear neutropils (PMN). Perubahan
yang terjadi baik pad epithelium junctional maupun pada
epitelium krevikular merupakan tanda dari pemisahan sel dan
beberapa proliferasi sel basal.
13
3. Gingivitis tahap lanjut
Dalam waktu 2-3 minggu, akan terbentuk gingivitis yang lebih
parah. Perubhan mikroskopik terlihat terus berlanjut, pada
tahap ini sel-sel plasma terlihat mendominasi. Limfosit masih
tetap ada dan jumlah makrofag miningkat. Pada tahap ini sel
mast juga ditemukan. Gingiva sekarang berwarna merah,
bengkak, dan mudah berdarah, juga sakit (Novak, 2006).
14
dengan periodontitis kronis (Datta et al., 2008). Bakteri Gram-
negatif non-motil, asakarolitik, negatif ini merupakan bakteri
batang anaerob yang membentuk koloni berpigmen hitam pada
lempeng agar darah.
P gingivalis sebelumnya bernama Bacteroides gingivalis
sebelum klasifikasi ulang sebagai genus baru. Nama
Porphyromonas berasal dari kata sifat Yunani porphyreos yang
berarti ungu dan kata benda Yunani monas unit. Oleh karena itu,
kata Porphyromonas berarti sel porfirin sebagai koloni pada
lempeng agar darah berubah menjadi hitam setelah 6 hingga 10
hari karena akumulasi heme (Shah dan Collins, 1988).
Habitat utama P. gingivalis adalah sulkus subgingiva dari rongga
mulut manusia. P gingivalis bergantung pada fermentasi asam
amino untuk produksi energi, sebuah properti yang diperlukan
untuk kelangsungan hidupnya di dalam saku periodontal, di mana
ketersediaan gula rendah (Bostanci dan Belibasakis, 2012).
Menjadi anaerob obligat, P. gingivalis berfungsi sebagai penjajah
sekunder plak gigi, sering mengikuti penjajah primer seperti
Streptococcus gordonii dan P. intermedia.
Dalam beberapa dekade terakhir, galur P. gingivalis telah
diklasifikasikan menjadi galur invasif dan non-invasif berdasarkan
pada kemampuan mereka untuk membentuk abses pada model
tikus. Telah dibuktikan bahwa galur invasif P. gingivalis memiliki
lebih banyak aktivitas patogen daripada galur non-invasif baik in
vitro dan in vivo (Dorn et al., 2000; Baek et al., 2015).
Dengan frekuensi tinggi P. gingivalis pada lesi periodontitis
dewasa, sangat dihipotesiskan bahwa P. gingivalis berinteraksi
dengan anggota lain dari mikrobiota inang dengan mensintesis
berbagai faktor patogen, yang mengarah pada perkembangan
penyakit. Namun, bagaimana P. gingivalis berkomunikasi dengan
sel host selektif untuk menghasilkan molekul biologis yang
merusak dan memicu konversi jaringan mulut yang sehat ke
15
keadaan yang sakit belum diketahui (Dorn et al., 2000; Baek et al.,
2015).
16
BAB III
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Datta, H. K., Ng, W. F., Walker, J. A., Tuck, S. P., and Varanasi, S. S. (2008).
The cell biology of bone metabolism. J. Clin. Pathol. 61, 577–587. doi:
10.1136/jcp.2007.048868
Dorn, B. R., Burks, J. N., Seifert, K. N., and Progulske-Fox, A. (2000). Invasion
of endothelial and epithelial cells by strains of Porphyromonas gingivalis.
FEMS Microbiol. Lett. 187, 139–144. doi: 10.1111/j.1574-
6968.2000.tb09150.x
Fiorellini JP, Kim DM, dan Uzel NG. 2012. “Anatomy of periodontium” dalam
Textbook of Carranza. 12-13
18
Gunardi S. Anatomi sistem pernapasan. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
Guyton A.C., Hall J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-11. Alih
Bahasa: Irawati, Ramadani D, Indriyani. Editor Bahasa Indonesia:
Setiawati. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006; 597-607,
627631.
Hinrics J. The role of dental calculus and other local predisposing factors In:
carranza clinical periodontology. 11ed. Philadelphia: W B Saunders Co;
2012: H. 222-228.
J.D. Manson & B.M. Eley. Etiologi Penyakit Periodontal. Buku Ajar Periodonti
(Outline of Periodontics). Jakarta: Hipokrates. 1993
Notohardjo, TI, Frans X. 2010. Gambaran Kebersihan Mulut dan Gingivitis pada
Murid Sekolah Dasar di Puskesmas Sepatan, Kabupaten Tangerang.
Media Litbang Kesehatan. 20(4):179-187.
19
Petersson J., Glenny R.W. Gas Exchange And Ventilation–Perfusion
Relationships In The Lung. European Respiratory Journal, 2014; 44:
1023– 1041.
Sudoyo, 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit FK UI
Wilson LM. Penyakit pernapasan restriktif dalam Price SA, Wilson LM. 2012.
Patofisiologi: konsep klinis prosses-proses penyakit E/6 Vol.2.
Jakarta:EGC. Hal:796-815
20