Anda di halaman 1dari 60

PEMBERIAN TINDAKAN BATUK EFEKTIF TERHADAP PENGELUARAN

DAHAK PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. W DENGAN PENYAKIT


PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI IGD RSUD
DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
WONOGIRI

DISUSUN OLEH:

NUR DIANASARI
NIM. P11100

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
PEMBERIAN TINDAKAN BATUK EFEKTIF TERHADAP PENGELUARAN
DAHAK PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. W DENGAN PENYAKIT
PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI IGD RSUD
DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
WONOGIRI

Karya Tulis Ilmiah


Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan

DISUSUN OLEH:

NUR DIANASARI
NIM. P11 100

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena

berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya

Tulis Ilmiah dengan judul PEMBERIAN TINDAKAN BATUK EFEKTIF

TERHADAP PENGELUARAN DAHAK PADAASUHAN KEPERAWATAN

Tn. W DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)DI IGD

RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI.

Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat

bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada yang terhormat:

1. Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII

Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu

di STIKes Kusuma Husada Surakarta.

2. Meri Oktariani, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Ketua Program Studi

DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba

ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.

3. Alfyana Nadya R, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,

perasaan nyaman dalam bimbingan serta masukan-masukan, inspirasi,

perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya

karya tulis ilmiah ini.

v
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ............................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iv

KATA PENGANTAR ............................................................................... v

DAFTAR ISI .....................................................................................................vii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1

B. Tujuan Penulisan .......................................................... 4

C. Manfaat Penulisan ........................................................ 5

BAB II TINJAUAN TEORI........................................................... 7

A. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) .................... 7

B. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) .......................... 12

C. Batuk Efektif ...................................................................... 22

BAB III LAPORAN KASUS ................................................................. 28

A. Pengkajian .......................................................................... 28

B. Diagnosa Keperawatan ....................................................... 32

C. Intervensi Keperawatan ...................................................... 33

D. Implementasi Keperawatan ................................................ 34

vii
E. Evaluasi Keperawatan ........................................................ 35

BAB IV PEMBAHASAN ....................................................................... 37

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN................................................ 46

A. Kesimpulan ......................................................................... 46

B. Saran ................................................................................... 48

Daftar Pustaka

Lampiran

Daftar Riwayat Hidup

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2. Lembar Konsultasi

Lampiran 3. Log Book

Lampiran 4. Format Pendelegasian Pasien

Lampiran 5. Asuhan Keperawatan

Lampiran 6. Jurnal Utama

ix
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik

yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin

memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini

terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan

penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau

memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi

lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca. Penyakit Paru Obstruktif

Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk

sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh

peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi

utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal

dengan PPOK adalah: Bronkhitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma

bronchiale (Smeltzer, 2011).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, angka kematian

PPOK tahun 2010 diperkirakan menduduki peringkat ke-4 bahkan dekade

mendatang menjadi peringkat ke-3. Semakin banyak jumlah batang rokok

yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi perokok, maka semakin

besar risiko dapat mengalami PPOK. Mengamati data tersebut, tanpa disadari

1
2

angka kematian yang disebabkan PPOK terus mengalami peningkatan

(Hulwaanah, 2013).

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK.

Pada Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI menunjukkan

angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki

peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (PDPI,

2003). Data pada tahun 2007 di Indonesia menunjukkan bahwa PPOK dan

asma mengenai 10.230.000 jiwa pada pria dan 5.240.000 jiwa pada wanita

(WHO, 2007).

Kasus PPOK di Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 sebesar 11,62 per

1.000 penduduk, mengalami peningkatan dibanding tahun 2005 dimana

jumlah kasus PPOK sebesar 10,92 per 1.000 penduduk.Prevalensi kasus

PPOK di Provinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan yaitu dari 0,08% pada

tahun 2010 menjadi 0,09% pada tahun 2011 dan tertinggi di Kota Salatiga

sebesar 4,04% (Dinkes Jateng, 2012).

Penelitian yang dilakukan di IGD RSUD Dr. Soediran Mangun

Sumarso Wonogiri Tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 54 orang

menderita PPOK dimana 25 orang (46,3 %) mempunyai riwayat merokok

sementara 29 orang (53,7%) tidak merokok. Kelompok umur 61-70 tahun

merupakan kelompok tertinggi yaitu sebanyak 12 orang. Dari 25 orang yg

merokok, 12 orang (48%) merupakan perokok aktif sementara 13 orang (52%)

lagi dikategorikan sebagai bekas perokok.


3

Tanda dan gejala pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik

(PPOK) antara lain kelemahan badan, batuk, sesak napas, sesak napas saat

aktivitas dan napas berbunyi, mengi atau wheeze, ekspirasi yang memanjang,

bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut, penggunaan otot bantu

pernapasan, suara napas melemah, kadang ditemukan pernapasan paradoksal

dan edema kaki, asites dan jari tabuh (Douglas, 2004).

Pengobatan pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) secara

farmakologi antara lain Adrenergik (2-agonis): fenoterol, salbutamol,

terbutaline, formoterol, salmeterol, Antikolinergik: ipratropium bromid,

oksitroprium bromid, Metilxantin: teofilin lepas lambat, bila kombinasi b-2

dan steroid belum memuaskan. Terapi pengobatan pada penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK) secara non farmakologi salah satunya adalah

batuk efektif (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD), 2009).

Batuk efektif yang baik dan benar akan dapat mempercepat

pengeluaran dahak pada pasien dengan gangguan saluran pernafasanpenyakit

paru obstruktif kronik (PPOK) (Nugroho, 2011). Batuk efektif penting untuk

menghilangkan gangguan pernafasan dan menjaga paru-paru agar tetap bersih.

Batuk efektif dapat diberikan pada pasien dengan cara memberikan posisi

yang sesuai agar pengeluaran dahak dapat lancar.

Batuk efektif merupakan batuk yang dilakukan dengan sengaja.

Namun dibandingkan dengan batuk biasa yang bersifat refleks tubuh terhadap

masuknya benda asing dalam saluran pernapasan, batuk efektif dilakukan


4

melalui gerakan yang terencana atau dilatihkan terlebih dahulu. Dengan batuk

efektif, maka berbagai penghalang yang menghambat atau menutup saluran

pernapasan dapat dihilangkan.Batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan

benar, dimana klien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah

mengeluarkan dahak secara maksimal.Gerakan ini pula yang kemudian

dimanfaatkan kalangan medis sebagai terapi untuk menghilangkan lendir yang

menyumbat saluran pernapasan akibat sejumlah penyakit (Apriyadi, 2013).

Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan dalam pengeluaran dahak sesudah perlakuan batuk efektif pada

pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) (Nugroho dan Kristiani,

2011).Studi observasi yang dilakukan mahasiswa di RSUD Dr. Soediran

Mangun Sumarso Wonogiri didapatkan data adanya pasien dengan penyakit

paru obstruktif kronik (PPOK) dengan gejala batuk berdahak, sehingga

penulis tertarik untuk menulis KTI dengan judulPemberian TindakanBatuk

Efektif terhadap Pengeluaran Dahak pada Asuhan Keperawatan Tn. W dengan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)di IGD RSUD Dr. Soediran Mangun

Sumarso Wonogiri.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Melaporkan pemberian batuk efektif terhadap pengeluaran dahak

pada asuhan keperawatan Tn. W dengan penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK)di IGD RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.


5

2. Tujuan Khusus

a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn. W dengan penyakit

paru obstruktif kronik (PPOK).

b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan Tn. W dengan

penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Tn. W

dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn. W dengan penyakit

paru obstruktif kronik (PPOK).

e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn. W dengan penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK).

f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian batuk efektif terhadap

pengeluaran dahak pada Tn. W dengan penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK).

C. Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis

Diharapkan peneliti untuk mengetahui informasi serta mampu

menerapkan asuhan keperawatan tentang pengaruh batuk efektif pada

pasien dengan PPOK, sehingga dapat mengembangkan wawasan penulis

dan mendorong penulis untuk mengembangkan diri, berpandangan luas,

serta bersikap profesional dalam memberikan asuhan keperawatan

khususnya pada pasien dengan PPOK.


6

2. Bagi Rumah Sakit

Dapat memberikan informasi cara pengelolaan asuhan keperawatan

pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang mengalami

gangguan pernafasan dengan batuk efektif, khususnya pada pasien PPOK,

sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien

dengan lebih optimal serta meningkatkan keterampilan dalam memberikan

penatalaksanaan yang lebih baik pada pasien PPOK. Perawat mampu

bersikap profesional dalam memberikan asuhan keperawatan pengaruh

batuk efektif pada pasien PPOK.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai informasi kepada mahasiswa tentang pengaruh batuk

efektif terhadap pengeluaran dahak pada asuhan keperawatan pasien

dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).


7

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

1. Pengertian

Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari

gangguan yang mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan

asma, yang merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea

saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-

paru.Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit yang

menimbulkan obstruksi saluran napas, termasuk didalamnya ialah asma,

bronkitis kronis dan emfisema pulmonum (Halim,2008).

Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai

dengan gangguan fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi

yang disebabkan oleh adanya penyempitan saluran napas dan tidak banyak

mengalami perubahan dalam masa observasi beberapa waktu.Penyakit

paru-paru obstruksi menahun merupakan suatu istilah yang digunakan

untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai

oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran

patofisiologi utamanya (Fauci et al. 2009).

7
8

2. Klasifikasi

Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi

kronik (PPOK) adalah sebagai berikut (Halim, 2008):

a. Bronkitis Kronik

Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari

disertai pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya tiga bulan dalam

satu tahun dan terjadi paling sedikit selama dua tahun berturut-turut.

b. Emfisema Paru

Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu

perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara

abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai

kerusakan dinding alveolus.

c. Asma

Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas

cabang-cabang trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan.

Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas

secara periodic dan reversible akibat bronkospasme.

d. Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yan

mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan

obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda

dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh

darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe


9

3. Etiologi

Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan

dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain

(Douglas, 2004):

a. Merokok sigaret yang berlangsung lama

b. Polusi udara

c. Infeksi peru berulang

d. Umur

e. Jenis kelamin

f. Ras

g. Defisiensi alfa-1 antitripsin

h. Defisiensi anti oksidan

Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya

PPOK adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang

paling dominan.

4. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah

sebagai berikut (Douglas, 2004) :

a. Kelemahan badan

b. Batuk

c. Sesak napas

d. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi

e. Mengi atau wheeze


10

f. Ekspirasi yang memanjang

g. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut.

h. Penggunaan otot bantu pernapasan

i. Suara napas melemah

j. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal

k. Edema kaki, asites dan jari tabuh.

5. Patofisiologi

Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua

yang disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin

berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot

pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas.Fungsi paru-paru

menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen yang

diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi

oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru.

Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi

sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru (Anderson, 2007).

Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses

inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding

bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi

bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau

obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada

saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan

terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal inilah yang menyebabkan


11

adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi

pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan

menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi,

distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan

(Anderson, 2007).

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien dengan

penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah sebagai berikut (Anderson,

2007) :

a. Pemeriksaan radiologis

Pada bronkhitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan:

1) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang

parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru.

2) Corak paru yang bertambah.

b. Pemeriksaan faal paru

1) Analisis gas darah

2) Pemeriksaan EKG

3) Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.

4) Laboratorium darah lengkap.

7. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada pasien dengan penyakit paru

obstruksi kronik (PPOK) adalah sebagai berikut (Wahyudi, 2010):


12

a. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada

fase akut, tetapi juga fase kronik.

b. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas

harian.

c. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat

dideteksi lebih awal.

B. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif

Kronik (PPOK)

1. Pengkajian

Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan

manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman

pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat kesehatan dari proses

penyakit (Anas, 2008):

a. Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan?

b. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?

c. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?

d. Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?

e. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?

f. Riwayat merokok?

g. Obat yang dipakai setiap hari?

h. Obat yang dipakai pada serangan akut?

i. Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?


13

Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan

antara lain sebagai berikut:

a. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?

b. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?

c. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?

d. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama

pernapasan?

e. Barrel chest?

f. Apakah tampak sianosis?

g. Apakah ada batuk?

h. Apakah ada edema perifer?

i. Apakah vena leher tampak membesar?

j. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?

k. Bagaimana status sensorium pasien?

l. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?

m. Hasil pemeriksaan diagnosis seperti:

1) ChestX-Ray

Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma,

peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda

vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular

(bronkhitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)

2) Pemeriksaan Fungsi Paru: Dilakukan untuk menentukan penyebab

dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah


14

akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi

dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator.

3) TLC: Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma,

menurun pada emfisema.

4) Kapasitas Inspirasi: Menurun pada emfisema

5) FEV1/FVC: Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap

tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan

asthma.

6) ABGs: Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2

menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis dan

emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau

asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap

hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).

7) Bronchogram: Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat

inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema),

pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)

8) Darah Komplit: Peningkatan hemoglobin (emfisema berat),

peningkatan eosinofil (asthma).

9) Kimia Darah: Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan

kurang pada emfisema primer.

10) Sputum Kultur: Untuk menentukan adanya infeksi,

mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan

penyakit keganasan atau alergi.


15

11) ECG: Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat),

atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang,

tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)

12) Exercise ECG, Stress Test: Menolong mengkaji tingkat disfungsi

pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator,

merencanakan/evaluasi program.

n. Palpasi:

1) Palpasi pengurangan pengembangan dada?

2) Adakah fremitus taktil menurun?

o. Perkusi:

1) Adakah hiperesonansi pada perkusi?

2) Diafragma bergerak hanya sedikit?

p. Auskultasi:

1) Adakah suara wheezing yang nyaring?

2) Adakah suara ronkhi?

3) Vokal fremitus nomal atau menurun?

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan utama pasien dengan penyakit paru

obstruksi kronik (PPOK)mencakup berikut ini (Halim, 2008) :

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan

bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif,

kelelahan/ berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.


16

b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,

bronkokontriksi dan iritan jalan napas.

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan

ventilasi perfusi

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara

suplai dengan kebutuhan oksigen.

e. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan anoreksia.

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan,

pengaturan posisi.

g. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat

peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan

oksigenasi.

h. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman

terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.

i. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi,

ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk

bekerja.

j. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak

mengetahui sumber informasi.

3. Intervensi Keperawatan

Fokus intervensi keperawatan pada pasien dengan penyakit paru

obstruksi kronik (PPOK) antara lain:


17

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme,

peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan tebal, sekresi kental,

penurunan energi atau kelemahan.

Tujuan: Mempertahankan potensi jalan nafas dengan kriteria:

1) Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih dan

jelas.

2) Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas,

misal: batuk efektif dan mengeluarkan sekret.

Intervensi:

1) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas.

2) Pantau frekuensi pernafasan.

3) Catat adanya derajat dypsnea.

4) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman.

5) Pertahankan polusi lingkungan minimum.

6) Bantu latihan nafas abdomen.

7) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari.

b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai

oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan

udara), kerusakan alveoli.

Tujuan: Mempermudah pertukaran gas dengan kriteria:

1) Pasien akan menunjukkan perbaikan ventilasi dengan oksigenasi

jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas

gejala distres pernafasan.


18

2) Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan dalam

tingkat kemampuan atau situasi.

Intervensi:

1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan, catat penggunaan otot

aksesori, nafas bibir, ketidakmampuan bicara atau berbincang.

2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien memilih posisi yang

mudah untuk bernafas dan latihan nafas dalam.

3) Kaji kulit dan warna membran mukosa.

4) Dorong pengeluaran sputum.

5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan

bunyi tambahan.

6) Awasi tingkat kesadaran atau status mental.

7) Awasi tanda vital dan irama jantung.

8) Berikan O2 tambahan sesuai indikasi hasil GDA dan intoleransi

pasien.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

dypsnea, kelemahan efek samping obat, produksi sputum, anoreksia,

mual atau muntah.

Tujuan: Meningkatkan masukan nutrisi dengan kriteria:

1) Pasien akan menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan

yang tepat.

2) Pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup

untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang tepat.


19

Intervensi:

1) Kaji kebiasaan diit, masukan makanan saat ini.

2) Auskultasi bunyi usus.

3) Berikan perawatan oral, buang sekret.

4) Dorongan periode istirahat selama 1 jam, sebelum dan sesudah

makan.

5) Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.

6) Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin.

7) Timbang berat badan sesuai indikasi.

8) Kaji pemeriksaan laboratorium.

9) Konsul dengan ahli gizi.

d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya

pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret)

Tujuan: Tidak ada tanda dan gejala infeksi dengan kriteria:

1) Menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko individu.

2) Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan

resiko individu.

3) Menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan

lingkungan yang aman.

Intervensi:

1) Kaji suhu tubuh pasien

2) Kaji pentingnya nafas dalam, batuk efektif, perubahan posisi sering

dan masukan cairan adekuat.


20

3) Kaji warna, karakter, bau sputum.

4) Ajarkan cuci tangan yang benar.

5) Awasi pengunjung.

6) Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.

7) Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.

e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi atau tidak

mengenal sumber informasi, salah mengerti tentang informasi, kurang

mengingat atau keterbatasan kognitif.

Tujuan: Meningkatkan tingkat pengetahuan dengan kriteria:

1) Menyatakan pemahaman kondisi atau proses penyakit dan

tindakan.

2) Mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala yang ada dari proses

penyakit dan menghubungkan dengan faktor penyebab.

3) Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam

program pengobatan.

Intervensi:

1) Jelaskan proses penyakit individu.

2) Diskusikan obat pernafasan, efek samping, dan reaksi yang tak

diinginkan.

3) Anjurkan menghindari agen sedatif anti anestesi.

4) Tekankan pentingnya perawatan oral atau kebersihan gigi.

5) Diskusikan pentingnya menghindari orang yang sedang infeksi

pernafasan akut.
21

6) Kaji efek bahaya merokok dan nasehatkan menghentikan rokok

pada pasien dan atau orang terdekat.

7) Berikan reinforcement tentang pembatasan aktivitas.

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk, ketidakmampuan

melakukan posisi terlentang, rangsangan lingkungan.

Tujuan: Kebutuhan istirahat terpenuhi dengan kriteria: waktu tidur

rutin, kualitas dan kuantitas tidur baik.

Intervensi:

1) Jelaskan siklus tidur dan signifikannya

a) Tahap I : Tahap transisi antara bangun dan tidur

b) Tahap II : Tidur tapi mudah terbangun

c) Tahap III : Tidur dalam lebih sulit terbangun

d) Tahap IV : Tidur paling dalam

2) Diskusikan perbedaan individu dalam kebutuhan tidur menurut

usia, gaya hidup, aktivitas dan tingkat stres.

3) Tingkatkan relaksasi, berikan lingkungan yang tenang, beri

ventilasi ruangan yang baik, tutup pintu ruangan yang baik, tutup

pintu ruangan pasien.

4) Bila diinginkan tinggikan kepala tempat tidur setinggi 10 inci dan

gunakan penopang bantal di bawah lengan.

5) Hindari pemberian cairan panas atau dingin menjelang tidur

(Doenges, 2006).
22

C. Batuk Efektif

1. Pengertian Batuk

Batuk bukan suatu penyakit. Batuk merupakan mekanisme

pertahanan tubuh di saluran pernapasan dan merupakan gejala suatu

penyakit atau reaksi tubuh terhadap iritasi di tenggorokan karena adanya

lendir, makanan, debu, asap dan sebagainya. Batuk terjadi karena

rangsangan tertentu, misalnya debu di reseptor batuk (hidung, saluran

pernapasan, bahkan telinga). Kemudian reseptor akan mengalirkan lewat

syaraf ke pusat batuk yang berada di otak. Disini akan memberi sinyal

kepada otot-otot tubuh untuk mengeluarkan benda asing tadi, hingga

terjadi batuk (Ikawati, 2007).

Batuk dapat dipicu secara reflek ataupun disengaja. Sebagai reflek

pertahanan diri, batuk dipengaruhi oleh jalur saraf aferen dan eferen.

Batuk diawali dengan inspirasi dalam diikuti dengan penutupan glotis,

relaksasi diafragma dan kontraksi ototmelawan glotis yang menutup.

Hasilnya akan terjadi tekanan yang positif pada intra torak yang

menyebabkan penyempitan trakea. Sekali glotis terbuka, bersama dengan

penyempitan trakea akan menghasilkan aliran udara yang cepat melalui

trakea. Kekuatan eksposif ini akan menyapu sekret dan benda asing yang

ada di saluran nafas (Pranowo, 2009).

Batuk berfungsi untuk mengeluarkan sekret dan partikel-partikel

pada faring dan saluran nafas. Batuk biasanya merupakan suatu reflek

sehingga bersifat involunter, namun juga dapat bersifat volunter. Batuk


23

yang involunter merupakan gerakan reflek yang dicetuskan karena adanya

rangsangan pada reseptor sensorik mulai dari faring hingga alveoli. Batuk

diakibatkan oleh iritasi membran mukosa dimana saja dalam saluran

pernafasan. Stimulus yang menghasilkan batuk dapat timbul dari suatu

proses infeksi atau dari suatu iritan yang dibawa oleh udara seperti asap,

kabut, debu atau gas. Batuk adalah proteksi utama pasien terhadap

akumulasi sekresi dalam bronki dan bronkiolus (Alsagaf, 2005).

2. Batuk Efektif

Batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan benar, dimana

klien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah mengeluarkan

dahak secara maksimal. Batuk efektif merupakan batuk yang dilakukan

dengan sengaja. Namun dibandingkan dengan batuk biasa yang bersifat

refleks tubuh terhadap masuknya benda asing dalam saluran pernapasan,

batuk efektif dilakukan melalui gerakan yang terencana atau dilatihkan

terlebih dahulu. Dengan batuk efektif, maka berbagai penghalang yang

menghambat atau menutup saluran pernapasan dapat dihilangkan.Batuk

merupakan gerakan refleks yang bersifat reaktif terhadap masuknya benda

asing dalam saluran pernapasan. Gerakan ini terjadi atau dilakukan tubuh

sebagai mekanisme alamiah terutama untuk melindungi paru-paru.

Gerakan ini pula yang kemudian dimanfaatkan kalangan medis sebagai

terapi untuk menghilangkan lendir yang menyumbat saluran pernapasan

akibat sejumlah penyakit (Apriyadi, 2013).


24

3. Tujuan Batuk Efektif

Batuk efektif dan napas dalam merupakan teknik batuk efektif

yang menekankan inspirasi maksimal yang dimulai dari ekspirasi, yang

bertujuan untuk (Trabani, 2010):

a. Merangsang terbukanya sistem kolateral

b. Meningkatkan distribusi ventilasi

c. Meningkatkan volume paru

d. Memfasilitasi pembersihan saluran napas.

4. Manfaat Batuk Efektif

Memahami pengertian batuk efektif beserta teknik melakukannya

akan memberikan manfaat. Diantaranya, untuk melonggarkan dan

melegakan saluran pernapasan maupun mengatasi sesak napas akibat

adanya lendir yang memenuhi saluran pernapasan. Lendir, baik dalam

bentuk dahak (sputum) maupun sekret dalam hidung, timbul akibat adanya

infeksi pada saluran pernapasan maupun karena sejumlah penyakit yang di

derita seseorang (Trabani, 2010).

Bahkan bagi penderita tuberkulosa (TB), batuk efektif merupakan

salah satu metode yang dilakukan tenaga medis untuk mendiagnosis

penyebab penyakit. Tidak sedikit penderita yang justru mengalami kondisi

yang semakin memburuk meski pengobatan telah dilakukan. Bahkan

sejumlah penelitian menemukan, tidak kurang satu orang dari empat atau

lima penderita TB mengalami kematian, terutama akibat terlambat


25

memberikan pengobatan maupun kesalahan dalam melakukan diagnosis

sehingga pengobatan menjadi tidak efektif (Trabani, 2010).

5. Latihan Batuk Efektif

Batuk efektif merupakan satu upaya untuk mengeluarkan dahak

dan menjaga paru-paru agar tetap bersih, disamping dengan memberikan

tindakan nebulizer dan postural drainage. Batuk efektif dapat diberikan

pada pasien dengan cara diberikan posisi yang sesuai agar pengeluaran

dahak dapat lancar. Batuk efektif ini merupakan bagian tindakan

keperawatan untuk pasien dengan gangguan penapasan akut dan

kronis.Pasien dapat dilatih melakukan teknik batuk efektif dengan cara:

a. Pasien condong ke depan dari posisi semifowler, jalinkan jari-jari

tangan dan letakkan melintang di atas incisi sebagai bebat ketika

batuk.

b. Kemudian pasien nafas dalam seperti cara nafas dalam (3-5 kali).

c. Segera lakukan batuk spontan, pastikan rongga pernafasan terbuka dan

tidak hanya batuk dengan mengadalkan kekuatan tenggorokan saja

karena bisa terjadi luka pada tenggorokan.

d. Hal ini bisa menimbulkan ketidaknyamanan, namun tidak berbahaya

terhadap incisi.

e. Ulangi lagi sesuai kebutuhan.

Batuk efektif yang baik dan benar dapat mempercepat pengeluaran

dahak pada pasien dengan gangguan saluran pernafasan. Diharapkan

perawat dapat melatih pasien dengan batuk efektif sehingga pasien dapat
26

mengerti pentingnya batuk efektif untuk mengeluarkan dahak (Nugroho

dan Kristiani, 2011).

6. Indikasi Batuk Efektif

Indikasi batuk efektif antara lain (Anas, 2008):

a. Penyakit paru obstruktif kronik(PPOK)

Penyakit ini sitandai oleh hambatan aliran udara disaluran nafas yang

bersifat progresif non reversible atau reversible parsial. PPOK terdiri

dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.

b. Emphysema

Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga

udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.

c. Fibrosis

d. Asma

Merupakan gangguan inflamasi pada jalan nafas yang ditandai oleh

opstruksi aliran udara nafas dan respon jalan nafas yang berlebihan

terhadap berbagai bentuk rangsangan.

e. Chestinfection

f. Pasien bedrest atau post operasi.

7. Prosedur Tindakan

Prosedur tindakan batuk efektif yaitu antara lain sebagai berikut

(Anas, 2008):

a. Beritahu pasien, minta persetujuan klien dan anjurkan untuk cuci

tangan.
27

b. Atur pasien dalam posisi duduk tegak atau duduk setengah

membungkuk.

c. Letakkan pengalas pada klien, letakkan bengkok/pot sputum pada

pangkuan dan anjurkan klien memegang tisu.

d. Ajarkan klien untuk menerik napas secara perlahan, tahan 1-3 detik

dan hembuskan perlahan dengan mulut. Lakukan prosedur ini

beberapa kali.

e. Anjurkan untuk menarik napas, 1-3 detik batukkan dengan kuat.

f. Tarik napas kembali selama 1-2 kali dan ulangi prosedur di atas dua

hingga enam kali.

g. Jika diperlukan, ulangi lagi prosedur di atas.

h. Bersihkan mulut klien, instruksikan klien untuk membuang sputum

pada pot sputum pot atau bengkok.

i. Beri penguatan, bereskan alat dan cuci tangan.

j. Menjaga kebersihan dan mencegah kontaminasi terhadap sputum.

k. Tindakan batuk efektif perlu diulang beberapa kali bila diperlukan.


28

BAB III

LAPORAN KASUS

Bab ini menjelaskan tentang asuhan keperawatan Tn. W dengan penyakit

paru obstruktif kronik (PPOK) yang dilaksanakan pada tanggal 11 April 2014.

Asuhan keperawatan dimulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,

implementasi dan evaluasi.

A. Pengkajian

Pengkajian dimulai pada tanggal 11 April 2014, pukul 08.30 WIB,

pada kasus ini data diperoleh dengan cara autoanamnase, alloanamnase,

pengamatan dan observasi langsung, menelaah catatan medis, catatan perawat

dan pengkajin fisik pasien. Hasil pengkajian kepada Tn. W, umur 62 tahun,

berjenis kelamin laki-laki, bekerja sebagai petani, status sudah menikah dan

beragama Islam, dirawat di IGD RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso

Wonogiri, tanggal masuk rumah sakit 11 April 2014 dengan diagnosa medis

penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Penanggung jawab pasien bernama

Ny. S, umur 37, hubungan dengan pasien adalah anak.

Hasil pengkajian tanggal 11 April 2014, pukul 08.30 WIB pada pasien

Tn. W dengan keluhan utama adalah sesak nafas. Riwayat penyakit sekarang

pasien mengatakan sesak nafas dan batuk sudah 4 hari, pasien mengatakan

sesak nafas setelah membersihkan rumput di halaman depan rumah, pasien

mengatakan sebelum dibawa ke rumah sakit, pasien mengalami sesak nafas

28
29

sehabis beraktivitas, pasien mengatakan sesak nafas kambuh setelah

menjalankan aktivitas.

Hasil pengkajian pada riwayat penyakit dahulu didapatkan pada

pasien bahwa masa kanak-kanak pasien mengatakan tidak pernah mengalami

sakit sampai mondok di rumah sakit, pasien mengatakan tidak pernah

mengalami kecelakaan, pasien mengatakan pernah mondok di rumah sakit

yang sama tiga tahun yang lalu dan pasien mengatakan belum pernah

menjalani operasi apapun. Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat alergi

pada makanan tertentu, pasien mengatakan mendapatkan imunisasi 5 lengkap

(polio, campak, DPT, BCG dan hepatitis) dan pasien mengatakan mempunyai

kebiasaan merokok dan melakukan aktifitas setiap pagi serta pasien

mengatakan lingkungan rumahnya bersih dan terdapat ventilasi.

Hasil pengkajian pada pola pengkajian primer didapatkan data airway:

terdengar bunyi wheezing, breathing: respirasi 32 x/ menit, nafas cepat,

bernafas menggunakan O2 3 lt/ menit, circulation: tekanan darah pasien 140/

100 mmHg, nadi 90 x/ menit, respirasi 32 x/ menit, akral dingin, nadi lemah

dan capileryrefile kurang dari 2 detik, disability (GCS) E: 4, V: 5, M: 6,

jumlah 15 (composmentis) dan exposure: pasien tidak terdapat trauma ataupun

fraktur pada tubuhnya dan suhu badan pasien adalah 37,20 C.

Hasil pengkajian pada pola pengkajian primer didapatkan data pada

pasien bahwa pasien mengalami sesak nafas dan batuk, pasien dan keluarga

mengatakan tidak mempunyai alergi obat apapun, pasien sebelum dirawat di

IGD sampai dirawat di IGD tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu, empat


30

tahun yang lalu sudah pernah mondok di rumah sakit yang sama dengan

keluhan yang sama, keluarga pasien mengatakan pasien terakhir kali makan

pukul 19.00 WIB dengan menu nasi, sayur dan telur di rumah dan pasien

mengatakan sebelum pasien masuk IGD RSUD Wonogiri, pasien

membersihkan rumput di halaman depan rumah + pukul 06.00 dan merasakan

sesak nafas.

Pengkajian pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan hasil bahwa

keadaan umum lemas, kesadaran composmentis, hasil pemeriksaan tanda-

tanda vital didapatkan tekanan darah 140/100 mmHg, nadi 90 x/menit,

respirasi 32 x/ menit dan suhu 37,20 C. Bentuk kepala mesochepal, warna kulit

sawo matang, rambut lurus dan bersih serta turgor kulit baik dan elastis.

Pemeriksaan mata didapatkan palbebra tidak oedema, konjungtiva tidak

anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter kanan-kiri simetris, reflek

terhadap cahaya positif dan tidak menggunakan alat bantu penglihatan.

Hidung simetris, bersih, terpasang O2 kanul, terdapat cuping hidung saat

bernafas, mulut simetris, mukosa bibir lembab, tidak ada stomatitis, gigi

bersih, telinga kanan kiri simetris, tidak ada serumen dan pendengaran baik.

Pemeriksaan leher tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.

Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan hasil pada paru-paru pasien,

inspeksi: simetris kanan-kiri, palpasi: pengembangan dada kanan kiri simetris,

perkusi: sonor dan auskultasi: terdengar wheezing ronkhi. Pemeriksaan

jantung, inspeksi: simetris, ictus cordis tidak tampak, ictus cordis teraba pada

inter costa 5 mid clavikula sinistra, perkusi: pekak dan auskultasi bunyi
31

jantung 1 dan 2 reguler. Pemeriksaan abdomen, perkusi: simetris kanan dan

kiri, auskultasi: terdengar peristaltik usus 20 x/ menit, perkusi: tympani

dikuadran 2, 3 dan 4 serta perkusi: tidak ada nyeri tekan pada abdomen.

Hasil pemeriksaan genetalia bersih dan tidak terpasang DC serta anus

tidak hemoroid. Pemeriksaan ekstremitas kekuatan otot atas kanan 5 dan kiri

5, kekuatan otot bawah kanan 5 dan kiri 5, ROM atas kanan-kiri dapat

bergerak bebas, ROM atas kanan-kiri dapat bergerak bebas, capilary refil atas

kurang dari 2 detik, capilary refil bawah kurang dari 2detik, perubahan bentuk

tulang atas tidak ada, perubahan bentuk tulang bawah tidak ada, perabaan

akral atas dingin dan perabaan akral bawah dingin.

Pemeriksaan penunjang pada pasien selama perawatan di ruang IGD

dilakukan pada tanggal 11 April 2014, jenis pemeriksaan yang didapatkan

berupa WBC 140 k/ ul (nilai normal 3.6 11.0), LYM 1.0 % L (nilai normal

0.6 4.1), MID 4.7% (nilai normal 0.0 1.8), GRAN 12.3% (nilai normal 2.0

7.8), RBC 5.06 m/ ul (nilai normal 3.80 5.90), HGB 16.0 g/ dL (nilai

normal 11.7 17.3), HCT 51.6% (nilai normal 35.0 52.0), MCV 10.0%

(nilai normal 80.0 100.0), MCH 31.6 pg (nilai normal 26.0 34.0), MCHC

3.10 g/dL (nilai normal 32.0 36.0), RDW 13.6 g (nilai normal 11.5 14.5),

PLT 204 k/ uL (nilai normal 150 440) dan MPV 7.0 fl (nilai normal 0.0

99.8).
32

Terapi yang diberikan berupa cairan intra vena infus RL 20 tpm yang

berfungsi sebagai penambah cairan. Ranitidin 25 mg/ ampul golongan obat

saluran cerna, antasida dan ulkus yang berguna sebagai pengobatan jangka

pendek tukak duodenum aktif. Cofotaxime 1 gr golongan obat antibakteri,

sefolosporin yang berfungsi sebagai obat infeksi saluran pernapasan bagian

bawah, saluran kemih, tulang dan sendi. Amonino 24 mg golongan obat untuk

saluran nafas yang berfungsi sebagai obat asma bronkhial dan gangguan

kekejangan bronkhial. Ventolin 2,5 mg golongan obat untuk saluran

pernapasan antitusif yang berfungsi sebagai obat asma, bronkitis kronis dan

emfisema.

B. Diagnosa Keperawatan

Data fokus yang didapatkan pada Tn. W tanggal 11 April 2014 pukul

08.30 WIB adalah secara subjektif pasien mengatakan batuk berdahak sudah 4

hari, secara objektif pasien tampak batuk dan terdengar ronkhi.Dari

datatersebut ditentukan diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan

nafas berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).

Data fokus yang kedua pada Tn. W, tanggal 11 April 2014, pukul

09.00 WIB adalah secara subjektif pasien mengatakan sesak nafas dan apabila

tiduran mengalami sesak nafas, secara objektif pada pasien terdapat nafas

cuping hidung, pasien tampak terpasang O2 kanul 3 lt, pasien tampak bernafas

cepat dan respirasi pasien 32 x/ menit.Dari data tersebut ditentukan diagnosa

keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi.


33

Berdasarkan diagnosa keperawatan yangditemukan penulis, maka

dapat dirumuskan prioritas diagnosa keperawatan yang pertama yaitu

ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penyakit paru

obstruksi kronis (PPOK) dan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan

hiperventilasi.

C. Intervensi Keperawatan

Intervensi pertama yang dibuat penulis berdasarkan diagnosa

keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 1 x 60 menit diharapkan pasien dapat bernafas spontan

dengan kriteria hasil tidak ada ronkhi dan pasien mampu bernafas dengan

mudah dan tidak ada batuk berdahak. Rencana keperawatan untuk Tn. W yang

dapat dibuat antara lain observasi keadaan umum pasien untuk mengetahui

keadaan umum pasien, mengobservasi pernafasan untuk mengetahui irama

nafas frekuensi nafas dan memposisikan semifowler untuk memberikan rasa

nyaman pada pasien, menganjurkan pasien untuk minum air hangat untuk

mengencerkan dahak, mengajarkan batuk efektif untuk mengeluarkan dahak

dan kolaborasi dalam pemberian obat untuk mengurangi dahak pada pasien.

Intervensi kedua yang dibuat penulis berdasarkan diagnosa

keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi

mempunyai tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 60

menit pola nafas menjadi efektif dengan kriteria hasil respirasi dalam batas
34

normal, yaitu 24 x/ menit, tidak ada cuping hidung dan tidak terpasang O2.

Rencana keperawatan untuk Tn. W yang dapat dibuat antara lain monitoring

keadaan pernafasan irama nafas dan frekuensi nafas untuk mengetahui

keadaan umum pasien, tinggikan kepala untuk mencapai posisi yang nyaman

untuk memberikan rasa nyaman kepada pasien, anjurkan keluarga dan pasien

dalam membatasi kegiatan agar sesak nafas tidak kambuh lagi dan kolaborasi

dalam pemberian O2 untuk membantu pasien dalam suplai pemenuhan O2.

D. Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan berdasarkan diagnosa keperawatan

ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penyakit paru

obstruksi kronis (PPOK) yang dilakukan pada Tn. W pada hari Jumat, tanggal

11 April 2014 jam 09.15 WIB yaitu melakukan pemasangan infus, respon

subjektif pasien mengatakan bersedia, respon objektif infus RL 20 tpm sudah

terbasang. Jam 09.15 WIB memberikan injeksi Aminophilin, Cefotaxime,

Ranitidin dan Furosemid, respon subjektif pasien mengatakan bersedia, respon

objektif obat masuk melalui IV cateter dan jam 09.10 WIB mengajarkan batuk

efektif, respon subjektif pasien bersedia diajarkan mengenai batuk efektif,

respon objektif pasien tampak lebih nyaman setelah melakukan batuk efektif

dahak bisa keluar.

Implementasi keperawatan berdasarkan diagnosa keperawatan

ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi yang dilakukan

pada Tn. W pada hari Jumat, tanggal 11 April 2014 jam 09.00 WIB yaitu
35

mengobservasi tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, respon subjektif

pasien mengatakan bersedia, respon objektif keadaan umum composmentis,

tekanan darah 140/ 100 mmHg, nadi 90 x/ menit, respirasi 36 x/ menit dan

suhu 37,20 C. Jam 09.05 melakukan rekam EKG, respon subjektif pasien

mengatakan bersedia, respon objektif hasil EKG sinus ritme.

E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi untuk diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan

nafas berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) pada Tn. W

dilakukan pada tanggal 11 April 2014, pukul 09.40 WIB dengan

menggunakan metode SOAP, didapatkan hasil subjektif pasien mengatakan

batuk sudah berkurang, hasil objektif pasien tampak tenang, terdengar ronkhi,

dahak keluar, tekanan darah 130/ 90 mmHg, respirasi 32 x/ menit, nadi 90 x/

menit, suhu 370 C, hasil analisis masalah teratasi sebagian, karena kriteria

hasil dan tujuan belum tercapai maka intervensi dilanjutkan yaitu observasi

keadaan umum pasien, observasi pernafasan pasien, posisikan semifowler,

anjurkan pasien minum air hangat, ajarkan batuk efektif pada klien dan

kolaborasi dalam pemberian obat.

Evaluasi untuk diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas

berhubungan dengan hiperventilasi yang dilakukan pada Tn. W pada hari

Jumat, tanggal 11 April 2014, pukul 09.30 WIB dengan menggunakan metode

SOAP, didapatkan hasil subjektif pasien mengatakan masih mengalami sesak

nafas, hasil objektif terpasang kanul O2, suara nafas wheezing, ada cuping
36

hidung dan respirasi 32 x/menit, hasil analisis masalah belum teratasi, karena

kriteria hasil dan tujuan belum tercapai maka perencanaan dilanjutkan dengan

intervensi antara lain monitoring keadaan pernafasan, tinggikan kepala untuk

mencapai posisi nyaman, anjurkan keluarga dan pasien dalam membatasi

kegiatan beraktivitas dan kolaborasi dalam pemberian O2.


37

BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam bab ini, penulis akan membahas proses asuhan keperawatan yang

dilakukan pada tanggal 11 April 2014 di ruang IGD RSUD Dr. Soediran Mangun

Sumarso Wonogiri. Prinsip dari pembahasan ini dengan memfokuskan pada

proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, diagnosa keperawatan,

perencanaan, pelaksanaan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.

Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan adalah

tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses pengumpulan

data yang sistematis dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan

mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap pengkajian merupakan dasar utama

dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu (klien).

Oleh karena itu pengkajian yang benar, akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan

dalam merumuskan suatu diagnosis keperawatan (Nursalam, 2005).

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan singkat, jelas dan pasti tentang

masalah klien yang nyata/ potensial serta penyebabnya dapat dipecahkan atau

diubah melalui tindakan keperawatan (Dermawan, 2012: 58).

Tujuan keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan suatu tindakan

yang dapat diukur berdasarkan kemampuan dan kewenangan perawat. Penulis

dalam menentukan tujuan dan kriteria hasil kasus atas dasar pada metode

SMART. S: Spesifik, tujuan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda. M:

Measurable, tujuan keperawatan harus dapat diukur, khususnya tentang perilaku

37
38

pasien, dapat dilihat, didengar, diraba, dirasakan dan dibau. A: Achievable, tujuan

harus dapat dicapai. R: Reasonable, tujuan harus dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah dan T: Time, mempunyai batasan waktu yang jelas

(Nursalam, 2005).

Intervensi adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuan yang

berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan dan intervensi

keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut. Intervensi merupakan

langkah awal dalam menentukan apa yang dilakukan untuk membantu klien

dalam memenuhi serta mengatasi masalah keperawatan yang telah ditentukan.

Tahap perencanaan keperawatan adalah menentukan prioritas diagnosa

keperawatan, penetapan kriteria evaluasi dan merumuskan intervensi keperawatan

(Potter dan Perry, 2005).

Implementasi adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan

yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan

keperawatan dilakukan dan diselesaikan. Implementasi mencakup melakukan,

membantu, atau mengarahkan kinerja aktivitas kehidupan sehari-hari,

memberikan asuhan perawatan untuk tujuan yang berpusat pada klien.

Implementasi merupakan tahapan pemberian tindakan keperawatan untuk

mengatasi permasalahan penderita secara terarah dan komprehensif, berdasarkan

rencana tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya (Potter dan Perry, 2005).

Evaluasi adalah respons pasien terhadap terapi dan kemajuan mengarah

pencapaian hasil yang diharapkan. Aktivitas ini berfungsi sebagai umpan balik

dan bagian kontrol proses keperawatan, melalui mana status pernyataan


39

diagnostik pasien secara individual dinilai untuk diselesaikan, dilanjutkan, atau

memerlukan perbaikan (Doenges dkk, 2006).

Berdasarkan hasil pengkajian pada Tn. W yang dilakukan pada tanggal 11

April 2014, Tn. W datang ke IGD RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso

Wonogiri dengan keluhan utama yang dirasakan oleh klien adalah sesak nafas.

Pasien mengatakan sesak nafas dan batuk sudah 4 hari, pasien mengatakan sesak

nafas setelah membersihkan rumput di halaman depan rumah, pasien mengatakan

sebelum dibawa ke rumah sakit, pasien mengalami sesaknafas sehabis

beraktivitas, pasien mengatakan sesak nafas kambuh setelah menjalankan

aktivitas. Diagnosa medis pada pasien adalah penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK). Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai

dengan gangguan fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang

disebabkan oleh adanya penyempitan saluran napas dan tidak banyak mengalami

perubahan dalam masa observasi beberapa waktu. Penyakit paru-paru obstruksi

menahun merupakan suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok

penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan

resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya

(Fauci et al. 2009).

Dari data pengkajian di atas, dapat dilihat bahwa tanda dan gejala pada

klien sesuai dengan referensi yang menyebutkan bahwa gambaran secara umum

pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah kelemahan badan,

batuk, sesak napas, sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi, mengi atau

wheeze, ekspirasi yang memanjang, bentuk dada tong (Barrel Chest) pada
40

penyakit lanjut, penggunaan otot bantu pernapasan, suara napas melemah, kadang

ditemukan pernapasan paradoksaldan edema kaki, asites dan jari tabuh

(Douglas, 2004).

Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari

gangguan yang mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma,

yang merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas

dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru. Penyakit paru obstruksi

kronik adalah suatu penyakit yang menimbulkan obstruksi saluran napas,

termasuk didalamnya ialah asma, bronkitis kronis dan emfisema pulmonum.

Komplikasi yang dapat timbul pada pasien penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)

yaitu mendatangkan proses inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan

pada dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi

bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi

awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada

saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara

(air trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan

segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan

kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi

paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami

gangguan (Anderson, 2007).

Data fokus yang didapatkan pada Tn. W tanggal 11 April 2014 pukul

08.30 WIB adalah secara subjektif pasien mengatakan batuk berdahak sudah 4

hari, secara objektif pasien tampak batuk dan terdengar ronkhi.Dari data tersebut
41

ditentukan diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas

berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah ketidakmampuan dalam

membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran pernapasan untuk menjaga

bersihan jalan napas. Batasan karakteristik dari ketidakefektifan bersihan jalan

nafas adalah batuk yang tidak efektif, penurunan bunyi napas, suara napas

tambahan (ronkhi, rales, crakleswheezing), sputum dalam jumlah berlebih,

sianosis, kesulitan bicara, mata terbuka lebar, perubahan frekuensi napas,

perubahan irama napas dan sianosis gelisah (Nanda, 2009). Data dari asuhan

keperawatan yang didapatkan pada Tn. W yang sesuai dengan batasan

karakteristik adalah batuk berdahak dan terdapat suara nafas tambahan (ronkhi).

Intervensi yang dilakukan pada diagnosa keperawatan ketidakefektifan

bersihan jalan nafas berhubungan dengan penyakit paru okstruksi kronis

(PPOK)bertujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 60 menit

diharapkan pasien dapat bernafas spontandengan kriteria hasil tidak ada ada suara

nafas tambahan ronkhi, pasien mampu bernafas dengan mudah dan tidak ada

batuk berdahak, maka penulis menyusun intervensi yang pertama yaitu observasi

keadaan umum pasien untuk mengetahui keadaan umum pasien,observasi

pernafasan untuk mengetahui irama nafas dan frekuensi nafas, posisikan

semifowler untuk memberikan rasa nyaman,anjurkan klien untuk minum air

hangat untuk mengencerkan dahak, ajarkan pasien batuk efektif untuk

mengencerkan dahak dankolaborasi pemberian obat untuk mengurangi dahak.


42

Berdasarkan intervensi yang telah direncanakan, penulis melakukan

implementasi pada diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas

berhubungan dengan penyakit paru okstruksi kronis (PPOK) pada tanggal 11

April 2014 yaitu melakukan pemasangan infus dengan hasil infus Rl 20 tetes per

menit terpasang,memberikan injeksi Aminophilin, Cefotaxime, Ranitidine dan

Furosemid dengan hasil obat masuk melalui IV cateter,mengajarkan batuk efektif

dengan hasil pasien tampak lebih nyaman setelah melakukan batuk efektif, dahak

bisa keluar.

Batuk efektif merupakan batuk yang dilakukan dengan sengaja. Namun

dibandingkan dengan batuk biasa yang bersifat refleks tubuh terhadap masuknya

benda asing dalam saluran pernapasan, batuk efektif dilakukan melalui gerakan

yang terencana atau dilatihkan terlebih dahulu. Dengan batuk efektif, maka

berbagai penghalang yang menghambat atau menutup saluran pernapasan dapat

dihilangkan.Gerakan ini pula yang kemudian dimanfaatkan kalangan medis

sebagai terapi untuk menghilangkan lendir yang menyumbat saluran pernapasan

akibat sejumlah penyakit. Itulah yang dimaksud pengertian batuk efektif

(Apriyadi, 2013).

Implementasi yang dilakukan pada pasien dengan penyakit paru obstruktif

kronik (PPOK) didapatkan hasil bahwa pasien tampak lebih nyaman setelah

melakukan batuk efektif dahak bisa keluar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Nugroho dan Kristiani (2011), yang hasil penelitiannya adalah

pengeluaran dahak setelah diberikan tindakan batuk efektif pada pasien dengan

ketidakefektifan bersihan jalan nafas diInstalasi Rehabilitasi Medik RS


43

BaptisKediri menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan/ bermakna

sebelum dan sesudah perlakuan batuk efektik pada pasien dengan ketidakefektifan

bersihan jalan nafas.

Dalam tahap evaluasi, penulis menggunakan metode SOAP. S: Subyektif

data, O: Obyektif data, A: Analisis dan P: Planning atau rencana.Evaluasi pada

diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

penyakit paru okstruksi kronis (PPOK) yang dilakukan tanggal 11 April 2014

didapatkan data subjektif bahwa pasien mengatakan batuk sudah berkurang. Data

objektif didapatkan hasil bahwa pasien tampak tenang, terdengar ronkhi dan

dahak keluar, tekanan darah 130/ 90 mmHg, respirasi 32 x/ menit, nadi 90 x/

menit, suhu badan 370 C. Analisis data didapatkan hasil bahwa masalah teratasi

sebagian,karena kriteria hasil dalam tujuan ada yang belum tercapai. Intervensi

dilanjutkan observasi keadaan umum, observasi pernafasan, memposisikan

semifowler, ajarkan batuk efektif, anjurkan klien minum air hangat dan kolaborasi

pemberian obat.Saat melakukan tindakan keperawatan, penulis tidak mengalami

kesulitan karena pasien kooperatif.

Pada kasus ini masalah belum teratasi dikarenakan waktu yang kurang

efektif dalam melakukan asuhan keperawatan yaitu 1 hari saja. Untuk melakukan

asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

memerlukan waktu yang tidak singkat untuk mencapai hasil yang baik dan

optimal. Dengan demikian diperlukan waktu lebih dari 1 hari untuk melakukan

asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
44

Hal ini sesuai dengan jurnal penelitian Nugroho dan Kristiani (2011),

dijelaskan bahwa untuk melakukan asuhan keperawatan pada ketidakefektifan

bersihan jalan nafas dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) agar

mencapai hasil yang baik dan optimal diperlukan waktu 7 hari.

Data fokus yang didapatkan pada Tn. W tanggal 11 April 2014 pukul

09.00 WIB adalah secara subjektif pasien mengatakan sesak nafas sudah 4

hari,secara objektif pasien masih terpasang kanul O2. Sehingga diambil diagnosa

keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi.

Ketidakefektifan pola nafas adalah suatu kondisi ketika invidu mengalami

ventilasi yang adekuat, aktual dan potensial dikarenakan perubahan pola

nafas.Dengan kata lain bahwa ketidakefektifan pola napas merupakan suatu

inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat

dikarenakan pola nafas yang tidak efektif dan ventilasi atau pertukaran udara

inspirasi dan atau ekspirasi tidak adekuat (Wilkinson, 2006). Batasan karakteristik

dari ketidakefektifan pola nafas adalah dispnea, napas pendek, perubahan gerakan

dada, napas cuping hidung dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan

(Wilkinson, 2007).

Berdasarkan diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas

berhubungan dengan hiperventilasi, maka penulis menyusun intervensi antara lain

monitoring keadaan pernafasan, irama nafas dan frekuensi nafas untuk

mengetahui keadaan umum pasien, tinggikan kepala untuk mencapai posisi yang

nyaman untuk memberikan rasa nyaman, anjurkan keluarga dan pasien dalam
45

membatasi kegiatan untuk agar sesak nafas tidak kambuh, kolaborasi pemberian

O2 untuk membantu pasien dalam suplai O2.

Implementasi dari diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas

berhubungan dengan hiperventilasi yang telah dilakukan pada tanggal 11 April

2014 yaitu mengobservasi tanda-tanda vital dan keadaan umum dengan hasil

tekanan darah 140/ 100 mmHg, nadi 90 x/ menit, respirasi 36 x/ menit, suhu 37,20

C dan keadaan umum composmentis, melakukan rekam EKG dengan hasil EKG

sinus ritme, menginformasikan kepada keluarga klien bahwa merokok merupakan

kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan klien dalam ruang perawatan, serta

untuk memberikan pengetahuan pada keluarga karena dapat mempengaruhi sistem

pernafasan klien dan dapat meminimalkan polusi di ruang perawatan,

menginstruksikan kepada klien dan keluarga tentang rencana perawatan di rumah,

dengan tujuan untuk membantu perencanaan perawatan di rumah.

Evaluasi pada diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas

berhubungan dengan hiperventilasi yang dilakukan tanggal 11 April 2014

didapatkan data subjektif bahwa pasien mengatakan masih sesak nafas. Data

objektif didapatkan pasien masih terpasang kanul O2 3 liter/ menit, terdengar

suara nafas tambahan (wheezing), ada cuping hidung dan respirasi 32 x/ menit.

Analisis data didapatkan masalah belum teratasi, karena kriteria hasil dalam

tujuan belum tercapai. Intervensi dilanjutkan yaitu monitoring keadaan

pernafasan, tinggikan kepala untuk mencapai posisi nyaman, anjurkan keluarga

dan pasien dalam membatasi kegiatan dan kolaborasi dalam pemberian O2.
46

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian bab pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Hasil pengkajian yang telah dilakukan penulis pada tanggal 11 April 2014

didapatkan data yang muncul pada data fokus (analisa data) Tn. W yaitu

data subjektif pasien mengatakan batuk berdahak sudah 4 hari, pasien

mengatakan sesak nafas dan apabila tiduran mengalami sesak nafas, data

objektif pasien tampak batuk dan terdengar ronkhi, cuping hidung, pasien

tampak terpasang O2 kanul 3 lt, pasien tampak bernafas cepat dan respirasi

pasien 32 x/ menit.

2. Diagnosa keperawatan pada Tn. W adalah ketidakefektifan bersihan jalan

nafas berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dan

ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi.

3. Intervensi keperawatan yang dilakukan pada Tn. W pada diagnosa

ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penyakit paru

obstruksi kronis (PPOK) adalah observasi keadaan umum pasien,

observasi pernafasan, memposisikan semi fowler, anjurkan klien untuk

minum air hangat,ajarkan pasien batuk efektif dan kolaborasi pemberian

obat. Sedangkan intervensi yang dilakukan pada diagnosa ketidakefektifan

pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi adalah monitoring keadaan

46
47

pernafasan, tinggikan kepala untuk mencapai posisi yang nyaman,

anjurkan keluarga dan pasien dalam membatasi kegiatan dan kolaborasi

pemberian O2.

4. Tindakan keperawatan pada tanggal 11 April 2014 berdasarkan diagnosa

keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) yaitu melakukan pemasangan

infus, memberikan injeksi Aminophilin, Cefotaxime, Ranitidin dan

Furosemid, mengajarkan batuk efektif.Berdasarkan diagnosa keperawatan

ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi yang yaitu

mengobservasi tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien dan

melakukan rekam EKG.

5. Hasil dari evaluasi pada tanggal 11 April 2014 yaitu ketidakefektifan

bersihan jalan nafas pada pasien Tn. W dengan penyakit paru obstruktif

kronik (PPOK) teratasi sebagian, sedangkan ketidakefektifan pola nafas

belum teratasi.

6. Hasil analisa pemberian batuk efektif pada Tn. W efektif untuk

mengeluarkan dahak sesuai dengan hasil penelitian dalam jurnal Nugroho

dan Kristiani (2011), bahwa batuk efektif sangat efektif dalam pengeluaran

dahak pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).


48

B. Saran

Dengan memperhatikan kesimpulan di atas, penulis dapat memberikan

saran sebagai berikut:

1. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada pasien dengan

lebih optimal dan meningkatkan mutu pelayanan pada rumah sakit.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan mampu meningkatkan mutu dalam pembelajaran untuk

menghasilkan perawat-perawat yang lebih profesional, inovatif, terampil

dan lebih berkualitas.

3. Bagi Pasien

Diharapkan pasien untuk segera bertindak dalam proses

penyembuhan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan lebih

memperhatikan kemandirian penderita dalam melakukan aktivitas, tidak

membebani mental atau pikiran penderitadan selalu memberikan dorongan

mental agar penderita tidak merasarendah diri dan putus asa.


DAFTAR PUSTAKA

Alsagaf, Mukty Abdul, 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Penerbit


Airlangga University Press: Surabaya.

Anas, Tamsuri, 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Pernafasan.


Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Anderson, Price Sylvia & Wilson, Lorraine McCarty. 2007. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. Penerbit EGC: Jakarta.

Apriyadi, 2013. Latihan Nafas Dalam dan Batuk Efektif. Online dalam:
http://uung-perawatalirsyad.blogspot.com/2013/06/latihan-nafas-dalam-
dan-batuk-efektif_19.html. Diakses tanggal 24 April 2014.

Dermawan, 2012. Keperawatan Medikal Bedah (Sistem Pencernaan).


Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Dinkes Jateng, 2012. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011. Jawa
Tengah: Bidang Kesehatan.

Doenges dkk, 2006. Nursing Care Plans: Guidelines for Individualizing Client
Care Across the Life Span. Publisher: Davis Company, F. A. USA.

Douglas, 2004. Respiratory Disease, 9th Edition, PG Publishing Pte Ltd, page:
346-379.

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, et al. 2009. Harisons


Manual of Medicine: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 17th Ed.
Amerika Serikat: McGraw Hill: page: 759-763.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2009.


Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention,
dalam buku Ikawati, Zulies. Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan.
Yogya: Pustaka Adipura.

Halim, Danu Santoso. 2008. Ilmu Penyakit Paru, Jakarta. Hal: 169-192.

Herdman, T. H. 2011. Nursing Diagnoses: Definitions and Classification. Wiley


Company, USA.

Hulwaanah, 2013. Asuhan Keperawatan Enfisema.


http://shinichiranmouri.blogspot.com/2013/10/askep-enfisema.html.
Diakses 29 April 2014.
Ikawati, 2007. Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya. Bursa
Ilmu: Yogyakarta

Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1, Edisi 3. Media


Aesculapius FKUI: Jakarta.

Nanda, 2009. Definisi dan Klasifikasi. Penerbit Buku: Prima Medika, Jakarta.

Nugroho, Y. A. dan Kristiani E. E. 2011. Batuk Efektif dalam Pengeluaran Dahak


pada Pasien dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di Instalasi
Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Baptis Kediri. Jurnal STIKES RS.
Baptis Kediri.

Nursalam, 2005. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Edisi 2. Salemba Medika: Jakarta.

Potter, P. A. & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Penerbit


Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Pranowo, 2009. Efektifitas Batuk Efektif dalam Pengeluaran Sputum untuk


Penemuan BTA pada Pasien TB Paru di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Mardi Rahayu Kudus.

Smeltzer, 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Penerbit EGC:
Jakarta.

Trabani, Rab. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM.

Wahyudi, Nugroho. 2010. Keperawatan Gerontik. Edisi 2, Penerbit Buku


Kedokteran, EGC: Jakarta.

WHO, 2007. Global Surveillance, Prevention and Control of Chronic


Respiratory. Disease A Comprehensive Approach. Available From:
http://whqlibdoc.who.int/publications/2007/9789241563468_eng.pdf.
Diakses tanggal 23 April 2014.

Wilkinson, J. M, 2006. Buku Saku: Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi


NIC dan Kriteria Hasil NOC. Penerbit Buku Kedokteran, EGC: Jakarta,
Hal 303-308.

Wilkinson, J. M. 2007. Diagnosa Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran, EGC:


Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai