Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH KETERAMPILAN DASAR PRAKTEK

KEBIDANAN
Prinsip Pencegahan Infeksi
Dosen Pengampu : Suryani, SST,M.Keb

Disusun Oleh :

Erina Putri (P07524419101)

Kelas : DIV / 2C

POLTEKKES KEMENKES RI MEDAN

JURUSAN KEBIDANAN

TA : 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji syukur kita tingkatkan kehadirat Allah


SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayahNya, sehingga tim
penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah Dan Dasar
Pelaksanaan Kewaspadaan Universal, Pengenalan Lingkungan dalam Pelayanan
Kebidanan dan Patient Safety” .
Makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari dosen pengampu yaitu
ibu Suryani, SST,M.Keb dan rekan-rekan lainnya. Maka dari itu, tim penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu dan rekan-rekan
yang telah membantu dan memberi arahan kepada penulis untuk menyelesaikan
makalah ini.

Tim penyusun tahu bahwa makalah ini belum sempurna, masih banyak
kesalahan dan kekurangan disana sini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun, agar makalah ini dapat lebih sempurna
dan lebih baik lagi. Semoga makalah ini, dapat bermanfaat bagi pembaca.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Medan, 01 September 2020

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................i

Daftar Isi.................................................................................................................ii

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah.........................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................2

1.3 Tujuan ...................................................................................................2

BAB II Pembahasan

2.1 Sejarah kewaspadaan universal.............................................................3

2.2 Dasar Pelaksanaan Kewaspadaan Universal.........................................5

2.2.1 Pengertian kewaspadaan universal (universal precaution).....5

2.2.2 Tujuan kewaspadaan universal...............................................5

2.2.3 Indikasi Universal precautions...............................................6

2.2.4 Macam Universal precautions................................................7

2.2.5 Faktor-Faktor yang mempengaruhi universal precaution...15


2.3 Pengenalan lingkungan dalam pelayanan kebidanan..........................18
2.3.1 Pengertian pengenalan lingkungan dalam pelayanan
kebidanan..........................................................................18
2.3.2 Macam-macam lingkungan..................................................19
2.4 Patient safety.......................................................................................22
2.4.1 Pengertian patient safety......................................................22
2.4.2 tujuan patient safety.............................................................22
2.4.3 urgensi patient safety............................................................23

ii
2.4.5 isu, Elemen, dan Akar Penyebab Kesalahan yang Paling
Umum dalam Patient safety..........................................................24
2.4.6 standar keselamatan pasien..................................................25
2.5 Prinsip dalam pencegahan infeksi.......................................................29
2.5.1 Pencegahan infeksi...............................................................29
2.5.2 Pentingnya prinsip pencegahan infeksi................................30
2.5.3 Pedoman pencegahan infeksi...............................................32
BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan ...................................................................................34

3.2 Saran .............................................................................................34

Daftar Pustaka.....................................................................................................35

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi dan penyakit menular masih merupakan masalah


kesehatan di Indonesia. Infeksi terjadi karena adanya interaksi antara
mikroorganisme dengan tubuh yang rentan. Pada umumnya di Indonesia pasien
yang datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan lemah atau parah. Oleh karena
itu sering kali diperlukan tindakan “invasive” dan tindakan medis ini dapat
memudahkan masuknya mikroorganisme penyebab infeksi ke dalam tubuh pasien.
Keadaan ini akan semakin mempengaruhi penyakit yang diderita dan bahkan
dapat menyebabkan kematian.

Infeksi disilang (infeksi nosokomial) dapat terjadi melalui penularan dari


pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien yang lain, dari pasien kepada
pengunjung dari keluarg maupun petugas kepada pasien, melalui kontak langsung
ataupun melalui peralatan atau bahan yang sudah terkontaminasi dengan darah
ataupun cairan tubuh lainnya.

Keberhasilan pengendalian infeksi nosokomial sangat dipengaruhi oleh


pengetahuan dan perilaku petugas kesehatan. Sehingga perlu dilakukan penekanan
dalam upaya pencegahan penularan untuk merubah perilaku petugas dalam
memberikan pelayanan. Salah satu strategi yang sudah terbukti bermanfaat dalam
merubah perilaku petugas adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan melalui pelatihan petugas. Sehingga perlu adanya penyediaan sarana
penunjang untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas seperti
buku pedoman (SOP) pelaksanaan kewapadaan universal di sarana kesehatan serta
bimbingan dan monitoring.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah dari kewaspadaan universal ?

2. Apa pengertian dari kewaspadaan universal ?

3. Bagaimana dasar pelaksanaan kewaspadaan universal ?

4. Bagaimana pengendalian lingkungan dalam pelayanan kebidanan ?

5. Apa itu patient safety ?

6. apa saja prinsip-prinsip dalam pencegahan infeksi?

1.3 Tujuan

1. untuk mengetahui bagaimana sejarah dari kewaspadaan universal

2. untuk mengenal kewaspadaan universal

3. untuk mengetahui bagaimana dasar pelaksanaan kewaspadaan universal

4. untuk mengetahui bagaimana pengendalian lingkungan dalam


pelayanan kebidanan

5. untuk mengetahui apa itu patient safety

6. untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam pencegahan infeksi

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Kewaspadaan Universal

Kewaspadaan universal atau universal precaution merupakan


upayapencegahan infeksi nosokomial (infeksi yang ditimbulkan dari tindakan
medis) yang terus menjadi ancaman bagi petugas kesehatan dan pasien.

Pada tahun 1847 diketahui bahwa tindakan medis dapat menularkan


infeksi, yaitu melalui pengamatan Dr. Ignac F. Semmelweid, pada satu bagian di
rumah sakit umum vienna. Pada pengamatannya menemui bahwa sebanyak 600-
800 ibu meninggal setiap tahun akibat demam setelah persalinan. Dr.
Semmelwweis menemukan bahwa sumber infeksi berasal dari tangan petugas
kesehatan yang menolong persalinan. Para dokter menyebarkan infeksi karena
tidak mencuci tangan setelah melakukan persalinan. Setelah petugas diharuskan
mencuci tangan menggunakan larutan klorin, rata-rata kematian ibu bisa ditekan
hingga 11,4% pada bagian pertama dan 2,7 % pada bagian kedua. Pada tahun
1889, sarung tangan diperkenalkan pertama kali sebegai salah satu prosedur
perlindungan dalam melakukan tindakan medis.

Di Amerika serikat, upaya pencegahan infeksi terus dikembangkan dan


pada tahun 1967 CDC Atlanta telah merekomendasikan suatu teknik isolasi
berdasarkan kelompok kategori isolasi (7 kategori) yang diperbaharui pada tahun
1975 dan 1978. Kemudian tahun 1983 pernah direkomendasikan 2 sistem isolasi.
Sistem pertama Category-specific isolation, yang mengelompokan penyakit
menurut cara penularannya. Sistem kedua sifat epidemiologinya disease-spesifik
isolation precautions, yaitu sistem isolasi yang dipakai secara individual
berdasarkan cara penularan fan epidemiologinya. Kekurangan dari kedua sistem
tersebut adalah belum diterapkan sebelum ada diagnosis terhadap suatu penyakit

3
infeksi, sehingga memungkinkan terjadi penyebaran infeksi sebelum diagnosis
ditegakan.

Sejak 80-an Indonesia telah menerapkan kebijaksanaan semacam pada


program pengendalian infeksi nosokomial, yaitu penerapan kategori isolasi yaitu
isolasi pernafasan, isolasi saluran cerna, isolasi ketat, isolasi perlindungan dan
blood precautions.

Penerapan blood and body fluid precautions, secara universal kepada


semua orang disebut juga universal blood and body fluid precautions, universal
bloodhome disease precautions kemudian diperhabarui pada tahun 1977 dan 1998
menjadi universal precautions(UP), yang diterjemahkan menjadi kewaspadaan
universal.

Penerapan universal precautions pada setiap pasien dapat menggantikan


sebagian tindakan isolasi yang berlaku selama ini, namun untuk kasus tertentu
isolasi masih perlu dilakukan misal untuk pasien yang diduga atau diketahui
terinfeksi oleh kuman patogen yang dapat menular. Sehingga pada tahun 1994 UP
dikembangkan sebagai upaya pencegahan infeksi dirumah sakit yang berupa
penerapan dua tingkatan kewaspadaan yaitu :

1. Standard precautions atau kewaspadaan standar, sebagai kewaspadaan


tingkat pertama, merupakan kombinasi dengan body substance isolatus
(BSI) yang menekankan kewaspadaan terhadap bahan-bahan berupa darah,
semua cairan tubuh, sekreta, kulit dan mukosa yang tidak utuh.dikenal
sebagai kewaspadaan universal yang merupakan kewaspadaan yang
bersifat umum, dan diterapkan kepada semua pasiean tanpa memandang
status diagnosisnya.
2. Transmission based precaution adalah kewaspadaan tingkat kedua, yaitu
kewaspadaan terhadap infeksi berdasarkan cara penularan, dirancang
sebagai tambahan dari kewaspadaan universal tersebut diatas keperluan
dan untuk diterapkan kepada pasien yang telah terbukti atau terduga

4
berpenyakit menular. Dikenal dengan tiga jenis kewaspadaan khusus
tersebut, yaitu.
 Kewaspadaan terhadap penularan melalui udara (airbone
precaution)
 Kewaspadaan terhadap penularan melalui percikan (droplet
precaution)
 Kewaspadaan terhadap penularan melalui kontak (contact
precaution)

2.2 Dasar Pelaksanaan Kewaspadaan Universal

2.2.1 Pengertian Kewaspadaan Universal (Universal Precaution)

World Health Organisation (WHO) dalam Nasronudin (2007), universal


precautions merupakan suatu pedoman yang ditetapkan oleh the Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) Atlanta dan the Occupational Safety and
Health Administration (OSHA), untuk mencegah transmisi dari berbagai penyakit
yang ditularkan melalui darah di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan.

Kurniawati dan Nursalam (2009) universal precautions merupakan upaya-


upaya yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengendalikan dan
mengurangi resiko penyebaran infeksi yang ditujukan pada semua pasien pada
saat melakukan setiap tindakan, dan dilakukan disemua tempat pelayanan
kesehatan tanpa memandang status infeksi pasien.

Universal precautions merupakan tindakan pencegahan dan pengendalian


infeksi yang ditujukan pada semua pasien, saat melakukan setiap tindakan oleh
seluruh tenaga kesehatan yang terlibat di semua fasilitas pelayanan kesehatan.

2.2.2 Tujuan Kewaspadaan Universal

 Mengendalikan infeksi secara konsisten

5
Universal precautions merupakan upaya pengendalian infeksi yang harus
diterapkan dalam pelayanan kesehatan kepada semua pasien, setiap waktu untuk
mengurangi resiko infeksi yang ditularkan melalui darah.

 Memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak didiagnosis atau tidak
terlihat seperti beresiko.

Prinsip universal precautions diharapkan akan mendapat perlindungan


maksimal dari infeksi yang ditularkan melalui darah maupun cairan tubuh yang
lain baik infeksi yang telah didiagnosis maupun yang belum diketahui.

 Mengurangi resiko bagi petugas kesehatan dan pasien

Universal precautions tersebut bertujuan tidak hanya melindungi petugas


dari resiko terpajan oleh infeksi HIV, HBV, HCV namun juga melindungi klien
yang mempunyai kecenderungan rentan terhadap segala infeksi yang mungkin
terbawa oleh petugas.

 Asumsi bahwa resiko atau infeksi berbahaya

Universal precautions ini juga sangat diperlukan untuk mencegah infeksi


lain yang bersifat nosokomial terutama untuk infeksi yang ditularkan melalui
darah atau cairan tubuh

2.2.3 Indikasi Universal precautions

Universal precautions diterapkan secara rutin oleh semua tenaga kesehatan


dalam merawat seluruh pasien di rumah sakit dan di fasilitaskesehatan lainnya,
baik pasien sudah terdiagnosa infeksi, diduga terinfeksi atau kolonisasi (Rekam
Medik Instalasi Keamanan dan Keselamatan Kerja RSUP dr. Sardjito, 2011).
Universal precautions juga diterapkan ketika petugas kesehatan kontak dengan
cairan infeksius seperti darah, cairan sekresi dan ekskresi (kecuali keringat), luka
pada kulit, selaput lendir, 13 cairan semen, cairan vagina, cairan sendi, cairan
amnion, cairan serebrospinal, ASI, cairan pericardium (Nursalam dan Kurniawati,
2009)

6
2.2.4 Macam Universal Precautions

Universal precautions meliputi 5 kegiatan pokok yaitu mencucitangan


untuk mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung diri, pengelolaan jarum
dan benda tajam untuk mencegah perlukaan, pengelolaan limbah dan sanitasi
lingkungan, serta pengelolaan alat kesehatan habis pakai (Nursalam dan
Kurniawati, 2009). Penjabaran dari 5 kegiatan pokok universal precautions
tersebut adalah:

a. Cuci Tangan

1) Pengertian cuci tangan

Tindakan mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling penting


yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan dengan tujuan mencegah penularan
penyakit infeksi. Larson dalam Potter & Perry (2005), mencuci tangan adalah
tindakan menggosok tangan dengan sabun pada seluruh permukaan tangan secara
kuat, ringkas, dan dibilas dengan air mengalir. Cuci tangan harus dilakukan
sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan walaupun memakai sarung
tangan dan memakai alat pelindung diri lainnya. Tindakan ini penting untuk
mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran infeksi
dapat dikurangi dan lingkungan kerja terjaga dari infeksi. Tangan yang
terkontaminasi dianggap merupakan penyebab utama perpindahan infeksi
(Kurniawati dan Nursalam, 2007). Boyce dan Pittet dalam Depkes RI (2007),
kegagalan melakukan kebersihan tangan yang baik dan benar dianggap sebagai
penyebab utama infeksi nosokomial dan penyebaran mikroorganisme multi
resisten di fasilitas kesehatan, hal ini telah diakui sebagai kontributor yang penting
terhadap timbulnya wabah. Tindakan mencuci tangan sangat berperan dalam
pencegahan infeksi silang, karena mencuci tangan dengan teknik yang benar
mampu mengurangi jumlah mikroorganisme di tangan.

Larson dan Lusk dalam Potter & Perry (2005), frekuensi mencuci tangan
mempengaruhi jumlah dan jenis bakteri yang ada di tangan. Garner dan Favaro
dalam Potter & Perry (2005) berpendapat bahwa mencuci tangan akan efektif

7
memusnahkan mikroorganisme transien jika dilakukan minimal selama 10-15
detik.

2) Tujuan cuci tangan


Tujuan mencuci tangan adalah untuk menghilangkan kotoran dan
mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran infeksi di
lingkungan kerja dapat dikurangi (Nursalam danKurniawati, 2009).

3) Indikasi cuci tangan.


Larson dalam Potter & Perry (2005) menganjurkan perawat untuk mencuci
tangan pada keadaan seperti tangan tampak kotor, sebelum dan setelah kontak
dengan pasien, setelah kontak dengan sumber mikroorganisme (darah, cairan
tubuh, membran mukosa, kulit yang tidak utuh, atau obyek mati yang
terkontaminasi) dan sebelum melakukan prosedur invasif (pemasangan kateter
intra vaskuler atau kateter menetap).
Indikator mencuci tangan digunakan dan harus dilakukan
untuk antisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan.
Kebersihan tangan wajib dilakukan pada 5 keadaan yaitu :
a) Sebelum kontak dengan pasien
b) Setelah kontak dengan pasien
c) Sebelum tindakan aseptik
d) Setelah kontak dengan cairan tubuh pasien
e) Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien

4) Jenis-jenis cuci tangan


- Cuci tangan higienis atau cuci tangan rutin
Cuci tangan higienis atau cuci tangan rutin dilakukan untuk
mengurangi kotoran dan flora yang ada di tangan dengan menggunakan
sabun atau detergen (Depkes. RI, 2007)
- Cuci tangan aseptik

8
Cuci tangan aseptik adalah cuci tangan yang wajib dilakukan pada
5 keadaan (5 moment). Ada 2 jenis cuci tangan aseptik, yaitu handrub dan
handwash.
- Cuci tangan bedah (surgical handscrub)
Cuci tangan bedah merupakan cuci tangan yang dilakukan
secaraaseptik sebelum melakukan tindakan pembedahan dengan
menggunakan cairan antiseptik dan menggunakan sikat dan busa
steril (Depkes. RI, 2007).

b. Pemakaian Alat Pelindung Diri.


Alat pelindung diri adalah sarana yang digunakan untuk melindungi kulit
dan selaput lendir perawat dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh,
secret atau ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien. Alat
pelindung diri tidak semuanya harus dipakai, tetapi tergantung pada jenis tindakan
yang akan dikerjakan (Depkes. RI, 2007).
Adapun jenis-jenis pelindung diri meliputi :
1) Sarung Tangan.
Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan petugas dari
kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, dan benda yang terkontaminasi,
sehingga mencegah penularan penyakit secara langsung maupun tidak langsung.
Garner dan Favero dalam Depkes. RI (2003), penggunaan sarung tangan dan
kebersihan tangan merupakan komponen kunci dalam meminimalkan penyebaran
penyakit dan mempertahankan lingkungan yang bebas infeksi. Williams dalam
Potter & Perry (2005) berpendapat bahwa tenaga kesehatan harus memakai sarung
tangan dengan beberapa alasan seperti :
 Mengurangi kemungkinan pekerja kontak dengan organisme infeksius
pada klien.
 Mengurangi kemungkinan pekerja memindahkan flora endogen ke pasien.

9
 Mengurangi kemungkinan pekerja menjadi tempat kolonisasi sementara
mikroorganisme.

2) Perlindungan Wajah (masker, kacamata, penutup kepala).


a. Masker
CDC dalam Potter & Perry (2005), pemakaian masker dapatmencegah
penularan infeksi melalui kontak langsung dengan membran mukosa. Masker di
kamar operasi digunakan untuk melindungi perawat dari percikan darah atau
cairan tubuh pasien, melindungi perawat dari menghirup partikel-partikel aerosol
yang melintas dalam jarak pendek dan cairan tubuh pasien ke perawat. Masker
harus cukup besar agar dapat menutupi hidung, mulut, bagian bawah dagu, dan
rambut pada dagu (jenggot). Masker harus terbuat dari bahan yang tahan cairan.
Masker yang terbuat dari kertas atau katun sangat nyaman tetapi tidak mampu
menahan cairan atau tidak efektif sebagai filter. Masker untuk di kamar
bedah yang terbaik juga tidak dirancang untuk benar-benar menutup secara tepat /
rapat, sehingga tetap ada kebocoran udara dari tepi masker. Masker dan kaca mata
secara bersamaaan digunakan perawat yang melakukan tindakan beresiko tinggi
terpajan oleh darah dan cairan tubuh seperti pembersihan luka, membalut luka,
mengganti kateter atau dekontaminasi alat bekas pakai (Potter & Perry, 2005).
b. Pelindung Mata (kaca mata)
Garner dalam Potter & Perry (2005) perawat diharuskan memakai
kacamata pada saat mengikuti prosedur invasif, irigasi luka besar di abdomen,
insersi catheter arterial, dan menjadi asisten dokter pada saat operasi yang
bertujuan untuk melindungi petugas dari percikan darah atau cairan tubuh lain.
c. Topi / Penutup Kepala
Topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala perawat agar
serpihan kulit dan rambut tidak masuk ke dalam luka selama pembedahan dan
melindungi perawat dari percikan darah atau cairan tubuh pasien secara tidak
sengaja. Topi yang digunakan harus cukup besar agar dapat menutup semua
rambut (Potter & Perry, 2005).

10
3) Gaun Perlindung (baju kerja dan apron / celemek)
Gaun pelindung digunakan untuk mencegah kontak mikroorganisme,
percikan darah, dan cairan tubuh, dari pasien ke perawat.
a. Baju Kerja / Gaun Pelindung
Baju kerja/gaun pelindung merupakan salah satu jenis pakaian yang
digunakan untuk bekerja. Baju kerja sebaiknya terbuat dari bahan yang sedapat
mungkin tidak tembus cairan.
Baju kerja / gaun pelindung digunakan untuk menutupi atau mengganti pakaian
pada saat merawat pasien. Perawat kamar bedah yang mengikuti tindakan operasi
harus mengenakan baju atau gaun steril (Potter & Perry, 2005).
b. Apron / Celemek
Apron atau celemek yang terbuat dari plastik merupakan penghalang tahan
air untuk sepanjang bagian depan tubuh perawat/bidan.

4) Sepatu Pelindung
Sepatu / pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki daricedera
akibat benda tajam atau benda berat yang jatuh secara tidak sengaja. Sandal jepit
atau sandal yang tidak menutupi kaki dan sepatu yang terbuat dari bahan yang
lunak atau kain tidak boleh
digunakan. Sepatu boot karet atau sepatu kulit tertutup memberi perlindungan
yang lebih baik, tetapi harus dijaga supaya tetap bersih dan bebas dari
kontaminasi darah atau cairan tubuh pasien. Sepatu atau pelindung kaki yang
tahan terhadap benda tajam dan kedap air harus tersedia di kamar bedah (Potter &
Perry, 2005).

c. Pengelolaan Jarum dan Alat Tajam Untuk Mencegah Perlakuaan


Benda tajam sangat beresiko menyebabkan perlukaan sehingga
meningkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah. Benda-benda
tajam sekali pakai (jarum suntik, silet, pisau bedah) memerlukan pengelolaan
khusus karena benda-benda tajam tersebut dapat melukai perawat dan masyarakat

11
sekitarnya jika benda ini dibuang di pembuangan limbah umum (Depkes. RI,
2007).

d. Pengelolaan limbah dan Sanitasi Ruangan


Pengelolaan limbah merupakan salah satu upaya kegiatan pencegahan dan
pengendalian infeksi di rumah sakait atau fasilitas kesehatan. Limbah dari sarana
kesehatan atau rumah sakit secara umum dibedakan menjadi limbah yang
terkontaminasi dan limbah
tidak terkontaminasi. Limbah yang dihasilkan oleh rumah sakit atau fasilitas
kesehatan sebanyak 85% merupakan limbah tidakterkontaminasi dan tidak
berbahaya bagi perawat, tetapi limbah ini harus dikelola dengan baik dan benar
(Depkes. RI, 2007).
Teknik pengelolaan sampah/limbah di pelayanan kesehatan meliputi tahap
pemilahan, penanganan, penampungan sementara, dan pembuangan. Tahap-tahap
pengelolaaan sampah/limbah tersebut adalah:
1. Pemilahan
Pemilahan merupakan tindakan mmisahkan sampah dikamar operasi yang
dilakukan dengan cara memasukkan sampah pada kantong sampah yang sudah
disediakan sesuai dengan jenis sampahnya. Wadah-wadah tersebut biasanya
menggunakan kantong kantong plastik berwarna, misalnya kantong warna kuning
untuk sampah infeksius / terkontaminasi, kantong warna hitam untuk sampah non
infeksius / non terkontaminasi.
2. Penanganan
Penanaganan sampah dari masing-masing sumber dilakukan dengan
ketentuaan tempat sampah / kantong plastik tidak boleh luber atau penuh, jika
sampah sudah memenuhi ¾ bagian harus segera dibawa ke tempat pembuangan
akhir. Tempat sampah berupa kantong plastik harus diikat rapat pada saat
pengangkutan dan dibuang dengan kantongnya.
3. Penampungan Sementara
Pewadahan sementara sangat diperlukan sebelum sampah dibuang
ditempat pembuangan akhir. Sampah sebaiknya berada ditempat yang mudah

12
dijangkau oleh perawat, pasien dan pengunjung. Tempat sampah harus tertutup
dan kedap air, tidak mudah bocor agar terhindar dari tikus dan serangga, serta
hanya bersifat sementara dan tidak boleh lebih dari satu hari (Depkes. RI, 2007).
4. Pembuangan / Pemusnahan
Sampah yang dihasilkan pada akhirnya harus dilakukan pemusnahan.
Sistem pemusnahan yang dianjurkan adalah dengan pembakaran dengan suhu
tinggi agar dapat mengurangi volume sampah dan membunuh mikroorganisme.
Pembuangan limbah cair di tempatkan pada bangunan penampungan yang kedap
air (septic tank), kuat, dan dilengkapi dengan lubang ventilasi.

e. Pengelolaan Alat Kesehatan Bekas Pakai


Pengelolaan alat-alat kesehatan / instrument bedah setelah dipakai
bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui instrumen bedah,
menjamin alat dalam kondisi steril, dan alat dalam kondisi siap pakai. Proses
pencegahan dasar yang dianjurkan untuk mengurangi penularan penyakit melalui
instrumen bedah meliputi dekontaminasi, pencucian,
sterilisasi, dan penyimpanan (Depkes. RI, 2007). Penjabaran dari proses
pencegahan dasar pengelolaan alat bedah setelah dipakai adalah sebagai berikut:

1. Dekontaminasi
Depkes. RI (2007), menyebutkan bahwa instrumen setelah dipakai untuk
pembedahan sebaiknya dilakukan prabilas / dekontaminasi terlebih dahulu
terutama jika alat - alat tersebut akan dibersihkan dengan tangan. Dekontaminasi
adalah prosesmenghilangkan mikroorganisme pathogen dan kotoran pada benda
atau alat bedah sehingga aman untuk dilakukan pengelolaan lebih lanjut.
Dekontaminasi alat bedah dilakukan dengan menggunakan bahan desinfektan
kimia seperti klorin 0,5 % atau dengan alkacide, tetapi klorin lebih bersifat korosif
terhadap alat-alat bedah sehingga alkacide lebih banyak digunakan. Khusus untuk
alat bedah yang digunakan untuk operasi pasien dengan virus hepatitis B dan
pasien HIV/AIDS dilakukan dekontaminasi dengan klorin 0,5 % selama

13
15-30 menit.
2. Pencucian Alat
Pencucian merupakan tahap yang harus dilakukan setelah proses
dekontaminasi. Instrumen / alat bedah di rumah sakit besar biasanya dicuci oleh
instalasi tersendiri yang khusus mengelola instrumen pembedahan dan perawatan
luka dengan peralatan yang canggih (Depkes. RI, 2007).
3. Sterilisasi
Sterilisasi merupakan proses menghilangkan seluruh mikroorganisme dan
endospora dari alat keseharan atau instrument bedah. Sterilisasi dapat dilakukan
secara fisik maupun kimiawi. Zat dan cara yang sering digunakan untuk sterilisasi
di rumah sakit adalah dengan uap panas bertekanan tinggi, pemanasan kering, gas
ethilen okside, dan dengan zat kimia. Sterilisasi alat kesehatan dan instrument
bedah di RSUP Dr. Kariadi Semarang dilakukan oleh Central Sterile Supply
Department (CSSD) (Depkes. RI, 2007).
4. Penyimpanan Instrumen Bedah
Penyimpanan alat bedah yang baik sama pentingnya proses sterilisasi.
Instrumen / alat bedah dapat disimpan dengan cara dibungkus dan dimasukkan
dalam tromol instrumen. Alat bedah dinyatakan tetap steril selama alat tersebut
masih terbungkus 28 dengan baik selama 3 bulan dalam tromol instrumen.
Beberapa faktor yang mempengaruhi umur sterilisasi alat yaitu tehnik sterilisasi
jenis material yang digunakan untuk membungkus, beberapa lapis kain
pembungkus yang digunakan, kebersihan, dan kelembaban tempat penyimpanan
alat (Depkes. RI, 2007).

14
2.2. 4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Universal Precautions
Notoatmodjo (2003) dan Gibson (1987) menganalisis perilaku universal
precautions dipengaruhi oleh :
a. Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan.
Sukmadinata (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan yang
dimiliki oleh seseorang dipengaruhi oleh :
a) Faktor internal yakni jasmani dan rohani.
b) Faktor eksternal yakni pendidikan,paparan media massa, ekonomi
c) dan pengalaman.

b. Sikap
1. Pengertian Sikap
Azwar (2009), sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.
Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak
maupun perasaan tidak mendukung pada objek tersebut.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
Azwar (2009), faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah :
a) Pengalaman pribadi
b) Pengaruh orang lain yang dianggap penting
c) Pengaruh kebudayaan
d) Media massa
e) Lembaga pendidikan dan lembaga agama
f) Pengaruh faktor emosional

c. Tradisi dan Kepercayaan

15
Hasbullah (2006) kepercayaan adalah suatu bentuk keinginan untuk
mengambil resiko dalam hubungan sosial yang didasari oleh keyakinan bahwa
orang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa
bertindak dalam suatu tindakan yang saling mendukung.

d. Nilai
Hasbullah (2006) Nilai adalah sesuatu ide yang telah turun temurun
dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Nilai merupakan
hal yang penting dalam kebudayaan, biasanya ia tumbuh dan berkembang dalam
mendominasi kehidupan kelompok masyarakat tertentu serta mempengaruhi
aturan-aturan bertindak dan berperilaku masyarakat
yang pada akhirnya membentuk pola kultural.

e. Tingkat Pendidikan
Soeitoe (1982) dalam Putri (2012) Pendidikan adalah segala usaha yang
dilakukan dengan sadar dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku manusia ke
arah yang baik. Perubahan–perubahan yang ingin dicapai melalui proses
pendidikan pada dasarnya adalah perubahan pola tingkah laku. Pendidikan dapat
mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup
terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta
dalam pembangunan pada umumnya, makin tinggi pendidikan seseorang makin
mudah menerima informasi.
g. Sumber Daya / Dana
Sumber daya merupakan elemen penting dalam suatu organisasi,dimana
sumber daya merupakan sesuatu yang membantu dan mempermudah jalannnya
suatu kegiatan (Gibson, 1987). Sumber daya yang dimaksud disini adalah fasilitas
dan sarana yang mendukung pelaksanaan kewaspadaan universal berupa sarana
cuci tangan berupa air yang mengalir, sabun dan detergen, larutan antiseptik, alat-
alat pelindung berupa sarung tangan, masker, kacamata pelindung, gaun
pelindung atau celemek dan sepatu pelindung, cairan untuk melakukan

16
dekontaminasi, pencucian alat, disentifeksi, sterilisasi dan tempat pembuangan
sampah (Depkes RI, 2010).
Peralatan dan sumber daya lainnya sangat erat hubungannya dengan
kinerja sehingga sumber daya dalam hal ini fasilitas dan sarana kerja ,selain data
yang cukup pencapaian kinerja optimal harus didukung oleh sarana yang memadai
sehingga segala proses pelayanan kesehatan dapat terlaksana dengan baik dan
menghasilkan pelayanan yang optimal dan terjamin (Yahya,1997).

h. Keterampilan
keterampilan didefinisikan sebagai tindakan untuk mengenali dan
merespon secara layak perasaan, sikap, dan perilaku, motivasi serta keinginan
orang lain. Bagaimana kita membangun hubungan yang harmonis dengan
memahami dan merespon manusia atau orang lain merupakan bagian dari
keterampilan.

i. Keterjangkauan
Keterjangkauan sarana pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh akses
pelayanan yang tidak hanya disebabkan masalah jarak tetapi terdapat dua faktor
penentu (determinan) yaitu determinan penyediaan yang merupakan faktor-faktor
pelayanan dan determinan permintaan yang merupakan faktor-faktor pengguna.
Determinan penyediaan terdiri atas organisasi pelayanan dan infrastruktur fisik,
tempat pelayanan, pemanfaatan dan distribusi petugas, biaya pelayanan serta mutu
pelayanan. Sedangkan determinan permintaan yang merupakan faktor pengguna
meliputi rendahnya pendidikan dan kondisi sosial budaya masyarakat serta tingkat
pendapatan yang rendah.

j. Motivasi
motivasi adalah keadaan dalam diri individu atau organisme yang
mendorong perilaku ke arah tujuan.

17
k. Supervisi
Supervisi adalah usaha untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang
sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas, dimana dalam pelaksanaannya ada
beberapa hal yang diperhatikan yaitu menghargai dan mengembangkan potensi
setiap individu serta menerima setiap perbedaan.

l. Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan elemen yang penting dalam suatuorganisasi
baik formal maupun informal. Gibson (1987) mengemukakan bahwa
kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses membujuk (inducing) orang-
orang lain untuk mangambil langkah menuju sasaran bersama, peran
kepemimpinan sangat besar untuk memotivasi anggota organisasi dalam
memperbesar energi untuk berperilaku dalam upaya mencapai tujuan kelompok.

2.3 Pengenalan Lingkungan Dalam Pelayanan Kebidanan

2.3.1 Pengertian Pengenalan Lingkungan Dalam Pelayananana


Kebidanan

Seorang bidan dituntut mampu memberikan pelayanan yang bersifat


individual maupun kelompok. Untuk itu bidan perlu dibekali dengan strategi-
strategi untuk mengatasi tantangan/kendala seperti
berikut ini.
1. Sosial budaya seperti ketidakadilan gender, pendidikan, tradisi
yang merugikan ekonomi, seperti kemiskinan.
2. Politik dan hukum, seperti ketidakadilan sosial.
3. Fasilitas, seperti tidak ada peralatan yang cukup, pelayanan
rujukan.
4. Lingkungan, seperti air bersih, daerah konflik, daerah kantong
(daerah yang terisolir), kumuh, padat, dll.

18
Lingkungan itu perlu diperhatikan, mulai dari setiap individu punya
kewajiban yang sama dalam menjaga kesehatan lingkungan. Seandainya semua
menyadari pentingnya kesehatan lingkungan pastinya kita semua terhindar dari
penyakit. Jika semua sakit barulah kita menyadari bahwa betapa mahalnya
kesehatan. Saat ini masalah kesehatan lingkungan sudah semakin berkembang
sementara masalah semakin sulit untuk teratasi. Untuk itulah, masalah kesehatan
lingkungan bukan hanya merupakan tanggungjawab perorangan melainkan
tanggungjawab semua orang. Jadi, sebagai manusia yang merupakan bagian dari
lingkungan sudah sepatutnya menjaga lingkungan.
Ruang lingkup praktik kebidanan menurut ICM dan IBI:
1) asuhan mandiri (otonomi)
2) bidan menolong persalinan atas tanggung jawab sendiri dan merawat bayi
3) pengawasan pada kesmas di posyandu
4) konsultasi dan rujukan
5) pelaksanaan pertolongan gawat darurat primer dan sekunder pada saat
tidak ada pertolongan medis.

2.3.2 Macam-Macam Lingkungan


Menurut Leopold lingkungan terdiri atas:
1. Komponen fisisk dan kimia
Contoh fisik: batu, pasir, kayu, besi.
Contoh kimia: air, udara, sinnar matahari.
2. Komponen hubungan ekologi
Hubungan antar manusia dan lingkungan sekitar baik hidup maupun mati.
3. Komponen sosial
Hubungan antar manusia dengan manusia.
4. Komponen biologis
Hubungan antar manusia dengan makhluk hidup lainnya.

Lingkungan juga dapat dibagi berdasarkan kebutuhan:

19
1. Lingkungan biotik dan abiotik

2. Lingkungan alami dan buatan

3. Lingkukngan prenatal dan post natal (sebelum dan sesudah lelahiran)

4. Lingkungan biofisis dan psikososial

5. Lingkungan air, udara, tanah, biologis, sosial. (Suriani, 2007)


2.3.3 Faktor Lingkungan

Menurut Bloom (1974), faktor lingkungan terdiri dari:


1. Pendidikan
Dari segi istilah, pendidikan berasal dari kata latin “educates” (educare),
yang berarti merawat, memperlengkapi dengan gizi, agar sehat dan kuat atau
membimbing keluar dari suatu tahapan (keadaan) hidup kesuatu tahapan hidup
lainnya yang lebih baik. Berdasarkan pengertian ini dapat dikatakan bahwa
pendidikan adalah upaya yang sadar, sengaja untuk memprlengkapi seseorang
atau sekelompok orang, guna membimbingnya keluar dari suatu tahapan
(keadaan) hidup kesuatu tahapan hidup lainnya yang lebih baik (Luhulima, J. W,
2001).
Menurut bentuk, ada tiga jenis pendidikan, yakni (Luhulima, J. w, 2001) :
a. Pendidikan formal ; dimana ada kurikulum, dosen, mahasisiwa,
bahan ajar, ruangan dan waktu tertentu, selain itu ada aturan dan
tata tertib dan diakhiri dengan suatu evaluasi untuk mendapatkan
sebuah ijazah.

b. Pendidikan non formal ; tidak memrlukan kurikulum, walaupun


direncanakan dengan baik dan diselenggarakan di ruang kelas,
fleksibel dalam waktu, ruang pengelolaan dan evaluasinya. Pada
pendidikan semacam ini diberikan sertifikat bagi peserta yang
memenuhi syarat.

20
c. Pendidikan informal; berlangsung di rumah yang dilakukan oleh
orang tua atau oleh anggota keluarga. Pada pendidikan nini terjadi
proses pengajaran, pemberitahuan, nasehat disiplin. Yang paling
penting adalah terjadinya trasfer nilai-nilai kehidupan, nilai relasi
dan kebaikan.

2. Pekerjaan
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan pekerjaan
adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari atau mendapatkan nafkah. Wanita di
perkotaan dan di pedesaan, selain bekerja untuk keluarga mereka juga berperan
mencari nafkah misalnya sebagai buruh untuk mempertahankan kelangsungan
hidup, yang kadang kepentingan atau masalah lain yang dianggap tidak mendesak
menjadi terabaikan karena keterbatasan waktu. Hal ini berkaitan dengan ibu yang
menghabiskan sebagian waktunya untuk membantu perekonomian keluarga
sehingga hampir tidak ada waktu untuk memperhatikan kesehatan diri dan
kehamilannya. Status pekerjaan mempunyai peranan dalam melakukan kunjungan
pemeriksaan kehamilan. Bila seorang ibu mempunyai pekerjaan di luar statusnya
sebagai ibu rurnah tangga, cenderung lebih sedikit waktunya untuk
memperhatikan kesehatannya termasuk untuk memeriksakan kehamilannya.
Pekerjaan yang dilakukan ibu hamil haruslah bersifat ringan, tidak melelahkan ibu
dan tidak mengganggu kehamilan (Sukriani, 2001).
Sosial ekonomi
Kerentangan penduduk di dalam masyarakat kita yang kondisi ekonomi
lemah terhadap masalah kesehatan dari pencegahan sampai rehabilitasi. Pelayanan
kesehatan preventif lebih daripada sekedar pencegahan terhadap penyakit. Upaya
ini melibatkan faktor-faktor dalam kehidupan seseorang yang melindungi individu
dan memungkinkan potensi pertumbuhan dan perkembangan (Bobak, 2004).
Bagi wanita dengan sosial ekonomi yang rendah, pilihan antara mencari
perawatan antenatal dan menyebabkan kebutuhan keluarga membuat mereka tidak
mencari perawatan antenatal. Sulit dan mahalnya transportasi juga merupakan
hambatan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.

21
2.4 Patient Safety
2.4.1 Pengertian Patient Safety
Menurut Supari tahun 2005, patient safety adalah bebas dari cidera
aksidental atau menghindarkan cidera pada pasien akibat perawatan medis dan
kesalahan pengobatan.
Patient safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem
dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk :
assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan
risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insident dan
tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko.
Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
dilakukan (DepKes RI, 2006).
Menurut Kohn, Corrigan & Donaldson tahun 2000, patient safety adalah
tidak adanya kesalahan atau bebas dari cedera karena kecelakaan. Keselamatan
pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi
untuk meminimalkan resiko. Meliputi: assessment risiko,identifikasi dan
pengelolaan hal berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.

22
2.4.2 Tujuan Pasien Safety

Tujuan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah:


1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunnya KTD di Rumah Sakit
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
penanggulangan KTD.
Sedangkan tujuan keselamatan pasien secara internasional adalah:
1. Identify patients correctly (mengidentifikasi pasien secara benar)
2. Improve effective communication (meningkatkan komunikasi yang efektif)
3. Improve the safety of high-alert medications (meningkatkan keamanan dari
pengobatan resiko tinggi)
4. Eliminate wrong-site, wrong-patient, wrong procedure
surgery(mengeliminasi kesalahan penempatan, kesalahan pengenalan pasien,
kesalahan prosedur operasi)
5. Reduce the risk of health care-associated infections (mengurangi risiko
infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan)
6. Reduce the risk of patient harm from falls (mengurangi risiko pasien terluka
karena jatuh)

2.4.3 Urgensi Patient safety


Tujuan utama rumah sakit adalah merawat pasien yang sakit dengan tujuan
agar pasien segera sembuh dari sakitnya dan sehat kembali, sehingga tidak dapat
ditoleransi bila dalam perawatan di rumah sakit pasien menjadi lebih menderita
akibat dari terjadinya risiko yang sebenarnya dapat dicegah, dengan kata lain
pasien harus dijaga keselamatannya dari akibat yang timbul karena error. Bila

23
program keselamatan pasien tidak dilakukan akan berdampak pada terjadinya
tuntutan sehingga meningkatkan biaya urusan hukum, menurunkan efisisiensi, dll.

2.4.5 Isu, Elemen, dan Akar Penyebab Kesalahan yang Paling Umum
dalam Patient safety
1. Lima isu penting terkait keselamatan (hospital risk) yaitu:
a. Keselamatan pasien

b. Keselamatan pekerja (nakes)

c. Keselamatan fasilitas (bangunan, peralatan)

d. Keselamatan lingkungan

e. Keselamatan bisnis.

2. Elemen Patient safety


a. Adverse drug events (ADE)/ medication errors (ME) (ketidakcocokan
obat/kesalahan pengobatan)
b. Restraint use (kendali penggunaan)
c. Nosocomial infections (infeksi nosokomial)
d. Surgical mishaps (kecelakaan operasi)
e. Pressure ulcers (tekanan ulkus)
f. Blood product safety/administration (keamanan produk
darah/administrasi)
g. Antimicrobial resistance (resistensi antimikroba)
h. Immunization program (program imunisasi)
i. Falls (terjatuh)
j. Blood stream – vascular catheter care (aliran darah – perawatan kateter
pembuluh darah)

24
k. Systematic review, follow-up, and reporting of patient/visitor incident
reports (tinjauan sistematis, tindakan lanjutan, dan pelaporan
pasien/pengunjung laporan kejadian)

3. Most Common Root Causes of Errors (Akar Penyebab Kesalahan yang


Paling Umum):

a. Communication problems (masalah komunikasi)

b. Inadequate information flow (arus informasi yang tidak memadai)

c. Human problems (masalah manusia)

d. Patient-related issues (isu berkenaan dengan pasien)

e. Organizational transfer of knowledge (organisasi transfer pengetahuan)

f. Staffing patterns/work flow (pola staf/alur kerja)

g. Technical failures (kesalahan teknis)

h. Inadequate policies and procedures (kebijakan dan prosedur yang tidak


memadai)

2.4.6 Standar Keselamatan Pasien

Standar Keselamatan Pasien (mengacu pada “Hospital Patient safety


Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health
Organizations, Illinois, USA, tahun 2002), yaitu:

1. Hak pasien

Standarnya adalah pasien & keluarganya mempunyai hak untuk


mendapatkan informasi tentang rencana & hasil pelayanan termasuk kemungkinan
terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan). Kriterianya adalah sebagai berikut:

a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.

b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan

25
c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan yang
jelas dan benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil
pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan
terjadinya KTD

2. Mendidik pasien dan keluarga

Standarnya adalah RS harus mendidik pasien & keluarganya tentang


kewajiban & tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Kriterianya adalah
keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan
pasien adalah partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS harus ada sistim
dan mekanisme mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggung
jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien
& keluarga dapat:

a. Memberikan info yang benar, jelas, lengkap dan jujur

b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab

c. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti

d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan

e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS

f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa

g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati

3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

Standarnya adalah RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin


koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan dengan kriteri sebagai berikut:

a. Koordinasi pelayanan secara menyeluruh

26
b. Koordinasi pelayanan disesuaikan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber
daya

c. Koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi

d. Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan

4. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi


dan program peningkatan keselamatan pasien

Standarnya adalah RS harus mendisain proses baru atau memperbaiki


proses yang ada, memonitor & mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
menganalisis secara intensif KTD, & melakukan perubahan untuk meningkatkan
kinerja serta KP dengan criteria sebagai berikut:

a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang


baik, sesuai dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah
Sakit”.

b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja

c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif

d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil
analisis

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien standarnya


adalah:

a. impinan dorong & jamin implementasi program KP melalui penerapan “7


Langkah Menuju KP RS”.

b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi risiko


KP & program mengurangi KTD.

27
c. Pimpinan dorong & tumbuhkan komunikasi & koordinasi antar unit &
individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang KP

d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur,


mengkaji, & meningkatkan kinerja RS serta tingkatkan KP.

e. Pimpinan mengukur & mengkaji efektifitas kontribusinya dalam


meningkatkan kinerja RS & KP, dengan criteria sebagai berikut:

 Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.


 Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan
program meminimalkan insiden,
 Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari
rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi
 Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan
kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain
dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
 Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan
insiden,
 Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden
 Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan
antar pengelola pelayanan
 Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan
 Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan
kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah
sakit dan keselamatan pasien
 Mendidik staf tentang keselamatan pasien. Standarnya adalah:

a. RS memiliki proses pendidikan, pelatihan & orientasi untuk setiap


jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan KP secara jelas.

28
b. RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang berkelanjutan
untuk meningkatkan & memelihara kompetensi staf serta mendukung
pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien,

6. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.


Standarnya adalah:

a. RS merencanakan & mendesain proses manajemen informasi KP untuk


memenuhi kebutuhan informasi internal & eksternal.

b. Transmisi data & informasi harus tepat waktu & akurat, dengan criteria
sebagai berikut:

 Disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses


manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait
dengan keselamatan pasien.
 Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk
merevisi manajemen informasi yang ada.

2.5 Prinsip dalam Pencegahan Infeksi

2.5.1 Pencegahan Infeksi

Pencegahan infeksi sering meghandalkan adanya barier antara penjamu


dan agen. Upaya “pemutusan rantai” ini dapat dianggap sebagai barier protektif.
Yang dimaksud dengan barier protektif adalah proses-proses fisik, mekanik, atau
kimia yang membantu mencegah penularan infeksi dari klien satu ke klien
lainnya, petugas klinik ke klien atau sebaliknya karena kurangnya tindak
pencegahan infeksi atau dari alat kesehatan yang terkontaminasi.
Teknik asepsis atau aseptik adalah istilah umum yang digunakan dalam
asuhan kesehatan untuk menggambarkan segala upaya yang dilakukan untuk
mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang kemungkinan besar
akan mengakibatkan infeksi. Tujuan asepsis adalah untuk mengurangi atau

29
menghilangkan sejumlah mikroorganisme baik yang terdapat pada permukaan
benda hidup (kulit, jaringan) maupun benda-benda mati (alat kesehatan) hingga
mencapai taraf yang aman.
Antisepsis adalah pencegahan infeksi dengan membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Dekontaminasi adalah proses yang dilakukan agar benda mati dapat disentuh oleh
petugas kesehatan secara aman, terutama petugas pembersih alat kesehatan
sebelum proses pencucian dilakukan.
Pencucian adalah proses secara fisik yang meghilangkan darah, cairan
tubuh atau benda asing lainnya seperti debu atau kotoran yang terlihat di kulit atau
alat kesehatan.
Disinfeksi adalah suatu proses yang menghilangkan sebagian besar
mikroorganisme dari alat kesehatan. Disinfeksi tingkat tinggi (DTT) dapat
dilakukan melalui pemanasan atau penggunaan bahan-bahan kimia,
menghilangkan seluruh mikroorganisme, kecuali beberapa endospora bakteri.
Sterilisasi adalah suatu proses yang dapat membunuh seluruh
mikroorganisme termasuk endospora bakteri pada alat kesehatan.

2.5.2 Pentingnya prinsip pencegahan infeksi


Dalam asuhan kebidanan tindakan pencegahan infeksi tidak terlepas dari
komponen-komponen lain dalam asuhan selama persalinan dan kelahiran bayi.
Tindakan ini harus diterapkan dalam setiap aspek asuhan untuk melindungi ibu,
bayi baru lahir, keluarga, penolong persalinan dan tenaga kesehatan lainnya
dengan mengurangi infeksi karena bakteri, virus dan jamur.
Menurut RSUP Prof. Dr.R.D. Kandou banyaknya kematian ibu dan anak
rata-rata karena pada saat melahirkan. Karena alat-alat yang digunakan kurang
bersih atau petugas kesehatan kurang menjaga kebersihan tangan yang digunakan
untuk membantu persalinan. Tindakan-tindakan pencegahan infeksi :
1. Asepsis
Asepsis adalah tingkat keparahan infeksi pada luka bergantung pada
kuman penyebab serta perawatan dengan prinsip asepsis. Pencegahan

30
terjadinya suatu infeksi pada luka memerlukan tindakan
berupa asepsis dan antisepsis, terutama dalam persiapan
operasi. Asepsis adalah suatu keadaan bebas kuman atau mikroorganisme
penyebab penyakit
2. Dekontaminasi
Dekontaminasi adalah tindakan menghilangkan pencemaran
(kontaminasi) pada alat, ruangan laboratorium, atau sterilan. Pada proses
sterilisasi, cara kerja yang dekontaminasi harus dilakukan dengan tujuan
untuk mempertahankan kondisi steril pada sterilan. Tindakan
dekontaminasi dilakukan seperti :
- Membuang semua material yang tampak (debu, kotoran) pada benda,
lingkungan, permukaan kulit dengan sabun, air atau gesekan. Tujuan
prosedur dekontaminasi :
1. Mencegah penyebaran infeksi melalui peralatan pasien atau permukaan
lingkungan.
2. Untuk membuang kotoran yg tampa
3. Untuk membuang kotoran yang tidak tampak (mikro organisme)
4. Untuk melindungi personal dan pasien.

3. Desinfeksi
Desinfeksi adalah proses mengurangi jumlah kuman (mikro
organisme). Desinfeksi banyak digunakan pada bidang kesehatan,
mikrobiologi, pengolahan makanan dll. Prinsip desinfeksi hampir sama
dengan sterilisasi hanya saja tidak bebas hama. Bahan yang digunakan
untuk proses desinfeksi disebut Desinfektan. Contoh : Alkohol 70 %,
Resiguard 5%, Larutan savlon 1 ; 30 dalam alkohol 70% Clorhexidine
4%, larutan tinctur 2 % dan larutan KI.
1. Sterilisasi
Sterilisasi adalah proses kegiatan menghancurkan atau
memusnahkan semua mikro organisme termasuk spora dari sebuah benda
atau lingkungan. Proses sterilisasi diperlukan dalam berbagai kehidupan

31
seperti bidang medik, industri obat steril, bidang bakteriologi dan lainnya.
Tujuannya adalah meniadakan atau membunuh semua bentuk kehidupan
jasad renik.

2.5.3 Pedoman pencegahan infeksi


1. Mencuci tangan

Mencuci kedua tangan merupakan prosedur awal yang harus


dilakukan oleh petugas kesehatan sebelum memberikan tindakan, untuk
membersihan tangan dari semua kotoran dan mencegah terjadinya infeksi silang
melalui tangan.

a) Teknik mencuci biasa


Dengan menggunakan air bersih, handuk, sabun, dan sikat lunak
b) Teknik mencuci dengan desinfeksi
Pertama siapkan air bersih, larutan desinfektan lisol/savlon dan handuk
kering. Lalu, lepaskan segala macam perhiasan yang digunakan, misalnya
cincin dan jam tangan. Basahi jari tangan, lengan, hingga siku dengan air
berseih yang mengalir dan keringkan tangan dengan handuk.
2. Menggunakan sarung tangan
Memakai sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu yang basah,
peralatan, sarung tangan atau sampah terkontaminasi. Jika sarung tangan
diperlukan, ganti sarung tangan untuk setiap ibu dan bayi baru lahir untuk
menghindari kontaminasi silang atau gunakan sarung tangan yang
berbeda untuk situasi yang berbeda pula. Gunakan sarung tangan steril
atau disinfeksi tingkat tinggi untuk prosedur apapun yang akan
mengakibatkan kontak dengan jaringan dibawah kulit seperti persalinan,
penjahitan vagina, atau pengambilan darah
3. Menggunakan teknik asepsik
Teknik aseptik membuat prosedur menjadi lebih aman bagi ibu, bayi baru
lahir dan penolong persalinan. Antisepsis adalah tindakan yang dilakukan

32
untuk mencegah infesi dengan cara membunuh atau mengurangi
mikroorganisme pada jaringan tubuh dan kulit.
4. Memproses alat bekas pakai
Alat bekas pakai setelah digunakan oleh petugas harus di sterilisasi.
Seperti alat tab dan pembersihan luka, namun jika sarung tangan lebih
baik digunakan dengan sekali pakai, boleh juga digunakan secara
berulang maksimal 3 x
5. Menangani peralatan tajam dengan aman
- letakkan benda-benda tajam di atas baki steril atau disinfeksi tingkat
tinggu atau menggunakan “daerah aman” yang sudah ditentukan (daerah
khusus untuk meletakkan dan mengambil peralatan”
- hati-hati saat melakukan penjahitan agar tidak tertusuk jarun secara tidak
sengaja
- gunakan pemegang jarum dan pinset saat menjahit, jangan pernah
merabah jarum atau memegang jarum jahit dengan tangan.
- jangan menutup kembali, melengkungkan, mematahkan atau melepaskan
jarum yang akan di buang
- buang benda-benda tajam dalam wadah tahan bocor dan segel dengan
perekat jika sudah 2/3 penuh. Jangan memindahkan benda-benda tajam
tersebut kewadah yang lain. Wadah benda tajam yang sudah disegel tadi
harus dibakar di dalam insinerator
- jika benda-benda tajam tidak bisa dibuang dengan cara insinerasi. Bilas 3
kali dengan larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi. Tutup kembali
ujung bagian tajam dengan penutupnya menggunakan teknik 1 tangan lalu
di tanam di dalam tanah
6. Menjaga kesehatan sanitasi lingkungan
Sanitasi lingkungan berkaitan erat pada perilaku menjaga
kebersihan dan kesehatan pada lingkungan tempat kita berada. Sanitasi
lingkungan bertujuan untuk mencegah diri sendiri maupun lingkungan
untuk bersentuhan langsung dengan kotoran atau bahan buangan/limbah
lainnya.

33
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hal yang dapat kami simpulkan adalah bahwa kewaspadaan universal


adalah bagian dari upaya pengendalian infeksi disarana pelayanan kesehatan.
Penerapannya didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat
potensial menularkan penyakit.
Untuk mewujudkan patient safety butuh upaya dan kerjasama dari
berbagai pihak, patient safety merupakan upaya dari seluruh komponen sarana
pelayanan kesehatan, dan perawat memegang peran kunci untuk mencapainya.
Tujuan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah Terciptanya
budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit, Meningkatnya akuntabilitas Rumah
Sakit terhadap pasien dan masyarakat, Menurunnya KTD di Rumah
Sakit, Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
penanggulangan KTD.
Prinsip pencegahan infeksi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya resiko penularan infeksi mikro organisme dari lingkungan
klinik dan tenaga kesehatan.

3.2 Saran

Berdasarkan makalah yang kami susun ini, kami mengharapkan pembaca


memahami secara jelas hubungan fisika dengan ilmu dasar serta pengaplikasian
dan juga fungsinya. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya. Kami menyadari bahwa dalam penyusuan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, oleh karena itu kami mohon kritik dan sarandari pembaca
agar ke depannya makalah ini dapat menjadi refrensi bagi penulis berikutnya

34
DAFTAR PUSTAKA

Ikrawati, 2010. “hubungan antara faktor lingkungan dan pelayanan kesehatan”.


Sumber: http://repositori.uin-alauddin.ac.id/3458/1/IKRAWATI.pdf

Mardliyah TA, 2018. “kewaspadaan universal”. Sumber :


http://repository.unimus.ac.id/2604/2/BAB%20II.pdf

No name, 2010. “pedoman pelaksanaan kewaspadaan universal”. Jakarta :


departemen kesehatan republik indonesia.

No name, 2017.” Kewaspadaan universal”. Sumber:


https://id.wikipedia.org/wiki/Kewaspadaan_universal

No name,2018.”persiapan umum sebelum tindakan”. Sumber :


http://dinkes.lampungprov.go.id

35

Anda mungkin juga menyukai