Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


DIAGNOSA MEDIS EFUSI PLEURA”

DOSEN PEMBIMBING :

Ns. Yoza Misra Fatmi, M.Kep.,Sp.Kep.M.B

DISUSUN OLEH:

Kelompok 4

1. Amelia Ramadhani (P032114401045)


2. Annisa Nurul Fitriani (P032114401047)
3. Dinda Nabilla (P032114401053)
4. Falentina (P032114401058)
5. Yolla Rahmi Fitria (P032114401084)

TINGKAT : 2 B

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

POLTEKES KEMENKES RIAU

2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Rasa syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas membuat makalah ini dengan baik
dan selesai secara tepat waktu. Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi
tugas perkuliahan dari dosen pengampu Keperawatan medikal bedah I. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk memberikan tambahan wawasan bagi kami
sebagai penulis dan bagi para pembaca tentang asuhan keperawatan pada klien
dengan efusi pleura.

Penyusunan makalah ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan
dari berbagai pihak. Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu kami dalam menyelesikan penulisan proposal penelitian ini.

Terakhir, kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sepenuhnya


sempurna. Maka dari itu kami terbuka terhadap kritik dan saran yang bisa
membangun kemampuan kami, agar pada tugas berikutnya bisa menyusun tugas
makalah ini dengan lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami
dan para pembaca.

Pekanbaru, 19 Agustus 2022

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah.......................................................................................2
1.3 Tujuan............................................................................................................2
1.4 Manfaat..........................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
2.1 Konsep Medik................................................................................................3
2.1.1 Definisi....................................................................................................3
2.1.2 Anatomi dan fisiologi..............................................................................4
2.1.3 Etiolgi......................................................................................................6
2.1.4 Patofisiologi............................................................................................7
2.1.5 Patoflowdiagram.....................................................................................7
2.1.6 Manifestasi klinik....................................................................................9
2.2.7 Komplikasi..............................................................................................9
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik........................................................................10
2.1.9 Penatalaksanaan Medis.........................................................................12
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan......................................................................14
2.2.1 Pengkajian.............................................................................................14
2.2.2 Diagnosa Keperawatan........................................................................19
2.2.3 Intervensi keperawatan.........................................................................20
2.2.4 Implementasi Keperawatan...................................................................28
2.2.5 Evaluasi Keperawatan...........................................................................28
PENUTUP..............................................................................................................29
3.1 kesimpulan...................................................................................................29
3.2 Saran.............................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................30

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan
dalam pleura berupa gtransudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi di kapiler dan pleura
viseralis. Efusi pleura merupakan suatu kelainan yang mengganggu sistem
pernapasan. Efusi pleura bukanlah diagnosis dari suatu penyakit, melainkan
hanya gejala atau komplikasi dari suatu penyakit. Efusi pleura merupakan
suatu keadaan dimana terdapat cairan berlebihan di rongga pleura, jika
kondisi ini dibiarkan akan mengakibatkan penderitanya mengalami gangguan
pola nafas (Somantri, 2009).

Menurut World Health Organization (WHO) efusi pleura merupakan suatu


gejala penyakit yang dapat mengancam jiwa. Secara geografis penyakit ini
terdapat di seluruh dunia, bahkan menjadi problem di negara – negara yang
sedang berkembang termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, setiap tahunnya
terjadi 1,5 juta kasus efusi pleura. Sementara pada populasi umum secara
internasional diperkirakan setiap 1 juta orang, 3000 orang terdiagnosis efusi
pleura. Di negara – negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal
jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri. Di negara
sedang berkembang seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi
tuberkulosis. Di Indonesia kasus efusi pleura mencapai 2,7 % dari penyakit
infeksi saluran napas lainnya. Di RSUD Dr. Harjono Ponorogo sendiri jumlah
penderita efusi pleura periode Januari 2018 – September 2019 sebanyak
penderita (Rekam Medis RSUD Dr. Harjono Ponorogo).

Tingginya angka kejadian efusi pleura ini disebabkan keterlambatan


penderita untuk memeriksakan kesehatan sejak dini. Faktor resiko terjadinya
efusi pleura diakibatkan karena lingkungan yang tidak bersih, sanitasi yang
kurang, lingkungan yang padat penduduk, kondisi social ekonomi yang

1
menurun, serta sarana dan prasarana kesehatan yang kurang dan kurangnya
masyarakat tentang pengetahuan kesehatan (Puspita, Soleha, & Berta, 2015).

Efusi pleura dapat berupa transudat atau eksudat. Transudat terjadi karena
adanya peningkatan tekanan vena pulmonalis, misalnya pada payah jantung
kongestif. Keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari
pembuluh. Transudasi juga dapat terjadi pada hipoproteinemia, contohnya
pada penyakit hati dan ginjal, atau penekanan tumor pada vena kava. Eksudat
timbul sekunder dari peradangan atau keganasan pleura, dan akibat
peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan absorbsi getah bening. Jika
efusi pleura mengandung nanah, disebut empiema. Empiema diakibatkan oleh
perluasan infeksi dari struktur yang berdekatan dan merupakan komplikasi
dari pneumonia, abses paru atau perforasi karsinoma ke dalam rongga pleura.
Empiema yang tidak ditangani dengan drainage yang baik dapat
membahayakan dinding thoraks. Eksudat yang mengalami peradangan akan
mengalami organisasi, dan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis
dan visceral. Ini disebut sebagai fibrothoraks. Jika fibrothoraks luas maka
dapat menimbulkan hambatan mekanisme yang berat pada jaringan – jaringan
yang terdapat dibawahnya (Saferi&Mariza, 2013).

1.2 Identifikasi Masalah


Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Klien Efusi Pleura Dengan Masalah
Keperawatan Ketidakefektifan Pola Nafas?

1.3 Tujuan
Menganalisis Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dewasa Efusi Pleura Dengan
Masalah Keperawatan Ketidakefektifan Pola Nafas.

1.4 Manfaat
Hasil penelitian studi literatur ini dapat digunakan sebagai bahan kajian atau
literatur dalam pengembangan ilmu kesehatan yang berkaitan dengan asuhan

2
keperawatan pada klien efusi pleura dengan masalah keperawatan
ketidakefektifan pola nafas.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Medik

2.1.1 Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan
cairan dalam rongga pleura. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang
mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus
(Soemantri, 2008). Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat
penumpukan cairan dalam rongga pleura berupa transudat dan eksudat
yang diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan
absorbsi di kapiler dan pleura viseralis (Muttaqin, 2012).

Menurut (Joyce M. Black, 2014) Efusi pleura adalah penumpukan


cairan pada rongga pleura. Cairan pleura normalnya merembes secara
terus menerus ke dalam rongga dada dari kapiler – kapiler yang membatasi
pleura parietalis dan diserap ulang oleh kapiler dan sistem limfatik pleura
viseralis. Kondisi apapun yang mengganggu sekresi atau drainase dari
cairan ini akan menyebabkan efusi pleura.

Cairan pleura diproduksi utama oleh pleura parietal dan


direabsorbsi melalui limfatik pleura melalui stomata yang ada di pleura
parietal. Pada manusia sehat, kavitas pleural umumnya berisi kira-kira 0.3
mL/kg cairan atau 10-20 mL dengan konsentrasi protein yang rendah
(D’Agostino and Edens, 2020).

2. Tanda dan gejala

Menurut (Saferi, 2013), tanda dan gejala yang ditimbulkan dari


efusi pleura berdasarkan penyebabnya adalah :

a. Batuk

b. Sesak napas

4
c. Nyeri pleuritis

d. Rasa berat pada dada

e. Berat badan menurun

f. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, mengigil, dan


nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkolosis) banyak keringat, batuk.

g. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi
penumpukan cairan pleural yang signifikan.
h. Pada pemeriksaan fisik :

 Inflamasi dapat terjadi friction rub


 Atelektaksis kompresif (kolaps paru parsial ) dapat menyebabkan
bunyi napas bronkus.
 Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan
berlainan karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit
akan kurang bergerak dalam pernapasan.
 Focal fremitus melemah pada perkusi didapati pekak, dalam
keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung
(garis ellis damoiseu).

2.1.2 Anatomi dan fisiologi


A. Paru
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama
sebagai alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik
memiliki peran untuk terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan
karbon dioksida (CO2). Pertukaran ini terjadi pada alveolus – alveolus
di paru melalui sistem kapiler. Paru terdiri atas 3 lobus pada paru
sebelah kanan, dan 2 lobus pada paru sebelah kiri. Pada paru kanan
lobus – lobusnya antara lain yakni lobus superior, lobus medius dan
lobus inferior. Sementara pada paru kiri hanya terdapat lobus superior
dan lobus inferior. Namun pada paru kiri terdapat satu bagian di lobus

5
superior paru kiri yang analog dengan lobus medius paru kanan, yakni
disebut sebagai lingula pulmonis. Di antara lobus – lobus paru kanan
terdapat dua fissura, yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua,
sementara di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri terdapat
fissura obliqua.
Paru sendiri memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk
mengembang dan mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk
mengembang dan mengempis ini di sebabkan karena adanya surfactan
yang dihasilkan oleh sel alveolar tipe 2.16 Namun selain itu
mengembang dan mengempisnya paru juga sangat dibantu oleh otot –
otot dinding thoraks dan otot pernafasan lainnya, serta tekanan negatif
yang teradapat di dalam cavum pleura.
B. Cavum thoraks

Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh manusia yang di


kenal sebagai cavum thoraks. Karena paru memiliki fungsi yang sangat
vital dan penting, maka cavum thoraks ini memiliki dinding yang kuat
untuk melindungi paru, terutama dari trauma fisik. Cavum thoraks
memiliki dinding yang kuat yang tersusun atas 12 pasang costa beserta
cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra thoracalis, sternum, dan otot –
otot rongga dada. Otot – otot yang menempel di luar cavum thoraks
berfungsi untuk membantu respirasi dan alat gerak untuk extremitas
superior.

C. Pleura

Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks,


paru juga dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa
bangunan embriologi dari coelom extra-embryonal yakni pleura. Pleura
sendiri dibagi menjadi 3 yakni pleura parietal, pleura visceral dan
pleura bagian penghubung. Pleura visceral adalah pleura yang
menempel erat dengan substansi paru itu sendiri. Sementara pleura
parietal adalah lapisan pleura yang paling luar dan tidak menempel
langsung dengan paru. Pelura bagian penghubung yakni pleura yang

6
melapisi radiks pulmonis, pleura ini merupakan pelura yang
menghubungkan pleura parietal dan pleura visceral.

Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura


diafragmatika, pelura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula
pleura. Pleura diafragmatika yakni pleura parietal yang menghadap ke
diafragma. Pleura mediastinalis merupakan pleura yang menghadap ke
mediastinum thoraks, pleura sternocostalis adalah pleura yang
berhadapan dengan costa dan sternum. Sementara cupula pleura adalah
pleura yang melewati apertura thoracis superior. Pada proses fisiologis
aliran cairan pleura, pleura parietal akan menyerap cairan pleura
melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura.

Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan


yang disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat
penting pada proses respirasi yakni mengembang dan mengempisnya
paru, dikarenakan pada cavum pleura memiliki tekanan negatif yang
akan tarik menarik, di mana ketika diafragma dan dinding dada
mengembang maka paru akan ikut tertarik mengembang begitu juga
sebaliknya. Normalnya ruangan ini hanya berisi sedikit cairan serous
untuk melumasi dinding dalam pleura.

2.1.3 Etiolgi
Menurut Wijayaningsih (2013: 31) etiologi terjadinya efusi pleura
yaitu:

 Hambatan resobsi cairan dari rongga pleura, karena adanya


bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit
ginjal, tumor mediastinum, sindroma meig (tumor ovarium)
dan sindroma vena kava superior.

 Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang


(tuberculosis, pneumonia, virus), bronkiektaksis, abses
amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena
tumor dimana masuk cairan berdarah dank arena trauma.

7
Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada
proses penyakit neoplastic, tromboembolik, kardiovaskuler,
dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari lima
mekanisme dasar yaitu :

a. Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik.

b. Penurunan tekanan osmotic koloid darah.

c. Peningkatan tekanan negative intrapleural.

d. Adanya inflamasi atau neoplastic pleura.

e. Peningkatan permeabilitas kapiler.

2.1.4 Patofisiologi
Menurut Muttaqin (2012: 126) patofisioligi efusi pleura
yaitu normalnya hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga
pleura. Jumlah cairan rongga pleura tetap, karena danya tekanan
hidrostatis pleura parietalis sebesar 9 cmH2O. akumulasi cairan
pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotic koloid menurun
(misalnya pada penderita hipoalbuminemia dan bertambahnya
permeabilitas kapiler akibat ada proses peradangan atau
neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis akibat kegagalan
jantung) dan tekanan negatif intrapleura apabila terjadi atelektsis
paru.

8
2.1.5 Patoflowdiagram

9
2.1.6 Manifestasi klinik
Menurut Huda dan Kusuma (2016: 185) manifestasi klinis
efusi pleura yaitu :

 Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit


karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit
hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
 Adanya gejala penyakit penyebab seperti demam,
menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas
tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosis), banyak keringat,
batuk, banyak riak.
 Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi
jika terjadi penumpukan cairan pleura yang signifikan.
 Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan
berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian
yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapat
daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan
membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
 Didapati segita Garland, yaitu daerah yang pada perkusi
redup timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Sepertiga
GroccoRochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah
ini di dapat vesikuler melemah dengan ronki.
 Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi
pleura.

2.2.7 Komplikasi
1. Fibrothoraks

Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani


dengan drainage yang baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara
pleura parietalis dan pleura viseralis. Jika fibrothoraks meluas
dapat menimbulkan hambatan mekanis yang berat pada jaringan –

10
jaringan yang berada dibawahnya. Pembedahan pengupasan
(dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan membran –
membran pleura tersebut.

2. Atelektasis

Atelektasis merupakan pengembangan paru yang tidak


sempurna yang disebabkan oleh penekanan akibat efusi pleura.

3. Fibrosis

Pada fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana


terdapat jaringan ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis
timbul akibat cara perbaikan jaringan sebagai lanjutan suatu proses
penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura,
atelektasis yang berkepanjangan dapat mengakibatkan penggantian
jaringan baru yang terserang dengan jaringan fibrosis
(Londongsalu, 2017).

2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut (Pranita, 2020), pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pasien efusi pleura adalah:

a. Radiografi dada

Merupakan studi pencitraan pertama yang dilakukan ketika


mengevaluasi efusi pleura. Foto posteroanterior umumnya akan
menunjukkan adanya efusi pleura ketika ada sekitar 200 ml cairan
pleura, dan foto lateral akan terinterpretasi abnormal ketika
terdapat sekitar 50 ml cairan pleura.

b. Ultrasonografi thoraks

Juga memiliki peran yang semakin penting dalam evaluasi


efusi pleura karena sensitivitasnya yang lebih tinggi dalam
mendeteksi cairan pleura daripada pemeriksaan klinis atau
radiografi toraks. Karakteristik yang juga dapat dilihat pada USG

11
dapat membantu menentukan apakah terjadi efusi sederhana atau
kompleks. Efusi sederhana dapat diidentifikasi sebagai cairan
dalam rongga pleura dengan echotexture homogen seperti yang
terlihat pada sebagian besar efusi transudatif, sedangkan efusi yang
kompleks bersifat echogenic, sering terlihat septasi di dalam cairan,
danselalu eksudat. Bedside Ultrasound dianjurkan saat melakukan
thoracentesis untuk meningkatkan akurasi dan keamanan
prosedural.

c. Biopsi pleura

Dapat menunjukkan 50-70% diagnosis kasus


pleuritistuberkolosis dan tumor pleura. Biopsi ini berguna untuk
mengambil spesimen jaringan pleura melalui biopsi jalur
perkutaneus. Komplikasi biopsi adalah pneumothoraks,
hemothoraks, penyebaran infeksi dan tumor dinding dada.

d. Analisa cairan pleura

Untuk diagnostik cairan pleura perlu dilakukan


pemeriksaan:

1.Warna cairan

• Haemorragic pleural efusion, biasanya pada klien


dengan adanya keganasan paru atau akibat infark paru
terutama disebabkan oleh tuberkolosis.

• Yellow exudates pleural efusion, terutama terjadi pada


keadaan gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik,
hipoalbuminemia, dan perikarditis konstriktif.

• Clear transudate pleural efusion, sering terjadi pada


klien dengan keganasan ekstrapulmoner.

12
2. Biokimia, untuk membedakan transudasi dan eksudasi.

3. Sitologi, pemeriksaan sitologi bila ditemukan patologis


atau dominasi sel tertentu untuk melihat adanya keganasan.

4. Bakteriologi

Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang


dapat mengandung mikroorganisme, apalagi bila cairannya
purulen. Efusi yang purulen dapat mengandung kuman-
kuman yang aerob ataupun anaerob. Jenis kuman yang
sering ditemukan adalah Pneumococcus, E.coli, clebsiella,
Pseudomonas, Enterobacter.

e. CT Scan Thoraks

Berperan penting dalam mendeteksi


ketidaknormalan konfigurasi trakea serta cabang utama
bronkus, menentukan lesi pada pleura dan secara umum
mengungkapkan sifat serta derajat kelainan bayangan yang
terdapat pada paru dan jaringan toraks lainnya (Pranita,
2020).

2.1.9 Penatalaksanaan Medis


Tujuan penatalaksanaan pada efusi pleura adalah paliasi
atau mengurangi gejala. Pilihan terapi harus tergantung pada
prognosis, kejadianefusi berulang, dan keparahan gejala pada
pasien (Pranita, 2020).

a. Thorakosintesis

Thorakosintesis diindikasikan untuk efusi pleura


baru yang tidak tau penyebabnya. Obeservasi dan optimal
medical therapy (OMT) tanpa dilakukan thorasentesis
merupakan hal yang wajar dalam penanganan efusi pleura
karena gagal jantung atau setelah operasi CABG. Namun

13
manifestasi lain (seperti demam, pleuritis; radang selaput
dada) atau kegagalan untuk menanggapi terapi pada pasien
harus segera dipertimbangkan dilakukan thorasentesis
diagnostik.

b. Pemeriksaan laboratorium

Analisis cairan pleura, penampilan makroskopis


cairan pleura harus diperhatikan saat dilakukan
thoracentesis, karena dapat menegakkan diagnosis. Cairan
bisa sifatnya serosa, serosanguineous (ternoda darah),
hemoragik, atau bernanah. Cairan berdarah (hemoragik)
sering terlihat pada keganasan, emboli paru dengan infark
paru, trauma, efusi asbes jinak, atau sindrom cedera
jantung. Cairan purulen dapat dilihat pada empiema dan
efusi lipid. Sebagai tambahan. bau busuk dapat
menyebabkan infeksi anaerob dan bau amonia menjadi
urinothorax. Karakterisasi cairan pleura sebagai transudat
atau eksudat membantu menyingkirkan diagnosis banding
dan mengarahkan pemeriksaan selanjutnya.

c. Kimia darah

Pada pemeriksaan kimia darah konsentrasi glukosa


dalam cairan pleura berbanding lurus dengan kelainan
patologi pada cairan pleura. Asidosis cairan pleura (pH
rendah berkorelasi dengan prognosis buruk dan
memprediksi kegagalan pleurodesis. Pada dugaan infeksi
pleura, pH kurang dari 7,20 harus diobati dengan drainase
pleura. Amilase cairan pleura meningkat jika rasio cairan
amilase terhadap serum pleura lebih besar dari 1,0 dan
biasanya menunjukkan penyakit pankreas, ruptur esofagus,
dan efusi yang ganas.

14
d. Water Seal Drainage (WSD)

Drainase cairan (Water Seal Drainage) jika efusi


menimbulkan gejala subyektif seperti nyeri, dispnea, dll.
Cairan efusi sebanyak 1 – 1,2 liter perlu dikeluarkan segera
untuk mencegah meningkatnya edema paru, jika jumlah
cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran cairan
berikutya baru dapat dilakukan 1 jam kemudian. Pada efusi
yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai
pipa intubasi melalui selang iga. Bila cairan pusnya kental
sehingga sulit keluar atau bila empiemanya multiokuler,
perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya dapat dibantu
dengan irigasi cairan garam fisiologis atau larutan
antiseptik. Pengobatan secara sistemik hendaknya segera
dilakukan, tetapi terapi ini tidak berarti bila tidak diiringi
pengeluaran cairan yang adequate. Untuk mencegah
terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi dapat dilakukan
pleurodesis yakni melengketkan pleura viseralis dan pleura
parietalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin,
Bleomicin, Corynecbaterium parvum dll (Pranita, 2020).

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian
a. Identitas Pasien

Pada tahap ini meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah
agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, statu
pendidikan dan pekerjaan pasien.

b. Keluhan Utama

Biasanya pada pasien dengan efusi pleura didapatkan keluhan


berupa : sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi

15
pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan
bernafas serta batuk non produktif.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya


tanda-tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada
dada, berat badan menurun dan sebagainya.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit seperti


TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini
diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita


penyakit penyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti
Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya.

f. Riwayat Psikososial

Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara


mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.

g. Pengkajian Pola Fungsi

1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

2) Adanya tindakan medis danperawatan di rumah sakit mempengaruhi


perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan
persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan.

3) Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alcohol dan


penggunaan obat-obatan bias menjadi faktor predisposisi timbulnya
penyakit.

16
4) Pola nutrisi dan metabolisme

5) Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan


pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi
pasien.

6) Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama


MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu
makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen.

7) Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. Pasien


dengan effusi pleura keadaan umumnya lemah.

h. Pola eliminasi

Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai


kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah MRS. Karena keadaan umum
pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bedrest sehingga akan
menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen
menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus digestivus.

i. Pola aktivitas dan latihan

1) Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi.

2) Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.

3) Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya


nyeri dada.

4) Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien


dibantu oleh perawat dan keluarganya.

j. Pola tidur dan istirahat

1) Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat.

17
2) Selain itu, akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungaN rumah
yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang
mondar - mandir, berisik dan lain sebagainya.

k. Pemeriksaan Fisik

1) Status Kesehatan Umum

Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan


pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa,
sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk
mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien.

2) Sistem Respirasi

Inspeksi pada pasien efusi pleura bentuk hemithorax yang sakit


mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan
pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithoraxkontra
lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. Pernapasan
cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu.

a) Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah


cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.

b) Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya. Bila


cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas
atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical
penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis EllisDamoisseaux.
Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.

c) Auskultasi suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi


duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi
atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda tanda
auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan.

18
3) Sistem Cardiovasculer

a) Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada
ICS-5 pada linea medio klavikula kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung.

b) Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) harus


diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga
memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictuscordis.

c) Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung


terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung
atau ventrikel kiri.

d) Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop


dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta adakah
murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.

4) Sistem Pencernaan

a) Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau


datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu
juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.

b) Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai


normalnya 5-35 kali per menit.

c) Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen,


adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi
pasien, apakah hepar teraba.

d) Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan akan
menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesikaurinarta, tumor).

e) Sistem Neurologis

Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping itu juga diperlukan
pemeriksaan GCS, apakah composmentis atau somnolen atau comma.

19
Pemeriksaan refleks patologis dan refleks fisiologisnya.Selain itu fungsi-fungsi
sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan
dan pengecapan.

f) Sistem Muskuloskeletal

Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial.Selain itu, palpasi


pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan
pemerikasaan capillary refiltime. Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan
pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.

g) Sistem Integumen

Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi
pada kulit, pada pasien dengan efusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya
kegagalan sistem transport oksigen. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai
kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian tekstur kulit (halus-
lunakkasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang,

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang,
keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual ataupun potensial. Diagnosa keperawatan merupakan
dasar dalam penyusunan rencana tindakan asuhan keperawatan (Dinarti &
Mulyanti, 2017).

Adapun dignosa yang diangkat dari masalah sebelum dilakukan tindakan


infasif adalah:

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas


(kelemahan otot nafas) (D.0005)

b. Nyeri akut berhubungan denganagen pencedera fisiologis (inflamasi,


iskemia, neoplasma) (D.0077)

c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara


suplai dan kebutuhan oksigen (D.0056)

20
d. Bersihan jalan nafas

Adapun dignosa yang diangkat dari masalah setelah dilakukan tindakan


infasif adalah:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)


(D.0077)

b. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (D.0142)


(PPNI, 2017)

2.2.3 Intervensi keperawatan


Intervensi yang dapat dilaksanakan oleh perawat berdasarkan standard
intervensi keperawatan Indonesia (SIKI) :

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambata upaya nafas.


(D.0005)

1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola nafas


membaik.

2) Kriteria hasil

a) Dyspnea menurun

b) Penggunaan otot bantu nafas menurun

c) Pemanjangan fase ekspirasi menurun

d) Otopnea menurun

e) Pernapasan pursed-lip menurun

f) Frekuensi nafas membaik

3) Intervensi

Observasi

a) Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)

21
b) Monitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing
, ronchi kering)

Terapeutik

a) Pertahankan kepatenan jalan nafas head-tilt dan chin-lift


(jawthrust jika curiga trauma sevikal)

b) Posisikan semi-fowler atau fowler

c) Berikan oksigen jika perlu

Edukasi

a) Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi

a) Kolaborasi pemberian bronkodilator,ekspektoran, mukolitik, jika


perlu.

b. Nyeri akut berhubungan denganagen pencedera fisiologis ( inflamasi,


iskemia, neoplasma) (D.0077)

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri


menurun

2) Kriteria hasil :

a) Keluhan nyeri menurun

b) Melaporkan nyeri terkontrol meningkat

c) Meringis menurun

d) Penggunaan analgetik menurun

e) Tekanan darah membaik

3) Intervensi

Observasi

22
a) Identifikasi skala nyeri

b) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,


intensitas nyeri.

Terapeutik

a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

b) Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemiihan strategi


meredakan nyeri

Edukasi

a) Anjurkan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

a) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

c. Intoleransi aktifitas (D.0056)

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawaan diharapkan akitifitas


pasien meingkat

2) Kriteria hasil

a) Kemudahan melakukan aktifitas

b) Dyspnea saat beraktifitas menurun

c) Dspnea setelah beraktifitas menurun

d) Perasaan lemah menurun

e) Tekanan darah membaik

f) Frekueni nadi membaik

3) Intervensi

Observasi

23
a) Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
kelelahan

b) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan


aktifitas

Terapeutik

a) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. Cahaya,


suara, kunjungan)

Edukasi

a) Anjurkan tirah baring

b) Melakukan aktvitas secara bertahap

d. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharpkan suhu


kembali membaik

2) Kriteria hasil :

a) Mengigil menurun

b) Kulit merah menurun

c) Takikardia menurun

d) Takipnea menurun

e) Tekanan darah membaik

f) Suhu tubuh membaik

3) Intervensi

Observasi

a) Identifikasi penyebab hipertermia (mis.dehidrasi, terpapar


lingkungan panas, penggunaan incubator)

24
b) Monitor suhu tubuh

c) Monitor komplikasi akibat hipertermia

Terapeuik

a) Sediakan lingkungan yang dingin(atur suhu ruangan)

b) Longgarkan atau lepas pakaian

c) Berikan cairan oral

Edukasi

a) Anjurkan tirah baring

e. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan.

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan status nutrisi membaik

2) Kriteria hasil

a) Porsi makanan yang dihabiskan meningkat

b) Berat bada membaik

c) Nafsu makan membaik

d) Indeks masa tubuh (IMT) membaik

e) Frekuensi makan membaik

3) Intervensi

Observasi

a) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan

b) Monitor asupan makanan

c) Identifikasi perubahan berat badan

d) Monitor berat badan

25
e) Timbang berat badan

Terapeutik

a) Berikan makanan tinggi kalori dan protein

Kolaborasi

a) Kolaborasi dengan ahl gizi tentang cara meningkatkan asupan


makanan

f. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi


(D.0111)

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan


pengetahuan meningkat

2) Kriteria hasil

a) Perilaku sesuai anjuran menigkat

b) Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topic


mengingkat

c) Pertanyaan tentang masalah dihadapi menurun

d) Persepsi keliru terhadap masalah menurun

3) Intervensi

Observasi

a) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi

terapeutik

a) Sediakan materi dan media pendidikn kesehatan

b) Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan

c) Berikan kesempatan untuk bertanya

26
d) Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan

Adapun intervensi dari diagnosa setelah dilakukan tindakan invasif


tersebut adalah:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)


(D.0077)

a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri


menurun

b. Kriteria hasil :

1) keluhan nyeri menurun

2) kemampuan menuntaskan aktifitas meningkat

3) gelisah menurun

4) frekuensi nadi membaik

5) tekanan darah membaik

c. Intervensi

Observasi

1) Identifikasi respon nyeri non verbal

2) Identifikasi skala nyeri

3) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi , frekuensi, kualitas,


intensitas nyeri

Terapeutik

1) Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi


meredakan nyeri

Edukasi

27
1) Anjurkan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2. Risiko infeksi berhubungan dengan efek tindakan invasif. (D.0142)

a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan resiko


infeksi menurun

b. Kriteria hasil :

1) Demam menurun

2) Kebersihan badan meningkat

3) Bengkak menurun

4) Kemerahan menurun

5) Kultur sputum membaik\kultur area luka membaik

c. Intervensi

Observasi

1) Monitor tanda dan gejala infeksi dan sistemik

Terapeutik

1) Batasi jumlah pengunjung

2) Berikan perawatan kulit pada area edema

3) Cuci tangan sesudah atau sebelum kontak dengan pasien

4) Pertahankan tekhnik aseptic

Edukasi

1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi

28
2) Ajarkan mencuci tangan dengan benar

Kolaborasi

1) Kolaborasi pemberian antibiotic, jika perlu

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi adalah berkesinambungan dan interaktif dengan komponen
lain dari proses keperawatan. Selama implementasi, perawat mengkaji kembali
pasien, modifikasi rencana asuhan, dan menuliskan kembali hasil yang diharapkan
sesuai kebutuhan. Untuk implementasi yang efektif, perawat harus
berpengetahuan banyak tentang tipe-tipe intervensi, proses implementasi dan
metode implementasi. Ada tiga fase implementasi keperawatan yaitu :

a. Fase persiapan, meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana,


pengetahuan dan keterampilan mengimplementasikan rencana, persiapan pasien
dan lingkungan.

b. Fase operasional, merupakan puncak implementasi dengan berorientasi


dengan tujuan. Implementasi apat dilakukan dengan intervensi indeoenden,
dependen atau interdependen

c. Fase terminasi, merupakan terminasi perawat dengan pasien setelah


implementasi dilakukan (potter and pery, 2005)

2.2.5 Evaluasi Keperawatan


Fase terakhir proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan. Hal yang dievaluasi adalah keakuratan dan kualitas
data, teratasi atau tidaknya maslah pasien, serta pencapaian tujuan serta ketepatan
ntervensi keperawatan.

Tujuan evaluasi adalah untuk memberikan umpan balik rencanaa


keperawatan, menilai dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan melalui
perbandingan pelayanan keperawatan mutu pelayanan keperawatan yang
diberikan serta hasilnya dengan standar yang telah ditentukan terebih dahulu

29
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
 Penderita efusi pleura TB dan non-TB tidak ada perbedaan yang bermakna
dari jenis kelamin, riwayat merokok, sedangkan ada perbedaan yang
bermakna pada segi umur.
 Kadar LDH pada efusi pleura TB lebih tinggi dibandingkan efusi pleura
non-TB, sedangkan konsentrasi protein, glukosa, jumlah sel, sel PMN, dan
sel MN cairan pleura pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan
yang bermakna.
 Kadar IFN-γ cairan pleura pada semua pasien efusi pleura TB pada
penelitian ini jauh lebih tinggi dengan nilai reratanya mencapai 5x nilai cut
off point pada referensi yang ada.

3.2 Saran
 Penderita efusi pleura eksudatif bila ditemukan usia >36 tahun, glukosa
rendah pada analisa cairan pleura, kadar LDH tinggi dan IFN-γ yang tinggi
perlu dipikirkan efusi pleura TB.
 Kadar IFN-γ pada efusi pleura TB lebih tinggi pada cut off point yang
sudah ada sehingga perlu penelitian yang lebih lanjut dengan sampel yang
lebih banyak dan membandingkan antara IFN-γ dengan biomarker lainnya.

30
DAFTAR PUSTAKA

Firdaus Niam Akmal. 2019. efusi pleura. semarang: undip repost.

Herlia tika. 2020. Askep efusi pleura. Kalimantan timur: poltekkes samarinda.

Marvellini yan Richard. 2020. Gambaran volume efusi pleura. Jakarta: universitas
Kristen Indonesia.

Dewi NNIT. 2021. Konsep dasar efusi pleura. Denpasar: poltekkes Denpasar.

31

Anda mungkin juga menyukai