Anda di halaman 1dari 22

KONSEP TEORI DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN GANGGUAN PERNAFASAN : EFUSI PLEURA DI RUANG


UMAR BIN KHATAB 1 RSUD AL IHSAN BALEENDAH

Nurfitha Komala
NIM 232FK04016

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
karena penulis dapat menyelesaikan laporan ini. Tidak lupa sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada
keluarganya, sahabatnya hingga kepada kita selaku umatnya hingga akhir zaman. Pada
laporan ini penulis membahas mengenai Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan pada
pasien dengan gangguan pernafasan efusi pleura di ruang Umar Bin Khatab 1 RSUD Al
Ihsan Baleendah. Pembuatan makalah ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan
dorongan, baik materi maupun moral dari pihak-pihak tertentu. Penulis mengharapkan
kritik dan saran sebagai bahan pembelajaran di masa depan. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Bandung, 20 Maret 2024


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Efusi pleura merupakan keadaan dimana adanya penumpukan cairan


yang berada dalam rongga pleura yang melebihi batas normal. Hal tersebut
disebabkan karena adanya ketidakeimbangan antara pembentukan cairan
dan pengeluaran cairan dalam pleura. Dengan demikian gejalan yang
ditimbulkan adalah pasien mengeluh sesak napas yang berlangsung terus
menerus, sesak dirasakan berat saat bernafas dan nyeri dibagian dada
sehingga pasien kesulitan untuk melakukan aktifitas. Hal ini disebabkan
karena adanya penimbuhan cairan dirongga pleura sehingga menimbulkan
gangguan pada ekspansi paru, selain dari gangguan ekspansi paru masalah
yang muncul adalah pasien akan mengalami gangguan dalam kkeefektifan
pola pernafasannya. Efusi pleura termasuk salah satu penyakit yang
mengancam jiwa (Firdaus & Deny, 2012).

Menurut WHO sekitar 20% pendududk di dunia yang menghirup


udara kotor beresiko tinggi terkena penyakit paru dan saluran pernafasan
termasuk efusi pleura. Selain itu pennyebab efusi pleura sangat beragam, di
negara berkembang frekuensi penyebab dari efusi pleura kebanyakan
disebabkan oleh tuberculosis dan pneumonia. Sedangkan di negara-negara
maju efusi pleura biasanya disebabkan oleh gagal jantung, meligansi dan
pneumonia. Efusi pleura dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu eksudan
dan transudat, eksudat dan transudat dapat dibedakan dalam mekanisme
terbentuknya dan profil kimia pada cairan efusi pleura tersebut. Cairan
eksudat dihasilkan oleh proses inflamasi pleura maupun akibar dari
berkurangnya kemampuan drainage limfatik. Selain itu kelainan paru juga
dapat menyebabkan pembentukan cairan dalam rongga pleura, penyebab
lainnya yaitu infeksi baik oleh bakteri, jamur, virus maupun kelainan
sistematik, tidak jarang pula efusi pleura disebabkan oleh trauma akibat
kecelakaan maupun tindakan pembedahan yang telah dilakukan (Saferi &
Mariza, 2013)

Tanda dan gejala yag sering muncul pada efusi pleura adalah
dyspnea atau sesak napas dan nyeri dada, selain itu pada kebanyakan
penderita umumnya akan memberikan gejala demam, menggigil, penurunan
berat badan serta rasa berat pada bagian dada serta adanya penurunan pada
ekspansi paru. Dari tanda dan gejala tersebut maka efusi pleura dapat
menyebabkan munculnya diagnosa keperawatan ketidak efektifan pola
napas yang disebabkan oleh penumpukan cairan pleura viseralis dan pleura
parietalis. Jika pasien mengalami penurunan ekspansi paru maka jumlah
oksigen yang didapatkan akan lebih sedikir sehingga klien akan mengalami
sesak napas dan akan bernapas dengancepat (takipnea). Maka dari itu klien
akan mengalami gangguan dalam pola pernapasannya (Tamsuri, 2008)

Selain diagnosa keperawatan ketidak efektifan pola napas diagnosa


yang kemungkinan muncul pada penderita efusi pleura adalah gangguan
pertukaran gas, gangguan rasa nyaman nyeri, defisit perawatan diri dan
intoleransi aktivitas selain itu diagnosis yang mungkin muncul adalah
ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Sedangkan pada
diagnosa ketidakefektifan pola napas biasanya ditandai dengan gejala sesak
(dyspnea), napas cepat (takypnea), perubahan kedalaman pernapasan.
Sianosis disertai dengan adanya perubahan pergerakan dinding pada dada
(Somarti, 2012)
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis ingin membuat laporan
pendahuluan yang berjudul “Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan pada
pasien dengan gangguan pernafasan efusi pleura di ruang umar bin khatab 1
RSUD Baleendah”.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi
2. Untuk mengetahui anatomi fisioligi
3. Untuk mengetahui etiologi
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala
5. Untuk mengetahui patofisiologi dan pathways
6. Untuk mengetahui komplikasi dan
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan
1.3 Manfaat
1. Mahasiswa mampu memahami konsep dan proses keperawatan pada klien
dengan efusi pleura
2. Mahasiswa mengetahui proses keperawatan yang benar sehingga dapat
menjadi bekal dalam persiapan praktek di rumah sakit maupun di
masyarakat.
BAB II

KONSEP TEORI

2.1 Konsep Dasar Penyakit


a. Definisi
Efusi pleura adalah kondisi di mana cairan mengumpul di dalam
rongga pleura yang terletak antara permukaan parietal dan visceral.
Meskipun efusi pleura dapat terjadi sebagai suatu penyakit primer yang
jarang, lebih sering terjadi sebagai akibat dari penyakit lain (Brunner &
Suddarth, 2001)
Efusi pleura terjadi ketika cairan mengumpul di dalam rongga
pleura. Pada keadaan normal, cairan ini secara terus-menerus diproduksi
oleh kapiler yang melapisi pleura parietalis dan kemudian diserap kembali
oleh kapiler dan sistem limfatik yang melapisi permukaan paru-paru
(Anggarsari et al., 2018).
Pleura parietal merupakan sumber produksi cairan pleura,
sedangkan cairan tersebut direabsorbsi melalui sistem limfatik melewati
stomata yang terdapat pada pleura parietal. Pada tubuh yang sehat, rongga
pleura biasanya mengandung sejumlah kecil cairan sekitar 10-20 mL yang
konsentrasi proteinnya kecil (D’Agustino & Edens, 2020)
Efusi pleura merujuk pada kondisi di mana terjadi penumpukan
cairan antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Jenis cairan yang
terkumpul bisa berupa transudat atau eksudat. Pada kondisi normal,
volume cairan dalam rongga pleura hanya sekitar 10-20 ml. Efusi pleura
seringkali merupakan penyakit yang timbul sebagai akibat dari penyakit
lain yang mendasarinya.
b. Anatomi Fisiologi

Pleura merupakan membran serosa yang menyelimuti paru.


Terdapat dua macam pleura, yaitu pleura parietal yang melapisi rongga
thoraks dan pleura visceral yang menutupi setiap paru-paru. Pleura
perietalis melekat pada dinding dada dan permukaan thorak diafragma,
selain itu juga melekat pada mediastinum dan bersambungan dengan
pleura viseralis disekeliling perbatasan hilus. Mediastinum berada di
tengah dada, di antara kantung pleura yang berisi dua paru-paru. Itu
memanjang dari tulang dada ke kolom tulang belakang dan berisi semua
jaringan toraks di luar paru-paru (Brunner & Suddarth, 2010).
c. Etiologi
Efusi pleura dapat terjadi karena berbagai kondisi, misalnya
gangguan dalam penyerapan kembali cairan pleura (akibat tumor) atau
meningkatnya produksi cairan pleura (disebabkan infeksi pada pleura).
Menurut Sakhtya (2018), secara patologis efusi pleura bisa
disebabkan oleh keadaan-keadaan seperti:
a. Peningkatan tekanan hidrostatik (seperti pada kondisi gagal jantung)
b. Penurunan tekanan osmotik koloid plasma (misalnya akibat
hipoproteinemia)
c. Peningkatan permeabilitas kapiler (misalnya karena infeksi bakteri). d.
Penurunan absorbsi limfatik.
Etiologi efusi pleura ditinjau berdasarkan jenis cairan yang
diproduksinya menurut (Zuriati et al., 2017), yaitu:
a. Transudat
Gagal jantung, penyakit sirosis hati dan akumulasi cairan di rongga
perut (asites), hipoproteinemia yang terjadi pada sindrom nefrotik,
obstruksi vena kava superior, pascaoperasi abdomen, terapi dialisis
peritoneal, serta kondisi atelektasis.
b. Eksudat
1) Infeksi (pneumonia, TBC, virus, jamur, parasite, abses)
2) Neoplasma (Ca. Paru, metastasis, limfoma, leukimia)
3) Emboli atau infark paru
4) Penyakit kolagen (SLE, rheumatoid artritis)
5) Penyakit gastrointestinal (pankreatitis, rupture esofagus, abses hati).
6) Trauma (hemothorak, khilotorak)
d. Tanda dan Gejala
Biasanya manifestasi klinis adalah yang disebabkan oleh yang
mendasarinya penyakit. Pneumonia menyebabkan demam, menggigil, dan
nyeri dada pleuritik, sedangkan efusi ganas dapat menyebabkan dispnea
dan batuk. Ukuran efusi dan penyakit paru-paru yang mendasari pasien
menentukan keparahan gejala. Efusi pleura yang besar menyebabkan sesak
napas. Ketika efusi pleura kecil hingga sedang hadir, dispnea mungkin
tidak ada atau hanya minimal. Tingkat keparahan gejala yang dinilai
tergantung pada perjalanan waktu perkembangan efusi pleura dan penyakit
yang mendasari pasien (Brunner & Suddarth, 2010).
a. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena
pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan
banyak, penderita akan sesak nafas.
b. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, mengigil, dan
nyeri dada pleuritis (Pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(Tuberkolosis), banyak keringat, batuk, banyak sekret.
c. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi
penumpukan cairan pleura yang signifikan.
d. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang
bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal) pada
perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan
membentuk garis melengkung (garis ellis domoiseu).
e. Didapati segitiga garland, yaitu daerah pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis ellis domiseu. Segitiga groco-rochfusz, yaitu daerah
pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada
auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
f. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura
(Utama .S, 2018)
e. Patofisiologis / Pathway

Efusi pleura terjadi akibat perubahan keseimbangan cairan dan


protein di dalam rongga pleura. Normalnya, cairan pleura terbentuk
secara perlahan melalui proses penyaringan dari pembuluh darah kecil
yang disebut kapiler darah. Proses penyaringan ini terjadi karena adanya
perbedaan tekanan osmotik antara plasma darah dan jaringan cair di
sekitar membran pleura. Cairan ini kemudian masuk ke dalam rongga
pleura melalui sel-sel membran pleura yang disebut sel-sel mesotelial.
Selain itu, cairan pleura juga dapat mengalir melalui jaringan pembuluh
limfatik yang terdapat di sekitar pleura.

Secara umum, efusi pleura yang disebabkan oleh penyakit pada


pleura memiliki karakteristik yang mirip dengan plasma darah (eksudat),
sementara efusi yang terjadi dalam pleura yang normal memiliki
karakteristik yang mirip dengan ultrafiltrat plasma (transudat). Pleura
yang mengalami pleuritis menyebabkan efusi pleura dengan cara
meningkatkan permeabilitas pleura parietalis (lapisan luar pleura) yang
terjadi akibat peradangan atau keberadaan tumor (neoplasma).

Efusi pleura dapat terjadi pada individu yang memiliki pleura


yang normal saat mereka mengalami kondisi gagal jantung kongestif.
Ketika fungsi pompa jantung terganggu dan tidak mampu memompa
darah dengan efisiensi ke seluruh tubuh, tekanan hidrostatik di pembuluh
darah meningkat, yang mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler
sistemik. Akibatnya, cairan dalam pembuluh darah di daerah tersebut
dapat bocor keluar dan memasuki rongga pleura. Selain itu, penurunan
kemampuan kelenjar limfe di pleura untuk menyerap kembali cairan
juga berperan dalam akumulasi cairan yang berlebihan.
Hipoalbuminemia juga dapat menyebabkan peningkatan produksi cairan
pleura dan penurunan reabsorpsi. Hal ini disebabkan oleh penurunan
tekanan onkotik intravaskular yang memfasilitasi pergerakan cairan ke
rongga pleura dengan lebih mudah (Somantri, 2012).
f. Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi yang terjadi pada penyakit efusi pleura menurut Ketut &
Brigitta (2021), yaitu:
a. Empiema
Efusi pleura dapat menyebabkan penurunan kemampuan paru-paru untuk
mengembang secara optimal, sehingga mengganggu fungsi paru- paru.
Jika efusi pleura berlangsung lama, bisa memicu pembentukan jaringan
parut pada paru-paru dan menurunkan fungsi paru-paru secara permanen.
Cairan yang menumpuk dalam rongga pleura selama periode yang panjang
juga berisiko terinfeksi, yang bisa memicu pembentukan abses atau
dinamakan empiema.
b. Fibrothorak
Jika efusi pleura berbentuk eksudat tidak diobati dengan drainase yang
memadai, dapat terjadi pembentukan jaringan fibrosa yang mengikat
bersama pleura parietalis dan pleura viseralis. Apabila fibrothoraks ini
meluas, dapat mengakibatkan gangguan mekanis yang berarti pada
jaringan di bawahnya.
c. Pneumothoraks
Prosedur diagnostik dan terapeutik seperti torasentesis melibatkan
penempatan jarum melalui dinding dada ke dalam rongga pleura. Namun,
prosedur ini memiliki risiko terjadinya pneumothoraks sebagai komplikasi.
d. Atelektasis
Atelektasis adalah kondisi di mana paru-paru mengalami pengembangan
yang tidak sempurna karena terjadi penekanan yang disebabkan efusi
pleura.
2.2 Konsep Teori Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan dasar utama dalam perawatan kesehatan


yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data dari pasien,
dengan maksud mengidentifikasi masalah, kebutuhan kesehatan, serta
aspek fisik, mental, sosial, dan lingkungan pasien (Dermawan, 2012).
a. Anamnesa

a) Identitas pasien

Identitas pasien mulai dari nama, umur, jenis kelamin,


pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, agama, alamat, diagnosa
medis, nomor rekam medis, tanggal masuk pasien.
b) Identitas penanggung jawab pasien

Nama, umur, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat,


hubungan dengan klien.
b. Keluhan Utama
Klien yang mengalami efusi pleura akan mengalami gejala
seperti kesulitan bernapas, batuk, dan rasa nyeri di dada saat
bernapas. Namun, gejala ini dapat bervariasi tergantung pada penyakit
yang mendasarinya dan seringkali tidak jelas. Sebagai contoh, pada
kasus pneumonia, gejala yang muncul termasuk demam, menggigil,
dan rasa nyeri dada akibat pleuritis. Ketika efusi pleura semakin
meluas, mungkin muncul kesulitan bernapas (dispnea) dan batuk.
Pada kasus efusi pleura yang signifikan, pasien mungkin mengalami
napas pendek. Selain itu, tanda fisik yang dapat diamati Termasuk
dalam pengkajian adalah adanya deviasi trakea yang menjauhi sisi
yang terkena, adanya bunyi kedengkian saat melakukan perkusi, serta
penurunan suara napas pada sisi yang terkena (Somantri, 2012).
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien dengan efusi pleura, gejala awal yang mungkin
terjadi adalah batuk, kesulitan bernapas, nyeri pada pleura, sensasi
berat pada dada, dan penurunan berat badan. Untuk membantu
perawat dalam mengevaluasi keluhan kesulitan bernapas, dapat
dilakukan pengklasifikasian tingkat keparahan sesak napas.
Pengkajian melalui pendekatan PQRST (Provokasi, Quality, Radiasi,
Severity, Time) dapat membantu perawat dalam melakukan
pengkajian dengan lebih sistematis (Muttaqin, 2012).
d. Riwayat Penyakit Dahulu

a) Riwayat penyakit sebelumnya

Klien efusi pleura, khusunya yang disebabkan oleh infeksi


non- pleura, umumnya memiliki riwayat penyakit tuberculosis paru
(Somantri, 2012).
b) Riwayat kesehatan keluarga

Tidak ada data yang menunjukkan adanya penyakit yang sama


atau diturunkan dari anggota keluarga lain, kecuali penularan
infeksi tuberculosis yang menyebabkan efusi pleura (Somantri,
2012).
c) Riwayat pengobatan

Dalam mengobati efusi pleura maligna, terapi yang umum


dilakukan meliputi radiasi dinding dada, plerektomi bedah, dan
penggunaan terapi diuretik (Padila, 2012).
e. Pengkajian Pola – Pola Fungsi Kesehatan Gordon:
a) Persepsi dan pemahaman tentang kesehatan
Pengalaman perawatan medis di rumah sakit dapat mempengaruhi
cara pasien memandang kesehatan dan terkadang menyebabkan
pemahaman yang keliru tentang pemeliharaan kesehatan. Faktor-
faktor seperti riwayat merokok, konsumsi alkohol, dan penggunaan
obat-obatan dapat menjadi faktor yang mempengaruhi timbulnya
penyakit.
b) Pola nutrisi dan metabolisme

Pengukuran tinggi dan berat badan pasien dapat memberikan


gambaran tentang kondisi nutrisi mereka. Selain itu, penting juga
untuk mempelajari pola makan dan minum pasien sebelum dan
selama perawatan di rumah sakit. Efusi pleura dapat
mengakibatkan berkurangnya nafsu makan karena pasien
mengalami kesulitan bernapas.
c) Pola eliminasi

Kondisi eliminasi pasien sebelum dan selama perawatan di rumah


sakit perlu ditanyakan. Karena kondisi umum pasien yang lemah,
istirahat yang lebih banyak dapat menyebabkan konstipasi. Selain
itu, efek pada saluran pencernaan juga dapat menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot.
d) Pola aktivitas dan latihan

Sesak napas pada efusi pleura dapat menyebabkan kelelahan saat


beraktivitas, sementara nyeri dada dapat membatasi aktivitas
pasien.
e) Pola tidur dan istirahat

Sesak napas dan nyeri dapat membuat tidur menjadi sulit bagi
pasien. Hospitalisasi juga bisa menyebabkan pasien kurang
nyaman sebab perubahan lingkungan dari rumah.
f) Pola hubungan dan peran

Sakit dapat mengubah peran pasien dalam keluarga dan


masyarakat. Misalnya, pasien mungkin tidak dapat mengurus anak
dan pasangan karena kondisinya yang sakit.
g) Persepsi dan konsep diri

Persepsi pasien terhadap dirinya dapat berubah karena kondisi


sakit, sesak napas, dan nyeri dada. Pasien mungkin menganggap
penyakitnya sebagai penyakit yang berbahaya dan mematikan,
yang dapat mempengaruhi pandangan positif terhadap dirinya
sendiri.
h) Pola sensori dan kognitif

Pada umumnya, pasien tidak mengalami perubahan yang


signifikan dalam fungsi indra mereka, begitu juga dengan
kemampuan berpikirnya..
i) Pola reproduksi dan seksual

Kebutuhan seksual pasien dapat terganggu sementara waktu karena


kondisi fisik yang lemah dan perawatan di rumah sakit.
j) Pola mekanisme koping

Pasien dapat mengalami stres karena ketidakpahaman mengenai


proses penyakitnya. Pasien mungkin akan mengajukan banyak
pertanyaan kepada perawat, dokter, atau orang lain yang dianggap
memiliki pengetahuan tentang penyakitnya.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan

Kehidupan agama pasien bisa terhambat akibat proses penyakit


yang sedang dialaminya.
f. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum

1) Kesadaran

Klien yang mengalami efusi pleura biasanya akan menunjukkan


gejala-gejala seperti batuk, kesulitan bernapas, nyeri pleuritis,
sensasi berat pada dada, dan penurunan berat badan (Muttaqin,
2012).

2) Tanda-tanda Vital
Pada klien dengan efusi pleura, Respiratory Rate (RR) cenderung
meningkat dan umumnya dispnea. Suara perkusi terdengar
redup, fremitus vokal menurun, dan auskultasi suara napas dapat
melemah hingga tidak terdengar (Somantri, 2012).
b) Pemeriksaan head to toe menurut Saferi & Mariza (2013):

1) Pemeriksaan kepala

Tidak ada lesi, oedema, atau nyeri tekan pada kepala. Bentuk
kepala simetris.

2) Pemeriksaan rambut

Rambut berwarna hitam, penyebaran rambut merata, bersih tanpa


ketombe atau kutu. Rambut halus dan mudah rontok.
3) Pemeriksaan wajah

Wajah simetris dengan bentuk bulat. Tanpa respon nyeri ketika


ditekan pelan-pelan.
4) Pemeriksaan mata

Mata memiliki bentuk yang simetris, tidak terdapat adanya luka


atau kelainan pada kelopak mata. Reflek kedip mata berjalan
dengan baik, dan konjungtiva terlihat pucat. Pupil mata memiliki
ukuran yang sama, dan menciut saat terkena cahaya. Gerakan
bola mata berjalan normal.
6) Pemeriksaan hidung

Hidung memiliki bentuk yang simetris, tanpa adanya luka atau


peradangan. Tidak terdapat sekret atau lendir yang keluar dari
hidung. Kemampuan penciuman berfungsi dengan baik. Tidak
terdapat polip di dalam hidung. Terdapat alat bantu pernapasan
yang dipasang. Pasien melakukan pernapasan melalui cuping
hidung.
7) Pemeriksaan telinga

Telinga memiliki bentuk yang simetris dan ukuran yang normal.


Tidak terdapat luka atau perubahan pada telinga. Terdapat
serumen di dalam telinga. Tidak terdapat alat bantu pendengaran
yang dipasang. Tidak ada nyeri saat ditekan pada telinga.
8) Pemeriksaan mulut dan faring

Tidak terdapat kelainan bawaan seperti bibir sumbing. Tidak


terdapat tanda-tanda stomatitis. Mulut memiliki bentuk yang
simetris. Mukosa bibir terlihat kering. Tidak ada luka atau
perubahan pada bibir. Jumlah gigi lengkap dan terdapat
penumpukan karang gigi. Terdapat bau pada mulut. Tidak ada
pembengkakan pada tonsil.
9) Pemeriksaan leher

Leher memiliki bentuk yang simetris. Tidak terdapat luka atau


perubahan pada leher. Tidak terdapat pembengkakan pada
kelenjar tiroid. Tidak ada keluhan kesulitan menelan atau rasa
nyeri saat menelan.
10) Pemeriksaan thoraks (Padila, 2018):

a) Pemeriksaan paru

a. Inspeksi : Dada memiliki bentuk yang mencembung.


Terdapat retraksi pada dinding dada. Pergerakan dada
pada pasien dengan efusi pleura terlihat asimetris antara
sisi kanan dan kiri, dengan pergerakan yang terhambat
atau lambat pada area yang mengalami nyeri. Tingkat
frekuensi pernapasan (respiratory rate/RR) meningkat.
b. Palpasi : vocal fremitus menurun.

c. Perkusi : suara paru redup sampai pekak di lapang


paru tergantung banyaknya jumlah cairan.
d. Auskultasi : terdapat suara nafas ronchi tapi melemah
bisa sampai menghilang.
b) Pemeriksaan jantung
a. Inspeksi : ictus cordis terlihat.
b. Palpasi : ictus cordis biasanya teraba di ICS
5 midclavicula sinistra.
c. Perkusi : terdengar bunyi redup sampai pekak.
d. Auskultasi : tidak ada bunyi jantung tambahan, bunyi
jantung tunggal, bunyi jantung 1 lub bunyi jantung 2
dup.
c) Pemeriksaan abdomen
a. Inspeksi : bentuk perut datar, perut simetris, tidak
ada lesi, tidak ada asites pada perut.
b. : suara bising usus normal (normal 5 – 35x/menit).
c. Palpasi : tidak ada massa di perut, tidak ada nyeri tekan
di perut.
d. Perkusi : suara perut” timpani, adanya massa padat
akan menimbulkan suara pekak.
d) Pemeriksaan ekstremitas

Ekstremitas kanan dan kiri memiliki simetri yang baik. Tidak


ada lesi atau tanda cyanosis pada kedua ekstremitas. Suhu
akral normal atau hangat, tidak ditemui tanda edema. Namun
terdapat kelemahan otot.

e) Pemeriksaan integumen

Kulit normal, merata, tanpa lesi atau petekie, kering, halus,


Elastisitas kulit dalam keadaan baik, dengan waktu
pemulihan yang normal tidak lebih dari 2 detik (turgor kulit
baik). Waktu pengisian balik kapiler (capillary refill
time/CRT) juga normal, tidak lebih dari 2 detik. Tidak ada
nyeri saat tekan pada kulit.

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia yang disusun oleh Tim


Pokja SDKI DPP PPNI (2018), diagnosa yang umum terjadi pada pasien
dengan efusi pleura meliputi Ketidakefektifan Pola Nafas yang terkait
dengan penurunan ekspansi par, ditandai dengan gejala seperti keluhan
sesak atau dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi yang
memanjang, serta pola nafas yang tidak normal seperti takipnea,
bradipnea, hiperventilasi Kussmaul, atau Cheyne-Stokes.

3. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan melibatkan perencanaan untuk mengubah atau


memanipulasi faktor-faktor yang terkait secara langsung maupun tidak
langsung dengan kondisi klien, dengan tujuan mencapai hasil yang
diinginkan. Selain itu, upaya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
klien dalam menghadapi situasi dan menangani stres secara efektif,
sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi klien secara keseluruhan dapat
berdampak positif secara optimal (Nursalam, 2015).
4. Implementasi Keperawatan

Menurut Nursalam (2009), Pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan


sesuai dengan intervensi yang telah disusun sebelumnya, guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan secara spesifik.. Jenis-jenis tindakan tersebut
sebagai berikut:
a. Secara Mandiri (Independent):
Yaitu langkah-langkah yang diambil oleh perawat secara proaktif guna
membantu pasien mengatasi masalah yang dihadapinya dan merespons
reaksi yang timbul akibat adanya faktor-faktor pemicu stres..
b. Saling Ketergantungan (Interdependent):
Yaitu tindakan keperawatan yang dilakukan oleh tim perawatan bekerja
sama dengan tim kesehatan lainnya, yang diperlukan untuk merencanakan
dan melaksanakan perawatan yang komprehensif.
c. Rujukan/Ketergantungan (Dependent):

Yaitu ketika pasien menunjukkan kemajuan sesuai dengan kriteria yang


diharapkan, dan perawat merujuk pasien kepada profesional kesehatan
lain untuk melanjutkan intervensi yang lebih lanjut atau perawatan
spesifik.

5. Implementasi Keperawatan

Melakukan penilaian terhadap tingkat keberhasilan tindakan sesuai


dengan tujuan yang telah ditetapkan merupakan bagian penting dalam proses
keperawatan. Evaluasi dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas dari
diagnosis keperawatan, rencana intervensi, dan pelaksanaan yang telah
dilakukan, sehingga melengkapi proses keperawatan secara keseluruhan
(Nursalam, 2009). Berdasarkan Nursalam (2008), ualitas asuhan keperawatan
dapat dievaluasi secara formatif (selama proses) dan sumatif (berdasarkan
hasil akhir).
a. Evaluasi proses
Evaluasi proses (formatif) bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas dan
kualitas pelayanan asuhan keperawatan yang diimplementasikan, dengan
tujuan untuk menilai efektivitas intervensi tersebut. Evaluasi proses harus
dilakukan secara berkelanjutan sampai tujuan yang telah ditetapkan tercapai.
b. Evaluasi hasil
Evaluasi hasil (sumatif) adalah penilaian akhir terhadap perubahan perilaku
atau status kesehatan klien setelah menjalani asuhan keperawatan. Evaluasi
ini dilakukan secara menyeluruh pada tahap akhir untuk mengevaluasi
pencapaian tujuan asuhan keperawatan dan efektivitas intervensi yang
dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai