Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Prevalensi penyakit saluran pernafasan di Indonesia adalah sebesar 933 per

100.000 populasi, yang terdiri dari 537 Penyakit Paru Obstruksi Kronis dan 188

Asma (WHO, 2009). Pola 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah

sakit di Indonesia tahun 2010 menurut Daftar Tabulasi Dasar (DTD)

menunjukkan bahwa nampak tingkat kematian tertinggi pada pasien rawat inap di

rumah sakit adalah pneumonia sebesar 7,6%. Pada pasien rawat jalan, gambaran

10 penyakit terbanyak menunjukkan pola sedikit berbeda. Infeksi Saluran

Pernapasan bagian atas akut lainnya memiliki jumlah kasus terbanyak sebesar

29.356 kasus (Kemenkes RI, 2011).

Saat ini penyakit efusi pleura masih menunjukan prevalensi yang tinggi.

Di Indonesia mencapai 2,7 % dari penyakit infeksi saluran napas lainnya (Depkes

RI, 2006). Sedangkan prevalensi efusi pleura di dunia diperkirakan sebanyak 320

kasus per 100.000 penduduk di negara-negara industri dengan penyebarannya

tergantung dari etiologi penyakit yang mendasarinya. Hasil penelitian di salah satu

rumah sakit di India pada tahun 2013-2014 didapatkan prevalensi efusi pleura

sebanyak 80 kasus dengan penyebab terbanyak tuberkulosis paru ( Jamaluddin,

2015).

Kejadian efusi pleura pada laki-laki lebih tinggi dengan penyebab

terbanyak adalah tuberkulosis paru (Tobing, 2013), sedangkan angka kejadian 2


pada perempuan akan lebih tinggi jika keganasan sebagai penyebab terbanyak

(Surjanto, 2012).

Struktur paru sendiri dibungkus oleh membran tipis yang disebut pleura.

Lapisan terluar paru membran paru yang melekat dinding thoraks. Lapisan dalam

pleura menempel ke paru. Pada saat ekspansi rongga thoraks terjadi selama

inspirasi, lapisan terluar mengembang, daya ini disalurkan ke pleura lapisan

dalam, yang akan mengembangkan paru diantara pleura lapisan dalam dan luar

terdapat ruang / rongga pleura. Ruang paru ini terisi milliliter cairan yang

mengelilingi dan membasahi paru. Cairan pleura memiliki tekanan negatif dan

membawa gaya kolaps (rekoil) elastis paru. Mekanisme paru tetap dapat

mengembang (Corwin, 2009).

Efusi pleura merupakan pengumpulan cairan dalam ruang pleural yang

terletak diantara permukaan visceral dan parental, adalah proses penyakit primer

yang jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap

penyakit lain, secara normal ruang pleura mengandung sejumlah kecil cairan (5-

15 ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural

bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer, 2009). Efusi pleura merupakan keadaan di

mana terjadinya penumpukan cairan yang berlebih di dalam kavum pleura

(Simanjuntak, 2014). Penumpukan cairan yang berlebih dapat disebabkan oleh

ketidakseimbangan produksi dan pengeluaran cairan sehingga terjadinya efusi

pleura. Reaksi inflamasi dan keganasan yang ada pada pasien efusi pleura dapat

membuat permeabilitas pembuluh darah membran pleura meningkat atau

hambatan aliran limfatik 3 sehingga terjadi penumpukan cairan dan terjadinya


efusi pleura (Saguil, 2014). Keadaan ini dapat mengancam jiwa karena cairan

yang menumpuk dapat menghambat pengembangan paru-paru sehingga terjadinya

gangguan pada proses pertukaran udara (Simanjuntak, 2014).

Berdasarkan sudut pandang fisioterapi, pasien efusi pleura menimbulkan

berbagai tingkat gangguan yaitu berupa penurunan ekspansi torak, kesulitan

mengeluarkan sputum, terjadinya perubahan pola pernafasan, perubahan postur

tubuh, gangguan aktivitas sehari-hari.

Di samping itu, peran fisioterapi sebagai tenaga kesehatan juga ikut

berpengaruh mengatasi permasalahan pasien efusi pleura. Modalitas fisioterapi

terapi yang dapat diberikan diantaranya latihan pernapasan dalam atau deep

breathing exercise untuk memperbaiki fungsi kerja paru dan bermanfaat untuk

mengatur pernapasan saat terjadi keluhan sesak nafas. Pada saat inspirasi dalam,

dinding perut relaks(pasif) dan udara masuk ke paru-paru melalui hidung

(Westerdahl, et al, 2015).

Berdasarkan latar belakang diatas penulis mempunyai keinginan untuk

mengulas mengenai penyakit efusi pleura dan bagaimana penatalaksanaan

fisioterapi untuk membantu mengurangi permasalahan yang dialami penderita

efusi pleura, maka dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini penulis mengambil

judul Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Efusi Pleura di RS Paru Respira

Yogyakarta
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah penatalaksanan fisioterapi pada

pasien penderita efusi pleura di RSP Respira Yogyakarta?

C. Tujuan Penulisan

Mengacu pada rumusan masalah diatas tujuan penulisan karya tulis ini

adalah untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada pasien

penderita efusi pleura.

D. Manfaat Penulisan

1) Bagi Penulis, memberikan wawasan baru dan meningkatkan ilmu

pengetahuan serta dapat menganalisa permasalahan-permasalahan yang ada. Serta

dapat dijadikan sebagai literatur untuk penderita efusi pleura dan dapat menjadi

tambahan kepustakaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kesehatan, 2)

Bagi pasien, mendapatkan informasi tentang pengertian efusi pleura, cara

mencegah efusi pleura dan mengontrol terjadinya efusi pleura, 3) Bagi Sejawat

Fisioterapi, agar dapat menjadi bahan tambahan dan masukan bagi rekan sejawat

fisioterapi, mengenai penananganan secara tepat pada kasus efusi pleura

khususnya, 4) Bagi instansi atau pendidikan diharapkan karya tulis ini bisa

menjadi tambahan sumber ilmu dan bahan bacaan di kepustakaan bagi mahasiswa

fisioterapi Poltekkes Surakarta.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus

1. Definisi Efusi Pleura

Efusi pleura adalah kondisi yang ditandai oleh penumpukan cairan

diantara dua lapisan pleura. Pleura merupakan membrane yang memisahkan paru-

paru dengan dinding dada bagian dalam (PDPI, 2017).

2. Klasifikasi Efusi Pleura

Terdapat 2 klasifikasi tentang efusi pleura yaitu, 1) Efusi pleuratransudat

pada efusi jenis transudat ini keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran

cairan dari pembuluh darah. Mekanisme terbentuknya transudat karena

peningkatan tekanan hidrostatik (CHF), penurunan onkotik(hipoalbumin) dan

tekanan negatif intra pleura yang meningkat (atelektasisakut), 2) Efusi pleura

eksudat ini terbentuk sebagai akibat penyakit dari pleura itu sendiri yang berkaitan

dengan peningkatan permeabilitas kapiler (misal pneumonia) atau drainase

limfatik yang berkurang misal, obstruksi aliran limfa karena karsinoma

(Djojodibroto,2015).

3. Etiologi

Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura. Tahap yang

pertama adalah menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenis transudat

atau eksudat.
Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi

pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura

eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan

penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura 7 tipe transudatif

dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase

(LDH) dan protein di dalam cairan, pleura. Efusi pleura eksudatif memenuhi

paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini, sementara efusi pleura

transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria ini :1) Proteincairan pleura /

proteinserum(> 0,5), 2)LDH cairan pleura / cairanserum (> 0,6), 3) LDH cairan

pleura melebihidua per tigadari batas atas nilai LDH yang normal di

dalamserum(Djojodibroto,2015).

Menurut Davey(2005),etiologi dari efusi pleura ini dibedakan menurut

jenisnya yaitu ada efusi pleuratransudat yang disebabkan karena gagal jantung,

serosis hepatis, sindroma nefrotik, hipoalbuminemia. Sedangkan efusi pleura

eksudat ada bakteri pneumonia, karsinoma, pleuritis dan infark paru. Secara

umum etiologinya adalah karena neoplasma seperti bronkogenik dan metastatik,

kardiovaskuler (CHF, embolus pulmonas, dan perikarditis), penyakit pada

abdomen (pankreatitis, asites, abses), infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus,

jamur, mikrobakterial dan parasit, trauma, reumathoid arthtritis, sindroma nefrotik

atau anemia (Mansjoer, 2001).

4. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang muncul pada efusi pleura yakni ada tiga gejala yang

paling umum dijumpai pada efusi pleura yaitu nyeri dada saat mengambil dan
menghembuskan napas, batuk, dan sesak napas. Nyeri dada yang disebabkan efusi

pleura oleh karena penumpukan cairan di dalam rongga pleura. Nyeri dada yang

ditimbulkan oleh efusi pleura bersifat pleuritic pain. Pleuritic 8 painmenunjukkan

iritasi lokal dari pleura parietal, yang banyak terdapat serabut saraf. Karena

dipersarafi oleh nervus frenikus, maka keterlibatan pleura mediastinal

menghasilkan nyeri dada dengan nyeri bahu ipsilateral. Nyeri juga bisa menjalar

hingga ke perut melalui persarafan interkostalis. Sedangkan batuk kemungkinan

akibat iritasi bronkial disebabkan kompresi parenkim paru (Roberts JR et al,

2014).

Efusi pleura yang sedikit biasanya asimptomatik, sementara efusi pleura

yang banyak dapat menimbulkan dispnea, khususnya bila ada penyakit

kardiopulmoner yang banyak mendasari. Nyeri dada pleuritik dan batuk kering

dapat terjadi, cairan pleura yang berhubungan dengan adanya nyeri dada biasanya

eksudat. Gejala fisik tidak dirasakan bila cairan kurang dari 200-300 ml.

Tandatanda yang sesuai dengan efusi pleura yang lebih besar adalah penurunan

premitus, redup pada perkusi dan berkurangnya suara nafas. Pada efusi luas yang

menekan paru, aksentuasi suara napas dan egofoni ditemukan tepat diatas batas

efusi. Adanya friction rub pleural menandai pleuritis. Efusi pleura masif dengan

tekanan intrapleural yang meninggi dapat menyebabkan pergeseran trak hea

kearah kontralateral dan pendataran spatium interkostal (Lawrence, dkk, 2002).

Efusi pleura merupakan penyakit yang sangat jarang berdiri sendiri dan

biasanya merupakan akibat dari penyakit, sehingga gejala – gejala yang muncul

juga antara lain yakni pada efusi pleura akibat gagal jantung adalah pembentukan
oedem ekstremitas, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspneu. Sementara pada

efusi pleura akibat infeksi dapat memunculkan gejala demam, sputum purulen,

batuk – batuk dan lain – lain (Feller dkk, 2007)

5. Patofisiologi

Pleura parietalis dan viseralis letaknya berhadapan satu sama lain dan

hanya dipisahkan oleh selaput tipis cairan serosa lapisan tipis dari selaput ini

memperlihatkan adanya keseimbangan antara transudasi dari kapiler-kapiler

pleura dan reabsorpsi oleh vena visceral dan parietal dan saluran getah bening.

Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga

pleura, efusi pleura dapat berupa transudat atau eksudat.Transudat terjadi pada

peningkatan tekanan vena pulmonalis, misalnya pada gagal jantung kongestif

pada kasus ini keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari

pembuluh.Transudat juga terjadi pada hipoproteinemia seperti pada penyakit hati

dan ginjal atau penekanan tumor pada vena kava. Penimbunan transudat dalam

rongga pleura dikenal dengan nama hidrotorak. Cairan pleura cenderung

tertimbun pada dasar paru-paru akibat gaya gravitasi. Penimbunan eksudat timbul

jika ada peradangan atau keganasan pleura dan akibat peningkatan permeabilitas

kapiler atau ganguan absorpsi getah bening. Eksudat dibedakan dengan transudat

dari kadar protein yang dikandungnya dan dari berat jenisnya. Transudat

mempunyai berat jenis kurangdari 1, 015 sedangkan kadar proteinnya< 3 %.

Untuk cairan eksudat berat jenis dan kadar proteinnya lebih tinggi (Somantri,

2009).
Cairan pleura normalnya hanya cukup untuk berfungsi sebagai pelumas

viseral dan parietal, sekitar 10-20 ml dalam rongga pleura. Jumlah cairan dalam

rongga pleura tetap, karena adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis sebesar 9

cmH2O. Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotik koloid 10

menurun (misalnya pada penderita hipoalbuminemia), bertambahnya

permeabilitas kapiler akibat ada proses peradangan atau neoplasma, bertambahnya

tekanan hidrostatis akibat kegagalan jantung, dan tekanan negatif intrapleura

apabila terjadi atelektasis paru. Efusi pleura seringkali dibagi dalam kategori

transudat dan eksudat (Muttaqin, 2008).

Efusi pleura berarti terjadi penumpukan sejumlah besar cairan bebas dalam

kavum pleura. Kemungkinan proses akumulasi cairan di rongga pleura terjadi

akibat beberapa proses yang meliputi :

1. Adanya hambatan drainase limfatik dari rongga pleura.

2. Gagal jantung yang menyebabkan tekanan kapiler paru dan tekanan

perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi cairan yang

berlebihan ke dalam rongga pleura.

3. Menurunnya tekanan osmotik koloid plasma juga memungkinkan

terjadinya transudasi cairan yang berlebihan.

4. Adanya proses infeksi atau setiap penyebab peradangan apapun pada

permukaan pleura dari rongga pleura dapat menyebabkan pecahnya membran

kapiler dan memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan ke dalam rongga

pleura secara cepat.


Infeksi akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan

TBC dapat menimbulkan peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga

diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus. Peradangan pada saluran

getah bening akan mempengaruhi permeabilitas membran. Permeabilitas 11

membran akan meningkat dan akhirnya menimbulkan akumulasi cairan ke dalam

rongga pleura (Muttaqin, 2008).

6. Anatomi

a. Anatomi pernapasan Organ pernapasan berguna bagi transportasi gas-

gas dimana organ-organ pernapasan tersebut dibedakan menjadi bagian dimana

udara mengalir yaitu rongga hidung, pharynx, larynx, trachea, dan bagian paru-

paru yang berfungsi melakukan pertukaran gas-gas antara udara dan darah.

Saluran pernapasan bagian atas, terdiri dari :1) Nares anterior yaitu

saluran-saluran didalam lubang hidung. Saluran itu bermuara ke dalam vestibulum

(rongga) hidung. Vestibulum ini dilapisi dengan epithelium bergaris yang

tersambung dengan kulit, 2) Hidung yang menghubungkan lubang-lubang dari

sinus udara paranalis yang masuk kedalam rongga-rongga hidung dan juga

lubang-lubang naso lakrimal yang menyalurkan air mata ke dalam bagian bawah

rongga nasalis ke dalam hidung, 3) Pharynx (tekak) adalah pipa berotot yang

berjalan dari dasar tenggorokan sampai persambungannya dengan esophagus pada

ketinggian tulang rawan krikid maka letaknya di belakang hidung (naso farynx),

dibelakang mulut (oro larynx), dan di belakang faring (farinx laryngeal).

Saluran pernapasan bagian bawah terdiri dari :1) Larynx (tenggorokan)

terletak di depan bagian terendah pharynx yang memisahkan dari kolumna


vertebra, berjalan dari farine-farine sampai ketinggian vertebra servikalis dan

masuk ke dalam trakea di bawahnya, 2) Trakea (batang tenggorokan) yang kurang

lebih 9 cm panjangnya trakea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian 12

vertebra torakalis ke lima dan ditempat ini bercabang menjadi dua bronkus

(bronchi), 3) Bronkus yang terbentuk dari belahan dua trakea padaketinggian

kirakira vertebralis torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trakea

yang dilapisi oleh jenis sel yang sama. Cabang utama bronkus kanan dan kiri tidak

simetris. Bronkus kanan lebih pendek, lebih besar dan merupakan lanjutan trakea

dengan sudut lancip. Keanehan anatomis ini mempunyai makna klinis yang

penting. Tabung endotrakea terletak sedemikian rupa sehingga terbentuk saluran

udara paten yang mudah masuk kedalam cabang bronkus kanan. Kalau udara

salah jalan, maka tidak dapat masuk dalam paru-paru kiri sehingga paru-paru akan

kolaps (atelektasis). Tetapi arah bronkus kanan yang hampir vertikal maka lebih

mudah memasukkan kateter untuk melakukan penghisapan yang dalam. Juga

benda asing yang terhirup lebih mudah tersangkut dalam percabangan bronchus

kanan karena arahnya vertikal. Cabang utama bronkus kanan dan kiri

bercabangcabang lagi menjadi segmen lobus, kemudian menjadi segmen bronkus.

Percabangan ini terus menerus sampai cabang terkecil yang dinamakan bronkioles

terminalis yang merupakan cabang saluran udara terkecil yang tidak mengandung

alveolus. Bronkiolus terminal kurang lebih bergaris tengah 1 mm, bronkiolus

tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi dikelilingi oleh otot polos

sehingga ukurannya dapat berubah, semua saluran udara di bawah bronkiolus

terminalis disebut saluran pengantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai
pengantar udara ketempat pertukaran gas paru-paru. Di luar bronkiolus terminalis

terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru-paru, tempat pertukaran gas.

Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorius, yang kadang-kadang memiliki 13

kantung udara kecil atau alveoli yang berasal dari dinding mereka. Duktus

alveolaris, yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan sakus alveolaris terminalis

merupakan struktur akhir paru-paru (Sherwood, 2011).

Gambar 2.1 anatomi pernapasan(Pearce, 2011)

Keterangan :

1. Hidung 6. Paru kiri

2. Faring 7. Cavum pleura

3. Laring 8. Diafragma

4. Trakea 9. Paru kanan

5. Bronkus 10. Epiglotis


b. Paru Paru-paru adalah salah satu organ sistem pernapasan yang berada

di dalam kantong yang dibentuk oleh pleura pariestalis dan pleura viseralis.

Paru-paru terletak di samping mediastinum dan melekat pada perantaraan

radiks pulmonalis yang satu sama lainnya dipisahkan oleh jantung, pembuluh

darah besar, dan struktur lain dalam mediastinum.

Paru merupakan organ elastik berbentuk kerucut yang terletak dalam

rongga toraks atau dada. Dan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama

sebagai alat respirasi dalam tubuh manusia. Di dalam paru-paru terdapat

gelembung halus yang disebut alveolus. Dinding alveolus mengandung kapiler

darah, pada aveolus inilah terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon

dioksida (CO2) (Sherwood, 2011). Paru-paru dikelilingi oleh dinding dada.

Dinding dada terdiri daripada iga dan otot-otot antara iga. Di bawah paru-paru,

terletaknya diafragma, yaitu lapisan otot tipis yang memisahkan rongga dada dari

perut (Canadian Cancer Society, 2015).

Kedua paru-paru saling terpisah oleh mediastinum central yang

mengandung jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar. Setiap paru

mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan

bronkial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian

hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih besar daripada paru kiri, paru

kanan dibagi menjadi tiga lobus dan paru kiri dibagi menjadi dua lobus.

Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan

segmen bronkusnya. Paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru kiri

dibagi menjadi 10 segmen. Paru kanan mempunyai 3 buah segmen pada lobus
inferior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 5 buah segmen pada lobus

superior. Paru kiri mempunyai 5 buah segmen pada lobus inferior dan 5 buah

segmen pada lobus superior. Tiap-tiap segmen masih terbagi lagi menjadi

belahan-belahan yang bernama lobulus. Didalam lobulus, bronkiolus ini

bercabang-cabang banyak sekali, cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus

alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm (Pearce,

2011).
Paru sendiri memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk

mengembang dan mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk

mengembang dan mengempis ini di sebabkan karena adanya surfaktan yang

dihasilkan oleh sel alveolar tipe 2. Namun selain itu mengembang dan

mengempisnya paru juga sangat dibantu oleh otot – otot dinding thoraks dan otot

pernafasan lainnya, serta tekanan negatif yang teradapat di dalam cavum pleura

(Sherwood, 2011).

Gambar 2.2 Bronchopulmonary segments ( Darmounth, 2009)

Keterangan gambar :

1. Apical (lobus atas)

2. Posterior

3. Anterior
4. Lateral (lobus tengah paru kanan) , superior lingular (lobus atas paru

kiri) 5.Medial (lobus tengah paru kanan), superior lingular (lobus atas paru

kiri)

6. Apical (lobus bawah)

7. Medial basal

8. Anterior basal

9. Lateral basal

10. Posterior basal

c. Cavum thorak

Karena paru memiliki fungsi yang sangat vital dan penting, maka cavum

thoraks ini memiliki dinding yang kuat untuk melindungi paru, terutama dari

trauma fisik. Cavum thoraks memiliki dinding yang kuat yang tersusun atas 12

pasang costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra thorakalis, sternum,

dan otot – otot rongga dada. Otot – otot yang menempel di luar cavum thoraks

berfungsi untuk membantu respirasi dan alat gerak untuk extremitas superior

(Sherwood, 2011).

d. Pleura

Pleura dibagi menjadi dua pleura visceral (selaput dada pembungkus)

yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru. Pleura parietal yaitu selaput

yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara kedua pleura ini terdapat rongga

(cavum) yang disebut cavum pleura. Pada keadaan normal, cavum pleura ini

vakum (hampa udara) sehingga paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat

sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura),


menghindarkan gesekan antara paru dan dinding dada sewaktuada gerakan

bernafas. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir,

sehingga mencegah kolaps paru kalau terserang penyakit, pleura mengalami

peradangan, atau udara atau cairan masuk ke dalam rongga pleura, menyebabkan

paru tertekan

atau kolaps

(Pearce,

201

Gambar 2.3 Struktur sekitar pleura ( Light , 2007)

Keterangan :

1. Hilus

2. Pleura parietal: a) pars servikal, b) pars mediastinal, c) pars kostalis, d)

pars diafragmatik

3. Pleura viseral
4. Diafragma

5. Mediastinum

7. Fisiologi

a. Fisiologi pernapasan

Menurut Pearce (2011) fungsi paru-paru ialah pertukaran gas oksigen dan

karbondioksida. Pada pernafasan melalui paru-paru atau pernafasan eksterna,

oksigen dipungut melalui hidung dan mulut pada waktu bernafas, oksigen masuk

melalui trakea dan pipa bronkial ke alveoli, dan dapat berhubungan erat dengan

darah di dalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapisan membran, yaitu membran

alveoli-kapiler, yang memisahkan oksigen dari darah. Oksigen menembus

membran ini dan dipungut oleh haemoglobin sel darah merah dan di bawa ke

jantung. Dari sini

dipompa di dalam arteri

ke semua bagian tubuh.

Darah

meninggalkan paru- paru pada tekanan oksigen 100 mm Hg dan pada tingkat ini

hemoglobin 95% jenuh oksigen. Didalam paru-paru CO2, salah satu hasil

buangan metabolisme, menembus membran alveoler-kapiler dari kapiler-kapiler

darah ke alveoli, dan setelah melalui pipa bronkial dan trakea, dinapaskan keluar

melalui hidung dan mulut


Gambar 2.4 Mekanisme pernapasan ( Light, 2007)

Keterangan :

Inspirasi

1. Udara masuk

2. Tulang rusuk

3. Tulang dada

4. Paru-paru

5. Diafragma

6. Otot antar tulang rusuk melakukan relaksasi

Ekspirasi

1. Udara keluar

2. Tulang rusuk
3. Tulang dada

4. Paru-paru

5. Diafragma

6. Otot antar tulang rusuk melakukan relaksasi

b. Fisiologi efusi pleura

Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura yang

ditimbulkan oleh rongga pleura. Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas akan

menimbulkan tekanan transpulmoner yang selanjutnya akan memengaruhi

pengembangan paru dalam proses respirasi. Pengembangan paru terjadi bila kerja

otot dan tekanan transpulmoner berhasil mengatasi rekoil elastik (elastic recoil)

paru dan dinding dada sehingga terjadi proses respirasi. Jumlah cairan rongga

pleura diatur keseimbangan starling yang ditimbulkan oleh tekanan pleura dan

kapiler, kemampuan sistem penyaluran limfatik pleura serta keseimbangan

elektrolit. Ketidakseimbangan komponen-komponen gaya ini menyebabkan

penumpukan cairan sehingga terjadi efusi pleura (Light, 2007).


Gambar 2.5 Ilustrasi efusi pleura (Light, 2007)

Keterangan :

1. Tulang rusuk

2. Efusi pleura

3. Rongga pleura

B. Problematika Fisioterapi

1. Impairment

Problematika fisioterapi pada impairment antara lain: (1) Keterbatasan

ekspansi sangkar thoraks (S43010), (2)Spasme otot-otot bantu pernapasan (B4452),

(3) Gangguan Ventilasi.

2. Functional Limitation

Problematika fisioterapi dalam functional limitation pada pasien efusi

pleura adalah penurunan endurance.

3. Participation Restriction

Pada participation restriction, problematic fisioterapi yang mungkin

terjadi adalah pasien mampu berinteraksi dengan baik di lingkungan rumah sakit

namun terdapat keterbatasan aktivitas sosial di masyarakat karena pasien masih

rawat inap di RS Paru Respira Yogyakarta.


C. Teknologi Intervensi Fisioterapi

Teknologi intervensi fisioterapi yang digunakan adalah :

a) Pursed Lips Breathing , untuk meningkatkan volume tidal , menurunkan

frekuensi pernafasan, dan meningkatkan mobilitas sangkar thorax.

b) Thoracit Expansion Exercise, untuk meningkatkan ekspansi sangkar thorax dan

mengeluarkan udara yang belum ikut keluar melalui ritme pernafasan pasien.

c) Diafragmatic Deep Breathing, untuk meningkatkan kapasitas vital paru dan

memanajemen sesak nafas .

d) Mobilisasi sangkar thorax , untuk meningkatkan kapasitas vital paru.

e) Stretching , untuk mengurangi spasme otot.

f) Sustained Maximal Inspiration (SMI) , untuk meningkatkan volume paru,

meningkatkan oksigenasi, mempertahankan alveolus tetap mengembang,

memobilisasi sangkar thorax, meningkatkan kekuatan dan daya tahan serta efisiensi

sari otot otot pernapasan .

g) Gerakan aktif + Hold Relax, untuk mengurangi nyeri pada sekitar incisi.

h) Segmental Deep Breathing , untuk menambah volume paru yang tidak normal.

CT Scan dan Foto Rontgen


BAB III

PELAKSANAAN STUDI KASUS


A. Pengkajian Fisioterapi

1. Anamnesis

Anamnesis merupakan pengumpulan data dengan melakukan tanya

jawab dengan sumber data. Dengan anamnesis dapat diperoleh data-data

yang dibutuhkan dalam menentukan diagnosa dan terapi latihan yang akan

diberikan. Macam anamnesis ada 2 yaitu autoanamnesis dan heteroanamnesis.

Pada kasus ini anamnesis yang dilakukan secara autoanamnesis. (Hudaya, 2012).

a. Anamnesis umum

Anamnesis umum berisi tentang identitas pasien secara lengkap.

Anamnesis ini dilakukan pada tanggal 15 Desember 2019, dalam anamnesis

ditemukan data sebagai berikut:

1) N a m a : Tn. P (1967759)
2) U m u r : 56 Tahun
3) Jenis Kelamin : Laki-laki
4) A g a m a : Islam
5) Pekerjaan : Supir
6) Alamat : Sambeng 1 RT 03 Poncosari, Srandakan,
Bantul, DIY

b. Anamnesis khusus

Anamnesis khusus merupakan data informasi tentang keluhan utama

pasien, keluhan utama merupakan satu atau lebih dari gejala dominan yang
mendorong pasien untuk pergi mencari pertolongan. Keluhan utama pasien adalah

nyeri pada bagian yang terpasang selang WSD terutama ketika bersin maupun batuk,

pasien kesulitas dalm melakukan deep inspirasi.

c. Riwayat penyakit sekarang

Riwayat penyakit sekarang menggambarkan riwayat penyakit secara

kronologis dengan jelas dan lengkap tentang bagaimana masing-masing gejala

tersebut timbul dan kejadian apa yang berhubungan dengan penyakit yang diderita

pasien saat ini. Dari pemeriksaan ini didapatkan data yaitu Pada tanggal 09

Desember 2019 pasien menjalani pengobatan di RS Paru Respira Bantul dan

dipasang selang SWD dan telah mengeluarkan cairan sekitar 1,5 liter setelah

terpasang selang WSD pasien mengeluhkan nyeri pada sekitar yang terpasang WSD

dan pasien kesulitan untuk melakukan inspiasi maksimal.

d. Riwayat penyakit dahulu

Menanyakan kepada pasien tentang penyakit apa yang dahulu pernah diderita oleh
pasien. Dari pemeriksaan ini didapatkan data yaitu tanggal 27 Oktober 2019 pasien
demam tinggi dan dibawa ke klinik dan dinyatakan tensi tinggi. Tanggal 21
November 2019 pasien dibawa ke RS PKU dan dinyatakan gula darah tinggi, dan
terdapat banyak cairan diparu, kemudian pasien menjalani pengobatan diRS PKU
selam 6 hari tanpa dipasang WSD. Setelah 2 minggu pulang pasien masih merasakan
sesak nafas dan keudian dibawa ke RS Respira Bantul.

e. Riwayat penyakit penyerta

Menanyakan kepada pasien tentang penyakit apa saja yang pernah

diderita oleh pasien. Misalkan apakah pasien mempunyai penyakit Diabetes


Mellitus, Hipertensi, Jantung Koroner. Dari pemeriksaan ini didapatkan data yaitu

Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus type II.

f. Riwayat pribadi

Merupakan riwayat tentang riwayat pribadi pasien seperti aktivitas

sehari – hari, hobi, keluarga, pekerjaan dan lain – lain. Dari pemeriksaan ini

diperoleh data bahwa pasien adalah perokok aktif namun sejak 13 tahun terakhir

pasien mulai mengurangi intensitas dalam merokok, biasanya menghabiskan satu

atau dua batng per hari. Pasien sering terpapar angin malam ketika pulang kerja dan

psien sering tidur tanpa baju dan kipasan. Pasien bekerja sebagai supir selama 30

tahun.

g. Riwayat keluarga

Bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya penyakit – penyakit yang

bersifat menurun dari keluarga, ataupun penyakit-penyakit menular. Dari

pemeriksaan ini diperoleh data bahwa tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti

yang di derita pasien.

h. Anamnesis sistem

Berdasarkan anamnesis sistem dapat diketahui tentang keluhan yang

terjadi, misalnya:

a) Kepala & Leher :

Tidak ada keluhan

b) Kardiovaskuler :

Tidak ada keluhan


c) Respirasi :

Pasien tidak mengeluhkan sesak nafas, namun ketika pagi hari


pasien mengeluarkan dahak banyak.

d) Gastrointestinalis :

Tidak ada keluhan

e) Urogenitalis :

Tidak ada keluhan

f) Muskuloskeletal :

Tidak ada keluhan

g) Nervorum :

Nyeri pada sekitar selang WSD yang terpasang

2. Pemeriksaan Fisik

a. Tanda- tanda vital

Tanda-tanda vital terdiri dari:

a) Tekanan darah : 128/76 mmHg

b) Denyut Nadi : 86x/menit

c) Pernapasan : 22x/menit

d) Temperatur : 36oC

Data lain:

a) Tinggi Badan : 163 cm

b) Berat Badan : 54,9 kg


c) Saurasi Oksigen : 98% dengan alat bantu oksigen

d) IMT : 54,9/(1,63)2 = 54,9/2,6569 = 20,66 (Normal)

b. Inspeksi

Terdapat 2 macam pemeriksaan dengan inspeksi yaitu:

1) Inspeksi statis

Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara melihat dan mengamati pasien dalam
keadaan diam. Dari pemeriksaan ini didapatkan hasil WSD pada thorax bagian
kanan di ICS 5 dan terlihat mengeluarkan cairan kehijaun, terpasang infus pada
bagian kiri, terasang alat bantu oksigen (O 2 nasal), wajah pasien terlihat pucat, ujug-
ujung jari pasien pucat, clubbing finger (-), bentuk dada normal, bahu protraksi, bahu
kanan lebih tinggi, head forward.

2) Inspeksi dinamis

Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara melihat dan mengamati pasien dalam
keadaan bergerak. Dari pemeriksaan ini didapatkan hasil ritme nafas cepat dan
pendek, pola pernafasan menggunakan pernafasan dada.

c. Palpasi

Palpasi adalah suatu pemeriksaan yang secara langsung kontak dengan

pasien, dengan meraba, menekan, dan memegang bagian tubuh pasien untuk

mengetahui nyeri tekan dan suhu. Diketahui hasil pergerakan sangkar thorax

asimetris, kanan tertinggal, vocal fremitus paru kanan sisi depan bagan tengah

dan bawah menurun, seluruh paru kanan sisi belakang menurun., posisi trakea

deviasi ke kiri, teraba spasme pada m.sternocleidomastoideus, m. pectoralis.

d. Perkusi

Perkusi yaitu pemeriksaan yang dilakukan dengan cara mengetuk suatu

bagian organ tubuh. Dalam pemeriksaan ini didapatkan hasil terdengar suara
redu pada paru kanan sisi depan baian tengah danbawah, terdengar suara redup

pada seluruh paru kanan sisi belakang.

e. Auskultasi

Auskultasi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara

mendengarkan. Dalam pemeriksaan ini didapatkan hasil terdengar suara napas

vesikuler pada paru kanan menurun. Terdengar suara ronchi pada seluruh paru

anan sisi belakang. Vesikuler pada paru dextra lobusapikal segmen anterior

menurun, semakin ke bawah semakin melemah hinga hilang, saatinspirasi

terdengar suaraseperti gelembung-gelembng pada paru dextra lobus medial

hingga lobus basal semen posterior

f. Pemeriksaan Gerak Dasar

a) Gerak Aktif :

Leher Full Tidak Bahu Full Tidak


ROM full ROM full
ROM ROM

Fleksi √ Fleksi √
dx/si

Ekstensi √ Ekstensi √
dx/si

Rotasi √ Abduksi √
dextra dx/si

Rotasi √ Adduksi √
sinistra dx/si
Side fleksi √
dextra

Side fleksi √
sinistra

b) Gerak Pasif

Leher Full Tidak Nyer Tidak Bahu Full Tida Nyer


ROM full i Nyeri ROM k full i
ROM ROM

Fleksi √ √ Fleksi √
dx/si

Ekstens √ √ Ekstensi √
i dx/si

Side √ √ Abduks √
Fleksi i dx/si
dx/si

Rotasi √ √ Adduks √
dx/si i dx/si

c) Gerak Isometrik Melawan Tahanan :


Tidak dilakukan.

3. Pemeriksaan Kognitif, Intrapersonal, dan Interpersonal

Pemeriksaan kognitif meliputi komponen atensi, konsentrasi, memori,

pemecahan masalah, integritas belajar dan pengambilan sikap. Dari pemeriksan


ini diperoleh keterangan bahwa pasien mampu menceritakan kejadian yang telah

dialami dengan baik dan benar.

Pemeriksaan interpersonal merupakan kemampuan pasien dalam

memahami dirinya, menerima keadaan dirinya, motivasi, kemampuan berinteraksi

dengan lingkungan dan bekerja sama dengan terapis. Dalam pemeriksaan yang

dilakukan diperoleh keterangan bahwa pasien mempunyai semangat untuk

sembuh.

Pemeriksaan intrapersonal meliputi kemampuan seseorang dalam

berhubungan dengan orang lain baik sebagai individu, keluarga dan masyarakat

dan berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Dari pemeriksaan diperoleh

keterangan bahwa pasien dapat berkomunikasi dengan baik terhadap terapis serta

dapat berinteraksi dengan baik terhadap lingkungannya.

4. Pemeriksaan Kemampuan Fungsional

a. Fungsional dasar

Merupakan kemampuan transfer dan ambulasi, misalnya bangun tidur,


tidur miring kekanan dan kekiri, duduk, duduk ke berdiri dan jalan. Data yang
dapat diambil dari pemeriksaan ini adalah pasien mampu melakukan pernapasan
dada maupun pernapasan perut dalam posisi tidur,duduk,dan berdiri. Pasien
mampu melakkan inspirasi dan ekspirasi namun kesulitan dalam melakukan
inspirasi maksimal

b. Fungsional aktivitas

Merupakan aktivitas perawatan diri misalnya mandi, berpakaian,

defekasi dan berkemih atau toileting serta aktivitas yang dilakukan pasien

sehari – hari. Data yang dapat diambil dari pemeriksaan ini adalah pasien
mampu melakukan transver ambulasi tanpa disertai sesak napas, pasien mampu

melakukan aktivitas dressing, toileting. Tanpa disertai sesak napas maupun

menggeh-menggeh.

c. Lingkungan aktivitas

Adanya keterbatasan fungsional pada penderita berdampak terhadap

kemampuan beradaptasi dengan lingkungan aktivitasnya baik di dalam rumah

maupun di luar rumah. Data yang dapat diambil dari pemeriksaan ini adalah

lingkungan aktivitas sehari-hari pasien adalah di pabrik dan dijalan yang

memungkinkan pasien terpapar debu abses, selain itu pasien juga merupakan

perokok aktif yang dapat memperburuk kondisi paru-paru pasien

5. Pemeriksaan Spesifik

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui informasi khusus yang belum

diperoleh pada pemeriksaan dasar. Pemeriksaan pada kasus ini meliputi:

a. Pemeriksaan Antopometri ekspansi thorak

Digunakan untuk mengukur dimensi tubuh. Data yang dapat

diambil dari pemeriksaan ini adalah :

Titik Ukur Inspirasi Ekspirasi Selisih

Axilla 92cm 90cm 2cm

ICS 4 93cm 92cm 1 cm

b. Pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow

Digunakan untuk mengukur seberapa cepat seseorang

menghembuskan nafas. Data yang didapat dari pemeriksaan ini adalah :


No. Nilai Normal Peak Hasil (m/l) Hasil (%)
Flow

1. 400 L/menit 190L/menit 47,5 %

Kesimpulan : termasuk dalam obstruksi berat

c. Pemeriksaan Nyeri pada sekitar incisi dengan VAS


Digunakan untuk mengukur derajat nyeri yang di derita
pasien. Data yang didapat dari pemeriksaan ini adalah :

Nyeri Diam 0 cm

Nyeri Tekan 0,9 cm

Nyeri Gerak 1,7 cm

6. Diagnosa Fisioterapi

Setelah dilakukan pengkajian fisioterapi, maka selanjutnya adalah

menentukan diagnosa fisioterapi sesuai dengan problematika fisioterapi yang

ditemukan.

1) Impairment
Keterbatasan ekspansi sangkar thoraks (S43010), spasme otot-otot bantu
pernapasan (B4452), gangguan ventilasi.
2) Functional Limitation
Penurunan endurance
3) Participation Restriction
Pasien mampu berinteraksi dengan baik di lingkungan rumah sakit namun
terdapat keterbatasan aktivitas sosial di masyarakat karena pasien masih rawat inap
di RS Paru Respira Yogyakarta.

B. Pelaksanaan Fisioterapi
1. Tujuan Pelaksanaan Fisioterapi

Berdasarkan diagnosa dan problematik fisioterapi maka tujuan terapi yang

diberikan meliputi:

Tujuan jangka pendek adalah meningkatkan ekspansi sangkar thoraks,


mengurangi otot- ototbantu pernapasan, meningkatkan kemampua ventilasi

Tujuan jangka panjangnya adalah meningkatkan endurance.

2. Pelaksanaan Terapi

a. Pursed Lips Breathing


Posisi pasien : pasien diposisikan half lying dalam kondisi aman dan nyaman
kemudian terapis menjelaskan prosedur dan tujuan terapi

Persiapan terapis : pastikan terapis menggunakan masker dan hanscoon


(APD) sebelum melakukan tindakan , terapis berada di samping bed.

Pelaksanaan fisioterapi : pasien diminta untuk inspirasi dalam dan perlahan


melalui hidung kemudian ekspirasi melalui mulut dengan mecucu.
Perbandingan inspirasi dan ekspirasi 2:4. Latihan dilakukan 4-5 kali dalam 1
set. Ulangi latihan selama 10 menit.

b. Diafragmatic Deep Breathing Exercise


Posisi pasien : pasien diposisikan senyaman mungkin dan aman dengan
posisi half lying, terapis memberikan penjelasan mengenai prosedur
breathing exercise dan tujuan terapi.

Persiapan terapis: pastikan terapis menggunakan masker dan hanscoon


(APD) sebelum melakukan tindakan , terapis berada di samping bed.

Pelaksanaan fisioterapi: pasien diminta untuk menarik nafas melalui hidung


dan dihembuskan melalui mulut , namun dangan cara mengembang
ngempiskan perut. ( dada tidak boleh terangkat ). Lakukan 3-5 kali/ sesi.
c. Thoracic Exspansion Exercise
Posisi pasien: pasien diposisikan duduk senyaman mungkin dan aman,
terapis memberikan penjelasan mengenai prosedur breathing
exercise dan tujuan terapi.
Persiapan terapis : pastikan terapis menggunakan masker dan hanscoon
(APD) sebelum melakukan tindakan , terapis berada dibelakang pasien.

Pelaksanaan fisioterapi: kedua tangan terapis berada di thoraks bagian atas


(axilla ) diatas selang WSD dengan terapis berada di belakang pasien.
Kemudian terapis memberikan aba aba untuk menarik nafas perlahan
melalui hidung . ketika pasien menghembuskan nafas terapis memberikan
penekanan hingga batas akhir thorak mengempis. Ketika inspirasi kedua
tangan terapis mengikuti pergerakan sangkar thorak pasien . lakukan
selama 3-5 kali setiap sesi dan di ulang 3-4 kali.

d. Mobilisasi Sangkar Thoraks


Posisi pasien: pasien diposisikan duduk senyaman mungkin dan
aman, terapis memberikan penjelasan mengenai prosedur breathing exercise
dan tujuan terapi.

Persiapan terapis : pastikan terapis menggunakan masker dan


hanscoon (APD) sebelum melakukan tindakan , terapis berada di belakang
pasien.

Pelaksanaan fisioterapi: pasien diminta untuk menarik nafas dalam


sambil mengangkat kedua lengan keatas semampu pasien melewati kepala
dan kepala tetap dalam posisi anatomis (tidak boleh menengok ke atas).
Kemudian pasien diminta menghembuskan nafas melalui mulut sambil
menurunkan ke dua lengan kembali ke sisi tubuh. Ulangi 1-8 kali.

e. Stretching Otot Bntu Pernafasan


Posisi pasien: pasien diposisikan duduk senyaman mungkin dan aman,
terapis memberikan penjelasan mengenai prosedur stretching dan tujuan
terapi.
Persiapan terapis : pastikan terapis menggunakan masker dan hanscoon
(APD) sebelum melakukan tindakan , terapis berada di samping pasien.

Pelaksanaan fisioterapi : 1) m.pectoralis , pasien diminta untuk


meklakukan gerakan full fleksi dan sedikit abduksi shoulder, terapis
membantu memberikan tarikan kebelakang dengan ditahan selama 8
hitungan dilakukan sebanyak 4 kali pengulangan. 2) m.upper trapezius,
pasien diminta untuk melakukan gerakan side fleksi kepala , terapis
membantu memberikan tarikan pada bahu dan kepala dengan arah
berlawanan selama 8 hitungan dengan 4 kali pengulangan. 3)
m.sternocleidomastoideus, pasien diminta untuk melakukan gerakan
rotasi sisi lateral dan ekstensi hingga maksimal, terapis memberikan
bantuan dorongan agar terulur maksimal dan ditahan selama 8 hitungan
dan dilakukan sebanyak 4 kali pengulangan.

f. Sustained Maximal Inspiration (SMI) Kombinasi Dengan Gerak Aktif


Posisi pasien : pasien diposisikan duduk senyaman mungkin dan aman
dengan posisi tangan fleksi shoulder 90o dan fleksi elbow 90o, terapis
memberikan penjelasan mengenai prosedur Sustained Maximal
Inspiration dan tujuan terapi.

Persiapan terapis : pastikan terapis menggunakan masker dan hanscoon


(APD) sebelum melakukan tindakan , terapis berada di samping pasien.

Pelaksanaan fisioterapi : pasien diminta untuk menarik nafas dalam


melalui hkemudia detik kemudian dihembuskan secara perlahan. Saat
menrik nafas tangan pasien diminta sambil melakukan abduksi
horizontal hingga full ROM kemudian ditahan selama tahan nafas ,
dilanjutkan gerakan adduksi horizontal saat hembuskan nafas.

3. Edukasi

Memahamkan kepada pasien mengenai kondisi parunya yang gembos karena


terdesak oleh cairan yang belum keluar sehingga paru tidak dapat bekerja optimal
dan sangat perlu latihan untuk mengoptimalkan paru. Home Program yang dapat
diberikan kepada pasien Melakukan latihan Diafragmatic deep breathing exercise,
Sustained maximal inspiration, Thoracic exspansion exercise, Segmental breathing,
Mobilisasi sangkar thorax, Streatchinf otot bantu pernafasan selama masing masing
10 menit setiap pagi dan sore hari . serta latihan meniup balon 5x dalam sehari.

4. Evaluasi Hasil Terapi


Pasien atas nama Tn.P usia 56 tahun dengan diagnosa Efusi Pleura Dexstra
setelah diberikan terapi 3 kali yaitu berupa Pursed Lips Breathing , Diafragmatic
Deep Breathing Exercise, Thoracic Exspansion Exercise, Mobilisasi Sangkar
Thoraks, Stretching Otot Bntu Pernafasan , Sustained Maximal Inspiration (SMI)
Kombinasi Dengan Gerak Aktif . diperoleh hasil keluhan berkurang dan keadaan
membaik.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah

intervensi fisioterapi berupa Pursed Lips Breathing., Expansion Exercise, Diafragmatic

Deep Breathing, Mobilisasi sangkar thorax, Stretching, Sustained Maximal Inspiration

(SMI), Gerakan aktif + Hold Relax, Segmental Deep Breathing diperoleh hasil diperoleh

hasi keluhan berkurang dan keadaan membaik.

B. Saran

Pasien dengan kondisi efusi pleura masih perlu diberikan terapi yang tepat

agar proses penyembuhannya berlangsung membaik dengan menggunakan

modalitas fisioterapi yang tepat dan memadai.


DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Nur, 2009; Fisioterapi pada Kasus Respirasi; Politeknik Kesehatan


Kementrian Kesehatan Surakarta Jurusan Fisioterapi, Surakarta.
Corwin, Elisabeth J., 2009., Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3, Alih Bahasa, Nike
Budhi Subekti; Editor Edisi Bahasa Indonesia, Egi Komara Yudha, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Chris tanto, et al., (2014), Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media
Aeskulapius

Davey, P, 2005, Medicine at a Glance, Erlangga, Jakarta.

Dep Kes RI. 2009. Pedoman Asma. Jakarta.

Dhananjaya dan Arya, J, 2012, An Introduction to Postural Drainage and


Percussion. Maryland; Cystic Fibrosis Foundation. Pernapasan (Bronchitis).

Dhand, R.m Dolovich, M., Eng., P., Chipps, B., & Myers, T,R. 2014.The Role of
Nebulized Therapy in the Management of COPD: Evidence and The Role of
Nebulozed Therapy in the Management of COPD : Evidence and
Recommendations.

Djojodibroto, Darmato, 2015, Respiratologi (Respiratory medicine),


Jakarta;kedokteran EGC.

Douglas C, Asher MI, Airy M, Andrews D, Trenholme A. 2010;9(3);146-151


Effects of chest physical therapy on lung function in children recovering from
acute severe asthma. Pediatri Pulmonal.

Fatma V, Michael R. 2012; Radiasi inframerah jauh (FIR): efek biologis dan
aplikasi medis. The Journal of Pho-tonik Laser Medicine (4): 255–266.

Feller-Kopman D, Berkowitz D, Boiselle P, Ernst A, 2007 Large-volume


thoracentesis and the risk of reexpansion pulmonary edema, Ann Thorac.

Ignatavicius, D. D., & Workman, m L. 2010. Medical – Surgical Nursing: Clients


Centered Collaboratie Care. Sixth Edition, 1 & 2 . Missouri: Saunders Elsevier.

Irwin, Scott and Tecklin, Jan Stephen, 1990; Cardiopulmonary Physical Therapy,
second edition; CV Mosby Company, Missouri.

Jamaluddin, Kumar Rakesh, Medi MD, and Alam F, 2015, Study etiological and
clinical profile of pleural effusion in adilts; British Thoracic Society pleural
diseases guideline 2010, Thorax, 65 (suppl 2); ii4-ii17.

Levenson, C.R, 1992; Breathing Exercise, in Zadai, C.; Pulmonary Management


in Physical Therapy, Churchill Livingstone, New York.
Lawrence M, dkk. 2002. Diagnosis dan Terapi Kedokteran (Penyakit Dalam).
Dialih bahasakan oleh Abdul Gofir, dkk. Jakarta : Salemba Medika.

Light RW ed. Pleural Diseases, 5th ed. Ch. 1, Anatomy of the pleura. Tennessee:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 2–7.

Light RW ed. Pleural Diseases, 5th ed., Ch., 2, Physiology of the pleural space.,
Tennessee: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

Mckoy NA, Saldanha IJ, Odelola OA, Robinson KA (2012) A comparison of


active cycle of breathing technique (ACBT) to other methods of airway clearence
therapy in mpatients with cystic fibrosis.

Tobing Elizabeth MS dan Widiraharjo, 2011, Karakteristik penderita efusi pleura

di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011, E-Jurnal FK USU, Vol. 1. No. 2.

Kemenkes RI. (2011). Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011. Jakarta.

Mansjoer ,A.,2001, Kapita selekta kedokteran, Jilid 1. Jakarta; Media


AesculapiusFakultas Kedokteran Univrsitas Indonesia.

Mardiman Sri, Ed; Dokumentasi Persiapan Praktek Professional Fisioterapi;


Akademi Fisioterapi Surakarta, Depkes RI, Surakarta, 1994.

Pearce C.Evelin. 20. Anatomi dan Fisiologi untuk Para Medis. Jakarta: PT
Gramedia.

Perloff D and other,2008 ; AHA medical/scientific statment; human blood Basic


Trauma Cardiac Life Support (BTCLS), 2012, Edisi Revisi, AGD pressure
determination by sphygmomanometry, Circ 88:2460.

Roggeri, A., Micheletto, C., & Roggeri, D. P. 2016. Inhalation Errors Due To
Device Switch In Patients With Chronic Obstructive Pulmonary Disease And
Asthma: Critical Health and Economic Issues. International Journal of COPD, 11,
597-602.

Saguil Aaron, Wyrick Kristen, and Hallgren John, 2014, Diagnostic approach to
pleural effusion, American Family Physician, Vol. 90, No. 2;99-104.

Sherwood, LZ., 2011. Anatomi Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi 8
Jakarta:EGC, 595-677.58
Shohrati et al, 2012, Effect of Nebulized Morphine on Dyspnea of Mustard Gas
Exposed Patient : A Double-Blind Randomized Clinical Trial Study. Volume 202.
Article ID 610921. Hindawi Publishing Corporation Pulmonary Medicine.

Simanjutak, ES, 2014. Efusi Pleura kanan yang disebabkan oleh


carsinomamammae dextra metastase ke paru, Medula Vol 2.

Smeltzer, Bere. 2009, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2 Edisi 8,
EGC, Jakarta.

Sujatno, Ig et al, 2002, Sumber Fisis, Surakarta; Politeknik Kesehatan Surakarta


Jurusan Fisioterapi.

Somantri, Irham, 2009, Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem


Pernapasan, Jakarta; Salemba Medika.

Surjanto E, Sutanto YS, Aphridasari J, dan Leonardo, 2014, Penyebab efus pleura
pada pasien rawat inap di rumah sakit, Jurnal Respirologi Indonesia, 34;102-108.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2017, 28 November). Efusi Pleura. Diakses


pada 18 februari 2020, dari http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=8187

Pryor, Jennifer A, and Webber, Barbara A, 1998, “Physiotherapy for Respiratory


and Cardiac Problems”, Second Edition, Churchill Livingstone, London.

Rab, Tabrani, 2010, Ilmu Penyakit Paru, Jakarta; Trans Info Media.

Roberts, J.R Antonini, J.M., Clarke R.W., Yang, H.M., Barger, M.W., Ma, J.Y,
2014. Efect of age on respiratory defense mechanisms: pulmonary bacterial
clearance in Fischer 344 rats afer intratracheal instillation of Listeria
monocytogenes. Chest. 120:240–249.

Watchie, J., 2010; Cardiopulmonary Physical Therapy; WB Saunders Company,


London. Westerdahl, E., Lindmark, B, Eriksson, T., Friberg, O., Hedenstierna, G.,
& Tenling, A. (2005). Deep breathing exercises with positive expiratory pressure
in patients with multiple sclerosis – a randomized controlled trial,The Clinical
Respiratory Journal , 128(5),3482-8.

World Health Organization (WHO), 2009, Global Asthma Report 2009.

Anda mungkin juga menyukai