Anda di halaman 1dari 14

PERAWATAN WATER SEAL DRAINAGE (WSD)

SESUAI STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

Oleh:
MURJANI, S.Kep Ns
1.1. Latar Belakang
Saat ini penyakit paru dan sistem pernapasan lainnya menjadi masalah
kesehatan dan penyebab kematian utama di dunia. Sesak nafas atau kesulitan
bernafas merupakan gejala yang sering muncul pada seseorang yang mengalami
gangguan pada ekspansi paru dimana paru tidak dapat mengembang dan
mengempis secara sempurna (kolaps paru). Keadaan tersebut disebabkan oleh
berbagai kondisi baik karena trauma dada, penyakit kronis maupun proses
keganasan. Pneumotorax, efusi pleura, empiema, hemothorax merupakan suatu
kondisi yang bisa menyebabkan terjadinya kolaps paru sehingga menimbulkan
keluhan sesak napas. Upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah
tersebut adalah dengan melakukan tindakan pemasangan selang dada (chest
tube).Prosedur pemasangan chest tube tetap harus dilakukan meskipun berisiko
karena pasien yang membutuhkan chest tube seringkali adalah pasien yang
mengalami sesak napas akut atau memiliki komorbiditas berupa gangguan
hemodinamik, penyakit kronik atau terminal serta adanya proses keganasan paru
maupun proses metastasis dari organ tubuh lainnya.

Masengi W.D.P, Loho E dan Tubagus V (2016) dalam penelitiannya melaporkan


bahwa insiden pneumotoraks pada laki-laki lebih banyak dari pada perempuan
(5:1). Kasus Pneumothorax Spontan Primer (PSP) di Amerika 7,4/100.000 per
tahun untuk laki-laki dan 1,2/100.000 per tahun untuk perempuan sedangkan
insiden Pneumothorax Spontan Sekunder (PSS) dilaporkan 6,3/100.000 untuk
laki-laki dan 2/100.000 untuk perempuan, penyakit tuberkulosis paru juga
dilaporkan selalu menunjukkan terjadinya komplikasi pneumotoraks.

Penelitian yang dilakukan Puspita I, Soleha T.U dan Berta G (2017)


menyebutkan bahwa di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi setiap
tahunnya, secara internasional diperkirakan tiap 1 juta orang 3000 orang
terdiagnosa efusi pleura. Di negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh
gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri,
sedangkan di negara berkembang seperti Indonesia, penyebab efusi pleura
akibat keganasan menyumbang 41%, tuberkulosis paru 33%, parapneumoni
efusi hanya 6%dari 100 kasus efusi pleura eksudatif. Dwianggita P (2016)
menyebutkan di RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, efusi pleura eksudatif banyak
disebabkan oleh malignansi (50.7%), sedangkan pada efusi pleura transudatif
karena gagal jantung congestif (49,3%).

Infeksi pleura juga merupakan masalah klinis umum yang dikaitkan dengan
mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Di Inggris, mortalitasnya adalah 20%.
Pedoman British Thoracic Society (BTS) menyatakan bahwa infeksi yang
sedang berlangsung pada pasien dengan pneumonia, setelah 3 hari atau lebih,
dapat mengindikasikan terjadinya insidensi empiema. (Walters, Foley, &
Molyneux, 2011), sedangkan di Amerika Serikat dari 500.000 hingga 1.1 juta
pasien yang dirawat inap di rumah sakit, 10% di antaranya mengalami empiema
parapneumonik.(Mccauley & Dean, 2015).

Anggaraditya & Chandra, (2019) menjelaskan bahwa dampak kecelakaan lalu


lintas menjadikan cedera rongga dada menjadi salah satu penyebab
pneumotoraks akibat trauma toraks, dimana benturan atau fragmen tulang rusuk
yang tajam dapat menembus dinding toraks menyebabkan paru kolaps akibat
akumulasi darah didalam rongga pleura. Trauma toraks merupakan salah satu
cedera dengan insiden tinggi yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas
setelah trauma kepala dan ekstremitas. Lebih dari 16.000 kematian setiap tahun
atau 20 hingga 25 persen dari semua peristiwa trauma terjadi di Amerika
Serikat, sedangkan di Afrika Selatan trauma tumpul toraks memiliki insiden
lebih dari 45 persen dari semua trauma dan memiliki tingkat kematian yang
tinggi karena keterlambatan perawatan.

Berdasarkan Amin Z dalam bukunya Pemasangan Water Sealed Drainage yang


dipublikasi tahun 2016, menjelaskan bahwa Water Sealed Drainage (WSD)
merupakan suatu prosedur untuk mengeluarkan cairan atau udara dari dalam
rongga pleura menggunakan chest tube yang terbuat dari bahan silikon atau
polyurethane dengan air sebagai katup pembatas. Prosedur ini dikerjakan pada
pasien dengan penyakit pada paru dan pleura dengan indikasi utamanya adalah
pasien dengan pneumotoraks, empiema, efusi pleura berulang, complicated
parapneumonic effusion, hemotoraks, pasien yang menjalani pleurodesis dan
setelah pembedahan toraks. JianZhou, (2018) menjelaskan bahwa prinsip
penting dari sistem WSD adalah untuk memungkinkan drainase cairan dan
udara, menghilangkan sisa ruang pleura, memfasilitasi ekspansi paru-paru dan
mempertahankan tekanan negatif.

Setiap perusahaan apapun jenisnya membutuhkan sebuah panduan untuk


menjalankan tugas dan fungsi operasionalnya setiap unsur elemen yang ada di
perusahaannya. Standar prosedur operasional adalah suatu sistem yang
disusun/dibuat untuk memudahkan, merapihkan dan menertibkan pekerjaan.
Sistem ini berisi urutan proses bagaimana pekerjaan tersebut dilakukan
(Panduan penyusunan dokumen akreditasi, 2012:12). Untuk menjaga mutu
pelayanannya rumah sakit juga menetapkan standar pelayanan yang harus
dilaksanakan oleh seluruh karyawan, salah satu standar pelayanannya tersebut
tertuang didalam standar prosedur operasional (SPO). Semua tindakan yang
dilakukan oleh perawat/bidan baik itu tindakan mandiri keperawatan maupun
tindakan kolaborasi dengan unit lain tertuang didalam standar prosedur
operasional.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cui Lu (2017) dimana perawat adalah yang
membuat keputusan untuk tiga dari delapan prosedur mengenai manajemen
drainase dada yaitu mengganti balutan, memanipulasi tabung dada untuk
menghilangkan bekuan yang menghambat drainase dan menjepit selang untuk
penggantian botol serta pemantauan cairan drainase. Namun pada hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kesieme EB (2016) di bangsal rumah sakit
pendidikan di Nigeria menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan perawat tentang
perawatan WSD adalah buruk, dimana hanya 37 responden (26,2%) memiliki
pengetahuan yang baik tentang perawatan WSD.

Keterbatasan pengetahuan dan kompetensi perawat dalam melaksanakan


perawatan WSD akan memberikan dampak yang tidak baik bagi pasien dimana
risiko infeksi akan meningkat, jumlah hari rawat yang panjang, biaya perawatan
yang dikeluarkan pasien akan semakin banyak dan lebih jauh tentunya akan
menurunkan kualitas mutu pelayanan dari rumah sakit dimana perawat itu
bekerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Shalini S, (2015), dijelaskan bahwa
infeksi nosokomial merupakaninfeksi yang didapat di rumah sakit dimana
kejadian infeksi di tempat operasi merupakan salah satunya. Pemasangan alat
seperti kateter, ventilator dan prosedur bedah lainnya bisa menjadi infeksi
nosokomial apabila perawatannya tidak dilakukan dengan benar.

Berdasarkan hal tersebut,ketika intervensi seperti pemasangan selang dada


(chest tube) diperlukan untuk mempertahankan hidup, maka penting bagi
seorang perawat dalam memberikan asuhan perawatan memiliki pemahaman
yang kuat tentang dasar-dasar fungsi paru, patofisiologi paru dan faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi mekanisme ekspansi paru. Penting juga bagi seorang
perawat untuk memahami prinsip kerja dari sistem WSD, bagaimana cara
perawatan WSD, melakukan penilaian reekspansi paru, mendokumentasikan
dengan tepat, dan memecahkan masalah yang mungkin muncul terkait dengan
penggunaan selang dada.

1.2. Anatomi Rongga Dada


Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut dan letaknya dalam
rongga dada atau thoraks. Kedua paru-paru saling terpisah oleh mediastinum
sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru-paru
mempunyai apex ( bagian atas paru-paru) dan basis. Pembuluh darah paru-paru
dan bronchial, syaraf, dan pembuluh limfe memasuki tiap paru-paru pada bagian
hilus dan membentuk akar paru-paru. Paru-paru kanan lebih besar dari kiri dan
dibagi menjadi tiga lobus. Paru-paru kiri dibagi menjadi dua lobus. Lobus-lobus
tersebut dibagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya.
Paru-paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru-paru kiri dibagi
menjadi 9 segmen.

Suatu lapisan tipis yang kontinu mengandung kolagen dan jaringan elastis
dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan
menyelubungi paru-paru (pleura viseralis). Diantara pleura parietalis dan
viseralis terdapat cairan pleura yang berfungsi sebagai pelumas untuk
memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernafasan dan untuk
mencegah pemisahan thoraks dan paru-paru, yang dapt dianalogkan seperti dua
buah kaca objek akan saling melekat jika ada air.

Karena tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan pleura parietalis dan
viseralis, maka apa yang disebut sebagai ruang pleura hanyalah suatu ruang
potensial saja. Membran permukaan rongga potensial ini biasanya tidak
mempunyai resistensi yang cukup bermakna bagi jalannya cairan, elektrolit atau
bahkan protein, yang semuanya dengan mudah keluar masuk antara rongga dan
cairan interstitial paru. Karena itu rongga pleura sebenarnya adalah rongga
jaringan yang besar. Akibatnya cairan dalam kapiler paru yang berdekatan
dengan rongga pleura akan berdifusi tidak hanya kedalam cairan interstitial paru
saja tapi juga ke dalam rongga pleura.Tetapi sistem limfatik bekerja sebagai
pengaman terhadap penumpukan cairan di rongga pleura. Sistem limfatik
merupakan jalur tambahan dimana cairan dapat mengalir dari ruang interstitial
paru ke dalam kapiler, selain dapat mengangkut protein dan zat-zat berpartikel
besar keluar dari ruang jaringan, yang tidak dapat dipindahkan dengan absorbsi
langsung kedalam kapiler darah.

1.3. Fisiologi Ekspansi Paru


Udara mengalir masuk dan keluar paru-paru karena adanya selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfer dan intrapulmonal akibat kerja mekanik dari oto-otot.
Selama inspirasi, volume thoraks bertambah besar karena diafragma turun dan
iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu otot sternokleodomastoideus
mengangkat sternum ke atas dan otot seratus anterior, scalenus dan intercostalis
eksternus mengangkat iga-iga. Thoraks membesar ke tiga arah : anteroposterior,
lateral dan vertikal. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan
intrapleura, dari sekitar – 4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) menjadi
-8 mmHg bila paru-paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang
sama, tekanan intrapulmonal menurun sampai sekitar – 2mmHg relatif terhadap
tekanan atmosfer) dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan
antara intrapulmonal dan atmosfer menyebabkan udara mengalir kedalam paru-
paru sampai tekanan intrapulmonal pada akhir inspirasi sama lagi dengan
tekanan atmosfer.

Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupaka gerakan pasif akibat elastisitas


dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi,
dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga
thoraks, menyebabkan volume thoraks berkurang. Otot interkostalis internus
dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam dengan kuat pada waktu ekspirasi
kuat dan aktif. Selain itu, otot-otot abdomen dapat berkontraksi sehingga
tekanan intraabdominal membesar dan menekan diafragma ke atas. Pengurangan
volume thoraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan
intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat dan mencapai sekitar
1-2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara intrapulmonal dan
atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru
sampai tekanan intrapulmonal dan tekanan atmosfer menjadi sama kembali pada
akhir ekspirasi. Perhatikan bahwa tekanan intrapleura selalu berada dibawah
tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.

1.4. Water Seal Drainage


1.4.1. Pengertian
Water Seal Drainage (WSD) adalah suatu unit yang bekerja sebagai drain
untuk mengeluarkan cairan atau udara melalui selang dada dan
mencegah aliran balik.

1.4.2. Tujuan
Tujuan dilakukan pemasangan water seal drainage adalah:
a. Memungkinkan cairan ( darah, cairan, pus ) keluar dari ruang pleura
b. Memungkinkan udara keluar dari ruang pleura
c. Mencegah udara masuk kembali (terhisap) ke ruang pleura
d. Mempertahankan agar udara tetap mengembang dengan jalan
mempertahankan tekanan negatif pada intrapleura.

1.4.3. Indikasi
Indikasi dari pemasangan water seal drainage adalah:
a. Pneumothoraks, adanya udara dalam rongga pleura
b. Hemothoraks, adanya darah dalam rongga pleura
c. Effusi pleura, adanya akumulasi cairan dalam rongga pleura
d. Empiema, adanya pus dalam rongga pleura
e. Thoracotomi surgical
1.4.4. Prinsip Water Seal Drainage
Prinsip yang digunakan pada water seal drainage adalah:
a. Gravitasi
Udara dan cairan mengalir dari tekanan yang lebih tinggi ke tekanan
yang lebih rendah.
b. Tekanan Negatif
Udara atau cairan dalam rongga dada menghasilkan tekanan positif
(763 mmHg atau lebih) dalam rongga pleura. Udara dan cairan pada
water seal pada selang dada menghasilkan tekanan positif yang kecil
(761 mmHg ). Sebab udara dan cairan bergerak dari tekanan yang
lebih tinggi ke tekanan yang lebih rendah, maka udara dan cairan
akan berpindah dari tekanan positif yang lebih tinggi pada rongga
pleura ke tekanan positif yang lebih rendah yang dihasilkan oleh
water seal.
c. Suction
Yaitu suatu kekuatan tarikan yang lebih kecil dari pada tekanan
atmosfir (760 mmHg). Suction dengan kekuatan negatif 20 cmH2O
menghasilkan tekanan subatmosfer 746 mmHg sehingga udara atau
cairan berpindah dari tekanan lebih tinggi ke tekanan yang lebih
rendah.
d. Water Seal
Tujuan utama dari water seal adalah membiarkan udara keluar dari
rongga pleura dan mencegah udara dari atmosfer masuk ke rongga
pleura. Botol water seal diisi dengan cairan steril yang didalamnya
terdapat selang yang ujungnya terendam 2 cm. Cairan ini
memberikan batasan antara tekanan atmosfer dengan tekanan
subatmosfer (normal 754-758 mmHg). Selang yang terendam 2 cm itu
menghasilkan tekanan positif sebesar 1,5 mmHg semakin dalam
selang water seal terendam air semakin besar tekanan positif yang
dihasilkan. Pada saat expirasi, tekanan pleura lebih positif sehingga
udara dan air dari rongga pleura begerak masuk ke botol. Pada saat
inspirasi tekanan pleura lebih negatif sehingga water seal mencegah
udara atmosfer masuk ke rongga pleura.

1.4.5. Tipe Sistem Drainage


Ada beberapa tipe sistem drainase, yaitu :
a. Sistem satu botol
Merupakan sistem drainase dada yang paling sederhana. Terdiri dari
botol steril rapat udara yang berisi 100 ml air steril atau saline.
Bagian penutup botol memiliki dua lubang. Selang udara yang
pendek merupakan lubang udara, yang memungkinkan udara dari
ruang pleura keluar dan untuk mencegah tekanan yang terbentuk
pada rongga pleura. Satu lubang dengan ujung selang yang panjang
masuk ke air sekitar 2 cm, sehingga ia bertindak sebagai water seal.
Ujung selang tersebut dihubungkan ke tubing drainase dada pasien.
Botol bertindak sebagai ruang pengumpul dan ruang water seal.
Undulasi pada sistem mengikuti irama pernafasan, meningkat saat
inspirasi dan turun saat ekspirasi.

Keuntungan sistem satu botol :


1. Penyusunan sederhana
2. Mudah untuk pasien untuk yang dapat jalan

Kerugian sistem satu botol :


1. Saat drainase dada mengisi botol, lebih banyak kekuatan
diperlukan untuk memungkinkan udara dan cairan pleura untuk
keluar dari rongga dada masuk kebotol.
2. Campuran darah drainase dan udara menimbulkan campuran
busa dalam botol yang membatasi garis pengukuran drainase.
3. Untuk terjadinya aliran, tekanan pleura harus lebih tinggi dari
tekanan botol.

b. Sistem dua botol


Pada sistem dua botol, botol pertama sebagai wadah penampung dan
yang kedua bertindak sebagai water seal. Botol pertama
bersambungan dengan selang drainase. Botol ini mulanya kosong
dan hampa udara. Selang udara yang pendek pada botol pertama
bersambungan dengan selang yang panjang pada botol kedua, yang
menimbulkan water seal pada botol kedua. Cairan dari ruang pleura
mengalir masuk kedalam botol pertama dan udara dari ruang pleura
ke water seal pada botol kedua.

Keuntungan sistem dua botol :


1. Mempertahankan water seal pada tingkat konstan.
2. Memungkinkan observasi dan pengukuran drainase yang lebih
baik

Kerugian sistem dua botol :


1. Untuk terjadinya aliran, tekanan pleura harus lebih tinggi dari
tekanan botol.

Sistem dua botol dengan suction


Sistem dua botol dapat disambungkan ke suction. Botol pertama
selain menampung drainase juga bertindak sebagai water seal seperti
sistem satu botol. Botol kedua merupakan botol pengontrol suction.
Lubang untuk atmosfir ditempatkan pada botol kedua. Sistem ini
memliki keuntungan dari suction tetapi memiliki kerugian
peningkatan tekanan dari tingkat water seal ketika drainase
meningkat.

c. Sistem tiga botol


Pada sistem tiga botol, botol pertama menampung drainase dari
ruang pleura, botol kedua bertindak sebagai water seal dan botol ke
tiga merupakan botol pengontrol suction. Pada sistem ini yang
penting kedalaman selang dibawah air pada botol ketiga dan bukan
jumlah penghisap di dinding yang menentukan jumlah penghisapan
yang diberikan pada selang dada. Jumlah penghisap di dinding yang
diberikan pada botol ke tiga harus cukup untuk menciptakan putaran
lembut gelembung udara dalam botol. Gelembung kasar
menyebabkan kehilangan air, mengubah tekanan penghisap dan
meningkatkan tingkat kebisingan dalam ruangan.

Keuntungan sistem tiga botol :


1. Memungkinkan akumulasi drainase dan keakuratan pencatatan
jumlah drainase
2. Tingkat water seal stabil
3. Suction terkontrol

Kerugian sistem tiga botol :


1. Lebih kompleks, lebih banyak kesempatan untuk terjadinya
kesalahan dalam pemeliharaan dan perakitan.
2. Ambulasi dan transfer pasien sulit dan beresiko.

1.4.6. Monitoring dan Perawatan


a. Monitor tanda-tanda vital khususnya kecepatan, kedalaman dan pola
nafas setiap 2 jam atau sesuai kebutuhan, kaji kesimetrisan suara
nafas.
b. Observasi selang water seal
Selama inspirasi, cairan dalam botol terhisap masuk ke selang water
seal beberapa sentimeter sebab adanya penurunan tekanan intrapleura.
Sebaliknya selama ekspirasi peningkatan tekanan intrapleura
memaksa cairan balik ke selang. Fluktuasi atau pergerakkan cairan
bolak balik (undulasi) dalam selang water seal menunjukkan
pergerakkan ventilasi seseorang. Oleh karena itu saat undulasi terjadi,
selang drainase dalam keadaan paten, dan sistem drainase berfungsi
semestinya. Undulasi stop saat paru telah mengembang kembali atau
jika selang drainase kinking atau terdapat obstruksi. Jika tidak ada
undulasi, cek :
1. Cek untuk meyakinkan bahwa selang tidak terlipat atau tertekan.
2. Ubah posisi pasien
3. Anjurkan pasien untuk nafas dalam dan batuk perlahan
c. Observasi selang udara pada tutup botol
Yakinkan bahwa selang ini tetap terbuka ke atmosfer untuk
memungkinkan udara intrapleura keluar dari botol. Jika selang udara
tersumbat, udara intrapleura yang terperangkap dalam botol
penampung, meningkatkan tekanan dalam botol. Jika tekanan menjadi
cukup besar, ia mencegah drainase udara dan cairan dari rongga
pleura, mempercepat terjadinya tension pneumothorak dan
mengakibatkan pergeseran mediastinal.
d. Observasi cairan dalam botol water seal
Gelembung dalam botol water seal disebabkan oleh udara yang keluar
dari rongga pleura masuk ke dalam cairan dalam botol. Gelembung
yang intermiten adalah normal. Ini mengindikasikan bahwa sistem
melakukan satu dari tujuannya seperti mengeluarkan udara dari
rongga pleura. Gelembung yang intermiten bisa terjadi saat ekspirasi
normal seseorang karena ekspirasi meningkatkan tekanan intrapleura
dan mendorong udara melalui selang.
Gelembung yang terus menerus selama inspirasi dan ekspirasi
mengindikasikan bahwa udara bocor masuk kedalam sistem drainase
atau rongga pleura. Situasi ini dapat dikoreksi yaitu dengan mencari
lokasi kebocoran udara dan lakukan perbaikkan jika dapat dilakukan.

Gelembung yang terjadi cepat pada kondisi tidak terdapat kebocoran


udara mengindikasikan kehilangan udara yang bermakna seperti dari
insisi atau sobekan pada pleura.
e. Cek patensi selang setiap 2 sampai 4 jam, karena adanya obstruksi
pada selang dada mempengaruhi re ekspansi paru.
f. Monitor jumlah dan tipe dari drainase pada selang dada
Kehilangan volume yang besar dapat menyebabkan hipovolemi.
Penurunan atau tidak adanya drainase dengan kondisi distress
respiratory mengindikasikan adanya sumbatan. Penurunan atau tidak
adanya drainase tanpa distress respiratory mengindikasikan paru
sudah mengembang kembali.
g. Beri tanda atau batas drainase pada sisi luar tabung pengumpul setiap
jam, sebagai acuan untuk pengukuran selanjutnya.
Drainase secara bertahap berubah dari warna darah ke warna pink
kemudian warna merah kecoklatan. Aliran yang tiba-tiba dan warna
darah yang merah pekat terjadi karena perubahan posisi yang sering
berupa darah yang lama yang dapt keluar ke selang dada. Laporkan
bila drainase lebih dari 200 ml/jam, penurunan atau tidak ada drainase
secara tiba-tiba, perubahan karakteristik dari drainase.
h. Pertahankan posisi selang dada
Tempatkan selang secara harizontal di tempat tidur dan ke arah
bawah ke tabung pengumpul. Akumulasi drainase pada selang yang
terjepit menghambat drainase ke sistem pengumpul dan meningkatkan
tekanan paru, berikan area yang cukup untuk pergerakkan pasien.
i. Selalu tempatkan sistem WSD lebih rendah dari dada pada posisi
vertikal untuk mencegah aliran balik cairan ke rongga pleura.
j. Cek level cairan pada water seal atau cairan pada control suction yang
bisa berkurang karena evaporasi, dan isi ulang sesuai batas yang
dianjurkan.
k. Kolaborasi dalam pemberian analgetik untuk mengontrol rasa sakit,
karena rasa sakit bisa mempengaruhi keefektifan pernafasan
l. Kaji daerah tusukan dan kulit sekitar daerah tusukan akan adanya
subcutaneous air dan tanda-tanda infeksi atau inflamasi.

1.5. Standar Operasional Prosedur Perawatan WSD


1.5.1. Definisi
Perawatan yang dilakukan pada pasien dengan post pemasangan selang
WSD menyangkut perawatan luka, selang dan botol WSD

1.5.2. Tujuan
1. Mencegah terjadinya infeksi post pemasangan selang WSD
2. Menjaga kepatenan sistem drainage WSD
3. Mengembangkan kembali paru yang kolaps

1.5.3. Persiapan Alat


1. Satu bak instrumen steril berisi 2 buah pinset anatomis, 2 buah pinset
cirurgis, 1 buah gunting, 1 buah klem anatomis, 1 buah kom kecil, kasa
yang sudah dipotong bagian tengahnya dan kasa pentul secukupnya.
2. Botol WSD berisi aquadest dimana ujung selang didalam botol harus
terendam sepanjang dua cm.
3. Hipapix dan gunting
4. Nierbekken/kantong balutan kotor
5. NaCl 0.9%
6. Alkohol 70%
7. Perlak kecil
8. Handscoon steril

1.5.4. Persiapan Klien


1. Mengucapkan salam
2. Menanyakan nama klien
3. Memperkenalkan diri
4. Menjelaskan maksud dan tujuan
5. Melakukan kontrak waktu pelaksanaan tindakan
6. Meminta persetujuan klien terhadap tindakan yang akan dilakukan
7. Menjaga privacy klien (pasang sampiran/menutup tirai)
8. Mengatur posisi senyaman mungkin sesuai kondisi klien
9. Membebaskan pakaian klien bagian atas
10. Mendekatkan alat-alat ke tempat tidur klien

1.5.5. Prosedur Pelaksanaan


1. Mencuci tangan
2. Memasang perlak dibawah area yang akan didressing
3. Mendekatkan bengkok
4. Memasang handscon steril
5. Membuka set bedah minor steril
6. Mengambil 2 pinset cirurgis, membuka hipapix yang sebelumnya
sudah dibasahi dengan alkohol secara hati-hati, membuka kasa,
masukan kedalam bengkok, letakkan pinset pada tempat yang sudah
ditentukan
7. Mengobservasi adanya tanda-tanda infeksi pada luka disekitar selang
WSD
8. Mengambil 2 pinset anatomis, mengambil kasa pentul yang sudah
dibasahi dengan NaCl 0,9%, peras, jepit setengahnya, bersihkan luka
secara hati-hati dengan cara sirkuler dari arah dalam keluar, buang kasa
pentul yang kotor kedalam bengkok. Mengambil kasa pentul lagi,
basahi dengan alkohol, peras, jepit setengahnya, bersihkan selang
WSD sepanjang ± 5 cm
9. Mengambil kasa steril yang sudah dipotong tengahnya, menutup luka
secara menyilang, plester dengan hipapix secara horizontal kemudian
piksasi selang WSD kedinding dada
10. Mengklem selang WSD di atas sambungan
11. Melepaskan sambungan antara selang WSD dengan selang pada botol,
ujung selang WSD di disinfeksi dengan alkohol 70%, kemudian selang
WSD dihubungkan kembali dengan selang penyambung botol WSD
yang baru
12. Membuka klem. Menganjurkan klien untuk batuk perlahan atau
bernapas dalam untuk melihat apakah undulasi positif atau negatif dan
apakah ada keluar gelembung udara diujung selang didalam botol
WSD
13. Membereskan alat
14. Merapikan baju dan selimut klien
15. Melakukan terminasi dan kontrak untuk perawatan WSD berikutnya
16. Pamit dan mengucapkan salam
17. Membawa alat-alat yang kotor ke spoolhok/CSSD untuk dibersihkan
dan disterilisasi kembali
18. Membuka handscon
19. Mencuci tangan
20. Menulis prosedur yang telah dilakukan pada catatan perawatan (berapa
jumlah cairan dan warnanya, kondisi benang jahitan, adanya pus atau
jaringan nekrotis, undulasi +/-, dLL)
1.5.6. Observasi dan Monitoring
1. Observasi keluhan pasien (sesak napas, nyeri dan rasa tertekan pada
dada) terutama saat dilakukan pengkleman
2. Observasi undulasi pada selang WSD dan bubble (gelembung udara)
pada botol WSD
3. Observasi adanya krepitasi pada kulit sekitar selang WSD
4. Observasi tanda infeksi, adanya jaringan nekrotik dan kondisi benang
hecting
5. Auskultasi kesimetrisan suara napas
6. Pertahankan ujung selang dalam botol WSD agar selalu berada 2 cm di
bawah air
7. Pertahankan agar botol WSD selalu lebih rendah dari tubuh, ganti
botol WSD setiap hari atau bila sudah penuh. (kecuali bila
menggunakan botol single use yang terhubung dengan central suction)
8. Catat jumlah dan warna cairan
9. Catat berapa tekanan negative yang diberikan bila WSD dihubungkan
dengan pada penggunaan suction continous

1.6.

Anda mungkin juga menyukai