Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KELOMPOK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN EFUSI PLEURA


Disusun Untuk Memenuhi Mata Ajar Keperawatan Kritis
Dosen Pengampu : Ns. Ainnur Rahmanti, M. Kep

Disusun Oleh:

Ayu Widyasari Fitri Astuti 20101440118017


Deka Ragil Asgar 20101440118022
Della Hayuning Tyas 20101440118023
Dewi Wulandari Pertiwi 20101440118024
Diska Darma Putri 20101440118027

AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM IV/DIPONEGORO


SEMARANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN EFUSI PLEURA

A. Pengertian
Efusi pleura merupakan suatu keadaan dimana terjadi akumulasi cairan
pleura yang abnormal dalam rongga pleura akibat transudasi atau eksudasi
yang berlebihan (Medical Science, Nusantara Medical Science Jurnal, 2018).
Menurut WHO (2018), efusi pleura merupakan suatu gejala penyakit yang
dapat mengancam jiwa penderitanya. Secara geografis penyakit ini terdapat di
seluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. WHO memperkirakan 20% penduduk kota
dunia pernah menghirup udara kotor akibat emisi kendaraan bermotor,
sehingga banyak penduduk yang berisiko tinggi terkena penyakit paru dan
saluran pernapasan seperti efusi pleura.

Menurut WHO (2018) Efusi pleura terjadi pada 30 % penderita TB paru


dan merupakan penyebab morbiditas terbesar akibat TB ekstra paru. Penderita
dengan Efusi pleura banyak di temui pada kelompok umur 44-49 tahun keatas
(30,7%), serta lebih banyak terjadi pada laki-laki (54,7%) dibandingakn
perempuan (45,3%). Tingginya insiden efusi pleura disebabkan oleh TB paru
dan Tumor paru. Menurut Baughman 2000 dalam Khairani, dkk (2012. 45),
efusi menunjukkan tanda dan gejala yaitu sesak nafas, bunyi pekak atau datar
saat perkusi di area nyang berisi cairan, bunyi nafas minimal atau tak
terdengar dan pergeseran trachea menjauhi tempat yang sakit. Umunya pasien
datang dengan gejala sesak nafas, nyeri dada, batuk dan demam. Pada
pemeriksaan fisik dapat di temukan abnormalitas dengan bunyi redup pada
perkusi, penurunan fremitus pada palpasi, dan penurunan bunyi napas pada
auskultasi paru bila cairan efusi sudah melebihi 300 ml. Foto toraks dapat di
gunakan untuk mengkonfirmasi terjadinya efusi pleura (Khairani dkk, 2012.
45).
Dampak yang terjadi jika efusi pleura tidak segera di tangani yaitu
menyebabkan terjadinya atelektasis pengembangan paru yang tidak sempurna
2 yang di sebabkan oleh penekanan akibat penumpukan cairan pleura, fibrosis
paru dimana keadaan patologis tedapat jaringan ikat paru dalam jumlah yang
berlebihan, empisema dimana terdapat kumpulan nanah dalam rongga antar
paru-paru dan kolaps paru (Headher, 2011).

Menurut Riskesdas (2013) terdapat 508.330 jiwa yang menderita penyakit


paru obs
truktif kronis dan terdapat 2,7 % penderita Efusi pleura. Menurut hasil
Studi Berta & Puspita dalam Causes Of Pleural Efusion In Metro 2017
terdapat 537 insidensi pleura pada periode Januari- Desember 2017. Sebanyak
60,9% adalah berjenis kelamin laki-laki dan 39,1 % berjenis kelamin
perempuan. Sebanyak 10, 4 % berusia kurang dari 35 tahun, 39,3% berusia
35-55 tahun, 34,6 % berusia 56-70 tahun, dan 15,6 % berusia lebih dari 70
tahun.

Tindakan yang dapat dilakukan pada efusi pleura adalah pemasangan


WSD untuk mengembalikan kondisi di dalam cavum pleura kembali normal.
WSD adalah suatu sistem drainage yang menggunakan water sealed untuk
mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura (rongga pleura) tujuannya
adalah untuk mengalirkan udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut, dalam keadaan normal
rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura/
lubricant (Arif, 2008).

Permasalahan efusi pleura pasca pemasangan WSD, antara lain nyeri akut
berhubungan dengan tindakan insisi pemasangan WSD, pola napas tidak
efektif, gerakan iga disisi yang luka menjadi berkurang, risiko infeksi
berhubungan dengan tindakan insisi / invansif akibat pemasangan selang
WSD kesakitan ketika bernafas dan mendadak merasakan sesak. Sesak nafas
terjadi karena masih adanya timbunan cairan dalam ronga paru yang akan
memberikan kompresi patologi pada paru sehingga ekspensinya terganggu,
dan berkurangnya kemampuan meregang otot inspirasi akibat terjadi restriksi
oleh cairan (Syahrudin dkk., 2009). Permasalahan ini perlu ditangani dan
salah satu penanganannya dengan pemberian chest terapy.

B. Etiologi
 Efusi pleura di sebabkan oleh :
1. Hambatan rearbsorpsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan
seperti pada dekompresi kordis, penyakit ginjal, tumor medastinum, sindroma
meig (tumor ovarium) dan sindrima kava superior.
2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberkolosis,
pneumonia, virus). Bronkiektasisi, abses amuba yang menembus ke rongga
pleura, karena tumor yang menyebabkan masuknya cairan berdarah dan
trauma. Di Indonesia 80 % diakibatkan oleh tuberkolosis.

 Berdasarkan jenis cairan yang terbnetuk, cairan pleura dibagi menjadi


transudat, eksudat dan hemoragis
1. Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif
(gagal jantung kiri), sindroma nefrotik, asites (oleh karena sirosis
kepatis), syndroma vena cava superior, tumor, sindroma meig.
2. Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, preumonia dan sebagainya,
tumor, ifark paru, radiasi, penyakit kolagen.
3. Effusi hemoragis dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark
paru, tuberkulosis.
Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, effusi dibagi menjadi unilateral
dan bilateral. Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik
dengan penyakit penyebabnya akan tetapi effusi yang bilateral ditemukan
pada penyakit-penyakit dibawah ini :Kegagalan jantung kongestif, sindroma
nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosus systemic, tumor dan
tuberkolosis.
C. Patofisiologi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan di dalam
rongga pleura. Jumlah cairan di rongga pleura tetap, karena adanya tekanan
hidrostatis pleura parietalis sebesar 9 cm H 2O. Akumulasi cairan pleura dapat
terjadi apabila tekanan osmotik koloid menurun misalnya pada penderita
hipoalbuminemia dan bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada proses
keradangan atau neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis akibat
kegagalan jantung dan tekanan negatif intra pleura apabila terjadi atelektasis
paru (Alsagaf H, Mukti A, 1995, 145).
Effusi pleura berarti terjadi pengumpulan sejumlah besar cairan bebas
dalam kavum pleura. Kemungkinan penyebab efusi antara lain :
(1) penghambatan drainase limfatik dari rongga pleura,
(2) gagal jantung yang menyebabkan tekanan kapiler paru dan
tekanan perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi
cairan yang berlebihan ke dalam rongga pleura
(3) sangat menurunnya tekanan osmotik kolora plasma, jadi juga
memungkinkan transudasi cairan yang berlebihan
(4) infeksi atau setiap penyebab peradangan apapun pada permukaan
pleura dari rongga pleura, yang memecahkan membran kapiler dan
memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan ke dalam rongga secara
cepat (Guyton dan Hall , Egc, 1997, 623-624).
Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi
pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada
ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun secara
perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan
terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata. Kondisi efusi pleura
yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan gagal nafas. Gagal
nafas didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila tekanan partial Oksigen
(Pa O2)≤ 60 mmHg atau tekanan partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50
mmHg melalui pemeriksaan analisa gas darah.

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang muncul (Terney, 2002 dan Tucker, 1998) adalah
 Sesak Nafas
 Nyeri dada
 Kesulitan bernafas
 Peningkatan suhu tubuh jika ada infeksi
 Keletihan
 Batuk

E. Pemeriksaan Fisik
Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi 
penumpukan cairan pleural yang signifikan mungkin akan ditemukan.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena
cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam
pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah
pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis
melengkung (garis Ellis Damoiseu). Didapati segitiga Garland, yaitu daerah
yang pada perkusi redup timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga
Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum
kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan
ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.
Pemeriksaan fisik per sistem:
1) Sistem Respirasi
Inspeksi pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit
mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan
pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax
kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. RR
cenderung meningkat dan Px biasanya dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah
cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
Suara perkusi redup sampai peka tegantung jumlah cairannya. Bila
cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas
atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical
penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis-Damoisseaux.
Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.
Auskultasi suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi
duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi
atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda-tanda
auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan. Ditambah
lagi dengan tanda i – e artinya bila penderita diminta mengucapkan kata-
kata i maka akan terdengar suara e sengau, yang disebut egofoni (Alsagaf
H, Ida Bagus, Widjaya Adjis, Mukty Abdol, 1994,79)
2) Sistem Cardiovasculer
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada
pada ICS – 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan
ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung. Palpasi
untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) dan harus diperhatikan
kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa
adanya thrill yaitu getaran ictus cordis. Perkusi untuk menentukan batas
jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk
menentukan adakah pembesaran jantung atau ventrikel kiri. Auskultasi
untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah
bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta adakah
murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.
3) Sistem Pencernaan
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau
datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak,
selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau
massa.
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai
normalnya 5-35 kali permenit. Pada palpasi perlu juga diperhatikan,
adakah nyeri tekan abdomen, adakah massa (tumor, feces), turgor kulit
perut untuk mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar teraba, juga
apakah lien teraba. Perkusi abdomen normal tympanik, adanya massa
padat atau cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesika
urinarta, tumor).
4) Sistem Neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga
diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau somnolen atau
comma. refleks patologis, dan bagaimana dengan refleks fisiologisnya.
Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.
5) Sistem Muskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial, palpasi
pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta
dengan pemerikasaan capillary refil time. Dengan inspeksi dan palpasi
dilakukan pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri
dan kanan.
6) Sistem Integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada
tidaknya lesi pada kulit, pada Px dengan effusi biasanya akan tampak
cyanosis akibat adanya kegagalan sistem transport O 2. Pada palpasi perlu
diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian
texture kulit (halus-lunak-kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui
derajat hidrasi seseorang.

F. Pemeriksaan Diagnostik
1) Foto Thorax
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk
bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi
daripada bagian medial. Bila permukaannya horisontal dari lateral ke
medial, pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal dari
luar atau dari dalam paru-paru sendiri. Kadang-kadang sulit membedakan
antara bayangan cairan bebas dalam pleura dengan adhesi karena radang
(pleuritis). Disini perlu pemeriksaan foto dada dengan posisi lateral
dekubitus.
2) CT – SCAN 
Pada kasus kanker paru Ct Scan bermanfaat untuk mendeteksi adanya
tumor paru juga sekaligus digunakan dalam penentuan staging klinik yang
meliputi :
 menentukan adanya tumor dan ukurannya
 mendeteksi adanya invasi tumor ke dinding thorax, bronkus,
mediatinum dan pembuluh darah besar
 mendeteksi adanya efusi pleura
Disamping diagnosa kanker paru CT Scan juga dapat digunakan untuk
menuntun tindakan trans thoracal needle aspiration (TTNA), evaluasi
pengobatan, mendeteksi kekambuhan dan CT planing radiasi.
3) Kultur sputum : dapat ditemukan positif Mycobacterium tuberculosis
4) Fungsi paru : Penurunan vital capacity, paningkatan dead space,
peningkatan rasio residual udara ke total lung capacity, dan penyakit
pleural pada tuberkulosis kronik tahap lanjut.
5) Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Biokimia
Secara biokimia effusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang
perbedaannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Transudat Eksudat
Kadar protein dalam effusi 9/dl <3 >3
Kadar protein dalam effusi < 0,5 > 0,5
Kadar protein dalam serum
Kadar LDH dalam effusi (1-U) < 200 > 200
Kadar LDH dalam effusi < 0,6 > 0,6
Kadar LDH dalam serum
Berat jenis cairan effusi < 1,016 > 1,016
Rivalta Negatif
Positif
Disamping pemeriksaan tersebut diatas, secara biokimia diperiksakan
juga cairan pleura :
-       Kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-
penyakit infeksi, arthritis reumatoid dan neoplasma
-       Kadar amilase. Biasanya meningkat pada paulercatilis dan
metastasis adenocarcinona (Soeparman, 1990, 787).
b. Analisa cairan pleura
 Transudat : jernih, kekuningan
 Eksudat : kuning, kuning-kehijauan
 Hilothorax : putih seperti susu
 Empiema : kental dan keruh
 Empiema anaerob : berbau busuk
 Mesotelioma : sangat kental dan berdarah
c. Perhitungan sel dan sitologi
Leukosit 25.000 (mm3): empiema
Netrofil : pneumonia, infark paru, pankreatilis, TB paru
Limfosit : tuberculosis, limfoma, keganasan.
Eosinofil meningkat : emboli paru, poliatritis nodosa, parasit
dan jamur
Eritrosit : mengalami peningkatan 1000-10000/ mm3
cairan tampak kemorogis, sering dijumpai
pada pankreatitis atau pneumoni. Bila erytrosit
> 100000 (mm3 menunjukkan infark paru,
trauma dada dan keganasan.
Misotel banyak : Jika terdapat mesotel kecurigaan TB bisa
disingkirkan.
Sitologi : Hanya 50 - 60 % kasus- kasus keganasan
dapat ditemukan sel ganas. Sisanya kurang
lebih terdeteksi karena akumulasi cairan pleura
lewat mekanisme obstruksi, preamonitas atau
atelektasis (Alsagaff Hood, 1995 : 147,148)
d. Bakteriologis
Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah
pneamo cocclis, E-coli, klebsiecla, pseudomonas, enterobacter. Pada
pleuritis TB kultur cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat
menunjukkan yang positif sampai 20 % (Soeparman, 1998: 788).
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada efusi pleura ini adalah (Mansjoer, 2001)
1) Thorakosentasis
Drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala subjektif seperti
nyeri, dispnea dan lain-lain. Cairan efusi sebanyak 1-1,5 liter perlu
dikeluarkan segera untuk mencegah meningkatnya edema paru. Jika
jumlah cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutnya baru
dapat dilakukan 1 jam kemudian
2) Pemberian antibiotik
Jika ada infeksi
3) Pleurodesis
Pada efusi karena keganasan dan efusi rekuren lain, diberikan obat
(tetrasiklin, kalk dan bieomisin) melalui selang interkostalis untuk
melekatkan kedua lapisan pleura dan mencegah cairan terakumulasi
kembali
4) Tirah baring
Tirah baring ini bertujuan untuk menurunkan kebutuhan oksigen karena
peningkatan aktivitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga
dyspnea akan semakin meningkat pula
5) Biopsi pleura, untuk mengetahui adanya keganasan
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Primary survey:
a. Air way : ada atau tidak penumpukan secret, refleks batuk menurun,
refleks menelan menurun, wheezing, edema tracheal/ faringeal
b. Breathing : kaji apakah ada sesak nafas, hitung RR/menit, irama nafas
teratur atau tidak, menggunakan alat bantu nafas atau tidak, pernafasan
cepat atau dangkal
c. Circulation : kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda
signifikan, monitoring tekanan darah, tekanan darah
d. Disability : kaji bagaimana kesadaran klien hitung berapa GCS nya,
apakah klien mengalami mual atau muntah, lihat pupil klien, kaji
apakah ada nyri pada bagian dada dan apakah pasien tampak gelisah.

2. Secondary survey:
a. Keluhan utama: kebanyakan px efusi pleura mengatakan mengeluh
saat bernafas
b. Riwayat penyakit sekarang : Klien dengan effusi pleura akan diawali
dengan keluhan batuk, sesak nafas, nyeri pleuritis, rasa berat pada
dada, dan berat badan menurun
c. Riwayat penyakit dahulu : Klien dengan effusi pleura terutama akibat
adanya infeksi non pleura biasanya mempunyai riwayat penyakit
tuberculosis paru
d. Riwayat penyakit keluarga : Tidak ditemukan data penyakit yang sama
ataupun diturunkan dari anggota keluarganya yang lain, terkecuali
penularan infeksi tuberculosis yang menjadi faktor penyebab
timbulnya effusi pleura
e. Pemeriksaan fisik
1) Mata

I : konjungtiva pucat (karena anemia), konjungtiva sianosis (karena


hipoksemia) (Andarmoyo, Sulistyo. 2012).
P : Tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.

2) Hidung

I : adanya pernafasan cuping hidung (megap-megap, dyspnea),


(Andarmoyo, Sulistyo. 2012).

P : Tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.

3) Mulut dan Bibir

I : Membrane mukosa sianpsis (karena penurunan oksigen),


bernapas dengan dengan mengerutkan mulut (dikaitkan dengan
penyakit paru kronik), tidak ada stomatitis (Andarmoyo, Sulistyo.
2012).

P : Tidak ada pmbesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.

4) Telinga

I : Simetris, tidak ada serumen, tidak ada alat bantu pendengaran.

P : tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.

5) Leher
I : Tidak ada lesi, warna kulit sawo matang, warna kulit merata.

P : Tidak ada pembesaran vena jugularis dan tidak ada pembesaran


kelenjar tyroid, tidak ada nyeri tekan.

6) Paru-paru

I : Peningkatan frekuensi/takipnea, peningkatan kerja napas,


penggunaan otot aksesoris pernapasan pada dada, leher, retraksi
intercostals, ekspirasi abdominal akut, gerakan dada tidak sama
(paradoksik) bila trauma, penurunan pengembangan thorak (area
yang sakit)
P : Terjadi ketertinggalan gerak antara area yang sakit dengan area
yang sehat. Fremitus menurun (sisi yang terlihat). Pemeriksaan
fremitus dilakukan dengan ucapan :

1) Anjurkan klien mengatakan “Tujuh Puluh Tujuh” atau “


Sembilan Puluh Sembilan” secara berulang-ulang dengan intonasi
sama kuat

2) Dengan menggunakan dua tangan, pemeriksa menempelkan


kedua tangannya kepunggung klien, dan rasakan getaran dari paru
kanan dan kiri. Apakah bergetar sama atau tidak.

P : Bunyi pekak diantara area yang terisi cairan.

A: Bunyi nafas menghilang atau tidak terdengar diatas bagian yang


terkena Gejala : kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah / trauma.
Tanda : Takipnea, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada,
retraksi interkostal, bunyi napas menurun dan fremitus menurun
(pada sisi terlibat), (Padila,2012)

7) Abdomen

I : Tidak ada lesi, warna kulit merata.

A : Terdengar bising usus 12x/menit.

P : Tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.

P : tympani

8) Genetalia

I : Tidak ada lesi, rambut pubis merata, tidak ada jaringan parut.

P : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran abnormal.

9) Kulit

I : pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan. (Padila, 2012)


10) Untuk pengkajian nutrisi :
A (antropometri) meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan,
lingkar kepala, lingkar lengan atas, IMT (Indeks Massa Tubuh).
Indeks masa tubuh (IMT) mengukur berat badan yang sesuai
dengan tinggi badan dan memberikan alternatif hubungan antara
tinggi badan dan berat badan klien.Hitung IMT dengan rumus.
Klien dikatakan memiliki berat badan yang berlebihan jika skor
IMT berada antara 25-30.
B (Biochemical) meliputi data laboratorium yang abnormal.
C (Chemical) meliputi tanda-tanda klinis, turgor kulit, mukosa bibir,
konjungtiva anemis/tidak.
D (Diet) meliputi :

1) Nafsu makan,

2) Jenis makanan yang dikonsumsi

3) Frekuensi makanan yang diberikan selama di rumah sakit.

11) Pemeriksaan Diagnostik

a. Sinar X dada : menyatakan akumulasi cairan pada area pleural,


dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal (jantung).

b. GDA : variable tergantung dari derajat fungsi paru yang


dipengaruhi, gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan
mengkompensasi. PaCO2 kadang-kadang meningkat. PaCO2
mungkin normal menurun, saturasi O2 biasanya menurun.

c. Torakosintesis : menyatakan cairan serisanguinosa (Saferi &


Mariza, 2013).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
Gejala dan Tanda Mayor :
a. Subyektif : (tidak tersedia)
b. Objektif : batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebihan,
mengi,wheezing dan atau ronkhi kering dan mekoniuum dijalan napas
(pada neonatus).

Gejala dan Tanda Minor :


a. Subyektif : dispnea, sulit bicara, ortopnea
b. Objektif : gelisah, sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi napas
berubah dan pola napas berubah.

2. Pola Nafas Tidak Efektif


Gejala dan Tanda Mayor :
a. Subyektif : dispnea
b. Objektif : penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi
memanjang dan pola napas abnormal (mis. Takipnea, braadipnea,
hiperventilasi, kusmaul dan cheyne – stroke)

Gejala dan Tanda Minor :


a. Subyektif : ortopnea
b. Objektif : pernapasan pursed – lip, pernapasan cuping hidung,
diameter thoraks anterior – posterior meningkat, ventiasi semenit
menurun,, kpasitas vital menurun, tekanan ekspirasi menurun, tekanan
inspirasi menurun dan ekskrusi dada berubah.

3. Intoleransi Aktivitas
Gejala dan Tanda Mayor :
a. Subyektif : mengeluh lelah
b. Objektif : frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat.
Gejala dan Tanda Minor :
f. Subyektif : dispnea saat / setelah aktivitas, merasa tidak nyaman
setelah beraktivitas dan merasa lemah
g. Objektif : tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat,
gambaran EKG menunjukkan aritmia, gambaran EKG menunjukkan
iskemia dan sianosis.

C. INTERVENSI
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
(NIC)
Ketidakefektifa Tujuan : pembersihan jalan napas Aktivitas Keperawatan
n bersihan yaang efektif, yang dibuktikan oleh 1. Keefektifan pemberian oksigen dan terapi lain.
jalaan napas Aspirasi; status pernapasan; kepatenan 2. Keefektifan obat resep.
jalan naapas dan status pernapasan : 3. Kecenderungan padaa gas darah arteri, jika tersedia.
ventilasi tidak terganggu. 4. Frekuensi, kedalaman dan upayaaa pernapasan .
5. Faktor yang berhubungan, seperti nyeri, batuk tidak
Kriteria Hasil : efektif, mucus kental dan keletihan.
1. Batuk efektif. 6. Auskultasi bagian dada anteior dan posterior untuk
2. Mengeluarkan sekret secara efektif. mengetahui penurunan atau ketiadaan ventilasi dan
3. Mempunyai jalan napas yang paten. adanya suara nafas tambahan.
4. Pada pemeriksaan auskultasi,
memiliki suara napas yang jernih. Pengisapan Jalan Napas (NIC).
5. Mempunyi irama dan frekuensi 1. Tentukan kebutuhan pengisapan oral dan trakea.
pernapasan dalam rentan normal. 2. Pantau status oksigen pasien (tingkat SaO2 dan
6. Memmpunyai fungsi paru dalam SvO2) dan status hemodinamik (tingkat MAP [Mean
batas normal. Arterial Pressure] dan iramaa jantung) segera
7. Mampu mendeskripsikan dirumah. sebelum, selama dan setelah pengisapan.
3. Catat jenis dan jumlah seket yang di kumpulkan.

Pola Nafas Tujuan : pola pernapasan efektif, yang Aktivitas Keperawatan


Tidak Efektif dibuktikan oleh status pernapasan : 1. Pantau adanya pucaat sianosis.
status ventilasi dan pernapasan yang 2. Pantau efek obat pada status pernapasan..
tidak terganggu : kepatenan jalan napas 3. Tentukan lokasi dan luasnya repitasi di sangkar iga.
dan tidak ada penyimpan tanda vital dari 4. Kaji kebutuhan inseri jalan napas.
rentan normal. 5. Observasi dan dokumentasi ekspansi dada bilateral
pada pasien yang terpasang ventilator.
Kriteria Hasil :
1. Menunjukkan pernapasan optimal
pada saat terpasang ventilator
mekanis.
2. Mempunyai kecepatan dan irama
pernapasan dalam batas normal.
3. Mempunyai fungsi paru dalam batas
normal untuk pasien.
4. Meminta bantuan pernapasan saat
dibutuhkan.
5. Mampu menggambarkan rencana
untuk perawatan dirumah.
6. Mengidentifikasi faktor yang
memicu ketidakefektifan pola napas
dan tindakan yang dapat dilakukan
untuk menghindarinya.

Intoleransi Tujuan : menoleransi aktivitas yang Aktivitas Keperawatan


Aktivitas biasa dilakukan, yang dibutuhkan oleh 1. Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah
toleransi aktivitas, ketahanan, tempat tidur, berdiri, ambulasi dan melakukan AKS
penghematan energi, kebugaraan fisik, dan AKSI.
energi psikomotorik dan perawatan 2. Kaji respons emosi, sosial dan spiritual terhadaap
diri : aktivitas kehidupan sehari – hari. aktivitas.
3. Evaluasi motivasi dan keinginan pasien utuk
Kriteria Hasil : meningkatkan aktivitas.
1. Mengidentifikasi aktivitas atau
situasi yang menimbulkan Manajemen Energi
kecemasan yang dapat 1. Tentukan penyebab keletihan (mis. Perawtaan, nyeri
mengakibatkan intoleran aktivitas. dan pengobatan).
2. Berpartisipasi dalam aktivita fisik 2. Pantau respon kardiorespiratori terhadap aktivitas
yang dibutuhan dengan peningkatan 3. Pantau respon oksigen pasien.
nomal denyut jantung, frekuensi 4. Pantau asupaan nutrisi untuk memastikan sumber –
pernapasaan dan tekanan darah serta sumber energi adekuat.
memantau pola dalam batas normal. 5. Pantau dan dokumentasikan pola tidur pasien dan
3. Pada (tanggal target) akan mencapai lamanya waktu tidur dalam jam.
tingkat aktivitas.
4. Mengungkapkan secara verbal
pemahaman tentang kebutuhan
oksigen, obat dan atau peralatan
yang dapat meningkatkan toleransi
terhadap aktivitas.
5. Menampilkan aktivitas kehidupan
sehari – hari dengan beberapa
bantuan (mis, eliminasi dengan
bantuan ambulasi untuk ke kamar
mandi).
DAFTAR PUSTAKA

1. Potter, Patricia A., and Perry, Anne Griffin. 2006. Fundamental Keperawatan.
Volume 2. Jakarta: EGC
2. Guyton & Hall.2008.Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
kedokteran EGC
3. Smeltzer, Suzanne (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Brunner
& Suddart). Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC
4. Ansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I. Media
Aesculapius. Jakarta
5. Corwin Elizabet J, 2001. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta
6. Doenges Marilynn E, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan ( Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3. EGC.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai