Disusun Oleh :
1. Lestari ( 2019012422)
1. Dada sakit karena adaya inflamasi pleura di dalam area; tidak selalu ada.
2. Kesulitan bernafas (dyspnea) karena berkyrangnya pembesaran dada diarea.
3. Turunnya suara pernafasan pada auskultasi diarea kareana adnya cairan yang berlebih.
4. Tumpul saat diketuk diarea terkena karena adnya cairan.
5. Demam karena infeksi pda impyema.
6. Denyut jantung dan respirasi berubah; tekanan darah turun karena kehilangan darah
pada hemothorax.
7. Saturasi oksige rendah pada oksimetri denyut (Mary DiGiolio, 2014).
4. Manifestasi klinik
5. Patofisiologi
Dalam keadaan normal tidak ada rongga rongga kosong antara pleura parietalis dan pleura
viceralis, karena di antara pleura tersebut terdapat cairan anatara 1-20cc yang merupakan
lapisan tipis serosa dan selalu bergerak teratur. Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas
diantara kedua pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain. Normalnya
hanya terdapat 10-20ml cairan dalam rongga pleura. Jumlah cairan di rongga pleura tetap,
karena adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis sebesar 9 cmH2O. akumulasi cairan pleura
dapat terjadi apabila tekanan osmotic koloid menurun (misalnya pada penderita
hipoalbuminia dan bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada proses peradangan atau
neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatik akibat kegagalan jantung) dan tekanan negative
intrapleura apabila terjadi atelectasis paru (Alsagaf, 1995).
Diketahui bahwa cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya diabsorbsi
tersebut dapat terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada pleura parietalis dan tekanan
osmotic koloid pada pleura viceralis. Cairan kebanyakan di absorbs oleh istem limfatik dan
hanya sebagian kecil di absorbs oleh sistem kapiler pilmonal. Hal yang memudahkan
penyerapan cairan yang pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili disekitar
sel-sel misofelial. Jumlah cairan dalam rongga tetap, karena adanya keseimbangan antara
produksi dan absorbs keadaan ini bias terjadi karena adanya tekanan hidrostatik sebesar
9cmH2O dan tekanan osmotic koloid sebesar 10cmH2O. Keseimbangan tersebut dapat
terganggu oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi tuberkulosa paru (Alsagaf, 1995).
Terjadi tuberkulosa paru, yang pertama basil mikobakterium tuberkulosa masuk melalui
saluran nafas menu alveoli, terjadilah infeksi primer. Dari infeksi primer ini akan timbul
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limphadinitis local) dan juga diikuti dengan
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limpangitisc local) peradangan pada saluran getah
bening akan mempengaruhi permeabilitas membran. Permeabilitas membrane akan
meningkat yang akhirnya dapat menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura.
Kebanyakan terjadinya efusi pleura akibat dari tuberkulosa paru melalui focus subpleura
yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya pengkerjaan
arah saluran getah bening yang menuju rongga pleura iga atau columna vitebralis. Adapun
bentuk cairan efusi pleura akibat tuberkulosa paru adalah merupakan eksudat, yaitu berisi
protein yang terdapat pada cairan pleura tersebut katrena kegagalan cairan ini biasanya
serausa kadang-kadang juga bias hemorogic.
Dalam setiap ml cairtan pleura biasanya mengandung leukosit antara 500-2000. Mula-
mula yang dominan adalah sel-sel polimor fonuklear, tapi kemudian sel limfosit cairan efusi
pleura sangat sedikit mengandung kuman tuberkulosa. Timbulnya cairan efusi pleura
bukanlah karena adanya bakteri tuberkolosis, tapi karena akibat adanya efusi pleura dapat
menimbulkan beberapa perubahan fisik anatara lain: irama pernapasan tidak teratur,
frekuensi, pernapasan meningkat, pergerakan dada asimetris, bentuk dad yang lebih
cembung, fremitus teraba melemah, perkusi redup. Selain hal-hal di atas ada perubahan lain
yang di timbulkan oleh peningkatan suhu, batuk dan berat badan menurun. Effusi pleura
berarti terjadi penumpukan sejumlah besar cairan bebas dalam kavum pleura. Kemungkinan
proses akumulasi cairan di rongga pleura juga bias terjadi akibat beberapa proses yang
meliputi (Guyton dan Hall, 1997):
1. Adanya hambatan drainase limfatik dari rongga pleura
2. Gagal jantung yang menyebabkan tekana kapiler paru dan tekanan perifer menjadi
sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi cairan yang berlebihan ke dalam
rongga pleura.
3. Menurunnya tekanan osmotic koloid plasma juga memungkinkan terjadinya
transudasi cairan yang berlebuhan.
4. Adanya proses infeksi atau setiap penyebab peradangan apa pun pada permukaan
pleura dari rongga pleura dapat menyebabkan pecahnya membrane kapiler dan
memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan ke dalam rongga pleura terhadi
secara cepat.
6.PATHWAYS
7. Konsep Ketidakefektifan pola nafas
1. Pengertian
Ketidakefektifan pola nafas adalah ketidakmampuan proses sistem pernafasan: inspirasi atau
ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat (Nanda, 2015-2017).Ketidakefektifan pola
nafas adalah keadaan ketika seseorang individu mengalami kehilangan ventilasi yang aktual
atau potensial yang berhubungan dengan perubahan pola pernafasan (Carpenito, Lynda Juall
2007).
2. Tanda dan gejala
Tanda gejala ketidakefektifan pola nafas yaitu Perubahan kedalaman pernafasan, perubahan
ekskursi dada, mengambil posisi tiga titik, bradipnea, penurunan tekanan ekspirasi,
penurunan tekanan inspirasi, penurunan ventilasi semenit, penurunan kapasitas vital, dispnea,
peningkatan diameter anterior- posterior, pernafasan cuping hidung, ortopnea, takipnea,
pernafasan bibir, fase ekspirasi memanjang, penggunann otot aksesorius untuk bernafas
(Nanda, 2015-2017).
Tanda gejala ketidakefektifan pola nafas yaitu mayor: perubahan dalam frekuensi atau pola
pernafasan, minor: hiperventilasi, pernafasan sukar, takipnea (Carpenito, 2017)
Tanda gejala ketidakefektifan pola nafas yaitu dispnea, nafas pendek, perubahan gerakan
dada, nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan (Wilkinson, 2007).
3. Batasan karakteristik
1. Pasien mengeluh sesak napas atau napas pendek-pendek
2. Perubahan gerakan dada
3. Penurunan tekanan inspirasi /ekspirasi
4. Penurunan kapasitas vital paru
5. Napas dalam
6. Peningkatan diameter anterior-posterior paru
7. Napas cuping hidung
8. Ortopnea
9. Fase ekspirasi lama
10. Pernapasan purse lip
11. Pengunaan otot-otot bantu napas
8.Patofisiologis
1. Berhubungan dengan sekresi yang berlebihan atau kental ,sekunder akibat: infeksi,
inflamasi, alergi, merokok, penyakit jantung atau paru.
2. Berhubungan dengan immobilitas, sekresi yang statis, dan batuk tak efektif, sekunder
akibat:
a. Penyakit system persarafan, missal: miastenia gravis
b. Depresi system saraf pusat (SSP)/ trauma kepala
c. Cedera serebrovaskular (stroke)
d. Kuadriplegia
7. Terkait Pengobatan
1. Berhubungan dengan immobilitas, sekunder akibat:
a. Efek sedative obat (sebutkan)
b. Anestesia, umum atau spinal
c. Berhubungan dengan penekanan reflek batuk, sekunder akibat (sebutkan)
d. Berhubungan efek trakeostomi (perubahan sekresi)
2. Situasional (Personal, Lingkungan)
1. Berhubungan dengan immobilitas, sekunder akibat:
a. Pembedahan atau trauma
b. Nyeri, takut, ansietas
c. Kelelahan
d. Gangguan persepsi/kognitif
e. Berhubungan dengan kelembaban yang sangat tinggi atau rendah
f. Untuk bayi, yang berhubungan dengan tidur pada posisi tengkurap
g. Pajanan terhadap udara dingin, tertawa, menangis, allergen, asap.
3. Kriteria Hasil
Contoh: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien diharapkan
menunjukkan status pernapasan: ventilasi tidak terganggu ditandai dengan:
1. Napas pendek tidak ada
2. Tidak ada penggunaan otot bantu
3. Bunyi napastambahan tidak ada
4. Ekspansi dada simetris
4. Intervensi
1. Pantau adanya pucat atau sianosis
2. Pantau efek obat terhadap status respirasi
3. Tentukan lokasi dan luasnya krepitasi di tulang dada
4. Observasi kebutuhan insersi jalan napas
5. Observasi dan dokumentasikan ekspansi dada bilateral pada pasien dengan ventilator
6. Perhatikan area penurunan sampai tidak adanya bunyi napas atau bunyi napas
tambahan Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan usaha respirasi.
7. Pantau respirasi yang berbunyi
8. Perhatikan pergerakan dada, kesimetrisannya, penggunaan otot bantu serta retraksi
otot supraklavikular dan interkostal .
9. Pantau pola pernapasan: bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
10. pernapasan Kussmaul, pernapasan Cheyne-Stokes
11. Perhatikan lokasi trakea
12. Auskultasi bunyi napas,
13. Pantau kegelisahan, ansietas, dan tersengal-sengal
14. Catat perubahan pada saturasi oksigen dan nilai gas darah arteri
15. Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk meningkatkan pola
napas. Spesifikan teknik yang digunakan, misal:napas dalam .
16. Ajarkan cara batuk efektifDiskusikan perencanaan perawatan di rumah (pengobatan,
peralatan) dan anjurkan untuk mengawasi dan melapor jika ada komplikasi yang
muncul.
17. Rujuk pada ahli terapi pernapasan untuk memastikan keadekuatan ventilator mekanis
18. Laporkan adanya perubahan sensori, bunyi napas, pola pernapasan, nilai AGD,
sputum, dst, sesuai kebutuhan atau protokol.
19. Berikan tindakan(misal pemberian bronkodilator) sesuai program terapi
20. Berikan nebulizer dan humidifier atau oksigen sesuai program atau protokol
21. Berikan obat nyeri untuk pengoptimalan pola pernapasan, spesifikkan jadwal
22. Hubungkan dan dokumentasikan semua data pengkajian (misal: bunyi napas, pola
napas nilai AGD, sputum dan efek obat pada pasien)
23. Ajurkan pasien untuk napas dalam melalui abdomen selama periode distres
pernapasan
24. Lakukan pengisapan sesuai dengan kebutuhan untuk membersihkan sekresi
25. Minta pasien untuk pindah posisi, batuk dan napas dalam
26. Informasikan kepada pasien sebelum prosedur dimulai untuk menurunkan kecemasan
27. Pertahankan oksigen aliran rendah dengan nasal kanul, masker, sungkup. Spesifikkan
kecepatan aliran.
28. Posisikan pasien untuk mengoptimalkan pernapasan. Spesifikkan posisi.
9.Klasifikasi
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2016, hal. 185) efusi pleura dibagi menjadi 2 yaitu:
10.Komplikasi
Terjadi karena penumpukan cairan berlebih pada pleura yang dapat menekan paru dan
mengakibatkan kolaps.
1.Empyema
Terjadi karena penumpukan cairan pada pleura yang jika tidak segera di keluarkan akan
menjadi nanah (pus) yang mengakibatkan empyema.
1. Ketidak efektifan bersihan jalan napas b.d menurunnya ekspansi paru sekunder
terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura
2. Gangguan pertukaran gas b.d penurunan kemampuan ekspansi paru , kerusakan
membran alveolar kapiler
3. Terjadi ketidak efektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi paru sekunder
terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura
4. Terjadi ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak nafas
sekunder terhadap penekanan struktur abdomen
5. Adanya nyeri akut b.d proses tindakan drainase
6. Terjadi gangguan rasa nyaman b.d batuk yang menetap dan sesak nafas serta
perubahan suasana lingkungan
7. Resiko infeksi
8. Intoleransi aktifitas b.d ketidak seimbangan antara suplai oksigen dengan
kebutuhan, dyspneu setelah beraktifitas
9. Defisit perawatan diri b.d kelmahan fisik. (Nurarif & Kusuma, 2016, hal. 188)
c. Riwayat pengobatan
Mengenal obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu seperti,
pengobatan untuk effusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada, bedah
plerektomi, dan terapi diuretik (Padila, 2012, hal. 123)
1.Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
a. Kesadaran
b. Klien dengan efusi pleura biasanya akan mengalami keluhan batuk, sesak
napas, nyeri pleuritis, rasa berat pada dada, dan berat badan
menurun (Mutaqin, 2012, hal. 129)
c. Tanda-tanda vital
d. RR cenderung meningkat dan klien biasanya dipsneu, vokal premitus
menurun, suara perkusi redup sampai pekak bergantung pada jumlah cairanya
auskultasi suara napas menurun sampai menghilang, egofoni. (Seomantri,
2012, hal. 110)
2. Body System
a. Sistem pernafasan
b. Inspeksi : peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan yang disertai
penggunaan otot bantu pernapasan. Gerakan pernapasan ekspansi dada yang
tidak simetris (pergerakan dada tertinggal pada sisi yang sakit), iga melebar,
rongga dada asimetris (cembung pada sisi yang sakit). Pengkajian batuk yang
produktif dengan sputum purulen.
c. Palpasi : perdorongan mediastinum ke arah hemithoraks kontralateral yang
diketahui dari posisi trakhea dan ictus cordis. Taktil fremitus menurun
terutama untuk penumpukan cairan pada rongga pleura yang jumlah cairannya
>300 cc. Di samping itu, pada saat di lakukan perabaan juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
d. PerkusiPerkusi : suara perkusi redup sampai pekak tergantung dari jumlah
cairannya.
e. Auskultasi : pada saat di lakukan auskultasi dengan stetoskop suara napas
menurun sampai tidak terdengar pada sisi yang sakit. Pada posisi duduk,
cairan semakin ke atas semakin tipis. (Mutaqin, 2012, hal. 129)
3. Sistem kardiovaskular
a. Pada saat dilakukan inspeksi, perhatikan letak ictus cordis normal yang berada
pada ICS 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini
bertujuan utuk mengetahui ada tidaknya pergeseran jantung.
b. Palpasi dilakukan untuk menghitung frekuensi jantung (heart rate) dan harus
memerhatikan kedalaman dan terartur tidaknya denyut jantung. Selain itu,
perlu juga memeriksa adanya thrill, yaitu getaran ictus cordis. Tindakan
perkusi dilakukan untuk menentukan batas jantung daerah mana yang
terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan apakah terjadi
pergeseran jantung karena perdorongan cairan efusi pleura.
c. Auskultasi dilakukan untuk menentukan bunyi jantung I dan II tunggal atau
gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung,
serta adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi
darah. (Mutaqin, 2012, hal. 130)
4. Sistem persarafan
a. Pada saat dilakukannya inspeksi, kaji tingkat kesadaran setelah dilakukan
pemeriksaan GCS untuk menentukan apakah klien berada dalam keadaan
compos mentis, somnolen, atau koma. Selain itu, kaji fungsi-fungsi sensorik
seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, dan
pengecapan. (Mutaqin, 2012, hal. 130)
5. Sistem perkemihan
a. Pengukuran volume output urine dilakukan dalam hubungannya dengan
volume intake cairan. Perawat perlu meminitor adanya oliguria, karena itu
merupakan tanda awal syok (Mutaqin, 2012, hal. 130)
6. Sistem pencernaan
a. Pada saat melakukan inspeksi perhatikan abdomen apakah membuncit atau
datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilikus menonjol atau tidak, selain itu
inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa. Pada klien biasanya
didapatkan indikasi mual dan muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan
berat badan. (Mutaqin, 2012, hal. 130)
7. Sistem integument
a. Klien dengan efusi pleura pada kulit nampak terlihat pucat, sianosis,
berkeringat, krepitasi subkutan(Padila, 2012, hal. 125).
8. Sistem muskulo skeletal
a. Pada pasien efusi perhatikan apakah ada edema peritiabial, feel pada kedua
ekstremitas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer, serta dengan
pemeriksaan capilarry refill time. Kemudian lakukan pemeriksaan kekuatan
otot untuk membandingkan antara bagian kiri dan kanan.(Mutaqin, 2012, hal.
130)
9. Sistem endokrin
a. Pada pasien dengan efusi pleura tidak di temukan gangguan pada sistem
endokrin(Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 216).
10. Sistem reproduksi
a. Pada efusi pleura tidak di temukan gangguan atau gejala pada sistem
reproduksi(Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 126).
11. Sistem pengindraan
a. Pada efusi pleura tidak di temukan kerusakan pada indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, dan pengecapan(Mutaqin, 2012, hal. 130).
12. Sistem imun
a. Pada efusi pleura terjadinya peningkatan tekanan pada kapiler subpleura atau
limfatik (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 212).
13. Pemeriksaan penunjang
14. Pemeriksaan radiologi (Rontgen dada), pada permulaan didapati menghilangnya sudut
kostofrenik. Bila cairan lebih 300ml, akan terlihat cairan dengan permukaan
melengkung. Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum.(Nurarif & Kusuma, 2016,
hal. 187)
1. Penata laksanaa
2. Tirah baring
a. Tirah baring bertujuan untuk menurunkan kebutuhan oksigen karena
peningkatan aktivitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga dipsneu
akan semakin meningkat pula.
3. Thorakosentesis
a. Drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala subjektif seperti nyeri
dipsneu, dan lain-lain. Penumpukan cairan sebanyak 1-1,5 liter perlu
dikeluarkan segera untuk mencegah meningkatnya edema paru. Jika jumlah
penumpukan cairan lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutnya baru
dapat dilakukan 1 jam kemudian.
4. Antibiotik
a. Pemberian antibiotik diberikan apabila terbukti terdapat adanya infeksi.
Antibiotik diberikan sesuai dengan hasil kultur kuman. Antibiotik yang
digunakan adalah doxycyline, golongan antibiotik tetrasiklin, dosis yang
diberikan jika infeksi biasa adalah 200 mg sebanyak 1 kali, dan di lanjuktan
100mg per hari. Jika infeksinya parah di berikan 200mg per hari.
5. Pleurodosis
a. Pada efusi karena keganasan dan efusi rekuren lain, diberikan obat (tetrasiklin,
kalk, dan biomisin) melalui selang interkostalis untuk melekatkan kedua
lapisan pleura dan mencegah cairan terakumulasi kembali. (Nurarif &
Kusuma, 2016, hal. 187).
2.Diagnosa keperawatan
Penyebab :
1.
Depresi pusat pernapasan
2.
Hambatan upaya napas (mis. Nyeri saat bernafas, kelemahan otot pernapasan)
3.
Deformitas didnding dada
4.
Deformitas tulang dada
5.
Gangguan neuromuscular
6.
Gangguan neurologis (mis. Elektroensefalogram (EEG) positif, cidera kepala,
gangguan kejang)
7. Imaturitas neurologis
8. Penurunan energi
9. Obesitas
10. Posisi tubuh yang menghambat ekstansi paru
11. Sindrom hipoventilasi
12. Kerusakan inervasi diagrama (kerusakan saraf C5 keatas)
13. Cidera pada medula spinalis
14. Efek agen farmakologis
15. Kecemasan
Gejala dan tanda mayor
Subjektif
a. Dipsnea
Objektif
subjektif
a. ortopnea
objektif
a. Pernapasan pursed-lip
b. Pernapasan cuping hidung
c. Diameter thoraks anterior-posterior meningkat
d. Ventilasi semenit menurun
e. Kapasitas vital menurun
f. Tekanan ekspirasi menurun
g. Eksrusi dada beruban
Penyebab :
Fisiologis
1. Merokok aktif
2. Merokok pasif
3. Terpajan polutan
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
1. Intoleransi aktivitas
Definisi: keridakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Penyebab :
Subjektif
a. Mengeluh lelah
Objektif
a. Anemia
b. Gagal jantung kongestif
c. Penyakit jantung koroner
d. Penyakit katup jantung
e. Aritmia
f. Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK)
g.Gangguan metabolik
h.Gangguan muskuloskleletal
(SDKI, 2017, hal. 128)
3.Intervensi
1. Pola napas tidak efektif
Tujuan : pola pernapasan efektif, yang di buktikan oleh status pernapasan, status
ventilasi dan pernapasan yang tidak terganggu, kepatenan jalan napas, dan tidak ada
penyimpangan tanda vital dari rentang normal.
2. Kriteria hasil :
3. menunjukkan status pernapasan : ventilasi tidak terganggu, yang dibuktikan oleh
indikator gangguan sebagai berikut (sebutkan 1-5 : gangguan eksterm, berat, sedang,
ringan, tidak ada gangguan): kedalam inspirasi dan kemudahan bernapas, ekspansi
dada simetris
4. menunjukkan tidak adanya gangguan status pernapasan : ventilai, yang di buktikan
oleh indikator berikut (sebutkan 1-5 gangguan eksterm ,berat, sedang, ringan, tidak
ada gangguan): penggunaan otot eksesorius, suara napas tambahan, pendek napas
pasien akan :
Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
Pada umumnya, tindakan keperawatan untuk diagnosis ini berfungsi pada pengkajian
penyebab ketidakefektifan pernapasan, pemantulan status pernapasan, penyuluhan mengenai
penatalaksanaan mandiri terhadap alergi, membimbing pasien untuk memperlambat
pernapasan dan mengendalikan resspons dirinya, membantu pasien menjalani pengobtan
pernapasan, dan menenangkan pasien selama perisode dipsnea dan napas pendek.
Pengkajian
Aktivitas kolaboratif
3. Pasien akan :
a. Batuk efektif
b. Mengeluarka sekret secara efektif
c. Mempunyai jalan napaas yang efektif
d. Pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih
e. Mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal
f. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
g. Mamu mendeskripsikan rencana untuk perawatan di rumah
(Wilkinson, Ahern, Judith, & Nancy, 2013, hal. 39)
Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
Aktivitas kolaboratif
1. Intoleransi aktivitas
Tujuan : menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan yang dibutuhkan oleh
toleransi aktivitas, ketahanan, penghematan energi, kebugaran fisik, energy
psikomotorik, dan perawatan diri, aktivitas kehidupan sehari-hari (dan AKSI)
Kriteria hasil :
1. Menunjukkantleransi aktivitas, yang dibuktikan oleh indkator sebagai berikut
(sebutkan 1-5 gangguan eksterm, berat, sedamg, ringan atau tidak mengalami
gangguan): saturasi oksigen saat berktivitas, frekuensi pernapasan saat
beraktivitas, kemampuan untuk bericara saat beraktivitas fisik
2. Mendemonstrasikan penghematan energi, yang dibuktikan oleh indikator
sabagai berikut (sebutkan 1-5 tidak pernah, jarang,, kadang-kadang, sering, atau
selalu di tampilkan): menyadari keterbatasan energi, menyeimbangkan aktivitas
dan istirahat, mengatur jadwal aktivitas untuk menghemat energi
Pasien akan :
Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
Pengkajian
1. Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri,
ambulasi, dan melakukan AKS dan AKSI
2. Kaji respons emosi, sosial, dan spiritual terhadapp aktivitas
3. Evaluasi motivasi dan keinginan pasian untuk meningkatkan aktivitas
4. Manajemen energy (NIC):
5. Tentukan penyebab keletihan (misalnya, denyut nadi, irama jantung, dan
frekuensi pernapasan) terhadap aktivitas perawatan diri atau aktivitas
keperawatan
6. Pantau respon kardiorespiratori terhadap aktivitas (mislanya takkiradia,
disritmia lain, dipsnea, diaforesis, pucat, tekanan hemodinamik, dan frekuensi
pernapasan )
7. Pantau reson oksigen pasien (misalnya, denyut nadi, irama jantung, dan
frekuensi pernapasan) terhadap aktivitas perawatan diri atau aktivtas
keperawatan
8. Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi yang adekuat
9. Pantau dan dokumentasikan pola tidur pasien dan lamnya waktu tidur dalam
jam
10. Penyuluhan untuk pasien/keluarga
Instrusikan pada pasien dan keluarga dalam :
Aktivitas kolaboratif
1. Berikan pengobatan nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri merupakan salah sat
faktor penyebab
2. Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik (mislnya, untuk pelatihan
ketahanan) atau rekreasi untuk mrencanakan dan memantau program aktivitas,
jika perlu
3. Untuk paisien yang mengalami sakit jiwa, rujuk ke layanan kesehatan jiwa
4. Rujuk pasien ke pelayanan kesehatan rumah untuk mendapatkan pelayanan
bantuan perawatan rumah, jika perlu
5. Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet guna meningkatkan asupan
makanan yang kaya energi
6. Rujuk pasien ke pusat rehabilitasi jantung jika keletihan berhubungan dengan
penyakit jantung. (Wilkinson, Ahern, Judith, & Nancy, 2013, hal. 26-27)
Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan
seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil
dicapai (nursalam,2006). Evaluasi merupakan kegiatan yang membandingkan antara hasil
implementasi dengan kreteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat
keberhasilannya (Hidayat, 2005).
Pada tahap ini ada dua evaluasi yang dapat dilaksanakan oleh perawat, yaitu evaluasi formatif
yang bertujuan untuk menilai hasil implementasi secara bertahap sesuai dengan kegiatan
yang dilakukan sesuai kontrak pelaksanaan dan evaluasi sumatif yang bertujuan menilai
secara keseluruhan terhadap pencapaian diagnosa keperawatan apakah rencana diteruskan,
diteruskan sebagian, diteruskan dengan perubahan intervensi, atau dihentikan (Suprajitno,
2007).
Apabila dalam penilaian, tujuan tidak tercapai maka perlu dicari penyebabnya. Hal ini dapat
terjadi karena beberapa faktor :
a. Tujuan tidak realitas