Anda di halaman 1dari 45

PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

FARMAKOTERAPI CANCER
A. KASUS
(Terlampir)
B. PENYELESAIAN KASUS
1. Patofisiologi
Adenocarcinoma Paru (IVB)
Adenocarcinoma Paru merupakan suatu kanker paru jenis karsinoma bukan sel
kecil (kpkbsk) yang secara histopatologis tampak sebagai nodul soliter berbentuk round
atau lobulated. Tepinya ireguler dan berspikula, sebagai akibat adanya invasi ke
parenkim disertai respons fibrosis. Lokasinya 75% di perifer paru, sebagian besar
didapatkan pada lobus superior, namun sering didapatkan pada bagian paru dengan
jaringan parut lokal atau fibrosis interstitial kronik yang sudah ada sebelumnya,
sehingga diduga proses radang menahun merangsang pembentukannya (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2002).
Pasien mempunyai riwayat penyakit TB, TB merupakan penyakit infeksi oleh
bakteri yang berisfat kronik yang dapat mengakibatkan peradangan jaringan paru dalam
jangka waktu yang lama yang mengakibatkan fibrosis intersitial kronik. Fibrosis
intersitial kronik dan perdangan menahun merupakaan pemicu pembentukan
adenocarcinoma paru (Molina JR,, 2008).

(Molina JR,, 2008).

Stadium berdasarkan TNM (ukuran tumor, keterlibatan node limfa sekitar,


metastase), diaplikasikan pada semua jenis karsinoma paru, kecuali pada karsinoma
paru sel kecil yang memiliki stadium tersendiri (Porta, 2009).

(Porta, 2009)
Stadium kanker pasien berdasarkan TNM adalah stadium IVB, yang berarti
telah terjadi metastase, ukuran tumor yang cukup besar dan dijumpai keterlibatan nodus
limfa disekitar jaringan kanker (Porta, 2009).
Efusi Pleura
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan melebihi volume normal dalam rongga
pleura dan menimbulkan gangguan jika cairan yang diproduksi oleh pleura parietal dan
viseral tidak mampu diserap oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah mikropleura
visceral atau sebaliknya yaitu apabila produksi cairan melebihi kemampuan penyerapan
(Putnam, 2002).

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).


Pada keadaan normal ruangan interpleura terisi sedikit cairan untuk sekedar
melicinkan permukaan kedua pleura parietalis dan viseralis yang saling bergerak karena
pernapasan. Cairan disaring keluar pleura parietalis yang bertekanan tinggi dan di serap
oleh sirkulasi di pleura viseralis yang bertekanan rendah. Di samping sirkulasi dalam
pembuluh darah, pembuluh limfe pada lapisan subepitelial pleura parietalis dan viseralis
mempunyai peranan dalam proses penyerapan cairan pleura tersebut (Antunes, 2003).
Efusi pleura dapat berbentuk transudat, terjadi karena penyakit lain bukan
primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hepatis, syndrome nefrotik, dialysis
peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva,
keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks. Efusi eksudatif terjadi bila ada proses
peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat

sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran
cairan kedalam rongga pleura (Putnam, 2002).
Hubungan Adenocarcinoma Paru Dengan Efusi Pleura
Efusi pleura dapat terjadi akibat jaringan neoplastic pada paru. Akumulasi
cairan di rongga pleura terjadi akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah karena
reaksi inflamasi oleh infiltrasi sel kanker pada pleura parietal dan viseral. Mekanisme
yang lain adalah invasi langsung sel tumor yang berdekatan dengan pleura, obstruksi
pada kelenjar limfe dan gangguan absorbsi oleh pembuluh limfe pleura parietal
(Antunes, 2003).

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)


Pada kanker paru stadium IV yang disertai M1b, kanker dapat
bermetastase ke pleura sehingga menyebabkan efusi pleura. Selain itu, penyumbatan
nodus limfa disekitar jaringan paru oleh kanker dapat memperparah kondisi efusi pleura
tersebut (Antunes, 2003).

2. SOAP
a. Subjective
Nama Pasien

: Tn. R

TB / BB

:-

Usia

: 54 tahun

Jenis Kelamin

:L

No. RM

: 728xxx

Alamat

: Tegal

Riwayat pribadi/keluarga

:-

Status

: Umum

Ruang/klas

:-

Tanggal MRS

: 18 Januari 2014

Tanggal KRS

: 25 Januari 2014

Riwayat Penyakit saat MRS

: Sesak Nafas 2 minggu, makin berat jika


beraktivitas

Riwayat penyakit terdahulu

: TB Paru

Riwayat alergi

:-

Life Style

: Merokok

Dokter

:-

Diagnosa

: Adeno Ca Paru (IV B) endstage + efusi pleura

b. Objective
Parameter Penyakit
TTV 18/01 19/01

TD

190/
140

190/
140

88

80

20/01

21/01 22/01 23/01 24/01 25/01

Nilai
Normal

Keterangan

NAIK pada
tanggal 18 dan
100-140 /
19.
160/100 140/90 140/90 140/80 110/80 120/80 60-90
Turun hingga
mmHg
Normal pada
tanggal 20-25.
60-100
80
80
80
100
100
96
NORMAL
x/mnt

RR

32

28

20

24

20

26

28

22

Suhu

36

36

36,3

36,3

36,3

36,6

36,5

36,2

NAIK pada
tanggal
16-20
18,19,21,23,24
x/mnt NORMAL pada
tanggal 22 dan
25
36-37 C
NORMAL

Penjelasan:
1. RR Meningkat
Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura,
cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Cairan dalam jumlah yang
berlebihan dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi peregangan paru
selama inhalasi (Susan Martin Tucleer, dkk, 1998).
Kejadian efusi pleura yang cukup tinggi apalagi pada penderita keganasan
jika tidak ditatalaksana dengan baik maka akan menurunkan kualitas hidup
penderitanya dan semakin memberatkan kondisi penderita. Paru-paru adalah bagian
dari sistem pernapasan yang sangat penting, gangguan pada organ ini seperti
adanya efusi pleura dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan bahkan dapat
mempengaruhi kerja sistem kardiovaskuler yang dapat berakhir pada kematian
(Somantri, Irman, 2008).
Luas efusi pleura yang mengancam volume paru-paru, sebagian akan
tergantung atas kekuatan relatif paru-paru dan dinding dada. Dalam batas
pernapasan normal, dinding dada cenderung rekoil ke luar sementara paru-paru
cenderung untuk rekoil ke dalam (paru-paru tidak dapat berkembang secara
maksimal melainkan cenderung untuk mengempis) (Somantri, Irman, 2008).
Pemeriksaan fisik pada sistem respirasi, inspeksi pada pasien efusi pleura
bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar,
pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax
kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung
meningkat dan Pernapasannya biasanya dyspneu. Ketidakefektifan pola pernafasan
berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan
cairan dalam rongga pleura (Susan Martin Tucleer, dkk, 1998).

2. Tekanan Darah Meningkat


Pada umumnya, efusi terjadi karena penyakit pleura hampir mirip plasma
(eksudat) sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat plasma
(transudat). Efusi dalam hubungannya dengan pleuritis disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas pleura parietalis sekunder (efek samping dari)
peradangan atau keterlibatan neoplasma. Contoh bagi efusi pleura dengan pleura
normal adalah payah jantung kongestif. Pasien dengan pleura yang awalnya normal
pun dapat mengalami efusi pleura ketika terjadi payah/gagal jantung kongestif.
Ketika jantung tidak dapat memompakan darahnya secara maksimal ke seluruh
tubuh terjadilah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler yang selanjutnya
menyebabkan hipertensi kapiler sistemik. Cairan yang berada dalam pembuluh
darah pada area tersebut selanjutnya menjadi bocor dan masuk ke dalam pleura.
Peningkatan pembentukan cairan dari pleura parietalis karena hipertensi kapiler
sistemik dan penurunan reabsorbsi menyebabkan pengumpulan abnormal cairan
pleura (Price, Sylvia & Loraine, Wilson, 2006).
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan

Satuan

18/01

Nilai

Keterang

Normal

an

Hb

gr/dL

14,1

12-15,2

Normal

Leukosit

/L

8700

3400-10000

Normal

Hematokrit

40

35-45

Normal

Eritrosit

106/ L

4,5

4,2-5,6

Normal

Trombosit

/L

279000

150000-

Normal

400000
MCV

fl

89,5

80-100

Normal

MCH

Pg

31,6

26-34

Normal

MCHC

35,3

32-36

Normal

RDW

12,8

11,5-14,5

Normal

MPV

fl

11,9

6,5-11,0

NAIK

Basofil

0,2

0-1

Normal

Eosinofil

0,1

1-4

TURUN

Batang

2-6

TURUN

Segmen

69,1

50-70

Normal

Limfosit

19,9

20-40

Normal

Monosit

10,7

4-6

NAIK

SGOT

/L

39

0-35

NAIK

SGPT

/L

26

7-35

Normal

Ureum Darah

mg/dL

31,7

10-50

Normal

Kreatinin Darah

mg/dL

0,95

0,6-1,3

Normal

Glukosa sewaktu

mg/dL

114

<200

Normal

Asam Urat

mg/dL

9,5

2,4-7,4

NAIK

Penjelasan:
1. MPV Meningkat
Peningkatan mean platelet volume (MPV) menunjukkan terjadinya infeksi invasif
atau infeksi yang tidak responsif terhadap obat (antibiotik). Peningkatan MPV dapat
terjadi pada keadaan inflamasi akut. MPV yang tinggi merupakan petanda
peningkatan produksi trombosit atau mungkin sebagai kompensasi untuk
mempercepat penghancuran platelet (Gunawan, et al., 2010).
2. Eosinofil Menurun
Penurunan eosinofil menandakan penyakit kronis akibat infeksi oleh virus dimana
sistem imun yang bekerja optimal dalam tubuh pasien (Provan, D., Krentz, A.,
2002).
3. Batang Menurun
Penurunan persentase neutrofil, dapat disebabkan oleh penurunan produksi
neutrofil, peningkatan kerusakan sel, infeksi bakteri, infeksi virus, dan infeksi berat.

Inflamasi yang terjadi dekat dengan pleura dapat meningkatkan permeabilitas sel
mesotelial, yang merupakan lapisan sel terluardari pleura. Sel mesotelial yang
terkena meningkat permeabilitasnya terhadap albumin dan protein lainnya. Suatu
efusi pleura merupakan infeksi kaya akan protein. Mediator kimia dari proses
inflamasi menstimulasi mesotelial untuk melepas kemokin, yang merekrut sel
inflamasi lain. Sel mesotelial memegang peranan penting untuk menarik neutrofil
ke celah pleura. Neutrofil ditemukan pada cairan pleura hanya jika direkrut sebagai
bagian dari suau proses inflamasi. Neutrofil meningkatkan respon inflamasi dan
mengeleluarkan mediator untuk menarik sel-sel inflamator lainya ke dalam pleura
(Anonim, 2011).
4. Monosit Meningkat
Sel cairan pleura didominasi oleh monosit. Infeksi tertentu (misalnya tuberkulosis),
kanker dan kelainan sistem kekebalan bisa meningkatkan jumlah monosit.
Tuberkulosis merupakan penyebab utama monositosis. Peran monosit pada
tuberkulosis telah banyak diteliti. Monosit berperan penting dalan respon imun
pada infeksi tuberkulosis. Monosit berperan dalam reaksi seluler terhadap bakteri
tuberkulosis. Sebagian fosfolipid mikobakterium tuberkulosis mengalami degradasi
dalam monosit dan makrofag yang menyebabkan transformasi sel-sel tersebut
menjadi sel epiteloid. Monosit merupakan sel utama dalam pembentukan tuberkel.
Aktivitas pembentukan tuberkel ini dapat tergambar dengan adanya monositosis
dalam darah. Monositosis dianggap sebagai petanda aktifnya penyebaran
tuberkulosis. Adanya monositosis menunjukkan prognosis yang kurang baik (Mc
Curlery TL, Greer JP., 1999 dan Stevens ML., 1997).
5. SGOT meningkat
Enzim aspartat aminotransferase (AST) juga dikenal dengan nama serum glutamic
oksaloasetat transaminase (SGOT) dan biasanya ditemukan dalam keragaman
jaringan yang meliputi jantung, hati, ginjal, otak dan otot. Ketika salah satu dari
jaringan ini rusak, maka dilepaskan ke serum. Misalnya, karena ganguan atau
penyakit jantung atau dengan gangguan otot maka volume dalam serum meningkat.
Jadi meningkatnya nilai SGOT dalam aliran darah bukan merupakan indikator

tertentu dari luka hati. Bisa saja menjadi indikator penyakit lainnya (Najmuddin,
Djamilah, 2013).
6. Asam Urat Meningkat

Pada gambar tersebut terlihat bahwa peningkatan kadar asam urat serum
memiliki efek pada ginjal dan pembuluh darah. Hiperurisemia menyebabkan: 1)
penurunan NO dan peningkatan ROS, 2) inflamasi vaskuler dan proliferasi otot
polos, 3) peningkatan produksi renin, dan 4) lesi vaskuler pada ginjal (Heinig dan
Johnson, 2006; Feig et al., 2008). Proliferasi otot polos terjadi akibat aktivasi
mitogen spesifik oleh asam urat. Walaupun otot polos tidak memiliki reseptor untuk

asam urat, asam urat tetap dapat masuk ke dalam sel dengan bantuan organic anion
transporter (OAT). Setelah masuk ke dalam sel otot polos, asam urat mengaktifkan
protein kinase (Erk 1/2). Selanjutya Erk 1/2 akan menginduksi sintesis de novo dari
COX-2 dan tromboksan lokal serta mengatur up regulation PDGF A (platelet
derived growth factor A). Hasil akhir proses tersebut adalah aktivasi mitogen
spesifik yang menyebabkan proliferasi sel (Johnson et al., 2003).
Asam urat juga menyebabkan akumulasi kristal urat di sekitar plak
atherosklerosis yang telah terbentuk. Kristal urat tersebut dapat mengaktifkan
komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen mengakibatkan berbagai efek
biologis seperti inflamasi, kemotaksis, opsonisasi, dan aktivitas sitolitik. Asam urat
juga akan menstimulasi sintesis MCP-1 (monocyte chemoattractant protein-1) pada
otot polos. Caranya adalah dengan mengaktivasi p38 MAP kinase, faktor transkripsi
nuklear, NF-KB, dan AP-1. MCP-1 sendiri merupakan kemokin yang berperan
penting dalam penyakit vaskular dan atherosclerosis. Akibat dari mekanisme
tersebut adalah peningkatan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-, IL-1,
dan IL-6. IL-6 yang juga dikenal sebagai hepatocyte stimulating factor merangsang
hepatosit untuk memproduksi HCRP. HCRP menurunkan produksi NO dengan cara
menghambat enzim nitrit oksidase sintase (eNOS) (Bratawidjaja, 2002; Johnson et
al., 2003; Purwanto, 2009).
Hiperurisemia akan menyebabkan perubahan mikrovaskuler pada ginjal
yang mirip dengan gambaran arteriosklerosis pada hipertensi esensial. Lesi vaskuler
tersebut menyebabkan iskemia. Selanjutnya iskemia menyebabkan pelepasan laktat
dan peningkatan produksi asam urat. Laktat sendiri bersifat menghambat sekresi
asam urat dengan mengeblok organic anion transporter. Peningkatan produksi
asam urat terjadi karena iskemi menyebabkan pemecahan ATP menjadi adenosin
dan xathine. Kondisi hiperurisemia meningkatkan aktivitas enzim xathine oksidase.
Padahal enzim tersebut juga membentuk superoksida sebagai akibat langsung
aktivitasnya. Peningkatan jumlah oksidan menyebabkan stress oksidatif yang
semakin menurunkan produksi NO dan memperparah disfungsi endotel yang
terjadi. Lesi pada vaskuler ginjal ini akan memicu terjadinya salt sensitive
hypertension yaitu peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi pada konsumsi

jumlah natrium yang sama. Kondisi ini menetap meskipun hiperurisemia telah
dikoreksi dan diberikan diet rendah garam (Johnson et al., 2003; Heinig and
Johnson, 2006; Feig et al., 2008).
Pemeriksaan Cairan Pleura
parameter

18/01

Nilai normal

Fisis :

keterangan
eksdudat

Warna

Kuning tua

Jernih

Keruh

Bekuan

Berat jenis

1,015

Jumlah sel

14000

1000-2000

mikro/L
Hitung jenis:
Limfosit

74,0%

Segmen

26,0%

Tes rivalta

Glukosa

126 mg/dL

2-30 %

Meningkat

eksudat
Sama dengan

meningkat

glukosa serum
Protein

6,4 mg/dL

1-2 mg/dL

meningkat

Cairan pleura keruh dan berwarna kuning tua (gelap), nilai protein > 3
gr/dL, tes rivalta positif menunjukan jenis cairan pleura adalah eksudat. Eksudat
terjadi karena adanya peradangan. Eksudat terbentuk apabila lapisan kapiler atau
membrane rusak oleh proses peradangan atau neoplastik. Akibatnya protein
berukuran besar dan konstituen darah lainnya bocor keluar untuk masuk ke jaringan
dan rongga tubuh. Pada peradangan aktif, kandungan protein pada cairan ini

meningkat. Nilai limfosit pada cairan pleura meningkat dapat menunjukan bahwa
penyebab terjadinya efusi pleura ini disebabkan karena adanya infeksi TB ,
neoplasma (Ahmad, et al., 2009)
Pemeriksaan penunjang
Nama Pemeriksaan

Hasil

Foto thorax klinis :

COR tidak membesar

Efusi pleura dupleks

Tampak peningkatan vaskuler paru


Perselubungan homogeny
hemitoraks kanan
Hemidiafragma kanan tertutup
perselubungan, kiri setinggi kosta
10 posterior
Sinus kostofrenikus kanan tertutup
perselubungan, kiri suram curiga
adanya efusi pleura kiri

Efusi pleura (duplex) ditandai dengan tampaknya perselubungan homogen


di sinus costofrenicus kanan dan kiri dengan garis Ellis Dammeseou (garis
meniscus bila efusi sedikit) serta tampak perselubungan homogen hemithorax
kanan. Perselubungan ini menggambarkan adanya cairan pleura pada bagian paruparu tersebut (Collins, Janette et al., 2007).
c. Assessment
Diagnosa pasien : Adeno Ca Paru (IV B) endstage + efusi pleura
Guideline

:Guideline terapi malignant pleural effusion

(Zarogoulidis et al.,2013)
Guideline terapi Carsinoma paru (NSCLC) stage IV

PCb = Paclitaxel dan Carboplatin.


(Dipiro et al.,2008)
Besar regimen dosis

(Dipiro, 2008)

DRP
No Problem

Paparan Problem

Rekomendasi

Wrong dose
(Under Dose)

Penggunaan Bleomysin

Jika pasien menggunakan


bleomisin, maka dosisnya
diubah menjadi 60 unit
dalam 100 ml D5% satu
kali sehari. Namun
bleomisin tidak digunakan
pada saran terapi.

Wrong drug

Penggunaan Infus RL

2.

Bleomysin merupakan
antibiotik glikopeptida
citotoksik yang bekerja dengan
menghambat sintesis DNA sel.
Saat Bleomysin digunakan
untuk mengatasi efusi pleura,
dosis yang dianjurkan adalah
50-60 unit yang dilarutkan
dalam 50-100 ml larutan D5%
atau NaCl 0,9% (Tatro, 2003).
Namun dosis yang digunakan
hanya 30 unit.

Pasien menerima IV admixture


berupa Infus D5% mix RL.
Padahal diketahui bahwa infus
RL dapat memperparah
keadaan hipertensi pasien
karena memiliki kandungan
laktat, Na dan Cl yang tinggi,
sehingga dapat menimbulkan
nyeri dada dan meningkatkan
TD (Baxter, 2006)
3

Wrong drug
(Innapropriate
drug)

Penggunaan ranitidin p.o


Pada tanggal 25, pasien

Hanya digunakan infus


D5% untuk pasien dengan
dosis 20 tpm.

Pasien dianjurkan
menggunakan obat anti
mual muntah

Untrated
indication

mendapatkan terapi obat


kemoterapi berupa pemberian
bleomisin. Diketahui bahwa
efek samping dari bleomisin
adalah mual muntah (tatro,
2003), namun pasien hanya
diberi ranitidin untuk
mengatasi mual muntah ini,
padahal ranitidin tidak
diindikasikan untuk mual
muntah pada kemoterapi.

Ondansentron selama
mendapat kemoterapi.
Ondansentron dirasa
paling tepat mengatasi
mual muntah akibat
kemoterapi (tatro, 2003)

Indikasi Ca paru dan efusi


pleura yang tidak diobati.

Indikasi ca Paru diterapi


dengan kombinasi
paclitaxel dan carboplatin.

Sejak tanggal 18-24, pasien


tidak menerima pengobatan
terkait Ca paru dan efusi pleura
yang diderita. Baru pada
tanggal 25 pasien diberi
bleomisin yang diketahui untuk
mengatasi Ca paru dan efusi
pleuranya.

Indikasi effusi pleura


ditangani dengan
pemberian talcum steril
yang diinjeksikan
intrapleural.

5.

Wrong Drug

Penggunaan Inj. MP dinilai


kurang tepat dalam mengatasi
mual dan muntah pada pasien
kemo karena efektifitas dari
obat ini belum diketahui secara
pasti (Kris et al, 2006 dan
Haketh, 2008)

Diganti dengan
Dexametasone yang telah
banyak digunakan sebagai
terapi mual muntah dan
lebih efektif (Kris et al,
2006 dan Haketh, 2008).

6.

Wrong Drug

Injeksi antrain dinilai belum


dapat mengcover nyeri akibat
kemo yang dijalani pasien
sehingga dibutuhkan obat yang
lebih poten lagi

Dari vian yaaaa..

7.

Untreated
Indication

Data lab pasien menunjukkan


bahwa terjadi peningkatan
kadar asam urat sebanyak 2,1
mgdl. Dimana kadar asam urat

Diberikan allopurinol
untuk mengatasi
hyperurisemia pasien

yang tinggi ini merupakan


factor resiko terjadinya
hipertensi. Penurunan asam
urat akan disertai dengan
penurunan tekanan darah
sehingga hipertensi pada pasien
dapat terkontrol dengan
terlebih dahulu mengobati
penyebabnya (Feig et al, 2008)

d. PLAN
Tujuan Terapi
a. Meningkatkan kualitas hidup pasien
b. Menambah masa harapan hidup pasien
c. Menghilangkan keluhan pasien terkait sesak nafas yang dirasakan dengan
melakukan penghilangan cairan efusi pleura
d. Mencegah efusi pleura berulang
e. Menurunkan tekanan darah pasien sampai pada kisaran normal 120/80
mmHg

Terapi Farmakologi
Terapi MRS yang direkomendasikan untuk pasien adalah

NamaObat

Regimen
Dosis

Torakosestesi
s

Penyedotan
maksimal
1500 ml

Cefazolin
(brand:sefazo
l)

Pre-surgical
torakosentesi
s = 1gr 1 jam
sebelum
operasi.
Post-operatif
= 1 gr 3x1
selama 5 hari
20 tpm

IVFD D5%

1
8/1

19/1

20/1

21/1

22/1

23/1

24/1

25/1

Allopurinol

Tablet 100
mg 1 x sehari

Amlodipin

Tablet 5 mg 1
x sehari

Ondansentro
n

Tablet 24 mg
30 menit
sebelum
kemoterapi

Dexametason

Tablet 24 mg
30 menit
sebelum
kemoterapi

Dexametason

Tablet 8 mg
setelah kemo
1 x sehari

Pemberian O2 2 L/menit

Sprn.

Codein

Sprn.

30-60 mg qds
Dosis
maksimal
sehari: 240
mg

Paclitaxel
(Paxus)

290 mg

dalam 500 ml
inf. D5%

Carboplatin

600 mg

dalam 500 ml
inf. D5%

Delladryl
(Dipenhydra
mine HCl)

2 cc (20mg)
IM- 2 jam
sebelum
kemoterapi

Talk sterilfree asbestos

5 gram dalam
100 ml NaCl
Diberikan bila terjadi re-akumulasi cepat cairan pleura
for injection

Sebagai kemoterapi yang diberikan setiap 21


hari sekali.

Hanya diberikan sebelum kemoterapi

Lidocain

diberikan
intrapleural.

setelah dilakukan tindakan torakosentesis.

210 mg (3
mg/kgBB)

Diberikan sesaat sebelum pemberian agen pleurodesis


(pemberian talc steril) secara intrapleural

Terapi KRS yang direkomendasikan untuk pasien adalah


NamaObat

Regimen Dosis

Keterangan

Allopurinol

Tablet 100 mg 1 x
sehari

Untuk 7 hari terapi

Amlodipin

Tablet 5 mg 1 x
sehari

Untuk 7 hari terapi

Perhitungan Dosis Paclitaxel dan Carboplatin


Perhitungan LPT (luas permukaan tubuh)

tinggi (cm) xbobot( kg)


3600
170 x 60
=
3600
= 1,68 m2
=

1. Paclitacel
Dosis referensi : 175 atau 225mg/m2 untuk non small carcinoma (Dipiro, 2008)
Berdasarkan protocol, dosis yang diberikan kepada pasien :
175 mg/m2 = 175 mg x 1,68.= 294 mg
Sediaan Paxus yang digunakan : 100 mg/16,7 ml/ vial.
Untuk mendapat 294 mg Paxus maka dibutuhkan :
= 294 mg/100 mg/vial= 2,94 vial~ 3 vial
94 100
=
Untuk dosis 94 mg maka diambil :
x 16,7
X = 15,7 ml
sehingga dari 1 vial Paxus dibuang 1 ml dan volume 15,7 ml dilarutkan dengan D5%
bersama dengan 2 vial lainnya.
Volume pelarut NaCl yang digunakan untuk melarutkan 290 mg paxus adalah 500 ml
infus D5%
Konsentrasi Paxus dalam infuse D5%
294 mg
mg
=0,58
500 ml
ml
Konsentrasi Paxus dalam infuse NaCl adalah sebesar 0,58 mg/ml masihmasuk dalam
range yang diperbolehkan yaitu 0,3-1,2 mg/ml (PDPI, 2003)
2. Carboplatin

Dosis referensi : AUC 6 mcg*h/mL IV day (Tatro,2008)


Dosis untuk Carboplatin dihitung dengan Calvert Formula yaitu perhitungan dosis
yang didasarkan pada Clcr (Clcr dalam ml/menit)
(target AUC) = Dosis (Mg) x (Clcr +25)
( 140umur ) x BB
Clcr=
72 x Scr
( 14054 ) x 60
Clcr=
=75,4 ml /menit
72 x 0,95
AUC = 6 x (75,4 +25) = 602,4 mg 600 mg
Sediaan yang digunakan 150 mg/15 ml/vial 600 mg/150 = 4 vial
Volume infuse D5 yang digunakan untuk melarutkan 4 vial Carboplatin adalah sebanyak
500 ml infus D5% sehingga konsentrasi Carboplatin dalam infuse = 600 mg/500 ml = 1,2
mg/ml.
Konsentrasi sudah sesuai dengan rekomendasi PDPI (2008) yang mempersyaratkan
konsentrasi minimal adalah 0,5 mg/ml
Saran cara pemberian kombinasi paclitaxel + carboplatin menurut PDPI (2008)

Dalam saran terapi yang diberikan, primperan sebagai antiemetik diganti dengan
ondansentron.
Alasan Penggunaan Obat :
1. IVFD Dextrose 5%
Pasien tidak menunjukan gejala dan parameter klinik yang
mengindikasikan adanya kekurangan cairan dan elektrolit. Terapi yang diberikan
sebelumnya adalah IVFD RL, hal ini dapat menyebabkan over resucitation. Overresucitation dapat menimbulkan hipoksia dan edema jaringan, memperberat kerja
ginjal, hepatic congestion dan injury, serta gangguan GI. Selain itu penggunaan RL
pada pasien dengan penyakit jantung perlu diwaspadai karena dapat memperparah
kondisi penyakit jantung tersebut (Smorenberg, 2013). Karenanya digunakan cairan
IVFD yang tidak mengandung elektrolit, yaitu IVFD dextrose 5% untuk membantu
mencukupi kebutuhan energi pasien. Selain itu, kadar GDS pasien cukup rendah

(114 mg/dl) sehingga pemberian dextrose 5% diharapkan dapat meningkatkan GDS


pasien.
IVFD D5% juga digunakan untuk melarutkan obat chemoterapi pasien
yaitu paclitaxel dan carboplatin dengan cara membuat IV admixture.
2. Pemberian O2
Pemberian oksigen nasal kanul sebesar 2L/menit merupakan terapi
penunjang karena pasien diketahui mengalami sesak nafas, dimana sesak yang
terjadi mungkin sangat terkait dengan dx efusi pleura pasien. Keadaan paru-paru
yang tertekan cairan pleura akan menyebabkan pasien susah bernafas dan terjadi
hipoksia, untuk mencegah hal tersebut maka diperlukan terapi penunjang berupa
pemberian O2 (Dewi, 2014).
3. Tindakan Torakosentesis untuk mengatasi efusi pleura.
Tindakan torakosentesis adalah suatu tindakan invasif ke rongga paru
pasien guna mengeluarkan kelebihan cairan pleura.tindakan ini dilakukan dengan
penyedotan cairan melewati suatu pipa. Penyedotan cairan yang dilakukan
maksimal adalah 1500 ml. Pipa yang dipasang pada intercostal pasien selain
berguna untuk melakukan penyedotan cairan, juga digunakan untuk jalan injeksi
agen skerotik seperti talc, karena diketahui bahwa tindakan penyedotan atau
torakosentesis ini sangat rentan terhadap terjadinya reakumulasi cairan pleura
(Robert et al.,2014).

4. Paclitaxel (paxus) plus carboplatin


Paclitaxel sebagai obat antikanker bekerja dengan cara mengikat tubulin dalam
sel sehingga menyebabkan terjadinya perakitan dan menghambat
pembongkaran mikrotubulus yang akhirnya akan mengganggu proes mitosis
sel (Tatro, 2003). Dosis : 135-175mg/m2 setiap 21 hari (dipiro, 2008) Efek
samping
Neutropenia
(90%),
Leucopenia(90%),
Trombositopenia,
MualMuntah (52%) ,Anemia (78%).
Carboplatin (Kalbe) Mekanisme Kerja : Bekerja dengan cara berikatan
silang dengan DNA sehingga menyebabkan hambatan pada proses replikasi
dan transkripsi DNA. Dosis: 400mg/m2 pada pasien yang belum pernah diterapi

sebelumnya. Efek samping : myellosupresi, diare, nausea dan vomiting,


penurunan klirenskreatinin
Alasan : Kombinasi 2 obat ini dipakai karena menurut Socinski (2013), pada
pasien NSCLC stage 4, yang digunakan adalah platinum-based chemotherapy
dima kombinasi 2 obat Paclitaxel+carboplatin termasuk didalamnya. Diperkuat
dengan Dipiro (2003) yang menyatakan bahwa paclitaxel+Carboplatin
merupakan kombinasi 2 obat yang digunakan untuk pasien stage IV dengan
respon terapi dan masa harapan hidup dalam 1 tahun yang paling tinggi
dibanding dengan kombinasi terapi lain. Selain itu, Stathopoulos (2004) juga
menyatakan bahwa kombinas paclitaxel-carboplatin merupakan terapi standar
lini pertama untuk NSCLC tingkat lanjut.
Bukti Jurnal:

5. Serbuk talc steril-bebas asbestos


Alasan penggunaan : Serbuk talc steril merupakan zat pleurodesis yang bekerja
sebagai agen sklerotik, yaitu suatu agen yang memicu suatu reaksi perlengketan
antara pleura parietalis dan vaseralis sehingga akan mencegah terakumulasinya
cairan pleura yang berulang. Cairan pleurodesis ini hanya diberikan jika terjadi
reakumulasi cepat setelah dilakukan torakosentesis. Selain efektif mengurangi
reakumulasi cairan dengan tingkat keberhasilan 70-100%,, talc juga terbukti
menjadi agen pemicu apoptosis mesotelial sel paru yang mengalami keganasan (ca)
tanpa membunuh sel normal (Zarogoulidis et al, 2013). talc serbuk diberikan

dengan dilarutkannya pada 100 ml NaCl for injection, lalu diberikan intrapleural
lewat selang interkosta yang sudah terpasang.
Bukti Jurnal:

6. Lidocain
Lidocain bekerja dengan menghambat impuls nyeri pada syaraf sensoris.
Dan digunakan untuk anestesi lokal. Lidocain digunakan untuk mengatasi rasa
nyeri yang ditimbulkan karena pemberian pleurodesis agen seperti talc steril
intrapleural. Lidocain mempunyai onset aksi yang cepat sehingga akan segera
memberikan efek anastesi sesaat sebelum dilakukan pemberian agen pleurodesis.
(Robert et al.,2014).
Bukti Jurnal:

7. Allopurinol
Allopurinol digunakan sebagai yang dapat menurunkan kadar asam urat dalam
darah. Selain digunakan untuk menurunkan kadar asam urat dalam darah
allopurinol juga dapat menurunkan tekanan darah, hal ini berdasarkan hasil
penelitian Dr. Daniel I. Feig dkk. dari Department of Pediatrics, Renal Section,
Baylor College of Medicine, Houston, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini telah
dipublikasikan dalam Journal of American Medical Association dimana dijelaskan
bahwa penurunan asam urat disertai dengan penurunan tekanan darah pada pasien
dewasa yang menderita hipertensi (Feig et al, 2008).
Bukti Jurnal:

(Feigh et al, 2008)


8. AMLODIPINE
Amlodipine merupakan obat generasi baru golongan antagonis kalsium yang
memiliki selektivitas tinggi dibandingkan obat-obat sejenisnya. Dan hal ini
menjadi keunggulan amlodipine dibandingan obat golongan antagonis kalsium
lainnya. Selain itu juga, amlodipine memiliki ketersediaan oral sebesar 65-90 %
sehingga obat ini bekerja dalam waktu 24 jam penuh. Amlodipine dalam
penggunaan terapi banyak dikombinasikan dengan obat golongan ARB seperti
valsartan dan candesartan. Namun untuk pasien ini digunakan monoterapi
amlodipin saja karena tekanan darah pasien yang tinggi akibat adanya
hyperurisemia, jika asam urat ini ditangani maka tekanan darah pasien juga akan
kembali turun. Untuk membantu mengontrol tekanan darah pasien digunakan
amlodipine tunngal alasannya karena amlodipin memiliki efektivitas yang lebih
baik dalam menurunkan tekanan darah di bandingkan obat golongan ARB
(Ogihara et al, 2008).
Bukti Jurnal:

(Ogihara et al, 2008)

9. ONDANSENTRON DAN DEXAMETASON


Berdasarkan beberapa guideline penanganan mual muntah pada pasien yang high
risk dan end stage biasanya menggunakan obat mual muntah yang kuat yaitu
kombinasi antagonis reseptor serotonin dengan kortikosteroid (yang paling banyak
digunakan adalah odansetron dan dexametason) (Medscape, 2014; Kris et al,
2006). Berdasarkan hasil metaanalisis yang dilakukan Giglio et al(2000)
dinyatakan bahwa ondansentron memiliki keefektifan dan keamanan yang sama
dengan obat antagonis 5HT3 lainnya. Walaupun beberapa penelitian polanosetron
dapat mengungguli dilihat dari efektivitas dan keamanannya yang lebih baik
dibanding obat antagonis reseptor serotonin 5HT3 lainnya (Hesketch, 2008),
karena palonosetron memiliki waktu paruh yang lebih lama dan afinitas pengikatan
yang lebih tinggi untuk reseptor serotonin 5-HT3. Namun polanosetron hanya
efektif untuk yang akut emesis sedangkan dilihat dari endpoint keseluruhan obat
golongan ini memiliki efektifitas yang sama (Kris et al, 2006). Ondansetron adalah
antagonis reseptor 5HT3 yang poten dan selektif. Ondansetron dalam penanganan
mual dan muntah yang diinduksi oleh kemoterapi dan radioterapi sitotoksik ini
bekerja dengan menghambat secara selektif serotonin 5-hydroxytriptamine (5HT3)
berikatan pada reseptornya yang ada di CTZ (chemoreseceptor trigger zone) dan di
saluran cerna. Penggunaan ondansetron yaitu secara oral 30 menit sebelum kemo
24 mg.

Dexametason merupakan kortikostroid yang banyak digunakan dalam penangan


maual muntah pada pasien kemo yang high risk dengan dikombinasikan obat
golongan antagonis reseptor serotonin 5HT3, karena dexametasone akan lebih
efektif dalam mencegah timbulnya mual muntah jika diberikan dalam kombinasi.
Rekomendasi pemberian dexametason menurut guideline karena dexametason
pengalaman penggunaannya banyak dan luas serta lebih efektif dalam mengatasi
mual muntah (Kris et al, 2006 dan Hesketh, 2008). Penggunaan dexametasone
yaitu secara oral sebelum kemo 12 mg sehari dan setelah kemo sampai hari ke-4 8
mg sehari.
Bukti Jurnal:

Penjelasan kombinasi kortikosteroid dengan antagonis reseptor 5HT3

EFEKTIVITAS SAMA

DOSIS TERAPI

(Hesketh, 2008)

(Medscap, 2014)
ONDANSENTRON

Pemilihan Dexametason

(Kris et al, 2006).

10. Cefazolin
Dalam kasus ini, Cefazolin digunakan sebagai antibiotik profilaksis
perioperatif karena adanya tindakan torakosentesis. Pada saat dilakukan
pembedahan untuk memasang tube torakosentesis, dapat terjadi infeksi yang
disebabkan oleh bakteri kulit dan flora di saluran nafas. Chang dan Krupnick
(2012) menyatakan bahwa antibiotik golongan cefalosporin efektif digunakan untuk
mengatasi infeksi operatif ini. Cefalosporin golongan 1 lebih dianjurkan karena
lebih hemat dari segi biaya setelah didapat bahwa dari segi efektifitas, tidak ada
perbedaan antara cefalosporin golongan 1-4 untuk mengatasi infeksi postoperatif
paru. Chang dan Krupnick (2012) menyarankan penggunaan cefazolin 1-2 gr iv
sebelum operasi sebagai antibiotik profilaksis.
Bukti Jurnal:

11. Delladryl (Dipenhydramine HCl)


Regimen difenhidramin diberikan untuk mengatasi reaksi hipersensitifitas
akibat pemberian obat kemoterapi, terutama reaksi hipersensitifitas akibat
penggunaan paklitaxel. Paclitaxel diketahui dapat menyebabkan reaksi hipersens
seperti nafas pendek, mengi, ruam dan gatal kulit, serta tekanan darah rendah yang
dapat terjadi beberapa menit setelah kemo (Ignoffo et al., 2007). PDPI (2003)
menyarankan pemberian delladryl dilakukan 2 cc (=20 mg, karena delladryl
dipasaran adalah 10mg/ml) secara IM-2 jam sebelum kemoterapi.
Bukti Jurnal:

12. Codein
The World Health Organizations (WHO) menetapkan analgesik untuk mengatasi
nyeri pada pasien cancer berdasarkan rasa sakit yang diderita oleh pasien. Pada
pasien ini, nyeri yang dialami termasuk nyeri moderate karena cancer pada pasien
ini masuk kedalam stadium 4 (Simmons et al,2012).

(Simmons et al., 2012)


NON FARMAKOLOGI
Pembedahan
Pembedahan merupakan suatu kemungkinan yang dilakukan pada pengobatan
NSCLC; bagaimanapun, pada saat diagnosa, sebagian besar dari klien telah
memiliki melakukan pembedahan total atau sebagian pada kanker. Tujan dari
intervensi pembedahan adalah untuk mengangkat semua kanker pada jaringan;
termasuk nodul limfe. Angka bertahan hidup selama 5 tahun pada klien yang
telah melakukan pembedahan kanker hanya sekitar 30 %. Jenis prosedur
pembedahan tergantung pada letak dan ukuran kanker; keadaan paru klien, dan
status kesehatan secara umum. Meskipun tujuan dari pembedahan ini adalah
untuk mengangkat semua jaringan , sebisa mungkin fungsional paru tetap
dipertahankan. Prosedur pembedahan yang dipilih untuk kanker yang berada
pada satu lobus paru adalah lobektomi. Jumlah lobus paru yang signifikan tetap
dapat dipertahankan saat hanya 1 lobus paru diangkat. Ruang yang ada akibat
pemotongan lobus akan diisi oleh paru yang sisa. Apabila kanker berada pada
bagian perifer paru dan tidak ada tanda penyebaran ke dinding dada atau
metastasis, pemotongan segmental, pengangkatan segmen bronkovakular dari
lobus dapat dilakukan. Prosedur pembedahan konservatif yang umum
dilakukan adalah pemotongan jaringan, pengangkatan sebagian kecil bagian

dari jaringan paru termasuk bagian yang merupakan sisa dari segmen
bronkovaskular. Prosedur ini dapat dilakukan pada yang kanker kecil, lesi
terdapat di permukaan dan pada klien yang tidak dapat atau intoleransi pada
pembedahan yang luas. Lesi yang kecil pada bronkus utama dapat diangkat
dengan pembedahan sleeve atau prosedur bronkoplastik rekonstruksi. Bagian
yang memiliki lesi dibedah dan bronkus yang masih normal diperbaiki kembali
untuk mempertahankan fungsi paru. Bronkoskopi laser digunakan untuk
memotong kanker yang berada pada bronkus utama.
Pneumonektomi merupakan pengangkatan seluruh paru, prosedur yang
digunakan untuk pengobatan kanker paru. Pneumonektomi hanya dilakukan
jika kanker sudah menyebar ke seluruh paru, termasuk bronkus utama dan atau
hilum tertentu. Pembedahan besar ini hanya dipertimbangkan pada klien yang
memiliki cadangan paru yang baik dan sehat pada masa preoperatif. Setelah
pembedahan, bagian hemitoraks yang kosong berangsur-angsur berisi cairan
dan akhirnya menyatu.
Torakotomi merupakan insisi dari dinding dada, dilakukan pada bagian paru
yang luas untuk dilakukan pembedahan. Insisi pembedahan dilakukan untuk
reseksi paru termasuk posterolateral, anterolateral, sterotomi medial, dan insisi

bagian axila. (LeMone, Priscilla & Karen M. Burke, 1996)


Terapi Radiaoterapi
Radiasi terapi meliputi penggunaan energi partikel radioaktif yang tinggi untuk
menghancurkan atau melemahkan sel kanker. Terapi radiasi digunakan sebagai
pengobatan kuratif atau paliatif atau dikombinasikan dengan pembedahan atau
kemoterapi.

Sebelum

pembedahan,

terapi

radiasi

digunakan

untuk debulk kanker. Ketika kanker telah menyebar secara langsung pada
bagian yang luas hingga ke struktur toraks dan pembedahan tidak mungkn
dilakukan atau klien menolak untuk dibedah, terapi radiasi merupakan
pengobatan yang dipilih. Pengobatan paliatif juga membantu meringankan
beberapa manifestasi tertentu seperti batuk, hemoptysis, nyeri yang
bermetastasis

ke

tulang,

dan

dispnea

karena

obstruksi

bronchial.

Komplikasi dari kanker paru, antara lain sindrom vena cava superior mungkin
diobati dengan terapi radiasi (Stewart, 1992; Tierney et al., 1994; Wilson et al.,

1991). Terapi radiasi mungkin diberikan dengan sinar radiasi cahaya external
pada letak tumor primer atau dengan radiasi intraluminal atau brachyterapi.
Terapi radiasi lainnya yang diberikan termasuk radiasi sisi tubuh dan
pemancaran cahaya keseluruh tubuh dengan kemoterapi diikuti dengan
transplantasi sum-sum tulang belakang. Bagi klien yang tercatat dengan
metastasis ke otak, radioterapi dengan dosis tinggi mungkin diberikan (Stewart,
1992; Tierney et al., 1994; Wilson et al., 1991), (LeMone, Priscilla & Karen

M.Burke, 1996).
Perawatan Kolaborasi
Karena kanker paru sudah mencapai tahap lanjut pada saat di diagnosa dan
prognosis secara umum buruk, pencegahan penyakit harus menjadi tujuan
utama untuk penyedia kesehatan. 85 % kanker paru berkaitan dengan rokok,
mengurangi penggunaan dari produk tembakau akan menjadi sebuah tanda
yang berpengaruh kuat pada kematian dari kanker paru, jauh lebih besar
pengaruhnya dari pengobatan yang dahulu. (LeMone, Priscilla & Karen M.

Burke, 1996)
Terapi efusi pleura
Efusi Pleura, yaitu menumpuknya cairan diantara selaput pleura, ini merupakan
komplikasi tersering dari kanker paru. Karena cairan menumpuk, ekspansi
paru dan ventilasi alveolar terganggu. Torasentesis dapat dilakukan untuk
memindahkan cairan dari celah selaput pleura. Dalam prosedurnya, nal
diinsersikan kedalam celah diantara selaput pleura untuk memindahkan
kelebihan cairan. Perhatikan area pemotongan pada efusi pleura untuk diskusi
lebih lanjut dari komplikasi ini dalam managemennya. (LeMone, Priscilla &
Karen M. Burke,,1996).

Monitoring dan Follow Up


Menurut (PDPI,2003)

No

Parameter

Jadwal pemantauan

Nilai normal

1.

Monitoring keefektifan
kemoterapi

Dievaluasi 2-3 siklus

Jika pasien menunjukkan


respon yang lengkap, atau
parsial, atau penyakit
menjadi stabil, kemoterapi
dapat dilanjutkan sampai 4
5 siklus. Tetapi jika tidak
ada respon/penyakit
semakin progresif,
kemoterapi dihentikan atau
diganti dengan regimen
yang non-cross resistant
( PDPI,2003).

2.

Jika pasien telah

Melakukan pemeriksaan

Terapi pemberian

recovery dengan

follow up setiap 3 bulan

kemoterapi berhasil

pemberian kemoterapi,

pada 3 tahun pertama,


selanjutnya dapat
dilakukan setiap 4 6
bulan pada tahun ke 4
5 dan selanjutnya setiap
tahun (PDPI,2003)

3.

Parameter keefektifan

Dilihat setelah 2-3 siklus

dilihat dari chest x-ray,

Penusutan besarnya
kanker.

CT scan, sputum
sitologi, tumor biopsy
dengan bronkoskopi
4.

Monitoring ES

Di lihat setelah pemberia

Mual muntah relative tidak

kemoterapi dan

kemoterapi

terjadi

mual-muntah
Monitoring peggunaan

Ketika pemberian terapi

tekanan saturasi mencapai

oksigen

oksigen

90%.

Monitoring E.S
pleurodesis

Setelah dilakukan
pleurodesis

Normalnya E.S
pleurodesis tidak terjadi.

radiation terapi yaitu


5.

6.

Nyeri dada
Demam
Gagal nafas (signifikan
desaturasi O2 arteri)

Komunikasi, Informasi dan Edukasi

Meminta pasien untuk kembali menggunakan obat setelah habis

Menyarankan untuk tidak merokok

Mengedukasi pasien mengenai patofisiologi kanker dan tatalaksana terapi (kemoterapi


dan radioterapi) serta berbagai efek samping yang mungkin akan muncul

Disarankan untuk memperbanyak konsumsi sayuran dan buah-buahan

Segera mengunjungi rumah sakit jika terdapat keadaan yang kurang nyaman

Mengedukasi pasien agar taat pada pengobatan guna tercapainya tujuan terapi yang
diinginkan

Menghindari keadaan stress karena dapat memperburuk keadaan

DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T.Y., 2009, Youth Tobacco Indonesian Experience, Indonesian Smoking Control Foundation,
Mumbai, India.
Ahmad, Z., Krishnadas, R., Froeschle, P., 2009, Pleural effusion : diagnosis and management.

Anonim, 2011, Pedoman Interpretasi Data Klinik, Kemenkes RI, Jakarta.


Antunes G, Neville E, Duffy J, Ali N. BTS guidelines for management of malignant pleural
effusions. Thorax 2003; 58(Suppl II): ii29-ii38.
Bahar A., 1998, Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam: Soeparman, Sukaton U, Waspadji S, et al. Editor. Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Baxter, 2006, Compound Sodium Lactate Solution For Infusion B.P. (Ringer Lactate Solution

For

Infusion) (Viaflo Container), IV Systems & Medical Products Europe.


Bratawidjaja KG., 2002, Imunologi Dasar, FKUI, Jakarta.
Chang, S.H., dan Krupnick, A.S., 2012, Perioperative Antibiotics in Thoracic Surgery, Thorac Surgery
Clinic, 22 :3545.
Collins, J., Stern, E. J., Ovid., 2007, Chest radiology the essentials. 2nd ed, Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia.
Dewi, P.B.D.T., 2014, Efusi Pleura Masive : Sebuah laporan kusus. Fakultas kedokteran universitas
udayana, Bali.
Dipiro, Joseph T., et all. 2008. Pharmacotheraphy A Pathophysiologic Approach 7 Ed. New York :
McGraw-Hill Companies, Inc.
Feig DI, Kang DH, Johnson RJ., 2008, Uric Acid and Cardiovascular Risk, N Eng J Med, pp: 1811-21.
Feig, Daniel I., et al., 2008, Effect of Allopurinol on Blood Pressure of Adolescents With Newly
Diagnosed Essential Hypertension, A Randomized Trial, JAMA; 300(8); p 924-932.
Gunawan, S., et al., 2010, Platelet Distribution Width dan Mean Platelet Volume: Hubungan dengan
Derajat Penyakit Demam Berdarah Dengue, Sari Pediatri, Vol. 12, No. 2 : 74-77.
Hanley M, Welsh C., 2003, Diagnosis and Treatment in Pulmonary Medicine, Mc Graw Hill, 41: 424425.
Hecht, S.S.,1999, Tobacco Smoke Carcinogens and Lung Cancer, Journal of the National Cancer
Institute, Vol.91, No.14, pp.1194-1204.
Heinig M and RJ Johnson, 2006, Role of Uric Acid in Hypertension, Renal Disease, and Metabolic
Syndrome, Cleveland Clinic Journal of Medicine, pp: 1059-64.
Hesketh, Paul J., 2008, Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting, NEJM; ;358:2482-94.

Ignoffo, et al., 2007, Preventing Chemotherapy Toxicities And Other Issues On Drugs Used In Oncology,
www.cancersupportivecare.com, diakses 21 November 2014.
J Perioper Pract, 242-7
Johnson RJ, et al., 2003, Is There a Pathogenic Rule of Uric Acid in Hypertension, Cardiovascular and
Renal Disease, Hypertension Journal, pp: 1183-90.
Kris, Mark G., et al, 2006, American Society of Clinical Oncology Guideline for Antiemetics in
Oncology: Update 2006, Journal of Clinical Oncology, 24(18), 2932-2947.
LeMone, Priscilla, Karen M. Burke. 1996. Medical-Surgical Nursing: Critical Thinking in Client Care.
Canada: Addison-Wesley Nursing.
Mc Curlery TL, Greer JP., 1999, Diagnostic Approach to Malignant and Non Malignant Disoeders of
Hematopoietic-Lymphoid System. In : Lee GR, Foester J, Lukens J, Parakevas F, Greer JP, Rodgers
GM, eds. Wintrobes Clinical Hematology, 10 th ed.Vol 2, Lippincott Williams and Wilkins,
Philadelphia.
Medscape,

2014,

Non-Small

Cell

Lung

Cancer

Medication,

http://emedicine.medscape.com/article/279960-medication#1, Akses tanggal 17 November 2014.


Molina JR, Yang P, Cassivi SD, Schild SE, Adjei AA. Non small cell lung cancer: Epidemiology, risk
factors, treatment, and survioship. Mayo Clin Proc ; 2008; 83: 584-94
Najmuddin, Djamilah, 2013, Mengapa SGOT dan SGPT Saya Berlebih ?, http://www.djamilahnajmuddin.com. Diakses tanggal 18 November 2014.
Ogihara, Toshio, et al, 2008, Effects of Candesartan Compared With Amlodipine in Hypertensive
Patients With High Cardiovascular Risks: Candesartan Antihypertensive Survival Evaluation in
Japan Trial, American Heart Association; 51:393-398.
Perhimpunan Dokter paru Indonesia, 2003, Kanker Paru: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di
Indonesia, Jakarta.
Porta RR, Crowley JJ, Goldstraw P. The revised TNM staging system for lung cancer.Ann

Thorac

Cardiovasc Surg; 2009; 15: 4-9


Price, Sylvia A. & Loraine M. Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Penyakit, Edisi IV
Buku II, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Provan, D., Krentz, A., 2002, Oxford Handbook of Clinical And Laboratory Investigation, Oxford
University Press, NewYork.
Purwanto, Bambang, 2009, Pathogenesis, Etiology, and Management of Hypertension and Nefrotoxic
Agents. Disampaikan pada Half Day Simposium: Renal Disease Induced by Nefrotoxic Agents,
Surakarta.
Putnam JB Jr. Malignant Pleural Effusions. Surg Clin North Am 2002; 82: 867-83.
Robert, M.E, et al.,2014, Management of a malignant pleural effusion: British Thoracic Society pleural
disease guideline 2010, Thorax ;65(Suppl 2):ii32-ii40.
Smorenberg Annemieke, Can Ince, Johan Groeneveld AB., 2013, Dose and type of crystalloid fluid
therapy in adult hospitalized patients, Perioperative Medicine, 2:1.7.
Socinski M.A, et al., 2013, Treatment of Stage IV Non-small Cell Lung Cancer Diagnosis and
Management of Lung Cancer, 3rd ed: American College of Chest Physicians Evidence-Based
Clinical Practice Guidelines, Chest, Supplement 2013.
Somantri, Irman, 2008, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan,
Salemba Medika, Jakarta.
Stevens ML., 1997, Fundamentals of Clinical Hematology, WB Saunders Company, Philadelphia
Stoppler, M.C., 2010, Lung Cancer, http://www.emedicinehealth. Diakses tanggal 17 November 2014.
Susan Martin Tucker, 1998, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta.
Tatro, David. S., 2003, A to Z Drug Facts, Facts and Comparisons, USA.
Zarogoulidis, K. Et al., 2013, Malignant pleural effusion and algorithm management, Journal Thorac
Disiase;5(S4):S413-S419.

PERTANYAAN
1. Kenapa pemilihan obat kanker menggunakan kombinasi carboplatin dan paclitacil?
Jawab:
Guideline yang kami dapat seperti PDPI dan American chest evident base mengatakan
bahwa penanganan untuk kanker paru untuk stage 4 tersebut menggunakan platinum

base. Platinum base tersebut adalah cisplatin/ carboplatin + paclitasil. Efekasi sama dan
efek samping relative sama. Usia harapan hidup akibat pemberian kombinasi ini lebih
tinggi dari kombinasi yang lain.
2. Kenapa RR pada pasien ini tidak stabil?
Jawab:
RR tidak hanya di pengaruhi dengan efusi pleuranya, tapi dapat juga terjadi karena
hipertensi yang di derita pasien. Pada pasien hipertensi terjadi vasokonstriksi, sehingga
kebutuhan pasien akan oksigen menjadi lebih besar.Pada pasien ini juga sudah
mendapatkan terapi amplodipin yang merupakan agen vasodilatasi, sehingga dapat
membuat kebutuhan oksien meningkat.
3. Untuk pengukuran nyeri alat apa yang di pergunakan?Kenapa lebih memilih codein untuk
mengatasi nyeri pada pasien?
Jawab:
Skala untuk pengukuran nyeri ada 3 diantaranya adalah dengan menggunakan skala
fisual, verbal, dan numerik. Tetapi pada pasien ini tidak ada salat satu dari skala tersebut,
jadi kami mengasumsikan bahwa pasien nyeri karena ca paru stadium 4, berarti di
parunya terdapat masa dan pasien juga terdapat efusi pleura ini menyebabkan pasien
merasakan nyeri dan sulit untuk bernafas. Pasien Kanker juga terkait dengan proses
inflamasi sehingga pasti terdapat mediator nyeri. Riwayat pengobatan ada injeksi antrain.
Injeksi antrain daya analgesiknya 4x lebih kuat dari ibuprofen. Sehingga kami
menyimpulkan bahwa nyeri yang di derita pasien adalah moderate. Kaputusan untuk
mengganti antrain dengan codein karena onset of action dari codein lebih cepat daripada
antrain.
4. Kenapa tata laksana untuk mual muntah pakai ondansentron bukan primperan?
Jawab:
Karena menurut guideline yang kami dapat anti emetic vomiting pada pasien kanker
khususnya pasien kanker stage 4 anti mual muntah yang di rekomendasikan adalah
kombinasi antara ondansentron dan dexametason.

Penggunaan ondansentron dan dexametason 30 menit sebelum pemberian obat anti


kanker,dan untuk tata laksana mual muntah setelah pemberian obat kemoterapi deberikan
dexametason sampai 4 hari.

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV


PRAKTIKUM 4
ADENO CA PARU (IVB) ENDSTAGE & EFUSI PLEURA

Disusun oleh:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Dedah Nurhamidah
Gima Amezia Sari
Heppi Purnomo
Erna Tugiarti Budiasih
Fathia Rahmi Zaen
Oktaviana
Inas Khairani
Intan Hanif

Kelas

:B

Kelompok

:4

(G1F011008)
(G1F011016)
(G1F011024)
(G1F011034)
(G1F011044)
(G1F011052)
(G1F011060)
(G1F011068)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO

2014

Anda mungkin juga menyukai