FARMAKOTERAPI CANCER
A. KASUS
(Terlampir)
B. PENYELESAIAN KASUS
1. Patofisiologi
Adenocarcinoma Paru (IVB)
Adenocarcinoma Paru merupakan suatu kanker paru jenis karsinoma bukan sel
kecil (kpkbsk) yang secara histopatologis tampak sebagai nodul soliter berbentuk round
atau lobulated. Tepinya ireguler dan berspikula, sebagai akibat adanya invasi ke
parenkim disertai respons fibrosis. Lokasinya 75% di perifer paru, sebagian besar
didapatkan pada lobus superior, namun sering didapatkan pada bagian paru dengan
jaringan parut lokal atau fibrosis interstitial kronik yang sudah ada sebelumnya,
sehingga diduga proses radang menahun merangsang pembentukannya (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2002).
Pasien mempunyai riwayat penyakit TB, TB merupakan penyakit infeksi oleh
bakteri yang berisfat kronik yang dapat mengakibatkan peradangan jaringan paru dalam
jangka waktu yang lama yang mengakibatkan fibrosis intersitial kronik. Fibrosis
intersitial kronik dan perdangan menahun merupakaan pemicu pembentukan
adenocarcinoma paru (Molina JR,, 2008).
(Porta, 2009)
Stadium kanker pasien berdasarkan TNM adalah stadium IVB, yang berarti
telah terjadi metastase, ukuran tumor yang cukup besar dan dijumpai keterlibatan nodus
limfa disekitar jaringan kanker (Porta, 2009).
Efusi Pleura
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan melebihi volume normal dalam rongga
pleura dan menimbulkan gangguan jika cairan yang diproduksi oleh pleura parietal dan
viseral tidak mampu diserap oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah mikropleura
visceral atau sebaliknya yaitu apabila produksi cairan melebihi kemampuan penyerapan
(Putnam, 2002).
sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran
cairan kedalam rongga pleura (Putnam, 2002).
Hubungan Adenocarcinoma Paru Dengan Efusi Pleura
Efusi pleura dapat terjadi akibat jaringan neoplastic pada paru. Akumulasi
cairan di rongga pleura terjadi akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah karena
reaksi inflamasi oleh infiltrasi sel kanker pada pleura parietal dan viseral. Mekanisme
yang lain adalah invasi langsung sel tumor yang berdekatan dengan pleura, obstruksi
pada kelenjar limfe dan gangguan absorbsi oleh pembuluh limfe pleura parietal
(Antunes, 2003).
2. SOAP
a. Subjective
Nama Pasien
: Tn. R
TB / BB
:-
Usia
: 54 tahun
Jenis Kelamin
:L
No. RM
: 728xxx
Alamat
: Tegal
Riwayat pribadi/keluarga
:-
Status
: Umum
Ruang/klas
:-
Tanggal MRS
: 18 Januari 2014
Tanggal KRS
: 25 Januari 2014
: TB Paru
Riwayat alergi
:-
Life Style
: Merokok
Dokter
:-
Diagnosa
b. Objective
Parameter Penyakit
TTV 18/01 19/01
TD
190/
140
190/
140
88
80
20/01
Nilai
Normal
Keterangan
NAIK pada
tanggal 18 dan
100-140 /
19.
160/100 140/90 140/90 140/80 110/80 120/80 60-90
Turun hingga
mmHg
Normal pada
tanggal 20-25.
60-100
80
80
80
100
100
96
NORMAL
x/mnt
RR
32
28
20
24
20
26
28
22
Suhu
36
36
36,3
36,3
36,3
36,6
36,5
36,2
NAIK pada
tanggal
16-20
18,19,21,23,24
x/mnt NORMAL pada
tanggal 22 dan
25
36-37 C
NORMAL
Penjelasan:
1. RR Meningkat
Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura,
cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Cairan dalam jumlah yang
berlebihan dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi peregangan paru
selama inhalasi (Susan Martin Tucleer, dkk, 1998).
Kejadian efusi pleura yang cukup tinggi apalagi pada penderita keganasan
jika tidak ditatalaksana dengan baik maka akan menurunkan kualitas hidup
penderitanya dan semakin memberatkan kondisi penderita. Paru-paru adalah bagian
dari sistem pernapasan yang sangat penting, gangguan pada organ ini seperti
adanya efusi pleura dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan bahkan dapat
mempengaruhi kerja sistem kardiovaskuler yang dapat berakhir pada kematian
(Somantri, Irman, 2008).
Luas efusi pleura yang mengancam volume paru-paru, sebagian akan
tergantung atas kekuatan relatif paru-paru dan dinding dada. Dalam batas
pernapasan normal, dinding dada cenderung rekoil ke luar sementara paru-paru
cenderung untuk rekoil ke dalam (paru-paru tidak dapat berkembang secara
maksimal melainkan cenderung untuk mengempis) (Somantri, Irman, 2008).
Pemeriksaan fisik pada sistem respirasi, inspeksi pada pasien efusi pleura
bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar,
pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax
kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung
meningkat dan Pernapasannya biasanya dyspneu. Ketidakefektifan pola pernafasan
berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan
cairan dalam rongga pleura (Susan Martin Tucleer, dkk, 1998).
Satuan
18/01
Nilai
Keterang
Normal
an
Hb
gr/dL
14,1
12-15,2
Normal
Leukosit
/L
8700
3400-10000
Normal
Hematokrit
40
35-45
Normal
Eritrosit
106/ L
4,5
4,2-5,6
Normal
Trombosit
/L
279000
150000-
Normal
400000
MCV
fl
89,5
80-100
Normal
MCH
Pg
31,6
26-34
Normal
MCHC
35,3
32-36
Normal
RDW
12,8
11,5-14,5
Normal
MPV
fl
11,9
6,5-11,0
NAIK
Basofil
0,2
0-1
Normal
Eosinofil
0,1
1-4
TURUN
Batang
2-6
TURUN
Segmen
69,1
50-70
Normal
Limfosit
19,9
20-40
Normal
Monosit
10,7
4-6
NAIK
SGOT
/L
39
0-35
NAIK
SGPT
/L
26
7-35
Normal
Ureum Darah
mg/dL
31,7
10-50
Normal
Kreatinin Darah
mg/dL
0,95
0,6-1,3
Normal
Glukosa sewaktu
mg/dL
114
<200
Normal
Asam Urat
mg/dL
9,5
2,4-7,4
NAIK
Penjelasan:
1. MPV Meningkat
Peningkatan mean platelet volume (MPV) menunjukkan terjadinya infeksi invasif
atau infeksi yang tidak responsif terhadap obat (antibiotik). Peningkatan MPV dapat
terjadi pada keadaan inflamasi akut. MPV yang tinggi merupakan petanda
peningkatan produksi trombosit atau mungkin sebagai kompensasi untuk
mempercepat penghancuran platelet (Gunawan, et al., 2010).
2. Eosinofil Menurun
Penurunan eosinofil menandakan penyakit kronis akibat infeksi oleh virus dimana
sistem imun yang bekerja optimal dalam tubuh pasien (Provan, D., Krentz, A.,
2002).
3. Batang Menurun
Penurunan persentase neutrofil, dapat disebabkan oleh penurunan produksi
neutrofil, peningkatan kerusakan sel, infeksi bakteri, infeksi virus, dan infeksi berat.
Inflamasi yang terjadi dekat dengan pleura dapat meningkatkan permeabilitas sel
mesotelial, yang merupakan lapisan sel terluardari pleura. Sel mesotelial yang
terkena meningkat permeabilitasnya terhadap albumin dan protein lainnya. Suatu
efusi pleura merupakan infeksi kaya akan protein. Mediator kimia dari proses
inflamasi menstimulasi mesotelial untuk melepas kemokin, yang merekrut sel
inflamasi lain. Sel mesotelial memegang peranan penting untuk menarik neutrofil
ke celah pleura. Neutrofil ditemukan pada cairan pleura hanya jika direkrut sebagai
bagian dari suau proses inflamasi. Neutrofil meningkatkan respon inflamasi dan
mengeleluarkan mediator untuk menarik sel-sel inflamator lainya ke dalam pleura
(Anonim, 2011).
4. Monosit Meningkat
Sel cairan pleura didominasi oleh monosit. Infeksi tertentu (misalnya tuberkulosis),
kanker dan kelainan sistem kekebalan bisa meningkatkan jumlah monosit.
Tuberkulosis merupakan penyebab utama monositosis. Peran monosit pada
tuberkulosis telah banyak diteliti. Monosit berperan penting dalan respon imun
pada infeksi tuberkulosis. Monosit berperan dalam reaksi seluler terhadap bakteri
tuberkulosis. Sebagian fosfolipid mikobakterium tuberkulosis mengalami degradasi
dalam monosit dan makrofag yang menyebabkan transformasi sel-sel tersebut
menjadi sel epiteloid. Monosit merupakan sel utama dalam pembentukan tuberkel.
Aktivitas pembentukan tuberkel ini dapat tergambar dengan adanya monositosis
dalam darah. Monositosis dianggap sebagai petanda aktifnya penyebaran
tuberkulosis. Adanya monositosis menunjukkan prognosis yang kurang baik (Mc
Curlery TL, Greer JP., 1999 dan Stevens ML., 1997).
5. SGOT meningkat
Enzim aspartat aminotransferase (AST) juga dikenal dengan nama serum glutamic
oksaloasetat transaminase (SGOT) dan biasanya ditemukan dalam keragaman
jaringan yang meliputi jantung, hati, ginjal, otak dan otot. Ketika salah satu dari
jaringan ini rusak, maka dilepaskan ke serum. Misalnya, karena ganguan atau
penyakit jantung atau dengan gangguan otot maka volume dalam serum meningkat.
Jadi meningkatnya nilai SGOT dalam aliran darah bukan merupakan indikator
tertentu dari luka hati. Bisa saja menjadi indikator penyakit lainnya (Najmuddin,
Djamilah, 2013).
6. Asam Urat Meningkat
Pada gambar tersebut terlihat bahwa peningkatan kadar asam urat serum
memiliki efek pada ginjal dan pembuluh darah. Hiperurisemia menyebabkan: 1)
penurunan NO dan peningkatan ROS, 2) inflamasi vaskuler dan proliferasi otot
polos, 3) peningkatan produksi renin, dan 4) lesi vaskuler pada ginjal (Heinig dan
Johnson, 2006; Feig et al., 2008). Proliferasi otot polos terjadi akibat aktivasi
mitogen spesifik oleh asam urat. Walaupun otot polos tidak memiliki reseptor untuk
asam urat, asam urat tetap dapat masuk ke dalam sel dengan bantuan organic anion
transporter (OAT). Setelah masuk ke dalam sel otot polos, asam urat mengaktifkan
protein kinase (Erk 1/2). Selanjutya Erk 1/2 akan menginduksi sintesis de novo dari
COX-2 dan tromboksan lokal serta mengatur up regulation PDGF A (platelet
derived growth factor A). Hasil akhir proses tersebut adalah aktivasi mitogen
spesifik yang menyebabkan proliferasi sel (Johnson et al., 2003).
Asam urat juga menyebabkan akumulasi kristal urat di sekitar plak
atherosklerosis yang telah terbentuk. Kristal urat tersebut dapat mengaktifkan
komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen mengakibatkan berbagai efek
biologis seperti inflamasi, kemotaksis, opsonisasi, dan aktivitas sitolitik. Asam urat
juga akan menstimulasi sintesis MCP-1 (monocyte chemoattractant protein-1) pada
otot polos. Caranya adalah dengan mengaktivasi p38 MAP kinase, faktor transkripsi
nuklear, NF-KB, dan AP-1. MCP-1 sendiri merupakan kemokin yang berperan
penting dalam penyakit vaskular dan atherosclerosis. Akibat dari mekanisme
tersebut adalah peningkatan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-, IL-1,
dan IL-6. IL-6 yang juga dikenal sebagai hepatocyte stimulating factor merangsang
hepatosit untuk memproduksi HCRP. HCRP menurunkan produksi NO dengan cara
menghambat enzim nitrit oksidase sintase (eNOS) (Bratawidjaja, 2002; Johnson et
al., 2003; Purwanto, 2009).
Hiperurisemia akan menyebabkan perubahan mikrovaskuler pada ginjal
yang mirip dengan gambaran arteriosklerosis pada hipertensi esensial. Lesi vaskuler
tersebut menyebabkan iskemia. Selanjutnya iskemia menyebabkan pelepasan laktat
dan peningkatan produksi asam urat. Laktat sendiri bersifat menghambat sekresi
asam urat dengan mengeblok organic anion transporter. Peningkatan produksi
asam urat terjadi karena iskemi menyebabkan pemecahan ATP menjadi adenosin
dan xathine. Kondisi hiperurisemia meningkatkan aktivitas enzim xathine oksidase.
Padahal enzim tersebut juga membentuk superoksida sebagai akibat langsung
aktivitasnya. Peningkatan jumlah oksidan menyebabkan stress oksidatif yang
semakin menurunkan produksi NO dan memperparah disfungsi endotel yang
terjadi. Lesi pada vaskuler ginjal ini akan memicu terjadinya salt sensitive
hypertension yaitu peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi pada konsumsi
jumlah natrium yang sama. Kondisi ini menetap meskipun hiperurisemia telah
dikoreksi dan diberikan diet rendah garam (Johnson et al., 2003; Heinig and
Johnson, 2006; Feig et al., 2008).
Pemeriksaan Cairan Pleura
parameter
18/01
Nilai normal
Fisis :
keterangan
eksdudat
Warna
Kuning tua
Jernih
Keruh
Bekuan
Berat jenis
1,015
Jumlah sel
14000
1000-2000
mikro/L
Hitung jenis:
Limfosit
74,0%
Segmen
26,0%
Tes rivalta
Glukosa
126 mg/dL
2-30 %
Meningkat
eksudat
Sama dengan
meningkat
glukosa serum
Protein
6,4 mg/dL
1-2 mg/dL
meningkat
Cairan pleura keruh dan berwarna kuning tua (gelap), nilai protein > 3
gr/dL, tes rivalta positif menunjukan jenis cairan pleura adalah eksudat. Eksudat
terjadi karena adanya peradangan. Eksudat terbentuk apabila lapisan kapiler atau
membrane rusak oleh proses peradangan atau neoplastik. Akibatnya protein
berukuran besar dan konstituen darah lainnya bocor keluar untuk masuk ke jaringan
dan rongga tubuh. Pada peradangan aktif, kandungan protein pada cairan ini
meningkat. Nilai limfosit pada cairan pleura meningkat dapat menunjukan bahwa
penyebab terjadinya efusi pleura ini disebabkan karena adanya infeksi TB ,
neoplasma (Ahmad, et al., 2009)
Pemeriksaan penunjang
Nama Pemeriksaan
Hasil
(Zarogoulidis et al.,2013)
Guideline terapi Carsinoma paru (NSCLC) stage IV
(Dipiro, 2008)
DRP
No Problem
Paparan Problem
Rekomendasi
Wrong dose
(Under Dose)
Penggunaan Bleomysin
Wrong drug
Penggunaan Infus RL
2.
Bleomysin merupakan
antibiotik glikopeptida
citotoksik yang bekerja dengan
menghambat sintesis DNA sel.
Saat Bleomysin digunakan
untuk mengatasi efusi pleura,
dosis yang dianjurkan adalah
50-60 unit yang dilarutkan
dalam 50-100 ml larutan D5%
atau NaCl 0,9% (Tatro, 2003).
Namun dosis yang digunakan
hanya 30 unit.
Wrong drug
(Innapropriate
drug)
Pasien dianjurkan
menggunakan obat anti
mual muntah
Untrated
indication
Ondansentron selama
mendapat kemoterapi.
Ondansentron dirasa
paling tepat mengatasi
mual muntah akibat
kemoterapi (tatro, 2003)
5.
Wrong Drug
Diganti dengan
Dexametasone yang telah
banyak digunakan sebagai
terapi mual muntah dan
lebih efektif (Kris et al,
2006 dan Haketh, 2008).
6.
Wrong Drug
7.
Untreated
Indication
Diberikan allopurinol
untuk mengatasi
hyperurisemia pasien
d. PLAN
Tujuan Terapi
a. Meningkatkan kualitas hidup pasien
b. Menambah masa harapan hidup pasien
c. Menghilangkan keluhan pasien terkait sesak nafas yang dirasakan dengan
melakukan penghilangan cairan efusi pleura
d. Mencegah efusi pleura berulang
e. Menurunkan tekanan darah pasien sampai pada kisaran normal 120/80
mmHg
Terapi Farmakologi
Terapi MRS yang direkomendasikan untuk pasien adalah
NamaObat
Regimen
Dosis
Torakosestesi
s
Penyedotan
maksimal
1500 ml
Cefazolin
(brand:sefazo
l)
Pre-surgical
torakosentesi
s = 1gr 1 jam
sebelum
operasi.
Post-operatif
= 1 gr 3x1
selama 5 hari
20 tpm
IVFD D5%
1
8/1
19/1
20/1
21/1
22/1
23/1
24/1
25/1
Allopurinol
Tablet 100
mg 1 x sehari
Amlodipin
Tablet 5 mg 1
x sehari
Ondansentro
n
Tablet 24 mg
30 menit
sebelum
kemoterapi
Dexametason
Tablet 24 mg
30 menit
sebelum
kemoterapi
Dexametason
Tablet 8 mg
setelah kemo
1 x sehari
Pemberian O2 2 L/menit
Sprn.
Codein
Sprn.
30-60 mg qds
Dosis
maksimal
sehari: 240
mg
Paclitaxel
(Paxus)
290 mg
dalam 500 ml
inf. D5%
Carboplatin
600 mg
dalam 500 ml
inf. D5%
Delladryl
(Dipenhydra
mine HCl)
2 cc (20mg)
IM- 2 jam
sebelum
kemoterapi
5 gram dalam
100 ml NaCl
Diberikan bila terjadi re-akumulasi cepat cairan pleura
for injection
Lidocain
diberikan
intrapleural.
210 mg (3
mg/kgBB)
Regimen Dosis
Keterangan
Allopurinol
Tablet 100 mg 1 x
sehari
Amlodipin
Tablet 5 mg 1 x
sehari
1. Paclitacel
Dosis referensi : 175 atau 225mg/m2 untuk non small carcinoma (Dipiro, 2008)
Berdasarkan protocol, dosis yang diberikan kepada pasien :
175 mg/m2 = 175 mg x 1,68.= 294 mg
Sediaan Paxus yang digunakan : 100 mg/16,7 ml/ vial.
Untuk mendapat 294 mg Paxus maka dibutuhkan :
= 294 mg/100 mg/vial= 2,94 vial~ 3 vial
94 100
=
Untuk dosis 94 mg maka diambil :
x 16,7
X = 15,7 ml
sehingga dari 1 vial Paxus dibuang 1 ml dan volume 15,7 ml dilarutkan dengan D5%
bersama dengan 2 vial lainnya.
Volume pelarut NaCl yang digunakan untuk melarutkan 290 mg paxus adalah 500 ml
infus D5%
Konsentrasi Paxus dalam infuse D5%
294 mg
mg
=0,58
500 ml
ml
Konsentrasi Paxus dalam infuse NaCl adalah sebesar 0,58 mg/ml masihmasuk dalam
range yang diperbolehkan yaitu 0,3-1,2 mg/ml (PDPI, 2003)
2. Carboplatin
Dalam saran terapi yang diberikan, primperan sebagai antiemetik diganti dengan
ondansentron.
Alasan Penggunaan Obat :
1. IVFD Dextrose 5%
Pasien tidak menunjukan gejala dan parameter klinik yang
mengindikasikan adanya kekurangan cairan dan elektrolit. Terapi yang diberikan
sebelumnya adalah IVFD RL, hal ini dapat menyebabkan over resucitation. Overresucitation dapat menimbulkan hipoksia dan edema jaringan, memperberat kerja
ginjal, hepatic congestion dan injury, serta gangguan GI. Selain itu penggunaan RL
pada pasien dengan penyakit jantung perlu diwaspadai karena dapat memperparah
kondisi penyakit jantung tersebut (Smorenberg, 2013). Karenanya digunakan cairan
IVFD yang tidak mengandung elektrolit, yaitu IVFD dextrose 5% untuk membantu
mencukupi kebutuhan energi pasien. Selain itu, kadar GDS pasien cukup rendah
dengan dilarutkannya pada 100 ml NaCl for injection, lalu diberikan intrapleural
lewat selang interkosta yang sudah terpasang.
Bukti Jurnal:
6. Lidocain
Lidocain bekerja dengan menghambat impuls nyeri pada syaraf sensoris.
Dan digunakan untuk anestesi lokal. Lidocain digunakan untuk mengatasi rasa
nyeri yang ditimbulkan karena pemberian pleurodesis agen seperti talc steril
intrapleural. Lidocain mempunyai onset aksi yang cepat sehingga akan segera
memberikan efek anastesi sesaat sebelum dilakukan pemberian agen pleurodesis.
(Robert et al.,2014).
Bukti Jurnal:
7. Allopurinol
Allopurinol digunakan sebagai yang dapat menurunkan kadar asam urat dalam
darah. Selain digunakan untuk menurunkan kadar asam urat dalam darah
allopurinol juga dapat menurunkan tekanan darah, hal ini berdasarkan hasil
penelitian Dr. Daniel I. Feig dkk. dari Department of Pediatrics, Renal Section,
Baylor College of Medicine, Houston, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini telah
dipublikasikan dalam Journal of American Medical Association dimana dijelaskan
bahwa penurunan asam urat disertai dengan penurunan tekanan darah pada pasien
dewasa yang menderita hipertensi (Feig et al, 2008).
Bukti Jurnal:
EFEKTIVITAS SAMA
DOSIS TERAPI
(Hesketh, 2008)
(Medscap, 2014)
ONDANSENTRON
Pemilihan Dexametason
10. Cefazolin
Dalam kasus ini, Cefazolin digunakan sebagai antibiotik profilaksis
perioperatif karena adanya tindakan torakosentesis. Pada saat dilakukan
pembedahan untuk memasang tube torakosentesis, dapat terjadi infeksi yang
disebabkan oleh bakteri kulit dan flora di saluran nafas. Chang dan Krupnick
(2012) menyatakan bahwa antibiotik golongan cefalosporin efektif digunakan untuk
mengatasi infeksi operatif ini. Cefalosporin golongan 1 lebih dianjurkan karena
lebih hemat dari segi biaya setelah didapat bahwa dari segi efektifitas, tidak ada
perbedaan antara cefalosporin golongan 1-4 untuk mengatasi infeksi postoperatif
paru. Chang dan Krupnick (2012) menyarankan penggunaan cefazolin 1-2 gr iv
sebelum operasi sebagai antibiotik profilaksis.
Bukti Jurnal:
12. Codein
The World Health Organizations (WHO) menetapkan analgesik untuk mengatasi
nyeri pada pasien cancer berdasarkan rasa sakit yang diderita oleh pasien. Pada
pasien ini, nyeri yang dialami termasuk nyeri moderate karena cancer pada pasien
ini masuk kedalam stadium 4 (Simmons et al,2012).
dari jaringan paru termasuk bagian yang merupakan sisa dari segmen
bronkovaskular. Prosedur ini dapat dilakukan pada yang kanker kecil, lesi
terdapat di permukaan dan pada klien yang tidak dapat atau intoleransi pada
pembedahan yang luas. Lesi yang kecil pada bronkus utama dapat diangkat
dengan pembedahan sleeve atau prosedur bronkoplastik rekonstruksi. Bagian
yang memiliki lesi dibedah dan bronkus yang masih normal diperbaiki kembali
untuk mempertahankan fungsi paru. Bronkoskopi laser digunakan untuk
memotong kanker yang berada pada bronkus utama.
Pneumonektomi merupakan pengangkatan seluruh paru, prosedur yang
digunakan untuk pengobatan kanker paru. Pneumonektomi hanya dilakukan
jika kanker sudah menyebar ke seluruh paru, termasuk bronkus utama dan atau
hilum tertentu. Pembedahan besar ini hanya dipertimbangkan pada klien yang
memiliki cadangan paru yang baik dan sehat pada masa preoperatif. Setelah
pembedahan, bagian hemitoraks yang kosong berangsur-angsur berisi cairan
dan akhirnya menyatu.
Torakotomi merupakan insisi dari dinding dada, dilakukan pada bagian paru
yang luas untuk dilakukan pembedahan. Insisi pembedahan dilakukan untuk
reseksi paru termasuk posterolateral, anterolateral, sterotomi medial, dan insisi
Sebelum
pembedahan,
terapi
radiasi
digunakan
untuk debulk kanker. Ketika kanker telah menyebar secara langsung pada
bagian yang luas hingga ke struktur toraks dan pembedahan tidak mungkn
dilakukan atau klien menolak untuk dibedah, terapi radiasi merupakan
pengobatan yang dipilih. Pengobatan paliatif juga membantu meringankan
beberapa manifestasi tertentu seperti batuk, hemoptysis, nyeri yang
bermetastasis
ke
tulang,
dan
dispnea
karena
obstruksi
bronchial.
Komplikasi dari kanker paru, antara lain sindrom vena cava superior mungkin
diobati dengan terapi radiasi (Stewart, 1992; Tierney et al., 1994; Wilson et al.,
1991). Terapi radiasi mungkin diberikan dengan sinar radiasi cahaya external
pada letak tumor primer atau dengan radiasi intraluminal atau brachyterapi.
Terapi radiasi lainnya yang diberikan termasuk radiasi sisi tubuh dan
pemancaran cahaya keseluruh tubuh dengan kemoterapi diikuti dengan
transplantasi sum-sum tulang belakang. Bagi klien yang tercatat dengan
metastasis ke otak, radioterapi dengan dosis tinggi mungkin diberikan (Stewart,
1992; Tierney et al., 1994; Wilson et al., 1991), (LeMone, Priscilla & Karen
M.Burke, 1996).
Perawatan Kolaborasi
Karena kanker paru sudah mencapai tahap lanjut pada saat di diagnosa dan
prognosis secara umum buruk, pencegahan penyakit harus menjadi tujuan
utama untuk penyedia kesehatan. 85 % kanker paru berkaitan dengan rokok,
mengurangi penggunaan dari produk tembakau akan menjadi sebuah tanda
yang berpengaruh kuat pada kematian dari kanker paru, jauh lebih besar
pengaruhnya dari pengobatan yang dahulu. (LeMone, Priscilla & Karen M.
Burke, 1996)
Terapi efusi pleura
Efusi Pleura, yaitu menumpuknya cairan diantara selaput pleura, ini merupakan
komplikasi tersering dari kanker paru. Karena cairan menumpuk, ekspansi
paru dan ventilasi alveolar terganggu. Torasentesis dapat dilakukan untuk
memindahkan cairan dari celah selaput pleura. Dalam prosedurnya, nal
diinsersikan kedalam celah diantara selaput pleura untuk memindahkan
kelebihan cairan. Perhatikan area pemotongan pada efusi pleura untuk diskusi
lebih lanjut dari komplikasi ini dalam managemennya. (LeMone, Priscilla &
Karen M. Burke,,1996).
No
Parameter
Jadwal pemantauan
Nilai normal
1.
Monitoring keefektifan
kemoterapi
2.
Melakukan pemeriksaan
Terapi pemberian
recovery dengan
kemoterapi berhasil
pemberian kemoterapi,
3.
Parameter keefektifan
Penusutan besarnya
kanker.
CT scan, sputum
sitologi, tumor biopsy
dengan bronkoskopi
4.
Monitoring ES
kemoterapi dan
kemoterapi
terjadi
mual-muntah
Monitoring peggunaan
oksigen
oksigen
90%.
Monitoring E.S
pleurodesis
Setelah dilakukan
pleurodesis
Normalnya E.S
pleurodesis tidak terjadi.
6.
Nyeri dada
Demam
Gagal nafas (signifikan
desaturasi O2 arteri)
Segera mengunjungi rumah sakit jika terdapat keadaan yang kurang nyaman
Mengedukasi pasien agar taat pada pengobatan guna tercapainya tujuan terapi yang
diinginkan
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T.Y., 2009, Youth Tobacco Indonesian Experience, Indonesian Smoking Control Foundation,
Mumbai, India.
Ahmad, Z., Krishnadas, R., Froeschle, P., 2009, Pleural effusion : diagnosis and management.
For
Ignoffo, et al., 2007, Preventing Chemotherapy Toxicities And Other Issues On Drugs Used In Oncology,
www.cancersupportivecare.com, diakses 21 November 2014.
J Perioper Pract, 242-7
Johnson RJ, et al., 2003, Is There a Pathogenic Rule of Uric Acid in Hypertension, Cardiovascular and
Renal Disease, Hypertension Journal, pp: 1183-90.
Kris, Mark G., et al, 2006, American Society of Clinical Oncology Guideline for Antiemetics in
Oncology: Update 2006, Journal of Clinical Oncology, 24(18), 2932-2947.
LeMone, Priscilla, Karen M. Burke. 1996. Medical-Surgical Nursing: Critical Thinking in Client Care.
Canada: Addison-Wesley Nursing.
Mc Curlery TL, Greer JP., 1999, Diagnostic Approach to Malignant and Non Malignant Disoeders of
Hematopoietic-Lymphoid System. In : Lee GR, Foester J, Lukens J, Parakevas F, Greer JP, Rodgers
GM, eds. Wintrobes Clinical Hematology, 10 th ed.Vol 2, Lippincott Williams and Wilkins,
Philadelphia.
Medscape,
2014,
Non-Small
Cell
Lung
Cancer
Medication,
Thorac
Provan, D., Krentz, A., 2002, Oxford Handbook of Clinical And Laboratory Investigation, Oxford
University Press, NewYork.
Purwanto, Bambang, 2009, Pathogenesis, Etiology, and Management of Hypertension and Nefrotoxic
Agents. Disampaikan pada Half Day Simposium: Renal Disease Induced by Nefrotoxic Agents,
Surakarta.
Putnam JB Jr. Malignant Pleural Effusions. Surg Clin North Am 2002; 82: 867-83.
Robert, M.E, et al.,2014, Management of a malignant pleural effusion: British Thoracic Society pleural
disease guideline 2010, Thorax ;65(Suppl 2):ii32-ii40.
Smorenberg Annemieke, Can Ince, Johan Groeneveld AB., 2013, Dose and type of crystalloid fluid
therapy in adult hospitalized patients, Perioperative Medicine, 2:1.7.
Socinski M.A, et al., 2013, Treatment of Stage IV Non-small Cell Lung Cancer Diagnosis and
Management of Lung Cancer, 3rd ed: American College of Chest Physicians Evidence-Based
Clinical Practice Guidelines, Chest, Supplement 2013.
Somantri, Irman, 2008, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan,
Salemba Medika, Jakarta.
Stevens ML., 1997, Fundamentals of Clinical Hematology, WB Saunders Company, Philadelphia
Stoppler, M.C., 2010, Lung Cancer, http://www.emedicinehealth. Diakses tanggal 17 November 2014.
Susan Martin Tucker, 1998, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta.
Tatro, David. S., 2003, A to Z Drug Facts, Facts and Comparisons, USA.
Zarogoulidis, K. Et al., 2013, Malignant pleural effusion and algorithm management, Journal Thorac
Disiase;5(S4):S413-S419.
PERTANYAAN
1. Kenapa pemilihan obat kanker menggunakan kombinasi carboplatin dan paclitacil?
Jawab:
Guideline yang kami dapat seperti PDPI dan American chest evident base mengatakan
bahwa penanganan untuk kanker paru untuk stage 4 tersebut menggunakan platinum
base. Platinum base tersebut adalah cisplatin/ carboplatin + paclitasil. Efekasi sama dan
efek samping relative sama. Usia harapan hidup akibat pemberian kombinasi ini lebih
tinggi dari kombinasi yang lain.
2. Kenapa RR pada pasien ini tidak stabil?
Jawab:
RR tidak hanya di pengaruhi dengan efusi pleuranya, tapi dapat juga terjadi karena
hipertensi yang di derita pasien. Pada pasien hipertensi terjadi vasokonstriksi, sehingga
kebutuhan pasien akan oksigen menjadi lebih besar.Pada pasien ini juga sudah
mendapatkan terapi amplodipin yang merupakan agen vasodilatasi, sehingga dapat
membuat kebutuhan oksien meningkat.
3. Untuk pengukuran nyeri alat apa yang di pergunakan?Kenapa lebih memilih codein untuk
mengatasi nyeri pada pasien?
Jawab:
Skala untuk pengukuran nyeri ada 3 diantaranya adalah dengan menggunakan skala
fisual, verbal, dan numerik. Tetapi pada pasien ini tidak ada salat satu dari skala tersebut,
jadi kami mengasumsikan bahwa pasien nyeri karena ca paru stadium 4, berarti di
parunya terdapat masa dan pasien juga terdapat efusi pleura ini menyebabkan pasien
merasakan nyeri dan sulit untuk bernafas. Pasien Kanker juga terkait dengan proses
inflamasi sehingga pasti terdapat mediator nyeri. Riwayat pengobatan ada injeksi antrain.
Injeksi antrain daya analgesiknya 4x lebih kuat dari ibuprofen. Sehingga kami
menyimpulkan bahwa nyeri yang di derita pasien adalah moderate. Kaputusan untuk
mengganti antrain dengan codein karena onset of action dari codein lebih cepat daripada
antrain.
4. Kenapa tata laksana untuk mual muntah pakai ondansentron bukan primperan?
Jawab:
Karena menurut guideline yang kami dapat anti emetic vomiting pada pasien kanker
khususnya pasien kanker stage 4 anti mual muntah yang di rekomendasikan adalah
kombinasi antara ondansentron dan dexametason.
Disusun oleh:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Dedah Nurhamidah
Gima Amezia Sari
Heppi Purnomo
Erna Tugiarti Budiasih
Fathia Rahmi Zaen
Oktaviana
Inas Khairani
Intan Hanif
Kelas
:B
Kelompok
:4
(G1F011008)
(G1F011016)
(G1F011024)
(G1F011034)
(G1F011044)
(G1F011052)
(G1F011060)
(G1F011068)
2014