LAPORAN PENDAHULUAN
EFUSI PLEURA
Disusun Oleh :
B. ETIOLOGI
British Thoracic Society (BTS) mengklasifikasikan efusi pleura ke dalam dua
kategori berdasarkan jenis cairan yang terdapat di pleura:
1. Transudat
Transudat terjadi akibat kebocoran cairan dari kapiler paru ke rongga pleura yang
diakibatkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan tekanan onkotik.
Kasus-kasus yang biasanya ditemui misalnya pada efusi pleura akibat peningkatan
tekanan vena pulmonalis pada gagal jantung kongestif, dan pada efusi plera akibat kasus
hipoalbuminemia seperti pada penyakit hati dan ginjal (Rubins, 2013).
2. Eksudat
Eksudat terjadi oleh peradangan atau keganasan pleura, dan akibat peningkatan
permiablitas kapiler atau gangguan absorbsi getah bening. Eksudat ditemui pada bebagai
kasus infeksi paru, keganasan seperi ca paru dan ca mamae yang bermetastase ke paru-
paru (Price & Wilson, 2006).
Penyebab lainnya antara lain :
1. Trauma
2. Parapneumonia, Parasit (ameba, paragonimiasis, Echinococcus), Jamur, pneumonia
atipik (virus, mikoplasma, Q fever, Legionella).
3. Keganasan paru
4. Proses imunologis: pleuritis lupus, pleuritis rheumatoid, sarkoidosis, lupus eritematosus
sistemik; Lupus merupakan penyakit yang menyerang perubahan sistem kekebalan
perorangan, yang sampai kini belum diketahui penyebabnya. Penyakit ini muncul akibat
kelainan fungsi sistem kekebalan tubuh. Dalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang
berfungsi menyerang sumber penyakit yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya, penyakit
Lupus ini antibodi yang terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi
justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut
autoimunitas
5. Radang sebab lain seperti pankreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi.
6. Penyakit gagal jantung kiri
7. Emboli paru
8. Sirosis hepatis
9. Efusi pleura jarang pada keadaan rupture esophagus, penyakit pancreas, abses
intraabdomen, rheumatoid arthritis, sindroma Meig (asites, dan efusi pleura karena
adanya tumor ovarium)
10. Kadar protein darah yang rendah
11. Blastomikosis
12. Koksidioidomikosis
13. Histoplasmosis
14. Kriptokokosis
15. Abses dibawah diafragma
16. Pemasanan selang untuk makanan atau selang intravena yang kurang baik.
C. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura parietalis dan pleura
vicelaris, karena di antara pleura tersebut terdapat cairan antara 1 – 20 cc yang merupakan
lapisan tipis serosa dan selalu bergerak teratur. Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas
antara kedua pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain. Di ketahui
bahwa cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di absorbsi tersebut dapat
terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada pleura parietalis dan tekanan osmotic koloid
pada pleura viceralis.
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan
protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat
sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan
osmotic plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial
masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui limfe sekitar pleura.
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan.
Bila proses radang disebabkan oleh kuman piogenik akan terbentuk pus atau nanah,
sehingga terjadi empiema atau piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemotoraks.
Proses terjadinya pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat pleura parietalis
sehingga udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh
trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis lagi seperti pada pasien
emfisema paru.
F. PATHWAY
Gagal jantung kongestif Karsinoma mediastinum
TB Paru Gagal ginjal Karsioma paru
Pneumonia Gangguan fungsi hati
Ateletaksis Peningkatan
Peningkatan tekanan
Hipoalbumin permiabilitas kapiler paru
hidrostatik pembuluh
inflamasi darah
Akumulasi cairan di
rongga pleura
Gangguan ventilasi (pengembangan paru tidak optimal), gangguan difusi, distribusi dan
transportasi O2)
H. PENATALAKSANAAN
Pada kasus-kasus efusi pleura masiv biasanya akan dibutuhkan penanganan lebih
lanjut seperti menghubungkan selang dada (Chest tube) ke botol penampungan WSD
(Smeltzer & Bare, 2002). Pada efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan
memakai pipa intubasi melalui selang iga (WSD). WSD merupakan tindakan invasif yang
dialakukan untuk mengeluarkan udara, cairan ( darah, pus ) dari rongga pleura, rongga
thoraks, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.
I. PENGKAJIAN
1. Anamnesis
Anamnesis adalah proses pengkajian tahap awal ketik pertama kali kontak dengan
pasien. Anamnesis diperoleh melalui wawancara dan observasi langsung. Anamnesis
ditujukan untuk memperoleh data identitas demografi pasien meliputi identitas, usia, jenis
kelamin, suku bangsa, status pendidikan, riwayat sosio-ekonomi pasien. Selain itu, hal
paling penting dari anamnesis adalah untuk menanyakan keluhan utama pasien
(Muttaqin, 2010). Pada kasus efusi pleura biasanya akan ditemukan keluhan utama sesak
berat, keluhan nyeri pada dada terutama saat batuk dan bernapas (Garrido et al, 2005).
Riwayat penyakit saat ini adalah hal kedua yang ditanyakan setelah keluahan
utama saat anamnesis. Riwayat penyakit saat ini mencakup pertanyaan untuk mengetahui
keluhan yang dirasakan, sudah berapa lamakeluhan dirasakan, dan tindakan apa saja yang
sudah dilakukan untuk mengurangi keluhan (Garrindo et all, 2005). Klien dengan efusi
pleura biasanya akan diawali dengan keluhan batuk, sesak napas, nyeri pluritis, rasa berat
pada dada, dan berat badan menurun (Muttaqin, 2010).
Pengkajian awal pada saat anamnesis juga bertujuan menanyakan riwayat riwayat
penyakit masa lalu dan riwayat penyakit keluarga. Pada klien dengan efusi pleura perlu
ditanyakan apakah ada riwayat penyakit masa lalu pernah menderita TB Paru,
pneumonia, asites, gagal jantung, ginjal, dan keganasan (Muttaqin, 2010). Selain itu,
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang
mungkin dapat menyebabkan efusi pleura seperti kanker paru, asma, TB paru, dan
sebagainya (Soemantri, 2007).
Salah satu data penting saat melakukan anamnenis adalah pengkajian psikososial.
Pengkajian psikososial meliputi apa yang dirasakan pasien terhadap penyakitnya, cara
mengatasinya, serta bagaimana perilaku terhadap tindakan yang dilakukan terhadapnya
(Muttaqin, 2010). Pengkajian psikososial ini bertujuan mengetahui respon psikologis
pasien terhadap penyakit yang dideritanya serta mekanisme dan sumber koping yang
dapat dimanfaatkan untuk mendukung proses penyembuhan pasien (Soemantri, 2007).
2. Pemeriksaan Fisik
Efusi pleura didiagnosa melalui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.Pemeriksaan fisik dilakukan melalui inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
(Padmosoetardjo & Soetedjo, 2010). Pemeriksaan fisik secara sistematis dilakukan dari
kepala hingga kaki (head to toe) dan melibatkan seluruh sistem yang terlibat (Lynn,
2011).
Pada kasus efusi pleura pemeriksaan fisik difokuskan pada pemeriksaan organ
yang berkaitan dengan sistem pernapasan (Endacott, Jevon, & Cooper, 2009). Muttaqin
(2010) dalam bukunya berjudul Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan menjelaskan bahwa pemeriksaan fisik pasien efusi pleura berfokus pada 5
sistem yang disingkat menjadi 5B yaitu (1) Breathing (B1) terkait sistem pernapasan, (2)
Blood (B2) terkait pemeriksaan sistem kardiovaskular. (3) Brain (B3) terkait sistem saraf,
(3) Bladder (B4) terkait sistem perkemihan, dan (5) Bowel (B5) terkait sistem
pencernaan.
a. Breathing (B1)
Breathing adalah pemeriksaan terkait sistem pernapasan. Pemeriksaan sistem
pernapasan dilakukan melaui teknik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi (Lynn,
2011). Pada saat isnpkesi akan terlihat peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan
yang disertai penggunaan otot-otot bantu pernapasan (Padmosoetardjo & Soetedjo,
2010). Selain itu, dapat juga diamati gerakan pernapasan atau ekspansi dada yang
tidak simetris (pergerakan dada yang tertinggal pada sisi yang sakit). Temuan umum
lainnya saat inspeksi adalah iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisi
yang sakit), dan peningkatan batuk yang produktif dan sputum yang purulen
(Muttaqin, 2010).
Pemeriksaan fisik paru juga dilakukan melalui palpasi, perkusi, dan
auskultasi. Temuan umum pada palpasi adalah penurunan taktil fremitus terutama
untuk efusi pleura dengan akumulasi cairan > 300cc (Muttaqin, 2010). Di samping
itu, pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal yaitu pada
area yang sakit pada kasus efusi pleura unilateral (Haugen & Galura, 2012).
Sementara itu, pada saat perkusi akan ditemukan suara redup hingga pekak
tergantung jumlah cairan yang terakumulasi di rongga pleura (Smeltzer & Bare,
2002). Suara napas menurun sampai menghilang pada area paru yang sakit, pada
posisi duduk cairan semakin menghilang semakin ke atas.
b. Blood (B2)
B2 berfokus pada pemeriksaan terkait sistem kardiovaskular. Pada saat
dilakukan inspeksi perlu diperhatikan letak ictus kordis normal yaitu pada ICS 5 linia
media clavicularis kiri selebar 1 cm (Mutaqqin, 2010). Pemeriksaan ini berguna
untuk mengatahui ada tidaknya pergeseran jantung. Palpasi dilakukan untuk
menghitung denyut jantung dan harus diperhatikan keteraturan dan kedalaman
denyutnya. Selain itu, perlu juga diperhatikan ada tidaknya thrill, yaitu getaran ictus
cordis (Smeltzer & Bare, 2002). Tindakan perkusi digunakan untuk menentukan
batas jantung. Hal ini diperlukan untuk menentukan apakah ada pergeseran jantung
akibat pendorongan cairan pleura. Auskultasi juga dilakukan untuk menentukan
suara jantung 1 dan II atau adakah suara jantung ke III yang merupakan gejala payah
jantung (Padmosoetardjo & Soetedjo, 2010)
c. Brain (B3)
Pengkajian B3 adalah pengkajian yang bertujuan untuk melihat kelainan pada
sistem saraf pusat. Pengkajian sistem utama saraf pusat adalah tingkat kesadaran.
Pada saat dilakukan inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji. Pemeriksaan dapat
dilakukan melalui pemeriksaan secara kualitatif dan kualitatif. Tingkat kesadaran
secara kualitatif adalah seperti Compos Mentis, Apatis, Somnolen, Sopor, Coma
(Padmosoetardjo & Soetedjo, 2010). Pemeriksaan kesadaran secara kuantitatif dinilai
melalui Glasgow Coma Scale (GCS). GCS terdiri dari respon buka Mata (E/Eye),
respon motorik (M), dan respon verbal (V). Selain itu, perlu juga dikaji respon
respon sensorik seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, dan
perabaan (Smeltzer & Bare, 2002).
d. Bladder (B4)
Bladder adalah pengkajian yang berfokus pada keseimbangan cairan. B4
dikaji melalui pengukuran urin output dan pencatatan cairan yang masuk baik secara
oral maupun parenteral (Smeltzer & Bare, 2002). Pengukuran urin output dilakukan
untuk melihat hubungan dengan intake cairan. Pada kasus kasus efusi pleura akibat
tekanan hidrostatik yang meningkat seperti pada kasus gagal jantung dan gagal ginjal
balance cairan perlu diperhatikan secara ketat karena overload cairan dapat
memperburuk efusi pleura (Muttaqin, 2010).
e. Bowel (B5)
B5 adalah pengkajian yang bertujuan untuk mengetahui fungsi sistem
pencernaan. Pengkajian B5 dilakukan pada sekitar wilayah abdomen melalui
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi (smeltzer & Bare, 2002). Pada saat palpasi
hal yang perlu diperhatikan adalah apakah abdomen membuncit atau mendatar, tepi
perut menonjol atau tidak, umbilikus menonjol atau tidak, selain itu perlu diinspeksi
apakah ada massa atau tidak. Pada pasien efusi pleura biasanya didapatkan adanya
indikasi mual atau muntah dan penurunan nafsu makan (Muttaqin, 2010).
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif
3. Nyeri akut
4. Intoleransi Aktivitas
5. Risiko infeksi
K. FOKUS INTERVENSI
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan paru yang menurun.
a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali efektif.
b. Kriteria hasil:
1) RR = 16 -24 x/menit
2) Tidak ada dispnea
3) Pengembangan paru maksimal
c. Intervensi :
1) Aturlah posisi dengan memungkinkan ekspansi paru maksimum dengan semi
fowler atau kepala agak tinggi kurang lebih 30 derajat.
Rasional : Posisi semi fowler akan meningkatkan ekspansi paru.
2) Kaji pernapasan, irama, kedalaman atau gunakan oksimetri nadi untuk memantau
saturasi oksigen
Rasional : Tachipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering
terjadi karena ketidaknyaman gerakan dinding dada.
3) Berikan bantal atau sokongan agar jalan nafas memungkinkan tetap terbuka
Rasional : Sokongan bantal akan membantu membuka jalan napas.
4) Ajarkan teknik relaksasi
Rasional : Relaksasi akan membantu menurunkan kecemasan sehingga
kebutuhan O2 tidak meningkat.
5) Kolaborasi oksigen sesuai kebutuhan
Rasional : Pemberian O2 akan membantu memenuhi kebutuhan O2 tubuh.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi saluran pernafasan
akibat peningkatan mukus yang berlebih.
a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan bersihan jalan nafas efektif.
b. Kriteria Hasil : Tidak ada dyspnea, perkusi paru sonor, tidak ada penggunaan otot
bantu nafas, tidak ada batuk produktif
c. Intervensi :
1) Auskultasi area paru, catat area penurunan / tidak ada aliran udara dan bunyi
nafas lain.
Rasional : Penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan.
Bunyi nafas bronkhial (normal pada bronkhus) dapat juga terjadi pada area
konsolidasi. Krekels terdengar pada inspirasi.
2) Kaji frekuensi / kedalaman pernafasan dan gerakan dada.
Rasional : Tachipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering
terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada/ atau cairan paru.
3) Atur posisi semi fowler atau fowler.
Rasional : Posisi duduk memungkinkan upaya nafas lebih dalam dan lebih kuat.
4) Berikan obat sesuai indikasi : mukoitik, ekspektoran, bronkodilator, analgetik
Rasional : Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi sekret.
Analgetik diberikan untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan
ketidaknyamanan tetapi harus digunakan hati-hati.
5) Berikan cairan tambahan IV atau oksigen
Rasional : Cairan diperlukan untuk menggantikan kehilangan (termasuk tak
tampak) dan memobilisasikan secret.
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (insersi jarum/ selang WSD)
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat mengontrol nyeri
b) Kriteria Hasil :
1) Melaporkan nyeri
2) Frekuensi nyeri
3) Lamanya episode nyeri
4) Ekspresi nyeri; wajah
5) Perubahan respirasi rate
6) Perubahan tekanan darah
7) Kehilangan nafsu makanKlien tidak tampak kelemahan
c) Intervensi :
1) Kaji keluhan nyeri, lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, dan
beratnya nyeri.
2) Observasi respon ketidaknyamanan secara verbal dan non verbal.
3) Pastikan klien menerima perawatan analgetik dg tepat.
4) Gunakan strategi komunikasi yang efektif untuk mengetahui respon
penerimaan klien terhadap nyeri.
5) Evaluasi keefektifan penggunaan kontrol nyeri
6) Monitoring perubahan nyeri baik aktual maupun potensial.
7) Sediakan lingkungan yang nyaman.
8) Kurangi faktor-faktor yang dapat menambah ungkapan nyeri.
9) Ajarkan penggunaan tehnik relaksasi sebelum atau sesudah nyeri berlangsung.
10) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk memilih tindakan selain obat
untuk meringankan nyeri.
11) Tingkatkan istirahat yang adekuat untuk meringankan nyeri.
Garrido et al. (2005). Diagnosis and treatment for Pleural Effusion. Arch Bronconeumol.
2006;42(7):349-72. Diakses pada 3 Mei 2019 pada
www.archbronconeumol.org/en/pdf/13090862/S300/
Herdman, T. Heather. 2018. NANDA-I diagnosis keperawatan : definisi dan klasifikasi 2018-
2020. Jakarta : EGC
Lyyn, P. (2011). Taylor’s Handbook of Clinical Nursing Skills. Lippincott: Williams and
Wilkins.
Muttaqin, A. (2010). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Masalah Pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika
Padmosoeparto, H., Soetedjo, F.A. (2007). Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik. Diakses pada
tanggal 3 Mei 2019 pada: http://www.scribd.com/doc/35821555/Anamnesa-Pemeriksaan-
Fisik
Price, S. A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6,Volume I. Jakarta:
EGC
Rubins, J . (2013). Pleural Efussion. Diakses pada tanggal 3 Mei 2019 pada
http://emedicine.medscape.com/article/299959-overview
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2002). Brunner & Suddarth Textbook of Medical Surgical Nursing.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Wedro, B. (2014). Pleural Effusion. MedicineNet: Diakses pada tanggal 3 Mei 2019 pada
http://www.onhealth.com/pleural_effusion/article.htm