Anda di halaman 1dari 10

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

LAPORAN PENDAHULUAN
EFUSI PLEURA

Pembimbing Akademik : Daryani, S.Kep, Ns, M.Kep.


Pembimbing Klinik : Nurul Sari Utami, AMK.

Disusun Oleh :

NAMA : Dina Nurcahya


NIM : 2002053
RS : RSUD Bagaswaras
RUANG : IGD

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KLATEN
2022/2023
A. PENGERTIAN
Wedro (2014) menyebutkan bahwa efusi pleura adalah kelebihan cairan antara dua
membran pleura yang menyelimuti paru. Rubins (2013) menyebutkan efusi pleura
merupakan manifestasi klinis paling umum dari berbagai kelainan di pleura yang disebabkan
oleh berbagai kondisi mulai dari kelainan kardiopulmonal, penyakit inflamasi, hingga
penyakit keganasan. Kondisi tersebut dapat menyebabkan terganggunya kemampuan
membran pleura menyerap kelebihan cairan sehingga mengakibatkan akumulasi cairan di
rongga pleura (Pratomo & Yunus, 2013).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa efusi pleura adalah kondisi
abnormal ketika terdapat akumulasi cairan di rongga pleura sebagai akibat
ketidakseimbangan produksi dan reabsorbsi cairan di pleura.
Terdapat empat tipe cairan yang dapat ditemukan pada efusi pleura, yaitu :
1. Cairan serus (hidrothorax)
2. Darah (hemothotaks)
Hemotoraks (darah di dalam rongga pleura) biasanya terjadi karena cedera di dada.
Penyebab lainnya adalah:
 Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam
rongga pleura
 Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang kemudian
mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura
 Gangguan pembekuan darah. Darah di dalam rongga pleura tidak membeku secara
sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melalui sebuah jarum atau selang.
3. Chyle (chylothoraks)
Kilotoraks (cairan seperti susu di dalam rongga dada) disebabkan oleh suatu cedera
pada saluran getah bening utama di dada (duktus torakikus) atau oleh penyumbatan
saluran karena adanya tumor. Rongga pleura yang terisi cairan dengan kadar kolesterol
yang tinggi terjadi karena efusi pleura menahun yang disebabkan
oleh tuberkulosis atau artritis rematoid
4. Nanah (pyothoraks atau empyema)
Empiema (nanah di dalam rongga pleura) bisa terjadi jika pneumonia atau abses paru
menyebar ke dalam rongga pleura. Empiema bisa merupakan komplikasi dari:
 Infeksi pada cedera di dada
 Pembedahan dada
 Pecahnya kerongkongan
 Abses di perut
 Pneumonia

B. ETIOLOGI
British Thoracic Society (BTS) mengklasifikasikan efusi pleura ke dalam dua
kategori berdasarkan jenis cairan yang terdapat di pleura:
1. Transudat
Transudat terjadi akibat kebocoran cairan dari kapiler paru ke rongga pleura yang
diakibatkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan tekanan onkotik.
Kasus-kasus yang biasanya ditemui misalnya pada efusi pleura akibat peningkatan
tekanan vena pulmonalis pada gagal jantung kongestif, dan pada efusi plera akibat kasus
hipoalbuminemia seperti pada penyakit hati dan ginjal (Rubins, 2013).
2. Eksudat
Eksudat terjadi oleh peradangan atau keganasan pleura, dan akibat peningkatan
permiablitas kapiler atau gangguan absorbsi getah bening. Eksudat ditemui pada bebagai
kasus infeksi paru, keganasan seperi ca paru dan ca mamae yang bermetastase ke paru-
paru (Price & Wilson, 2006).
Penyebab lainnya antara lain :
1. Trauma
2. Parapneumonia, Parasit (ameba, paragonimiasis, Echinococcus), Jamur, pneumonia
atipik (virus, mikoplasma, Q fever, Legionella).
3. Keganasan paru
4. Proses imunologis: pleuritis lupus, pleuritis rheumatoid, sarkoidosis, lupus eritematosus
sistemik; Lupus merupakan penyakit yang menyerang perubahan sistem kekebalan
perorangan, yang sampai kini belum diketahui penyebabnya. Penyakit ini muncul akibat
kelainan fungsi sistem kekebalan tubuh. Dalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang
berfungsi menyerang sumber penyakit yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya, penyakit
Lupus ini antibodi yang terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi
justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut
autoimunitas
5. Radang sebab lain seperti pankreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi.
6. Penyakit gagal jantung kiri
7. Emboli paru
8. Sirosis hepatis
9. Efusi pleura jarang pada keadaan rupture esophagus, penyakit pancreas, abses
intraabdomen, rheumatoid arthritis, sindroma Meig (asites, dan efusi pleura karena
adanya tumor ovarium)
10. Kadar protein darah yang rendah
11. Blastomikosis
12. Koksidioidomikosis
13. Histoplasmosis
14. Kriptokokosis
15. Abses dibawah diafragma
16. Pemasanan selang untuk makanan atau selang intravena yang kurang baik.

C. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura parietalis dan pleura
vicelaris, karena di antara pleura tersebut terdapat cairan antara 1 – 20 cc yang merupakan
lapisan tipis serosa dan selalu bergerak teratur. Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas
antara kedua pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain. Di ketahui
bahwa cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di absorbsi tersebut dapat
terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada pleura parietalis dan tekanan osmotic koloid
pada pleura viceralis.
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan
protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat
sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan
osmotic plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial
masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui limfe sekitar pleura.
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan.
Bila proses radang disebabkan oleh kuman piogenik akan terbentuk pus atau nanah,
sehingga terjadi empiema atau piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemotoraks.
Proses terjadinya pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat pleura parietalis
sehingga udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh
trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis lagi seperti pada pasien
emfisema paru.

D. TANDA DAN GEJALA


1. Sesak napas
2. Rasa berat pada dada
3. Nafas pendek
4. Nyeri dada pleuritik
5. Takipnea
6. Hipoksemia bila ventilasi terganggu
7. Penurunan bunyi nafas di atas area yang sakit
8. Keluhan/gejala lain penyakit dasar efusi pleura seperti : bising jantung (pada payah
jantung), lemas disertai penurunan BB yang progresif (neoplasma), batuk yang kadang
berdarah pada perokok (karsinoma bronkus), tumor di organ lain (metastasis), demam
subfebril (pada TB), demam menggigil (pada empiema), ascites (pada sirosis hepatic),
ascites dengan tumor di pelvis (pada sindrom Meigh).
9. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan : fremitus yang menurun, perkusi yang pekak,
tanda-tanda pendorongan mediastinum, suara napas yang menghilang pada auskultasi.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk menentukan lokasi, jumlah cairan, dan
menentukan penyebab efusi pleura misalnya pada kasus keganasan dan infeksi. CT scan
thorak, dan X-Ray thorax dilakukan untuk menenjukan lokasi dan jumlah cairan Dugdale
(2014) Selain itu, lokasi dan jumlah cairan pleura juga bisa dideteksi dengan USG dada
(Rubins, 2013).
Penyebab efusi pleura dapat diketahui melalui analisa cairan pleura. Cairan pleura
diperoleh melalui prosedur throacentesis dan dianalisa secara mikroskopik untuk melihat
adanya bakteri, temuan sel darah merah dan sel darah putih, kimia arah (glukosa, amilase,
lactat dehidroginase, protein), analisis sitologi untuk indikasi malignansi, dan PH (Celli,
2011). Selain itu, pemeriksaan diagnostik lain yang bisa silakukan adalah biopsi jaringan
pleura (Smeltzer & Bare, 2002).

F. PATHWAY
Gagal jantung kongestif Karsinoma mediastinum
TB Paru Gagal ginjal Karsioma paru
Pneumonia Gangguan fungsi hati

Ateletaksis Peningkatan
Peningkatan tekanan
Hipoalbumin permiabilitas kapiler paru
hidrostatik pembuluh
inflamasi darah

Tekanan onkotik koloid


menurun, Peningkatan Ketidakseimbangan jumlah produksi cairan dengan
absorbsi yang bisa dilakukan
permiabilitas kapiler
pleura viseralis

Akumulasi cairan di
rongga pleura

Gangguan ventilasi (pengembangan paru tidak optimal), gangguan difusi, distribusi dan
transportasi O2)

Sistem Sistem saraf Proses Muskuloskel Psikososial


pernafasan pusat peradangan etal
pada rongga
efusi pleura
PaO2 Penurunan Penurunan Cemas
menurun, suplai suplai
PCO2 O2 ke otak O2 ke
meningkat, Bradikinin
serotonin jaringan
Sesak napas, Sesak nafas
peningkatan Hipoksia prostaglandin
produksi serebral diaktifkan Metabolisme
sekret, anaerob
penumpukan
laktat Pola napas tidak
Merangsang efektif
Pusing nosiseptor
nyeri
Bersihan Kelemahan fisik
jalan napas umum
tidak efektif,
Risiko
Nyeri Akut
penyebaran
infeksi Intoleran
aktivitas
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat muncul pada penyakit efusi pleura antara lain :
1. Pneumotoraks (karena udara masuk melalui jarum)
2. Hemotoraks ( karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)
3. Emboli udara (karena adanya laserasi yang cukup dalam, menyebabkan udara dari alveoli
masuk ke vena pulmonalis)
4. Laserasi pleura viseralis

H. PENATALAKSANAAN
Pada kasus-kasus efusi pleura masiv biasanya akan dibutuhkan penanganan lebih
lanjut seperti menghubungkan selang dada (Chest tube) ke botol penampungan WSD
(Smeltzer & Bare, 2002). Pada efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan
memakai pipa intubasi melalui selang iga (WSD). WSD merupakan tindakan invasif yang
dialakukan untuk mengeluarkan udara, cairan ( darah, pus ) dari rongga pleura, rongga
thoraks, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.

Indikasi dan tujuan pemasangan WSD


Indikasi :
1. Pneumotoraks, hemotoraks, empyema
2. Bedah paru :
a) karena ruptur pleura udara dapat masuk ke dalam rongga pleura
b) reseksi segmental msalnya pada tumor, TBC
c) lobectomy, misal pada tumor, abses, TBC
Tujuan pemasangan WSD :
1. Memungkinkan cairan ( darah, pus, efusi pleura ) keluar dari rongga pleura
2. Memungkinkan udara keluar dari rongga pleura
3. Mencegah udara masuk kembali ke rongga pleura yang dapat menyebabkan
pneumotoraks
4. Mempertahankan agar paru tetap mengembang dengan jalan mempertahankan tekanan
negatif pada intra pleura.
Prinsip kerja :
1. WSD Gravitasi : Udara dan cairan mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang
rendah.
2. Tekanan positif : Udara dan cairan dalam kavum pleura ( + 763 mmHg atau lebih ).
Akhir pipa WSD menghasilkan tekanan WSD sedikit ( + 761 mmHg )
3. Suction
Perawatan setelah prosedur pemasangan WSD antara lain :
1. Perhatikan undulasi pada selang WSD
2. Observasi tanda-tanda vital : pernafasan, nadi, setiap 15 menit pada 1 jam pertama
3. Monitor pendarahan atau empisema subkutan pada luka operasi
4. Anjurkan pasien untuk memilih posisi yang nyaman dengan memperhatikan jangan
sampai selang terlipat
5. Anjurkan pasien untuk memegang selang apabila akan mengubah posisi
6. Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu
7. Ganti botol WSD setiap tiga hari dan bila sudah penuh, catat jumlah cairan yang
dibuang
8. Lakukan pemijatan pada selang untuk melancarkan aliran
9. Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, cynosis, empisema.
10. Anjurkan pasiuen untuk menarik nafas dalam dan bimbing cara batuk yang efektif
11. Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh
Medikasi
Terapi medikasi merupakan alternatif tindakan medis lain untuk menangani efusi
pleura. Terapi medikasi yang diberikan disesuaikan dengan penyebab terjadinya efusi pleura
(Smeltzer & Bare, 2005). Misalnya terapi diuretik akan diberikan kepada pasien dengan
efusi pleura yang disebabkan oleh gagal jantung (Celli, 2011). Efusi pleura yang disebabkan
oleh infeksi bakteri akan diterapi dengan pemberian antibiotik. Sedangkan, pada kasus-kasus
efusi pleura yang terjadi akibat rendahnya protein serum misalnya pada penyakit sirosis hati,
maka medikasi akan difokuskan pada penambahan albumin serum melalui transfusi
(McGrath & Anderson, 2011).
Medikasi pada kasus keganasan
Terapi medikasi juga merupakan alternatif pilihan tindakan medis untuk kasus efusi
pleura akibat keganasan atau malignansi. Pada kasus efusi pleura akibat malignanasi,
akumulasi cairan di pleura cenderung akan berulang dalam beberapa hari atau minggu
Thoracentesis (Smeltzer & Bare, 2002). Thoracentesis berulang akan diikuti oleh tarapi
untuk manajemen keganasan seperti kemoterapi, radioterapi, dan prosedur operasi seperti
pleuroectomy (Medford & Maskell, 2005).

I. PENGKAJIAN
1. Anamnesis
Anamnesis adalah proses pengkajian tahap awal ketik pertama kali kontak dengan
pasien. Anamnesis diperoleh melalui wawancara dan observasi langsung. Anamnesis
ditujukan untuk memperoleh data identitas demografi pasien meliputi identitas, usia, jenis
kelamin, suku bangsa, status pendidikan, riwayat sosio-ekonomi pasien. Selain itu, hal
paling penting dari anamnesis adalah untuk menanyakan keluhan utama pasien
(Muttaqin, 2010). Pada kasus efusi pleura biasanya akan ditemukan keluhan utama sesak
berat, keluhan nyeri pada dada terutama saat batuk dan bernapas (Garrido et al, 2005).
Riwayat penyakit saat ini adalah hal kedua yang ditanyakan setelah keluahan
utama saat anamnesis. Riwayat penyakit saat ini mencakup pertanyaan untuk mengetahui
keluhan yang dirasakan, sudah berapa lamakeluhan dirasakan, dan tindakan apa saja yang
sudah dilakukan untuk mengurangi keluhan (Garrindo et all, 2005). Klien dengan efusi
pleura biasanya akan diawali dengan keluhan batuk, sesak napas, nyeri pluritis, rasa berat
pada dada, dan berat badan menurun (Muttaqin, 2010).
Pengkajian awal pada saat anamnesis juga bertujuan menanyakan riwayat riwayat
penyakit masa lalu dan riwayat penyakit keluarga. Pada klien dengan efusi pleura perlu
ditanyakan apakah ada riwayat penyakit masa lalu pernah menderita TB Paru,
pneumonia, asites, gagal jantung, ginjal, dan keganasan (Muttaqin, 2010). Selain itu,
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang
mungkin dapat menyebabkan efusi pleura seperti kanker paru, asma, TB paru, dan
sebagainya (Soemantri, 2007).
Salah satu data penting saat melakukan anamnenis adalah pengkajian psikososial.
Pengkajian psikososial meliputi apa yang dirasakan pasien terhadap penyakitnya, cara
mengatasinya, serta bagaimana perilaku terhadap tindakan yang dilakukan terhadapnya
(Muttaqin, 2010). Pengkajian psikososial ini bertujuan mengetahui respon psikologis
pasien terhadap penyakit yang dideritanya serta mekanisme dan sumber koping yang
dapat dimanfaatkan untuk mendukung proses penyembuhan pasien (Soemantri, 2007).

2. Pemeriksaan Fisik
Efusi pleura didiagnosa melalui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.Pemeriksaan fisik dilakukan melalui inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
(Padmosoetardjo & Soetedjo, 2010). Pemeriksaan fisik secara sistematis dilakukan dari
kepala hingga kaki (head to toe) dan melibatkan seluruh sistem yang terlibat (Lynn,
2011).
Pada kasus efusi pleura pemeriksaan fisik difokuskan pada pemeriksaan organ
yang berkaitan dengan sistem pernapasan (Endacott, Jevon, & Cooper, 2009). Muttaqin
(2010) dalam bukunya berjudul Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan menjelaskan bahwa pemeriksaan fisik pasien efusi pleura berfokus pada 5
sistem yang disingkat menjadi 5B yaitu (1) Breathing (B1) terkait sistem pernapasan, (2)
Blood (B2) terkait pemeriksaan sistem kardiovaskular. (3) Brain (B3) terkait sistem saraf,
(3) Bladder (B4) terkait sistem perkemihan, dan (5) Bowel (B5) terkait sistem
pencernaan.
a. Breathing (B1)
Breathing adalah pemeriksaan terkait sistem pernapasan. Pemeriksaan sistem
pernapasan dilakukan melaui teknik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi (Lynn,
2011). Pada saat isnpkesi akan terlihat peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan
yang disertai penggunaan otot-otot bantu pernapasan (Padmosoetardjo & Soetedjo,
2010). Selain itu, dapat juga diamati gerakan pernapasan atau ekspansi dada yang
tidak simetris (pergerakan dada yang tertinggal pada sisi yang sakit). Temuan umum
lainnya saat inspeksi adalah iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisi
yang sakit), dan peningkatan batuk yang produktif dan sputum yang purulen
(Muttaqin, 2010).
Pemeriksaan fisik paru juga dilakukan melalui palpasi, perkusi, dan
auskultasi. Temuan umum pada palpasi adalah penurunan taktil fremitus terutama
untuk efusi pleura dengan akumulasi cairan > 300cc (Muttaqin, 2010). Di samping
itu, pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal yaitu pada
area yang sakit pada kasus efusi pleura unilateral (Haugen & Galura, 2012).
Sementara itu, pada saat perkusi akan ditemukan suara redup hingga pekak
tergantung jumlah cairan yang terakumulasi di rongga pleura (Smeltzer & Bare,
2002). Suara napas menurun sampai menghilang pada area paru yang sakit, pada
posisi duduk cairan semakin menghilang semakin ke atas.
b. Blood (B2)
B2 berfokus pada pemeriksaan terkait sistem kardiovaskular. Pada saat
dilakukan inspeksi perlu diperhatikan letak ictus kordis normal yaitu pada ICS 5 linia
media clavicularis kiri selebar 1 cm (Mutaqqin, 2010). Pemeriksaan ini berguna
untuk mengatahui ada tidaknya pergeseran jantung. Palpasi dilakukan untuk
menghitung denyut jantung dan harus diperhatikan keteraturan dan kedalaman
denyutnya. Selain itu, perlu juga diperhatikan ada tidaknya thrill, yaitu getaran ictus
cordis (Smeltzer & Bare, 2002). Tindakan perkusi digunakan untuk menentukan
batas jantung. Hal ini diperlukan untuk menentukan apakah ada pergeseran jantung
akibat pendorongan cairan pleura. Auskultasi juga dilakukan untuk menentukan
suara jantung 1 dan II atau adakah suara jantung ke III yang merupakan gejala payah
jantung (Padmosoetardjo & Soetedjo, 2010)
c. Brain (B3)
Pengkajian B3 adalah pengkajian yang bertujuan untuk melihat kelainan pada
sistem saraf pusat. Pengkajian sistem utama saraf pusat adalah tingkat kesadaran.
Pada saat dilakukan inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji. Pemeriksaan dapat
dilakukan melalui pemeriksaan secara kualitatif dan kualitatif. Tingkat kesadaran
secara kualitatif adalah seperti Compos Mentis, Apatis, Somnolen, Sopor, Coma
(Padmosoetardjo & Soetedjo, 2010). Pemeriksaan kesadaran secara kuantitatif dinilai
melalui Glasgow Coma Scale (GCS). GCS terdiri dari respon buka Mata (E/Eye),
respon motorik (M), dan respon verbal (V). Selain itu, perlu juga dikaji respon
respon sensorik seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, dan
perabaan (Smeltzer & Bare, 2002).
d. Bladder (B4)
Bladder adalah pengkajian yang berfokus pada keseimbangan cairan. B4
dikaji melalui pengukuran urin output dan pencatatan cairan yang masuk baik secara
oral maupun parenteral (Smeltzer & Bare, 2002). Pengukuran urin output dilakukan
untuk melihat hubungan dengan intake cairan. Pada kasus kasus efusi pleura akibat
tekanan hidrostatik yang meningkat seperti pada kasus gagal jantung dan gagal ginjal
balance cairan perlu diperhatikan secara ketat karena overload cairan dapat
memperburuk efusi pleura (Muttaqin, 2010).
e. Bowel (B5)
B5 adalah pengkajian yang bertujuan untuk mengetahui fungsi sistem
pencernaan. Pengkajian B5 dilakukan pada sekitar wilayah abdomen melalui
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi (smeltzer & Bare, 2002). Pada saat palpasi
hal yang perlu diperhatikan adalah apakah abdomen membuncit atau mendatar, tepi
perut menonjol atau tidak, umbilikus menonjol atau tidak, selain itu perlu diinspeksi
apakah ada massa atau tidak. Pada pasien efusi pleura biasanya didapatkan adanya
indikasi mual atau muntah dan penurunan nafsu makan (Muttaqin, 2010).

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif
3. Nyeri akut
4. Intoleransi Aktivitas
5. Risiko infeksi
K. FOKUS INTERVENSI
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan paru yang menurun.
a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali efektif.
b. Kriteria hasil:
1) RR = 16 -24 x/menit
2) Tidak ada dispnea
3) Pengembangan paru maksimal
c. Intervensi :
1) Aturlah posisi dengan memungkinkan ekspansi paru maksimum dengan semi
fowler atau kepala agak tinggi kurang lebih 30 derajat.
Rasional : Posisi semi fowler akan meningkatkan ekspansi paru.
2) Kaji pernapasan, irama, kedalaman atau gunakan oksimetri nadi untuk memantau
saturasi oksigen
Rasional : Tachipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering
terjadi karena ketidaknyaman gerakan dinding dada.
3) Berikan bantal atau sokongan agar jalan nafas memungkinkan tetap terbuka
Rasional : Sokongan bantal akan membantu membuka jalan napas.
4) Ajarkan teknik relaksasi
Rasional : Relaksasi akan membantu menurunkan kecemasan sehingga
kebutuhan O2 tidak meningkat.
5) Kolaborasi oksigen sesuai kebutuhan
Rasional : Pemberian O2 akan membantu memenuhi kebutuhan O2 tubuh.

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi saluran pernafasan
akibat peningkatan mukus yang berlebih.
a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan bersihan jalan nafas efektif.
b. Kriteria Hasil : Tidak ada dyspnea, perkusi paru sonor, tidak ada penggunaan otot
bantu nafas, tidak ada batuk produktif
c. Intervensi :
1) Auskultasi area paru, catat area penurunan / tidak ada aliran udara dan bunyi
nafas lain.
Rasional : Penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan.
Bunyi nafas bronkhial (normal pada bronkhus) dapat juga terjadi pada area
konsolidasi. Krekels terdengar pada inspirasi.
2) Kaji frekuensi / kedalaman pernafasan dan gerakan dada.
Rasional : Tachipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering
terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada/ atau cairan paru.
3) Atur posisi semi fowler atau fowler.
Rasional : Posisi duduk memungkinkan upaya nafas lebih dalam dan lebih kuat.
4) Berikan obat sesuai indikasi : mukoitik, ekspektoran, bronkodilator, analgetik
Rasional : Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi sekret.
Analgetik diberikan untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan
ketidaknyamanan tetapi harus digunakan hati-hati.
5) Berikan cairan tambahan IV atau oksigen
Rasional : Cairan diperlukan untuk menggantikan kehilangan (termasuk tak
tampak) dan memobilisasikan secret.

3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (insersi jarum/ selang WSD)
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat mengontrol nyeri
b) Kriteria Hasil :
1) Melaporkan nyeri
2) Frekuensi nyeri
3) Lamanya episode nyeri
4) Ekspresi nyeri; wajah
5) Perubahan respirasi rate
6) Perubahan tekanan darah
7) Kehilangan nafsu makanKlien tidak tampak kelemahan
c) Intervensi :
1) Kaji keluhan nyeri, lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, dan
beratnya nyeri.
2) Observasi respon ketidaknyamanan secara verbal dan non verbal.
3) Pastikan klien menerima perawatan analgetik dg tepat.
4) Gunakan strategi komunikasi yang efektif untuk mengetahui respon
penerimaan klien terhadap nyeri.
5) Evaluasi keefektifan penggunaan kontrol nyeri
6) Monitoring perubahan nyeri baik aktual maupun potensial.
7) Sediakan lingkungan yang nyaman.
8) Kurangi faktor-faktor yang dapat menambah ungkapan nyeri.
9) Ajarkan penggunaan tehnik relaksasi sebelum atau sesudah nyeri berlangsung.
10) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk memilih tindakan selain obat
untuk meringankan nyeri.
11) Tingkatkan istirahat yang adekuat untuk meringankan nyeri.

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan


O2, kelemahan umum.
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien toleran terhadap aktivitas
b) Kriteria Hasil :
1) Klien tidak tampak kelemahan
2) Dyspnea berkurang
3) Tidak ada dyspnea saat aktivitas
4) Tidak ada sianosis setelah aktivitas
5) Dapat beraktivitas optimal
c) Intervensi :
1) Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas, catat lapoan dyspnea, peningkatan
kelemahan / kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan setelah aktivitas.
Rasional : Menetapkan kemampuan/ kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan
intervensi.
2) Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai
indikasi.
Rasional: Menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat.
3) Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya
keseimbangan aktivitas dan istirahat.
Rasional : Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan
kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan.
4) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.
Rasional : Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen.

5. Resiko infeksi berhubungan dengan pembedahan, adanya saluran invasive.


a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak mengalami
infeksi.
b. Kriteria hasil :
Memperlihatkan pengetahuan tentang faktor resiko yang berkaitan dengan infeksi
dan melakukan tindakan pencegahan yang tepat untuk mencegah infeksi.
Intervensi
1) Kaji status nutrisi, kondisi penyakit yang mendasari. Rasional : mengidentifikasi
individu terhadap infeksi nosocomial
2) Cuci tangan dengan cermat. Rasional : kurangi organisme yang masuk ke dalam
individu.
3) Rawat luka dengan teknik aseptik/ antiseptik. Rasional : kurangi organisme yang
masuk ke dalam individu
4) Observasi terhadap manifestasi klinis infeksi (demam, drainase, purulen).
Rasional : deteksi dini proses infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Garrido et al. (2005). Diagnosis and treatment for Pleural Effusion. Arch Bronconeumol.
2006;42(7):349-72. Diakses pada 3 Mei 2019 pada
www.archbronconeumol.org/en/pdf/13090862/S300/

Herdman, T. Heather. 2018. NANDA-I diagnosis keperawatan : definisi dan klasifikasi 2018-
2020. Jakarta : EGC

Lyyn, P. (2011). Taylor’s Handbook of Clinical Nursing Skills. Lippincott: Williams and
Wilkins.

Muttaqin, A. (2010). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Masalah Pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika

Nursing Interventions Classification (NIC)., 2016, 6th Indonesian edition

Nursing Outcomes Classification (NOC)., 2016, 5 th Indonesian edition

Padmosoeparto, H., Soetedjo, F.A. (2007). Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik. Diakses pada
tanggal 3 Mei 2019 pada: http://www.scribd.com/doc/35821555/Anamnesa-Pemeriksaan-
Fisik

Potter, P. A. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Edisi 4, Volume2. Jakarta:


EGC

Price, S. A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6,Volume I. Jakarta:
EGC

Rubins, J . (2013). Pleural Efussion. Diakses pada tanggal 3 Mei 2019 pada
http://emedicine.medscape.com/article/299959-overview

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2002). Brunner & Suddarth Textbook of Medical Surgical Nursing.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Wedro, B. (2014). Pleural Effusion. MedicineNet: Diakses pada tanggal 3 Mei 2019 pada
http://www.onhealth.com/pleural_effusion/article.htm

Anda mungkin juga menyukai