Anda di halaman 1dari 44

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) EFUSI PLEURA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura dapat terjadi oleh banyak hal diantaranya adanya
bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediastinum, ataupun
akibat proses keradangan seperti tuberculosis dan pneumonia. Hambatan reabsorbsi cairan
tersebut mengakibatkan penumpukan cairan di rongga pleura yang disebut efusi pleura. Efusi
pleura tentu mengganggu fungsi pernapasan sehingga perlu penatalaksanaan yang baik. Pasien
dengan efusi pleura yang telah diberikan tata laksana baik diharapkan dapat sembuh dan pulih
kembali fungsi pernapasannya, namun karena efusi pleura sebagian besar merupakan akibat dari
penyakit lainnya yang menghambat reabsorbsi cairan dari rongga pleura, maka pemulihannya
menjadi lebih sulit. Karena hal tersebut, masih banyak penderita dengan efusi pleura yang telah
di tatalaksana namun tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.

Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitar 50-60% penderita
keganasan pleura primer. Sementana 95% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat
disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi
pleura.

Kejadian efusi pleura yang cukup tinggi apalagi pada penderita keganasan jika tidak
ditatalaksana dengan baik maka akan menurunkan kualitas hidup penderitanya dan semakin
memberatkan kondisi penderita. Paru-paru adalah bagian dari sistem pernapasan yang sangat
penting, gangguan pada organ ini seperti adanya efusi pleura dapat menyebabkan gangguan
pernapasan dan bahkan dapat mempengaruhi kerja sistem kardiovaskuler yang dapat berakhir
pada kematian.

Perbaikan kondisi pasien dengan efusi pleura memerlukan penatalaksanaan yang tepat oleh
petugas kesehatan termasuk perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan di rumah sakit. Untuk
itu maka perawat perlu mempelajari tentang konsep efusi pleura dan penatalaksanaannya serta
asuhan keperawatan pada pasien dengan efusi pleura. Maka dalam makalah ini akan dibahas
bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan efusi pleura.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimanakah konsep penyakit efusi pleura?

1.2.2 Bagaimanakah proses asuhan keperawatan pada pasien dengan efusi pleura?
1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui bagaimana proses asuhan keperawatan pada pasien dengan efusi pleura

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi konsep efusi pleura meliputi definisi, etiologi, manifestasi klinis dan
patofisiologi
2. Mengidentifikasi proses keperawatan pada efusi pleura meliputi pengkajian, analisa data
dan diagnosa, intervensi dan evaluasi

1.4 Manfaat

1.4.1 Mahasiswa memahami konsep dan proses keperawatan pada klien dengan gangguan
efusi pleura sehingga menunjang pembelajaran mata kuliah respirasi.

1.4.2 Mahasiswa mengetahui proses keperawatan yang benar sehingga dapat menjadi bekal
dalam persiapan praktik di rumah sakit

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses penyakit primer jarang
terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih,
yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus (Baughman C
Diane, 2000).

Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan
visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit
sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan
(5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak
tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga pleura. (Price
C Sylvia, 1995)

2.2 Etiologi

Kelainan pada pleura hampir selalu merupakan kelainan sekunder. Kelainan primer pada pleura
hanya ada dua macam yaitu infeksi kuman primer intrapleura dan tumor primer pleura.
Timbulnya efusi pleura dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi :

1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada
dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor
ovarium) dan sindroma vena kava superior.
2. Peningkatan produksi cairan berlebih, karena radang (tuberculosis, pneumonia, virus),
bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor
dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena tuberculosis.

Secara patologis, efusi pleura disebabkan oleh keadaan-keadaan:

1. Meningkatnya tekanan hidrostatik (misalnya akibat gagal jantung)


2. Menurunnya tekanan osmotic koloid plasma (misalnya hipoproteinemia)
3. Meningkatnya permeabilitas kapiler (misalnya infeksi bakteri)
4. Berkurangnya absorbsi limfatik

Penyebab efusi pleura dilihat dari jenis cairan yang dihasilkannya adalah:

1. Transudat

Gagal jantung, sirosis hepatis dan ascites, hipoproteinemia pada nefrotik sindrom, obstruksi vena
cava superior, pasca bedah abdomen, dialisis peritoneal, dan atelektasis akut.

1. Eksudat
1. Infeksi (pneumonia, TBC, virus, jamur, parasit, dan abses)
2. Neoplasma (Ca. paru-paru, metastasis, limfoma, dan leukemia)

Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastik,
tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat
mekanisme dasar :

a. Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik

b. Penurunan tekanan osmotic koloid darah

c. Peningkatan tekanan negative intrapleural


d. Adanya inflamasi atau neoplastik pleura

Perbedaan cairan transudat dan eksudat (Somantri, 2008: 99)

Indikator Transudat Eksudat


1. Warna 1. Kuning pucat dan 1. Jernih, keruh, purulen,
2. Bekuan jernih dan hemoragik
2. (-) 2. (-)/(+)
3. >1018
4. Bervariasi, >1000/uL
1. Berat Jenis 5. Biasanya banyak
2. Leukosit 1. <1018 6. Terutama PMN
3. Eritrosit 2. <1000 /uL 7. >50% serum
4. Hitung jenis 3. sedikit 8. >60% serum
5. Protein Total 4. MN (limfosit/mesotel) 9. = / < plasma
6. LDH 5. <50% serum
7. Glukosa 6. <60% serum 10. 4-6 % atau lebih
7. =plasma
10. Fibrinogen 11. >50% serum
10. 0,3-4%
11. Amilase 12. (-) / (+)
11. (-)
12. Bakteri
12. (-)

2.3 Patofisiologi

Pada umumnya, efusi terjadi karena penyakit pleura hampir mirip plasma (eksudat) sedangkan
yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat plasma (transudat). Efusi dalam
hubungannya dengan pleuritis disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pleura parietalis
sekunder (efek samping dari) peradangan atau keterlibatan neoplasma. Contoh bagi efusi pleura
dengan pleura normal adalah payah jantung kongestif. Pasien dengan pleura yang awalnya
normal pun dapat mengalami efusi pleura ketika terjadi payah/gagal jantung kongestif. Ketika
jantung tidak dapat memompakan darahnya secara maksimal ke seluruh tubuh terjadilah
peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler yang selanjutnya menyebabkan hipertensi kapiler
sistemik. Cairan yang berada dalam pembuluh darah pada area tersebut selanjutnya menjadi
bocor dan masuk ke dalam pleura. Peningkatan pembentukan cairan dari pleura parietalis karena
hipertensi kapiler sistemik dan penurunan reabsorbsi menyebabkan pengumpulan abnormal
cairan pleura.

Adanya hipoalbuminemia juga akan mengakibatkan terjadinya efusi pleura. Peningkatan


pembentukan cairan pleura dan berkurangnya reabsorbsi. Hal tersebut berdasarkan adanya
penurunan pada tekanan onkotik intravaskuler (tekanan osmotic yang dilakukan oleh protein).
Luas efusi pleura yang mengancam volume paru-paru, sebagian akan tergantung atas kekuatan
relatif paru-paru dan dinding dada. Dalam batas pernapasan normal, dinding dada cenderung
rekoil ke luar sementara paru-paru cenderung untuk rekoil ke dalam (paru-paru tidak dapat
berkembang secara maksimal melainkan cenderung untuk mengempis).

2.4 Manifestasi Klinis

Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan penyakit dasar. Pneumonia akan
menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis, sementara efusi malignan dapat
mengakibatkan dipsnea dan batuk. Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala. Efusi pleura
yang luas akan menyebabkan sesak nafas. Area yang mengandung cairan atau menunjukkan
bunyi napas minimal atau tidak sama sekali menghasilkan bunyi datar, pekak saat diperkusi.
Egofoni akan terdengar di atas area efusi. Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat
terjadi jika penumpukan cairan pleural yang signifikan. Bila terjadi efusi pleural kecil sampai
sedang, dipsnea mungkin saja tidak terdapat. Berikut tanda dan gejala:

1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan
cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.

2. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis
(pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak.

3. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan
pleural yang signifikan.

4. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan
berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah
(raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan
membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).

5. Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas garis
Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong
mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.

6. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

Keberadaan cairan dikuatkan dengan rontgen dada, ultrasound, pemeriksaan fisik, dan
torakosentesis. Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan Gram, basil tahan
asam (untuk tuberkulosis), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa,
amylase, laktat dehidrogenase, protein), analisis sitologi untuk sel-sel malignan, dan pH. Biopsi
pleura mungkin juga dilakukan.
2.5 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan
kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dipsnea. Pengobatan spesifik
ditujukan pada penyebab dasar (misal gagal jantung kongestif, pneumonia, seosis)

Torakosintesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna keperluan
analisis, dan untuk menghilangkan dipsnea. Namun bila penyebab dasar adalah malignansi, efusi
dapat terjadi kembali dalam beberapa hari atau minggu. Torasentesis berulang menyebabkan
nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan kadang pneumotoraks. Dalam keadaan ini pasien
mungkin diatasi dengan pemasangan selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke system
drainase water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasi ruang pleura dan pengembangan paru.

Agens yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin, dimasukkan ke dalam ruang pleura
untuk mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut. Setelah agens
dimasukkan, selang dada diklem dan pasien dibantu untuk mengambil berbagai posisi untuk
memastikan penyebaran agens secara merata dan untuk memaksimalkan kontak agens dengan
permukaan pleural. Selang dilepaskan klemnya sesuai yang diresepkan, dan drainase dada
biasanya diteruskan beberapa hari lebih lama untuk mencegah reakumulasi cairan dan untuk
meningkatkan pembentukan adhesi antara pleural viseralis dan parietalis.

Modalitas penyakit lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada, bedah
pleurektomi, dan terapi diuretic. Jika cairan pleura merupakan eksudat, posedur diagnostic yang
lebih jauh dilakukan untuk menetukan penyebabnya. Pengobatan untuk penyebab primer
kemudian dilakukan.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Foto Thorax

Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva,
dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaannya
horisontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal
dari luar atau dari dalam paru-paru sendiri. Kadang-kadang sulit membedakan antara bayangan
cairan bebas dalam pleura dengan adhesi karena radang (pleuritis). Disini perlu pemeriksaan foto
dada dengan posisi lateral dekubitus.

1. CT – SCAN

Pada kasus kanker paru Ct Scan bermanfaat untuk mendeteksi adanya tumor paru juga sekaligus
digunakan dalam penentuan staging klinik yang meliputi :
1.
1. menentukan adanya tumor dan ukurannya
2. mendeteksi adanya invasi tumor ke dinding thorax, bronkus, mediatinum dan
pembuluh darah besar
3. mendeteksi adanya efusi pleura

Disamping diagnosa kanker paru CT Scan juga dapat digunakan untuk menuntun tindakan trans
thoracal needle aspiration (TTNA), evaluasi pengobatan, mendeteksi kekambuhan dan CT
planing radiasi.

2.7 WOC (Web Of Caution)

DOWNLOAD : WOC ASKEP EFUSI PLEURA

ASUHAN KEPERAWATAN

FORMAT PENGKAJIAN

Tanggal MRS : Rabu, 20 Oktober 2010 Jam Masuk : 13.00 WIB

Tanggal Pengkajian: 22 Oktober 2010 No. RM : 11.09.68.45

Jam Pengkajian : 12.00 WIB Diagnosa Masuk : small cell

carcinoma + efusi plera (D)

Ruang/ Kelas : PALEM I/ 3 (Paru Laki)

IDENTITAS

Nama : Tn. B

Umur : 53 tahun/ 3 bulan/ 5 hari

Suku/ Bangsa : Jawa/ WNI

Agama : Khatolik

Alamat : Candi Lontar blok 41-I/ 30, Surabaya, Jawa Timur

Pekerjaan : Ekspedisi di Perak


Keluhan Utama : sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien rujukan dari IRD RKZ dengan mula-mula sesak pada bulan Juli 2010. Sesak
hilang timbul, di sertai nyeri dada terutama saat beraktifitas dan terkadang juga pada malam hari
sesak timbul kembali, ketika pasien sesak, pasien mencoba tidur dengan posisi duduk. Sebelum
sesak pasien mengeluh batuk selama kurang lebih selama satu bulan. Batuk tanpa disertai dahak,
dan mengkonsumsi obat batuk namun tidak sembuh. Karena sesak bertambah hebat, pasien ke
UGD RKZ dan setelah di sana kurang lebih 1,5 jam pasien dirujuk ke poli paru RS. Dr Soetomo
karena keadaan ekonomi.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Agustus 2010 pasien operasi hernia di RKZ (preoperasi melakukan rongent dan di
katakana ada sesuatu di paru-paru). Post operasi disuruh untuk control lagi bulan Oktober
(pasien melakukan foto dada dan CT-scan). Sebelumnya tidak ada batuk darah, keringat dingin,
DM, HT, asma, alergi.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Riwayat penyakit keturunan: keluarga mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami
sakit seperti pasien. Keluarga mengatakan tidak ada riwayat keganasan, batuk lama, batuk
berdarah, keringat dingin, DM, HT, asma, alergi.

PERILAKU YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN

Pasien tidak mengkonsumsi alcohol, tetapi pasien adalah perokok berat dimana dapat
mengkonsumsi satu bungkus dalam sehari dan hal itu sudah dilakukan lebih dari 10 tahun.
Dalam sehari pasien mampu manghabiskan rokok 1 bungkus bahkan lebih. Pekerjaan pasien
sebagai ekspedisi di perak yang selalu keluar pada malam hari. Saat pengkajian pasien mengaku
tidak mengerti bahwa pola hidupnya dapat mengakibatkan kanker paru, hal tersebut merupakan
kurangnya sumber informasi bagi pasien.

OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK

1. Tanda Tanda Vital

Kesadaran compos mentis.

Tanda-tanda vital:

Suhu: 37˚C Nadi: 96×/ menit. RR:26x/menit TD:140/90mmHg

1. Sistem Pernafasan (B1)


Nafas pasien tersengal-sengal cepat, pendek, terasa lebih sesak meningkat/ bertambah setelah
beraktifitas dan terdapat nyeri. Tidak ada pernafasan cuping hidung dan tidak ada retraksi otot
bantu nafas. Gerak dada kiri dan kanan simetris, terdapat suara nafas tambahan berupa ronki di
bagian dekstra apeks. Adanya secret dan batuk produktif tetapi batuk tidak efektif. Irama nafas
teratur terdapat dispnoe, pasien tidak menggunakan alat bantu nafas, suara nafas vesikuler.
Terdapat hasil torakosintesis yang dilakukan pada pukul 11.30,dan ternyata masih terdapat
cairan di kavum pleura sebanyak 500 cc.

1. Sistem Kardiovaskuler (B2)

Pasien tidak mengalami nyeri dada, irama jantung regular. Pasien tidak terpasang CVC sehingga
CVP tidak terkaji. CRT normal kurang dari tiga detik, dan akral merah, hangat dan kering.

1. Sistem Persyarafan (B3)

Pasien tidak merasa pusing, tidak terdapat gangguan pendengaran, dan tidak mengalami
gangguan penciuman. Istirahat pasien 8 jam/ hari. Dan pasien mengaku tidak mengalami
gangguan tidur. Namun setelah bangun tidur sering sesak nafas.

1. Sistem Perkemihan (B4)

Menurut pasien, alat genetalia nya dalam kondisi bersih, dan tidak mengalami keluhan kencing.
Volume urin pasien normal, dan tidak terpasang kateter.

1. Sistem Pencernaan (B5)

Mulut pasien tampak bersih, lembab dan tidak ada stomatitis, tidak bau mulut, gigi sempurna
(tidak terdapat karies gigi), lidah merah, kelainan tidak ada, pasien tidak mengalami gangguan
menelan. Tidak terdapat luka operasi, peristaltic 9x/ menit dengan suara peristaltic terdengar
lemah, BAB 1x sehari terakhir pada tanggal 22-10-2010 dengan konsistensi lunak warna
kecoklatan, dan bau khas, nafsu makan menurun.

1. Sistem Muskoleskeletal (B6)

Pergerakan sendi pasien bebas, tidak mengalami fraktur. Tidak mengalami kelainan tulang
belakang, tidak menggunakan traksi gips spalk, permukaaan kulit terlihat mengkilat, dan tekstur
halus. Rambut putih hitam bersih, tidak terdapat dekubitus. Pasien mengalami intoleransi
aktifitas dikarenakan jika terlalu banyak bergerak, akan timbul sesak napas.

1. Sistem Endokrin

Leher pasien tidak terlihat membesar, saat pemeriksaan Pasien tidak mengalami pembesaran
kelenjar tiroid dan tidak mengalami pembesaran kelenjar betah bening, Hiperglikemia (-),
hipoglikemia (-).

PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
Pasien tidak mengalami gangguan pada psikososial. Pasien dapat berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya dan dapat kooperatif dengan tenaga medis.

PERSONAL HYGIENE DAN KEBIASAAN

Klien mengatakan mandi sehari 2x dan keramas 1-2 kali seminggu. Kuku terlihat bersih dan
pendek, memakai arloji di tangan sebelah kanan pasien untuk melihat waktu kapan dia harus
menjalani pengobatan, membersihkan diri, jam istirahat, dan makan. Semua nya terlihat bersih
dan rapi, pakaian ganti sehari 2x, menggosok gigi 2x sehari, tidak lupa untuk membersihkan
telinga serta lubang hidung setiap hari.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Foto Thorax

Hasil torakosintesis pada tanggal 20-10-2010 sebesar 500cc

Hasil torakosintesis 22-10-2010 pukul11.30 sebesar 500cc

Foto Thorak 20-10-2010: efusi pleura dekstra

1. 2. CT – SCAN

CT Scan 20-10-2010: Ca paru dextra

ANALISIS DATA

No. Data Etiologi Masalah


1 S : Pasien mengatakan Ca paru Bersihan jalan napas
batuk sesekali tidak efektif.

O : – sesekali batuk tetapi
tidak efektif. – Terdapat Massa di broncus
ronkhi pada bagian apeks
dextra. ↓

–sekret (+) putih Respon silia berusaha


kekuningan, kental menghilangkan massa dengan
hipersekresi mukus
–batuk produktif, tidak
efektif ↓

Secret/mucus tertahan di
saluran napas

Ronkhi (+)

Bersihan jalan napas tidak


efektif
2. S : Pasien mengeluh sesak Efusi Pleura Pola napas tidak
napas saat bernapas. efektif.

O:
Akumulasi
– RR = 26 x/ menit cairan pada rongga
pleura
– Denyut nadi =
96 x/menit ↓

– Pasien bernapas Ekspansi paru menurun


tersengal-sengal cepat,
pendek ↓

–ICS melebar dekstra RR meningkat

–retraksi (-) otot bantu ↓


nafas (-)
Pola napas tidak efektif
–fremitus raba ↓

–perkusi redup (D)

3. S : Pasien mengeluh nyeri Efusi Pleura Intoleransi aktifitas


dada sesak saat beraktifitas
yang berat. ↓

O : – Pasien tampak lemah. Ekspansi paru tidak

–sesak nyeri ↑ saat maksimal


dipindahkan posisinya dari
duduk ke berdiri ↓
Suplai oksigen menurun

RR meningkat

Distribusi oksigen ke seluruh


tubuh menurun

Terjadi metabolisme anaerob


dalam tubuh

Timbul asam laktat

Nyeri

Intoleransi aktifitas
4. S : Pasien mengeluh nyeri Efusi Pleura Nyeri
pada bagian dada (D).

P : perpindahan posisi
Cairan menekan dinding
Q : nyeri sedang pleura

R : dada (D) ↓

S : 5 Rangsangan pada nosiseptor


nyeri
T : muncul saat aktivitas

O : Nadi
96x/menit, ekspresi wajah Nyeri
menyeringai/ kesakitan saat
dipindahkan posisinya dari
duduk ke berdiri.
RENCANA INTERVENSI

Hari Jam Diagnose Intervensi Rasional


/ keperawatan
tangg
al (tujuan, criteria
hasil)
22- 12.0 Bersihan jalan 1. Berikan posisi semi fowler 1. Peninggian kepala tempat
10- 0 nafas tidak (30° - 45°) tidur
2010 efektif berhubu mempermudah fungsi
ngan dengan pernafasan dengan
adanya secret menggunakan gravitasi, dan
tertahan di jalan untuk meningkatkan ekspansi
nafas paru.
2. Nafas dalam membantu
Tuj : 3 X 24 memenuhi kecukupan O2 dan
jam bersihan memobilisasi secret untuk
jalan nafas membersihkan jalan nafas dan
efektif membantu mencegah
komplikasi pernafasan.
3. Memobilisasi secret untuk
membersihkan jalan nafas dan
KH: membantu mencegah
komplikasi pernafasan.
Secret bisa 4. Obat yang membantu untuk
keluar (+) mengencerkan dahak sehingga
mudah dikeluarkan.
Ronkhi (-) 5. Untuk mengencerkan secret
2. Ajarkan pasien untuk nafas sehingga lebih mudah untuk
RR: 16- dalam dan batuk efektif dikeluarkan.
20x/menit
3. Lakukan postural drainage

4. Kolaborasi pemberian
ekspetoran pada pasien

5. Anjurkan pasien untuk


banyak minum, terutama air
hangat.
22- 12.1 Pola nafas tidak 1. Berikan posisi semi 1. Peninggian kepala tempat
10- 0 efektif fowler (30° - 45°) tidur mempermudah fungsi
2010 berhubungan pernafasan dengan
dengan menggunakan gravitasi, dan
penurunan untuk meningkatkan ekspansi
ekspansi paru paru.
akibat 1. Meningkatkan suplai
akumulasi oksigen
cairan di kavum
plura.

Tuj : 3X 24 jam
pola nafas
1. Mengatur irama nafas
pasien efektif sehingga meningkatkan suplai
O2
2. Klien patuh terhadap terapi
3. Memantau pola nafas pasien
KH:

Sesak (-)

RR: 16- 1. Kolaborasi oksigen


20x/menit tambahan sesuai
dengan indikasi
Retraksi otot 2. Ajarkan pola nafas
bantu nafas (-) efektif (teknik nafas
dalam)
Pernafasan
cuping hidung
(-)
1. Berikan HE penyebab
Pengembangan sesak
dinding dada 2. Observasi TTV 1. Mengurangi cairan pada
simetris terutama RR dan nadi kavum pleura sehingga
serta status ekspansi paru bisa maksimal
Cairan pungsi pernafasan(pernafasan dan sesak berkurang.
pleura (-) cuping hidung, retraksi
otot bantu
Nadi: 60- nafas,kesimetrisan
100x/menit dinding dada)
3. Kolaborasi

Lakukan torakosintesis ulang


atau pemasangan WSD
22- 12.2 Intoleransi akti 1. Rancang jadwal
10- 0 vitas harian pasien
2010 berhubungan d 1. Meningkatkan tingkat
engan toleransi aktivitas Px.
penurunan
suplai 02 ke
jaringan
sekunder karena 1. Anjurkan individu
gangguan pola untuk istirahat 1 jam
nafas tidak setelah makan
efektif. (misalnya berbaring
dan duduk-duduk).
Tujuan : 3X24
jam
meningkatkan
toleransi 1. Tingkatkan aktivitas 1. Meningkatkan perfusi
aktivitas pasien secara bertahap dengan jaringan dan meningkatkan
periode istirahat suplai oksigen
diantara dua aktifitas
misalnya duduk dulu
sebelum berjalan
setelah tidur 1. Evaluasi kelemahan dan
KH: 2. Kolaborasi : tingkat toleransi aktivitas Px.
pemberian oksigen
– Kelelahan setelah beraktivitas bila
berkurang terjadi peningkatan
status pernafasan
– Toleransi 3. Observasi respon
terhadap individu terhadap
aktivitas aktivitas (status
meningkat pernafasan dan pucat)
1. Mencegah
– Mampu aktivitas Px
beraktivitas yang berlebihan
secara mandiri 2. Meningkatkan
complain paru-
paru dan
mencegah
kelelahan yang
berlebihan.

22- 12: Nyeri pada dada 1. Mengajarkan.


10- 20 yang
2010 berhubungan Tehnik relaksasi: nafas dalam/
dengan distraksi
penekanan
dinding pleura
oleh cairan efusi
pleura

1. Anjurkan pasien untuk


melakukan tirah baring.
Tujuan : nyeri
berkurang
sampai dengan
hilang 3 X 24
jam
KH : 1. Kolaborasi pemberian
obat analgesic.
– Nyeri
berkurang skala
(0–1)

– Ekspresi
menyeringai (-)

– Nadi :
60–100 x/menit

1. Evaluasi karakteristik
nyeri (PQRST)
2. Mengalihkan perhatian
pasien terhadap rasa
nyeri yang sedang
dirasakan.
3. Untuk meminimalkan
mobilisasi pasien,
diharapkan agar nyeri
dapat berkurang.
4. menghindari puncak
periode nyeri, alat
dalam penyembuhan
otot, dan memperbaiki
fungsi pernafasan dan
kenyamanan / koping
emosi
5. untuk mengetahui
perubahan karakteristik
nyeri setelah dilakukan
penatalaksanaan.

Evaluasi
1. Pasien toleran terhadap aktifitasnya sehari-hari.
2. Pasien menunjukkan pola napas normal
3. Pasien dapat mengeluarkan secret sehingga bersihan jalan nafas efektif.
4. Pasien mengatakan bahwa nyeri berkurang atau dapat dikontrol.
5. Pasien menjadi tahu tentang kondisinya dan pengaturan obatnya.

BAB 4

PENUTUP

4.1 Simpulan

Efusi pleural adalah adanya sejumlah besar cairan yang abnormal dalam ruang antara pleural
viseralis dan parietalis. Bergantung pada cairan tersebut, efusi dapat berupa transudat(Gagal
jantung, sirosis hepatis dan ascites) atau eksudat (infeksi dan neoplasma) ; 2 jenis ini penyebab
dan strategi tata laksana yang berbeda. Efusi pleura yang disebabkan oleh infeksi paru disebut
infeksi infeksi parapneumonik. Penyebab efusi pleura yang sering terjadi di negara maju adalah
CHF, keganasan, pneumonia bakterialis, dan emboli paru. Di Negara berkembang, penyebab
paling sering adalah tuberculosis.

Pasien dapat datang dengan berbagai keluhan, termasuk nafas pendek, nyeri dada, atau nyeri
bahu. Pemeriksaan fisik dapat normal pada seorang pasien dengan efusi kecil. Efusi yang lebih
besar dapat menyebabkan penurunan bunyi nafas, pekak pada perfusi, atau friction rub pleura.

4.2 Saran

Efusi pleura merupakan penyakit komplikasi yang sering muncul pada penderita penyakit paru
primer, dengan demikian segera tangani penyakit primer paru agar efusi yang terjadi tidak terlalu
lama menginfeksi pleura.

DAFTAR PUSTAKA
1. Amin, Muhammad dkk (ed). 1989. Ilmu penyakit paru. Surabaya : Airlangga University
Press
2. Baughman, C Diane. 2000. Keperawatan medical bedah. Jakarta: EGC
3. Doenges, E Mailyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk perencanaan
dan pendokumentasian perawatan pasien. Ed3. Jakarta: EGC
4. Hudak,Carolyn M. 1997. Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol.1, Jakarta: EGC
5. J., Purnawan. 1982. Kapita Selekta Kedokteran, Ed2. Jakarta: Media Aesculapius. FKUI
6. Price, Sylvia A. 1995. Patofisiologi : Konsep klinis proses-pross penyakit Ed4. Jakarta:
EGC
7. Somantri, Irman. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
8. Suzanne, Smeltzer c. 2002. Buku Ajar Keperawatan medical Bedah ( Ed8. Vol.1).
Jakarta: EGC
9. Syamsuhidayat, Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah (Ed. Revisi). Jakarta: EGC
10.
11. Tucker, Susan Martin. 1998. Standar perawatan Pasien: proses keperawatan, diagnosis,
dan evaluasi. Ed5. Jakarta: EGC
12.
13. Siregar, Elisa. 2010. Efusi Pleura. http://elisasiregar.wordpress.com/efusi-pleura. Di
akses 10 oktober 2010 pukul 20.15 WIB
14.
15. Ns, Sumedi SKp. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Efusi Pleura. http://maidun-
gleekapay.blogspot.com/2008/09/asuhan-keperawatan-klien-dengan-efusi.html. Di akses
11 oktober 2010 pukul 18.44 WIB
16.
17. Abdul Azis, M. 2010. Efusi Pleura. http://nieziz09.co.cc/efusi-pleura. Di akses 10
oktober 2010 pukul 19.23 WIB
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN EFUSI PLEURA
22 Des

A. Definisi
Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses penyakit
primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat
berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah
atau pus (Baughman C Diane, 2000)
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara
permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural
mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga
pleura. (Price C Sylvia, 1995)

B. Etiologi

1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada
dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor
ovarium) dan sindroma vena kava superior.
2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia, virus),
bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor
dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena tuberculosis.

Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastik,
tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat
mekanisme dasar :
 Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
 Penurunan tekanan osmotic koloid darah
 Peningkatan tekanan negative intrapleural
 Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
C. Tanda dan Gejala
 Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan
cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
 Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat,
batuk, banyak riak.
 Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan
pleural yang signifikan.
 Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan
akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan
duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
 Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler
melemah dengan ronki.
 Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

D. Patofisiologi
Didalam rongga pleura terdapat + 5ml cairan yang cukup untuk membasahi seluruh
permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura
parietalis karena adanya tekanan hodrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian
cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-
20%) mengalir kedalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan disini mencapai 1 liter
seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura, ini terjadi bila
keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada hyperemia akibat
inflamasi, perubahan tekanan osmotic (hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena (gagal
jantung). Atas dasar kejadiannya efusi dapat dibedakan atas transudat dan eksudat pleura.
Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena disertai peningkatan
tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatic karena tekanan osmotic koloid yang menurun.
Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar langsung dari
kapiler sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung
banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah sekali atau nihil
sehingga berat jenisnya rendah.

E. Pemeriksaan Diagnostik
 Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada), pada permulaan didapati menghilangnya sudut
kostofrenik. Bila cairan lebih 300ml, akan tampak cairan dengan permukaan
melengkung. Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum.
 Ultrasonografi
 Torakosentesis / pungsi pleura untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan,
sitologi, berat jenis. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior, pada sela
iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serotorak), berdarah (hemotoraks), pus
(piotoraks) atau kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa mungkin berupa transudat (hasil
bendungan) atau eksudat (hasil radang).
 Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam (untuk
TBC), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase, laktat
dehidrogenase (LDH), protein), analisis sitologi untuk sel-sel malignan, dan pH.
 Biopsi pleura mungkin juga dilakukan

F. Penatalaksanaan medis
 Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah
penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dispneu.
Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (co; gagal jantung kongestif,
pneumonia, sirosis).
 Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna
keperluan analisis dan untuk menghilangkan disneu.
 Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari tatau
minggu, torasentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan
kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi dengan pemasangan selang
dada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase water-seal atau pengisapan
untuk mengevaluasiruang pleura dan pengembangan paru.
 Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin dimasukkan kedalam ruang
pleura untuk mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.
 Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada, bedah
plerektomi, dan terapi diuretic.

G. Water Seal Drainase (WSD)


1. Pengertian
WSD adalah suatu unit yang bekerja sebagai drain untuk mengeluarkan udara dan cairan
melalui selang dada.

2. Indikasi
a. Pneumothoraks karena rupture bleb, luka tusuk tembus
b. Hemothoraks karena robekan pleura, kelebihan anti koagulan, pasca bedah toraks
c. Torakotomi
d. Efusi pleura
e. Empiema karena penyakit paru serius dan kondisi inflamasi

3. Tujuan Pemasangan
 Untuk mengeluarkan udara, cairan atau darah dari rongga pleura
 Untuk mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura
 Untuk mengembangkan kembali paru yang kolap dan kolap sebagian
 Untuk mencegah reflux drainase kembali ke dalam rongga dada.

4. Tempat pemasangan
a. Apikal
 Letak selang pada interkosta III mid klavikula
 Dimasukkan secara antero lateral
 Fungsi untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
b. Basal
 Letak selang pada interkostal V-VI atau interkostal VIII-IX mid aksiller
 Fungsi : untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura

5. Jenis WSD
 Sistem satu botol
Sistem drainase ini paling sederhana dan sering digunakan pada pasien dengan simple
pneumotoraks
 Sistem dua botol
Pada system ini, botol pertama mengumpulkan cairan/drainase dan botol kedua
adalah botol water seal.
 System tiga botol
Sistem tiga botol, botol penghisap control ditambahkan ke system dua botol. System
tiga botol ini paling aman untuk mengatur jumlah penghisapan.

H. Pengkajian
1. Aktifitas/istirahat
Gejala : dispneu dengan aktifitas ataupun istirahat
2. Sirkulasi
Tanda : Takikardi, disritmia, irama jantung gallop, hipertensi/hipotensi, DVJ
3. Integritas ego
Tanda : ketakutan, gelisah
4. Makanan / cairan
Adanya pemasangan IV vena sentral/ infus
5. nyeri/kenyamanan
Gejala tergantung ukuran/area terlibat : Nyeri yang diperberat oleh napas dalam,
kemungkinan menyebar ke leher, bahu, abdomen
Tanda : Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi
6. Pernapasan
Gejala : Kesulitan bernapas, Batuk, riwayat bedah dada/trauma,
Tanda : Takipnea, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, retraksi interkostal,
Bunyi napas menurun dan fremitus menurun (pada sisi terlibat), Perkusi dada :
hiperresonan diarea terisi udara dan bunyi pekak diarea terisi cairan
Observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak sama (paradoksik) bila trauma atau
kemps, penurunan pengembangan (area sakit). Kulit : pucat, sianosis,berkeringat,
krepitasi subkutan

I. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan), gangguan
musculoskeletal, nyeri/ansietas, proses inflamasi.
Kemungkinan dibuktikan oleh : dispneu, takipneu, perubahan kedalaman pernapasan,
penggunaan otot aksesori, gangguan pengembangan dada, sianosis, GDA taknormal.
Tujuan : pola nafas efektif
Kriteria hasil :
– Menunjukkan pola napas normal/efektif dng GDA normal
– Bebas sianosis dan tanda gejala hipoksia
Intervensi :
 Identifikasi etiologi atau factor pencetus
 Evaluasi fungsi pernapasan (napas cepat, sianosis, perubahan tanda vital)
 Auskultasi bunyi napas
 Catat pengembangan dada dan posisi trakea, kaji fremitus.
 Pertahankan posisi nyaman biasanya peninggian kepala tempat tidur
 Bila selang dada dipasang :
a. periksa pengontrol penghisap, batas cairan
b. Observasi gelembung udara botol penampung
c. Klem selang pada bagian bawah unit drainase bila terjadi kebocoran
d. Awasi pasang surutnya air penampung
e. Catat karakter/jumlah drainase selang dada.
 Berikan oksigen melalui kanul/masker
2. Nyeri dada b.d factor-faktor biologis (trauma jaringan) dan factor-faktor fisik
(pemasangan selang dada)
Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
– Pasien mengatakan nyeri berkurang atau dapat dikontrol
– Pasien tampak tenang
Intervensi :
 Kaji terhadap adanya nyeri, skala dan intensitas nyeri
 Ajarkan pada klien tentang manajemen nyeri dengan distraksi dan relaksasi
 Amankan selang dada untuk membatasi gerakan dan menghindari iritasi
 Kaji keefektifan tindakan penurunan rasa nyeri
 Berikan analgetik sesuai indikasi
3. Resiko tinggi trauma/henti napas b.d proses cidera, system drainase dada, kurang
pendidikan keamanan/pencegahan
Tujuan : tidak terjadi trauma atau henti napas
Kriteria hasil :
– Mengenal kebutuhan/mencari bantuan untuk mencegah komplikasi
– Memperbaiki/menghindari lingkungan dan bahaya fisik
Intervensi :
 Kaji dengan pasien tujuan/fungsi unit drainase, catat gambaran keamanan
 Amankan unit drainase pada tempat tidur dengan area lalu lintas rendah
 Awasi sisi lubang pemasangan selang, catat kondisi kulit, ganti ulang kasa penutup
steril sesuai kebutuhan
 Anjurkan pasien menghindari berbaring/menarik selang
 Observasi tanda distress pernapasan bila kateter torak lepas/tercabut.

4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan


Tujuan : Mengetahui tentang kondisinya dan aturan pengobatan
Kriteria hasil :
– Menyatakan pemahaman tentang masalahnya
– Mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup untuk
mencegah terulangnya masalah
Intervensi :
 Kaji pemahaman klien tentang masalahnya
 Identifikasi kemungkinan kambuh/komplikasi jangka panjang
 Kaji ulang praktik kesehatan yang baik, nutrisi, istirahat, latihan
 Berikan informasi tentang apa yang ditanyakan klien
 Berikan reinforcement atas usaha yang telah dilakukan klien .

DAFTAR PUSTAKA

1. Baughman C Diane, Keperawatan medical bedah, Jakrta, EGC, 2000.


2. Doenges E Mailyn, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Ed3. Jakarta, EGC. 1999
3. Hudak,Carolyn M. Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol.1, Jakarta.EGC. 1997
4. Purnawan J. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Ed2. Media Aesculapius. FKUI.1982.
5. Price, Sylvia A, Patofisiologi : Konsep klinis proses-pross penyakit, Ed4. Jakarta. EGC.
1995.
6. Smeltzer c Suzanne, Buku Ajar Keperawatan medical Bedah, Brunner and Suddarth’s,
Ed8. Vol.1, Jakarta, EGC, 2002.
7. Syamsuhidayat, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta, EGC, 1997.
8. Susan Martin Tucker, Standar perawatan Pasien: proses keperawatan, diagnosis, dan
evaluasi. Ed5. Jakarta EGC. 1998.
EFUSI PLEURTA
BAB I
PENDAHULUAN
1. PENGERTIAN

Penyakit paru bukanlah penyakit yang baru di Indonesia. Terutama penyakit paru karena infeksi, seperti
pada penyakit Tuberkulosis paru. Menurut WHO, prevelensi tuberkulosis di Indonesia ialah 715.000
kasus per tahun dan merupakan penyebab kematian urutan ketiga setelah penyakit jantung dan
penyakit saluran pernapasan. Pada kasus pasien laki-laki, berusia 35 tahun dengan keluhan sesak napas,
mengeluh batuk lama dan kambuh-kambuhan, demam hilang timbul dan keringat malam. Sesak yang
dirasakan pasien terjadi dikarenakan oleh pasien telah mengalami efusi pleura.
a. Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di
dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran
cairan pleura. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-200 ml. Cairan
pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein
lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.

b. Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses penyakit primer jarang terjadi
namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin
merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus (Baughman C Diane, 2000)

c. Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan
visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit
sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5
sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa
adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).

d. Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga pleura. (Price C
Sylvia, 1995)

Kesimpulan:
Dari keempat pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa effusi pleura adalah suatu dampak penyakit
dari keadaan terjadinya penumpukan /pengumpulan cairan , pus atau darah dalam rongga pleura yang
dapat berupa transudat dan eksudat. Effusi pleura merupakan suatu tanda atau gejala penyakit yang
serius tetapi tidak dengan sendirinya terjadi penyakit, namun dapat mengancam jiwa penderitanya.

Tingkat besarnya effusi pleura ditentukan oleh faktor-faktor :

a. Jumlah cairan yang sedemikian banyak sehingga terjadi pemburukan fungsi restriktif.
b. Kecepatan pembentukan cairan. Makin cepat terjadi pembentukan cairan makin
memperburuk keadaan penderita.
c. Jenis cairan. Serohemorhagik lebih berbahaya dari non sero hemorhagik.
Memburuknya fungsi paru ini ditentukan oleh jumlah cairan yang terbentuk dalam
satuan waktu
Untuk menggambarkan kecepatan pembentukan ini terdapat istilah effusi pleura maligna. Dimana
jumlah cairan yang terbentuk jauh lebih besar dari jumlah cairan yang diabsorbsi sehingga menimbulkan
kelainan fungsi restriktif selain dari pergeseran alat-alat mediastinal, pembentukan cairan ini disebabkan
oleh keganasan.
Bila terjadi pergeseran alat mediastinal baik yang disebabkan oleh terbentuknya cairan maupun karena
aspirasi cairan, kedua keadaan dapat menimbulkan kegawatan paru.
Persoalan pokok pada penderita effusi pleura maligna adalah mengatasipenambahan jumlah cairan yang
terjadi secara massive dalam waktu singkat. Makin tinggi kecepatan pembentukan cairan pleura makin
tinggi pula tingkat kegawatan yang terjadi. Para penyelidikan juga membuktikan bahwa pembentukan
cairan pleura karena tumor ganas baik metastasis ataupun primer dari pleura merupakan tanda
prognosa yang buruk.

2. ANATOMI PLEURA

Pleura adalah membra tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis dan parietalis. Secara histologis
kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial, jaringaan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan
cairan yang sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis,
sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan mediastinum disebut pleura
parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan
yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada
hillus paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis, diantaranya :
• Pleura visceralis :
- Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis < 30mm.
- Diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit
- Di bawah sel-sel mesothelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit
- Di bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik
- Lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah
kapiler dari a. Pulmonalis dan a. Brakhialis serta pembuluh limfe
- Menempel kuat pada jaringan paru
- Fungsinya. untuk mengabsorbsi cairan. pleura
• Pleura parietalis
- Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat (kolagen dan elastis)
- Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler dari a. Intercostalis dan a. Mamaria interna,
pembuluh limfe, dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan
temperatur. Keseluruhan berasal n. Intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom
dada
- Mudah menempel dan lepas dari dinding dada di atasnya
- Fungsinya untuk memproduksi cairan pleura
3. EPIDEMIOLOGI
Efusi pleura sring terjadi di negara – negara yang sedang berkembang, salah satu di indonesia. Hal ini
lebih banyak diakibatkan oleh infeksi tuberkolosis. Bila di negara – negara barat, efusi pleura disebabkan
oleh gagal jantung kongestif, keganasan, dan pneumonia bakteri. Di Amerika efusi pleura menyerang 1,3
juta orang / tahun. Di indonesia TB paru penyebab utama efusi pleura, disusul oleh keganasan. 2/3 efusi
pleura manigna mengenai wanita. Efusi pleura yang disebabkan oleh TB lebih banyak mengenai pria.
Mortalitas dan morbiditas efusi pleura ditentukan berdasarkan penyebab, tingkat keparahan dan jenis
biochemical dalam cairan pleura.
3. Angka Kematian akibat efusi pleura.
TB sering bermanifestasi ke organ-organ lain. Manifestasi ke pleura berupapleuritis atau efusi pleura
merupakan salah satu manifestasi TB ekstr paru yangpaling sering terjadi selain limfadenitis TB. Sekitar ±
30% infeksi aktif M. TB bermanifestasi ke pleura. Menurut Jing dkk efusi pleura TB terjadi pada
10%penderita yang tidak diobati, dimana hasil tes tuberkulin positif dan sebagaikomplikasi dari TB paru
primer. Menurut Siebert dkk efusi pleura dapat terjadi pada5% pasien dengan TB. Biasanya efusi pleura
yang disebabkan oleh TB selain
bersifat eksudatif juga bersifat limfositik.29,30Penyebab terbesar dari efusi pleura di indonesia adalah
TB paru dan keganasa. Frekuensi TB sebagai penyebab efusi pleura tergantung kepada prevalensi TB
pada populasi yang diteliti
Menurut laporan WHO tahun 2004 diperkirakan angka kematian akibat TBadalah 8000 setiap hari dan 2-
3 juta setiap tahun di seluruh dunia, dimana jumlahterbesar kematian akibat TB terdapat di Asia
Tenggara yaitu 625 orang atau angkamortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortalitas
tertinggi terdapatdi Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalensinya meningkat seiring
denganpeningkatan kasus HIV.
Indonesia masih menempati urutan ke-3 setelah India, dan China denganangka insiden efusi pleura
akibat TB paruh tertinggi di dunia. Di Indonesia setiap tahun terdapat ± 250.000 kasus baru dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia TB adalahpembunuh nomor satu diantara penyakit menular
dan merupakan penyebab kematiannomor 3 setelah penyakit jantung dan pernafasan akut pada seluruh
kalangan usia.

4. ETIOLOGI
A. Berdasarkan Jenis Cairan
Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada dekompensasi
kordis, penyakit ginjal, tumor mediastinum, sindroma Meig (tumor ovarium) dan sindroma vena cava
superior.
Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia, virus), bronkiektasis,
abses amoeba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, apabila tumor masuk ke cairan maka cairan
berwarna merah karena trauma.
Berdasarkan jenis cairan yang terbnetuk, cairan pleura dibagi menjadi transudatif, eksudatif dan
hemoragis
1. Efusi pleura transudatif .
Kalau seorang pasien ditemukan menderita efusi pleura, kita harus berupaya untuk menemukan
penyebabnya. Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura. Tahap yang
pertama adalah menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenis transudat atau eksudat. Efusi
pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan
cairan pleura mengalami perubahan.
2. Efusi pleura eksudatif
terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami
perubahan. Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat
Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan, pleura. Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak
salah satu dari tiga kriteria berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari
tiga kriteria ini :
1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang normal di dalam serum.
PARAMETER TRANSUDAT EKSUDAT
Warna
BJ
Jumlah set
Jenis set
Rivalta
Glukosa
Protein
Rasio protein T-E/plasma
LDH
Rasio LDH T-E/plasma Jernih
< 1,016
Sedikit
PMN < 50%
Negatif
60 mg/dl (= GD plasma)
< 2,5 g/dl
< 0,5
< 200 IU/dl
< 0,6 Jernih, keruh, berdarah
< 1,016
Banyak (> 500 sel/mm2)
PMN < 50%
Negatif
60 mg/dl (bervariasi)
< 2,5 g/dl
< 0,5
< 200 IU/dl
< 0,6
Efusi pleura berupa:
a. Eksudat, disebabkan oleh :
1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia, Chlamydia. Cairan efusi biasanya
eksudat dan berisi leukosit antara 100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala,
demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan dengan
cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan efusi.
2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal dari
jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri
aerob maupun anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus,
E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan
pemberian antibotika ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar
dari rongga pleura.
3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus, Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena
reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.
4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focus subpleural yang
robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan nekrosis
perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri
dan jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat
badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru, mammae, kelenjar linife,
gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Patofisiologi
terjadinya efusi ini diduga karena :
Ø Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi kebocoran kapiler.
Ø Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura, bronkhopulmonary, hillus atau
mediastinum, menyebabkan gangguan aliran balik sirkulasi.
Ø Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif intra pleural, sehingga
menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan
pleura tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat
melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum
(needle biopsy).
6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses paru atau
bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada beberapa
penderita cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik
ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura
yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien
dengan efusi parapneumonik:
Ø. Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura
Ø. Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
Ø. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
Ø. Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada
nilai pH bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik yang mengalir bebas dapat
berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.
7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid, Skleroderma
8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik.

b. Transudat, disebabkan oleh :


1. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab lainnya adalah perikarditis
konstriktiva, dan sindroma vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan
tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada
pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas
reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga
filtrasi cairan ke rongg pleura dan paru-paru meningkat.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura
yang bilateral. Tapi yang agak sulit menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada
sisi kanan.
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi dengan istirahat, digitalis,
diuretik dll, efusi pleura juga segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila
penderita amat sesak.

2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan dengan tekanan
osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah
dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi pengobatan yang terbaik adalah
dengan memberikan infus albumin.
3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang kecil yang ada pada
diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk
menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol asites dan efusi,
tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan adalah pemasangan pintas
peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran
melalui bedah, atau torakotomi pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.
4. Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita dengan tumor ovarium jinak
dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma
dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena
sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang
masuk ke pleura melalui porus di diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.

5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi unilateral ataupun bilateral.
Perpindahan cairan dialisat dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal
ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisat.

c. Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada hemothoraks selalu
lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku
beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil
oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari
trauma dinding dada.
3. Effusi hemoragis
Effusi hemoragis dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru, tuberkulosis.

B. Berdasarkan Lokasi Cairan Yang Terbentuk


Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, effusi dibagi menjadi unilateral dan bilateral. Efusi yang
unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit penyebabnya akan tetapi effusi yang
bilateral ditemukan pada penyakit-penyakit dibawah ini :Kegagalan jantung kongestif, sindroma
nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosus systemic, tumor dan tuberkolosis.
Sebagian besar penyebab dari effusi pleura maligna ditimbulkan oleh tumor ganas paru, dan dapat
disebabkan pula oleh berbagai penyakit antara lain infeksi (TBC, virus, parasit, jamur atau berbagai
kuman lainnya). Sedangkan secara teoritis dapat timbul oleh karena malnutrisi, kelainan sirkulasi
limphe, trauma thorak, infeksi pleura, sirosis hepatis, meigh syndrome, sub phrenic abses, vena cava
superior syndrome, SLE, rheumatoid artritis dan radioterapi mediastinal serta berbagai sebab yang
belum jelas (idiopatik).
Dari berbagai penyebab ini keganasan merupakan sebab yang terpenting ditinjau dari kegawatan paru
dan angka ini berkisar antara 43-52 %. Berdasarkan jenis tumornya bisa karena tumor primernya atau
metastasis dari tempat lain. Tumor-tumor primer lebih jarang menyebabkan effusi pleura dari pada
tumor metastasis. Akan tetapi bila terdapat mesotelioma sebagian besar akan menyebabkan effusi
pleura maligna.
Tumor-tumor pleura yang sering menimbulkan cairan pleura antara lain bronchogenig ca, ca mamma,
limphoma atau tumor-tumor dari tempat lain seperti colon, rectum, abdomen, cervic, renal, kelenjar
adrenal, pankreas, esophagus, thyroid, testis, osteogenic sarcoma dan multiple myeloma.
Efusi pleura bukanlah suatu disease entity tapi merupakan gejala penyakit, diantaranya :
- Pleuritis karena virus dan mikoplasma
- Pleuritis karena bakteri piogenik
- Pleuritis tuberkulosa
- Pleuritis karena jamur
- Efusi pleura karena kelainan intra abdominal ( cirosis hepatis, syndrom Meig, dialisis peritoneal )
- Efusi pleura karena penyakit kolagen ( lupus eritematosus, artritis rheumatoid, skleroderma ).
- Efusi pleura karena gangguan sirkulasi ( gangguan kardiovaskuler, emboli pulmonal, hipoalbuminemia
).
- Efusi pleura karena neoplasma ( mesotelioma, karsinoma bronkhus, neoplasma metastatik, lymfoma
maligna ).
- Efusi pleura karena sebab lain ( trauma, uremia, miksedema, limfodema, demam familial mediteranian,
reaksi hipersensitif terhadap obat, sydrom dressler, sarkoidosis ).

BAB II
PATOFISIOLOGI DARI PENYAKIT EFUSI PLEURA

PATOFISIOLOGI
Efusi pleura terjadi karena tertimbunnya cairan pleura secara berlebihan sebagai akibat transudasi
(perubahan tekanan hidro-statik dan onkotik) dan eksudasi (perubahan permeabilitas membran) pada
permukaan pleura seperti terjadi pada proses infeksi dan neoplasma.
Pada keadaan normal ruangan interpleura terisi sedikit cairan untuk sekedar melicinkan permukaan
kedua pleura parietalidan viseralis yang saling bergerak karena pernapasan. Cairan disaring keluar
pleura parietalis yang bertekanan tinggi dan di-serap oleh sirkulasi di pleura viseralis yang bertekanan
rendah.
Di samping sirkulasi dalam pembuluh darah, pembuluh limfe pada lapisan sub epitelial pleura parietalis
dan viseralis mem-punyai peranan dalam proses penyerapan cairan pleura tersebut. Jadi mekanisme
yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura pada umumnya ialah kenaikan tekanan hidrostatik
dan penurunan tekanan onkotik pada sirkulasi kapiler, penurunan tekanan kavum pleura, kenaikan
permeabilitas kapiler dan pe-nurunan aliran limfe dari rongga pleura. Sedangkan pada efusi pleura
tuberkulosis terjadinya disertai pecahnya granuloma di subpleura yang diteruskan ke rongga pleura.
GEJALA KLINIK
Pada kebanyakan penderita umumnya asimptomatis atau memberikan gejala demam, ringan dan berat
badan yang me-nurun seperti pada efusi yang lain.
Nyeri dada : dapat menjalar ke daerah permukaan karena inervasi syaraf interkostalis dan segmen
torakalis atau dapat menyebar ke lengan. Nyerinya terutama pada waktu bernafas dalam, sehingga
pernafasan penderita menjadi dangkal dan cepat dan pergerakan pernapasan pada hemithorak yang
sakit menjadi tertinggal.
Sesak napas : terjadi pada waktu permulaan pleuritis disebab-kan karena nyeri dadanya dan apabila
jumlah cairan efusinya meningkat, terutama kalau cairannya penuh.
Batuk : pada umumnya non produktif dan ringan, terutama apabila disertai dengan proses tuberkulosis
di parunya.
PEMERIKSAAN FISIK
 Inspeksi : pada pasien efusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung,
iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke
arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari
posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan Pernapasannya
biasanya dyspneu.
 Palpasi : Fremitus tokal menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah
cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan
dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
 Perkusi : Suara perkusi redup sampai peka tegantung jumlah cairannya. Bila
cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas
cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis
ini disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.
 Auskultasi : Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan
makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja
akan ditemukan tanda-tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan. Ditambah
lagi dengan tandai – e artinya bila penderita diminta mengucapkan kata-katai maka akan terdengar
suara-- e sengau, yang disebut egofoni (Alsagaf H, Ida Bagus, Widjaya Adjis, Mukty Abdol, 1994,79)

 Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang
signifikan.

 Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah
tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal),
pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis
melengkung (garis Ellis Damoiseu).

 Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas garis Ellis
Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah ekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi
lain, pada auskultasi aerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura

PEMERIKSAAN KLINIS / DIAGNOSIS


Diagnosis efusi pleura TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaanfisik, pemeriksaan radiologi
torak, pemeriksaan bakteri tahan asam sputum, cairanpleura dan jaringan pleura, uji tuberkulin, biopsi
pleura dan analisis cairan pleura.
Diagnosis dapat juga ditegakkan berdasarkan pemeriksaan ADA, IFN-γ, dan PCRcairan pleura. Hasil darah
perifer tidak bermanfaat; kebanyakan pasien tidakmengalami lekositosis. Sekitar 20% kasus efusi pleura
TB menunjukkan gambaraninfiltrat pada foto toraks.Kelainan yang dapat dijumpai pada pemeriksaan
fisik sangat tergantung pada banyaknya penumpukan cairan pleura yang terjadi. Pada inspeksi dada bisa
dilihat kelainan berupa bentuk dada yang tidak simetris, penonjolan pada dada yang terlibat,sela iga
melebar, pergerakan tertinggal pada dada yang terlibat. Pada palpasi
stem fremitus melemah sampai menghilang, perkusi dijumpai redup pada daerahyang terlibat, dari
auskultasi akan dijumpai suara pernafasan vesikuler melemahsampai menghilang, suara gesekan pleura.
Berdasarkan pemeriksaan radiologis toraks menurut kriteria AmericanThoracic Society ATS), TB paru
dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu lesi minimal, lesi sedang, dan lesi luas. edangkan efusi pleura TB
pada pemeriksaanradiologis toraks posisi Posterior Anterior (PA) kan menunjukkan gambaran
konsolidasi homogen dan meniskus, dengan sudut ostophrenikus tumpul, pendorongan trakea dan
mediastinum ke sisi yang berlawanan.

1. Apusan dan Kultur Sputum, Cairan Pleura dan Jaringan Pleura


Diagnosis pasti dari efusi pleura TB dengan ditemukan basil TB pada sputum,cairan pleura dan jaringan
pleura. Pemeriksaan apusan cairan pleura secara Ziehl Nielsen (ZN) walaupun cepat dan tidak mahal
akan tetapi sensitivitinya rendahsekitar 35%. Pemeriksaan apusan secara ZN ini memerlukan konsentrasi
basil 10.000/ml dan pada cairan pleura pertumbuhan basil TB biasanya sejumlah kecil. Sedangkan pada
kultur cairan pleura lebih sensitif yaitu 11-50% karena pada kultur diperlukan 10-100 basil TB. Akan
tetapi kultur memerlukan waktu yang lebih lama yaitu sampai 6 minggu untuk menumbuhkan M.TB.

2. Biopsi Pleura
Biopsi pleura merupakan suatu tindakan invasif dan memerlukan suatupengalaman dan keahlian yang
baik karena pada banyak kasus, pemeriksaanhistopatologi dari biopsi spesimen pleura sering negatif dan
tidak spesifik. Akantetapi, diagnosis histopatologis yang didapat dari biopsi pleura tertutup
dengandijumpainya jaringan granulomatosa sekitar 60-80%.Sementara pemeriksaan yangdilakukan oleh
A. H. Diacon dkk sensitiviti histologis, kultur dan kombinasihistologis dengan kultur secara biopsi jarum
tertutup mencapai 66%, 48%, 79% danpemeriksaann secara torakoskopi sensitivitinya 100, 76%, 100%
dan spesifisitinya100%.

3. Uji Tuberkulin
Dulu tes ini menjadi pemeriksaan diagnostik yang penting pada pasien yang diduga efusi pleura TB. Test
ini akan memberikan hasil yang positif setelah mengalami gejala > 8 minggu. Pada penderita dengan
status gangguan kekebalan tubuh dan status gizi buruk, tes ini akan memberikan hasil yang negatif.

4. Analisis Cairan Pleura


Analisis cairan pleura ini bermanfaat dalam menegakkan diagnosis efusi pleura TB. Sering kadar protein
cairan pleura ini meningkat > 5 g/dl. Pada pasien kebanyakan hitung jenis sel darah putih cairan pleura
mengandung limfosit > 50%. Pada sebuah penelitian dengan 254 pasien dengan efusi pleura TB, hanya
17 (6,7%) yang mengandung limfosit < 50% pada cairan pleuranya. Pada pasien dengan gejala < 2
minggu, hitung jenis sel darah putih menunjukkan PMN lebih banyak. Pada torakosentesis serial yang
dilakukan, hitung jenis lekosit ini menunjukkan adanya perubahan ke limfosit yang menonjol. Pada efusi
pleura TB kadar LDH cairan pleura > 200 U, kadar glukosa sering menurun. Analisis kimia lain memberi
nilai yang terbatas dalam menegakkan diagnostikefusi pleura TB. Pada penelitian-penelitian dahulu
dijumpai kadar glukosa cairan pleura yang menurun, namun pada penelitian baru-baru ini menunjukkan
kebanyakan pasien dengan efusi pleura TB mempunyai kadar glukosa diatas 60 mg/dl. Kadar Ph cairan
pleura yang rendah dapat kita curigai suatu efusi pleura TB. Kadar CRP cairan pleura lebih tinggi pada
efusi pleura TB dibandingkan dengan efusi pleura eksudatif lainnya.

5. Adenosin Deaminase (ADA)


ADA pertama sekali ditemukan tahun 1970 sebagai penanda kanker paru dan pada tahun 1978 Piras dkk
menemukan ADA sebagai penanda efusi pleura TB. ADA merupakan enzim yang mengkatalis perubahan
adenosine menjadi inosin. ADA merupakan suatu enzim Limfosit T yang dominan, dan aktivitas
plasmanya tinggi pada penyakit dimana imuniti seluler dirangsang.56 Ada beberapa isomer ADA dimana
yang menonjol adalah ADA 1 dan ADA 2. Dimana ADA 1 ditemukan pada semua sel dan ADA 2
mencerminkan aktivitas dari monosit atau makrofag. Penderita efusi pleura TB lebih dominan ADA 2.
Gambaran yang menunjukkan peningkatan kadar ADA bermanfaat dalam menentukan diagnosis efusi
pleura TB. Beberapa peneliti menggunakan berbagai tingkat cut-off untuk ADA efusi pleura TB antara
30-70 U/l. Pada kadar ADA cairan pleura yang lebih tinggi cenderung pasien efusi pleura TB. Pada studi
metaanalisis yang meninjau 40 artikel menyatakan bahwa ADA mempunyai nilai spesifisiti dan
sensitivitinya mencapai 92% dalam menegakkan diagnosis efusi pleura TB. Kebanyakan pasien dengan
efusi pleura TB mempunyai kadar ADA > 40 U/l. Pada pasien dengan gangguan kekebalan tubuh dengan
efusi pleura TB kadar ini lebih tinggi lagi. Efusi pleura limfositik yang bukan disebabkan oleh TB biasanya
mengandung kadar ADA < 40 U/l. Namun penggunaan ini juga tergantung pada prevalensi TB. Pada
populasi dengan prevalensi efusi pleura TB yang rendah spesifisiti ADA dapat sangat rendah. Sehingga
pada daerah dengan prevalensi rendah kemungkinan tinggi nilai positif palsu yang mana dapat
menimbulkan penanganan yang berlebihan dan keterlambatan diagnosis penyakit lain seperti kanker.

6. Interferon gamma (IFN-γ)


Tes lain yang bermanfaat dalam mendukung diagnosis efusi pleura TB adalahpemeriksaan kadar IFN-γ
cairan pleura. IFN-γ merupakan suatu regulator imunyang penting dimana dapat berfungsi sebagai
antivirus dan sitotoksik. IFN-γdiproduksi oleh limfosit T CD4+ dari pasien-pasien dengan efusi pleura TB.
Produksi IFN-γ muncul sebagai mekanisme pertahanan yang bermanfaat. IFN-γmembantu polymyristate
acetate merangsang produksi hidrogen peroksida dalammakrofag, dimana ini memfasilitasi aktifitas
eliminasi parasit intraselular. Limfokinini juga menghambat pertumbuhan mikobakteria dalam monosit
manusia. Dari studi yang telah dilakukan Villena dkk yang mengukur kadar IFN-γ
cairan pleura dari 595 pasien, dimana 82 kasus penyebabnya adalah TB, dan dilaporkan bahwa level cut-
off 3.7 IU/ml; dengan nilai sensitiviti 98% dan spesifisiti 98% dalam menegakkan diagnosis efusi pleura
TB. Valdes dkk juga melaporkan pada penelitian yang dilakukan terhadap 145 pasien menunjukkan
bahwa 74% dengan efusi pleura TB mempunyai kadar IFN-γ > 200 pg/ml.50 Pada penelitian lain dijumpai
pasien-pasien dengan empiema sering sekali kadar IFN-γ cairan pleura ini meningkat. Pada penelitian
yang dilakukan Ekanita di Jakarta didapati peningkatan kadar IFN-γ yang cukup bermakna pada pasien
efusi pleura TB dimana kadarnya rata-rata 1,63 ± 0,59 IU/ml. Greco dkk meninjau kembali semua studi
dari tahun 1978 - November 2000. Studi ini mengikutsertakan 4.738 pasien dimana kadar ADA cairan
pleura diukur dan 1.189 pasien dengan kadar IFN-γ yang diukur. Penelitian ini melaporkan bahwa nilai
sensitiviti dan spesifisiti untuk ADA adalah 93% dan untuk IFN-γ adalah 96%.

7. Polymerase Chain Reaction (PCR)


Ini merupakan tehnik amplifikasi DNA yang dengan cepat mendeteksi M. TB. Dewasa ini telah
dikembangkan beberapa metode untuk amplifikasi asam nukleat in vitro. Dimana tujuan utama dari
teknik ini adalah untuk memperbaiki sensitiviti uji yang berdasarkan pada asam nukleat dan untuk
menyederhanakan prosedur kerjanya melalui automatisasi dan bentuk deteksi non-isotopik. PCR ini
merupakan salah satu tehnik pemeriksaan yang digunakan dalam penegakan diagnosis efusi pleura TB
karena metode konvensional masih rendahsensitivitinya. Sensitiviti PCR pada efusi pleura TB berkisar
20-81% dan spesitifitinya berkisar 78-100%. Penelitian yang dilakukan di Spanyol menunjukkan bahwa
PCR mempunyai sensitiviti 81% dan spesifisiti 98%. Penelitian Babu dkk di India tahun 1997 terhadap 20
penderita efusi pleura TB, PCR mempunyai sensitiviti 70% dan spesifisiti 100%. Penelitian yang dilakukan
Bambang dkk terhadap 62 pasien yang diduga efusi pleura TB pada tahun 2004 dijumpai sensitiviti PCR
53,19% dan spesifisiti 93,33%. Pada tahun 2006 Amni melakukan penelitian mengenai pemeriksaan PCR
dalam menegakkan diagnosis efusi pleura TB terhadap 20 orang penderita efusi pleura TB yang ada di
Medan; dimana disimpulkan bahwa PCR mempunyai nilai sensitiviti 71,4% dan 100%.

Cairan Pleura :
Jumlah bakteri tahan asam pada cairan pleura sangat sedikit, sehingga tidak mungkin dilakukan
pemeriksaan mikroskop secara langsung.
PENGOBATAN
Pada dasarnya pengobatan efusi pleura tuberkulosis sama dengan efusi pleura pada umumnya, yaitu
dengan melakukan torakosentesis (mengeluarkan cairan pleura) agar keluhan sesak penderita menjadi
berkurang, terutama untuk efusi pleura yang berisi penuh. Beberapa peneliti tidak melakukan
torakosentesis bila jumlah efusi sedikit, asalkan terapi obat anti tuberkulosis
diberikan secara adekuat. Sedangkan tuberkulosisnya diterapi denganobat anti tuberkulosis seperti
tuberkulosis paru, dengan syarat terus menerus, waktu lama dan kombinasi obat. Penderita tuberkulosis
paru atau dugaan tuberkulosis disertai efusi pleura dapat diterapi obat antituberkulosis.
Dosis obat anti tuberkulosis yang sering digunakan :
INH : 300 - 400 mg/hari
Rifampisin : 450 mg/hari (berat badan < 50 kg) 600 mg/hari (berat badan > 50 kg)
diberikan 1/2 jam sebelum makan pagi Streptomisin : 20 - 25 mg/kg BB/hari: intra muskular Pirazinamid
: 25 - 35 mg/kg BB/hari
Etambutol : 15 - 25 mg/kg BB/hari
Pam amino salisilic acid (PAS) : 200 - 300 mg/kg BB/hari
Semua obat antituberkulosis sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal, kecuali PAS yang diberikan dalam
dosis terbagi, karena memberikan efek samping iritasi lambung. Adapun regimen obat anti tuberkulosis
yang diperlukan, sama seperti halnya regimen untuk tuberkulosis paru.
BAB III
PEMERIKSAAN RADIOLOGI DARI PASIEN PLEURA EFUSI

A. GAMBARAN RADIOLOGI EFUSI PLEURA

Pada pemeriksaan foto toraks rutin tegak, cairan pleura tampak berupa perselubungan homogen
menutupi struktur paru bawah yang biasanya radioopak dengan permukaan atas cekung, berjalan dari
lateral atas ke arah medial bawah. Karena cairan mengisi ruang hemithoraks sehingga jaringan paru
akan terdorong ke arah sentral / hilus, dan kadang – kadang mendorong mediastinum ke arah
kontralateral. Jumlah cairan minimal yang dapat terlihat pada foto thoraks tegak adalah 250 – 300 ml
(Rasad, 2005). Pemeriksaan radiografi paling sensitif mengidentifikasi cairan pleura yaitu dengan posisi
lateral dekubitus, yang mampu mendeteksi cairan pleura kurang dari 5 ml dengan arah sinar horisontal
di mana cairan akan berkumpul di sisi samping bawah. Apabila pengambilan X-foto toraks pasien
dilakukan dalam keadaan berbaring (AP), maka penilaian efusi dapat dilihat dari adanya gambaran apical
cup sign. Gambaran radiologis tidak dapat membedakan jenis cairan mungkin dengan tambahan
keterangan klinis atau kelainan lain yang ikut serta terlihat sehingga dapat diperkirakan jenis cairan
tersebut.

Gambar 2. A. Foto toraks AP, menunjukkan sudut costophrenicus kanan tumpul (tanda panah); B. Foto
toraks lateral menunjukkan sudut costophrenicus posterior tumpul (tanda panah) (Collins,Janette et all.
Chest radiology 2nd edition)
Gambar 3. A. Foto toraks PA menunjukkan elevasi dari hemidiafragmakanan B. Meningkatnya opasitas
pada bagian hemitoraks kanan akibat dari adanya cairan pleura (Collins, Janette et all. Chest radiology
2nd edition)

Gambar 4. Tanda panah A menunjukkan cairan dari efusi pleurapada cavum pleura kanan. Tanda panah
B besarnya cavum thoraks yang ditarik dari garis median tubuh ke lateral dari kavum thoraks
Pada contoh di Gambar 3, cara mengukur Pleural Effusion Index ialah a/b x 10026

Gambar 5. Efusi pleura. Posisi RLD menunjukkan efusi pleura menempati bagian paling dasar dengan
densitas yang sama dengan jaringan lunak sepanjang dinding dada. (Ahmad Z, Krishnadas S, Froeschele P
2009).

Gambar 6. Ultrasonogram dengan metastasis efusi pleura. Cairan anechoic (E) dapat dilihat pada
hemithoraks kiri bawah CT-Scan dada

Gambar 2.4 CT-Scan menunjukkan adanya akumulasi cairan sebelah kanan

Gambar 7. CT Scan menunjukkan adanya akumulasi cairan sebelah kanan

CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa menunjukkan adanya pneumonia,
abses paru atau tumor (Kallanagowdar and Craver, 2006).
• USG dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang jumlahnya sedikit, sehingga bisa
dilakukan pengeluaran cairan. Gambar 8. USG Efusi pleura dengan celah yang multipel

• Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap
contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis (pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang
dimasukkan diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal) (Demirhan et
al., 2008).
Pada orang dewasa, torakosentesis sebaiknya dilakukan pada setiap pasien dengan efusi pleura yang
sedang-berat, namun pada anak-anak tidak semuanya memerlukan torakosentesis sebagai prosedur
yang sama. Efusi parapneumonik yang dihubungkan dengan sudut costoprenicus yang tumpul minimal
tidak seharusnya mendapat prosedur torakosentesis (Kallanagowdar and Craver, 2006).
Torakosentesis atau penyaluran saluran dada (chest tube drainage) dianjurkan pada pasien anak-anak
yang memiliki demam menetap, toksisitas, organism tertentu (misalnya S.aereus atau pneumococcus),
nyeri pleura, kesulitan dalam bernafas, pergeseran mediastinum, gangguan pernafasan yang
membahayakan. Chest tube drainage semestinya segera dilakukan apabila dari hasil analisa cairan
pleura menunjukkan pH kurang dari 7,2 kadar glukosa < 40mg/dl dan kadar LDH lebih dari 1000 U/mL
(Kallanagowdar and Craver, 2006).
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka dilakukan biopsi, dimana contoh
lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa. Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah
dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan
(Kallanagowdar and Craver, 2006). Pada anak dilakukan apabila peradangan efusi pleura tidak bisa
dijelaskan. Teknik ini memiliki peran yang terbatas pada anak-anak namun memiliki kepentingan yang
besar dalam membedakan TB atau keganasan. Yang menjadi komplikasi utama adalah pneumotoraks
dan perdarahan.

B. PENATALAKSANAAN

Pada efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa intubasi melalui selang iga.
Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau bila empiemanya multiokuler, perlu tindakan
operatif. Mungkin sebelumnya dapat dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologis atau larutan
antiseptik. Pengobatan secara sistemik hendaknya segera dilakukan, tetapi terapi ini tidak berarti bila
tidak diiringi pengeluaran cairan yang adequate. Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah
aspirasi dapat dilakukan pleurodesis yakni melengketkan pleura viseralis dan pleura parietalis. Zat-zat
yang dipakai adalah tetrasiklin, Bleomicin, Corynecbaterium parvum dll.
1. Pengeluaran efusi yang terinfeksi memakai pipa intubasi melalui sela iga.
2. Irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik (Betadine).
3. Pleurodesis, untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi.
4. Torasentesis: untuk membuang cairan, mendapatkan spesimen (analisis), menghilangkan
dispnea.
5. Water seal drainage (WSD)

Drainase cairan (Water Seal Drainage) jika efusi menimbulkan gejala subyektif seperti nyeri, dispnea, dll.
Cairan efusi sebanyak 1 – 1,2 liter perlu dikeluarkan segera untuk mencegah meningkatnya edema paru,
jika jumlah cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutya baru dapat dilakukan 1 jam
kemudian.
6. Antibiotika jika terdapat empiema.
7. Operatif.
BAB IV
KESIMPULAN

Diagnosis efusi pleura dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan klinik, pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan penunjang diantaranya X-foto toraks, USG Abdomen, CT Scan, serta torachocintesis.
Radiologi paru membantu dalam penegakan diagnosis, yaitu dengan menunjukkan tanda adanya efusi
pleura. Kelainan radiologis efusi pleura pada pemeriksaan foto toraks rutin tegak, cairan pleura akan
tampak berupa perselubungan homogen menutupi struktur paru bawah yang biasanya radioopak
dengan permukaan atas cekung, berjalan dari lateral atas ke arah medial bawah. Jumlah cairan minimal
yang dapat terlihat pada foto thoraks tegak adalah 250 – 300 ml.
Pada pemeriksaan X-foto toraks pasien ini didapatkan kesan efusi pleura dupleks. Pada pasien ini dapat
diusulkan pemeriksaan radiologis x-foto toraks posisi RLD untuk dapat menilai pleural efussion index.
Selain itu, pada pemeriksaan USG yang dilakukan pada pasien ini diharapkan dapat sekaligus menilai
cairan efusi pleuranya. Pada laporan kasus ini, berdasarkan anamnesis pada pasien, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang dengan laboratorium darah dan urin serta radiologi berupa X-foto toraks
didapatkan diagnosis efusi pleura dupleks dan edema pulmonum.

BAB V
DAFTARN PUSTAKA

1. AHMAD, Z., KRISHNADAS, R. & FROESCHLE, P. 2009. Pleural effusion:diagnosis and management. J
Perioper Pract,19. 242-7
2. HALIM & HADI 2006. Penyakit-penyakit Pleura. In:EKAYUDA, I. (ed.) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.4
ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI.
3. JUHL, J. H. & CRUMMY, A. B. 1993. Paul and Juhl's essentials of radiologic imaging, Philadelphia, J.B.
Lippincott.
4. KALLANAGOWDAR, C. & CRAVER, R. D. 2006. Neonatal pleural effusion. Spontaneous chylothorax in a
newborn with trisomy 21. Arch Pathol Lab Med, 130, e22-3
5. MÜLLER, N. L., FRANQUET, T., LEE, K. S. & SILVA, C. I. S. 2007. Imaging of pulmonary infections,
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins.
6. RACHMATULLAH, P. 1997. Seri Ilmu Penyalit Dalam, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru (Pulmonologi),
Semarang, Undip.
7. RASAD, S. 2005. Radiologi Diagnostik, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
8. http://www.scribd.com/doc/53727796/Patofisiologi-Efusi-Pleura
9. http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/24/asuhan-keperawatan-klien-ny-
%E2%80%9Ch%E2%80%9D-dengan-gangguan-sistem-pernapasan-%E2%80%9Cefusi-
pleura%E2%80%9D/
10.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06_EfusiPleuraTuberkulosis.pdf/06_EfusiPleuraTuberkulosis.html
11. http://perawatpskiatri.blogspot.com/2008/11/efusi-pleura.html

Anda mungkin juga menyukai