Anda di halaman 1dari 39

1

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN EFUSI PLEURA





Oleh :
Kelompok V
Devi Susyuliani
Gita Kurnisa Indah Sari
Nelfice


Dosen Pembimbing:
Siti Rahmalia Hairaini Damanik, MNS



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2012

2

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Selesainya penyusunan ini berkat bantuan dari
berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini kami sampaikan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat Ibu Siti Rahmalia Hairani
Damanik,SKp.MNS yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi mahasiswa keperawatan dalam melaksanakan asuhan keperawatan khususnya
pada pasien efusi pleura.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


Pekanbaru, Oktober 2012

Kelompok V


3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN TEORITIS .............................................. Error! Bookmark not defined.
A. Definisi Efusi Pleura .................................................................................................... 3
B. Etiologi Efusi pleura .................................................................................................... 4
C. Manifestasi Klinik ...................................................................................................... 14
D. Evaluasi Diagnostik....................................................................................................14
E. Patofisiologis ......................................................................................................................... 16
F. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan .................................................................. 25
BAB III KASUS ...................................................................................................................... 28
A. Uraian Kasus ........................................................................................................................ 28
B. Pengkajian ............................................................................................................................ 28
C. Analisa data .......................................................................................................................... 28
D. WOC Efusi Pleura .............................................................................................................. 29
E. Asuhan keperawatan .......................................................................................................... 30
F. Penatalaksanaan Farmakologi dan Nonfarmakologi ................................................. 33
G. Health Education........................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. Error! Bookmark not defined.
LAMPIRAN ............................................................................. Error! Bookmark not defined.




4

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pleura adalah membrane tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura
parietalis. Kedua lapisan ini bersatu didaerah hilus arteri dan mengadakan penetrasi dengan
cabang utama bronkus, arteri dan vena bonkialis, serabut saraf dan pembuluh limfe. Secara
histologist kedua lapisan ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh darah kapiler
dan pembuluh getah bening (Harrison, 2000).
Pleura seringkali mengalami pathogenesis seperti terjadinya efusi cairan, misalnya
hidrotoraks dan pleuritis eksudativa karena infeksi, hemotoraks bila rongga pleura berisi
darah, kilotoraks (cairan limfe), piotoraks atau empiema thoracis bila berisi nanah,
pneumotoraks bila berisi udara (Somantri, 2009).
Penyebab dari kelainan patologi pada rongga pleura bermacam-macam, terutama
karena infeksi tuberculosis atau non tuberculosis, keganasan, trauma dan lain-lain. Efusi
pleura merupakan salah satu kelainan yang menganggu system pernapasan. Efusi pleura
bukanlah diagnosis dari suatu penyakit, melainkan hanya merupakan gejala atau komplikasi
dari suatu penyakit. Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat cairan berlebihan
dirongga pleura, jika kondisi ini dibiarkan akan membahayakan jiwa penderitanya (Muttaqin,
2008).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus efusi pleura di seluruh
dunia cukup tinggi menduduki urutan ketiga setelah kanker paru, sekitar 10-15 juta dengan
100-250 ribu kematian tiap tahunnya. Efusi pleura suatu disase entity dan merupakan suatu
gejala penyakit yang serius yang dapat mengancam jiwa penderita. Tingkat kegawatan pada
efusi pleura ditentukan oleh jumlah cairan, kecepatan pembentukan cairan dan tingkat
penekanan paru .Efusi pleura menempati urutan ke empat distribus 10 penyakit terbanyik
setelah kanker paru yaitu dengan jumlah 76 dari 808 orang dengan prevalensi 9,14% (
Alsagaf, 2010)
Berdasarkan data yang dilaporkan Depatemen Kesehatan tahun 2006 menyebutkan di
Indonesia kasus efusi pleura 2,7 % dari penyakit infeksi saluran napas dengan Case Fatality
Rate (CFR) 1, Sedangkan Sulawesi Selatan dilaporkan kejadian efusi pleura 16 % dari
penderita infeksi saluran napas.Tingginya kasus efusi pleura disebabkan keterlambatan
penderita untuk memeriksakan kesehatan sejak dini sehingga menghambat aktifitas sehari-
5

hari dan kematian akibat efusi pleura masih sering ditemukan.4,5. (Irwadi, Sulina, Hardjoeno
, 2009)
Oleh karena ada peningkatan jumlah penderita maka menjadi masalah kusus untuk
kita semua, terutama bagi dunia keperawatan karena efusi pleura masih menjadi masalah
kesehatan yang tinggi, sehingga masalah kesehatan ini harus segera ditangani dengan serius.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit efusi pleura?

C. Tujuan
1. Mengetahui cara pengkajian pada klien dengan efusi pleura
2. Mengetahui diagnosa keperawatan pada klien dengan efusi pleura.
3. Mengetahui intervensi keperawatan pada klien dengan efusi pleura.
4. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit efusi pleura.













6

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Definisi
Efusi Pleura adalah suatu keadaan ketika rongga pleura dipenuhi oleh cairan (terjadi
penumpukan cairan dalam rongga pleura) (Somantri, 2009). Menurut Smeltzer dan Bare efusi
pleura adalah pengumpulan cairan dalam rongga pleura yang terletak diantara permukaan
viseral dan parietal, adalah proses penyakit primer yang jarang terjadi tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Definisi lain dari efusi pleura
merupakan suatu kelainan yang mengganggu system pernapasan. Efusi pleura bukanlah
diagnosis daris suatu penyakit, melainkan hanya merupakan gejalan atau komplikasi dari
suatu penyakit (Muttaqin,2008).
Jadi efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam rongga pleura yang terletak
diantara permukaan visceral, perietal, adalah proses penyakit primer yang yang jarang terjadi
tetapi biasanya menurunkan penyakit sekunder terhadap penyakit lain.

Fisiologi pleura
Pleura merupakan membran tipis yang terdiri atas dua lapisan yang berbeda yaitu
pleura viseralis dan pleura parietalis. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hillus paru.
Dalam beberapa hal terdapat perbedaan antara kedua pleura ini, yaitu sebagai berikut
(somantri, 2009):
1. Pleura viseralis
Bagian permukaan luarnya terdiri atas selapis sel mesotelial yang tipis
(tebalnya tidak lebih dari 30m), diantara celah-celah sel ini terdapat beberapa sel
limfosit. Terdapat endopleura yang berisi fibrosit histiosit dibawah sel mesotelial.
Struktur lapisan tengah memiliki jaringan kolagen dan serat-serat elestik, sedangkan
lapisan terbawah terdapat jaringan intertisial subpleura yang sangat banyak
mengandung pembuluh darah kapiler dari arteri pulmonalis dan brakialis serta kelenjer
getah bening. Keseluruhan jaringan pleura viseralis ini menempel dengan kuat pada
jaringan parenkim paru.
2. Pleura parietalis
Lapisan pleura parietalis merupakan jaringan yang paling tebal dan terdiri atas
sel-sel mesotelial serta jaringan ikat (jaringan kolagen den serat-serat elastik). Dalam
jaringan ikat terdapat pembuluh kapiler dari arteri interkostalis dan mamaria interna,
7

kelenjer getah bening, banyak reseptor saraf sensorik yang peka terhadap nyeri.
Ditempat ini juga terdapat perbedaan temperatur. Sistem persarafan berasal dari nervus
interkostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada.
Cairan pleura diproduksi oleh pleura parietalis dan diabsorbsi oleh pleura
viseralis. Cairan terbentuk dari filtrasi plasma melalui endotel kapiler dan direabsobsi
oleh pembuluh limfe dan pleura venule pleura.
Dalam keadaan normal seharusnya tidak ada rongga yang kosong antara kedua
pleura tersebut, karena biasanya di tempat ini hanya terdapat sedikit (10-20 cc) cairan
yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu bergerak secara teratur. Cairan yang
sedikit ini merupakan pelumas antara kedua pleura tersebut bergeser satu sama lain.
Dalam keadaan patologis rongga antara kedua pleura ini dapat terisi dengan beberapa
liter cairan atau udara.
Diketahui bahwa cairan masuk kedalam rongga melalui parietalis dan
selanjutnya keluar lagi dalam jumlah yang sama melalui membran pleura viseralis
melalui sistem limfatik dan vaskular. Pergerakan dari pleura parietal dengan pleura
viseralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan
osmotik koloid plasma. Cairan terbanyak direabsorbsi oleh sistem limfatik dan hanya
sebagian kecil direabsorbsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan
penyerapan cairan pada pleura viseralis adalah terdapatnya banyak mikrofili disekitar
sel-sel mesotelial.
B. Etiologi Efusi Pleura : (Mansjoer, 1999)
Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat.
Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik dan
8

koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorbsinya
oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:
1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmer
3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intra pleura
Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang berbentuk melalui membrane kapiler yang
permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein
transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura
meningkat sehingga selmesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi
pengeluaran cairan kedalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering
adalah mikrobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa.
Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening ini
(misalnya pada pleuritis tuberculosis) akan menyebabkan peningkatan konsentrasi
proteincairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat.
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi menjadi transudat,
eksudat dan hemoragi (Muttaqin, 2008):
1) Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal jantung
kiri) sindoroma nefrotik, asites (oleh karena sirosis hepatis), sindroma vena
kava sperior, tumor dan sindroma Meigs.
2) Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia, tumor, infark paru, radiasi,
dan penyakit kolagen.
3) Efusi hemoragi dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru,
tuberkulosis dan kanker paru.
Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, efusi dibagi menjadi unilateral dan
bilateral. Efusi unilateral tidak mempunya kaitan yang spesifik dengan penyakit penyebabnya
akan tetapi efusi bilateral ditemukan pada penyakit kegagalan jantung kongestif, sindrom
nefrotik, asites, infark paru, lupus aritematosus sistemis, tumor dan TB.
Penyakit penyakit yang dapat menyebabkan efusi pleura (perhimpunan dokter spesialis
penyakit dalam, 2009):
1. Pleuritis karena Virus dan Mikoplasma
9

Efusi pleura karena virus atau mikoplasma agak jarang.bila terjadinya jumlahnya tidak
banyak dan kejadiannya hanya selintas saja. Jenis-jenis virusnya adalah echo virus,
Coxsackie group, Chlamidia, rickettsia dan mikoplasma. Cairan efusi biasanya eksudat dan
berisi leukosit antara 100-6.000 per cc. Gejala penyakit dapat dengan sakit kepala, demam
malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut. Kadang-kadang ditemukan juga gejala perikarditis.
Diagnosis ditegakan dengan menemukan virus dalam cairan efusi dan mendeteksi antibodi
terhdap virus dalam cairan efusi.
2. Pleuritis karena Bakteri Piogenik
Permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim
paru dan menjalar secara hematogen dan jarang melalui penetrasi diafragma, dinding dada,
atau esofagus.
Aerob: streptokokus pneumonia, streptokokus mileri, stafilokokus aureus, hemofilus
spp, eschericia koli, klebsiella, pseudomonas spp.
Anaerob: bakteroides spp, peptosstreptokokus, fusobakterium. Pemberian kemoterapi
dengan ampisilin 4x1 gram dan metronidazol 3x500 mg hendaknya sudah dimulai sebelum
kultur dan sensitivitas bakteri didapat.terapi lain yang lebih penting adalah mengalirkan
cairan efusi yang terinfeksi tersebut keluar dari rongga pleura yang efektif.
3. Pleuritis Tuberkulosa
Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi yang serosantrokom dan bersifat eksudat.
Penyakit ini kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberklorosis paru melalui fokus
subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya
perkijauan ke arah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau kolumna
vertebralis. Dapat juga secara hematogen yang menimbulkan efusi pleura bilateral. Cairan
efusi yang biasanya serous, kadang bisa juga hemoragik. Jumlah leukosit antara 500-2.000
per cc. Mula-mula yang dominan adalah sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit.
Cairan efusi sangat sedikit mengandung kuman Tuberkulosis, tapi adalah karena reaksi
hipersentivitas terhadap tuberkuloprotein. Pada dinding pleura dapat ditemukan adanya
granuloma.
Diagnosis utama berdasarkan adanya kuman tuberculosis dalam cairan efusi (biakan)
atau dengan biopsi jaringan pleura. Pada daerah-daerah dimana frekuensi tuberculosis paru
tinggi dan terutama pada pasien usia muda, sebagian besar efusi pleura adalah karena
pleuritis tuberkulosa walaupun tidak ditemukan adanya granuloma pada biopsy jaringan
pleura.
10

Pengobatan dengan obat-obatan anti tuberculosis ( rifampisin, INH,
Pirazinamid/etambutol,/streptomisin ) memakan waktu 6-12 bulan. Pengobatan ini
menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembali, tapi untuk menghilangkannya eksudat ini
dengan cepat dapat dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna
tapi kadang-kadang dapat diberikan kortikosteroid secara sistematik. ( prednisone 1 mg/kg
BB selama 2 minggu kemudian dosis diturunkan secara perlahan ).
1) Pleuritis Fungi
Biasanya terjadi karena penjalaran infesi fungi dari jaringan paru. Jenis fungi
penyebab pleuritis adalah: Aktinomikosis, Koksidiomikosis, Aspergilus, Kriptokokus,
dll. Patogenesis timbulnya efusi pleura adalah karena reaksi hipersentivitas lambat
terhadap organisme fungi. Penyebaran fungi ke organ tubuh lain alamat jarang.
Pengobatan dengan amfoterisin B memberikan respons yang baik. Prognosis penyakit
ini relatif baik.
2) Pleuritis Parasit
Parasit yang dapat menginfeksi ke dalam rongga pleura adalah amoeba. Bentuk
tropozoitnya datang dari parenkim hati menembus diafragma terus ke parenkim paru
dan rongga pleura. Efusi pleura karena parasit ini terjadi akibat peradangan. Disamping
ini dapat juga terjadi emphiema kerana amoeba yang cairanya warna khas merah coklat.
Disini parasit masuk kerongga pleura secara migrasi dari parenkim hati. Bisa juga
karena robekan dinding abses amoeba pada hati kearah rongga pleura. Efusi
parapneumonia karena amuba dari abses hati sering terjadi daripada empiema amuba.
3) Efusi pleura karena kelainan intra abdominal.
Efusi pleura dapat terjadi karena steril karena reaksi infeksi dan peradangan yang
terdapat dibawah diafragma seperti pankreas atau eksaserbasi akut prankreatitiskronik,
abses ginjal, abses hati dan abses limpa.
Biasanya efusi terjadi karena pada pleura kiri tapi dapat juga bilateral.
Mekanismenya adalah karena perpindahan cairan yang mengandung enzim pankreas ke
rongga pleura melalui saluran getah bening. Efusi ini bersifat eksudat serosa, dan
hemoragik. Kadar amilase dalam efusi lebih tinggi daripada serum.
Efusi pleura juga sering 48-72 jam pasca operasi abdomen sperti spelenektomi,
operasi terhadap obstruksi intestinal atau pacsa atelektasis. Biasanya terjadi unilateral
dan jumlah efusi tidak banyak. Cairan biasanya bersifat eksudat dan mengumpul pada
sisi operasi biasanya bersifat maligna dan kebanyakan akan sembuh secara spontan.

11

4) Sirosis hati
Efusi pleura dapat terjadi kareana pasien dengan sirosis hati. Kebanyakan efusi
pleura timbul bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat kesamaan antara cairan
pleura dan asites, karena terdapat hubungan fungsional antara rongga pleura dan rongga
abdomen melalui saluran getah bening atau jaringan otot difragma. Kebanyakan efusi
menempel pleura kanan ( 70% ) dan bisa juga terjadi bilateral.
Torakosentesis kadang-kadang diperlukan untuk mengurangi sesak nafas tapi bila
asitesnya padat sekali cairan pleura akan timbul lagi dengan cepat. Dalam hal ini perlu
dilakukan terapi peritoneosintesis disamping terapi dengan diuretic dan terapi terhadap
penyakit asalnya.

5) Sindrom Meigh
Tahun 1937 Meig dan Cass menemukan penyakit tumor pada ovarium disertai
asites dan efusi pleura. Patogenesis ini masih belum diketahui betul. Bila tumor
ovarium tersebut dioperasi, efusi pleura dan asitesnya pun segera hilang. Adanya massa
di rongga pelvis disertai asites dan eksudat cairan pleura sering dikirakan sebagai
neoplasma dan metatasisnya.
6) Dialisis peritoneal
Efusi leura dapat terjadi selama dan sesudah dilakukannya dialisis peritonial. Efusi
terjadi pada salah satu paru maupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari ringga
pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya koposisi antara
cairan pleura dengan cairan dialisat.
4. Efusi pleura karena kolagen
a) Lupus eritematosus
Pleuritis adalah salah satu gejala yang timbul belakangan pada penyakit lupus
eritematosus sistemik (SLE). Dengan terjadinya efusi pleura yang kadang-kadang
mendahului gejala sistemik lainnya, diagnosis SLE ini menjadi lebih jelas. Hampir55%
dari SLE disertai pleuritis dan 25% daripada juga dengan efusi pleura.
b) Aritis reumatid (RA).
Efusi pleura terdapat pada 5% RA selama masa sakit. Cairan efusi bersifat eksudat
serosa yang banyak mengandung limfosit. Faktor reumatoid mungkin terdapat dalam
cairan efusi tapi tidak patognomik untuk RA, karena juga terdapat pada karsinoma,
tuberkulosis dan pneumaonia. Kadar glukosa biasanya sangat rendah ( kurang dari
20%) malah tidak terdeteksi sama sekali ( demikian juga pada tuberculosis dan
12

karsinoma ). kadar kolestrol dalam cairan efusi juga sering meningkat. Biopsi pada
jaringan pleura bisa mendapat granuloma yang seolah-olah seperti nodul reumatik
perifer. Umumnya efusi pleura pada RA sembuh sendiri tanpa diobati tapi kadang-
kadang diperlukan juga terapi kortikosteroid.
Demam reumatik akut sering juga ditemukan efusi pleura dengan sifat eksudat.
Jumlah cairan biasanya sedikit dan segera menghilang bila demam reumatiknya
berkurang.
c) Skeloderma
Efusi pleura juga didapatkan pada penyakit skoloderma. Jumlah cairan efusinya
tidak banyak, tapi yang menonjol disini adalah penebalan pleura atau adhesi yang
terdapat pada 75% pasien skeleroderma.
5. Efusi pleura karena gangguan sirkulasi
a) Gangguan kariovaskuler
Payah jantung adalah sebab terbanyak timbulnya efusi plura. Penyebab lain:
perikarditis kontritiva dan sindrom vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat
terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler pulmonal akan
menurunkan kapasitas reabsorbsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening
juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke pleura dan paru-paru
meningkat.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat juga
menyebabkan efusi pleura yang bilateral tapi yang agak sulit menerangkan adalah
kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan.
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi dengan
istirahat, digitalis, diuretic, dll. Dan efusi pleura juga segera menghilang. Kadang-
kadang torakosentesis diperlukan juga bila pasien amat sesak.
b) Emboli pulmonal
Efusi pleura dapat terjadi pada sisi paru yang terkena emboli pulmonal. Keadaan ini
dapat disertai dengan infark paru ataupun tanpa infark. Emboli dapat menyebabkan
menurunnya aliran darah arteri pulmonalis, sehingga terjadi iskemia maupun kerusakan
parenkim paru dan memberikan peradangan dengan efusi yang berdarah ( warna
merah).
Pada bagian paru yang iskemik terdapat juga kerusakan pleura viseralis, keadaan ini
kadang-kadang disertai pleuritik yang berarti pleura parietalis juga ikut terkena.
Disamping itu permeabilitas antara satu ataupun kedua bagian pleura meningkat,
13

sehingga cairan efusi mudah terbentuk. Adanya nyeri pleuritik dan efusi pleura pa da
emboli pulmonal tidak berarti infark
Paru juga harus terjadi. Cairan efusi biasanya bersifat eksudat, jumlahnya tidak
banyak dan biasanya sembuh secara spontan. Efusi pleura dengan infark paru jumlah
cairan efusinya lebih banyak dan waktu penyembuhan juga lebih lama.
Pengobatan ditujukan terhadap embolinya yakni dengan memberikan obat
antikoagulan dan mengontrol keadaan trombositnya.
c) Hipoalbuminemia
Efusi pleura juga terdapat pada keadaan hipoalbuminemia seperti sindrom nefrotik,
malabsorbsi atau keadaan lain dengan asites serta edema anasarka. Efusi ini terjadi
karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan dengan tekanan
osmotik darah. Efusi ini terjadi kebanyakan bilateral dan cairannya bersifat transudat.
Pengobatan adalah dengan memberikan diuretic dan restriksi pemberian garam.
Pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
6. Efusi pleura neoplasma
Neoplasma primer atau sekunder ( metastasis ) dapat menyerang pleura dan umumnya
menyebabkan efusi pleura. Keluhan yang paling banyak ditemukan adalah sesak nafas dan
nyeri dada. Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun
dilakukan torakosentesis berkali-kali.
Efusi bersifat eksudat tapi sebagin kecil ( 10% ) bisa sebagai transudat. Warna efusi
bisa serosantokrom ataupun hemoragik ( terdapat lebih dari 100.000 sel eritrosit per cc ).
Didalam cairan ditemukan sel-sel limfosit ( yang dominan 0 dan banyak sel mesotelial.
Pemeriksaan sitologi terhadap jenis-jenis neoplasma.
Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleurabpada neoplasma yakni:
Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan permeabilitas pleura terhadap
air dan protein.
Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh darah vena
dan getah bening sehingga rongga pleura gagal dalam memindahkan cairan dan
protein.
Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi dan selanjutnya timbul
hipoproteinema
Efusi pleura karena neoplasma biasanya unilateral tetapi bisa juga bilateral karena
obstruksi saluran getah bening, adanya metastasis dapat mengakibatkan pengaliran cairan
14

dari rongga pleura via diafragma. Keadaan efusi pleura dapat bersifat maligna. Keadaan ini
ditemukan 10-20% karsinoma bronkus, 8% dari limfoma maligna dan leukemia. jenis-jenis
neoplasma yang menyebabkan efusi pleura:
a. Mesotelioma
Mesotelioma adalah tumor primer yang berasal dari pleura. Tumor ini jarang
ditemukan bila tumor masih terlokalisasi biasanya tidak menimbulkan efusi pleura
sehingga dapat digolongkan sebagai tumor jinak. Sebaliknya bila ia tersebar ( difus
)digolongkan sebagai tumor ganas karena dapat menimbulkan efusi pleura yang
maligna.
b. Karsinoma bronkus
Jenis karsinoma ini adalah yang terbanyak menimbulkan efusi pleura. Tumor bisa
ditemukan dalam permukaan pleura karena penjalaran langsung dari paru-paru melalyui
pembuluh getah bening. Efusi dapat juga terjadi tanpa adanya pleura yang terganggu
yakni dengan cara obstruksi pneumonitis atau menurunnya aliran getah bening. Terapi
operasi terhadap tumornya masih dapat dipertimbangkan tetapi bila pada pemeriksaan
sitologi sudah ditemukan cairan pleura pasien tidak dapat dioperasi lagi. Untuk
mengurangi keluhan sesak nafasnya dapat dilakukan torakosentesis secara berulang-
ulang. Tapi sering timbul lagi dengan cepat sebaiknya dipasang pipa torakotomi pada
dinding dada ( risikonya timbul empiema ).tindakan lain untuk mengurangi timbulnya
lagi cairan adalah dengan pleurodesis memakai zat-zat seperti tetrasiklin, talk,
sitistatika, kuinakrin.
c. Neoplasma metastatic
Jenis-jenis neoplasma yang sering bermetastasis kepleura dan menimbulkan efusinya
adalah karsinoma payudara (terbanyak , ovarium, lambung, ginjal, pancreas, dab
bagian-bagian organ lain dalam abdomen.
Efusi dari pleura yang terjadi dapat bilateral. Ganbaran foto mungkin tidak terlihat
bayangan metastasis dijaringan baru karena implantasi dapat mengenai pleura viseralis
saja. Pengobatan terhadap neoplasma metastatic ini sama dengan karsinoma bronkus
yakni dengan kemoterapi dan penanggulangan terhadap efusi pleuranya.
d. Limfoma maligna
Kasus-kasus limfoma maligna ( non Hodgkin dan Hodgkin ) ternyata 30%
bermetastasis kepleura dan juga menimbulkan efusi pleura. Didalam caiaran efusi tidak
selalu terdapat sel-sel ganas seperti pada neoplasma lainnya. Biasanya ditemukan sel-
sel limfosit karena sel ini ikut dalam aliran darah dan aliran getah bening melintasi
15

rongga pleura. Diantara sel-sel lain yang bermigrasi inilah kadang-kadang ditemukan
sel-sel yang ganas limfoma malignum.
Terdapat beberapa jenis efusi berdasarkan penyebabnya yakni:
Bila efusi terjadi dari implantasi sel-sel limfoma pada permukaan pleura,
cairannya adalah eksudat berisi sel limfosit yang banyak dan sering
hemoragik.
Bila efusi terjadi karena obstruksi saluran getah bening, cairannya bisa
transudat atau eksudat dan ada limfosit.
Bila efusi terjadi karena obstruksi duktus torasikus, cairannya akan
berbentukkilus.
Bila efusi terjadi karena infeksi pleura pada pasien limfoma maligna karena
menurunnya resistensi terhadap infeksi, efusi akan berbentuk empiema akut
atau kronik.
Seperti pada neoplasma lainnya, efusi pleura yang berulang (efusi maligna ) pada
limfoma maligna kebanyakan tidak responsif terhdap tindakan torakostomi dan instilasi
dengan beberapa zat kimia. Keadaan dengan efusi maligna ini mempunyai prognosis yang
buruk.
7. Efusi pleura karena sebab lain-lain
1) Trauma
Efusi pleura dapat terjadi akibat trauma yakni trauma tumpul, laserasi,
luka tusuk pada dada, rupture esophagus karena muntah hebat atau karena
pemakaian alat waktu tindakan esofagoskopi. Jenis cairan dapat berupa serosa
( eksudat/transudat ), hemotoraks, kilotoraks, dan empiema.
Analisis cairan ufusi dapat menentukan lokalisasi trauma, misal pada
ruptura esophagus kadar pH nya rendah ( lebih kurang 6,5 ) karena
terkontaminasi dengan asam lambung, kadar amylase dalam cairan pleura
meningkat karena adanya air ludah ( saliva ) yang tertelan dan masuk kedalam
riongga pleura.
2) Uremia
Salah satu gejala penyakit uremia lanjut adalah poliserositis yang terdiri
dari efusi pleura, efusi perikard, dan efusi peritoneal (asites). Mekanisme
penumpukan cairan ini belum diketahui betul tapin diketahui dengan
timbulnya eksudat terdapat peningkatan permeabilitas jaringan pleura,
16

perikard atau peritoneum. Yang agak unik adalah cairan masih juga terjadi
walaupun pasien menjalani hemodialisis kronik ( uremianya berkurang ).
Disini cairan malah dapat berubah dari serosa menjadi hemoragik dan
seterusnya terjadi kontriktif pleura/pericardium. Asal darah tidak jelas betul
tapi diperkirakan karena efek antikoagulan/heparin pada pleura/pericardium.
Bila sudah terjadi kontriktif pleura/pericardium penatalaksanaannya adalah
dengan dekortikasi.
Sebagian besar efusi pleura karena uremia tidak memberikan gejala yang
jelas seperti sesak nafas, sakit dada atau batuk. Jumlah efusi bisa sedikit atau
banyak, unilateral atau bilateral.. kadang-kadang dengan dialysis yang teratur
efusi dapat terserap perlahan-lahan. Torakosentesis sewaktu-waktu masih
diperlukan.
3) Miksedema
Efusi pleura dan efusi perikard dapat terjadi sebagi bagian dari penyakit
miksedema. Efusi dapat terjadi tersendiri maupun secara bersama-sama.
Cairan bersifat eksudat dan mengandung protein dengan konsentrasi tinggi.
Limfedema secara kronik dapat terjadi pada tungkai, muka, tangan dan
efusi pleura yang berulang pada satu atau kedua paru. Beberapa pasien dapat
juga kuku jari yang berwarna kekuning-kuningan. Pathogenesis efusi pleura
vbersifat eksudat ini belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya
kegagalan aliran getah bening. Didaerah timur tengah terutam pada bangsa
yahudi penyakit diturunkan sebagai secara autosomal resesif dari orang tua ke
anaknya.
Gejala penyakit berupa serangan demam yang berulang, rasa sakit
abdominal dan pleuritis. Pleuritis disini dapat memberikan rasa nyeri pleuritik
dan efusi pleura. Pengobatan bersifat suportif saja dan operasi sebaiknya
dihindarkan.
4) Reaksi hipertensif terhadap obat
Pengobatan dengan nitrofuratoin,metilsergid, praktolol kadang-kadang
memberikan reaksi/perubahan terhadap paru-paru dan pleura berupa radang
dan kemudian juga akan menimbulkan efusi pleura. Bila proses menjadi
kronik bisa terjadi fibrosis paru atau pleura.
Pengobatan dengan hidrazin, prokainamid dan kadang-kadang derngan
definilhidatoin dan isoniazid sering juga menimbulkan pleuritis dan
17

perikarditid. Radang dan efusi yang timbul dapat menghilang bila pemberian
obat-obatan tersebut dihentikan.
C. Manifestasi Klinik (Brunner & Suddarth, 2000)
Gejala yang paling sering ditemukan (tanpa menghiraukan jenis cairan yang
terkumpul ataupun penyebabnya) adalah sesak nafas dan nyeri dada (biasanya bersifat
tajam dan semakin memburuk jika penderita batuk atau bernafas dalam). Kadang
beberapa penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
a) batuk kadang berdarah
b) demam, menggigil
c) pernafasan yang cepat
d) Lemas progresif disertai penurunan BB
e) Asites
f) Dipsnea
D. Evaluasi Diagnostik (Muttaqin, 2008)
Pada flouroskopi maupun foto thoraks PA cairan yang kurang dari 300cc tidak
bisa terlihat, mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukan
kostofrenikus. Pada efusi pleura subpulmonal, meskipun cairan pleura lebih
dari 300cc, frenicocostalis tampak tumpul dan diafragma kelihatan meninggi.
Untuk memastikannya, perlu dilakukan dengan foto thoraks lateral dari sisi
yang sakit (lateral dekubitus).
a. Pemeriksaan Radiologi

b. Biopsi pleura
Biopsi ini berguna untuk mengambil specimen jaringan pleura melalui biopsi
jalur perkutaneus. Biopsy ini dilakukan untuk mengetahui adanya sel- sel
18

ganas atau kuman- kuman penyakit (biasanya kasus pleurisy tuberculosa dan
tumor pleura).
c. Pengukuran fungsi paru (spirometri)
Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara resudial ke kapasitas total
paru, dan penyakit pleural pada tuberculosis kronis tahap lanjut.
Kapasitas total paru adalah volume maksimal pengembangan paru- paru
dengan usaha inspirasi yang sebesar- besarnya kira- kira 5800 ml. (Syaifuddin,
2009)
d. Pemeriksaan laboratorium
Memeriksa cairan pleura agar dapat menunjang intervensi lanjutan. Analisa
cairan pleura dapat dinilai untuk mendeteksi kemungkinan penyebab dari efusi
pleura. Pemeriksaan cairan pleura hasil thorakosentesis secara makroskopis
biasanya dapat berupa cairan hemoragi, eksudat, dan transudat.
Haemorragic pleural effusion, biasanya terjadi pada klien dengan
adanya keganasan paru atau akibat infark paru terutama disebabkan
tuberculosis.
Yellow exudates pleural effusion, terutama terjadi pada keadaan gagal
jantung kongestif, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia, dan perikarditis
konstriktif.
Clear transudate pleural effusion, sering terjadi pada klien dengan
keganasan ekstrapulmoner.
e. Pemeriksaan darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih
dibwah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Jika penyakit mulai
sembuh, jumlah leukosit kembali normal, dan jumlah limfosit masih tinggi.
Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Bisa juga didapatkan
anemia ringan dengan gambaran normokron dan normositer, gama globulin
meningkat dan kadar natrium darah menurun.
f. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannnya
kuman BA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Kriteria BTA
19

positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada
satu sediaan.
E. Patofisiologi dan Web of Causion (WOC) secara teoritis
Patofisiologi terjadinya efusi pleura bergantung pada keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini
terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstisial
submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura. Selain
itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.
Pada umumnya efusi karena penyakit pleura hamper mirip plasma (eskudat),
sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat plasma (transudat).
Efusi yang berhubungan dengan pleuritis disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
pleura parietalis sekunder (akibat samping )terhadap peradangan atau adanya
neoplasma.
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh
peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,
sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemotoraks.
Proses terjadinya pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat pleura
perietalis sehingga udara akan masuk kedalam rongga pleura. Proses ini sering
disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis
lagi seperti pada pasien emfisema paru.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan
primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialysis
peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva,
keganasan , atelektasis paru dan pneumotoraks .
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial
berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan kedalam rongga
pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa.
Sebab lain seperti parapneumonia, parasit(amuba, paragonimiosis, ekinokokus),
jamur, pneumonia atipik(virus, mikoplasma, fever, legionella), keganasan paru, proses
20

imunologik seperti leuritis lupus, pleuritis rematoid, sarkoidosis, radang sebab lain
seperti pancreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi.
Klien dengan pleura normal pun dapat terjadi efusi pleura ketika terjadi
payah/gagal jantung kongestif. Saat jantung tidak dapat memompakan darahnya
secara maksimal keseluruh tubuh maka akan terjadi peningkatan tekanan hidrostatik
pada kapiler yang selanjutnya timbul hipertensi kapiler sistemik dan cairan yang
berada dalam pleura, ditambah dengan adanya penurunan reabsorbsi cairan tadi oleh
kelenjar limfe dipleura mengakibatkan pengumpulan cairan yang
abnormal/berlebihan. Hipoalbuminemia (misal pada klien nefrotik sindrom,
malabsorbsi natau keadaan lain dengan asites dan edema anasarka) akan
mengakibatkan terjadinya peningkatan pembentukan cairan pleura dan reabsorsi yang
berkurang. Hal tersebut dikarenakan adanya penurunan pada tekanan onkotik
intravaskular yang mengakibatkan cairan akan lebih mudah masuk kedalam rongga
pleura.
Luas efusi yang mengancam volume paru, sebagian akan bergantung pada
kekakuan relative paru dan dinding dada. Pada volume dalam batas pernafasan normal
dinding dada cenderung recoil keluar sementara paru-paru cenderung untuk recoil
kedalam.

Web of causion (Muttaqin, 2008)









Karsinoma
Mediastinum
Karsinoma paru
Gagal jantung kiri
Gagal ginjal
Gagal fungsi hati
TB paru
Pneumonia
Ateleksis
Inflamasi
Peningkatan permeabilitas
kapiler
Peningkatan tekanan
hidrostatik dipembuluh
darah
Ketidakseimbangan jumlah
produksi cairan dengan
absorbsi yang bisa dilakukan
pleura viseralis
Tekanan osmotic koloid
menurun
Tekanan negative
intrapleura
Peningkatan permeabilitas
kapiler Akumulasi/penimbunan
cairan di kavum pleura
21
















Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru
sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intevensi pola nafas klien dapat
normal.
Kriteria evaluasi:
Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada dalam batas normal, pada
pemeriksaan rontgen thoraks tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, dan bunyi
napas terdengar jelas.
Rencana Intervensi Rasioanl
Identifikasi factor penyebab Dengan mengidentifikasi penyebab, kita
Gangguan ventilasi (pengembangan paru tidak optimal), ganguan difusi, distribusi, dan
transportasi oksigen
System saraf
pusat
System
pernapasan
Pa O
2
menurun
PCO
2
meningkat
Sesak nafas
Peningkatan produksi
secret
Pola nafas tidak efektif
Jalan nafas tidak efektif
Pertukaran gas tidak
efektif
Penurunan suplai
oksigen ke otak
Hipioksia serebral
Resiko gangguan
pefusi serebral
System
pencernaan
Metabolisme
Meningkat
Kebutuhan
energi meningkat
Gangguan
pemenuhan nutrisi
System
Muskilokeleta
ll
Penurunan
suplai oksigen
ke jaringan
peningkatan
metabolism
anaerob
Peningkatan
produksi asam
laktat
Kelemahan
fisik umum
Intoleransi
aktivitas
Respon
Psikososial
Sesak nafas
Tindakan
invasif
Koping tidak
efektif
Kecemasan
Sesak nafas
22

dapat menentukan jenis efusi pleura
sehingga dapat mengambil tindakan yang
tepat
Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman
pernapasan, serta melaporkan setiap
perubahan yang terjadi
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan
kedalaman pernapsan kita dapat
mengetahui sejauh mana perubahan
kondisi klien.
Baringkan klien dengan kondisi yang
nyaman, dalam posisi duduk, dengan
kepala tempat tidur ditinggikan 60-90
o
atau miringkan kearah sisi yang sakit
Penurunan diafragma dapat memperluas
daerah dada sehingga ekspansi paru bisa
maksimal.
Miring kearah sisi yang sakit dapat
menghindari efek penekanan gravitasi
cairan sehingga ekspansi dapat maksimal
Observasi tanda- tanda vital ( nadi dan
pernapasan)
Peningkatan frekuensi napas dan
takikardi merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru.
Lakukan auskultasi suara napas tiap 2-4
jam .
Auskultasi dapat menentukan kelainan
suara napas pada bagian paru
Bantu dan ajarkan klien untuk batuk dan
napas dalam yang efektif
Menekan daerah yang nyeri ketika batuk
atau napas dalam. Penekanan otot- otot
dada serta abdomen membuat batuk
lebih efektif.
Kolaborasi dengan tim medis lain untuk
pemberian O
2
dan obat-obatan serta foto
thoraks
Pemberian O
2
dapat menurunkan beban
pernapasan dan mencegah terjadinya
sianosis akibat hipoksia.
Dengan foto thoraks, dapat di monitor
kemajuan dari berkurangnya cairan dan
kembalinya daya kembang paru
Kolaborasi untuk tindakan thorakosentesis Tindakan thorakosentesis atau fungsi
pleura bertujuan untuk menghilangkan
sesak napas yang disebabkan oleh
akumulasi cairan dalam rongga pleuraa.

23

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungang dengan sekresi mucus yang
kental, kelemahan, upaya batuk buruk dan edema tracheal/faringeal.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi, bersihan jalan nafas
kembali efektif.
Kriteria evaluasi :
Klien mampu melakukan batuk efektif
Pernafasan klien normal (16-20x/menit) tanpa ada penggunaan otot bantu
nafas. Bunyi nafas normal, Rh-/- dan pergerakan pernafasan normal.
Rencana intervensi Rasional
Kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas,
kecepatan, irama, kedalaman, dan
penggunaan otot bantu nafas.
Penurunan bunyi nafas menunjukkan
atelektasis,ronkhi menunjukkan
akumulasi secret dan ketidakefektifan
pengeluaran sekresi yang selanjutnya
dapat menimbulkan penggunaan otot
bantu nafas dan peningkatan kerja
pernafasan.
Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi,
catat karakter dan volume sputum
Pengeluaran akan sulit bila sekret sangat
kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak
adekuat).
Berikan posisi semifowler/fowler tinggi
dan bantu klien latihan nafas dalam dan
batuk efektif.
Posisi fowler memaksimalkan ekspansi
paru dan menurunkan upaya bernafas.
Ventilasi maksimal membuka area
atelektasis dan meningkatkan gerakan
sekret kedalam jalan nafas besar untuk
dikeluarkan.
Pertahankan intake cairan sedikitnya
2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan.
Hidrasi yang adekuat membantu
mengencerkan sekret dan mengefektifkan
pembersihan jalan nafas.
Bersihkan sekret dari mulut dan trachea
bila perlu lakukan pengisapan ( suction ).
Mencegah obstruksi dan aspirasi.
Pengisapan diperlukan bila klien tidak
mampu mengeluarkan sekret. Eliminasi
lendir dengan suction sebaiknya
dilakukan dalam jangka waktu kurang
24

dari 10 menit dengan pengawasan efek
samping suction.
Kolaborasi pemberian obat sesuai
indikasi: obat antibiotic
Pengobatan antibiotik yang ideal adalah
dengan adanya dasar dari tes uji resistensi
kuman terhadap jenis antibiotik sehingga
lebih mudah mengobati pneumonia.
Agen mukolitik Agen mukolitik menurunkan kekentalan
dan perlengketan sekret paru untuk
memudahkan pembersihan.
Bronkodilator: jenis aminofilin via
intravena
Bronkodilator meningkatkan diameter
lumen percabangan trakheobronkhial
sehingga menurunkan tahanan terhadap
aliran udara.
Kortikosteroid Kortikosteroid berguna pada hipoksemia
dengan keterlibatan luas dan bila reaksi
inflamasi mengancam kehidupan.


Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, pemeriksaan
diagnostik dan rencana pengobatan
Tujuan : Memberikan informasi tentang proses penyakit, program pengobatan
Kriteria Hasil :
- Klien mengetahui tentang proses penyakit, program pengobatan penyakitnya.
- Kecemasan klien menurun
Rencana Intervensi Rasional
Jelaskan hal hal mengenai penyakit
pada pasien dan pengobatan

Mengorientasi program pengobatan.
Membantu menyadarkan klien untuk
memperoleh kontrol.
Ajarkan tindakan yang dapat
mengontrol dispnea
Pengontrolan dispnea melalui pengontrolan
seimbang, istirahat cukup dan aktivitas dapat
ditoleransi
25


Kaji patologi masalah individu Informasi menurunkan takut karena
ketidaktahuan. Memberikan pengetahuan
dasar untuk pemahaman kondisi dinamik.
Kaji ulang tanda / gejala yang
memerlukan evaluasi medik
cepat,contoh nyeri dada tiba-tiba,
dispnea, distres pernapasan lanjut
Berulangnya efusi pleura memerlukan
intervensi medik untuk mencegah /
menurunkan potensial komplikasi.
Kaji ulang praktik kesehatan yang
baik, istirahat
Mempertahanan kesehatan umum
meningkatkan penyembuhan dan dapat
mencegah kekambuhan.

Identifikasi kemungkinan kambuh /
komplikasi jangka panjang
Penyakit paru yang ada seperti PPOM berat
dan keganasan dapat meningkatkan insiden
kambuh.


Perubahan nurtisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kelemahan, dispneu, anorexia.
Tujuan : memuhi kebutuhan nutrisi klien sesuai kebutuhan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh teratasi dengan kriteria:
- BB meningkat
- Melakukan pola hidup untuk meningkatkan / mempertahankan BB yang tepat
Rencana Intervensi Rasionalisasi
Catat status nutrisi pasien

Berguna dalam mendefenisikan derajat /
luasnya masalah dan pilihan intervensi yang
berguna.

Awasi masukan / pengeluaran dan BB
secara periodic
Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi
dan dukungan cairan.

26

Selidiki anoreksia, mual, muntah, dan
catat kemungkinan hubungan dengan
obat. Awasi frekuensi, volume dan
konsistensi feses.

Dapat mempengaruhi pilihan diet dan
mengidentifikasi area pemecahan masalah
untuk meningkatkan pemasukan /
penggunaan nutrient.


Berikan perawatan mulut sebelum dan
sesudah tindakan pernapasan.

Menurunkan rasa tak enak karena sisa
sputum atau obat untuk pengobatan respirasi
yang merangsang pusat muntah.


Anjurkan makan sedikit dan sering
dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat.

Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa
kelemahan yang tak perlu / kebutuhan energi
dari makanan banyak dan menurunkan iritasi
gaster.

Rujuk ke ahli gizi untuk komposisi
diet.
Untuk mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
individu untuk meningkatkan penyembuhan.


Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan pertukaran gas terhadap efusi
pleura, nyeri akut, imobilitas, kelemahan umum
Tujuan : Dapat beraktivitas sebagaimana biasanya
Kriteria Evaluasi :
Mentoleransi aktivitas yang biasa dilakukan dan ditunjukan dengan daya tahan tubuh,
penghematan energi,dan perawatan diri
Mengidentifikasi tingkat aktivitas yang dapat dicapai atai dipertahankan secara
realistis
-Menampilkan aktivitas sehari-hari dengan beberapa bantuan (misalnya eliminasi
27

dengan bantuan ambulasi untuk ke kamar mandi
-Mengurangi dispnea
Rencana Intervensi Rasionalisasi
Jelaskan aktivitas dan faktor yang
dapat meningkatkan kebutuhan
oksigen.
Merokok, suhu ekstrim dan stre
menyebabkan vasokonstruksi pembuluh
garah dan peningkatan beban jantung.
Anjurkan program hemat energy, buat
jadwal aktifitas harian, tingkatkan
secara bertahap
Mencegah penggunaan energi berlebihan
Ajarkan teknik napas efektif Mempertahankan pernapasan lambat dengan
tetap mempertahankan latihan fisik yang
memungkinkan peningkatan kemampuan otot
bantu pernapasan
Pertahankan terapi oksigen tambahan Meningkatkan oksigenasi tanpa
mengorbankan banyak energi

Beri waktu istirahat yang cukup Meningkatkan daya tahan pasien, mencegah
keletihan


Rangguan perfusi cerebral berhubungan dengan inadekuat sirkulasi oksigen ke otak
Tujuan : pemenuhan kebutuhan oksigen ke otak dapat terpenuhi
Kriteria hasil :
- status mental baik
- Fungsi sensorik dan motorik baik
- Tingkat kesadaran klien baik
Rencana intervensi Rasionalisasi
Kaij tingkat kesadaran dengan klien
dengan GCS (Glasgow coma scale)
hipoksia yang parah dapat menyebabkan
perubahan tingkat kesadaran, koma dan
dapat fatal.

28


Pantau tanda- tanda vital secara teratur peningkatan RR dan takikardi merupakan
adanya indikasi penurunan fungsi paru.
peningkatan TD terjadi karena
peningkatan TIK, jika diikuti oleh
penurunan kesadaran. Demam dapat
mencerminkan kerusakan hipotalamus
Periksa respon dan ukuran pupil terhadap
rangsangan cahaya
Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial
okulomotor (III) dan berguna untuk
menentukan batang otak tersebut semakin
baik. Ukuran dan kesamaan pupil
ditentukan oleh keseimbangan antara
persarafan simpatis dan parasimpatis
yang mempersarafi.
Pertahankan posisi kepala dalam keadaan
netral dengan bantalan kecil (posisi
elevasi)
Menurunkan tekanan arteri dengan
meningkatkan drainase dan
meningkatkan sirkulasi atau perfusi
serebral.
Cegah pasien untuk mengedan, batuk
keras, berikan periode istirahat cukup,
lingkungan nyaman
Batuk dan mengejan dapat meningkatkan
tekanan intracranial dan potensi terjadi
pendarahan

F. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan (Brunner & Suddarth, 2000)
Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyabab yang mendasari untuk
mencegah penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan rasa tidak nyaman
serta dispnea. Pengobatan spesifik diarahkan pada penyebab yang mendasari.

1) Torasentesis, ditujukan untuk pengobatan penyakit dasar dan pengosongan
cairan. Indikasi untuk melakukan torakosentesis adalah: (1) menghilangkan
sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga pleura, (2)
bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal, (3) bila
terjadi reakumulasi cairan.
29


2) Selang dada dan drainase water seal mungkin diperlukan untuk
pneumotoraks (kadang merupakan akibat torasentesis berulang).
Water Seal Drainase
WSD (Water Seal Drainase) adalah suatu unit yang bekerja sebagai drain untuk
mengeluarkan udara dan cairan melalui selang dada.
Indikasi :
- Pneumothoraks karena rupture bleb, luka tusuk tembus.
- Hemothoraks karena robekan pleura, kelebihan anti koagulan, pasca bedah thorak
- Efusi pleura
- Empiema Karen penyakit paru serius dan kondisi inflamasi
Tujuan pemasangan WSD:
Untuk mengeluarkan udara, caiaran atau darah rongga pleura.
Untuk mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura.
Untuk mengembangkan kembali paru yang kolap dan kolap sebagian.
Untuk mencegah reflex drainase kembali kedalam rongga dada.
Tempat pemasangan WSD:
a. Apical
Letak selang pada interkosta III mid klavikula
Dimasukkan secara antero lateral
Fungsi untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
b. Basal
Letak selang pada interkostal V-V1 atau interkostal VIII-IX mid aksiller
Fungsi: untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura

30

Jenis WSD:
1. Sistem 1 botol .sistem drainase ini paling sederhana dan sering digunakan
pada pasien dengan simple pneumotoraks
2. System dua botol pada system ini btol pertama mengumpulkan
cairan/drainase dan botol kedua adalah botol waterseal
3. System tiga botol , botol penghisap control ditambahkan kesistem dua
botol.sistem tiga botol ini paling aman untuk mengatur jumlah
penghisapan.
Komplikasi pemasangan WSD:
1. Komplikasi primer: perdarahan, edema paru, tension pneumotoraks, atrial
aritmia
2. Komplikasi sekunder: infeksi, emfiema

3) Obat dimasukkan kedalam ruang pleural untuk mengobliterasi ruang pl;eura
dan mencegah penumpukan cairan lebih lanjut.
4) Modalitas pengobatan lainnya: Radiasi dinding dada, operasi pleurektomi dan
terapi diuretic.

Intervensi Keperawatan
1.Terapkan regimen obat-obatan
a. Siapkan dan posisikan pasien untuk torasentesis.
b. Berikan dukungan sepanjang prosedur.

2. Bantu pasien dalam peredaan nyerinya
a. Bantu pasien untuk mencari posisi yang paling sedikit nyerinya.
b. Berikan obat nyeri sesuai yang diharuskan dan kebutuhan.

3. Pantau drainase selang dada dan system water-seal ,catat jumlah drainase pada
interval yang diharuskan.

4. Lakukan auhan keperawatan yang berhubungan dengan penyebab yang
mendasari efusi pleural.
Kata Kata Sulit (Tahap Seven Jump I )
31

1) efusi: keluarnya cairan menuju suatu bagian atau jaringan sebagai edukasi atau
transudasi.
2) Pleura: membrane serosa yang membungkus paru dan melapisi rongga toraks
sepenuhnya membungkus rongga potensial yang dikenal sebagai rongga pleura.
3) Thoraks: bentuk gabung yang menunjukkan hubungan dengan dada.
4) Serous: menghasilkan atau mengandung serum seperti kelenjar dan kista serosa.
5) Granuloma: kumpulan makrofag modifikasi yang menyerupai sel epitel biasanya
dikelilingi oleh lingkaran sel limfosit.
6) Atelectasis: pembesaran paru atau sebagian paru yang tidak lengkap ini mungkin
terjadi secara congenital (primer), sekunder atau sebagai keadaan yang didapat.
7) Pneumotorak: pengumpulan udara atau gas dalam rongga pleura.
8) Legionella: penyakit yang menyerupai pneumonia.
9) Abestosi: bentuk pneumoconiosis (silikatosis) disebabkan oleh penghirupan serat-
serat asbes yang ditandai dengan fibrosis interstisial paru yang bervariasi luasnya dari
terkenanya daerah basal kecil sampai pembentukan jaringan parut yang luas ini
dikaitkan dengan mesotelioma pleura.
10) Pneumonia: radang paru dengan konsolidasi.
11) Dekompresi: mengurangi tekanan.
12) Sarkoidosis: retikulosis granulomatosa sistemik yang kronik progresif tanpa sebab
yang jelas ditandai denga tuberkel keras ,hampir semua organ/jaringan termasuk kulit,
paru, kelenjar, getah bening, hati, limfa, mata dan tulang-tulang kecil tangan dan kaki.
Merumuskan pertanyaan (Tahap Seven Jump II)
1) Mengapa klien dengan efusi Pleura sulit untuk tarik nafas dalam atau bahkan sesak
nafas?
2) Penyakit apa saja yang anda ketahui yang bisa menyebabkan efusi pleura?
3) Kenapa efusi pleura itu bisa terjadi?




32

BAB III
KASUS
A. Bapak L mengeluh susah untuk tarik nafas dalam. Dada kelihatan seperti tong. Saat
dilakukan perkusi dada bagian kanan suara redup dan dilakukan auskultasi tidak ada
terdengar udara saat inspirasi dan ekspirasi. Diding dada sebelah kanan selalu
tertinggal saat tarik nafas.
B. Pengkajian
Data Subjektif : Bapak L mengeluh susah saat tarik nafas dalam.
Data Objektif :
Inspeksi : dada kelihatan seperti tong, dinding dada sebelah kanan selalu
tertinggal saat bernafas.
Auskultasi : Tidak ada terdengar udara saat inspirasi dan ekspirasi
Perkusi : dada bagian kanan suara redup.
C. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah Keperawatan
1 DS: - Tn.L mengeluh susah
tarik nafas dalam.
DO:
- Tidak ada terdengar suara
saat inspirasi dan ekspirasi
- Dada bagian kanan suara
redup
- dada seperti tong

Penumpukan cairan di
rongga pleura

Tekanan intrapleural

Efusi Pleura

Ekspansi paru menurun dan
asimetris gerakan paru

Pertukaran O
2
di alveoli
menurun

Dypnea

Pola nafas tidak efektif
pola nafas tidak
efektif
2 DS: - Tn.L mengeluh susah Nyeri
33

tarik nafas dalam.
DO:
- Tidak ada terdengar suara
saat inspirasi dan ekspirasi
- Dada bagian kanan suara
redup
-dinding dada sebelah kanan
selalu tertinggal saat
bernafas.


Penumpukan cairan di
rongga pleura

Tekanan intrapleural

Efusi Pleura

Penurunan ekspansi paru

Pengeluaran zat-zat
vasoaktif(bradikinin,
serofinin)

Merangsang ujung-ujung
saraf bebas

nyeri

D. Web Of Caution (WOC)

Peningkatan cairan pleural

penumpukan cairan dirongga pleura

Tekanan intrapleura

Efusi Pleura

Ekspansi Paru Menurun
34


pertukaran gas di alveos pengeluaran zat
vasoaktif ( bradikinin/
serofinin)
Dyspnea
Merangsang
ujung-ujung saraf bebas



E. Asuhan Keperawatan

Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru
sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intevensi pola nafas klien dapat
normal
Kriteria evaluasi:
Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada dalam batas normal, pada
pemeriksaan rontgen thoraks tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, dan bunyi
napas terdengar jelas.
Rencana Intervensi Rasioanl
Identifikasi factor penyebab Dengan mengidentifikasi penyebab, kita
dapat menentukan jenis efusi pleura
sehingga dapat mengambil tindakan yang
tepat
Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman
pernapasan, serta melaporkan setiap
perubahan yang terjadi
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan
kedalaman pernapsan kita dapat
mengetahui sejauh mana perubahan
kondisi klien.
Baringkan klien dengan kondisi yang
nyaman, dalam posisi duduk, dengan
kepala tempat tidur ditinggikan 60-90
o
Penurunan diafragma dapat memperluas
daerah dada sehingga ekspansi paru bisa
maksimal.
Pola nafas tidak
efektif
nyeri
35

atau miringkan kearah sisi yang sakit Miring kearah sisi yang sakit dapat
menghindari efek penekanan gravitasi
cairan sehingga ekspansi dapat maksimal
Observasi tanda- tanda vital ( nadi dan
pernapasan)
Peningkatan frekuensi napas dan
takikardi merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru.
Lakukan auskultasi suara napas tiap 2-4
jam .
Auskultasi dapat menentukan kelainan
suara napas pada bagian paru
Bantu dan ajarkan klien untuk batuk dan
napas dalam yang efektif
Menekan daerah yang nyeri ketika batuk
atau napas dalam. Penekanan otot- otot
dada serta abdomen membuat batuk
lebih efektif.
Kolaborasi dengan tim medis lain untuk
pemberian O
2
dan obat-obatan serta foto
thoraks
Pemberian O
2
dapat menurunkan beban
pernapasan dan mencegah terjadinya
sianosis akibat hipoksia.
Dengan foto thoraks, dapat di monitor
kemajuan dari berkurangnya cairan dan
kembalinya daya kembang paru
Kolaborasi untuk tindakan thorakosentesis Tindakan thorakosentesis atau fungsi
pleura bertujuan untuk menghilangkan
sesak napas yang disebabkan oleh
akumulasi cairan dalam rongga pleuraa.

Gangguan rasa nyaman: nyeri akut b.d. terangsangnya saraf intratoraks sekunder
terhadap iritasi pleura
Tujuan : nyeri yang di rasakan dapat teratasi/ berkurang.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharap nyeri berkurang/hilang dengan kriteria:
- Klien melaporkan nyeri hilang/terkontrol
- Klien tampak rileks dan tidur / istirahat dengan baik
- Klien berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan/dibutuhkan
Rencana Intervensi Rasionalisasi
Tanyakan pasien tentang nyeri. Membantu dalam evaluasi gejala nyeri
36

Tentukan karakteristik nyeri, mis,
terus menerus, sakit, menusuk,
terbakar. Buat rentang intensitas pada
skala 0-10

karena peregangan pleura yang melibatkan
saraf. Penggunaan skala rentang membantu
klien dalam mengkaji tingkat nyeri dan
memberikan alat untuk evaluasi keefektifan
analgesic, meningkatkan kontrol nyeri
Kaji pernyataan verbal dan nonverbal
nyeri pasien.


Ketidaksesuaian antara petunjuk verbal/non-
verbal dapat memberikan petunjuk derajat
nyeri, kebutuhan / keefektifan intervensi.

Evaluasi keefektifan pemberian obat.
Dorong pemakaian obat dengan benar
untuk mengontrol nyeri; ganti obat
atau waktu sesuai ketepatan.


Persepsi nyeri dan hilangnya nyeri adalah
subjektif dan pengontrolan nyeri yang terbaik
merupakan keleluasan pasien. Bila pasien
tidak mampu memberikan masukan, perawat
harus mengobservasi tanda psikologis dan
fisiologis nyeri dan memberikan obat
berdasarkan aturan.


Dorong menyatakan perasaan tentang
nyeri.


Takut/masalah dapat meningkatkan tegangan
otot dan menurunkan ambang nyeri.

Berikan tindakan kenyamanan, mis.,
sering ubah posisi, pijatan punggung,
sokongan bantal. Dorong penggunaan
teknik relaksasi, mis., visualisasi,
bimbingan imajinasi, dan aktivitas
hiburan yang tepat.


Meningkatkan relaksasi dan pengalihan
perhatian. Menghilangkan ketidaknyamanan
dan meingkatkan efek terapeutik analgesic.


Jadwalkan periode istirahat. Berikan
lingkungan yang tenang.

Penurunan kelemahan dan menghemat
energy, meningkatkan kemampuan koping.

37


Bantu aktivitas perawatan diri,
pernapasan/latihan tangan, dan
ambulasi.
Mencegah kelemahan yang tak perlu dan
regangan. Mendorong dan membantu fisik,
mungkin diperlukan untuk beberapa waktu
sebelum pasien mampu / cukup percaya
untuk melakukan aktivitas ini karena
nyeri/takut nyeri.

F. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi

Pengelolaan secara farmakologi efusi pleura tergantung pada etiologi kondisinya.
Sebagai contoh penatalaksanaan nitrat (Nitrogliceryn) dan diuretic (Furosemide) untuk gagal
jantung kongerstif dan edema paru, anti biotic untuk efusi parapneumonia dan empiema dan
anti koagulan untuk (heparin) untuk emboli paru.
Jika jumlah cairannya sedikit, mungkin hanya perlu dilakukan pengobatan terhadap
penyebabnya. Jika jumlah cairannya banyak sehingga menyebabkan penekanan maupun
sesak nafas, maka perlu dilakukan tindakan drainase (pengeluaran cairan yang terkumpul).
Cairan bisa dialirkan melalui prosedur torakosentesis, dimana sebiah jarum (atau selang)
dimasukkan ke dalam rongga pleura. Torakosentesis biasanya dilakukan untuk menegakan
diagnosis, tetapi pada prosedur ini juga bisa dikeluarkan cairan sebanyak 1,5 liter. Jika
jumlah cairan yang harus dikeluarkan lebih banyak, maka dikeluarkan lebih banyak, maka
dimasukkan sebuah selang melalui dinding dada.

Adapun penatalaksanaan pada pasien efusi pleura salah satunya bisa tirah baring,
tujuannya untuk menurunkan kebutuhan oksigen karena peningkatan aktifitas akan
meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga dyspnea akan semakin meningkat pula. Selain itu
juga dapat melakukan distraksi. Distraksi adalah teknik mengalihkan perhatian klien ke hal
lain terutama hal yang menyenangkan dengan tujuan untuk menurunkan kewaspadaan
terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri.

G. Health Education
1) Penkes mengenai apa itu efusi pleura.
2) Penkes mengenai factor- factor yang menyebabkan efusi pleura
38

3) Penkes gejala efusi pleura.
4) Penkes mengenai pengobatan efusi pleura.

H. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari ini, maka diharapkan seluruh mahasiswa keperawatan mampu
memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan efusi pleura.



















39

DAFTAR PUSTAKA
Doenges, MC dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Harrison. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Jakarta : EGC
Muttaqin, A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta : Salemba Medika
Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing
Price, SA & Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Somantri, I. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Syaifuddin. 2009. Fisiologi tubuh manusia untuk mahasiswa keperawatan edisi 2. Jakarta :
Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai