Anda di halaman 1dari 30

PERAWATAN PALIATIF PADA PASIEN HIV DAN AIDS

Dianjukan Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Paliatif

Disusun Oleh :

Al Hafizah Winof Putri 1611313005

Anggita Ayuningtias 1611312004

Annazhifa A Boestari 1611311017

Deanisa Hasanah 161131103020

Eva Afriyanti Yuningsih 1611311021

Genna Meylia 1611313013

Hertati 1611313007

Masri Rahayu Putri 1611311018

Rettania Lorenza Hamrizal 1611311022

Fakultas Keperawatan

Universitas Andalas

2018

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, makalah yang berjudul “Keperawatan Paliatif
pada Pasien HIV/AIDS” selesai disusun. Penulisan makalah ini dimaksudkan
untuk memenuhi tugas dalam bidang studi Keperawatan menjelang ajal dan
paliatif.
Dalam penulisan makalah ini, berbagai hambatan telah penulis
alami. Oleh karena itu, terselesaikannya makalah ini tentu saja bukan karena
kemampuan penulis semata. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan
membimbing atas terselesainya makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari pengetahuan dan
pengalaman penulis masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan maaf jika ada kesalahan dalam makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa meridhoi tujuan makalah ini. Amin.

Padang, 29 September 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................. 5
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 5
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 5
1.2 Rumusan masalah ............................................................................................. 5
12.1 Tujuan ................................................................................................................. 6
BAB II................................................................................................................................. 7
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 7
2.1 Sejarah HIV AIDS ............................................................................................ 7
2.2 Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Imunnodeficiency Syndrome (AIDS). ........................................................................... 8
2.3 Struktur HIV ..................................................................................................... 8
2.4 Patofisiologi Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired
Imunnodeficiency Syndrome (AIDS) ........................................................................ 10
2.5 Penularan HIV dan AIDS .............................................................................. 11
2.6 Manifestasi klinis Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired
Imunnodeficiency Syndrome (AIDS). ......................................................................... 13
2.7 Gejala dan stadium klinis Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired
Imunnodeficiency Syndrome (AIDS) ............................................................................ 14
2.8 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................... 16
2.9 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harapan Hidup 5 tahun Pasien Human
Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Imunnodeficiency Syndrome (AIDS). ....... 18
2.10 Pengobatan terhadap HIV/AIDS ................................................................... 25
2.11 Perawatan Akhir Hidup ................................................................................. 26
BAB III ............................................................................................................................. 29
PENUTUP ........................................................................................................................ 29
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 29
3.2 Saran ................................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 31

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang diketahui sebagai


penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem
ketahanan tubuh, sehingga orang-orang yang menderita penyakit ini kemampuan
untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi berkurang.
Seseorang yang positif mengidap HIV belum tentu mengidap AIDS. Namun,
HIV yang ada pada tubuh seseorang akan terus merusak sistem imun. Akibatnya,
virus, jamur dan bakteri yang biasanya tidak berbahaya menjadi sangat berbahaya
karena rusaknya sistem imun tubuh (Sopiah, 2009).

Penyakit AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu


singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara.
Dikatakan pula bahwa epidemik yang terjadi tidak saja mengenal penyakit
(AIDS), virus (HIV) tetapi juga dampak negatif yang ditimbulkan (bukan hanya
mencakup pada sektor kesehatan), [tetapi berbagi bidang] seperti sosial, ekonomi,
politik, kebudayaan dan demografi. Hal ini merupakan tantangan yang harus
diharapi baik oleh negara maju maupun negara berkembang.

Oleh karena itu, tenaga kesehatan harus kompeten di bidangnya, termasuk


perawat, guna mengurangi dan mencegah membengkaknya penyebaran
HIV/AIDS. Pengetahuan perawat mengenai patofilsiologi virus ini diperlukan,
agar perawat dapat mencegah penularannya, faktor penyebab apa saja yang
mempengaruhi tertularnya virus ini, cara penularannya dan dapat memberikan
asuhan keperawatan yang tepat bagi pasien HIV/AIDS.

1.2 Rumusan masalah


2 Bagaimana sejarah HIV/AIDS ?
3 Apa pengertian HIV/AIDS ?

5
4 Bagaimana struktur virus HIV/AIDS ?
5 Bagaimana patofisiologi penyakit HIV/AIDS ?
6 bagaimana cara penularan penyakit HIV/AIDS ?
7 Apa sajakah manifestasi klinis penyakit HIV/AIDS ?
8 Apa gejala klinis dan stadium pada pasien HIV/AIDS ?
9 Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan oleh pasien dengan
HIV/AIDS?
10 Apa saja faktor yang mempengaruhi harapan hidup 5 tahun pasien
HIV/AIDS?
11 Pengobatan apa yang tepat bagi penderita HIV/AIDS ?
12 Bagaimanakah perawatan akhir hidup bagi pasien HIV/AIDS?

12.1 Tujuan
1. Tujuan umum
Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang bagaimana
keperawatan paliatif pada pasien HIV/AIDS.
2. Tujuan khusus
a. Menjelaskan tentang sejarah HIV//AIDS
b. Menjelaskan tentang pengertian HIV/AIDS
c. Menjelaskan tentang struktur HIV
d. Menjelaskan tentang patofisiologi HIV/AIDS
e. Menjelaskan tentang penularan HIV/AIDS
f. Menjelaskan tentang manifestasi klinis HIV/AIDS
g. Menjelaskan tentang gejala dan stadium klinis HIV/AIDS
h. Menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang pasien HIV/AIDS
i. Menjelaskan tentang faktor yang mempengaruhi harapan hidup 5 tahun
pasien HIV/AIDS
j. Menjelaskan tentang bagaimana pengobatan HIV/AIDS
k. Menjelaskan tentang perawatan akhir hidup pasien HIV/AIDS

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah HIV AIDS
Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada
tahun 1983 dan virusnya di temukan Luc Montagnier pada tahun 1983. AIDS
pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 juni 1981, ketika Centers for Disease
Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia
pneumosistis (sekarang masih diklasifikasi sebagai PCP tetapi diketahui
disebabkan oleh Peneumocystis Jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los
Angeles.
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit hampir setiap didunia (pandemi),
termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan telah
terdapat sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta dewasa dan
1,7 anak-anak. Di Indonesia berdasarkan data-data yang bersumber dari Direktorat
Jendaral P2M dan PLP Depertemen Kesehatan RI sampai dengan 1Mei 1998
jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 685 orang yang dilaporkan oleh 23
provinsi di Indonesia. Data jumlsh penderita yang sebenarnya. Pada penyakit ini
berlaku teori “Gunung Es” dimana penderita yang kelihatan hanya sebagian kecil
dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa 1 penderita yang
terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita HIV yang belum
diketahui.
Penyakit AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu
singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara.
Dikatakan pula bahwa epidemic yang terjadi tidak saja mengenal penyakit
(AIDS), virus (HIV) tetapi juga reaksi/dampak negative berbagai bidang seperti
kesehatan, social, ekonomi, politik, kebudayaan dan demografi. Hal ini
merupakan tantangan yang harus diharapi baik oleh negara maju maupun negara
berkembang.

7
2.2 Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Imunnodeficiency Syndrome (AIDS).

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat


limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh,
menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-
helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam
famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama infeksi
berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih
rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi
tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS
(Acquired Imunnodeficiency Syndrome.

AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh


menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV. Sebagian besar orang yang
terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda
AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi
tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada stadium penyakit
HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS.
Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita
oleh orang yang sehat, infeksi tersebut dapat diobati.

2.3 Struktur HIV

HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae,


subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus RNA dengan berat
molekul 9,7 kb (kilobases). Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus
membuat sebuah salinan DNA dari RNA yang ada di dalam virus. Gen DNA
tersebut yang memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti halnya virus yang
lain, HIV hanya dapat bereplikasi di dalam sel pejantan. HIV merupakan virus
yang memiliki selubung virus (envelope), mengandung dua kopi genomik RNA
virus yang terdapat di dalam inti. Di dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim
yang digunakan untuk membuat salinan RNA, yang diperlukan untuk replikasi

8
HIV yakni antara lain: reverse transcriptase, integrase, dan protease. RNA diliputi
oleh kapsul berbentuk kerucut terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus.

Gambar 1. Struktur HIV


Virus HIV yang menyebabkan AIDS ini menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia. Yang dimaksud dengan sistem kekebalan adalah suatu sistem dalam
tubuh yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari masuknya bakteri atau virus
yang bertujuan menyerang sel, menyerang pertahan tubuh. Organ dimana sistem
kekebalan tubuh berada disebut lymphoid, memiliki peran utama dalam
mengembangkan lymphocytes (sel darah putih) yang secara spesifik berfungsi
untuk menjaga tubuh dari serangan virus, yang disebut sebagai T cells, yang
terbagi dalam beberapa sel (Sarafino, 2006), yaitu:
1. Killer T cells (sel CD-8), secara langsung menyerang dan
menghancurkan sel asing, sel kanker, dan sel tubuh yang telah
diserang oleh antigen (substansi yang memicu respon kekebalan
tubuh), seperti virus.
2. Memory T cells, bekerja diawal infeksi dengan cara mengingatkan
tubuh akan adanya hal asing yang masuk ke dalam tubuh.
3. Delayed-hypersensitivity T cell, berfungsi untuk menunda reaksi
kekebalan tubuh, dan juga memproduksi substansi protein
(lymphokines) yang memicu T cells lainnya untuk tubuh,
memproduksi dan menyerang antigen.
4. Helper T cells (sel CD-4), berfungsi untuk menstimulasi sel darah
putih untuk diproduksi dan menyerang virus.

9
5. Suppressor T cells, berfungsi untuk secara perlahan-perlahan
menghentikan proses kerja sel dan kekebalan.
Sel dalam tubuh individu yang diserang oleh HIV adalah limfosit Helper T-
cell atau yang disebut juga sebagai limfosit CD-4, yang fungsinya dalam
kekebalan tubuh adalah untuk mengatur dan bekerja sama dengan komponen
sistem kekebalan yang lain. Bila jumlah dan fungsi CD-4 berkurang maka sistem
kekebalan individu yang bersangkutan akan rusak sehingga mudah dimasuki dan
diserang oleh berbagai kuman penyakit. Segera setelah terinfeksi maka jumlah
CD-4 berkurang sedikit demi sedikit secara bertahap meskipun ada masa yang
disebut sebagai window periode, yaitu periode yang tidak menunjukan gejala
apapun, yang berlangsung sejak masuknya virus hingga individu dinyatakan
positif terpapar HIV. Gambaran klinik yang berat, yang mencerminkan kriteria
AIDS, baru timbul sesudah jumlah CD-4 kurang dari 200/mm3 dalam darah.
(yayasan spiritia, 2006).

2.4 Patofisiologi Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired


Imunnodeficiency Syndrome (AIDS)

Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper


yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi
imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena
virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem
kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri
pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya
kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA
(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid)
sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung Acid) sel
target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik
virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur
hidup.

10
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel
yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun
akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan
masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang
terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus
HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan
sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa “window period”. Setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala klinis pada penderita
sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.20 Pada sebagian penderita
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah
terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah
infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya
berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil penderita yang
memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada juga yang
sangat lambat (non-progressor). Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang
terinfeksi oleh virus HIV akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak.
Kekebalan tubuh yang rusak akan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang
bahkan hilang, sehingga penderita akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik.

2.5 Penularan HIV dan AIDS

HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu
(KPA, 2007c). Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak
seksual, kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa
kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu). (Zein, 2006)

1. Seksual Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling


dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual
dapat terjadi selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki
dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi

11
vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi
adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang
terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan
virus HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau
tertusuk ke dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti
jarum tato atau pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga
terjadi ketika melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai
kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda
tersebut disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat
dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
7. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas
laboratorium.

Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif,


yaitu pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja
dengan spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam
(Fauci, 2000). Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat
menularkan infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu
bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap
aktivitas HIV (Fauci,2000). Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana
HIV tidak dapat ditularkan antara lain:

1. Kontak fisik Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita
HIV/AIDS, bernapas dengan udara yang sama, bekerja maupun berada
dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular. Bersalaman,
berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita
HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.

12
2. Memakai milik penderita Menggunakan tempat duduk toilet, handuk,
peralatan makan maupun peralatan kerja penderita HIV/AIDS tidak akan
menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

2.6 Manifestasi klinis Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired


Imunnodeficiency Syndrome (AIDS).

Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit
dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita
penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Rasa lelah dan lesu


b. Berat badan menurun secara drastis
c. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
d. Mencret dan kurang nafsu makan

e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut


f. Pembengkakan leher dan lipatan paha
g. Radang paru
h. Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu:
a. Manifestasi tumor
1. Sarkoma Kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat
jarang menjadi sebab kematian primer.
2. Limfoma ganas
Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta
dapat bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi oportunistik
1. Manifestasi pada Paru
a. Pneumoni pneumocystis (PCP)

13
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan
infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit
bernafas dalam dan demam.
b. Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru-
paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan
30% penyebab kematian pada AIDS.
c. Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d. Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan
cepat menyebar ke organ lain di luar paru.
2. Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10%
per bulan.
c. Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang
biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum
adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer.
2.7 Gejala dan stadium klinis Human Immunodeficiency Virus (HIV) /
Acquired Imunnodeficiency Syndrome (AIDS)
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi
klinis WHO atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans
epidemiologi dibuat apabila menunjukkan tes HIVpositif dan sekurang-kurangnya
didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor.

14
Menurut WHO, stadium klinis HIV/AIDS dibedakan menjadi

15
2.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan uji antibody terhadap antigen virus
structural. Hasil positif palsu dan negative palsu jarang terjadi.

2. Untuk transmisi vertical (antibody HIV positif) dan serokonversi (antibody


HIV negative), serologi tidak berguna dan RNA HIV harus diperiksa. Diagnosis
berdasarkan pada amflikasi asam nukleat.

3. Untuk memantau progresi penyakit, viral load (VL) dan hitung DC4
diperiksa secara teratur (setiap8=12 minggu). Pemeriksaan VL sebelum
pengobatan menentukan kecepatan penurunan CD4, dan pemeriksaan
pascapengobatan (didefinisikan sebagai VL <50 kopi/mL). menghitung CD4
menetukan kemungkinan komplikasi, dan menghitung CD4 >200
sel/mm3menggambarkan resiko yang terbatas. Adapun pemeriksaan penunjang
dasar yang diindikasikan adalah sebagai berikut :

Semua pasien CD4 <200 sel/mm3

16
Antigen permukaan HBV* Rontgen toraks

Antibody inti HBV+ RNA HCV

Antibody HCV Antigen kriptokukus

Antibody IgG HAV OCP tinja

Antibody Toxoplasma

Antibody IgG sitomegalovirus CD4 <100 sel/mm3

Serologi Treponema PCR sitomegalovirus

Rontgen toraks Funduskopi dilatasi

Skrining GUM EKG

Sitologi serviks (wanita) Kultur darah mikrobakterium

· HAV, hepatitis A, HBV, hepatitis B, HCV, hepatitis C

· *Antigen/antibody e HBV dan DNA HBV bila positif.

· + Antibodi permukaan HBV bila negative dan riwayat imunisasi

· Bila terdapat kontak/riwayat tuberculosis sebelumnya, pengguna obat


suntik dan pasien dari daerah endemic tuberculosis.

4. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) adalah metode yang


digunakan menegakkan diagnosis HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi yaitu
sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah
infeksi.

5. WESTERN blot adalah metode yang digunakan menegakkan diagnosis HIV


dengan sensitivitasnya yang tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaanya
cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.

6. PCR (polymerase Chain Reaction), digunakan untuk :

17
a. Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat
menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yan menderita HIV akan
membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat kekbalan itulah
yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang akan mengaburkan hasil
pemeriksaan, seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut. (catatan : HIV
sering merupakan deteksi dari zat anti-HIV bukan HIV-nya sendiri).

b. Menetapakan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok


berisiko tinggi.

c. Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.

d. Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah


untuk HIV-2.

7. Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok berisiko,


dilaksanakan 2 kali pengujian dengan reagen yang berbeda.

8. Pemeriksaan dengan rapid test (dipstick).

2.9 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harapan Hidup 5 tahun Pasien


Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Imunnodeficiency
Syndrome (AIDS).
Angka Harapan Hidup (Survival Rate) merupakan lama hidup manusia di
dunia. Harapan hidup 5 tahun adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan
dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai 5 tahun, pada suatu tahun
tertentu dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.24
Prevalensi HIV pada orang dewasa dan tingkat kematian di bawah 5 tahun
mengalami peningkatan di negara dengan prevalensi HIV yang tinggi dan dapat
pula mengalami penurunan pada negara dengan prevalensi HIV yang cukup tinggi
atau rendah. Menurut Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes,
harapan hidup pasien HIV/AIDS meningkat secara bermakna selama 15 tahun
terakhir, tetapi usia tetap lebih singkat 21 tahun dibandingkan dengan orang yang

18
tidak terinfeksi HIV. Harapan hidup 5 tahun pasien HIV/AIDS ditentukan oleh
berbagai macam faktor:
1. Virus
a. Plasma viral (Viral load)
Plasma viral (viral load) merupakan suatu indikator langsung
dari keseluruhan jumlah sel yang diproduksi oleh virus pada seseorang
yang terinfeksi HIV. Dalam pengukuran HIV RNA di dalam darah
dapat secara langsung mengukur besarnya replikasi virus dan
memiliki peran yang penting dalam perjalanan infeksi HIV.
Pemeriksaan viral load HIV dilakukan oleh para klinisi sebagai
prediktor yang lebih baik daripada pemeriksaan sel limfosit T-CD4.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh penelitian yang
dilakukan oleh John W. Mellors, MD dkk dari Universitas Pittsburg,
didapatkan hubungan yang kuat antara viral load dengan kecepatan
penurunan jumlah limfosit T-CD4. 27 Terdapat pula penelitian yang
dilakukan R. Baker mengungkapkan bahwa semakin rendah viral
load, semakin lama waktu yang diperlukan untuk menjadi AIDS dan
semakin lama waktu ketahanan hidupnya. Sebaliknya, pasien dengan
plasma viral load yang tinggi dapat mengalami perkembangan
menjadi AIDS dalam waktu yang lebih pendek oleh karena produksi
virus dalam jumlah yang besar akan membuat kemampuan dan tenaga
host menurun untuk menekan kerusakan limfosit T-CD4 sehingga
limfosit T-CD4 tersebut menjadi lebih cepat habis.
Pemeriksaan viral load HIV juga sering digunakan untuk
menentukan efektivitas atau kegagalan terapi antiretroviral (ARV).
Pengukuran plasma viral load secara serial dan berkala dapat
membantu dokter untuk menentukan waktu permulaan pemberian
terapi ARV sehingga dapat menghambat progresivitas penyakit yang
akan mempengaruhi harapan hidup pasien HIV.
b. Resistensi virus
Selama ini untuk mengendalikan perkembangan virus HIV
digunakan terapi kombinasi ARV. Apabila pasien tidak sangat patuh

19
terhadap pengobatannya, virus secara cepat menghilangkan
kerentanan terhadap kombinasi obat tersebut.29 Resistensi akan obat
dapat terjadi karena mutasi dari struktur genetik HIV yang berbentuk
RNA, satu untai protein yang digunakan virus saat menginjeksi sel
dan memproduksi virus baru. Mutasi sangat umum terjadi karena laju
produksi yang terlalu cepat dan tidak adanya protein yang dapat
memperbaiki kesalahan saat mengkopi materi genetik.
Perkembangan HIV dengan berbagai mutasi yang resistan
pada orang yang menerima terapi ARV dikaitkan dengan kegagalan
pengobatan dan peningkatan mortalitas.28 Menurut The New England
Journal of Medicine, dengan adanya resistensi virus HIV terhadap
sebagian antiretroviral maka akan semakin sulit mencegah
berkembangnya infeksi HIV menjadi AIDS dan dapat menyebabkan
kematian.
2. Pasien
a. Jenis Kelamin
Pedoman terapi infeksi HIV yang didasarkan pada viral load
daripada limfosit T-CD4 akan menyebabkan perbedaan dalam hal
kelayakan untuk pengobatan ARV menurut jenis kelamin. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Homayoon Farzadegan, dkk
didapatkan bahwa viralload lebih rendah pada wanita dibandingkan
dengan pria meskipun memiliki jumlah CD4 yang sama.12 Meskipun
tingkat awal HIV-1 RNA lebih rendah pada wanita dibandingkan pria,
namun tingkat progresi menjadi AIDS antara wanita dengan pria
hasilnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Selain itu,
menurut penelitian Timothy R. Sterling, dkk didapatkan hasil yang
sama dengan penelitian sebelumnya yakni viral load relatif rendah
memiliki nilai prediktif yang sama untuk berkembang menjadi AIDS,
bahkan viral load yang sama mutlak memberikan risiko AIDS yang
berbeda di kalangan pria dan wanita.
b. Usia

20
Usia merupakan faktor penentu utama kematian bagi banyak
penyakit termasuk infeksi HIV.32 Dengan meningkatnya usia pada
saat infeksi HIV, perkembangan HIV menjadi AIDS menjadi lebih
cepat. Pada penelitian di Amerika mengungkapkan bahwa pada orang
yang usianya semakin tua, kelenjar timus yang merupakan lokasi
penting untuk maturasi limfosit T akan mengalami involusi.
Meningkatnya usia juga berhubungan dengan menurunnya fungsi sel
T, berkurangnya populasi sel T, dan semakin rendah jumlah sel T
sitotoksik CD8. Fungsi timus dan produksi sel T juga dihambat oleh
adanya infeksi HIV. Karena dipengaruhi oleh proses tersebut, maka
perubahan–perubahan yang terjadi di dalam sistem imun
menyebabkan progresivitas infeksi HIV pada orang yang lebih tua
menjadi lebih nyata. Progresivitas yang tinggi untuk menjadi AIDS
dan berkurangnya harapan hidup pada pasien HIV yang lebih tua juga
telah dibuktikan pada penelitian di Perancis dan Spanyol
c. Ras
HIV/AIDS adalah penyebab utama keempat kematian di kalangan
Hispanik berusia 35-44 tahun, dibandingkan dengan non-Hispanik
kulit putih menjadi penyebab utama kesepuluh dari kelompok usia
yang sama. Keterlambatan diagnosis pada infeksi HIV tampaknya
menjadi faktor penting terkait dengan perbedaan dalam pencapaian
indikator kesehatan dan kematian akibat terinfeksi HIV.34 Terdapat
pula perbedaan yang berhubungan dengan ras terkait tren kematian
pada orang yang terinfeksi HIV, laki-laki hitam, ras Hispanik, dan ras
Asia memiliki tingkat kematian lebih tinggi terutama bila
dibandingkan dengan laki-laki putih. Meskipun ras terkait dengan
kematian, harapan hidup setelah diberi terapi ARV tidak
menunjukkan adanya perbedaan antara ras Hispanik dan ras kulit
putih.35
Pada penelitian sebelum-sebelumnya mengenai hubungan
harapan hidup ras Hispanik dibandingkan dengan ras non-Hispanik
kulit putih menunjukan hasil yang berbeda-beda. Ada 12 studi yang

21
menyatakan 6 studi menunjukkan bahwa ras Hispanik memiliki
harapan hidup lebih buruk dibandingkan dengan ras non-Hispanik, 3
studi menunjukkan tidak ada perbedaan antara ras Hispanik dengan
ras non-Hispanik, dan 3 studi lagi menunjukan ras Hispanik memiliki
harapan hidup lebih baik dibandingkan ras non-Hispanik
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nadine E. Chen, dkk,
hasilnya tidak menunjukkan perbedaan antara ras Hispanik dengan ras
non-Hispanik, tetapi mereka menyimpulkan bahwa perbedaan harapan
hidup tergantung pada keterlambatan diagnosis dengan cara
membandingkan dengan orang yang terdiagnosis HIV lebih dini.
d. Kepatuhan Terapi ARV (Antiretroviral)
Kepatuhan terapi ARV merupakan komponen terpenting untuk
mencapai suatu program terapi yang maksimal. Tingkat kepatuhan
yang tinggi berkaitan erat dengan perbaikan virologis maupun
klinis.27 Kepatuhan minum obat ARV dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor antara lain, pengetahuan tentang terapi ARV, Persepsi
pasien tentang manfaat terapi, self efficacy, efek samping terapi,
kemudahan akses pelayanan, ketersediaan obat ARV. Kepatuhan
minum ARV sangat berkorelasi kuat dengan menurunnya kadar virus
dalam darah, mengurangi resistensi, meningkatkan harapan hidup, dan
meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS.
Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
dan penentuan stadium klinis infeksi HIV terlebih dahulu. WHO
memberikan rekomendasi saat memulai terapi kepada pasien ODHA
(Orang Dengan HIV/AIDS) berdasarkan jumlah CD4 dan stadium
klinis HIV 38, yakni:
Pada pasien yang memiliki tingkat kepatuhan yang rendah terhadap
pengobatan ARV mengakibatkan adanya kegagalan terapi. Resiko
kegagalan terapi timbul jika pasien sering lupa untuk minum obat.
Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus
yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh
terlupakan. Kegagalan terapi seseorang ditentukan berdasarkan

22
kriteria klinis, imunologis, maupun virologis. Kriteria kegagalan
terapi menurut WHO 38 , yakni:
e. Jumlah CD4 (Cluster Differentiation 4)
Sel CD4 adalah sel darah putih atau limfosit yang termasuk dalam
bagian terpenting dari sistem kekebalan tubuh manusia. Ketika
manusia terinfeksi HIV, virus akan menyerang sel CD4 dan menjadi
bagian dari sel tersebut. Selain sel CD4 menggandakan diri untuk
melawan infeksi apa pun, sel tersebut juga membuat banyak duplikasi
HIV. Semakin menurunnya sel CD4 berarti sistem kekebalan tubuh
kita semakin rusak dan semakin rendahnya jumlah CD4 yang ada
dalam tubuh manusia, semakin mungkin terserang penyakit atau
mungkin akan mengalami infeksi oportunistik.
Jumlah CD4 saat memulai pengobatan memang berdampak pada
harapan hidup pasien HIV/AIDS. Pasien dengan HIV yang menjalani
terapi ARV dengan baik disertai dengan jumlah CD4 di atas 500
memiliki tingkat kematian yang serupa dengan pasien yang tidak
terinfeksi HIV, namun hal ini tidak terjadi pada pasien HIV dengan
jumlah CD4 antara 350-500.40.
Menurut penelitian di Inggris, harapan hidup pasien HIV pada usia 20
tahun yang didiagnosis terlambat atau menunda pengobatan sampai
jumlah CD4 <200 sel/mm3 memiliki usia harapan hidup 10 tahun
lebih pendek daripada pasien yang mengikuti petunjuk pengobatan,
yang merekomendasikan pasien untuk memulai pengobatan ARV
ketika jumlah CD4 <350 sel/mm3. Pada penelitian lainnya juga
menyatakan bahwa CD4 awal mem pengaruhi kenaikan CD4 pasien.
Semakin tinggi CD4 ODHA ketika memulai pengobatan ARV
semakin tinggi jumlah CD4 mereka.
f. Stadium Klinis
HIV/AIDS merupakan penyakit yang sampai saat ini belum dapat
disembuhkan. Pemberian terapi ARV hanya dapat menghambat
replikasi virus dan memperpanjang waktu hidup pasien HIV/AIDS.
Saat ini skrining HIV perlu diperluas untuk meminimalkan

23
keterlambatan diagnosis. Keterlambatan diagnosis memberi
kontribusi.
3. Lingkungan
a. Dukungan sosial
Ketika individu dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian besar
menunjukkan perubahan karakter psikososial. Pernyataan adanya
infeksi HIV pada individu tersebut mendorong terjadinya reaksi
penolakkan hingga syok yang berlangsung lama dan berpotensi
mendorong progresivitas Infeksi HIV ke AIDS. Dengan adanya
keterkaitan antara kondisi pasien HIV/AIDS dengan progresivitas
penyakit maka perlunya menciptakan lingkungan yang kondusif
dengan cara meningkatkan dukungan sosial pada pasien HIV/AIDS
salah satunya melalui dukungan keluarga.
Di RSU Dr. Soetomo terbentuk komunitas ODHA untuk membangun
kondisi yang positif sesama terinfeksi HIV guna menghindari paham
bahwa orang yang terinfeksi HIV akan segera meninggal, stigma
sosial, dan diskriminasi.10 Stigma merupakan persepsi negatif
terhadap kelompok sosial tertentu terutama pada ODHA. Pada
masyarakat umumnya masih memiliki rasa ketakutan yang tinggi
terhadap orang dengan HIV/AIDS, sehingga banyak masyarakat
mempunyai pandangan
negatif bahkan mengisolasi penderita.53 Stigma sosial ini
menimbulkan masalah psikososial yang rumit pada pasien HIV/AIDS
berupa gangguan perilaku pada orang lain, termasuk menghindari
kontak fisik dan sosial.
Dengan adanya stigma-stigma tersebut membuat penderita dan
keluarga menjadi malu dan takut sehingga menjadi enggan untuk
memeriksakan dirinya dan berobat karena takut dikucilkan oleh
masyarakat.
Pengaruh sosial terhadap respon biologis juga akan
mempengaruhi perjalanan infeksi HIV menuju AIDS. Dampak HIV
secara langsung terhadap sistem saraf pusat menyebabkan munculnya

24
sindrom neuropsikiatrik, sedangkan yang secara tidak langsung dapat
menimbulkan infeksi sekunder pada otak, keganasan otak, efek
samping terapi ARV, atau kelainan yang terkait HIV. Oleh sebab itu,
ODHA memerlukan dukungan untuk menghambat progresivitas
penyakit dan menghindarikan dari kondisi yang fatal, sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang harapan hidup
pasien terinfeksi HIV
2.10 Pengobatan terhadap HIV/AIDS
Menurut Sarafino (2006), sebagaian besar orang denga HIV/AIDS yang
mengalami lemahnya sistem kekebalan tubuh dan opportunistic infection, dapat
ditangani efektif secara medis. Tetapi kadang kala orang yang terkena HIV/AIDS
menjadi hipersensitif atau alergi terhadap pengobatan, dan hingga saat ini tidak
ada terapi yang memungkinkan tubuhnya akan mampu mentolerir virus tersebut.
Jika tidak ditangani, opportunistic infection ini dapat menyebabkan kematian kira-
kira 3 tahun setelah didiagnosa mengalami AIDS.
Menurut Gavze (dalam Sarafino, 2006) ada sebagian kecil pasien yang dapat
bertahan lebih dari 3 tahun, dapat hidup tetap aktif setelah beberapa tahun
didiagnosa, karena adanya beberapa perbedaan biologis dan psikososial dari
masing-masing pasien. Hal ini diperkuat oleh pendapat Cole & Kemeny (dalam
Sarafino, 2006), bahwa orang dengan HIV yang sangat reaktif terhadap stress dan
tidak dapat melakukan coping dengan benar, memperlihatkan fungsi
imun/kekebalan tubuh yang sangat rendah dan progresivitas penyakit yang sangat
cepat, dibandingkan dengan yang lainnya.
Penanganan utama terhadap AIDS melalui pengobatan yang disebut sebagai
antiretroviral agents. Di pertengahan tahun 1980-an, obat utama bagi AIDS adalah
AZT (azidothymidine) yang berfungsi untuk memperlambat reproduksi HIV pada
tahapan awal. Selanjutnya di pertengahan tahun 1990-an berkembang obat anti-
retroviral baru yang disebut sebagai protease inhibitors, yang juga berfungsi untuk
menangani reproduksi HIV dan secara dramatis mengurangi jumlah virus tersebut
dalam banyak inveksi HIV yang dialami, tetapi tidak semuanya. (Sarafino, 2006).
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa anti-retroviral adalah suatu obat
yang adapat digunakan untuk mencegah reproduksi retrovirus, yaitu virus yang

25
terdapat pada HIV. Obat ini tidak untuk mencegah penyebaran HIV dari orang
yang terinfeksi ke orang lain, tidak untuk menyembuhkan infeksi HIV dan juga
tidak berfungsi untuk membunuh virus (agar tidak berkembang menjadi AIDS
karena jika hal ni terjadi maka akan membuat kerusakan pada sel tubuh yang
terkena infeksi virus tersebut). Antiretroviral digunakan untuk memblokir atau
menghambat proses reproduksi virus, membantu mempertahankan jumlah
minimal virus di dalam tubuh dan memperlambat kerusakan sistem kekebalan
sehinga orang yang terinfeksi HIV dapat merasa lebih baik/nyaman dan bisa
menjalani kehidupan normal.
2.11 Perawatan Akhir Hidup

Perawatan Akhir Hidup Serupa dengan penyakit kronis lainnya, pergeseran


ke arah paliatif masa akhir kehidupan merupakan keputusan yang membutuhkan
banyak pertimbangan dan kolaborasi antar pasien, keluarga, dan pendamping.
Terapi pada HIV secara spesifik baik terhadap penyakit dan gejala, saat digunakan
bersamaan, dapat membantu mengendalikan gejala serta secara signifikan
berkontribusi terhadap kenyamanan pasien. Sebagai contoh, melanjutkan terapi
untuk pneumonia dapat mengatasi dyspneu, disamping terapi gejala spesifik
lainnya seperti oksigen, opioid, dan benzodiazepin. Pada beberapa kasus,
intervensi yang disesuaikan dengan penyakit mungkin tidak memiliki manfaat
memperpanjang kehidupan secara langsung namun dapat membantu memberikan
kualitas hidup pada pasien yang akan meninggal (seperti valganciclovir dapat
mempertahankan pengelihatan pada pasien dengan retinitis CMV); pada individu
lain, hal tersebut mungkin juga dapat meringankan penderitaan dengan segera,
serta memperpanjang kehidupan (seperti fluconazole atau amphotericin B, dengan
analgesik kuat, untuk mengobatan odynophagia kadidiasis esofagus, atau nyeri
kepala yang berhubungan dengan meningitis cryptococcal) (Cherny, N., et al.,
2015).

Komponen-komponen perawatan paliatif pada pasien HIV/AIDS adalah: 1.


Penilaian kebutuhan fisik, emosional, sosial dan spiritual pasien maupun keluarga,
meliputi: skrining nyeri dan gejala fisik lain (termasuk efek samping obat
antiretroviral) dan skrining kesehatan mental serta kebutuhan dukungan sosial. 2.

26
Mengobati gejala berdasarkan temuan medis. 3. Memberikan kebutuhan
kesehatan mental dan dukungan sosial berdasarkan kapasitas pelayanan. 4.
Mendiskusikan dengan pasien dan keluarga mengenai kebutuhan dalam keahlian
perawatan diri dan jangka panjang. 5. Melakukan follow-up dan membantu
membuat rujukan apabila dibutuhkan.

Kapan sebaiknya perawatan paliatif diberikan pada pasien HIV tidak ada
disebutkan dalam buku-buku pedoman khusus paliatif, namun disarankan
sebaiknya sejak pasien mendapat informasi mengenai diagnosis HIV, karena
beberapa studi menunjukkan saat ini merupakan periode untuk kebutuhan paliatif
segera. Selama periode memulai terapi antiretroviral, pasien akan mengalami
ketidaknyamanan psikologis sebagai hasil koping terhadap keberadaan penyakit
ini, bersamaan dengan mengalami penderitaan fisik yang disebabkan infeksi
oportunistik, inflamasi oleh HIV, atau oleh penyakit komorbid (Engels, J., 2009).

Beberapa studi mengenai implementasi perawatan paliatif pada beberapa


klinik HIV menyimpulkan terdapat lima langkah proses integrasi perawatan
paliatif-HIV (Green, K., Horne, C., 2012; Engels, J., 2009) :

1. Membentuk tim dan menilai keuntungan dan keterbatasan integrasi


perawatan. Tim meliputi kepala klinik/rumah sakit atau kepala subdivisi,
klinisi dari berbagai disiplin ilmu, perawat, dan klien atau pasien. Tugas
tim adalah menjamin bahwa proses integrasi sesuai dan efisien. Tujuan
primer tim adalah melakukan penilaian kebutuhan perawatan paliatif
pasien dan memutuskan langkah yang harus diambil dalam rangka
memenuhi kebutuhan pasien. selanjutnya akan dipandu dan dimonitor
implementasinya. Pembentukan tim disesuaikan di masing-masing tempat
pelayanan.
2. Membuat perencanaan integrasi Tujuan perencanaan integrasi adalah
untuk memudahkan tim integrasi mengambil langkah yang dibutuhkan
dalam menyediakan perawatan paliatif bagi pasien. Perencanaan sebaiknya
dibuat secara kolaboratif dengan bidang disiplin lain, dan disusun secara
spesifik mengenai apa yang dibutuhkan, kapan dan oleh siapa. Idealnya
perencanaan tersebut harus melalui proses validasi.

27
3. Membangun sistem dan keahlian, memungkinkan integrasi perawatan
paliatif. Perawatan paliatif masih tergolong baru dikenal oleh pekerja
kesehatan pelayanan pasien HIV, sehingga langkah pertama yang penting
adalah memberikan pelatihan dasar pada mereka. Pelatihan dasar bisa
diselesaikan dalam waktu beberapa hari atau kurang, informasi yang
diberikan meliputi:
a)Mengapa perawatan paliatif penting bagi kualitas hidup pasien dan
keluarganya.
b) Prevalensi nyeri, gejala lain dan gangguan kesehatan mental yang bisa
terjadi pada pasien HIV.
c) Intervensi utama pada pelayanan pasien HIV yang dapat
diimplementasikan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut
4. Implementasi perencanaan pada fase pendekatan. Setelah melakukan
pelatihan dasar pada pekerja dan melakukan penilaian menggunakan alat
ukur, pelayanan dapat dimulai. Terdapat sejumlah panduan perawatan
paliatif yang dapat digunakan untuk membantu klinisi menangani nyeri,
gejala lain dan gangguan mental, namun masing-masing pusat pelayanan
HIV akan mengikuti panduan nasional masing-masing.
5. Monitoring dan evaluasi perencanaan implementasi. Efektivitas pelayanan
integrasi dapat dipantau dengan melakukan evaluasi dan tinjauan ulang
menggunakan daftar pendek yang dapat dibuat dan divalidasi sendiri untuk
mengukur kualitas (Green, K., Horne, C., 2012; Engels, J., 2009).

28
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat


limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh,
menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-
helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). AIDS merupakan kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat
virus HIV. Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat
pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun.

Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel
yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun
akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu.

HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa anti-retroviral adalah suatu obat yang
adapat digunakan untuk mencegah reproduksi retrovirus, yaitu virus yang terdapat
pada HIV.

Komponen-komponen perawatan paliatif pada pasien HIV/AIDS adalah: 1.


Penilaian kebutuhan fisik, emosional, sosial dan spiritual pasien maupun keluarga,
meliputi: skrining nyeri dan gejala fisik lain (termasuk efek samping obat
antiretroviral) dan skrining kesehatan mental serta kebutuhan dukungan sosial. 2.
Mengobati gejala berdasarkan temuan medis. 3. Memberikan kebutuhan
kesehatan mental dan dukungan sosial berdasarkan kapasitas pelayanan. 4.
Mendiskusikan dengan pasien dan keluarga mengenai kebutuhan dalam keahlian
perawatan diri dan jangka panjang. 5. Melakukan follow-up dan membantu
membuat rujukan apabila dibutuhkan.

29
3.2 Saran

Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah
melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan
tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar
kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air
mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi
dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara
umum dapat diabaikan.Oleh karena itu hendaklah tidak melakukan seks bebas dan
menggunakan alat pengaman ketika berhubungan suami istri dan jauhi cairan
cairan yang sudah terkontaminasi oleh penderita HIV AIDS.

30
DAFTAR PUSTAKA
Syaifuddin. 2011. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC
Black Joyce, Jane Hokanson. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Bare, S. C. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume
1.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC
Syaifuddin, A. (2006). ANATOMI FSIOLOGI untuk Mahasiswa Keperawatan
Edisi 3. Jakarta: EGC
Dewi Rokhmah. 2014. Implikasi Mobilitas Penduduk Dan Gaya Hidup Seksual
Terhadap Penularan Hiv/Aids. 190jurnal Kesehatan Masyarakat. Issn
1858-1196
Komisi Penanggulangan AIDS. 2006. Stop AIDS. Jakarta.
Linda Astari, Sawitri, Yunia Eka Safitri & Desy Hinda P. 2009. Viral Load pada
Infeksi HIV. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin. Vol. 21 No.
1 April 2009
Murni, S., Green, W., Djauzi, S., Setiyanto, A., Okta, S. (2006). Hidup dengan
HIV/AIDS. Jakarta: penerbit Yayasan Spiritia.
UNAIDS. (2004). Hidup Bersama HIV/AIDS. Jakarta..
NIAID. How HIV causes AIDS. November 2004. Available from:
http://www.aegis.com/topics/basics/hivandaids.html.

31

Anda mungkin juga menyukai