Anda di halaman 1dari 30

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Cerebral Palsy

2.1.1. Definisi Cerebral Palsy

Cerebral Palsy (CP) adalah gangguan motorik dan postural non-progresif dan

juga umumnya menyebabkan disabilitas fisik yang berat pada anak (Lacoste, et

al., 2009). Cerebral palsy menggambarkan sekelompok gangguan permanen

perkembangan gerakan dan postur tubuh, menyebabkan keterbatasan aktivitas

yang dikaitkan dengan gangguan non-progresif yang terjadi di otak janin atau bayi

yang sedang berkembang (Campbell, et al.,2012).

Pada anak-anak, hubungan antara lesi pada sistem saraf pusat dan gangguan

fungsi bisa berubah. Abnormalitas pada tonus motorik dapat meningkat selama

tahun pertama kehidupan setelah kelahiran. Cerebral palsy dapat diklasifikasikan

berdasar keterlibatan alat gerak atau ekstremitas (monoplegia, hemiplegia,

diplegia, dan quadriplegia) dan karakteristik disfungsi neurologik (spastik,

hipotonik, distonik, athetonik, atau campuran). Manifestasi klinik yang tampak

seringkali berbeda, tergantung pada usia gestasi saat kelahiran, usia kronologis,

distribusi lesi dan penyakit akibat kelainan bawaan.

9
10

2.1.2. Klasifikasi Cerebral Palsy

Pada otak, terdapat 3 bagian yang saling bekerja sama untuk mengontrol kerja

otot yang berpengaruh terhadap terjadinya setiap gerakan dan postur tubuh yaitu

korteks serebri, ganglia basalis, dan cerebellum. Jika bagian dari otak ini

mengalami kerusakan, maka anak dapat mengalami cerebral palsy. Berdasarkan

derajat keparahan, CP dapat diklasifikasikan menjadi 3 tingkat, yaitu :

1. Mild

Pada tingkatan ini, anak bisa bergerak tanpa bantuan, anak tidak memiliki

keterbatasan dalam aktivitas sehari - hari.

2. Moderate

Pada tingkatan ini, anak membutuhkan alat bantu berupa brace, obat-

obatan, dan teknologi adaptif dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

3. Severe

Pada tingkatan ini, anak membutuhkan kursi roda dan memliki tantangan

yang berat dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Berdasarkan GMFCS (Gross Motor Function Classification System), yaitu

level 5 tingkat yang disesuaikan dengan level kemampuan dan keterbatasan,

tingkatan CP dibagi menjadi :

1. Level I

Anak tidak mengalami keterbatasan bahkan anak bisa berjalan.

2. Level II

Anak mengalami keterbatasan dalam berjalan terutama pada jarak tempuh

dan daya keseimbangan. Berbeda dengan level I, yang bahkan anak sudah bisa
11

melompat dan berlari, pada level II dibutuhkan alat bantu untuk memulai

mobilisasi saat pertama kali belajar berjalan.

3. Level III

Anak membutuhkan bantuan alat, misalnya berpegangan pada tangan

orang tua atau benda lain untuk berjalan di dalam ruangan, sedangkan untuk di

luar ruangan atau kegiatan sosialisasi di sekolah, anak membutuhkan alat bantu

beroda, dapat duduk dengan suport yang terbatas, dan bisa mengubah posisi badan

(transfer) dalam posisi berdiri.

4. Level IV

Anak dapat menggunakan mobilitas sendiri menggunakan alat / teknologi

penggerak. Ketika duduk, anak harus mendapatkan supoort, keterbatasan dalam

bergerak tanpa alat bantu, membutuhkan kursi roda untuk berpindah.

5. Level V

Anak memiliki keterbatasan dalam mengontrol kepala dan tubuh. Anak

membutuhkan bantuan fisik maupun peralatan berteknologi, biasanya pasif di

kursi roda manual.

Gambar 2.1. Gross Motor Function Classification System (GMFCS)


Dikutip dari Palisano, et al., 2007
12

Menurut Suharso (2006), klasifikasi cerebral palsy berdasarkan kerusakan

gerakan yang terjadi dan dibagi dalam 6 kategori, adalah sebagai berikut :

1. CP spastik

Kerusakan pada bagian ini adalah yang terbanyak (70-80%), terjadi di traktus

kortikospinalis. Gambaran klinis yaitu anak mengalami kelumpuhan yang kaku,

refleks moro atau refleks menggenggam yang masih menetap, hiperrefleksia,

klonus, respon ekstensor babinski, refleks primitif persisten dan refleks overflow (

melintasi adduktor). CP spastik dibagi berdasarkan jumlah ekstremitas yang

terkena menjadi :

1) Monoplegi, kelumpuhan empat anggota gerak tetapi salah satu anggota

gerak lebih hebat dari sebelumnya.

2) Quadriplegia, kelumpuhan pada keempat anggota geraknya, dua kaki dan

dua tangan lumpuh. Gambaran seluruh tubuh dapat hipertonia atau trunk

hipotonia dengan ekstremitas hipertonia, disfungsi oromotor, kejang, kaki

maupun lengan saling dipengaruhi, meningkatnya risiko kesulitan kognitif.

3) Diplegia, kelumpuhan dua anggota gerak yang berhubungan, biasanya

kedua anggota gerak bawah. Keterlibatan upper motor neuron tampak di

kaki daripada lengan, pola scissoring gait, lutut tertekuk posisi valgus.

4) Hemiplegi, kelumpuhan pada satu sisi tubuh dan anggota gerak, misalnya

tangan kiri, kaki kiri. Pergerakan anggota gerak berkurang, bahu adduksi,

fleksi (menekuk) lengan pada siku, lengan tetap mengepal, fleksi hip

lemah dan dorsofleksi pergelangan kaki, otot tibialis posterior terlalu aktif,
13

sensasi terganggu. Lengan umumnya lebih dipengaruhi daripada kaki dan

disfungsi oromotor.

Gambar 2.2. Cerebral Palsy Tipe Spastik


Dikutip dari Najihah, et al., 2013

2. Koreo-athetoid

Istilah lain dari CP jenis ini adalah diskrinetik atau gerak, jadi tangan atau

kakinya bergerak melengkung-lengkung, sikapnya abnormal dan geraknya

involunter. Refleks neonatalnya menetap dan kerusakan terjadi di ganglia basalis.

3. Ataksik

Cerebral palsy jenis ini ditandai dengan gangguan koordinasi, biasanya

gangguan di tulang belakang, leher kaku, dan tampak melengkung. Anak terlihat

kehilangan keseimbangan terutama saat belajar duduk. Kerusakan terjadi di

serebellum (otak kecil).

4. Distonia

Kerusakan otak pada bagian korteks serebri dan di ganglia basalis. Anak

menunjukkan otot yang kaku dan ada juga yang terlihat lemas.
14

5. Balismus

CP jenis ini ditandai dengan gerakan yang tidak terkoordinasi atau involunter.

Kerusakan berada di ganglia basalis.

6. Campuran

Kerusakan bisa terjadi di daerah otak mana saja, dan merupakan jenis

cerebral palsy dengan semua gabungan jenis di atas.

2.1.3. Etiologi Cerebral Palsy

Cerebral palsy terjadi akibat kerusakan otak saat periode prenatal, perinatal,

dan postnatal. Sekitar 70-80% terjadi saat prenatal yaitu bayi lahir prematur dan

gangguan pertumbuhan saat kehamilan.

Menurut Nigel (2005), penyebab cerebral palsy dapat dibagi dalam 3 periode,

yaitu :

1. Pranatal

- Malformasi kongenital.

- Infeksi kandungan yang dapat menyebabkan kelainan janin (misalnya

rubela, toksoplamosis, sitomegalovirus, atau infeksi virus lainnya).

- Asfiksia dalam kandungan (misalnya solusio plasenta, plasenta previa,

anoksi maternal, atau tali pusat yang abnormal).

2. Natal

- Anoksia / hipoksia

- Perdarahan intra kranial

- Trauma lahir
15

- Prematuritas

3. Postnatal

- Trauma kapitis

- Infeksi (misalnya meningitis bakterial, abses serebri, trombophlebitis,

ensefalomielitis)

- Kern ikterus

2.1.4. Tanda- Tanda Cerebral Palsy

Menurut Sastra (2015), ada beberapa langkah yang bisa dijadikan acuan

untuk mengetahui tanda-tanda cerebral palsy, yaitu :

1. Gejala awal

Anak mengalami gangguan perkembangan motorik yang tidak normal, anak

mengalami keterlambatan tumbuh kembang seperti, tengkurap, merangkak,

duduk, berdiri dan berjalan. Terdapat abnormalitas tonus otot, anak dapat terlihat

sangat lemas dan ada juga yang mengalami peningkatan tonus setelah 2-3 bulan

pertama. Dampaknya anak akan menunjukkan postur abnormal pada satu sisi

tubuh.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan perkembangan motorik anak perlu dilakukan dan melihat

kembali riwayat medis anak dari mulai kehamilan ibu, proses kelahiran, dan

kesehatan anak dalam masa perkembangan. Dapat juga dilakukan pemeriksaan

refleks, dan mengukur perkembangan lingkar kepala anak.


16

3. Pemeriksaan neuroradiologik

Salah satunya adalah dengan melakukan CT-scan kepala untuk mengetahui

struktur jaringan otak serta menjabarkan area otak yang kurang berkembang, kista

abnormal, ataupun kelainan lainnya. Neuroimaging direkomendasikan dalam

evaluasi anak cerebral palsy jika etiologi tidak dapat ditemukan.

4. Pemeriksaan lainnya

Beberapa dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan EEG pada

anak-anak yang memiliki riwayat kejang untuk membantu melihat aktivitas

elektrik otak dan akan menunjukkan penyakit kejang tersebut.

2.1.5 Patofisiologi Cerebral Palsy

1. Cedera otak atau perkembangan otak yang abnormal

Cedera otak sebelum 20 minggu kehamilan dapat mengakibatkan defisit

migrasi neuronal; cedera antara minggu 26 dan 34 dapat mengakibatkan

leukomalacia periventricular, cedera antara minggu ke-34 dan ke-40 dapat

mengakibatkan cedera otak fokal dan multifokal.

2. Prematuritas dan pembuluh darah serebral

Antara minggu 26 dan 34 usia kehamilan, daerah white matter periventrikular

dekat ventrikel lateral yang paling rentan terhadap cedera. Karena daerah ini

membawa serat yang bertanggung jawab atas kontrol motor dan tonus otot kaki.

Cedera yang terjadi dapat berupa spasik diplegia.

3. Periventrikular leukomalacia
17

Cedera asimetris untuk white matter periventrikuler dapat menghasilkan satu

sisi tubuh yang lebih terpengaruh dari yang lain. Gambaran keadaan dapat seperti

hemiplegia spastik tetapi lebih tampak sebagai kejang diplegia asimetris.

2.2. Kemampuan Duduk

Pada permulaan duduk, kontrol kepala bayi harus benar ketika trunk disangga

pada mid trunk, kepala dipertahankan selama 1 menit tanpa jeda dan anak bisa

membawa objek melewati midline tanpa kehilangan kontrol kepala. Anak

mungkin menyangga tangannya di lantai / kaki untuk mencondongkan lengannya,

tetapi tidak harus mampu meraih dan memelihara keseimbangan pada posisi

duduk (Shahbazi & Boroujeni, 2011).

Kemampuan duduk sendiri yang muncul di usia 5 bulan adalah tahap awal

perkembangan motorik sesuai dengan milestones. Hal ini merupakan tanda

berkembangnya kontrol postur dan sinergis otot. Posisi duduk akan mengurangi

lordosis lumbal, dan menambah atau meningkatkan aktivitas otot-otot belakang,

tekanan diskus, dan tekanan pada tuberositas ischiadicum. Pada saat duduk berat

badan terdistribusi pada tuberositas ischiadicum, dan meningkatnya tekanan

beban pada spinal.

Tahap awal perkembangan anak adalah gerak refleks. Perkembangan

selanjutnya, setelah refleks berkurang maka akan menjadi gerak sederhana dan

yang berperan adalah motorik kasar. Proses perkembangan harus melalui tahapan

yang berurutan, anak harus melewati setiap tahapan perkembangan agar anak

tidak mengalami kesulitan gerak selanjutnya. Perkembangan motorik adalah


18

proses yang aktif, dimana anak harus menumbuhkan keterampilan untuk

mencapai tujuan yang dipengaruhi oleh tubuh anak dan lingkungannya (Santrock,

2007).

Kemampuan anak untuk duduk tanpa disupport berkembang pada anak

normal sebagai bagian dari urutan perkembangan motorik yang meliputi lying,

sitting, standing, walking, dan running. Tahapan fungsi dasar anak sebelum duduk

meliputi :

1. Kontrol kepala dan trunk, anak dalam posisi supine bisa mempertahankan

posisi simetris kemudian menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri tanpa

diikuti oleh gerak tubuh. Dengan adanya refleks primitif, head to body,

anak mulai mengembangkan kemampuan untuk memutar badannya ke

proses perkembangan selanjutnya.

2. Berguling, koordinasi dalam melakukan rotasi trunk penting terutama

untuk fungsi berguling. Refleks primitif seperti ATNR (Assymetric Tonic

Neck Reflex) dapat sangat bermanfaat untuk membantu anak memutar

badannya menuju ke proses berguling dimana rotasi bahu dan pelvis

menjadi bagian penting dalam proses ini.

3. Menumpu berat pada elbow dan tangan, dapat membantu anak untuk

memperkuat otot-otot ekstremitas atas yang menunjang dalam kemampuan

duduk.
19

4. Kontrol postur, penting dimiliki anak untuk mengatur posisi tubuh dengan

mekanisme keseimbangan yang adekuat untuk tujuan stabilisasi dan

orientasi (Kibler, et al., 2006).

Urutan perkembangan melibatkan reaksi neurologik postural dan perubahan

biomekanik tulang belakang, bahu, dan pelvic girdle. Kontrol kepala atau leher

harus diperhatikan pertama kali dalam urutan perkembangan yang kemudian

diikuti oleh perbaikan kontrol dan stabilitas trunk, kekuatan tubuh bagian atas,

kontrol postural dan adanya penumpuan berat badan secara simetris yang

didistribusikan ke kedua kaki.

Gambar 2.3. Posisi duduk dengan poor head control


Dikutip dari Bender, 2008

Aspek lain yang menentukan posisi duduk anak adalah adanya stabilitas statis

dan stabilitas dinamis. Posisi duduk tanpa suport trunk akan menjadi tidak stabil

dan akan ada substitusi oleh grup otot yang menghasilkan kestabilan tubuh.

Stabilitas statis berperan dalam menjaga kestabilan tubuh terhadap gaya gravitasi,
20

sedangkan stabilitas dinamis berperan dalam kemampuan memindahkan pusat

gravitasi (stabilitas dinamis) (Shumway-Cook, 2003).

Terdapat beberapa posisi duduk, diantaranya W-sitting, side sitting, tailor

sitting, ring sitting, long sitting, dan crossed sitting. Ketika postur duduk

mengalami gangguan, anak memperlihatkan pola aktivasi proksimal-distal dan

ko-aktivasi berlebihan otot-otot antagonis (Carlberg, et al., 2005). Kemampuan

duduk penting dianalisa karena duduk mempengaruhi perkembangan motorik

kasar seperti berdiri dan berjalan. Pada cerebral palsy, anak tidak mampu

memposisikan hip dan knee dalam posisi fleksi, dan terfiksasi pada adduksi serta

endorotasi hip. Duduk dapat dilakukan dengan adanya reaksi kompensasi satu /

kedua tangan untuk menyangga. Kemampuan duduk seorang anak cerebral palsy

perlu dideteksi agar dapat menentukan apakah anak menunjukkan postur asimetris

ketika duduk sehingga menyebabkan terjadinya pemendekan jaringan lunak dan

munculnya kecacatan (Field, et al., 2011).

Gambar 2.4. Posisi duduk anak Cerebral Palsy


Dikutip dari Aybas, 2016
21

Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas keseimbangan duduk, antara lain

: integrasi sistem sensorik (visual, vestibular, dan somatosensorik termasuk

proprioseptor), sistem muskuloskeletal (otot, sendi, dan jaringan lunak lain) yang

dimodifikasi / diatur dalam otak (kontrol motorik, sensorik, basal ganglia,

cerebelum, area assosiasi), persepsi, kognisi, dan emosi, motivasi, serta respon

otot-otot postural yang sinergis.

2.3. Level of Sitting Scale (LSS)

Level Item Penilaian


1 Unplaceable
2 Supported from Head Downward
3 Supported from Trunk and Shoulder or Trunk Downward
4 Supported at Pelvis
5 Maintains Position, Does Not Move
6 Shift Trunk Position Forward Re-erects
7 Shift Trunk Position Laterally Re-erects
8 Shift Trunk Position Backward Re-erects

Tabel 2.1. Item Penilaian Level of Sitting Scale (LSS)

Level of sitting scale (LSS) adalah termasuk dari Seated Postural Control

Measure (SPCM) yang digunakan untuk mengetahui kemampuan duduk anak

secara global. LSS merupakan modifikasi dari LSAS (Level of Sitting Ability

Scale). LSS dikembangkan oleh tim dokter dan peneliti dari Sunny Hill Health

Centre for Children.

LSS memiliki kemampuan untuk membantu fisioterapis dalam memutuskan

level bantuan yang dibutuhkan oleh anak dalam memelihara posisi duduk.
22

Terdapat 8 level berdasarkan jumlah suport yang dibutuhkan untuk memelihara

posisi duduk dan duduk mandiri tanpa suport, serta stabilitas anak ketika duduk.

Level I (tidak dapat duduk sendiri atau dapat duduk tetapi mendapat bantuan oleh

seorang terapis selama 30 detik) sampai level VIII (bisa duduk secara independent

selama 30 detik). Palisano, et al.,2008, mendokumentasikan reliabilitas interrater

dan test-retest.

2.4. Neurodevelopmental Treatment (NDT)

2.4.1. Sejarah dan Pengertian NDT

NDT pertama kali diperkenalkan oleh Karel Bobath dan Bertha Bobath pada

tahun 1940. Pada awalnya, mereka melakukan observasi klinis dan pemahaman

refleks serta teori maturitas dari neuroscience. Mereka melihat bagaimana anak

cerebral palsy berkembang dengan gerak yang sangat minimal dalam

kesehariannya sehingga pengalaman anak tentang gerak hanya sedikit. Intervensi

penanganan NDT melatih reaksi keseimbangan, gerakan anak, dan fasilitasi. NDT

adalah metode terapi yang populer dalam pendekatan intervensi pada bayi dan

anak-anak dengan disfungsi neuromotor (Uyanik dan Kayihan, 2013). Tujuan

treatment ini dimaksudkan untuk membentuk gerak atau fungsi yang normal dan

mencegah kontraktur atau deformitas.

Prinsip NDT adalah berdasarkan teori plastisitas otak, artinya bahwa dengan

adanya pengulangan pada latihan akan memberikan perbaikan pada neural

pathways untuk membantu gerak anak menjadi lebih efektif dan tepat ( Solomon
23

& O’Brien, 2011). NDT merupakan salah satu pendekatan yang paling umum

digunakan untuk intervensi anak dengan gangguan tumbuh kembang.

2.4.2. Dasar Pemikiran NDT

Perkembangan otak merupakan proses yang berkesinambungan, yang

dipengaruhi oleh genetika, struktur dan fungsi otak maupun dari interaksi

lingkungan (Mayston, 2008). Pendekatan NDT yang diaplikasikan memfokuskan

pada sensorimotor dari tonus otot, refleks dan pola gerakan abnormal, kontrol

postural, sensasi, persepsi, dan memori. Bertha dan Karel Bobath kemudian

menitikberatkan penanganan NDT dengan fasilitasi dan perkembangan gerak

yang lebih khas pada cerebral palsy, membangun pola gerak yang efisien melalui

penggunaan teknik handling yang spesifik.

Mengacu pada teori perkembangan motorik, teknik handling yang

dipergunakan di dalam NDT selain berperan penting dalam menghambat

spastisitas, refleks abnormal, dan pola gerak abnormal juga dapat memfasilitasi

tonus otot, respon keseimbangan, dan pola gerak. Teknik ini dapat menghasilkan

gerak yang lebih efisien, memperbaiki alignment tubuh, dan membangun

ketegangan otot yang sama.

Menurut Bobath, sebuah gerakan bukan dipelajari, tetapi gerakan terjadi

sebagai akibat adanya pengalaman merasakan gerak dimana membuat anak

menjadi mampu untuk belajar bergerak secara efektif. Berdasarkan pengalaman

klinis dan kemajuan neurosains, mereka kemudian mengembangkan aspek dari

treatment ini dengan menjelaskan tentang key points. Mulanya, mereka


24

menempatkan anak pada reflex-inhibiting postures. Pada keadaan ini terjadi

pengurangan spastisitas tetapi tidak ada kemajuan dalam gerak dan fungsi.

Akhirnya, mereka memperkenalkan “key points of control” dimana fisioterapis

menginhibisi pola gerak yang abnormal dan memfasilitasi gerak normal saat anak

sedang bergerak. Hasilnya, tercapai normalisasi tonus yang dapat memfasilitasi

reaksi righting automatic dan secara sistematis kontrol postural anak menjadi

meningkat.

Proximal key points adalah bahu, hip, trunk dan pelvis, dimana fisioterapis

akan meletakkan tangannya untuk memberikan petunjuk kepada anak melakukan

gerakan. Distal key points adalah tangan, kaki, atau kepala. Melalui handling dan

petunjuk, akan terbentuk neural pathways yang baru dan dengan demikian

memperbaiki kualitas dan ketepatan gerakan (Solomon & O’Brien, 2011).

2.4.3. Inhibisi, Fasilitasi, dan Stimulasi

Fasilitasi adalah proses intervensi yang menggunakan teknik perbaikan tonus

postural dalam aktivitas tujuan yang terarah. Fasilitasi membuat gerakan yang

terjadi menjadi lebih mudah. Seorang terapis harus membuat gerakan yang mudah

dilakukan oleh anak, menyenangkan dan aman, sehingga anak menjadi tertarik

untuk bergerak dan termotivasi untuk melakukannya (Velickoviv and Perat,

2004).

Teknik fasilitasi diindikasikan pada kondisi anak yang hipotonus, inaktivitas

reflek primitif, lemahnya reaksi keseimbangan, relaksasi berlebihan, keadaan

setengah sadar, berkurangnya reaktivitas terhadap handling dan sentuhan. Metode


25

yang diberikan berupa sentuhan gerakan yang ringan, tapping, sweep tapping,

alternate tapping, input vestibular yang cepat, kompresi sendi, weight shifting,

musik yang tidak keras, suara yang keras, cahaya yang terang dan suhu yang

dingin.

Gambar 2.5. Fasilitasi duduk tegak


Dikutip dari Meineke, 2012

Teknik fasilitasi erat hubungannya dengan pengalaman sensori yang harus

dialami oleh anak. Input taktil yang diberikan adalah dengan bentuk vibrasi

manual dan berbagai metode tapping. Input propriseptif melalui aktivasi otot

dengan pemberian kompresi dan traksi sendi untuk membantu anak

mempertahankan mid-posisi dan selama pembebanan berat badan. Kompresi pada

sendi dapat memberikan fasilitasi terjadinya stabilisasi maupun pengurangan

tonus. Untuk mengurangi tonus, fisioterapis bisa melakukan penguluran cepat

pada otot dimana akan terjadi stretch reflek di level muscle spindle, yang

kemudian menimbulkan kontraksi otot. Traksi dengan penguluran atau


26

memperpanjang otot dapat membantu mengurangi kekakuan dan memperbaiki

alignment (Cowan, 2010).

Prinsip penumpuan berat badan pada NDT, dapat menciptakan ko-kontraksi

otot sehingga melahirkan stabilitas dan alignment sendi. Namun, aspek ini tidak

direkomendasikan untuk jangka panjang karena ko-kontraksi dapat mengurangi

derajat kebebasan sendi dan mengakibatkan pengurangan energi yang

mempengaruhi aktivitas fungsional (Cowan, 2010). Input vestibular yaitu dengan

gerak anak merespon keseimbangan ketika diletakkan pada peralatan yang

bergerak, penumpuan berat badan, dan ketika terjadi peralihan gerak.

Prosedur pelaksanaan neurodevelopmental treatment pada anak cerebral palsy

adalah sebagai berikut :

1. Untuk memfasilitasi kemampuan kontrol pada kepala dan leher, dan

ekstensi aktif dari trunk untuk memperbaiki kontrol trunk dan

keseimbangan duduk, anak dapat diposisikan tengkurap pada wedge/ roll

dengan kaki abduksi. Posisi ini juga mengembangkan suport dari lengan

dan tangan. Anak juga dapat didudukkan di tepi wedge.

2. Untuk memfasilitasi kemampuan rotasi shoulder girdle dan pelvis sebagai

persiapan untuk berputar dari telentang ke tengkurap, handling

ditempatkan pada salah satu kaki anak dengan posisi anak pada tengkurap

atau terlentang.

3. Untuk memfasilitasi duduk menyangga dengan lengan, anak diposisikan

duduk kemudian diberikan stimulasi ke arah samping kanan atau kiri

sehingga anak menurunkan tangannya.


27

4. Untuk menimbulkan reaksi protektif lengan, posisikan anak tengkurap di

atas bola kemudian didorong ke depan sehingga anak menjatuhkan

tangannya ke depan.

5. Untuk memfasilitasi keseimbangan, anak dapat ditempatkan duduk di bola

dan anak diharapkan dapat mempertahankan kepala, lengan dan tangan

secara mandiri tanpa jatuh.

6. Untuk memfasilitasi reaksi righting dan equilibrium untuk memperbaiki

mekanisme postural, anak dapat ditempatkan di atas bola, kemudian

digerakkan ke depan, ke belakang, dan ke samping kiri dan kanan.

7. Pemberian approksimasi sebagai latihan proprioseptif yang dilakukan

secara pelan dan ritmik pada anggota gerak atas, anggota gerak bawah dan

trunk untuk mengontrol spastisitas dan menstimulasi mekanoreseptor sendi

pada posisi quadruped.

8. Latihan hand weight-bearing dari posisi duduk yang berbeda dan posisi

quadruped.

9. Fasilitasi fungsi tangan dari posisi duduk seperti meraih, menggenggam,

melepas benda, memindahkan objek sesuai dengan kemampuan anak.

Posisikan anak dimana dapat menginhibisi tonus otot abnormal sehingga

anak dapat merasakan sensasi tonusnya mendekati normal.

Bersamaan dengan teknik fasilitasi, kontrol inhibisi juga dilakukan. Teknik

ini digunakan untuk mengurangi disfungsional tonus, dan membuat pasien

beradaptasi dengan gerakan yang efisien. Pasien secara aktif terlibat dalam gerak

fungsional dan otomatis sehingga terjadi reaksi postural (Velickoviv and Perat,
28

2004). Salah satu kondisi yang dijumpai pada cerebral palsy adalah

ketidakmampuan anak untuk duduk sendiri. Stimulasi yang diberikan dapat

dikombinasikan dengan fasilitasi gerak normal dan inhibisi pada tonus yang

abnormal.

2.4.4. Kualitas Treatment

Treatment yang diberikan harus dapat membangun komunikasi antara anak

dan fisioterapis sebagai sebuah pengalaman positif, penerimaan dan saling

menjawab satu sama lain sehingga tercapai kemajuan dari proses latihan. Hal

penting yang harus diraih adalah reaksi normal otomatis dengan dapat beradaptasi

secara terus menerus pada setiap situasi dan memberikan kontrol secara bertahap

sehingga anak dapat mengulangi dan memulai mengontrol dirinya sendiri.

2.5. Perceptual Motor Program

Perceptual Motor merupakan salah satu dari teori perkembangan. Perseptual

motor adalah interaksi berbagai macam persepsi dari aktivitas motorik. Data

perseptual menjadi bermakna hanya bila data tersebut dikaitkan dengan informasi

motorik yang telah dipelajari sebelumnya. Proses membandingkan dan

mengumpulkan dua macam data masukan tersebut disebut perceptual motor.

Menurut Denhoff (1968), sama halnya dengan Kephart, ia menegaskan bahwa

postur, rasa tentang arah, lateralitas, dan kesadaran posisi tubuh dalam jarak

adalah dasar dari perkembangan perseptual. Denhoff mengembangkan sebuah

program perbaikan yang berdasar pada perkembangan body image menggunakan


29

semua area sensasi untuk meningkatkan awareness dan perkembangan koordinasi

mata-tangan.

Perkembangan kognitif bayi terjadi melalui pengalaman perceptual-motor.

Permulaan pengalaman perseptual motor diperoleh setelah mencapai kemandirian

dalam kemampuan motorik seperti duduk, merangkak, dan lokomosi yang

memfasilitasi perkembangan kognitif. Anak cerebral palsy khususnya memiliki

kontrol postur yang buruk akan mengganggu koordinasi mata-tangan dan

eksplorasi objek (Lobo, et al., 2013).

Gambar 2.6. Perceptual Motor Program


Dikutip dari Harbourne, 2010

Terdapat 3 (tiga) proses dalam aktivitas perseptual, yaitu :

1. Sensasi

Peristiwa penerimaan informasi oleh indra penerima oleh karena adanya

kontak antara informasi dengan indra penerima.

2. Persepsi

Keterampilan yang dipelajari dari adanya sensasi merupakan bagian dari

proses persepsi. Maka, proses pengajaran dapat memberi dampak langsung


30

terhadap kecakapan perseptual. Fungsi utama dari persepsi adalah lokalisasi

(mengetahui dimana keberadaan obyek) dan pengenalan ( mengetahui apa obyek

tersebut).

3. Atensi

Mengacu pada selektivitas persepsi. Proses ini tertuju pada suatu obyek /

informasi dengan mengabaikan objek lainnya. Cara menentukan atensi adalah

dengan melihat selektif, mendengar selektif, pemilihan awal lawan lambat, dan

menggabungkan ciri.

Perseptual motorik menghubungkan antara fungsi kognitif dan kemampuan

gerak. Perseptual motorik terbentuk dari 2 sistem yaitu sistem persepsi dan sistem

indera. Proses perseptual motorik dimulai dengan masuknya rangsang melalui

saraf sensoris meliputi penglihatan, pendengaran, perabaan, dan kinestetis yang

akan diteruskan ke dalam otak dalam bentuk pola energi saraf. Rangsang yang

diperoleh kemudian dipadukan / disimpan bersama dengan rangsang yang pernah

diperoleh dan disimpan dalam memori. Selanjutnya adalah tahap penafsiran

berupa pola gerak apa yang harus dilakukan dalam merespon rangsang. Ketika

keputusan gerak telah ada, maka dilanjutkan dengan pengaktifan gerak. Tahap

terakhir adalah umpan balik dimana terjadi evaluasi gerak yang dilakukan akan

diteruskan ke beberapa sumber masukan informasi seperti dari pengamatan /

perasaan.

Perseptual motor mempengaruhi proses motorik selama aksi produksi, aksi

koreksi dan aksi pemahama (Adolph & Kroblich, 2005). Diamond (2007)

mengamati bahwa persepsi, aksi motorik, dan kognisi terjadi dalam hubungan
31

emosi, sosial, dan pengalaman yang pada gilirannya mempengaruhi kesehatan

fisik dan mental maupun keseluruhan fungsi otak. Seorang bayi mengembangkan

kompetensi motoriknya dengan menggunakan informasi perseptual untuk

melaporkan aksi yang mereka ambil dalam merespon informasi tersebut (Adolph

& Joh, 2007). Gerak motorik termasuk didalamnya gerak mata, lengan, tangan,

dan kaki memberikan sebagian besar informasi perseptual yang diterima anak

(Adolph & Berger, 2006).

Berikut ini adalah unsur-unsur perseptual motorik :

1. Body awareness (kesadaran tubuh) adalah kesanggupan mengenali bagian-

bagian tubuh dan bagaimana bagian tubuh tersebut bekerja.

2. Spatial awareness (kesadaran ruang) adalah kemampuan menyesuaikan

diri antara orang lain dan objek lain dalam suatu ruang / tempat serta

mengetahui seberapa luas ruang / tempat yang digunakan tubuh saat

bergerak.

3. Directional awareness (kesadaran arah) adalah pemahaman tubuh yang

berkenaan dengan tempat dan arah misalnya lateralitas (menggerakkan ke

samping kanan, ke samping kiri) dan dimensi ruang.

4. Temporal awareness (kesadaran tempo) adalah memungkinkan koordinasi

gerakan antara mata dan anggota tubuh menjadi efisien.

Jika perkembangan perseptual motor kurang sempurna, maka anak akan

memperlihatkan orientasi spasial yang buruk, keterbatasan body awareness,

kekakuan fisik, koordinasi dan keseimbangan yang buruk.


32

Aspek dari perceptual motor program adalah kontak sentuhan. Anak akan

belajar mengontrol tubuhnya melalui banyak keadaan, kesalahan, dan strategi

dimana keberhasilan tergantung kepada tugas yang diberikan. Adaptasi dan

pemilihan strategi yang sesuai dengan lingkungan (kontak sentuhan) akan

didukung oleh persepsi / aksi dimana akan menambah pemahaman pada kontrol

postural (Whitall, et al., 2006).

Kemampuan perceptual motor yang dimiliki oleh anak memberikan

kesempatan informasi sensori untuk mendapatkan dan memahami reaksi yang

tepat. Hasil dari adanya perceptual motor dan reaksi akan menghasilkan sebuah

gerakan. Aktivitas dari program ini menghendaki anak untuk menggunakan otak

dan tubuh secara bersama-sama menyelesaikan tugas seperti berjalan pada papan

keseimbangan sambil mengucapkan huruf-huruf alfabet.

Penelitian menunjukkan bahwa perkembangan perceptual motor penting bagi

perkembangan otak kiri dan otak kanan anak. Kemampuan gross motor yang baik

melalui penggunaan lateralitas dalam aktivitas ini dapat membantu

mengembangkan jalan sistem saraf di otak dalam memperbaiki kemampuan anak

pra sekolah terutama ketika belajar membaca dan menulis.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ryalls, et al. (2016), dilatarbelakangi

penelitiannya tentang intervensi perseptual terhadap perbaikan kemampuan

duduk. Ryalls mengganggap bahwa duduk dapat mempengaruhi kemampuan anak

dalam bermain bebas terutama penggunaan tangannya meraih mainan.


33

2.6. Kinesiotaping

Kinesiotaping adalah helaian polimetrik elastis yang bisa di ulur hingga 120-

140% dari panjang aslinya (Fu, et al., 2008). Kinesiotaping berasal dari 100%

serat kapas dan 100% acrylic tanpa latex. Kinesiotaping telah menjadi sebuah

protokol treatment dalam kondisi post operasi, onkologi, neurologi dan kasus-

kasus yang berkaitan dengan olahraga (Constantino, 2012). Teknik kinesiotaping

ini dapat berfungsi untuk menormalkan fungsi otot, meningkatkan aliran limfatik

dan aliran darah, mengurangi nyeri, menguatkan otot yang lemah, dan

merileksasikan otot yang overuse (Garcia-Muro, et al., 2010).

Kinesiotaping menyediakan penguluran pasif melalui aplikasi tape dengan

kontraksi eksentrik yang mendorong fleksibilitas dan koordinasi serta range of

motion yang lebih baik dengan kontraksi otot yang besar. Kondisi ini di klaim

sebagai efek karena mekanisme feedback dari sensorimotor dan proprioseptif dan

mampu menstimulasi mekanoreseptor kutaneus (Murray, et, al., 2001; Halseth, et

al., 2004; Lin, et al., 2011).

Gambar 2.7. Aplikasi Kinesiotaping


Dikutip dari Simsek, 2011
34

Kinesiotaping sifatnya bisa diaplikasikan di semua bagian tubuh dan tidak

membatasi gerak pasien. Terdapat beberapa bentuk pengaplikasian KT yaitu Y, I,

X, Fan, Web, dan Donut. Teknik Y adalah yang paling biasa digunakan,

tujuannya untuk memfasilitasi atau menginhibisi otot. Bentuk I digunakan untuk

cedera otot akut untuk membatasi edema dan nyeri. Bentuk X digunakan pada

origo dan insersio seperti pada otot rhomboid. Untuk lymphatic drainage,

digunakan bentuk fan. Sedangkan bentuk web adalah modifikasi dari bentuk fan

dimana bagian tengah strip digunting sehingga berbentuk jaring. Bentuk donut

digunakan untuk edema fokal atau area yang spesifik dimana dua atau tiga strip

ditempelkan saling tumpang tindih pada bagian tengah. Luka terbuka, kulit rapuh,

alergi kinesiotaping serta abrasi merupakan kontra indikasi pengaplikasian

kinesiotaping (Kase, et al., 2006).

Pada saat memulai penempelan Kinesiotaping, strip ditempelkan 2 inches (5

cm) dibawah origo atau 2 inches diatas insersio (Kase, et al., 2003). Prinsip umum

dari pemasangan Kinesiotaping adalah sebagai berikut :

1. Anchor baik itu di bagian proksimal maupun distal (ujung akhir tape)

ditempelkan tanpa tension.

2. Tape digunakan untuk 3-4 hari dan jangan meninggalkan dalam jangka

waktu lebih dari 4 hari.

3. Kulit membutuhkan waktu istirahat minimal 24 jam dari penggunaan tape.

Aplikasi tape dapat tetap diberikan pada area lain dari tubuh. Keadaan

kulit sebelum dan sesudah penggunaan tetap harus dicek.


35

4. Tape boleh kontak dengan air dan bisa dikeringkan dengan handuk. Jangan

menggunakan hair dryer karena dapat membuat tape merekat lebih lama.

5. Pada kulit sensitif, pengaplikasian dapat dicoba dengan ukuran 2-3 inches

tanpa tension selama 24 jam. Untuk melepaskan bisa secara langsung dan

lembut.

Menurut Kase, et al., (2006), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam

pengaplikasian kinesiotaping pada anak, yaitu :

1. Kerutan tape pada kulit bisa menyebabkan blister atau melepuh.

2. Tension yang berlebih pada anchor bisa menyebabkan memar atau

kerusakan kulit.

3. Kulit dapat memerah atau menjadi ruam setelah penggunaan intermitten

selama seminggu atau sebulan.

4. Untuk melepaskan tarik tape searah dengan tumbuhnya rambut secara

lembut.

5. Perlu diperhatikan pada anak-anak yang mengalami masalah sensasi,

gangguan vaskular atau sirkulasi terutama terhadap terjadinya perubahan

warna kulit.

Perceptual Motor Program Kinesiotaping

- Body awareness - Stabilisasi


- Spatial awareness
- Directional awareness
- Temporal awareness

Tabel 2.2. Pengaruh antara Perceptual Motor Program dan Kinesiotaping


terhadap kemampuan duduk penderita cerebral palsy
36

2.7. Pengaruh Neurodevelopmental Treatment terhadap Kemampuan Duduk

Cerebral Palsy

Konsep NDT terbaru yang diperkenalkan oleh Bobath adalah dengan

pendekatan kontrol motorik yang tidak hanya mengenai kondisi anak itu sendiri

tetapi bagaimana anak tersebut berinteraksi dengan lingkungannya. Perhatian

pokok konsep NDT yaitu dengan aktivasi pasien dalam mengatasi postur yang

hipotonus dan adanya reaksi kompensasi akibat lemahnya postur.

Neurodevelopmental treatment memberikan input proprioceptive dan

pengurangan spastis mapupun fasilitasi perkembangan normal dan perbaikan

aktivitas sehari-hari. Pada anak cerebral palsy, kontrol postural kurang baik

sehingga mempengaruhi kemampuan anak untuk duduk. Beberapa penelitian telah

menunjukkan bahwa NDT dapat memperbaiki motorik kasar, kontrol postural,

dan stabilitas (Ketelaar, et, al., 2001).

2.8. Pengaruh Perceptual Motor Program terhadap Kemampuan Duduk

Cerebral Palsy

Anak cerebral palsy mengalami gangguan motorik yang mana membutuhkan

support tambahan berupa permainan dan pembelajaran (Missiuna, et al., 2012).

Perceptual motor program merupakan pendekatan intervensi yang mampu

memberikan suport bagi perbaikan kontrol postur terutama pada anak cerebral

palsy yang mengalami masalah dengan kesulitan duduk. Perceptual motor

program membangkitkan kognisi sebagai pengaruh adanya masukan sensoris

yang diterima panca indera. Kognisi yang baik dapat mempengaruhi sikap dan
37

perilaku sehingga membantu anak dapat mengeksplor lingkungan. Program ini

juga memberikan ruang bagi anak untuk berpartisipasi aktif. Interaksi pada objek

yg dilakukan pada posisi duduk mampu pula membangkitkan kontrol postural.

Perceptual Motor program memiliki keempat unsur yang mendukung

peningkatan kemampuan duduk yaitu : body awareness, spatial awareness,

directional awareness, dan temporal awareness. Body awareness yang baik dapat

membantu mengembangkan sistem proprioseptif dengan membuat anak mengatur

posturnya. Spatial awareness mengajarkan anak bagaimana posisi tubuh ketika

lingkungan menngharuskan anak bergerak. Directional awareness memberikan

anak pemahaman tentang arah gerak seperti ke atas, kebawah, dan kesamping.

Temporal awareness memberikan pemahaman untuk adanya koordinasi antara

mata dan gerak anggota tubuh sehingga tugas dari program yang diberikan dapat

terselesaikan. Program ini lebih merangsang dan memberikan pemahaman yang

luas bagi perkembangan otak sehingga dapat merangsang terjadinya stabilisasi

ketika duduk.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Harbourne, et al., (2010), terjadi efek

yang signifikan terhadap peningkatan nilai GMFM pada kemampuan duduk

setelah dilakukan intervensi program perseptual motor dibandingkan dengan

perlakuan home program.

2.9. Pengaruh Kinesiotaping terhadap Kemampuan Duduk Cerebral Palsy

Sistem kontrol postural yang kurang baik mengakibatkan anak cerebral palsy

tidak dapat mengontrol posisi tubuh dan geraknya. Komponen dari duduk sendiri
38

tidak hanya kemampuan tubuh dengan suport dari otot-otot abdominal untuk

mengangkat badan bangun ke posisi duduk, kekuatan dari trunk untuk

mempertahankan tubuh tetap tegak ketika duduk, tetapi juga sistem sensori berupa

visual dan proprioseptif berperan sangat penting.

Kinesiotaping yang diaplikasikan pada kulit akan menstimulasi reseptor di

kutaneus yang kemudian memberikan stimulasi pada sistem neuromuskuler dalam

mengaktivasi kinerja saraf dan otot saat melakukan gerak fungsional.

Kinesiotaping juga mampu membentuk sikap tubuh karena merangsang

mekanoreseptor untuk menjadi duduk tegak dan memberi rasa nyaman pada area

yang dipasangkan.

Kinesiotaping mampu memberikan input sensori kepada sistem

eksteroreseptor untuk dikirimkan ke sistem saraf pusat kemudian diteruskan ke

otot sebagai perintah untuk melakukan gerakan. Penelitian Hsu, et, al., (2009)

menyatakan bahwa Kinesiotaping dapat memperbaiki kekuatan, aktivitas

fungsional, proprioseptif, kontrol dan positioning. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Badawy, et, al., (2015) bahwa kinesiotaping yang

diberikan pada otot punggung belakang dapat digunakan sebagai tambahan

modalitas terapi untuk memperbaiki kontrol duduk pada anak cerebral palsy tipe

diplegi. Kinesiotaping yang ditempelkan pada area trunk dapat memberikan

stabilisasi langsung pada otot-otot paraspinal sehingga dapat membantu

meningkatkan kemampuan duduk.

Anda mungkin juga menyukai