Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN EFUSI PLEURA DI RUANG ICU

RUMAH SAKIT PERKEBUNAN JEMBER


PERIODE 08 – 13 AGUSTUS 2022

Dosen Pembimbing
Ns. Cipto Susilo., S.Kep., S.Pd, M.Kep

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Tugas


di Departemen Gawat Darurat Kritis

Oleh:
Pramono Setyawan, S. Kep
2101032019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
JEMBER 2022
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan Efusi Pleura di Ruang ICU Rumah Sakit Perkebunan Jember.
Oleh:
Nama : Pramono Setyawan, S. Kep
NIM : 2101032019

Jember, 08 Agustus 2022

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik

( Ns. Debie Saktya I., S.Kep ) ( Ns. Cipto Susilo., S.Kep., S.Pd., M.Kep)
NIP. 1305198600630 NPK. 197007151 93 05 382

Mengetahui,

Kepala Ruangan Catleya PJMK Departemen Keperawatan


Rumah Sakit Perkebunan Jember Gadar Kritis
FIKES UNMUH JEMBER

( Ns. Fathur Rohman., S.Kep ) ( Ns. Cipto Susilo., S.Kep., S.Pd., M.Kep )
NIP. 2306197301146 NPK. 197007151 93 05 382
Lembar Konsultasi
No Materi Yang Dikonsulkan Tanda tangan
A. KONSEP TEORI TENTANG EFUSI PLEURA
1. Review Anatomi Fisiologi

Gambar 1. Anatomi Pleura

Pleura merupakan membran serosa yang tertutup dan berisi sedikit cairan.
Pleura terdiri dari membran dua lapis yang menutupi setiap paru yang terdiri dari
lapisan yang melekat pada paru-paru disebut dengan pleura viseral, sedangkan
lapisan yang melekat di dalam dinding dada dan permukaaan diafragma disebut
dengan pleura parietal. Dua lapisan tersebut terpisah oleh ruang antara membran
yang disebut dengan rongga pleura yang diisi dengan sejumlah cairan pelumas
tipis yang disebut dengan cairan pleural yang disekresikan oleh sel-sel
mesothelial. Cairan pleural tersebut memiliki kualitas perekat yang membantu
menarik paru-paru keluar saat paru-paru mengembang dan memungkinkan lapisan
untuk saling meluncur saat paru-paru mengempis selama respirasi. Selain itu,
cairan pleura menciptakan ketegangan permukaan yang membantu
mempertahankan posisi paru-paru terhadap dinding dada (Ross &Wilson, 2014).
Dalam kondisi sehat, dua lapisan pleura ini dipisahkan oleh selaput cairan
serosa yang dapat menyebabkan gerakan bebas dan mencegah gesekan antara
lapisan saat respirasi. Terpisahnya cairan tersebut diakibatkan karena perbedaan

1
tegangan permukaan antara membran dan cairan. Sehingga penting dalam
menjaga pengembangan paru terhadap dinding dada. Apabila salah satu pleura
mengalami kebocoran maka udara akan tersedot ke dalam rongga dan sebagian
bahkan seluruh bagian paru akan mengalami kolaps (Ross dan Wilson, 2014).
Cairan pleura mengandung 1.500 – 4.500 sel/ mL yang terdiri dari
makrofag (75%), limfosit (23%), sel darah merah dan mesotel bebas. Cairan
pleura normal mengandung protein 1 – 2 g/100 mL. Elektroforesis protein cairan
pleura menunjukkan bahwa kadar protein cairan pleura setara dengan kadar
protein serum, namun kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih
tinggi dalam cairan pleura.3 Kadar molekul bikarbonat cairan pleura 20 – 25%.
Normalnya cairan pleura adalah 0,13 mL/kg BB. Sehingga Keseimbangan jumlah
cairan pleura diatur oleh komponen-komponen gaya Starling dan sistem
penyaliran limfatik pleura (Pratomo dan Faisal, 2013).

2. Definisi
Efusi pleura merupakan penumpukan cairan dalam rongga pleura berupa
transudate dan eksudat yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
pembentukan dan pengeluaran cairan pleura di antara pleura pariental dan pleura
visceralis. Pada keadaan normal cavum pleura hanya mengandung cairan
sebanyak 10- 20 mililiter (Muttaqin, 2019).
Cairan pleura terdiri dari eksudat, transudat dan chylus. Pada cairan pleura
eksudat protein rasionya >0,60. Sedangkan chylus warnanya putih seperti susu
dan mengandung lemak. Eksudat disebabkan karena adanya kerusakan pada
capillary bed di paru, pleura dan jaringan sekitarnya. Sedangkan Transudat
disebabkan oleh tekanan hidrostatik yang meningkat atau tekanan osmotik yang
menurun (Hariadi, 2010).
Akumulasi cairan pleural bukan penyakit spesifik, melainkan disebabkan
karena beberapa kelainan penyakit infeksi dan kasus keganasan baik di dalam
paru maupun di luar organ paru seperti penyakit gagal jantung kongestif, sirosis
hepatis, dan hipoalbuminuria termasuk dalam factor penyebab yang banyak
dialami efusi transudatif dan keganasan serta infeksi tuberkulosis (TB) termasuk
factor terjadinya efusi eksudatif (Khairani, 2012).

2
Akumulasi cairan di rongga pleura terjadi karena adanya hambatan drainase
limfatik dari rongga pleura. Selain itu gagal jantung menimbulkan tekanan kapiler
paru dan tekanan perifer menjadi sangat tinggi sehingga transudasi cairan yang
berlebih ke dalam rangga pleura. Penyebab lain yaitu menurunnya tekanan
osmotic plasma (misalnya hipoproteinemia) menjadikan transudasi carian
berlebih. Adanya proses infeksi atau peradangan pada permukaan pleura dari
rongga pleura juga menyebabkan pecahnya membran kapiler sehingga
memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan ke dalam rongga secara
cepat. Sedangkan pada absorbsi terhambat disebabkan adanya gangguan
kemampuan kontraksi saluran lymphe, infiltrasi pada kelenjar getah bening dan
kenaikan tekanan vena sentral tempat masuknya saluran lymphe (Khairani, 2012).

3. Epidemiologi
Menurut WHO (2008), efusi pleura merupakan suatu gejala penyakit yang
dapat mengancam jiwa penderitanya. Secara geografis penyakit ini terdapat
diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia.
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.
Sementara pada populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta
orang, 3000 orang terdiagnosa efusi pleura. Di negara-negara barat, efusi pleura
terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan
pneumonia bakteri, sementara di negaranegara yang sedang berkembang, seperti
Indonesia, biasanya diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis (Puspita, 2017).
Penyebab efusi, penyakit ganas menyumbang 41% dan tuberkulosis untuk
33% dari 100 kasus efusi pleura eksudatif, 2 pasien (2%) memiliki koeksistensi
tuberkulosis dan keganasan yang dianalisis dengan kelompok ganas.
Parapneumoni efusi ditemukan hanya 6% kasus, penyebab lain gagal jantung
kongestif 3%, komplikasi dari operasi by pass koroner 2%, rheumatoid atritis 2%,
erythematous lupus sistemik 1%, gagal ginjal kronis 1%, kolesistitis akut 1%,
etiologi tidak diketahui 8%.3 Kasus efusi pleura mencapai 2,7% dari penyakit
infeksi saluran napas lainnya (Puspita, 2017).

3
Di negara-negara industri, diperkirakan terdapat 320 kasus efusi pleura per
100.000 orang. Amerika Serikat melaporkan 1,3 juta orang setiap tahunnya
menderita efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif dan
pneumonia bakteri. Menurut Depkes RI (2006), kasus efusi pleura telah mencapai
2,7 % dari penyakit infeksi saluran napas lainnya. WHO memperkirakan 20%
penduduk kota dunia pernah menghirup udara kotor akibat emisi kendaraan
bermotor, sehingga banyak penduduk yang berisiko tinggi penyakit paru dan
saluran pernafasan seperti efusi pleura.

4. Etiologi
Penyebab efusi pleura merupakan penyebab kelainan patologi pada rongga
pleura yang bermacam- macam, adalah :
a. Efusi pleura karena gangguan sirkulasi
Effusi pleura yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi terjadi akibat
gangguan kardiovaskuler dan emboli pulmonal.
b. Efusi pleura karena virus dan mikroplasma
Efusi pleura karena virus atau mikroplasma agak jarang. Bila terjadi tidak
banyak. Jenis- jenis virusnya adalah : ECHO Virus, Coxsackie, Chlamydia,
Ricketsia dan Mikroplasma.
c. Efusi pleura karena bakteri piogenik
Permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal dari jaringan
parenkim paru dan menjalar secara hematogen, dan jarang yang melalui
penetrasi diafraghma, dinding dada atau esofagus. Bakteri yang sering
ditemukan adalah bakteri aerob: streptococcus pneumonia, streptococcus
mileri, stafilococcus aureus, hemophillus spp, E. Colli, Klebsiella,
pseudomonas spp. Anaerob: bakteroides spp, peptostreptococcus,
fusobakterium.
d. Efusi pleura karena tuberkulosa
Penyakit kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberkulosis paru melalui
fokus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening.
e. Efusi pleura karena kelainan intra abnominal

4
Effusi pleura yang disebabkan oleh kelainan intra abnominal terjadi akibat
sirosis hati dan sindroma Meigh
f. Efusi pleura karena neoplasma
Neoplasma primer ataupun sekunder (metastasis) dapat menyerang pleura dan
pada umumnya menyebabkan efusi pleura. Efusi pleura karena neoplasma
biasanya unilateral tetapi bisa juga bialteral karena obstruksi saluran getah
bening, adanya metastasis menyebabkan pengaliran cairan dari rongga
peritonial ke rongga pleura melalui diafragma.

Berdasarkan penyebabnya, efusi pleura dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:


a. Efusi pleura transudatif
Efusi pleura ini terjadi akibat peningkatan tekanan di pembuluh darah atau
rendahnya kadar protein di dalam darah, sehingga cairan merembes ke pleura.
Sejumlah penyakit yang sering menjadi penyebab kondisi ini adalah:
1) Gagal jantung kongestif yaitu kegagalan jantung dalam memompa pasokan
darah yang dibutuhkan tubuh.
2) Sirosis hati yaitu penurunan fungsi pada hati.
3) Keganasan atau kanker
4) Emboli paru yaitu penyumbatan pada arteri paru-paru
5) Hipoalbuminemia yaitu kondisi ketika kadar albumin dalam darah di
bawah normal
6) Gangguan ginjal, seperti sindrom nefrotik yaitu gangguan ginjal yang
menyebabkan tubuh manusia kehilangan terlalu banyak protein yang
dibuang melalui urine
b. Efusi pleura eksudatif
Efusi pleura ini terjadi akibat peradangan, cedera paru, tumor, gangguan
aliran pada pembuluh darah atau pembuluh getah bening. Sejumlah penyakit
yang sering menjadi penyebab kondisi ini adalah:
1) Kanker, umumnya kanker paru dan kanker payudara
2) Emboli paru yaitu penyumbatan pada arteri paru-paru
3) Infeksi pada paru, seperti tuberkulosis dan pneumonia

5
4) Cedera pada dinding dada, yang menyebabkan perdarahan atau
chylothorax
5) Penyakit autoimun, seperti lupus atau rheumatoid arthritis

5. Klasifikasi
Menurut Morton (2012) klasifikasi efusi pleura ada 2, yaitu :
a. Efusi pleura transudat
Merupakan ultrafiltrat plasma, yang menandakan bahwa membran pleura
tidak terkena penyakit. Akumulasi cairan disebabkan oleh faktor sistemik yang
mempengaruhi produksi dan absorbsi cairan pleura. Mekanisme terbentuknya
transudat karena peningkatan tekanan hidrostatik (CHF), penurunan onkotik
(hipoalbumin) dan tekanan negative intra pleura yang meningkat (atelektaksis
akut).
Ciri-ciri cairan transudat:
1) Serosa jernih
2) Berat jenis rendah (dibawah 1.012)
3) Terdapat limfosit dan mesofel tetapi tidak ada neutrofil
4) Protein < 3%
Penimbunan cairan transudat dalam rongga pleura dikenal dengan hydrothorax,
yang disebabkan oleh:
1) Payah jantung.
2) Penyakit ginjal (sindrom nefrotik)
3) Penyakit hati (sirosis hati)
4) Hipoalbuminemia (malnutrisi, malabsorbsi)

b. Efusi pleura eksudat


Efusi pleura ini terjadi akibat kebocoran cairan melewati pembuluh kapiler
yang rusak dan masuk kedalam paru terdekat. Eksudat ini terbentuk sebagai
akibat penyakit dari pleura itu sendiri yang berkaitan dengan peningkatan
permeabilitas kapiler (missal pneumonia) atau drainase limfatik yang
berkurang (missal obstruksi aliran limfa karena karsinoma). Biasanya terjadi
pada kondisi inflamasi, infeksi, dan keganasan.

6
Ciri cairan eksudat:
1) Berat jenis > 1.015 %
2) Kadar protein > 3% atau 30 g/dl
3) Ratio protein pleura berbanding LDH serum 0,6
4) LDH cairan pleura lebih besar daripada 2/3 batas atas LDH serum
normal.
5) Warna cairan keruh.

Penyebab dari efusi eksudat ini antara lain:


1) Kanker : karsinoma bronkogenik, mesotelioma atau penyakit metastatic
ke paru atau permukaan pleura.
2) Infark paru
3) Pneumonia
4) Pleuritis virus

6. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya efusi pleura ditentukan oleh keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Terjadinya kondisi efusi pleura
didasari oleh ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi cairan di
kavum pleura sehingga mengakibatkan akumulasi cairan pleura berupa
transudat atau eksudat.
Dalam keadaan normal, kavum pleura sudah mengandung cairan sekitar
0.1 ml/kg sampai 0.3 ml/kg yang berfungsi sebagai pelumas antara
permukaan pleura viseral dan parietal. Cairan pleura ini terus diproduksi oleh
sistem vaskular di permukaan pleura parietal dan diabsorpsi oleh sistem
limfatik di permukaan diafragma dan mediastinum dari pleura parietal secara
kontinue sehingga volumenya tetap dalam batas normal tersebut. Cairan
pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah
kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan
jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke
dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe di
sekitar pleura.

7
Efusi dapat terdiri dari cairan yang relatif jernih, yang mungkin
merupakan cairan transudat atau eksudat, atau dapat mengandung darah dan
purulen. Transudat merupakan filtrasi plasma yang mengalir menembus
dinding kapiler yang utuh yang terjadi apabila faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan dan reabsorpsi cairan pleural terganggu.
Biasanya transudat disebabkan oleh ketidakseimbangan tekanan hidrostatik
atau onkotik. Transudat menandakan bahwa kondisi seperti asites atau gagal
ginjal mendasari penumpukan cairan. Sedangkan eksudat merupakan
ekstravasasi cairan ke dalam jaringan atau kavitas. Eksudat biasanya terjadi
akibat inflamasi oleh produk bakteri atau tumor yang mengenai permukaan
pleural.

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik efusi pleura bergantung dari jumlah cairan yang ada
serta tingkat kompresi paru. Jika jumlah efusinya sedikit (misal < 250 ml),
mungkin belum menimbulkan manifestasi klinik dan hanya dapat dideteksi
dengan X-ray foto thoraks. Semakin banyak cairan 5 maka permukaan efusi
akan luas dan restriksi ekspansi paru disertai dengan beberapa tanda dan
gejala, menurut (Black and Jane, 2014) :
1) Dispneu atau sesak nafas
2) Nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi sekunder akibat penyakit
pleura
3) Trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami efusi
4) Ruang interkostal menonjol (efusi yang berat)
5) Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena
6) Perkusi tumpul
7) Egofoni di atas paru-paru yang tertekan dekat efusi
8) Suara nafas berkurang di atas efusi pleura
9) Fremitus vokal dan raba berkurang
10) Batuk kering
11) Peningkatan suhu tubuh jika ada infeksi

8
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat penting dalam menentukan diagnosis efusi
pleura, karena dapat mengidentifikasi adanya cairan di rongga pleura, dan
membedakan cairan dengan udara ataupun cairan lain. Menurut Karkhanis
(2012), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam diagnosis efusi
pleura diantaranya sebagai berikut:
a. Pemeriksaan radiologi (rontgen thorak)
Pemeriksaan radiologis menjadi langkah pertama dan memiliki nilai yang
tinggi dalam mendiagnosis efusi pleura untuk menunjukkan adanya cairan,
tetapi tidak mempunyai nilai apapun dalam menentukan penyebabnya. Secara
radiologis jumlah cairan yang kurang dari 100 ml tidak akan tampak dan baru
jelas bila jumlah cairan di atas 300 ml.

Gambar 2. Efusi Pleura Sinistra.


Sudut Costophrenicus yang tumpul karena efusi pleura

b. Computed Tomography Scan (CT Scan)


CT scan dada akan terlihat jelas gambaran paru-paru dan adanya perbedaan
densitas cairan dengan jaringan sekitarnya. Pada CT scan, efusi pleura bebas
diperlihatkan sebagai daerah berbentuk bulan sabit di bagian yang tergantung
dari hemothorax yang terkena.

9
Gambar 3. CT Scan pada Efusi Pleura

c. Ultrasonografi Thoraks
Pemeriksaan USG dapat membantu untuk menentukan lokasi dari
pengumpulan cairan yang jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan cara
pengeluaran cairan.

Gambar 4. Ultrasonografi Thoraks pada Efusi Pleura

d. Torakoskopi (Fiber-optic pleuroscopy)


Torakoskopi biasnya digunakan pada kasus dengan neoplasma atau
tuberculosis pleura. Caranya yaitu dengan dilakukan insisi pada dinding dada
(dengan resiko kecil terjadinya pneumotoraks). Cairan dikeluarkan dengan
memakai penghisap dan udara dimasukkan supaya bisa melihat kedua pleura.

10
e. Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui
torakosentesis (pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan
diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal).
Setelah didapatkan cairan efusi dilakukan pemeriksaan analisa cairan pleura
seperti:
1) Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin,
amylase, pH, dan glucose.
2) Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui
kemungkinan terjadi infeksi bakteri
3) Pemeriksaan hitung sel
4) Pemeriksaan sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan
Evaluasi cairan pleura adalah untuk membedakan apakan cairan
tersebut merupakan cairan transudat atau eksudat. Efusi pleura
transudatif disebabkan oleh faktor sistemik yang mengubah
keseimbangan antara pembentukan dan penyerapan cairan pleura.
Misalnya pada keadaan gagal jantung, emboli paru, sirosis hepatis.
Sedangkan efusi pleura eksudatif disebabkan oleh faktor lokal yang
mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Efusi
pleura eksudatif biasanya ditemukan pada Tuberkulosis paru,
pneumonia bakteri, infeksi virus, dan keganasan.
f. Bronkoskopi
Bronkoskopi terkadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber
cairan yang terkumpul.
g. Biopsi
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka dapat
dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk
kemudian dianalisa. Biopsi pleura dapat dilakukan untuk mengetahui adanya
keganasan. Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan
menyeluruh, penyebab dari efusi pleura ini tetap tidak dapat ditentukan.

11
9. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi
a. Penatalaksanaan Farrmakologi
1) Pemberian obat
Pemberian OAT (obat anti tuberkulosis) dapat diberikan pada pasien
tuberkulosis, pemberian antibiotik dapat diberikan pada pasien pneumonia
atau jika ditemukan mengalami infeksi, dan pemberian diuretik pada kasus
gagal jantung.
2) Pleurodesis
Penanganan pada efusi yang disebabkan karena keganasan dan efusi
rekuren lain, maka dapat diberikan obat (tetrasiklin, kalk dan bieomisin)
melalui selang interkostalis untuk melekatkan kedua lapisan pleura dan
mencegah cairan terakumulasi kembali.

b. Penatalaksanaan Non Farmakologi


1) Penatalaksanaan Medis
1. Thorakosentasis
Thorakosentasis dilakukan untuk mengeluarkan cairan terhadap rongga
pleura. Drainase cairan dilakukan jika efusi pleura menimbulkan gejala
subjektif seperti nyeri, dispnea dan lain-lain. Cairan efusi sebanyak 1 – 1,5
liter perlu dikeluarkan segera untuk mencegah meningkatnya edema paru.
Jika jumlah cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutnya
baru dapat dilakukan 1 jam kemudian. Thorakosentasis dilakukan dengan
cara melakukan aspirasi menggunakan jarum yang ditusukkan biasanya
pada linea axillaris media spatium intercostalis 6. Aspirasi dilakukan dengan
menggunakan jarum dan spuit, atau dapat juga menggunakan kateter.
Aspirasi dilakukan dengan batas maksimal 1000-1500 cc untuk menghindari
komplikasi reekspansi edema pulmonum dan pneumothoraks akibat
penatalaksanaan thorakosentasis ini.
2. Water Seal Drainage (WSD)
Water seal drainage merupakan sistem drainase yang menggunakan
water seal dengan memakai water seal sebagai cara untuk mengeluarkan
udara serta darah yang berada di rongga pleura agar tidak terdapat gangguan

12
pada sistem pernapasan. Water seal drainage dilakukan apabila efusi
menimbulkan gejala subyektif seperti nyeri, dispnea. Cairan efusi sebanyak
1–1,2 liter perlu dikeluarkan segera untuk mencegah meningkatnya edema
paru, jika jumlah cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran cairan
berikutya baru dapat dilakukan 1 jam kemudian. Water Seal Drainage
dilakukan dengan cara menghubungkan cavum pleura berisi cairan
abnormal dengan botol sebagai perangkat WSD yang nantinya akan menarik
keluar isi cairan abnormal yang ada di dalam cavum pleura dan
mengembalikan cavum pleura seperti semula, menyebabkan berkurangnya
kompresi terhadap paru yang tertekan dan paru akan kembali mengembang

2) Penatalaksanaan Non Medis


1. Tirah Baring
Penatalaksanaan ini dilakukan dengan cara menganjurkan pasien
berbaring pada tempat tidur secara berlanjut dengan posisi yang nyaman
serta tidak melakukan tindakan yang lainnya. Tirah baring bertujuan untuk
mengurangi kebutuhan oksigen sebab bertambah kegiatan dapat
meningkatkan kebutuhan oksigen maka dispnea atau sesak nafas semakin
parah.
2. Dukungan
Kegiatan dalam pemberian dukungan seperti melakukan konseling dan
pendidikan kesehatan dapat meningkatkan motivasi agar mencapai
keberhasilan dari pengobatan.

13
B. CLINICAL PATHWAY
Penghambatan Tekanan Osmotik
Infeksi drainase koloid plasma

Peradangan Tekanan kapiler Trandusi


permukaan paru cairan

Permeabilitas vasculerTekanan hidrostatik meningkat di pembuluh darahEdema

.
Cavum pleura
Ttransudasi

Ketidakseimbangan produksi cairan dengan absorbsi yang dilakukan

Penumpukan cairan dalam rongga pleura


(Effusi Pleura)

Sistem Pernapasan Sistem Saraf Pusat Sistem Pencernaan Sistem Muskuloskeletal Respon Psikososial

PaO2 menurun PCO2 meningkat


Suplai O2 ke otak menurun
Efek Suplai O2 ke Sesak nafas
hiperventila
Produksi asam jaringan
lambung ↑ Peristaltik ↓
Sesak nafas
Hipoksia serebral

Akumulasi cairan dalam ruang


Pusing, pleura
disorientasi

Peningkatan Koping
Mual, nyeri lambung Peningkat
produksi tidak
Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif an Defisit
asam laktat
metabolis Pengetahu
Pola Napas Tidak
Produksi
Efektifsekret meningkat
Ansieta
an
Defisit Nutrisi Kelemahan s
fisik

Gangguan Pertukaran
Bersihan
Gas Jalan Napas Tidak Efektif Intoleran
14 si
C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau
kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan
pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
Biasanya pada pasien dengan efusi pleura didapatkan keluhan berupa sesak
nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat
tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non
produktif.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tanda-
tanda seperti sesak nafas, batuk, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat
badan menurun dan sebagainya. Perlu juga ditanyakan sejak kapan keluhan
tersebut mulai timbul dan tindakan apa saja yang telah dilakukan untuk
menurunkan atau mengatasi keluhan-keluhan tersebut.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan kepada pasien apakah pasien pernah menderita penyakit
seperti TBC paru, pneumonia, gagal jantung, trauma, asites dan
sebagainya.Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya
faktor predisposisi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-
penyakit yang disinyalir sebagai penyebab efusi pleura seperti Ca paru,
asma, TB paru, penyakit liver, penyakit jantung dan lain sebagainya.
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.

1
g. Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit yang
mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, yang bisa
menimbulkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan.
Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, konsumsi alkohol dan
penggunaan oabt-obatan yang bisa menjadi faktor predisposisi timbulnya
penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
a) Pola Nutrisi
Mengukur tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status
nutrisi pasien, perlu juga ditanyakan kebiasaan makan dan minum
sebelum dan setelah masuk rumah sakit. Pasien dengan efusi pleura
akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas, nyeri
dada, dan penekanan pada struktur abdomen.
b) Pola Metabolisme
Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. Pasien
dengan effusi pleura keadaan umumnya lemah.
3) Pola Eliminasi
Dalam pola eliminasi perlu ditanyakan kebiasaan defekasi sebelum dan
sesudah masuk rumah sakit. Karena keadaan umum pasien yang lemah,
pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan
konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen
menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus digestivus.
4) Pola aktivitas dan latihan
Karena adanya sesak nafas pasien, kebutuhan O2 jaringan akan kurang
terpenuhi. Sehingga pasien akan mengalami kelelahan pada aktivitas
minimal. Pasien juga akan mengurangi aktivitasnya karena nyeri dada.
Selain itu, pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri
dada. Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien
dibantu oleh perawat dan keluarganya.

1
5) Pola tidur dan istirahat
Pasien akan mengalami gangguan tidur karena merasa nyeri dada, sesak
nafas dan peningkatan suhu tubuh. Hospitalisasi juga dapat membuat
pasien merasa kurang nyaman karena suasanan yang berbeda dengan
suasana rumah.
6) Pola hubungan peran
Pasien akan mengalami perubahan peran saat sakit. Perubahan peran
tersebut terjadi dalam ruang lingkup keluarga dan bermasyarakat yang
terjadi akibat keterbatasan rentang geraknya karena kondisi fisiknya yang
sakit.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya
sehat, tiba-tiba mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Sebagai seorang
awam, pasien mungkin akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah
penyakit berbahaya dan mematikan. Dalam hal ini pasien mungkin akan
kehilangan gambaran positif terhadap dirinya.
8) Pola sensori dan kognitif
Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian juga
dengan proses berpikirnya.
9) Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seksakan terganggu
untuk sementara waktu karena pasien berada di rumah sakit dan kondisi
fisiknya masih lemah.
10) Pola koping
Pasien bisa mengalami stress karena belum mengetahui proses
penyakitnya. Mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat dan
dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin dianggap lebih tahu
mengenai penyakitnya.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Kaji apakah kehidupan beragama klien berubah atau tidak saat berada di
rumah sakit.

1
h. Pemeriksaan Fisik
1) Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, mengukur tanda-tanda vital
pasien, bagaimana penampilan pasien secara umum, ekspresi wajah
pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap
petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan
dan ketegangan pasien.
2) Sistem Respirasi
Inspeksi: Pada pasien efusi pleura bentuk hemithorax yang sakit
mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan
pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax
kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis.
Pernapasan cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu.
Palpasi: Vocal fremitus menurun terutama untuk effusi pleura yang
jumlah cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit. Apabila
saat dipalpasi, suhu tubuh dingin berarti terjadi kegagalan transport
oksigen.
Perkusi: Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya.
Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat
batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke
medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis
Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada, dan kurang
jelas di punggung.
Auskultasi: suara nafas menurun sampai menghilang pada dada yang
sakit. Pada posisi duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya
ada kompresi atelektasis dari parenkim paru, mungkin saja akan
ditemukan tanda tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar
batas atas cairan.

1
3) Sistem Cardiovasculer
Inspeksi: Perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS-
5 pada linea medio klavikula kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung.
Palpasi: Dalam menghitung frekuensi jantung harus diperhatikan
kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa
adanya thrill yaitu getaran ictuscordis.
Perkusi: untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung
terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran
jantung atau ventrikel kiri.
Auskultasi: untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop
dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta
adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi
darah.
4) Sistem Pencernaan
Inspeksi: perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar,
tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu
juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.
Auskultasi: mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai normalnya
5-35 kali per menit.
Palpasi: adakah nyeri tekan abdomen, adakah massa (tumor, feces),
turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar
teraba.
Perkusi: pada abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan
akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesikaurinarta, tumor).
5) Sistem Neurologis
Inspeksi: tingkat kesadaran perlu dikaji, diperlukan pemeriksaan GCS,
apakah composmentis atau somnolen atau comma. Pemeriksaan refleks
patologis dan refleks fisiologisnya. Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga
perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan
pengecapan.

1
6) Sistem Muskuloskeletal
Inspeksi: perlu diperhatikan adakah edema peritibial.
Palpasi: mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan pemerikasaan
capillary refiltime pada kedua ektremitas.
Inspeksi dan palpasi: pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas kanan dan
kiri kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
7) Sistem Integumen
Inspeksi: keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi pada
kulit, pada pasien dengan efusi biasanya akan tampak cyanosis akibat
adanya kegagalan sistem transport oksigen.
Palpasi: perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat,
demam). Kemudian tekstur kulit (halus-lunakkasar) serta turgor kulit
untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang

2. Pemeriksaan Penunjang pada Pasien Efusi Pleura


1) Foto thorax dada dan lateral
2) CT Scan atau MRI
3) Bronkoskopi
4) Pemeriksaan Sitologi: Transthoracal Biopsy (TTB), biopsy kelenjar getah
bening leher

3. Diagnosa Keperawatan (SDKI)


1) Pola napas tidak efektif (D.0005) b.d hambatan upaya napas (kelemahan otot
pernapasan) d.d dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan, dan pola napas
abnormal (hiperventilasi)
2) Bersihan jalan napas tidak efektif (D.0001) b.d hipersekresi jalan napas dan
sekresi yang tertahan d.d batuk tidak efektif dan obstruksi jalan napas
3) Gangguan pertukaran gas (D.0003) b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
d.d dispnea, PCO2 meningkat, PO2 menurun, dan sianosis
4) Nyeri akut (D.0077) b.d agen pencedera fisiologis (inflamasi) d.d mengeluh
nyeri dan pola napas berubah

2
5) Hipertermia (D.0130) b.d proses penyakit (infeksi) dan peningkatan laju
metabolisme d.d suhu tubuh diatas nilai normal
6) Defisit nutrisi (D.0019) b.d peningkatan kebutuhan metabolisme d.d nyeri
abdomen, bising usus hiperaktif
7) Intoleransi aktivitas (D.0056) b.d ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, kelemahan d.d mengeluh lelah, dispnea setelah aktivitas,
dan merasa lemah
8) Gangguan pola tidur (D.0055) b.d hambatan lingkungan (nyeri dada, sesak
napas) d.d mengeluh sulit tidur dan istirahat tidak cukup
9) Risiko infeksi (0142) d.d efek prosedur invasif

2
4. Intervensi Keperawatan
No Diangnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1. Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Jalan Napas (I.01011)
b.d hambatan upaya napas selama 3 x 24 jam diharapkan pola Observasi
(kelemahan otot napas teratasi dengan 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
pernapasan) d.d dispnea, Kriteria hasil : napas)
penggunaan otot bantu Pola Napas (L.01004) 2. Monitor bunyi napas tambahan (misal gurgling,
pernapasan, dan pola 1. Dispnea ditingkatkan dari skala 2 mengi, wheezing, ronkhi kering)
napas abnormal (cukup meningkat) ke skala 4 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
(hiperventilasi) (cukup menurun) Terapeutik
2. Penggunaan otot bantu napas 4. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-
ditingkatkan dari skala 2 (cukup tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma
meningkat) ke skala 4 (cukup servikal)
menurun) 5. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
3. Frekuensi napas ditingkatkan dari 6. Berikan minum hangat
skala 2 (cukup memburuk) ke skala 7. Lakukan fisioterapi dada
4 (cukup membaik) 8. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
4. Kedalaman napas ditingkatkan dari 9. Berikan oksigen
skala 2 (cukup memburuk) ke skala Edukasi
4 (cukup membaik) 10. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik

2
Perawatan Selang Dada (I. 01022)
Observasi
1. Monitor kebocoran udara dari selang dada
2. Monitor fungsi, posisi, dan kepatenan aliran
selang (undulasi cairan pada selang)
3. Monitor penurunan produksi gelembung,
undulasi, dan gelombang pada tabung
penampung cairan
4. Monitor jumlah cairan pada tabung (seal)
5. Monitor tanda-tanda akumulasi cairan
intrapleura
6. Monitor volume, warna, dan konsistensi
drainase dari paru-paru
7. Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik
8. Pastikan sambungan selang tertutup sempurna
9. Klem selang saat pergantian tabung
10. Berikan selang yang cukup panjang untuk
mempermudah gerakan
11. Fasilitasi batuk, napas dalam dan ubah posisi
setiap 2 jam
12. Lakukan perawatan di area pemasangan selang
setiap 48-72 jam atau sesuai kebutuhan
13. Lakukan penggantian tabung (seal) secara
berkala

2
Edukasi
14. Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan selang
15. Ajarkan cara perawatan selang
16. Ajarkan mengenali tanda-tanda infeksi

2. Bersihan jalan napas tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan Latihan Batuk Efektif (I.01006)
efektif b.d hipersekresi selama 3 x 24 jam diharapkan bersihan Observasi
jalan napas dan sekresi jalan napas teratasi dengan kriteria 1. Monitor adanya retensi sputum
yang tertahan d.d batuk hasil: 2. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
tidak efektif dan obstruksi Bersihan Jalan Napas (L.01001) Terapeutik
jalan napas 1. Batuk efektif ditingkatkan dari skala 3. Atur posisi semi-Fowler atau Fowler
2 (cukup memburuk) ke skala 4 4. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
cukup membaik) 5. Buang sekret pada tempat sputum
2. Produksi sputum ditingkatkan dari Edukasi
skala 2 (cukup memburuk) ke skala 6. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
4 (cukup membaik) 7. Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung
3. Dispnea ditingkatkan dari skala 2 selama 4 detik, ditahan selama 2 detik,
(cukup memburuk) ke skala 4 cukup kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir
membaik) mencucu selama 8 detik
4. Frekuensi napas ditingkatkan dari 8. Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga
skala 2 (cukup memburuk) ke skala 3 kali
4 cukup membaik) 9. Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah
5. Pola napas ditingkatkan dari skala 2 tarik napas dalam yang ke-3
(cukup memburuk) ke skala 4 cukup Kolaborasi
membaik) 10. Kolaborasikan pemberian mukolitik atau
ekspektoran

2
3. Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Terapi Oksigen (I.01026)
b.d ketidakseimbangan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan Observasi
ventilasi-perfusi d.d pertukaran gas teratasi dengan 1. Monitor kecepatan aliran oksigen
dispnea, PCO2 meningkat, Kriteria hasil: 2. Monitor aliran oksigen secara periodik dan
PO2 menurun, dan Pertukaran Gas (L.01003) pastikan fraksi yang diberikan cukup
sianosis 1. Dispnea ditingkatkan dari skala 2 3. Monitor integritas mukosa hidung akibat
(cukup meningkat) ke skala 4 (cukup pemasangan oksigen
menurun) Terapeutik
2. PCO2 ditingkatkan dari skala 2 4. Bersihkan sekret pada mulut, hidung, dan trakhea
(cukup memburuk) ke skala 4 5. Pertahankan kepatenan jalan napas
(cukup menmbaik) 6. Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
3. PO2 ditingkatkan dari skala 2 (cukup 7. Ggunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan
tingkat mobilitas pasien
memburuk) ke skala 4 (cukup
Edukasi
menmbaik)
8. Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan
4. Sianosis ditingkatkan dari skala 2 oksigen di rumah
(cukup memburuk) ke skala 4 Kolaborasi
(cukup menmbaik) 9. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
10. Kolaborasi penggunaan oksigen saat
aktivitas atau tidur

Dukungan Ventilasi (I.01002)


Observasi
1. Monitor status respirasi dan oksigrnasi (misal
frekuensi dan kedalaman napas, penggunaan otot
bantu napas, bunyi napas tambahan, saturasi
oksigen)

2
Terapeutik
2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Berikan posisi semi Fowler atau Fowler
4. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan (misal nasal
kanul, masker wajah, masker rebreathing, atau
non rebreathing)
Edukasi
5. Ajarkan melakukan relaksasi napas dalam
6. Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
Kolaborasi
7. Kolaborasi pemberian bronkodilator

4. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan tindakan perawatan Manajemen Nyeri (I.08238)
pencedera fisiologis selama 3 x 24 jam, diharapkan nyeri Observasi
(inflamasi) d.d mengeluh akut teratasi dengan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
nyeri dan pola napas Kriteria hasil: frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
berubah Tingkat Nyeri (L.08066) 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri ditingkatkan dari 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
skala 2 (cukup meningkat) ke skala 4 Terapeutik
4. Berikan teknik non farmakologis
(cukup menurun)
untuk mengurangi nyeri
2. Pola napas ditingkatkan dari skala 2 5. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(cukup memburuk) ke skala 4 Edukasi
(cukup membaik) 6. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
7. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
8. Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi nyeri

2
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu

Pemberian Analgesik (I.08243)


Observasi
1. Identifikasi riwayat alergi obat
2. Iidentifikasi kesesuaian jenis analgesik (misal
narkotika, non-narkotik, NSAID) dengan tingkat
keparahan nyeri
3. Mmonitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
4. Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
5. Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau
bolus opioid untuk mempertahankan kadar dalam
serum
6. Terapkan target efektifitas analgesik untuk
mengoptimalkan respon pasien
Edukasi
7. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi

2
5. Hipertermia b.d proses Setelah dilakukan tindakan perawatan Manajemen Hipertermia (I.15506)
penyakit (infeksi) dan selama 3 x 24 jam, diharapkan Observasi
peningkatan laju hipertermia dapat teratasi dengan 1. Identifikasi penyebab hipertermia
metabolisme d.d suhu Kriteria hasil: 2. Monitor suhu tubuh
tubuh diatas nilai normal Termoregulasi (L.14) 3. Monitor kadar elektrolit
1. Suhu tubuh ditingkatkan dari Terapeutik
skala 2 (cukup memburuk) ke 4. Sediakan lingkungan yang dingin
5. Longgarkan atau lepaskanpakaian
skala 4 (cukup membaik)
6. Berikan cairan oral
2. Pucat ditingkatkan dari skala 2
Edukasi
(cukup menurun) ke skala 4 (cukup
7. Anjurkan tirah baring
meningkat) Kolaborasi
3. Ventilasi ditingkatkan dari skala 2 8. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
(cukup memburuk) ke skala 4 intraven
(cukup membaik)

2
6. Defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan tindakan perawatan Manajemen Nutrisi (I.03119)
peningkatan kebutuhan selama 3 x 24 jam, diharapkan Observasi
metabolisme d.d nyeri kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi 1. Identifikasi status nutrisi
abdomen, bising usus dengan 2. Monitor asupan makanan
hiperaktif Kriteria hasil: 3. Monitor berat badan
Status Nutrisi (L.03030) Terapeutik
1. Berat badan ditingkatkan dari skala 4. Lakukan oral hygiene sebelum makan
5. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
2 (cukup memburuk) ke skala 4
6. Berikan suplemen makanan
(cukup membaik)
Edukasi
2. Indeks Massa Tubuh ditingkatkan
7. Anjurkan posisi duduk
dari skala 2 (cukup memburuk) ke Kolaborasi
skala 4 (cukup membaik) 8. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
3. Nyeri abdomen ditingkatkan dari 9. (misal pereda nyeri, antiemetik)
skala 2 (cukup meningkat) ke skala 4 10. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
(cukup menurun) jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan
4. Bising usus ditingkatkan dari skala 2
(cukup memburuk) ke skala 4
(cukup membaik)

2
7. Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan tindakan perawatan Manajemen Energi (I.05178)
ketidakseimbangan antara selama 3 x 24 jam, diharapkan Observasi
suplai dan kebutuhan intoleransi aktivitas dapat teratasi 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
oksigen, kelemahan d.d dengan mengakibatkan kelelahan
mengeluh lelah, dispnea Kriteria hasil: 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
setelah aktivitas, dan Toleransi Aktivitas (L.05047) 3. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
1. Keluhan lelah ditingkatkan dari melakukan aktivitas
merasa lemah
Terapeutik
skala 2 (cukup meningkat) ke skala 4
4. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif
(cukup menurun)
5. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak
2. Dispnea setelah aktivitas dapat berpindah atau jalan
ditingkatkan dari skala 2 (cukup Edukasi
meningkat) ke skala 4 (cukup 6. Anjurkan tirah baring
menurun) 7. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3. Perasaan lemah ditingkatkan dari 8. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
skala 2 (cukup meningkat) ke skala 4 kelelahan
(cukup menurun) Kolaborasi
9. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan

3
8. Gangguan pola tidur b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Dukungan Tidur (I.05174)
hambatan lingkungan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan Observasi
(nyeri dada, sesak napas) pola tidur teratasi dengan 1. Identifikasi pola aktivitas dan tidur
d.d mengeluh sulit tidur Kriteria hasil : 2. Identifikasi faktor pengganggu tidur (fisik dan
dan istirahat tidak cukup Pola Tidur (L.05045) psikologis)
1. Keluhan sulit tidur ditingkatkan Terapeutik
dari skala 2 (cukup menurun) ke 3. Modifikasi lingkungan (mis. Pencahayaan,
skala 4 (cukup meningkat) kebisingan, suhu, matras, dan tempat tidur)
2. Keluhan istirahat tidak cukup 4. Fasilitasi menghilangkan stres sebelum tidur
ditingkatkan dari skala 2 (cukup 5. Lakukan prosedur untuk meningkatkan
menurun) ke skala 4 (cukup kenyamanan (misal pijat, pengaturan posisi,
meningkat) terapi akupressur)
Edukasi
6. Jelaskan pentingnya tidur cukup
7. Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap gangguan pola tidur
8. Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara non
farmakologi lainnya

3
9. Risiko infeksi d.d efek Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan Infeksi (I.14539)
prosedur invasif selama 3 x 24 jam diharapkan resiko Observasi
infeksi pada anak brkurang dengan 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
Kriteria hasil : sistemik
Tingkat Infeksi (L.14137) Terapeutik
1. Kemerahan ditingkatkan dari skala 2 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
(cukup meningkat) ke skala 4 (cukup pasien dan lingkungan pasien
menurun) 3. Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko
2. Bengkak ditingkatkan dari skala 2 tinggi
(cukup meningkat) ke skala 4 (cukup Edukasi
menurun) 4. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
3. Drainase purulen ditingkatkan dari 5. Ajarkan mencuci tangan dengan benar
skala 2 (cukup meningkat) ke skala 4 6. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
(cukup menurun) Perawatan Luka (I.14564)
Observasi
1. Monitor karakteristik luka (misal. drainase,
warna, ukuran, bau)
Terapeutik
2. Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih
nontoksik Pasang balutan sesuai jenis luka
Edukasi
3. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
4. Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi
5. Kolaborasi prosedur debridement
6. Kolaborasi pemberian antibiotik

3
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan fase akhir dalam proses keperawatan.
Evaluasi dapat berupa evaluasi struktur, proses dan hasil. Evaluasi terdiri dari
evaluasi formatif yaitu menghasilkan umpan balik selama program berlangsung.
Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan
informasi efektivitas pengambilan keputusan.
Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP
(subjektif, objektif, assesment, planing). Adapun komponen SOAP yaitu S
(Subjektif) dimana perawat menemui keluhan pasien yang masih dirasakan
setelah diakukan tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah data yang
berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat secara langsung pada pasien
dan yang dirasakan pasien setelah tindakan keperawatan, A (Assesment) adalah
interprestsi dari data subjektif dan objektif, P (Planing) adalah perencanaan
keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau ditambah dari
rencana tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya.
Hal yang dievaluasi adalah keakuratan dan kualitas data, teratasi atau
tidaknya masalah pasien, serta pencapaian tujuan dan kriteria hasil yang telah
dibuat dalam intervensi keperawatan serta ketepatan ntervensi keperawatan.

6. Discharge Planning
Discharge planning merupakan proses interaksi antara perawat professional,
pasien dan keluarga berkolaborasi untuk memberikan dan mengatur kontinuitas
keperawatan yang diperlukan oleh pasien saat perencanaan harus berpusat pada
masalah pasien yaitu pencegahan, terapeutik, rehabilitatif, serta keperawatan rutin
yang sebenarnya (Nursalam, 2015).
Discharge planning pada pasien efusi pleura:
1. Perawat harus memberikan informasi kepada pasien tentang hal-hal yang
penting secara verbal atau tertulis, sebagai berikut:
2. Tanda dan gejala yang perlu diperhatikan seperti: kesulitan bernafas, nyeri
dada, peningkatan suhu, atau batuk menetap
3. Dosis pengobatan, jadwal, petunjuk, efek samping, pengobatan
4. Perlunya motivasi serta keterlibatan keluarga dalam pemenuhan ADL pasien

3
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M and Jane H. H. 2014. Medical Surgical Nursing: Clinical


Management for Positive Outcomes. 8 th edition. Singapore: Elsevier.

Hariadi, S. Winariani. Wibisono, MJ. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.

Karkhanis, Vinaya S and Jyotsna M Joshi. 2012. Pleural Effusion: Diagnosis,


Treatment, and Management. Open Access Emergency Medicine.4:31- 52.

Khairani, R., E. Syahrudin, dan L. G. Partakusuma. 2012. Karakteristik Efusi


Pleura di Rumah Sakit Persahabatan. Jurnal Respir Indo. 32(3): 155-160.

Muttaqin, A. 2019. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.

Morton, G. 2012. Kapita Selekta Kedokteran jilid 1 dan 2. Jakarta: Media


Aesculapius.

Nursalam. 2015. Manajemen Keperawatan, Aplikasi dalam Praktik Keperawatan


Profesional. Jakarta: Salemba Medika.

Puspita, I., T, U. Soleha, dan G, Berta. 2017. Penyebab Efusi Pleura di Kota
Metro Pada Tahun 2015. Jurnal Agromed Unila. 4(1): 25-32.

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

3
Ross and Wilson. 2014. Anatomy and Physiology in Health and Illness. 12th
edition. Singapore: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai