Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PENDAHULUAN

EFUSI PLEURA

HALAMAN S AMPUL DEPAN

OLEH :
LEVITO MAITALE
NIM : 1490122107

Institute Kesehatan Imanuel Bandung


2022
ii
CI Pembimbing Akademik

Yayang Harigustian,S.Kep.,Ns.M.Kep Venny Diana,S.Kep.,Ns.M.Kep


NIK : 1141 11 160 NIK : 1141 11 159

1
2
3

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 4
C. Tujuan Studi Kasus..................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori............................................................................ 7
1. Konsep Efusi Pleura/pengertian........................................... 7
2. Anatomi fisiologi Efusi Pleura............................................ 9
3. Etiologi ............................................................................... 9
4. Patofisiologi ......................................................................... 12
5. Pemeriksaan Diagnostik....................................................... 14
6. Penatalaksanaan.................................................................... 14
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian

Efusi Pleura merupakan suatu keadaan dimana terjadi akumulasi

cairan pleura yang abnormal dalam rongga pleura akibat transudasi atau

eksudasi yang berlebihan (Medical Science, Nusantara Medical Science

Jurnal, 2018). Effusi pleura merupakan akumulasi cairan pleura yang

tidak semestinya yang disebabkan oleh pembentukan cairan pleura lebih

cepat dari proses absorbsinya. Sebagian besar effusi pleura terjadi karena

meningkatnya pembentukan cairan pleura dan penurunan kecepatan

absorpsi cairan pleura tersebut. Pada pasien dengan daya absorpsi

normal, pembentukan cairan pleura harus meningkat 30 kali lipat secara

terus menerus agar mampu menimbulkan suatu effusi pleura. Di sisi lain,

penurunan daya absorpsi cairan pleura saja tidak akan menghasilkan

penumpukan cairan yang signifikan dalam rongga pleura mengingat

tingkat normal pembentukan cairan pleura sangat lambat. (Lee YCG,

2013). Menurut WHO (2018), Efusi Pleura merupakan suatu gejala

penyakit yang dapat mengancam jiwa penderitanya. Pada kasus Efusi

Pleura jika cairan di dalam rongga pleura tidak segera ditangani akan

mengganggu pertukaran karbondioksida dan oksigen di dalam paru

sehingga terjadi asidosis dan mengakibatkan gagal nafas (Bararah &

Jauhar, 2016). Kegawatan pada Efusi Pleura ditentukan oleh jumlah


5

cairan, kecepatan pembentukan cairan dan tingkat penekanan paru. Jika

Efusi luas, ekspansi paru akan terganggu dan pasien akan mengalami

sesak, nyeri dada, bahkan akan terjadi kolaps paru dan akibatnya akan

terjadilah gagal napas (Putri, 2016).


BAB II

B. Anatomi Fisiologi Pleura

Gambar 2.1 Rongga Pleura


Sumber : Soemantri (2012)
Pleura merupakan lapisan pembungkus paru. Di mana antara pleura

yang membungkus pulmo dekstra dan sinistra dipisahkan oleh adanya

mediastinum. Pleura dari interna ke eksterna terbagi atas 2 bagian :

1) Pleura Viscelaris/Pulmonis yaitu pleura yang langsung melekat pada

permukaan pulmo.

2) Pleura Parietalis yaitu bagian pleura yang berbatasan dengan dinding

thoraks.

60
61

Kedua lapisan pleura ini saling berhubungan pada hilus pulmonis

sebagai ligamen Pulmonal (pleura penghubung).Di antara kedua lapisan

pleura ini terdapat sebuah rongga yang disebut dengan cairan pleura.

Dimana di dalam cairan pleura ini terdapat sedikit cairan pleura yang

berfungsi agar tidak terjadi gesekan antara pleura ketika proses

pernapasan. (Wijaya & Putri, 2015).

Paru-paru terbagi menjadi dua yaitu paru kanan yang terdiri tiga

lobus terdiri dari bagian atas, tengah dan bawah sedangkan paru-paru kiri

terdiri dari 2 lobus yaitu lobus atas dan bawah. Bagian atas puncak paru

disebut apeks yang menjorok ke atas arah leher pada bagian bawah

disebut basal. Paru-paru dilapisi oleh selaput pleura. Dari segi

anatomisnya, permukaan rongga pleura berbatasan dengan paru sehingga

cairan pleura mudah bergerak dari satu rongga ke rongga yang lainnya.

Dalam keadaan normal seharusnya tidak ada rongga kosong diantara

kedua pleura, karena biasanya sekitar 10-20 cc cairan yang merupakan

lapisan tipis serosa yang selalu bergerak secara teratur. Setiap saat,

jumlah cairan dalam rongga pleura bisa menjadi lebih dari cukup untuk

memisahkan kedua pleura. Jika terjadi, maka kelebihan tersebut akan

dipompa keluar oleh pembuluh limfatik dari rongga pleura ke

mediastinum. Permukaan superior diafragma dan permukaan lateral

pleura parietalis, memerlukanadanya keseimbangan antara produksi

cairan pleura oleh pleura parietalis dan absorbs oleh cairan viseralis. Oleh

karena itu, rongga pleura disebut sebagai ruang potensial, karena ruang
62

ini normalnya begitu sempit, sehingga bukan merupakan ruang fisik yang

jelas (Muttaqin, 2012).

C. Etiologi

Menurut Saferi Andra, (2016) Kelebihan cairan pada rongga pleura

sedikitnya disebabkan oleh satu dari 4 mekanisme dasar :

1) Adanya inflamasi atau neoplastik pleura

2) Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik

3) Penurunan tekanan osmotik koloid darah

4) Peningkatan tekanan negatif intrapleural


63

Penyebab effusi pleura:

1) Virus dan mikoplasma

Insidennya agak jarang bila terjadi jumlahnya tidak banyak.Contoh :

Echo virus, riketsia, mikoplasma, Chlamydia.

2) Bakteri piogenik

Bakteri berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara

hematogen. Contoh aerob : strepkokus pneumonia, S.mileri,S.aureus,

hemopillus,klabssiella. Anaerob: bakteroides seperti

peptostreptococcus, fusobacterium.

3) TB

Terjadi karena komplikasi TB paru melalui fokus subpleura yang

robek atau melalui aliran limfe, atau karena robeknya perkijuan

kearah saluran limfe yang menuju pleura.

4) Fungi

Sangat jarang terjadi, biasanya karena perjalanan infeksi fungi dari

jaringan paru. Contoh: aktinomiksis, koksidiomikosis. Asergilus,

Kriptokokus, Histoplasma.

5) Parasit

Parasit yang dapat menginfeksi ke pleura hanya amoeba.Amoeba

masuk dalam bentuk tropozoid setelah melewati perenkim hati

menembus diafragma terus ke rongga pleura. Effusi terjadi karena

amoeba menimbulkan peradangan.


64

6) Kelainan intra abdominal

Contoh : pancreatitis, pseudokista pancreas atau eksaserbasi akut,

pancreatitis kronis, abses ginjal.

7) Penyakit kolagen

Contoh : lupus eritematosus sistemik (SLE), arthritis rematoid(RA),

sclerpderma.

8) Gangguan Sirkulasi

Contoh : gangguan Cerebralvaskular (payah jantung), emboli

pulmonal, hypoalbuminemia.

9) Neoplasma

Gejala paling khas adalah jumlah cairan effusi sangat banyak dan

selalu berakumulasi kembali dengan cepat.

10) Sebab-sebab lain. Seperti: trauma (trauma tumpul, laserasi, luka

tusuk), uremia, miksedoma, limfedema, reaksi dipersensitif terhadap

obat.

D. Patofisiologis

Pleura parietalis dan viseralis letaknya berhadapan satusama lain dan

hanya dipisahkan oleh selaput tipis cairan serosa, lapisan cairan ini

memperlihatkan adanya keseimbangan antara transudasi dari kapiler-

kapiler pleura dan reabsorbsi oleh vena visceral dan parietal, dan saluran

getah bening. Karena effusi pleura adalah penumpukan cairan yang

berlebih di dalam rongga pleura yaitu di dalam rongga pleura viseralis


65

dan parientalis, menyebabkan tekanan pleura meningkat maka masalah

itu akan menyebabkan penurunan ekspansi paru sehingga klien akan

berusaha untuk bernapas dengan cepat (takipnea) agar oksigen yang

diperoleh menjadi maksimal dari penjelasan masalah itu maka dapat

disimpulkan bahwa klien dapat terganggu dalam pola bernapasnya,

(Somantri,2015).

Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura

parietalis dan pleura viceralis, karena di antara pleura tersebut terdapat

cairan antara 10 cc - 20 cc yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu

bergerak teratur. Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara

kedua pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain. Di

ketahui bahwa cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di

absorbsi tersebut dapat terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada

pleura parietalis dan tekanan osmotic koloid pada pleura viceralis. Cairan

kebanyakan diabsorbsi oleh system limfatik dan hanya sebagian kecil

diabsorbsi oleh system kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan

penyerapan cairan yang pada pleura viscelaris adalah terdapatnya banyak

mikrovili disekitar sel-sel mesofelial. Jumlah cairan dalam rongga pleura

tetap karena adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi.

Keadaan ini bisa terjadi karena adanya tekanan hidrostatik dan tekanan

osmotic koloid. Keseimbangan tersebut dapat terganggu oleh beberapa

hal, salah satunya adalah infeksi tuberkulosa paru.


66

Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil Mikobakterium

tuberkulosa masuk melalui saluran nafas menuju alveoli, terjadilah

infeksi primer. Dari infeksi primer ini akan timbul peradangan saluran

getah bening menuju hilus (Limfangitis local) dan juga diikuti dengan

pembesaran kelenjar getah bening hilus (limphadinitis regional).

Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permebilitas

membran. Permebilitas membran akan meningkat yang akhirnya dapat

menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan

terjadinya efusi pleura akibat dari tuberkulosa paru melalui focus

subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat

juga dari robekkan kearah saluran getah bening yang menuju rongga

pleura, iga atau columna vetebralis. Adapun bentuk cairan efusi akibat

tuberkolusa paru adalah merupakan eksudat, yaitu berisi protein yang

terdapat pada cairan pleura tersebut karena kegagalan aliran protein getah

bening. Cairan ini biasanya serous, kadang-kadang bisa juga hemarogik.

Dalam setiap ml cairan pleura bias mengandung leukosit antara 500-

2000. Mula-mula yang dominan adalah sel-sel polimorfonuklear, tapi

kemudian sel limfosit, Cairan efusi sangat sedikit mengandung kuman

tubukolusa. Timbulnya cairan efusi bukanlah karena adanya bakteri

tubukolosis, tapi karena akibat adanya efusi pleura dapat menimbulkan

beberapa perubahan fisik antara lain: Irama pernapasan tidak teratur,

frekuensi pernapasan meningkat, pergerakan dada asimetris, dada yang

lebih cembung, fremitus raba melemah, perkusi redup. Selain hal - hal
67

diatas ada perubahan lain yang ditimbulkan oleh efusi pleura yang

diakibatkan infeksi tuberkolosa paru yaitu peningkatan suhu, batuk dan

berat badan menurun (Nair & Peate, 2015).


68

Phatway
69
70

E. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Wuryanto, (2016) pemeriksaan Diagnostik pada Efusi Pleura :

1) Pemeriksaan radiologik (rontgen dada).

Pada foto toraks postero anterior posis tegak maka akan di jumpai

gambaran sudut kostofenikus yang tumpul baik dilihat dari depan

maupun dari samping. Dengan jumlah yang besar, cairan yang

mengalir bebas akan menampakkan gambaran mniscuss sign dari foto

toraks postero anterior.

2) Ultrasonorgafi dada.

USG toraks dapat mengintifikasi efusi yang terlokalisir, membedakan

cairan dari pelebaran pleura dan dapat membedakan lesi paru antara

yang padat dan yang cair.

3) Torakosentesisi/ pungsi pleura.

Efusi pleura di katakan ganas jika pada pemeriksaan sitologi cairan

pleura di temukan sel-sel keganasan.

4) Biopsi pleura.

Biopsi jarum Abram hanya bermakna jika di lakukan didaerah

dengan tingkat kejadian tuberkolosis yang tinggi. Walaupun

torakoskopi dan biopsi jarum dengan tuntunan CT scan dapat di

laukan untuk hasil diagnostik yang lebih akurat.

5) Bronkoskopi, pemeriksaan untuk melihat jalan nafas secara langsung

untuk membantu menemukan penyebab efusi pleura.


71

6) Torakotomi, biasanya dilakukan untuk membantu menemukan

penyebab efusi pleura, yaitu dengan pembedahan untuk membuka

rongga dada. Namun, pada sekitar 20% penderita, meskipun telah

dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap

tidak dapat ditentukan.

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada efusi pleura yaitu: (Nurarif et al, 2015)

a. Tirah baring

Tirah baring bertujuan untuk menurunkan kebutuhan

oksigen karena peningkatan aktifitas akan meningkatkan

kebutuhan oksigen sehingga dispneu akan semakin meningkat

pula.

b. Thoraksentesis

Drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala

subjektif seperti nyeri,dispneu, dan lain lain. Cairan efusi

sebanyak 1 - 1,5 liter perlu dikeluarkan untuk mencegah

meningkatnya edema paru. Jika jumlah cairan efusi pleura lebih

banyak maka pengeluaran cairan berikutnya baru dapat

dikalkukan 1 jam kemudian.

c. Antibiotic

Pemberian antibiotik dilakukan apabila terbukti terdapat adanya

infeksi. Antibiotik diberi sesuai hasil kultur kuman.


72

d. Pleurodesis

Pada efusi karena keganasan dan efusi rekuren lain, diberi

obat melalui selang interkostalis untuk melekatkan kedua lapisan

pleura dan mencegah cairan terakumulasi kembali.

e. Water seal drainage (WSD)

Water seal drainage (WSD) adalah suatu system drainase

yang menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau

cairan dari cavum pleura atau rongga pleura.

G. Gambaran Umum Asuhan Keperawatan Pada Pasien Efusi Pleura

1. Pengkajian

a. Identitas Pasien

Pada tahap ini meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat

rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang

dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.

b. Keluhan Utama

Biasanya pada pasien dengan efusi pleura didapatkan

keluhan berupa : sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik

akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama

pada saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.


73

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya

tanda -tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat

pada dada, berat badan menurun dan sebagainya.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit

seperti TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan

sebagainya.Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan

adanya faktor predisposisi.

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang

menderita penyakitpenyakit yang disinyalir sebagai penyebab

effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya.

f. Riwayat Psikososial

Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya,

bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien

terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.

g. Pengkajian Pola Fungsi

1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

2) Adanya tindakan medis danperawatan di rumah sakit

mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi


74

kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap

pemeliharaan

kesehatan.

3) Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum

alcohol dan penggunaan obat-obatan bias menjadi faktor

predisposisi timbulnya penyakit.

4) Pola nutrisi dan metabolisme

5) Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu

melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk

mengetahui status nutrisi pasien.

6) Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan

selama MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami

penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan

penekanan pada struktur abdomen.

7) Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit.

pasien dengan effusi pleura keadaan umumnyalemah.

a. Pola eliminasi

Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan

mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah MRS. Karena

keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak

bedrest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat

pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan

peristaltik otot-otot tractus digestivus.


75

b. Pola aktivitas dan latihan

1) Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang

terpenuhi.

2) Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas

minimal.

3) Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya

akibat adanya nyeri dada.

4) Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan

pasien dibantu oleh perawat dan keluarganya.

c. Pola tidur dan istirahat

1) Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh

akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan

istirahat.

2) Selain itu, akibat perubahan kondisi lingkungan dari

lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit,

dimana banyak orang yang mondar - mandir, berisik dan lain

sebagainya.

d. Pemeriksaan Fisik

1) Status Kesehatan Umum

Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana

penampilan pasien secara umum, ekspresi wajah pasien

selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien


76

terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui

tingkat kecemasan dan ketegangan pasien.

2) Sistem Respirasi

Inspeksi pada pasien efusi pleura bentuk hemithorax

yang sakit mencembung, iga mendatar, ruang antar iga

melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan

mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui

dari posisi trakhea dan ictus kordis. Pernapasan cenderung

meningkat dan pasien biasanya dyspneu.

a) Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang

jumlah cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga

ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada

yang sakit.

b) Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah

cairannya. Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura,

maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung

dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi

duduk. Garis ini disebut garis EllisDamoisseaux. Garis ini

paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.

c) Auskultasi suara nafas menurun sampai menghilang. Pada

posisi duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya

ada kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja

akan ditemukan tanda tanda auskultasi dari atelektasis

kompresi di sekitar batas atas cairan.


77

1) Sistem Cardiovasculer

a) Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal

berada pada ICS-5 pada linea medio klavikula kiri selebar

1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada

tidaknya pembesaran jantung.

b) Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate)

harus diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut

jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran

ictuscordis.

c) Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah

jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk

menentukan adakah pembesaran jantung atau ventrikel

kiri.

d) Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II

tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang

merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur

yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi

darah.

2) Sistem Pencernaan

a) Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen

membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak,

umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di

inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.


78

b) Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus

dimana nilai normalnya 5-35 kali per menit.

c) Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan

abdomen, adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut

untuk mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar

teraba.

d) Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat

atau cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites,

vesikaurinarta, tumor).

e) Sistem Neurologis

Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji

Disamping itu juga diperlukan pemeriksaan GCS, apakah

composmentis atau somnolen atau comma. Pemeriksaan

refleks patologis dan

refleks fisiologisnya.Selain itu fungsi-fungsi

sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran,

penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.

f) Sistem Muskuloskeletal

Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema

peritibial.Selain itu, palpasi pada kedua ekstremetas untuk

mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan

pemerikasaan capillary refiltime. Dengan inspeksi dan


79

palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot kemudian

dibandingkan antara kiri dan kanan.

g) Sistem Integumen

Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene,

warna ada tidaknya lesi pada kulit, pada pasien dengan

efusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya

kegagalan sistem transport oksigen. Pada palpasi perlu

diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat,

demam). Kemudian tekstur kulit (halus-lunakkasar) serta

turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang,

2. Analisa data

Dalam pengkajian keperawatan terdapat jenis data yang dapat diperoleh,

yaitu:

1) Data Subjektif

Data subjektif diperoleh dari hasil pengkajian terhadap pasien dengan

teknik wawancara, keluarga, konsultan, dan tenaga kesehatan lainnya

serta riwayat keperawatan. Data ini berupa keluhan atau persepsi

subjektif pasien terhadap status kesehatannya.

2) Data Objektif

Informasi data objektif diperoleh dari hasil observasi, pemeriksaan

fisik, hasil pemeriksaan penunjang dan hasil laboratorium. Fokus dari

pengkajian data objektif berupa status kesehatan, pola koping, fungsi

status respons pasien terhadap terapi, risiko untuk masalah potensial,


80

dukungan terhadap pasien. Karakteristik data yang diperoleh dari hasil

pengkajian seharusnya memiliki karakteristik yang lengkap, akurat,

nyata dan relevan. Data yang lengkap mampu mengidentifikasi semua

masalah keperawatan pada pasien.

Untuk memperoleh data pada tahap pengkajian metode yang dapat

digunakan perawat adalah:

1) Komunikasi Efektif

Komunikasi dalam pengkajian keperawatan lebih dikenal dengan

komunikasi terapeutik yang merupakan upaya mengajak pasien dan

keluarga untuk bertukar pikiran dan perasaan. Untuk dapat

memperoleh data yang akurat perawat perlu menjadi pendengar aktif

terhadap keluhan pasien, adapun unsur yang menjadi pendengar yang

aktif adalah dengan mengurangi hambatan dalam berkomunikasi,

memperhatikan keluhan yang disampaikan oleh pasien dan

menghubungkannya dengan keluhan yang dialami oleh pasien,

mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang dikeluhkan pasien,

memberikan kesempatan pasien untuk menyelesaikan pembicaraannya,

bersikap empati dan hindari untuk interupsi, berikan perhatian penuh

pada saat berbicara dengan pasien. Data yang lengkap memerlukan

upaya pengkajian yang fokus dan lebih komprehensif. Beberapa

persyaratan yang harus dipenuhi agar data yang diperoleh menjadi data

yang baik adalah menjaga kerahasiaan pasien, memperkenalkan diri,


81

menjelaskan tujuan wawancara, pertahankan kontak mata serta

mengusahakan agar saat pengkajian tidak tergesa-gesa.

2) Observasi

Observasi merupakan tahap kedua dari pengumpulan data. Pada

pengumpulan data ini perawat mengamati perilaku dan melakukan

observasi perkembangan kondisi kesehatan pasien. Kegiatan observasi

meliputi sight, smell, hearing, feeling, dan taste. Kegiatan tersebut

mencakup aspek fisik, mental, sosial dan spiritual.

3) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan dengan wawancara, yang

menjadi fokus perawat pada pemeriksaan ini adalah kemampuan

fungsional pasien. Tujuan dari pemeriksaan fisik ini adalah untuk

menentukan status kesehatan pasien, mengidentifikasi masalah

kesehatan dan mengambil data dasar untuk menentukan rencana

tindakan perawatan

3. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai

seseorang, keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah

kesehatan atau proses kehidupan yang aktual ataupun potensial.

Diagnosa keperawatan merupakan dasar dalam penyusunan rencana

tindakan asuhan keperawatan (Dinarti & Mulyanti, 2017).

Adapun dignosa yang diangkat dari masalah sebelum

dilakukan tindakan infasif adalah:


82

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambata upaya nafas

(kelemahan otot nafas) (D.0005)

b. Nyeri akut berhubungan denganagen pencedera fisiologis

(inflamasi, iskemia, neoplasma) (D.0077)

c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidak seimbangan

antara suplai dan kebutuhan oksigen (D.0056)

d. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)

e. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan

(D.0019)

f. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar

informasi (D.0111) (PPNI, 2017).

Adapun dignosa yang diangkat dari masalah setelah dilakukan

tindakan infasif adalah:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur

operasi) (D.0077)

b. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (D.0142)

(PPNI, 2017)

4. Perencanaan Dan Intervensi Keperawatan

Intervensi yang dapat dilaksanakan oleh perawat berdasarkan

standard intervensi keperawatan Indonesia (SIKI) :

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambata upaya nafas.

(D.0005)
83

1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan

pola nafas membaik.

2) Kriteria hasil

a) Dyspnea menurun

b) Penggunaan otot bantu nafas menurun

c) Pemanjangan fase ekspirasi menurun

d) Otopnea menurun

e) Pernapasan pursed-lip menurun

f) Frekuensi nafas membaik

3) Intervensi

Observasi

a) Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)

b) Monitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi,

wheezing , ronchi kering)

Terapeutik

a) Pertahankan kepatenan jalan nafas head-tilt dan chin-lift

(jawthrust jika curiga trauma sevikal)

b) Posisikan semi-fowler atau fowler

c) Berikan oksigen jika perlu

Edukasi

a) Ajarkan teknik batuk efektif


84

Kolaborasi

a) Kolaborasi pemberian bronkodilator,ekspektoran, mukolitik,

jika perlu.

b. Nyeri akut berhubungan denganagen pencedera fisiologis

( inflamasi, iskemia, neoplasma) (D.0077)

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan

nyeri menurun

2) Kriteria hasil :

a) Keluhan nyeri menurun

b) Melaporkan nyeri terkontrol meningkat

c) Meringis menurun

d) Penggunaan analgetik menurun

e) Tekanan darah membaik

3) Intervensi

Observasi

a) Identifikasi skala nyeri

b) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,

intensitas nyeri.

Terapeutik

a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa

nyeri

b) Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemiihan

strategi meredakan nyeri


85

Edukasi

a) Anjurkan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa

nyeri

Kolaborasi

a) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

c. Intoleransi aktifitas (D.0056)

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawaan diharapkan

akitifitas pasien meingkat

2) Kriteria hasil

a) Kemudahan melakukan aktifitas

b) Dyspnea saat beraktifitas menurun

c) Dspnea setelah beraktifitas menurun

d) Perasaan lemah menurun

e) Tekanan darah membaik

f) Frekueni nadi membaik

3). Intervensi

Observasi

a) Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan

kelelahan

b) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan

aktifitas
86

Terapeutik

a) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis.

Cahaya, suara, kunjungan)

Edukasi

a) Anjurkan tirah baring

b) Melakukan aktvitas secara bertahap

d. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharpkan

suhu kembali membaik

2) Kriteria hasil :

a) Mengigil menurun

b) Kulit merah menurun

c) Takikardia menurun

d) Takipnea menurun

e) Tekanan darah membaik

f) Suhu tubuh membaik

3) Intervensi

Observasi

a) Identifikasi penyebab hipertermia (mis.dehidrasi, terpapar

lingkungan panas, penggunaan incubator)

b) Monitor suhu tubuh

c) Monitor komplikasi akibat hipertermia

Terapeuik
87

a) Sediakan lingkungan yang dingin(atur suhu ruangan)

b) Longgarkan atau lepas pakaian

c) Berikan cairan oral

Edukasi

a) Anjurkan tirah baring

e. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan

(D.0019)

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan status nutrisi

membaik

2) Kriteria hasil

a) Porsi makanan yang dihabiskan meningkat

b) Berat bada membaik

c) Nafsu makan membaik

d) Indeks masa tubuh (IMT) membaik

e) Frekuensi makan membaik

3) Intervensi

Observasi

a) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan

b) Monitor asupan makanan

c) Identifikasi perubahan berat badan

d) Monitor berat badan


88

e) Timbang berat badan

Terapeutik

a) Berikan makanan tinggi kalori dan protein

Kolaborasi

a) Kolaborasi dengan ahl gizi tentang cara meningkatkan asupan

makanan

f. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar

informasi (D.0111)

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan

pengetahuan meningkat

2) Kriteria hasil

a) Perilaku sesuai anjuran menigkat

b) Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topic

mengingkat

c) Pertanyaan tentang masalah dihadapi menurun

d) Persepsi keliru terhadap masalah menurun

3) Intervensi

Observasi

a) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi.

terapeutik

a) Sediakan materi dan media pendidikn kesehatan

b) Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan


89

c) Berikan kesempatan untuk bertanya

d) Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan

Adapun intervensi dari diagnosa setelah dilakukan tindakan invasif tersebut


adalah:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)

(D.0077)

a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan

diharapkan nyeri menurun

b. Kriteria hasil :

1) keluhan nyeri menurun

2) kemampuan menuntaskan aktifitas meningkat

3) gelisah menurun

4) frekuensi nadi membaik

5) tekanan darah membaik

c. Intervensi

Observasi

1) Identifikasi respon nyeri non verbal

2) Identifikasi skala nyeri

3) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi , frekuensi,

kualitas, intensitas nyeri

Terapeutik

1) Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan

strategi meredakan nyeri


90

Edukasi

1) Anjurkan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi

rasa nyeri

Kolaborasi

1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2. Risiko infeksi berhubungan dengan efek tindakan invasif. (D.0142)

a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan

diharapkan resiko infeksi menurun

b. Kriteria hasil :

1) Demam menurun

2) Kebersihan badan meningkat

3) Bengkak menurun

4) Kemerahan menurun

5) Kultur sputum membaik\kultur area luka membaik

c. Intervensi

Observasi

1) Monitor tanda dan gejala infeksi dan sistemik Terapeutik

2). Batasi jumlah pengunjung

3). Berikan perawatan kulit pada area edema

4). Cuci tangan sesudah atau sebelum kontak dengan pasien

5). Pertahankan tekhnik aseptic

Edukasi

1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi


91

2) Ajarkan mencuci tangan dengan benar

Kolaborasi

1) Kolaborasi pemberian antibiotic, jika perlu

5. Evaluasi

Fase terakhir proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan

keperawatan yang diberikan. Hal yang dievaluasi adalah keakuratan dan

kualitas data, teratasi atau tidaknya maslah pasien, serta pencapaian

tujuan serta ketepatan ntervensi keperawatan.

Tujuan evaluasi adalah untuk memberikan umpan balik rencanaa

keperawatan, menilai dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan

melalui perbandingan pelayanan keperawatan mutu pelayanan

keperawatan yang diberikan serta hasilnya dengan standar yang telah

ditentukan terebih dahulu.


DAFTAR PUSTAKA

Agustina,R. (2015). Asuhan Keperawatan Pada Pasein Ny Y Dengan Efusi


Pleura Di Ruang Dahlia 4 IRNA 1 RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Prodi
DIII Keperawatan, Akper YKY Yogyakarta.

Andini,D. (2017). Asuhan keperawatan pada klien cerebro vaskuler accident atau
stroke dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas di ruang HCU RSUD
Bangil Pasuruan. STIKES Insan Cendekia Medika Jombang. Diakses pada 4
juni 2020.

Ayu Dyah.,& Zulaica Endang. (2019). Asuhan Keperawatan Pasien Efusi Pleura
Dalam Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi. Stikes Kusuma Husada
Surakarta. Diakses pada 15 april 2020.

Desyarti, N. (2018) Analisa Tindakan Posisi Semi Fowler Dengan Masalah


Keperawatan Ketidakefektifan Pola Nafas Pada Pasien Efusi Pleura Di
Ruang Igd Rumah Sakit Prof. Dr.Margono Soekarjo Purwokerto. Program
Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong.

Dinkes Jawa Tengah. (2017). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2017.
Semarang: Dinkes Provinsi Jawa Tengah.

Herdman,T. H. (2015-2017). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi.


Jakarta: EGC.

Medical Science Journal. Identification Of Micobacterium Tuberculosis By


Polimarase Chain Reaction (PCR) Terst and Its Relationship to MGG
Staining Of Pleural Fluid in Patient With Suspected Tuberculosis Pleural
Effusion. Nusantara Medical Science. 2018 : 21

Nurarif, Amin Huda Dan Hardhi Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis Dan Nanda Nic-Noc. Edisi Revisi Jilid 1.
Jogjakarta :MediAction.

Nursalam. (2015). Manajemen Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Putri, Nanik S. (2016). Analisis Asuhan Keperawatan Pada Ny. S Dengan


Masalah Ketidakefektifan Pola Nafas Pada Gangguan Sistem Pernafasan
Efusi Pleura Dextra Dengan Post Pemasangan Wsd Di Ruang
BougenvilleRsud Prof. Dr. MargonoPurwokerto. SekolahTinggi Ilmu
Kesehatan Muhammadiyah Gombong.

SDKI, DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : definisi


dan indicator disgnostik. Jakarta: DPPPPNI.

63
64

SIKI, DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta:


DPPPPNI.

SLKI, DPP PPNI. (2018) Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta :DPPPPNI

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung :


Alfabeta

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kuantitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

WHO.(2017). Chronic obstructive pulmonary disease (COPD), (online).


Avaitable : http://www.who.int.mediacenter/factsheets/fs315/en/ Diakses
Pada Tanggal 10 Februari 2020.

Wuryantoro. (2016). Kerangka Konsep Efusi Pleura. Universitas Sumatra :


Sumatra.

Yunita. (2018). Perbedaan kecepatan pengembangan paru sebelum dan sesudah


latihan pernafasan diafragma dalam upaya mempercepat pelepasan water
seal drainage (WSD). Jurnal Keperawatan Indonesia.

Ayni (2019). Karya Tulis Ilmiah Efusi Pleura. http://repo.stikesicme-


jbg.ac.id/2528/. Diakses tanggal 23 april 2020.

Dinarti & Mulyanti, Y. (2017). Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.

NANDA-I, 2010. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011.


Jakarta: Buku kedokteran EGC

NANDA International. (2012). Nursing diagnoses: definitions and classifications


2013-2014. USA: Wiley-Blackwell.

PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta


Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai