Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH FLEBOTOMI

CAIRAN PLEURA

Dosen :
1. Mellysa Rahmita, S.ST, M.Si
2. Shufiyani, S.ST
3. M. Reza TP, S.ST
4. Budi Siswanto, S.Kep, M.Sc

Disusun Oleh :
1. Ajeng Andriani
2. Chikal Putri Rajabi
3. Dini Restu Fauziah
4. Oktin Jurdil Zebua
5. Santi Agusti

TLM – 1 B

TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


POLTEKKES KEMENKES BANTEN
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Cairan Pleura ”.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Flebotomi
Penyusunan makalah ini tentu tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak baik berupa dukungan moril maupun materil. Sehingga makalah
ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, kami mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna sehingga
penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif guna
menyempurnakan penulisan karya tulis ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan para
pembaca pada umumnya.

Tangerang, 1 April 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 2
BAB II DASAR TEORI .................................................................................. 3
2.1 Definisi ....................................................................................................... 3
2.2 Etiologi ....................................................................................................... 4
2.3 Patogenesis ................................................................................................. 7
2.4 Gambaran Klinik ........................................................................................ 10
2.5 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang ........................................ 11
2.6 Analisa Cairan Pleura ................................................................................. 15
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 22
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut WHO (2008), Efusi Pleura merupakan suatu gejala penyakit yang
dapat mengancam jiwa penderitanya. Secara geografis penyakit ini terdapat di
seluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. Di negara-negara industri, diperkirakan
terdapat 320 kasus efusi pleura per 100.000 orang. Amerika serikat
melaporkan 1,3 juta orang setiap tahunnya menderita efusi pleura terutama
disebabkan oleh gagal jantung kongestif dan pneumonia bakteri.
Menurut Depkes RI (2006), kasus Efusi Pleura mencapai 2,7% dari
penyakit infeksi saluran napas lainya. Tingginya angka kejadian Efusi Pleura
disebabkan keterlambatan penderita akibat Efusi Pleura masih sering
ditemukan faktor resiko terjadinya efusi pleura karena lingkungan yang tidak
bersih, sanitasi yang kurang, lingkungan yang padat penduduk, kondisi sosial
ekonomi yang menurun, serta sarana dan prasarana kesehatan yang kurang dan
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan.
Paru-paru adalah bagian dari sistem pernapasan yang sangat penting,
gangguan pada organ ini seperti adanya efusi pleura dapat menyebabkan
gangguan pernapasan dan bahkan dapat mempengaruhi kerja sistem
kardiovaskuler yang dapat berakhir pada kematian. Perbaikan kondisi pasien
dengan efusi pleura memerlukan penatalaksanaan yang tepat oleh petugas
kesehatan termasuk seorang analis kesehatan. Untuk itu maka analis kesehatan
perlu mempelajari tentang konsep medik efusi pleura dan penatalaksanaannya.
Maka dalam makalah ini akan dibahas bagaimana konsep medik pada pasien
dengan efusi pleura.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa definisi dari efusi pleura ?
2. Apa saja etiologi dari efusi pleura ?
3. Bagaimana patogenesis dari efusi pleura ?

1
4. Apa saja gambaran klinik dari efusi pleura ?
5. Bagaimana pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dari efusi
pleura?
6. Bagaimana analisa laboratorium efusi pleura?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui konsep medik yakni definisi, etiologi, patogenesis, faktor
predisposisi, gambaran klinik, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
serta terapi pada pasien dengan efusi pleura.

2
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Definisi

Gambar 1. Efusi Pleura


Efusi pleura adalah suatu keadaan di mana terdapat penumpukan cairan
dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi di kapiler dan pleura viseral
(Arif Muttaqin, 2012).
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam
rongga pleura. (Price & Wilson, 2006: 141).
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan
dari dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat
berupa cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga
pleura hanya mengandung cairan sebanyak 10-20 ml, cairan pleura
komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura
mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl (Sudoyo, 2005).
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak
diantara permukaan visceral dan perietal, proses penyakit primer terjadi tetapi
biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara
normal, ruang pleura mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15 ml)
berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleura bergerak
tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanner dalam Brunner & Suddart, 2001).

3
2.2 Etiologi
1. Berdasarkan jenis cairan (Slamet dalam Alsagaff, dkk: 2002):
a). Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang
mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami
perubahan.
Berikut ini merupakan penyebab terjadinya efusi pleura transudatif:
- Gangguan kardiovaskuler
Payah jantung (decompensatio cordis) adalah penyebab terbanyak
timbulnya efusi pleura. Penyebab lainnya dalah perikarditis konstriktiva
dan sindrom vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat
terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler
dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis.
Di samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan menurunkan
kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening
juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongga pleura
dan paru-paru meningkat
- Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan
pleura dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi
kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah
dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi
pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
- Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura
melalui lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura.
Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk
menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak
dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik.
Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan adalah pemasangan pintas
peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt, torakotomi) dengan
perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi pipa
dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.

4
- Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-
penderita dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat
menimbulkan sindrom serupa: tumor ovarium kistik, fibromyomatoma
dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya
metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh
tumornya dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang
masuk ke pleura melalui porus di diafragma. Klinisnya merupakan
penyakit kronis.
- Dialisis peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi
terjadi unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari
rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal
ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan
cairan dialisat.
b). Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi
pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran
kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura.
Berikut ini merupakan penyebab terjadinya efusi pleura eksudatif:
- Pleuritis karena virus dan mikoplasma: virus coxsackie, Rickettsia,
Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara
100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala,
demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis.
Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap
virus dalam cairan efusi.
- Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat
ditempeli oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan
menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri
aerob maupun anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus
aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas,
Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan

5
dengan pemberian antibotika ampicillin dan metronidazol serta
mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari rongga pleura.
- Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap organisme fungi.
- Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak
terjadi melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah
bening, dapat juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus
subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein
yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbulkan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya
unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada pasien
pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan,
dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
- Efusi pleura karena neoplasma.
Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-
paru, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi
bilateral dengan ukuran jantung yang tidak membesar.
- Efusi pleura parapneumoni.
Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia
bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah
dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita
cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus
efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun
drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang
terlokalisir.
Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria
berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari
tiga kriteria ini:
- Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
- LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6

6
- LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal didalam serum.
Transudat Eksudat

Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3


Kadar protein dalam efusi <0,5 >0,5
Kadar Protein dalam serum
Kadar LDH dalam efusi (I.U) <200 >200
Kadar LDH dalam efusi < 0,6 >0,6
Kadar LDH dalam serum

Berat jenis cairan efusi <1.016 >1.016


Rivalta Negatif Positif

2.3 Patogenesis
Pada orang normal, cairan di rongga pleura sebanyak 10-20 cc. Cairan di
rongga pleura jumlahnya tetap karena ada keseimbangan antara produksi oleh
pleura parietalis dan absorbsi oleh pleura viseralis. Keadaan ini dapat
dipertahankan karena adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatis pleura
parientalis sebesar 9 cm H2O dan tekanan koloid osmotic pleura viseralis.
Namun dalam keadaan tertentu, sejumlah cairan abnormal dapat terakumulasi
di rongga pleura. Cairan pleura tersebut terakumulasi ketika pembentukan
cairan pleura lebih dari pada absorbsi cairan pleura, misalnya reaksi radang
yang meningkatkan permeabilitas vaskuler. Selain itu, hipoprotonemia dapat
menyebabkan efusi pleura karena rendahnya tekanan osmotic di kapiler darah
(Hood Alsagaff dan H. Abdul Mukty, 2002).
Menurut Hood Alsagaff dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Penyakit
Dalam, keadaan normal pada cavum pleura dipertahankan oleh:
1. Tekanan hidrostatik pleura parientalis 9 cm H2O
2. Tekanan osmotik pleura viceralis 10 cm H2O
3. Produksi cairan 0,1 ml/kgBB/hari
Secara garis besar akumulasi cairan pleura disebabkan karena dua hal yaitu:
1. Pembentukan cairan pleura berlebih

7
Hal ini dapat terjadi karena peningkatan: permeabilitas kapiler
(peradangan, neoplasma), tekanan hidrostatis di pembuluh darah ke
jantung/ vena pulmonalis (kegagalan jantung kiri), tekanan negatif
intrapleura (atelektasis).
Ada tiga faktor yang mempertahankan tekanan negatif paru yang normal
ini. Pertama, jaringan elastis paru memberikan kontinu yang cenderung
menarik paru-paru menjauh dari rangka thoraks. Tetapi, permukaan pleura
viseralis dan pleura parietalis yang saling menempel itu tidak dapat
dipisahkan, sehingga tetap ada kekuatan kontinyu yang cenderung
memisahkannya. Kekuatan ini dikenal sebagai kekuatan negatif dari ruang
pleura.
Faktor utama kedua dalam mempertahankan tekanan negatif intra pleura
menurut Sylvia Anderson Price dalam bukunya Patofisiologi adalah kekuatan
osmotic yang terdapat di seluruh membran pleura. Cairan dalam keadaan
normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang pleura
dan kemudian di serap kembali melalui pleura viseralis. Pergerakan cairan
pleura dianggap mengikuti hukum Starling tentang pertukaran trans kapiler
yaitu, pergerakan cairan bergantung pada selisih perbedaan antara tekanan
hidrostatik darah yang cenderung mendorong cairan keluar dan tekanan
onkotik dari protein plasma yang cenderung menahan cairan agar tetap di
dalam. Selisih perbedaan absorbsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih
besar daripada selisih perbedaan pembentukan cairan parietalis dan
permukaan pleura viseralis lebih besar daripada plura parietalis sehingga pada
ruang pleura dalam keadaan normal hanya terdapat beberapa milliliter cairan.
Faktor ketiga yang mendukung tekanan negatif intrapleura adalah
kekuatan pompa limfatik. Sejumlah kecil protein secara normal memasuki
ruang pleura tetapi akan dikeluarkan oleh sistem limfatik dalam pleura
parietalis. Ketiga faktor ini kemudian, mengatur dan mempertahankan
tekanan negatif intra pleura normal.
2. Penurunan kemampuan absorbsi sistem limfatik
Hal ini disebabkan karena beberapa hal antara lain: obstruksi stomata,
gangguan kontraksi saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar getah bening,

8
peningkatan tekanan vena sentral tempat masuknya saluran limfe dan tekanan
osmotic koloid yang menurun dalam darah, misalnya pada hipoalbuminemia.
Sistem limfatik punya kemampuan absorbsi sampai dengan 20 kali jumlah
cairan yang terbentuk.
Pada orang sehat pleura terletak pada posisi yang sangat dekat satu
sama lain dan hanya dipisahkan oleh cairan serous yang sangat sedikit,
yang berfungsi untuk melicinkan dan membuat keduanya bergesekan dengan
mudah selama bernafas. Sedikitnya cairan serous menyebabkan
keseimbangan diantara transudat dari kapiler pleura dan reabsorbsi oleh vena
dan jaringan limfatik di selaput viseral dan parietal. Jumlah cairan yang
abnormal dapat terkumpul jika tekanan vena meningkat karena dekompensasi
cordis atau tekanan vena cava oleh tumor intrathorax. Selain itu,
hypoprotonemia dapat menyebabkan efusi pleura karena rendahnya tekanan
osmotic di kapailer darah.
Eksudat pleura lebih pekat, tidak terlalu jernih dan agak menggumpal.
Cairan pleura jenis ini biasanya terjadi karena rusaknya dinding kapiler
melalui proses suatu penyakit, seperti pneumonia atau TBC, atau karena
adanya percampuran dengan drainase limfatik, atau dengan neoplasma. Bila
efusi cepat permulaanya, banyak leukosit terbentuk, dimana pada umumnya
limfatik akan mendominasi. Efusi yang disebabkan oleh inflamasi pleura
selalu sekunder terhadap proses inflamasi yang melibatkan paru,
mediastinum, esophagus atau ruang subdiafragmatik. Pada tahap awal, ada
serabut pleura yang kering tapi ada sedikit peningkatan cairan pleura. Selama
lesi berkembang, selalu ada peningkatan cairan pleura. Cairan eksudat ini
sesuai dengan yang sudah di jelaskan sebelumnya. Pada tahap awal, cairan
pleura yang berupa eksudat ini bening, memiliki banyak fibrinogen dan
sering disebut serous atau serofibrinous. Pada tahap selanjutnya akan menjadi
kurang jernih, lebih gelap dan konsistensinya kental karena meningkatkanya
kandungan sel PMN.
Efusi pleura tanpa peradangan menghasilkan cairan serous yang jernih,
pucat, berwarna jerami, dan tidak menggumpal, cairan ini merupakan
transudat, biasanya terjadi pada penyakit yang dapat mengurangi tekanan

9
osmotic darah atau retensi Na. Bila cairan di ruang pleura terdiri dari darah,
kondisi ini merujuk pada hemothorax. Biasanya hal ini disebabkan oleh
kecelakaan penetrasi traumatik dari dinding dada dan menyobek arteri
intercostalis, tapi bisa juga terjadi secara spontan saat subpleural rupture atau
sobeknya adhesi pleural (Sylvia Anderson Price dan Lorraine, 2005: 739).

2.4 Gambaran Klinik


Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika
paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa
penuh dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak,
berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit
penyebab seperti demam, menggigil dan nyeri dada pleuritis (pneumonia),
panas tinggi (kokus), subfebri (tuberkulosis), banyak keringat, batuk, banyak
riak (dahak/lendir). Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi
jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan (Jeremy, et al: 2008).

10
2.5 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih
cembung.
Palpasi : Penurunan fremitus vocal atau taktil.
Perkusi : Pekak pada perkusi.
Auskultasi : Penurunan bunyi napas.
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub (suara tambahan).
Apabila terjadi atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat
menyebabkan bunyi napas bronkus (Jeremy, et al: 2008).
Menurut Arif Muttaqin (2012), pemeriksaan fisik pada pasien dengan efusi
pleura adalah sebagai berikut:
a). B1 (Breathing)
Inspeksi
Peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan yang disertai penggunaan otot
bantu pernafasan. Gerakan pernafasan ekspansi dada yang asimetris
(pergerakan dada tertinggal pada sisi yang sakit), iga melebar, rongga dada
asimetris (cembung pada sisi yang sakit). Pengkajian batuk yang produktif
dengan sputum purulen.
Palpasi
Pendorongan mediastinum ke arah hemihoraks kontralateral yang
diketahui dari posisi trakhea dan ictus cordis. Taktil fremitus menurun
terutama untuk efusi pleura yang jumlah cairannya >300 cc. Di samping itu,
pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada
dada yang sakit.
Perkusi
Suara perkusi redup hingga pekak tergantung dari jumlah cairannya.
Aukultasi
Suara nafas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit. Pada posisi
duduk, cairan semakin ke atas semakin tipis.

11
b). B2 (Blood)
Inspeksi
Pada saat dilakukan inspeksi, perlu diperhatikan letak ictus cordis normal
yang berada pada ICS 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pergerakan
jantung.
Palpasi
Palpasi dilakukan untuk menghitung frekuensi jantung (heart rate) dan
harus memerhatikan getaran ictus cordis.
Perkusi
Tindakan perkusi dilakukan untuk menentukan batas jantung daerah mana
yang terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan apakah terjadi
pergeseran jantung karena pendorongan cairan efusi pleura.
Auskultasi
Aukultasi dilakukan untuk menentukan bunyi jantung I dan II tunggal atau
gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung,
serta adakah murmur yang menunjukan adanya peningkatan arus tuberlensi
darah.
c). B3 (Brain)
Inspeksi
Pada saat dilakukannya inspeksi, tingkat kesadaran perlu di kaji, setelah
sebelumnya diperlukan pemeriksaan GCS untuk menentukan apakah klien
dalam keadaan compos mentis, somnolen, atau coma. Selain itu fungsi-fungsi
sensorik juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, dan
pengecapan
d). B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine dilakukan dalam hubungannya dengan
intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria,
karena it merupak tanda awal syok.

12
e). B5 (Bowel)
Inspeksi
Pada saat inspeksi, hal yang perl diperhatikan adalah apakah abdomen
membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umblikus menonjol
atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan
atau massa. Pada klien biasanya didapatkan indikasi mual dan muntah,
penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
f). B6 (Bone)
Hal yang perlu diperhatikan adalah adakah edema peritibial, feel pada
kedua ekstremitas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer, serta dengan
pemeriksaan capilary refill time. Selanjutnya dilakukan pemriksaan kekuatan
otot untuk kemudian dibandingkan antara bagian kiri dan kanan.
2. Pemeriksaan Penunjang
a). Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat
dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan
permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut
kostrofrenikus menumpu. Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral
dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi (Ewingsa, 2009).

Gambaran 2. thoraks dengan efusi pleura


b). Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun
terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi
dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan
jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak

13
melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk diagnosis cairan pleura
dilakukan pemeriksaan:
- Warna cairan
Biasanya cairan pleura berwarna agak kekuning-kuningan (serous-xantho-
chrome). Bila agak kemerah-merahan, ini dapat terjadi pada trauma, infark
paru, keganasan, adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan
dan agak perulen, ini menunjukan adanya empiema.
- Biokimia
Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat
dilihat pada tabel dibawah:

(dikutip dari Asril Bahar: 2001)


Di samping pemeriksaan tersebut di atas, secara biokimia di periksakan
juga pada cairan pleura:
- Kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit
infeksi, arthritis rheumatoid dan neoplasma.
- Kadar amylase. Biasanya meningkat pada pankreatitis dan metastasis
adenokarsinoma.

14
c). Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-
sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.
- Sel neutrofil : pada infeksi akut
- Sel limfosit : pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau
limfoma maligna).
- Sel mesotel : bila meningkat pada infark paru
- Sel mesotel maligna : pada mesotelioma
- Sel giant : pada arthritis rheumatoid
- Sel L.E : pada lupus eritematous sistemik
- Sel maligna : pada paru/metastase.
d). Bakteriologi
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung
mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering
pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter.
e). Biopsi Pleura
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan
tumor pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks,
penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada

2.6 Analisa Cairan Pleura


1. Pengambilan Spesimen
Bahan (dari rongga perut, pleura, pericardium, sendi, kista, hidrocele,dsb.)
didapat dengan mengadakan pungsi. Karena tidak dapat diketahui terlebih
dulu apakah cairan itu berupa transudat atau eksudat, syarat bekerja steril
harus dilakukan dan menyediakan anticoagulant. Sediakanlah pada waktu
melakukan pungsi selain penampung biasa juga penampung steril (untuk
biakan) dan penampung yang berisi larutan natrium citrat 20% atau heparin
steril.
2. Persiapan Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pengambilan spesimen, meliputi :
 Stetoskop  Sarung tangan steril

15
 Spuit 5 cc dan 50 cc  Plester
 Kateter vena No. 14  Three way stopcock
 Blood set  kasa steril
 Lidocain 2%  Betadin
 Alkohol 70%
3. Prosedur Pengambilan Sampel
a. Pasien dipersiapkan dengan posisi duduk atau setengah duduk, sisi
yang sakit menghadap dokter yang akan melakukan punksi.
b. Beri tanda (dengan spidol atau pulpen) daerah yang akan di punksi
Pada linea aksilaris anterior atau linea midaksilaris.
c. Desinfeksi -> pasang duk steril
d. Anestesi lidokain 2% dimulai dari subkutis, lalu tegak lurus ke arah
pleura (lakukan tepat di daerah sela iga), keluarkan lidokain perlahan
hingga terasa jarum menembus pleura.
e. Pastikan tidak ada perdarahan
f. Jika jarum telah menembus ke rongga pleura, kemudian dilakukan
aspirasi beberapa cairan pleura.
g. Bila jumlah cairan yang dibutuhkan untuk diagnostik telah cukup,
tarik jarum dengan cepat dengan arah tegak lurus pada saat ekspirasi
dan bekas luka tusukan segera ditutup dengan kasa betadin, tetapi jika
bertujuan terapeutik maka pada lokasi yang sama dapat segera
dilakukan pengeluaran cairan / udara dengan teknik aspirasi sebagai
berikut:
- Dengan menggunakan kateter vena no.14
Tusukkan kateter vena No. 14 pada tempat yang telah disiapkan dan
apabila telah menembus pleura, piston jarum di tarik lalu disambung
dengan bloodset. Dilakukan sampai dengan jumlah cairan didapatkan
1000 cc, indikasi lain untuk penghentian aspirasi adalah timbul batuk-
batuk.
- Dengan bantuan three way stopcock (jarum pipa dengan stopkran)

16
Pasang jarum ukuran 18 pada sisi 1 dari stopkran, selang infus set
pada sisi 2 (untuk pembuangan) dan spuit 50 cc pada sisi 3 (untuk
aspirasi). Teknik:
 Tusukkan jarum melalui ruang interkosta dengan posisi kran
menghubungkan rongga pleura dan spuit, sedangkan
hubungan dengan selang pembuangan terputus. Setelah
jarum mencapai rongga pleura dilakukan aspirasi sampai
spuit terisi penuh
 Kemudian posisi kran diubah sehingga arah ke rongga
pleura tertutup dan terjadi hubungan antara spuit dengan
selang pembuangan cairan pleura
 Kran kembali diputar ke posisi (a), dilakukan aspirasi
sampai spuit terisi penuh, kran diputar ke posisi (b) dan
cairan pleura dibuang. Prosedur ini dilakukan berulang.
 Cairan yang diperoleh ditampung dalam 3 botol penampung:
- Botol I : Steril untuk pemeriksaan bakteriologi
- Botol II : Di tambah anticoagulant untuk pemeriksaan rutin
- Botol III : Tanpa anticoagulant untuk pemeriksaan kimia.
 Kemudian cairan pleura dibagi pada beberapa tabung:
- 5-7 ml tabung EDTA pemeriksaan makrokopis hitung
jumlah sel, morfologi sel dan hitung jenis.
- 7-10 ml tabung heparin pemeriksaan kimia protein, glukosa,
lactate dehidrogenase (LDH)
- 7-10 ml tabung heparin steril untuk kultur, pengecatan
gram, BTA.
- 25 ml atau lebih dalam wadah dengan antikoagulan heparin
untuk pemeriksaan sitologi
4. Pemeriksaan Makroskopis
Pemeriksaan makroskopis cairan pleura meliputi:
a. Jumlah

17
Prinsip: Ukurlah dan catatlah volume yang didapat dengan pungsi. jika
semua cairan dikeluarkan jumlah itu memberi petunjuk tentang
luasnya kelainan.
b. Warna
Prinsip : Setiap kelainan memberikan warna yang berbeda.
Interpretasi hasil :
- Transudat : kuning muda
- Eksudat : bermacam macam tergantung dari penyebabnya
- Hijau : bilirubin
- Merah : darah
- Putih kekuningan : pus
- Putih susu : chylus
- Biru kehijauan : bakteri pyocyanus
c. Kejernihan
Prinsip : Setiap kelainan memberikan kekeruhan yang
berbeda
Interpretasi hasil :
- Transudat : Jernih
- Eksudat : agak keruh
d. Bau
Biasanya baik transudat maupun eksudat tidak mempunyai bau
bermakna, kecuali kalau terjadi pembusukan protein. Infeksi dengan
kuman anaerob dan oleh E.coli mungkin menimbulkan bau busuk,
demikian adanya bau mengarah ke eksudat.
e. Berat Jenis
Harus segera ditentukan sebelum kemungkinan terjadinya bekuuan.
Penetapan ini penting untuk menentukan jenis cairan. Kalau jumlah
cairan yang tersedia cukup, penetapan dapat dilakukan dengan
urinometer, kalau hanya sedikt sebaiknay memakai refraktometer.
Seperti sudah diterangkan, nilai berat jenis dapat ikut memberi
petunjuk apakah cairan mempunyai ciri-ciri transudat atau eksudat.
Interpretasi hasil :

18
- Transudat : 1006-1015
- Eksudat : 1018-1030
f. Bekuan
Perhatikan terjadinya bekuan, dan terangkan sifatnya (renggang,
berkeping, berbutir, sangat halus, dll). Bekuan itu tersusun dari fibrin
dan hanya didapat pada eksudat. Kalau dikira cairan yang dipungsi
barsifat eksudat, campurlah sebagian dari cairan itu dengan
anticoagulant supaya tetap cair dan dapat dipakai untuk pemeriksaan
lain-lain.
Interpretasi hasil :
- Transudat : (-) tidak terjadi bekuan
- Eksudat : (+) terjadi bekuan
5. Pemeriksaan Kimia
Pemeriksaan kimia untuk cairan pleura, meliputi:
a. Percobaan Rivalta
Prinsip : Seromucin yang terdapat dalam eksudat dan tidak
terdapat dalam transudat akan bereaksi dengan asam acetat encer
membentuk kekeruhan yang nyata. Protein + asam asetat  presipitasi
Interpretasi hasil :
- Transudat : Membentuk awan kemudian menghilang
- Eksudat : Presipitasi putih tenggelam
b. Kadar Protein
Menentukan kadar protein dalam cairan rongga tubuh dapat membantu
klinik dalam membedakan transudat dari eksudat. Kadar protein dalam
transudat biasanya kurang dari 2,5 g/dl sedangkan eksudat berisi lebih
dari 4 g/dl. Penetapan ini tidak memerlukan cara yang teliti.
c. Zat Lemak
Transudat tidak mengandung zat lemak, kecuali kalau tercampur
dengan chylus. Dalam eksudat mungkin didapat zat lemak, disebabkan
oleh karena dinding kapiler dapat ditembus olehnya. Keadaan itu
sering dipertalikan dengan proses tuberculosis.
6. Pemeriksaan Mikroskopik

19
Pemeriksaan mikroskopik pada cairan pleura, meliputi:
a. Menghitung Jenis Sel
Menggunakan metode Giemsa dan Wright Stain.
Interpretasi hasil :
- Dominasi limfosit mendukung dugaan neoplasma, limfoma atau
tuberkulosis.
- Dominasi leukosit polimorfonuklear sering pada pneumonia dan
infeksi virus
- Eosinofilia pada efusi pleura (>10 persen) seringkali tidak spesifik,
dapat terjadi pada alergi, emboli paru, poliarteritis nodusa, infeksi
parasit dan jamur asbestos
b. Pemeriksaan Bakteriologi
Menggunakan metode Pewarnaan Gram.
Prinsip : Bakteri gram (+) akan mengikat warna ungu dari
carbol gentian violet dan akan diperkuat oleh lugol sehingga pada saat
pelunturan dengan alkohol 96 % warna ungu tidak akan luntur,
sedangkan gram (-) akan Luntur oleh alkohol dan mengambil warna
merah dari fuksin.
c. Menghitung Jumlah Leukosit
Menggunakan metode kamar hitung Improved Neubauer atau Fuchs
Rosenthal.
Prinsip : Jumlah sel lekosit dihitung berdasarkan
pengenceran dalam larutan pengencer dan jumlah sel cairan dalam
kamar hitung
Interpretasi hasil :
- Jumlah leukosit <1000/mm3 (Transudat)
- Jumlah leukosit antar 500 – 2500 /mm3 neoplasma dan
tuberkulosis.
- Jumlah leukosit >10.000 / mm3 dengan dominasi sel
polimorfonuklear seringkali karena infeksi piogenik.

20
d. Pemeriksaan Kadar LDH
Penentuan kadar LDH dapat dipakai untuk informasi tambahan dalam
membedakan transudat dan eksudat. Penurunan kadar LDH 
perbaikan pada proses inflamasi. Kadar LDH meningkatinflamasi
memburuk perlu dilakukan tindakan atau pengobatan yang lebih
agresif.
Prinsip : NADH akan mengoksidasi secara langsung dengan
bantuan aktivasi LDH dan diukur dengan fotometer.
Interpretasi hasil :
- Transudat : < 200 IU
- Eksudat : > 200 IU
Menurut LIGHT dkk criteria untuk eksudat sebagai berikut:
- Ratio protein cairan pleura dengan protein serum > 0,5
- LDH cairan pleura > 200 IU
- Ratio protein cairan pleura dengan LDH serum > 0,6

21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak
diantara permukaan visceral dan perietal, proses penyakit primer terjadi tetapi
biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara
normal, ruang pleura mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15 ml)
berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleura bergerak
tanpa adanya friksi.
Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan sebanyak
10-20 ml, cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali
pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.
Gejala klinis di temukan Gejala yang paling sering timbul adalah sesak,
berupa rasa penuh dalam dada atau dispneu.
Penegakkan diagnosa didukung oleh pemeriksaan penunjang yang dapat
dlakukan berupa foto thorak, torakosintesis, biopsi, bakteriologi dan lain-lain.

22
DAFTAR PUSTAKA
Bahar, Asril. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Jeremy, et al. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. EMS. Jakarta :
2008.
Kosasih, Alvin, dkk. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan Paru.
Jakarta: Sagung Seto.
Lorraine W. Penyakit Paru Restriktif Dalam: Price, Sylvia A, Lorraine W, et al.
2005. Editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit . Ed. 6.
Jilid.2. Jakarta: EGC
Price A, Slivia, dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses penyakit.
Edisi 6. Jakarta: EGC
Slamet H. Efusi Pleura. Dalam : Alsagaff H, Abdul Mukty H, Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Paru. Airlangga University Press ;Surabaya; 2002.
Sudoyo AW. Kelainan Paru. Dalam: Halim H. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit
Dalam. Vol 2. Jakarta: FKUI

23

Anda mungkin juga menyukai