Anda di halaman 1dari 31

Makassar, 16 November2019

LAPORAN PBL KELOMPOK 11B


MODUL 2 (SESAK)
BLOK RESPIRASI

Tutor :
dr. Nesyana Nurmadilla,M.Gizi
Disusun Oleh :
KELOMPOK 11B
Ambarwulan Sepkuanin Daniel 11020180164
Innayaturrahmatiah Mujaddid 11020180180
Chaerawati 11020180206
Sri Rahmayanti L 11020180208
Arvi Febrina Putri A 11020180215
Muhammad Rifqi Mudhoffar 11020180217
Muh Fawwaz Irhadi H. T 11020180225
Nidya Carissa Wahyuni 11020180226
Kirene Dwinilasari P 11020180231
Andi Giffari Rahmat Budaya 11020180234
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjat kan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga laporan tutorial ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya.
Aamiin.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan tutorial ini,


karena itu kritik dan saran yang sifat nya membangun senantiasa kami
harapkangunamemacu kami menciptakankarya-karya yang lebihbagus.

Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan laporan tutorial ini. Semoga
Allah SWT dapat memberikan balasan setimpa latas segala kebaikan dan
pengorbanan dengan limpahan rahmat dari-Nya. AamiinyaaRobbalA’lamiin.

Makassar, 14 November 2019

Kelompok 11B
A. SKENARIO 1
Seorang laki-laki 58 tahun datang ke Rumah Sakit karena sesak napas 1jam
yang lalu. Yang semakin tahun semakin memberat. Keluhan ini sering disertai
batuk dan dahak sulit keluar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan inspeksi dada
tangan tertinggal

B. KATA SULIT
Tidak ditemukan kata sulit

C. KATA KUNCI
1. laki-laki 58 tahun
2. keluhan sesak napas 1jam yang lalu
3. semakin tahun semakin memberat.
4. Keluhan ini sering disertai batuk dan dahak sulit keluar.
5. Pada pemeriksaan fisik didapatkan inspeksi dada tangan tertinggal

D. PERTANYAAN
1. Apa Diagnosis Banding pada scenario?
2. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit tersebut yang berkaitan dengan
scenario?
3. Bagaimana patomekanisme dari setiap DD?
4. Apa Etiologi dari setiap DD?
5. Bangaimana bunyi pernapasan pada setiap diagnosis dibandingkan dengan
bunyi pernapasan normal?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari setiap DD?
7. Apa saja faktor resiko yang berkaitan dengan DD?
8. Bagaimana pencegahan dari setiap DD?
9. Apa prespektif islam yang berkaitan dengan skenario?
PEMBAHASAN

3. Bagaimana Patomekanisme dari setiap DD?


a) Pneumonia

Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan


(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang
berinteraksi satu sama lain. Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Adanya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit. Ada
beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: 1) Inokulasi langsung; 2)
Penyebaran melalui darah; 3) Inhalasi bahan aerosol, dan 4) Kolonosiasi di
permukaan mukosa. Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah
dengan kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal,
mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0 mikron
melalui udara dapat mencapai brokonsul terminal atau alveol dan selanjutnya
terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung,
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi
paru.Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu
tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan
pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri
yang sangat tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 -
1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi
pneumonia.

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan


reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk
antibodi. Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan
bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik mengelilingi bakteri
tersebut kemudian terjadi proses fagositosis. pada waktu terjadi perlawanan antara
host dan bakteri maka akan nampak empat zona, pada daerah pasitik parasitik
terset yaitu : 1) Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan
edema; 2) Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN dan
beberapa eksudasi sel darah merah; 3) Zona konsolidasi yang luas (grey
hepatization): daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN
yang banyak; 4) Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak
bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.

Referensi :

Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious Diseases Society of


America/American Thoracic Society consensus guidelines on the management of
community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis 2007; 44

Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Indonesia.
b) Efusi Pleura

Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga


pleura berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis
yang saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu
terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan
diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan yang
seimbang dengan kecepatan pembentukannya .

Skema yang memperlihatkan proses sirkulasi normal cairan pleura.


Terlihat bahwa cairan pleura berasal dari pembuluh darah sistemik pada membran
pleura parietal dan viseral (ditunjukkan pada panah yang terputus-
putus).Pembuluh darah pleura parietal (mikrovaskular interkostal) merupakan
terpenting pada sistem ini sebab pembuluh darah ini paling dekat dengan rongga
pleura dan memiliki tekanan filtrasi yang lebih tinggi daripada mikrovaskuler
bronkial pada pleura viseral. Cairan pleura awalnya akan absorbsi kembali oleh
mikrovaskuler, sisanya akan dikeluarkan dari rongga pleura melalui saluran
limfatik pada pleura parietal (panah utuh).

Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya


kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan
cairan secara patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan
dengan terjadinya efusi pleura yaitu:

1. Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada


sirkulasi kapiler
2. Penurunan tekanan kavum pleura
3. Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura.
PATHWAY

Penghambatan drainase Tekanan Osmotik Koloid


infeksi
limfatik Plasma

Peradangan permukaan Tekanan kapiler paru Transudasi cairan

pleura meningkat intravaskular

Permeabilitas Vascular Tekanan Hisdrostatik Edema

Transudasi Cavum Pleura

Efusi Pleura
Skema 2.1 : Efusi Pleura

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh


peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,
sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya pneumothoraks karena
pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga
pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah
tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.

Efusi Pleura Transudat

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, Efusi pleura transudatif terjadi jika
terdapat perubahan dalam tekanan hidrostatik dan onkotik pada membran pleura,
misalnya jumlah cairan yang dihasilkan melebihi jumlah cairan yang dapat
diabsorbsi.Pada keadaan ini, endotel pembuluh darah paru dalam kondisi yang
normal, dimana fungsi filtrasi masih normal pula sehingga kandungan sel dan dan
protein pada cairan efusi transudat lebih rendah.Jika masalah utama yang
menyebabkannya dapat diatasi maka efusi pleura dapat sembuh tanpa adanya
masalah yang lebih lanjut. Selain itu, efusi pleura transudat juga dapat terjadi
akibat migrasi cairan yang berasal dari peritoneum, bisa pula iatrogenik sebagai
komplikasi dari pemasangan kateter vena sentra dan pipa nasogastric

Efusi pleura transudat dapat terjadi karena penyakit lain bukan primer paru
seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum.
Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan.Perikarditis konstriktiva, keganasan,
atelektasis paru dan pneumothoraks.

Efusi Pleura Eksudat

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan


permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial
berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam
rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa
Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau eksudatif .
Referensi :

Jeremy, et al. Efusi Pleura.At a Glance Medicine Edisi kedua.EMS.Jakarta : 2008.


Sudoyo AW. Kelainan Paru. Dalam: HalimH. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Dalam
.Vol 2. Balai Penerbit FK UI ; Jakarta ;2005
Broaddus VC. 2009. Mechanisms of pleural liquid accumulation in disease.

c) Emfisema
Emfisema dapat diawali dengan paparan zat yang memicu respon
inflamasi, ataupun defisiensi antitripsin alfa

Paparan Zat Berbahaya

Paparan zat berbahaya atau asap rokok dalam jangka panjang akan
memicu respon inflamasi oleh sel-sel imun inflamatorik seperti sel
polimorfonuklear, eosinofil, makrofag, limfosit CD4+ dan limfosit CD8+.
Makrofag akan teraktivasi dan melepaskan faktor kemotaktik neutrofil seperti
leukotrien B4 dan IL-8 (Interleukin 8). Pada saat neutrofil-neutrofil direkrut, maka
secara bersama-sama dengan makrofag akan menghasilkan enzim proteolitik
seperti metalloproteinases matrix (MMPs), protease-protease lainnya, dan
hidrogen peroksida yang berperan dalam penghancuran lapisan epitel paru dan
menyebabkan hipersekresi mukus. Derivat neutrofil protease (elastase dan
protease) bertindak melawan elastin dan merusak jaringan ikat pada parenkim
paru.Padahal, elastin merupakan suatu komponen penting pada matriks
ekstraseluler yang digunakan untuk mempertahankan integritas parenkim paru dan
saluran napas. Ketidakseimbangan elastase akan merusak paru dan menyebabkan
pelebaran dari alveoli. Hal ini mengakibatkan pertukaran gas di alveoli terganggu.

Defisiensi Antitripsin Alfa-1

Pada pasien dengan defisiensi antitripsin alfa-1, patofisiologi emfisema


sedikit berbeda.Antitripsin alfa-1 adalah sebuah glikoprotein yang masuk ke
dalam kelompok inhibitor serin protease yang disintesis di dalam hati dan
disekresi ke dalam peredaran darah.Diduga Antitripsin alfa-1 juga dihasilkan di
parenkim paru. Fungsi dari antitripsin alfa-1 adalah untuk menetralisir elastase
neutrofil di dalam jaringan interstisial paru dan menginhibisi tripsinisasi untuk
melindungi parenkim paru dari proses elastolitik. Sehingga pada penderita dengan
defisiensi antitripsin alfa-1, elastase neutrofil akan merusak jaringan ikat paru
yang pada akhirnya menyebabkan emfisema.

Akibat Rusaknya Parenkim Paru

Kerusakan parenkim paru yang ditandai dengan menghilangnya elastisitas


alveoli menyebabkan udara terperangkap di dalam paru dan sulit untuk
dikeluarkan.Hal ini menyebabkan paru-paru tidak dapat melakukan ekspirasi
dengan efektif, dan menampung udara lebih banyak sehingga terjadi hiperinflasi
paru.

Referensi :

Tetley TD. Macrophages and the pathogenesis of COPD.Chest. 2002; 121(5):


156-59.

American Thoracic Society/ European Respiratory Society Statement : standards


for the diagnosis and management of individuals with alpha-1 antitrypsin
deficiency. Am J Respir Crit Care Med. 2003; 168(7): 818-900.

d) Pneumothorax

Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik,


latrogenik.Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan
primer dan sekunder.Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ
paru dan pneumotoraks latrogenik merupakan komplikasi dari intervensi
diagnostic ataupun terapeutik.

Pneumotoraks Spontan Primer

Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru


yang mendasarinya,namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula
subpleuralditemukan pada 76100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan ti
ndakan torakotomi dan video assistedthoracoscopic surgery. Kasus pneumotoraks
spontan primer sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang
mendasari pembentukan bula subpleural,namun pada sebuah penelitian dengan
komputasi tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa 89% kasus dengan bula
subpleural adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah bukan perokok.
Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun sebuah teori
menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi oleh rokok
yang kemudian diikuti oleh serbukan netrofil dan makrofag. Proses ini
menyebabkan ketidak seimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan–
antioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses
inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi kebocoran
udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan menyebabkan
pneumomediastinum. Tekanan di mediastinum akan meningkat dan
pleura parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks. Rongga
pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi oleh udara akibat
rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai tercapainya
keseimbangan tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut ditutup. Paru-
paru akan bertambah kecil dengan bertambah luasnya pneumotoraks. Konsekuensi
dari proses ini adalah timbulnya sesak akibat berkurangnya kapasitas vital paru
dan turunnya PO2.

Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam


pathogenesis terjadinya kasus pneumotoraks spontan primer.Beberapa
kasus pneumotoraksspontan primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu,
seperti: sindrom marfan, serta sindrom Birt-Hogg-Dube.

Pneumotoraks Spontan Sekunder

Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/ penyakit paru


yang sudah ada sebelumnya.Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan
tekanan alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan
berpindah ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum.
Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke
rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab terjadinya
pneumotoraks spontan sekunder adalah PPOK, Cystic Fibrosis, Asma Bronkhial.

Pneumotoraks Traumatik

Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun


non-penetrasi.Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat
menimbulkan pneumotoraks. Bilaterjadi pneumotoraks, paru akan mengempes
karena tidak ada lagi tarikan ke luar dinding dada. Pengembangan dinding dada
pada saat inspirasi tidak diikuti dengan pengembangan paru yang baik
atau bahkan paru tidak mengembang sama sekali. Tekanan pleurayangnormalnya
negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi pada bagianyang
mengalami pneumotoraks.

Pneumotoraks Latrogenik

Pneumotoraks latrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis atau


bedah.Salahsatu yang paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik
(transthoracic needle aspiration),torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi
mekanik tekanan positif (positive pressuremechanical ventilation).Angka kejadian
kasus pneumotoraks meningkat apabila dilakukanoleh klinisi yang tidak
berpengalaman.

Tension Pneumothorax

Pneumotoraks ventil (tension pneumothorax) terjadi akibat cedera pada


parenkim paruatau bronkus yang berperan sebagai katup searah.Katup ini
mengakibatkan udara bergeraksearah ke rongga pleura dan menghalangi adanya
aliran balik dari udara tersebut.Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada perawatan
intensif yang dapat menyebabkanterperangkapnya udara ventilator (ventilasi
mekanik tekanan positif) di rongga pleura tanpaadanya aliran udara balik.Udara
yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga pleura
sehinggamenekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke arah
kontralateral. Hal inimenyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya
hipoksia. Curah jantung turun karenavenous return ke jantung berkurang,
sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaranudara pada paru yang
kolaps dan paru yang tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia danturunnya curah
jantung akan menggangu kestabilan hemodinamik yang akan berakibat fatal jika
tidak ditangani secara tepat.

Referensi :

Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous Pneumothorax. N Eng J Med. 2000:342: 868-
74

Chang AK. Pneumothorax, Latrogenic, Spontaneous and Pneumomediatinum.


2007.

e) Asma Bronkhial

Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperaktivitas


bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah mengatasi bronkospasme.
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamsi kronik yang khas,
melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara
dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi
saluran respiratorik adalah aktivitas eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit
T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi
meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.

Banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan
dengan manifestasi riwayat atopi melalui mekanisme IgE-dependent.Pada
populasi diperkirakan faktor riwayat atopi memberikan kontribusi pada 40 %
penderita asma anak dan dewasa.Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan
dengan alergen awalnya menimbulkan fase sensitisasi.Akibatnya terbentuk IgE
spesifik oleh sel plasma.IgE melekat pada Fc reseptor pada membran sel mast dan
basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi
asma cepat (immediate asthma reaction).
Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediatormediator: histamin,
leukotrin C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2), tromboksan, tryptase. Mediator-
mediator tersebut menimbulkan spasme otot-otot bronkus, hipersekresi kelenjar,
edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan 16 akumulasi sel
eosinofil, gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini
akan segera pulih kembali (serangan asma hilang) dengan pengobatan.

Setelah 6-8 jam maka akan terjadi proses selanjutnya, disebut reaksi asma
lambat (late asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF yang
diproduksi oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan
sel-sel radang seperti eosinofil, basofil, monosit, dan limfosit. Sedikitnya ada dua
jenis T-helper (Th), limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi
sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL-3 dan granulocyte-
macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-
2, IF gamma dan TNF beta sedangkan Th-2 terutama memproduksi sitokin yang
terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16.

Sitokin yang dihasilkan oleh Th-2 bertanggung jawab terjadinya reaksi


hipersensitivitas tipe lambat.Masing-masing sel radang berkemampuan
mengeluarkan mediator inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan.Sel
basofil mesekresi histamin, 17 LTC4, PGD2.Mediator-mediator tersebut dapat
menimbulkan bronkospasme. Sel makrofag mensekresi IL-8, platelet activating
factor (PAF), regulated upon activation novel T cell expresion and presumably
secreted (RANTES). Semua mediator diatas merupakan mediator inflamasi yang
meningkatkan proses peradangan mempertahankan proses inflamasi.

Mediator inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan,


sehingga bronkus mudah kontriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis
dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non
spesifik. Secara klinis, gejala asma menetap, penderita akan lebih peka terhadap
rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan
berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.
Inflamasi dan remodelling saluran napas, sejalan dengan proses inflamsi
kronik, kerusakan epitel bronkus merangsang proses perbaikan saluran
respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungisional yang
menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling
atau repair, kerusakan epitel bronkus disebabkan dilepaskanya sitokin dari sel
inflamsi seperti eosinofil. Kini dibuktikan bahwa otot polos saluran napas juga
memproduksi sitokin dan kemokin seperti eotaxin, RANTES, GM-CSF dan IL-5,
juga faktor pertumbuhan dan mediator lipid, sehingga mengakibatkan
penumpukan kolagen di lamina propia

Pada proses remodelling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan
Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast
berpolarifasi, epitel mengalamai hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah.
Akibat proses remodelling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan
membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia kelenjar,
edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam
ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen
bronkus yang peresisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.

Referensi :

Warner JO. Asthma-basic mechanism. Dalam: Naspitz CK, Szeler SJ, Tinkelman
D Warner JO, penyunting. Textbook of pediatric asthma. London: Martin Dunitz,
2001. h. 20-33.

f) Emboli Paru

Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat suatu postulat bahwa ada tiga
faktor yangdapat menimbulkan suatu keadaan koagulasi intravaskuler, yaitu:

1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah

2. Hiperkoagulobilitas darah (blood hypercoagulability)

3. Statis vena
Trauma lokal pada pembuluh darah dapat terjadi oleh karena cedera pada
dinding pembuluh darah, kerusakan endotel vaskuler khususnya dikarenakan
tromboflebitis sebelumnya. Sedangkan keadaan hiperkoagubilitas darah dapat
disebabkan oleh terapi obat-obat tertentu termasuk kontrasepsi oral, hormone
replacement theraphy dan steroid.Di samping itu masih ada sejumlah faktor
genetik yang menjadi faktor predisposisi suatu thrombosis.Sementara Stasis
(perlambatan) aliran darah vena mempercepat terbentuknya trombus yang lebih
besar. Stasis darah diakibatkan oleh tekanan lokal, katup vena yang inkompeten
yang dimungkinkan terjadi oleh proses tromboemboli sebelumnya, obstruksi vena
atau imobilisasi lama setelah fraktur atau pembedahan.

Bila trombi vena terlepas dari tempat terbentuknya, emboli ini akan
mengikuti aliran system vena yang seterusnya akan memasuki sirkulasi arteri
pulmonalis. Jika emboli ini cukup besar, akan dapat menempati bifurkasio arteri
pulmonalis dan membentuk saddle embolus.

Tidak jarang pembuluh darah paru tersumbat karenanya. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang akan melepaskan
senyawa-senyawa vasokontriktor seperti serotonin, refleks vasokontriksi arteri
pulmonalis dan hipoksemia yang pada akhirnya akan menimbulkan hipertensi
arteri pulmonalis. Peningkatan arteri pulmonalis yang tiba-tiba akan
meningkatkan tekanan ventrikel kanan dengan konsekuensi dilatasi dan disfungsi
ventrikel kanan yang pada gilirannya akan menimbulkan septum interventrikuler
tertekan ke sisi kiri dengan dampak terjadinya gangguan pengisian ventrikel dan
penurunan distensi diastolic. Dengan berkurangnya pengisian ventrikelkiri maka
curah jantung sistemik (systemic cardiac output) akan menurun yang akan
mengurangi perfusi koroner dan menyebakan iskemia miokard. Peninggian
tekanan dinding ventrikel kanan yang diikuti oleh adanya emboli paru massif akan
menurunkan aliran koroner kanan dan menyebabkan kebutuhan oksigen ventrikel
kanan meningkat yang selanjutnya menimbulkan iskemia dan kardiogenik shock.
Siklus ini dapat menimbulkan infark ventrikel kanan, kolap sirkulasi dan kematian
Referensi :

Fedullo PF: Pulmonary Embolism. Dalam:Robert AO, Valentin F,R.Wayne A,


penyunting.The Heart Manual of Cardiologi. Edisi ke-11. Boston:McGraw Hill,
2005.h.351-2

Goldhaber SZ: Pulmonary embolism. Dalam: Zipes, Libby, Bonow, Braunwald.


Penyunting.Braunwald’s heart disease, a textbook of cardiovascular
medicine.Edisi ke -7. Philadelphia:Elsevier saunders,2005.h.1789-06

g) PPOK

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen


asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain
itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia.Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas.Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan
menjadi sangat purulen.Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan
adanya peradangan.

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan


kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak
struktur-struktur penunjang di paru.Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan
kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.Parenkim paru kolaps terutama
pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru
secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif,
maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps , sehingga
dapat terjadi sesak nafas.
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa
eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan
dimediasi oleh neutrofil.Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan
Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan
antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan. Selama eksaserbasi akut, terjadi
perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi
perfusi.Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas,
edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan
dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.

Konsep patogenesis PPOK

Referensi :

PDPI.Klasifikasi.Dalam : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan


Penatalaksanaan. Edisi Juli 2011
h) Atelektasis

Pada atelektasis absorpsi, obstruksi saluran napas menghambat masuknya


udara ke dalam alveolus yang terletak distal terhadap sumbatan.Udara yang sudah
terdapat dalam alveolus tersebut diabsorpsi sedikit demi sedikit ke dalam aliran
darah dan alveolus kolaps. Untuk mengembangkan alveolus yang kolaps total
diperlukan tekanan udara yang lebih besar, seperti halnya seseorang harus
meniup balon lebih keras pada waktu mulai mengembangkan balon.

Atelektasis absorpsi dapat disebabkan oleh obstruksi bronkus intrinsik atau


ekstrinsik.Obstruksi bronkus intrinsik paling sering disebabkan oleh secret atau
eksudat yang tertahan. Tekanan ekstrinsik pada bronkus biasanya disebabkan oleh
neoplasma, pembesaran kelenjar getah benih, aneurisma atau jaringan parut

Atelektasis biasanya merupakan akibat dari sumbatan bronki kecil oleh


mucus atau sumbatan bronkus besar oleh gumpalan mucus yang besar atau benda
padat seperti kanker. Udara yang terprangkap di belakang sumbatan diserap dalam
waktu beberapa menit sampai beberapa jam oleh darah yang mengalir dalam
kapiler paru jika jaringan paru cukup lentur (pliable), alveoli akan menjadi kolaps.

Tetapi, jika paru bersikap kaku akibat jaringan fibrotik dan tidak dapat
kolaps, maka absorpsi udara dari alveoli menimbulkan tekanan negatif yang hebat
dalam alveoli dan mendorong cairan keluar dari kapiler paru masuk ke dalam
alveoli, dengan demikian menyebabkan alveoli terisi penuh dengan cairan
edema.Ini merupakan efek yang paling sering terjadi bila seluruh paru mengalami
atelektasis, suatu keadaan yang disebut kolaps masif dari paru, karena kepadatan
dinding dada dan mediastinum memungkinkan ukuran paru berkurang hanya kira-
kira separuh dari normal, dan tidak mengalami kolaps sempurna

Pada atelektasis tekanan diakibatkan oleh tekanan ekstrinsik pada semua


bagian paru atau bagian dari paru, sehingga mendorong udara keluar dan
mengakibatkan kolpas.Sebab-sebab yang paling sering adalah efusi pleura,
pneumotoraks, atau peregangan abdominal yang mendorong diapragma ke
atas.Atelektasis tekanan lebih jarang terjadi di bandingkan dengan atelektasis
absorbsi.

Referensi :

Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta

Pneumonia
Etiologi pneumonia berbeda-beda pada berbagai tipe dari pneumonia, hal ini
berdampak pada obat yang akan diberikan. Pneumonia dapat disebabkan oleh
berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni
komunitas banyak disebabkan gram positif, sedangkan pneumonia nosokomial
banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan beberapa kota di Indonesia
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita komunitas adalah bakteri gram
negatif. Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan
nosokomial:
a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma
pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob oral.

Referensi : Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia.

Pneumotoraks Spontan
Pneumotoraks Spontan Primer ( primery spontaneous pneumothorax)
Dari kata “primer” ini dapat diketahui penyebab dari pneumotoraks belum
diketahui secara pasti, banyak penelitian dan terori telah di kemukakan untuk
mencoba menjelaskan tentang apa sebenarnya penyebab dasar dari tipe
pneumotoraks ini. Ada teori yang menyebutkan, disebabkan oleh factor
konginetal, yaitu terdapatnya bula pada subpleura viseral, yang suatu saat akan
pecah akibat tingginya tekanan intra pleura, sehingga menyebabkan terjadinya
pneumotoraks. Bula subpleura ini dikatakan paling sering terdapat pada bagian
apeks paru dan juga pada percabangan trakeobronkial. Pendapat lain mengatakan
bahwa PSP ini bisa disebabkan oleh kebiasaan merokok. Diduga merokok dapat
menyebabkan ketidakseimbangan dari protease, antioksidan ini menyebabkan
degradasi dan lemahnya serat elastis dari paru-paru, serta banyak penyebab lain
yang kiranya dapat membuktikan penyebab dari pneumotoraks spontan primer.
Pneumotoraks Spontan Sekunder ( Secondary Spontaneus Pneumothorax)
Pneumotoraks spontan sekunder merupakan suatu pneumotoraks yang
penyebabnya sangat berhubungan dengan penyakit paru-paru, banyak penyakit
paru-paru yang dikatakan sebagai penyebab dasar terjadinya pneumotoraks tipe
ini. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), infeksi yang disebabkan
oleh bakteri pneumocity carinii, adanya keadaan immunocompremise yang
disebabkan oleh infeksi 6 virus HIV, serta banyak penyebab lainnya, disebutkan
penderita pneumotoraks tipe ini berumur diantara 60-65 tahun .

Refensi: De jong W., Sjamsuhidajat R., Karnadihardja W. Prasetyono T.O,


Rudiman R. Buku Ajar Ilmu Bedah

Efusi Pleura
Efusi pleura transudatif merupakan efusi pleura yang berjenis cairan transudat.
Efusi pleura ini disebabkan oleh gagal jantung kongestif, emboli paru, sirosis hati
(penyakit intraabdominal), dialisis peritoneal, hipoalbuminemia, sindrom nefrotik,
glomerulonefritis akut, retensi garam, atau pasca by-pass koroner.
Efusi pleura eksudat terjadi akibat peradangan atau infiltrasi pada pleuraatau
jaringan yang berdekatan dengan pleura. Kerusakan pada dinding kapiler darah
menyebabkan terbentuknya cairan kaya protein yang keluar dari pembuluh darah
dan berkumpul pada rongga pleura. Bendungan pada pembuluh limfa juga dapat
menyebabkan efusi pleura eksudatif.
Referensi : Djojodibroto, R. Darmanto. 2009. Respirologi (respiratory medicine).
Jakarta:EGC.

Emfisema
Emfisema adalah sebuah keadaan dimana kantong udara (alveoli) diparu-paru
mengalami kerusakan. Merokok meruakan penyebab utama emfisema . Semakin
Banyak merokok, semakin tinggi resiko terkena emfisema. Bahkan paparan asap
roko juga meningkatkan resiko terkena emfisema. Disampin itu, orang yang
tinggal atau bekerja di daerah yang terpapar polusi tinggi dan asap kimia beresiko
tinggi terkena penyakit ini.

Referensi : PDPI. 2017. Emfisema, Penyakit yang melemahkan Fungsi Paru-Paru.


Perimpunan Dokter Paru Indonesia

Atelektasis
Penyumbatan pada bronkus merupakan penyebab utama terjadinya atelektasis.
Penyumbatan juga bisa terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil. Penyebab
terjadinya sumbatan bisa dikarenakan adanya tumor, gumpalan lendir, atau benda
asing yang terhisap bronkus.Saluran pernapasan yang tersumbat bisa
menyebabkan udara dalam alveoli terserap ke dalam aliran darah hingga
menyebabkan alveoli memadat dan menciut. Jaringan paru-paru yang mengkerut
biasanya terisi dengan sel darah, lendir, serum, dan kemungkinan akan terjadi
infeksi.

Referensi: PDPI. 2019. Kenali Atelektasis-Keadaan Dimana Paru-Paru Menciut.


Persatuan Dokter Paru Indonesia

Emboli paru
Penyebab emboli paru semula belum jelas, tetapi hasil-hasil penelitian dari autopsi
paru pasien yang meninggal karena penyakit ini menunjukkan dengan jelas bahwa
penyebab penyakit tersebut adalah trombus di pembuluh vena tungkai bawah atau
dari jangtung kanan. Sumber emboli paru yang lain misalnya tumor yang telah
menginvasi sirkulasi vena (emboli tumor), amnion, udara, lemak, sumsum tulang,
fokus septik (pada endokarditis) dan lain-lain. Kemudian material emboli beredar
dalam peredara darah sampai sirkulasi pulmonal dan tersangkut pada cabang-
cabang arteri pulmonal, memberi akibat timbulnya gejala klinis. Emboli paru
karena trombus di arteri pulmonalis (in situ) sangat jarang.

Referensi: Rahmatullah, Pasiyan. 2009. Tromboemboli Paru, dalam Sudoyo AW,


dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)


Yang menyebabkan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah 1. Kebiasaan
merokok, polusi udara, paparan debu,asap dangas-gas kimiawi; 2. Faktor usia dan
jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi paru-paru, bahkan
pada saat gejala penyakit tidak dirasakan; 3. Pasien yang tinggal di kota
kemungkinan untuk terkena PPOK lebih tinggi daripada pasien yang tinggal di
desa; 4. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan
asmaorang dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK; 5. Faktor genetik,
dimana terdapat alfa2 Protease inhibitor yang rendah (penghambat alfa2 protease).

Referensi : Rab, Prof. Dr. H. Tabrani. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM.

FaktorRisiko Pneumonia

Umur, jenis kelamin, gizi kurang, riwayat BBLR, pemberian ASI yang kurang
memadai, defisiensi vitamin A, status imunisasi, polusi udara, kepadatan rumah
tangga ventilasi rumah, dan pemberian makanan yang terlalu dini.Selain itu, dari
sebuah hasil penelitian diketahui faktor-faktor risiko lain yang dapat meningkat
kan insidens pneumonia yaitu perilaku ibu dalam pengobatan, lamanya waktu
anak berada di dapur, riwayat ke Posyandu dalam 3 bulan terakhir, serta
pendapatan rumah tangga.
FaktorRisiko Pneumothorax

Pneumothorax bias dialami secara tiba-tiba oleh orang yang sehat, maupun
sebagai bentuk komplikasi dari kondisi paru-paru tertentu. Beberapa jenis faktor
risiko meliputi:

a) Cedera dada yang melukaiparu-paru, misalnyalukatembakatautulangrusuk yang


patah.
b) Menggunakanalat bantu pernapasan, contohnya yang ventilator.
c) Merokok, Asap rokok diduga bisa menipiskan dinding bleb sehingga resiko
pneumothorax meningkat.
d) Jenis kelamin. Kondisi ini lebih sering dialami oleh pria dibandingkan wanita.
e) Usia, Pneumothorax primer cenderung terjadi pada usia muda, yaitu sekitar
20 hingga 40 tahun.
f) Faktorketurunan 1dari 9 pengidap pneumothorax diperkirakan memiliki
anggota keluarga dengan kondisi kesehatan yang sama.
g) Pernah mengalami pneumothorax. Sebagian besar orang yang pernah terserang
kondisi ini berpotensi untuk kembali mengalaminya.

FaktorRisikonyaEmfisema

(1) merokok, (2) genetik, (3) infeksi pernapasan, (4) usia, (5) jenis
kelamin, dan (6)polusi.Namun merokok merupakan faktor risiko utama yang
dapat menyebabkan PPOK dan emfisema. Selain itu, terdapat juga faktor genetik.
Riwayat merokok dan adanya defisiensi alfa-1 anti tripsin dapat meningkat kan
faktor risiko terjadinya Emfisema.

Faktor Risiko Atelektasis

Atelektasis dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang jenis kelamin
maupun ras. Faktor risiko atelektasis, antara lain: Berusia 60 tahun atau lebih.
Bayi lahir prematur. Selesai menjalani operasi. Memiliki penyakit paru.
FaktorResiko Emboli Paru

Fraktur (terutama pada panggul atau tungkai bawah)¸Penggantian panggul


atau lutut Operasi umum besar, Trauma besar¸ Cedera pada saraf tulang belakang,
Gagal jantung atau napas kronik, Terapi hormone, Stroke paralitik, Keadaan post
partum,Riwayat emboli paru,Thrombofilia, Tirah baring lebih dari 3 hari,Usia
lanjut, Operasi laparoskopik, Obesitas,Keadaan antepartum,Varises.

Faktor Resiko Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

a) Faktor pejamu (host) Faktor pejamu (host) meliputi genetik, hiper responsive
jalan napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah
kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif
jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi.
Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan
semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru
di duga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK
b) Perilaku (Kebiasaan) Merokok Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting
terjadinya PPOK tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal
paru adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun dan
perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Tidak seluruh perokok
menjadi PPOK, hal ini mungkin berhubungan dengan faktor genetik. Perokok
pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK Prevalens
c) Faktor Lingkungan (Polusi Udara) Polusi udara terdiri dari polusi di dalam
ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap kompor, briket batu bara, asap kayu
bakar, asap obat nyamuk bakar, dan lain-lain), polusi di luar ruangan (outdoor),
seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan,
kebakaran hutan, gunung meletus, dan lain-lain, dan polusi di tempat kerja
(bahan kimia, debu/zat iritasi, dan gas beracun).
Referensi : http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126560-S-5738-Faktor-
faktor%20yang-Literatur.pdf
http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=7865

http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=8187

http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/1011

https://www.halodoc.com/kesehatan/atelektasis

https://www.researchgate.net/publication/327525211_EMBOLI_PARU/fulltext/5
b932f3aa6fdccfd5424bde5/327525211_EMBOLI_PARU.pdf?origin=publication_
detail

http://eprints.undip.ac.id/43734/3/BAB_2.pdf

8. Bagaimana pencegahan dari setiap DD?

PNEUMONIA

Di Negara-negara berkembang telah mengidentifikasi 6 strategi untuk mengontrol


infeksi saluran pernapasan akut yang dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas
akibat pneumonia pada anak-anak (WHO, 2010). Adapun 6 strategi yang
dimaksud adalah :

1. Pemberian imunisasi. Pencegahan pneumonia dapat dilakukan dengan


pemberian imunisasi campak, Dipteri Pertusis Tetanus (DPT) untuk menyiapkan
balita menghadapi lingkungan yang tidak selalu bisa dijamin kebersihan udaranya.
Selain itu, asupan makanan yang kaya gizi tentu akan mempertahankan stamina
balita sendiri.

2. Memberikan kemoprofilaksis (pelega tenggorokan/pereda batuk) pada anak


dengan infeksi pernapasan akut dan anak dengan mengi
3. Memperbaiki nutrisi. Untuk mencegah risiko pneumonia pada bayi dan anak-
anak yang disebabkan karena malnutrisi sebaiknya dilakukan dengan pemberian
ASI pada bayi sampai dengan umur 2 tahun. Hal ini disebabkan karena ASI
terjamin kebersihannya dan mengandung faktor-faktor antibodi cairan tubuh
sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi bakteri dan virus.
Selain pemberian ASI peningkatan status gizi anak penderita pneumonia juga
perlu perhatian untuk kesembuhan anak tersebut.

4. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan, lingkungan


berasap rokok dan polusi di luar ruangan.

5. Mengurangi penyebaran kuman dan mencegah penularan langsung dengan cara


menjauhkan anak dari penderita batuk.

6. Memperbaiki cara-cara perawatan anak. Usaha untuk mencari pertolongan


medis, memberikan pendidikan pada ibu tentang caraperawatan anak yang baik.

EFUSI PLEURA

tindakan untuk mencegah kekambuhan.

Rencana tindakan :

a. Tekankan pentingnya mengikuti jadwal pengobatan yang diberikan

b. Jelaskan /kuat penjelasan proses penyakit individu

c. Dorong pasien /orang terdekat untuk menanyakan pertanyaan.

d. Diskusikan obat, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan.

e. Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal


PNEUMOTHORAX

1) Bagi pasien disarankan untuk melakukan terapi secara rutin, serta melakukan
latihan-latihan yang diajarkan fisioterapi secara rutin dirumah

2) Bagi fisoterapi hendaknya benar-benar melakukan tugasnya secara propesional,


yaitu melakukan pemeriksaan dengan teliti sehingga dapat menegakkan diagnosa,
menentukan problematik, menentukan tujuan terapi yang tepat, untuk menentukan
jenis modalitas fisioterapi yang tepat dan efektif buat penderita, fisioterapi
hendaknya meningkatkan ilmu pengetahuan serta pemahaman terhadap hal-hal
yang berhubungan dengan studi kasus karena tidak menutup kemungkinan adanya
terobos baru dalam suatu pengobatan yang membutuhkan pemahaman lebih
lanjut.

3) Bagi masyarakat umum untuk berhati-hati untuk melakukan aktifitas kerja yang
mempunyai resiko untuk terjadinya trauma atau cidera. Disamping itu, jika telah
terjadi cidera kecelakaan maka tindakan yang harus di lakukan adalah segera
membawa pasien ke rumah sakit buakan alternatif misalnya sangkal putung
karena dapat terjadi resiko cidera dan komplikasi.

EMFISEMA/PPOK

Perlu strategi pencegahan yang efektif untuk PPOK meliputi upaya promosi
kesehatan dalam mengubah perilakumasyarakat untuk mengurangi
pajananpencemaran baik indoor maupun outdoor,perbaikan teknologi
pembersihan udaraindoor, perundang-undangan kualitas udara dan diseminasi
kompor masak yang lebih baik. Selain itu perlu antisipasi potensi risiko pada
kelompok yang berisiko rendah (lama pajanan polutan didalam dan luar rumah
kurang dari 540 bulan) mengalami kejadian PPOK.

ATELEKTASIS

Latihan nafas dapat mencegah terjadinya atelektasis paru dan meningkatkan


ventilasi (Andarini, 2002). Latihan nafas dengan modifikasi meniup balon akan
mempertahankan volume udara dalam alveoli sehingga paru dapat dicegah
menjadi kolaps.Latihan nafas modifikasi balon berpengaruh terhadap vital
capacity. Latihan nafas modifikasi balon akan memperbaiki ventilasi kolateral
alveolus, tekanan trakeobronkial meningkat sehingga saluran nafas tetap terbuka.
Jumlah udara yang terjaga dalam durasi waktu yang lebih lama akan
meningkatkan complaince paru. Latihan nafas juga meningkatkan tidal volume,
volume cadangan inspirasi dan volume cadangan ekspirasi sehingga memperbaiki
vital capacity. Latihan nafas juga akan meningkatkan cadangan udara dalam paru
(Andarini, 2002)Cara pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan
pencegahan yang bersifat konservatif maupun medikamentosa. Pencegahan yang
bersifat konservatif antara lain adalah dengan memecah rute penerbangan yang
dijalani. Dibandingkan dengan penerbangan selama 4-8 jam di udara, akan lebih
baik untuk memecah menjadi 1-2 jam dalam beberapa penerbangan lanjutan.
Aktivitas berjalan maupun berdiri sebaiknya dilakukan saat penerbangan dalam
posisi transit. Di samping itu, disarankan agar tidak menggunakan pakaian terlalu
ketat, tidak duduk menyilangkan kaki, serta melakukan pelemasan otot tungkai
dengan berdiri dan berjalan saat di pesawat bila sudah melewati 1-2 jam duduk di
kursi penumpang. Senam relaksasi pada daerah tungkai bawah dan lutut juga
dapat dilakukan sambil duduk di kursi penumpang. Senam ini terdiri dari
serangkaian gerakan memutar pada pergelangan kaki, tumit, menaikturunkan dan
meluruskan lutut dan tungkai bawah ditambah dengan gerakan melemaskan
punggung dan kedua bahu. Disarankan juga agar tetap menjaga kondisi hidrasi
selama penerbangan dengan konsumsi air maupun cairan secukupnya dan
menghindari konsumsi alkohol yang justru akan menambah risiko dehidrasi.
Apabila memungkinkan juga dapat menggunakan stocking khusus untuk
pencegahan DVT yang didesain khusus sehingga dapat mengkompresi bertahap
pada otot tungkai agar mencegah terjadinya stasis pada aliran vena. Sedangkan
untuk pencegahan medikamentosa lebih disarankan untuk para penumpang
yangmemiliki risiko tinggi terjadi DVT, yakni dengan penggunaan antikoagulan
seperti misalnya warfarin oral atau injeksi subkutan enoxaparin. Beberapa literatur
juga menyebutkan penggunaan asetilsalisilat oral namun bukti akan kegunaan dan
efikasinya dalam pencegahan DVT masih saling bertolak belakang. Belum
terdapat bukti yang menyatakan bahwa salah satu cara pencegahan di atas bersifat
protektif terhadap terjadinya emboli paru, namun secara patofisiologis nyata dapat
mencegah proses DVT yang pada gilirannya dapat saja berkomplikasi menjadi
emboli paru.

Referensi :

Apte, K. & Salvi, S. (2016) Household air pollution and its effects on health.
F1000Research, 5.

Balmes, J., Becklake, M., Blanc, P. & Henneberger, P. (2003) American Thoracic
Society Statement: Occupational contribution to the burden of airway disease.
American journal of respiratory and critical care medicine, 167(5): 787.

Belli AJ, B. S., Aggarwal N, DaSilva C, Thapa S, Grammer L, Paulin LM, Hansel
NN (2016) Indoor particulate matter exposure is associated with increased black
carbon content in airway macrophages of former smokers with COPD. Environ
Res. 2016 Oct;150:398-402

Glanz, Karen., Rimer., Barbara, K., & Viswanath. (2008). Health behavior and
health education theory, research, and practice. San Fransisco: Jossey Bass.

Gybney, M. J. (2008). Gizi kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC. Harahap, F. M.


(2011). Asma Bronkial. Diakses tanggal 04 Maret 2012, dari:
http://www.scribd.com/doc/59125943 /Asma-Bronkial-Referat

Harrison. (1999). Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Jakarta: EGC.

Price & Wilson, (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,


Jakarta: EGC, Hal: 667-709.

Rahmad, K., (2002). Penanganan Trauma thoraks, Jakarta: Sub bagian Bedah
thoraks FK UI, Hal: 29-38,7-78.

Sunhaji, (2002). Benda Asing di Thoraks, Jakarta: Sub bagian bedah thoraks FK
UI, Hal: 127-144.

Anda mungkin juga menyukai