Oleh:
Nabila Firyal Ananda
I4061202074
Pembimbing:
dengan judul:
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.2.3 Epidemiologi
Meskipun belum ada penelitian epidemilogi untuk EPG tetapi
insidensinya dapat diestimasi berdasarkan data-data yang ada yaitu sekitar
15% dari seluruh penyakit keganasan. Efusi pleura ganas dapat disebabkan
oleh hampir semua jenis keganasan, hampir sepertiga kasus EPG
disebabkan oleh kanker paru. Penelitian postmortem yang dilakukan di
Amerika Serikat mendapatkan EPG sekitar 15% dari 191 kasus keganasan
yang diteliti. Dari kasus kematian karena keganasan pertahun di Amerika
Serikat ditemukan EPG 83.000 dari 656.500 kasus kanker.13
Penelitian yang dilakukan oleh Khairani dkk. di Rumah Sakit
Persahabatan atau Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, pada 119 pasien yang
dilakukan sejak September 2010 hingga Desember 2011 menunjukkan
42,8% dari total kejadian efusinya disebabkan oleh keganasan. Lebih dari
75% penderita dengan efusi pleura curiga keganasan disebabkan oleh
metastasis yang berasal dari paru, ovarium, atau lymphoma.14
2.2.4 Patofisiologi
Cairan pada rongga pleura secara normal diproduksi melalui filtrasi dari
pembuluh darah perifer yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotik
plasma dan jaringan interstisial sub-mesotelial, kemudian melalui sel
mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura juga
didapat melalui pembuluh limfe di sekitar pleura.15
Cairan pleura akan diserap kembali ke tubuh oleh pleura parietal
melalui pembuluh limfe dan oleh pleura viseral melalui pembuluh darah
mikro. Produksi cairan pleura normal kurang lebih sekitar 0,01
ml/KgBB/jam hampir sama dengan penyerapannya kembali oleh tubuh
dan dapat dikatakan bahwa sekitar 10-20 ml cairan pleura bersirkulasi
setiap harinya. Mekanisme ini mengikuti Hukum Starling yaitu jumlah
pembentukan dan pengeluaran seimbang, sehingga volume pada rongga
pleura tetap. Cairan pleura berperan sebagai pelumas agar paru dapat
bergerak dengan leluasa saat bernapas.9
Berikut adalah keadaan yang dapat mengganggu keseimbangan cairan
dalam rongga pleura yang disebabkan oleh keganasan:15
1. Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan kadar protein dalam
rongga pleura sehingga permeabilitas kapiler meningkat dan terjadi
perpindahan cairan dari dalam vaskuler ke rongga pleura.
2. Masa atau tumor dapat menyebabkan tersumbatnya aliran pembuluh
darah vena dan pembuluh limfe sehingga rongga pleura gagal dalam
memindahkan cairan dan protein.
3. Tumor dapat mempermudah terjadinya infeksi dan selanjutnya timbul
hipoproteinemia. Akibatnya keseimbangan kadar protein darah dan
rongga pleura terganggu dan akan menyebabkan perpindahan cairan ke
rongga pleura akibat tekanan osmotik yang tinggi.
Neoplasma primer maupun sekunder dapat menyerang pleura dan
umumnya menyebabkan efusi pleura. Keluhan yang paling banyak
ditemukan adalah sesak napas dan nyeri dada. Gejala lain yang ditemukan
adalah akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun sudah
dilakukan torakosintesis berkali-kali. Efusi bersifat eksudat, tapi sebagian
kecil (10%) bisa sebagai transudat. Warna efusi dapat berupa sero-
santokrom ataupun hemoragik (terdapat lebih dari 100.000 sel eritrosit per
cc).15
Efusi pleura karena neoplasma biasanya terjadi secara unilateral, tapi
bisa juga secara bilateral karena obstruksi saluran getah bening, metastasis
dapat menyebabkan pengaliran cairan pleura melalui diafragma.15
Tumor primer paru atau metastasis tumor di paru yang menginfiltrasi
pleura viseral dan parietal dapat juga mengakibatkan inflamasi sehingga
permeabilitas pembuluh darah akan meningkat. Studi postmortem (otopsi)
menyebutkan bahwa metastasis tumor lebih banyak terjadi di pleura
viseral daripada pleura parietal. Deposit tumor pada pleura parietal akan
menyebabkan tersumbatnya pembuluh limfe yang bertugas mengalirkan
cairan pleura, sehingga terjadi penumpukan cairan di rongga pleura.
Mekanisme biomolekuler yang mendasari kejadian ini belum diketahui
sepenuhnya. Diperkirakan produksi sitokin intrapleura seperti tumor
necrosing factor-α (TNF-α), tumor growth factor-β (TGF-β) dan
peningkatan endotelial vascular growth factor (VEGF) yang bersifat
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi
cairan. Selain faktor di atas, beberapa penelitian juga menghubungkan
hipoproteinemia yang disebabkan oleh nafsu makan yang berkurang pada
pasien penderita kanker hingga terjadi malnutrisi. Keadaan ini dapat
menurunkan tekanan osmotik intravaskular sehingga memudahkan cairan
masuk ke jaringan interstisial, termasuk rongga pleura.15
2.2.5 Diagnosis
Presentasi klinis efusi pleura tergantung pada jumlah cairan yang ada
dan penyebab yang mendasarinya. Seorang pasien dengan efusi pleura
dapat asimtomatik atau dapat hadir dengan sesak napas saat beraktivitas.
Pasien dengan radang pleura aktif yang disebut pleuritis mengeluh nyeri
crescendo/decrescendo yang tajam, parah, terlokalisir dengan pernapasan
atau batuk, nyeri ini disebabkan oleh gesekan yang berhubungan dengan
gerakan antara dua permukaan pleura. Ketika efusi berkembang, rasa sakit
bisa mereda, secara keliru menyiratkan peningkatan kondisi. Rasa sakit
yang konstan juga merupakan ciri dari penyakit ganas seperti
mesothelioma. Tergantung pada penyebab efusi, pasien juga dapat
mengeluh batuk, demam, dan gejala sistemik.
a) Anamnesis
Anamnesis memberikan informasi tentang kemungkinan etiologi
efusi pleura dan pedoman untuk pemeriksaan penunjang yang
diperlukan. Pada anamnesis ditemukan gejala klinis seperti sesak napas
yang berkaitan dengan volume cairan atau keluhan lain maka riwayat
perjalanan klinis yang mengarah ke penyakit keganasan rongga toraks
dan organ luar toraks lain harus dapat digali secara baik, sistematik dan
tepat.
Kebanyakan kasus EPG simptomatis meskipun sekitar 15% datang
tanpa gejala, terutama pasien dengan volume cairan kurang dari 500 ml.
Sesak napas adalah gejala tersering pada kasus EPG terutama jika
volume cairan sangat banyak. Sesak napas terjadi karena refleks
neurogenik paru dan dinding dada karena penurunan keteregangan
(compliance) paru, penurunan volume paru ipsilateral, pendorongan
mediastinum ke arahkontralateral dan penekanan diafragma ipsilateral.9
Gejala lain adalah nyeri dada sebagai akibat reaksi inflamasi pada
pleura parietal terutama pada mesothelioma, batuk, anoreksia dan berat
badan turun.9
b) Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik adanya tanda-tanda peningkatan volume,
pengurangan fremitus vokal taktil, redup pada perkusi, dan suara napas
berkurang atau tidak ada. Efusi pleura masif hadir dengan gangguan
pernapasan dan tanda-tanda pergeseran mediastinum. Temuan lain
mungkin di temukan pembesaran pada kelenjar getah bening.16
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos thoraks
Karena cairan bersifat lebih padat daripada udara, maka cairan
yang mengalir bebas tersebut pertama sekali akan menumpuk di
bagian paling bawah dari rongga pleura, ruang subpulmonik dan
sulkus kostofrenikus lateral. Efusi pleura biasanya terdeksi pada foto
thoraks postero anterior posisi tegak jika jumlah cairan sampai 200 –
250 ml. Foto thoraks lateral dapat mendeteksi efusi pleura sebesar 50
– 75 ml.16
Berdasarkan foto thoraks, efusi pleura terbagi atas small,
moderate, dan large. Dikatakan efusi pleura small jika cairan yang
mengisi rongga pleura kurang dari sepertiga hemithoraks. Efusi
pleura moderate jika cairan yang mengisi rongga pleura lebih dari
sepertiga tetapi kurang dari setengah hemithoraks. Sedangkan efusi
pleura dikatakan large jika cairan yang mengisi rongga pleura lebih
dari setengah hemithoraks. Selain itu efusi pleura juga dapat dinilai
sebagai efusi pleura massif jika cairan sudah memenuhi satu
hemithoraks serta menyebabkan pergeseran mediastinum kea rah
kontralateral, menekan diafragma ipsilateral dan kompresi paru.16
Pada kasus efusi pleura massif, seluruh hemithoraks akan terdapat
banyangan opasitas. Pada foto tersebut, pergeseran mediastinum
dapat mengidentifikasi penyebab efusi pleura tersebut. Dengan tidak
adanya paru atau mediastinum yang sakit, akumulasi cairan yang
besar akan mendorong mediastinum ke kontralateral. Ketika
mediastinum bergeser ke arah efusi kemungkinan kelainannya adalah
di paru dan bronkus utama atau adanya obstruksi. Ketika
mediastinum tetap di medial kemungkinan penyebabnya adalah
tumor.17
Gambar 3. (a) Efusi pleura kiri pada foto thoraks tampak dari postero
anterior dan lateral. (b) Meniscus sign dapat terlihat dari kedua posisi
tersebut. 17
2. CT Scan
CT Scan thoraks lebih sensitif dibandingkan dengan foto
thoraks biasa untuk menilai luas, jumlah, dan lokasi dari efusi
pleura yang terlokalisir. Pada gambaran CT scan thoraks, cairan
yang mengalir bebas akan membentuk seperti bulan sabit pada
daerah paling bawah, sedangkan penumpukan cairan yang
terlokalisir akan tetap membentuk lenticular dan relative tetap
berada dalam ruang tersebut.17
Selain itu CT scan thoraks juga dapat digunakan untuk menilai
penebalan pleura, massa yang mengarah ke keganan dan penyakit-
penyakit lain yang menyebabkan efusi pleura eksudatif. Dengan
menggunakan zat kontras intra vena, CT scan thoraks dapat
membedakan penyakit parenkim paru, seperti abses paru. Emboli
paru juga dapat terdeteksi dengan menggunakan zat kontras intra
vena. CT scan thoraks juga berguna dalam mengidentifikasi
patologi mediastinum dan dalam membedakan asites dari efusi
pleura subpulmonik yang terlokalisir.17
Gambar 5. Gambaran efusi pleura tampak pada CT scan thoraks. 16
3. Torakosentesis diagnostik
Aspirasi cairan pleura dapat dilakukan sebagai uji diagnostik
dan terapeutik. Prosedur dilakukan dengan tehnik steril dan anastesi
lokal dengan menggunakan jarum disposable nomer 16 atau 18
gauge pada garis axilaris posterior sela iga ke-7. Analisis cairan
pleura dilakukan secara makroskopis, mikroskopis, biokimia dan
sitologi menunjukan karakteristik efusi pleura ganas sebagai
berikut :9
Makroskopis, bersifat jernih, sero-hemoragis
Mikroskopis, ditemukan eritrosit >100.000/mm3 dan
limfositosis (>50%)
Sitologi, ditemukan sel ganas pada sediaan apus cairan efusi
pleura. Pemeriksaan dengan cairan pleura yang lebih banyak
akan meningkatkan hasil positif. Ketetapan pemeriksaan
sitologi berkisar 40 – 87%.
Biokimia, bersifat eksudat dengan memakai kriteria Light yaitu
rasio protein cairan plura dan serum > 0,5; lactat dehidrogenase
(LDH) > 200 IU; rasio LDH cairan pleura dan serum > 0,6.
Gambar 10. terowongan dari 2 sayatan kecil biasanya dibuat jarak sekitar
7-10 cm Sayatan ditutup dengan jahitan.22
Sebuah tinjauan efikasi dan keamanan IPC mengungkapkan bahwa
komplikasi yang paling sering adalah malfungsi kateter dan yang paling
mengkhawatirkan adalah empiema. Selain itu terdapat komplikasi infeksi
yang biasanya terjadi 6 hingga 8 minggu setelah pemasangan dan lebih
mungkin terkait dengan perawatan pasca pemasangan. Menariknya, infeksi
pleura terkait IPC sering menyebabkan pleurodesis, terutama dengan
infeksi Staphylococcus. Komplikasi lain termasuk perdarahan, infeksi,
selulitis, dislokasi kateter, obstruksi kateter, nyeri, pneumotoraks, dan
metastasis saluran.23
2.3 Osteosarcoma
2.3.1 Definisi
Osteosarkoma disebut juga osteogenik sarkoma adalah suatu
neoplasma ganas yang berasal dari sel primitif (poorly differentiated cells)
di daerah metafise tulang panjang pada anak-anak. Di sebut osteogenik oleh
karena perkembangannya berasal dari seri osteoblastik sel mesensim
primitif. Osteosarkoma merupakan neoplasma primer dari tulang yang
tersering setelah myeloma multipel.24
Osteosarkoma biasanya terdapat pada metafisis tulang panjang dimana
lempeng pertumbuhannya (epiphyseal growth plate) yang sangat aktif yaitu
pada distal femur, proksimal tibia dan fibula, proksimal humerus dan
pelvis. Pada orangtua umur diatas 50 tahun, osteosarkoma bisa terjadi
akibat degenerasi ganas dari paget’s disease, dengan prognosis sangat
jelek.24
2.3.2 Epidemiologi
Berdasarkan data WHO, osteosarkoma adalah tumor tulang primer
paling umum dengan estimasi insiden 4-5/1.000.000 per tahun.25
Osteosarkoma umumnya terjadi pada usia anak-anak dan dewasa muda.
Insiden penyakit ini lebih tinggi pada remaja, yaitu 8-11/1.000.000 per
tahun, laki-laki 1,4 kali lebih sering mengalami osteosarkoma dibanding
perempuan.26 Di Eropa, didapatkan insiden 0,2-3/100.000 per tahun dalam
kelompok usia 15-19 tahun. Angka 2-year survival rate di Taiwan
didapatkan sebesar 46,9%, dengan 5-year survival rate sebesar 37,5%.27
Di Indonesia, berdasarkan Riset Dasar Kesehatan 2013 didapatkan
insiden tumor tulang ganas di Indonesia didapatkan sebesar 1,6% dari
seluruh jenis tumor ganas pada manusia, dengan kecenderungan
meningkatnya insiden tumor tulang setiap tahunnya.28
Osteosarkoma dapat timbul hampir di setiap golongan usia, tapi
kebanyakan pada 10-20 tahun, disusul 21-30 tahun. Rasio pria dan wanita
adalah sekitar 2:1. Terutama timbul di metafisis yang tumbuh aktif. Lokasi
tersering adalah ujung distal femur dan proksimal tibia, tumor pada 50%
pasien timbul di sekitar lutut, lalu proksimal humerus, proksimal fibula,
dll.24
2.3.3 Manifestasi klinis
Umumnya gejala klinik terjadi beberapa minggu sampai bulan
setelah timbulnya penyakit ini. Gejala awal relatif tidak spesifik seperti
nyeri dengan atau tanpa teraba massa. Nyeri biasanya dilukiskan sebagai
nyeri yang dalam dan hebat, yang dapat dikelirukan sebagai peradangan.29
Pemeriksaan fisik mungkin terbatas pada massa nyeri, keras,
pergerakan terganggu, fungsi normal menurun, edema, panas setempat,
teleangiektasi, kulit diatas tumor hiperemi, hangat, edema, dan pelebaran
vena. Pembesaran tumor secara tiba-tiba umumnya akibat sekunder dari
perdarahan dalam lesi. Fraktur patologik terjadi pada 5-10% kasus.30,31
Tumor ini dapat tumbuh pada tulang manapun, tetapi umumnya pada
tulang panjang terutama distal femur, diikuti proksimal tibia dan proksimal
humerus dimana growth plate paling proliferatif. Pada tulang panjang
sering pada bagian metafisis (90%) kemudian diafisis (9%), dan jarang
pada epifisis.30,32
Osteosarkoma bertumbuh cepat dengan ekspansi lokal, doubling time
sekitar 34 hari. Penyebaran hematogen paling sering terjadi pada awal
penyakit dan biasanya ke paru-paru dan tulang sedangkan metastasis ke
kelenjar limfe jarang. Penyebaran transartikuler juga jarang dan dapat
terjadi pada sendi dengan mobilitas rendah. Pada stadium lanjut, berat
badan umumnya menurun dan menjadi kaheksia.30
Penanganan osteosarkoma dilakukan melalui pendekatan dari banyak
segi, termasuk kemoterapi dengan asumsi bahwa semua kasus mempunyai
metastasis pada waktu didiagnosis dan kemudian diikuti dengan operasi.
Paru-paru merupakan tempat tersering dari metastasis tumor ini. Pada
waktu didiagnosis sekitar 10-20% kasus telah terdapat metastasis paru. Dari
kasus yang meninggal karena penyakit ini, 90% telah mempunyai
metastasis paru, tulang, dan otak.33
Terdapat laporan mengenai metastasis pada paru dan pleura yang
terjadi 4 tahun setelah diamputasi osteosarkoma tibia. Dengan demikian,
selain pemeriksaan paru untuk deteksi metastasis, perlu juga pemeriksaan
torakostomi untuk menilai keadaan pleura.34
2.3.4 Staging
Pada tumor muskuloskeletal stagingnya memakai Enneking System,
yang telah dipakai oleh Musculoskeletal Tumor Society, begitu juga pada
osteosarkoma. Staging ini berdasarkan gradasi histologis dari tumor (ada
low-grade dan high-grade), ekstensi anatomis dari tumor
(intrakompartmental atau ekstrakomparmental), dan ada tidaknya metastase
(Mo atau M1).35
Sesuai dengan Enneking System maka Staging dari Osteosarkoma
adalah sebagai berikut :35
Stadium I (Low-grade Tumor)
IA : derajat keganasan rendah, lokasi intrakompartemen, tanpa
metastasis
IB : derajat keganasan rendah, lokasi ekstrakompartemen, tanpa
metastasis
Stadium II (High-grade)
IIA : derajat keganasan tinggi, lokasi intrakompartemen, tanpa
metastasis
IIB: derajat keganasan tinggi, lokasi ekstrakompartemen, tanpa
metastasis
Stadium III (Any Grade with metastase)
III A Intracompartmental
III B Extracompartmental
2.3.6 Tatalaksana
Belakangan ini Osteosarkoma mempunyai prognosis yang lebih baik,
disebabkan oleh prosedur penegakkan diagnosis dan staging dari tumor
yang lebih baik, begitu juga dengan adanya pengobatan yang lebih canggih.
Dalam penanganan osteosarkoma modalitas pengobatannya dapat dibagi
atas dua bagian yaitu dengan kemoterapi dan dengan operasi.38
a) Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pengobatan yang sangat vital pada
osteosarkoma, terbukti dalam 30 tahun belakangan ini dengan
kemoterapi dapat mempermudah melakuan prosedur operasi
penyelamatan ekstremitas (limb salvage procedure) dan meningkatkan
survival rate dari penderita. Kemoterapi juga mengurangi metastase ke
paru-paru dan sekalipun ada, mempermudah melakukan eksisi pada
metastase tersebut.
Regimen standar kemoterapi yang dipergunakan dalam pengobatan
osteosarkoma adalah kemoterapi preoperatif (preoperative
chemotherapy) yang disebut juga dengan induction chemotherapy atau
neoadjuvant chemotherapy dan kemoterapi postoperatif (postoperative
chemotherapy) yang disebut juga dengan adjuvant chemotherapy.
Kemoterapi preoperatif merangsang terjadinya nekrosis pada tumor
primernya, sehingga tumor akan mengecil. Selain itu akan memberikan
pengobatan secara dini terhadap terjadinya mikro-metastase. Keadaan
ini akan membantu mempermudah melakukan operasi reseksi secara
luas dari tumor dan sekaligus masih dapat mempertahankan
ekstremitasnya. Pemberian kemoterapi postoperatif paling baik
dilakukan secepat mungkin sebelum 3 minggu setelah operasi.
Obat-obat kemoterapi yang mempunyai hasil cukup efektif untuk
osteosarkoma adalah: doxorubicin (Adriamycin ® ), cisplatin (Platinol
® ), ifosfamide (Ifex ® ), mesna (Mesnex ®), dan methotrexate dosis
tinggi (Rheumatrex ® ). Protokolstandar yang digunakan adalah
doxorubicin dan cisplatin dengan atau tanpa methotrexate dosis tinggi,
baik sebagai terapi induksi (neoadjuvant) atau terapi adjuvant. Kadang-
kadang dapat ditambah dengan ifosfamide. Dengan menggunakan
pengobatan multi-agent ini, dengan dosis yang intensif, terbukti
memberikan perbaikan terhadap survival rate sampai 60 – 80%.
b) Operasi
Saat ini prosedur Limb Salvage merupakan tujuan yang diharapkan
dalam operasi suatu osteosarkoma. Maka dari itu melakukan reseksi
tumor dan melakukan rekonstrusinya kembali dan mendapatkan fungsi
yang memuaskan dari ektermitas merupakan salah satu keberhasilan
dalam melakukan operasi. Dengan memberikan kemoterapi preoperatif
(induction = neoadjuvant chemotherpy) melakukan operasi
mempertahankan ekstremitas (limb-sparing resection) dan sekaligus
melakukan rekonstruksi akan lebih aman dan mudah, sehingga
amputasi tidak perlu dilakukan pada 90 sampai 95% dari penderita
osteosarkoma.
Dalam penelitian terbukti tidak terdapat perbedaan survival rate
antara operasi amputasi dengan limb-sparing resection. Amputasi
terpaksa dikerjakan apabila prosedur limb-salvage tidak dapat atau tidak
memungkinkan lagi dikerjakan. Setelah melakukan reseksi tumor,
terjadi kehilangan cukup banyak dari tulang dan jaringan lunaknya,
sehingga memerlukan kecakapan untuk merekonstruksi kembali dari
ekstremitas tersebut. Biasanya untuk rekonstruksi digunakan endo-
prostesis dari methal.
Prostesis ini memberikan stabilitas fiksasi yang baik sehingga
penderita dapat menginjak (weight-bearing) dan mobilisasi secara
cepat, memberikan stabilitas sendi yang baik, dan fungsi dari
ekstremitas yang baik dan memuaskan. Begitu juga endoprostesis
methal meminimalisasi komplikasi postoperasinya dibanding dengan
menggunakan bone graft.
2.3.7 Prognosis
Faktor yang mempengaruhi prognosis termasuk lokasi dan besar dari
tumor, adanya metastase, reseksi yang adekuat, dan derajat nekrosis yang
dinilai setelah kemoterapi.39
a) Lokasi tumor
Lokasi tumor mempunyai faktor prognostik yang signifikan pada
tumor yang terlokalisasi. Diantara tumor yang berada pada ekstrimitas,
lokasi yang lebih distal mempunyai nilai prognosa yang lebih baik
daripada tumor yang berlokasi lebih proksimal. Tumor yang berada
pada tulang belakang mempunyai resiko yang paling besar untuk
progresifitas dan kematian. Osteosarkoma yang berada pada pelvis
sekitar 7-9% dari semua osteosarkoma, dengan tingkat survival sebesar
20% – 47%.39
b) Ukuran tumor
Tumor yang berukuran besar menunjukkan prognosa yang lebih
buruk dibandingkan tumor yang lebih kecil. Ukuran tumor dihitung
berdasarkan ukuran paling panjang yang dapat terukur berdasarkan dari
dimensi area crosssectional.39
c) Metastase
Pasien dengan tumor yang terlokalisasi mempunyai prognosa yang
lebih baik daripada yang mempunyai metastase. Sekitar 20% pasien
akan mempunyai metastase pada saat didiagnosa, dengan paru-paru
merupakan tempat tersering lokasi metastase. Prognosa pasien dengan
metastase bergantung pada lokasi metastase, jumlah metastase, dan
resectability dari metasstase. Pasien yang menjalani pengangkatan
lengkap dari tumor primer dan metastase setelah kemoterapi mungkin
dapat bertahan dalam jangka panjang, meskipun secara keseluruhan
prediksi bebas tumor hanya sebesar 20% sampai 30% untuk pasien
dengan metastase saat diagnosis.39
BAB III
PENYAJIAN KASUS
3.2 Anamnesis
a) Keluhan utama
Pro Indwelling Pleural Catheter (IPC)
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien perempuan berusia 15 tahun datang ke IGD RSUD
Soedarso, merupakan rujukan dari poli BTKV untuk persiapan
pemasangan IPC. Pasien mengatakan sejak 2 bulan SMRS, dirinya
merasakan sesak napas yang dirasakan terus menerus. Sesak napas
dirasakan memberat ketika pasien beraktivitas seperti berjalan
sejauh ±10 meter dan saat tidur pasien harus menggunakan 2
bantal. Keluhan membaik saat pasien beristirahat. Selain itu pasien
juga mengeluhkan muncul benjolan yang dirasakan semakin
membesar pada punggung kirinya sejak ± 6 bulan SMRS. Pasien
mengatakan tidak ada nyeri pada area benjolan. Pasien juga
mengeluhkan batuk sejak 2 minggu namun tidak mengeluarkan
dahak dan nafsu makan berkurang. Keluhan seperti demam, nyeri
dada, keringat pada malam hari, bantuk yang tak kunjung sembuh
disertai darah di sangkal.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Sekitar 2 minggu SMRS, pasien sempat dirawat di RSUD
Soedarso dengan keluhan sesak napas. Asma (-)
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat serupa
e) Riwayat kebiasaan
Pasien merupakan seorang pelajar SMP. Pasien mengatakan jika ia
senang mengkonsumsi makanan manis.
Pemeriksaan Hasil
WBC 10.87x10*3/uL
RBC 4.84x10*6/uL
HGB 12.1 g/dL
HCT 36,4 %
MCV 75,2 fL
MCH 25.0 pg
MCHC 33.2 g/dL
PLT 450x10*3/uL
b. Foto Rontgen Thorax AP
Hasil: (27-05-2022)
Kesan:
Efusi pleura kiri massif, kemungkinan massa belum dapat
disingirkan.
Lesi di costae 8 dan 9 anterior kiri
c. CT Scan
CT Scan 3D thoraks
Kesan:
Kesan:
Fluidpneumothoraks minimal di kiri dengan WSD
Tumor dinding dada kiri meluas ke cavum thoraks kiri
d. Echocardiography (31/05/2022)
Dimensi ruang jantung : Sinus rhythm
Fungsi sistolik : Baik. LVEF 56,7%
Fungsi Diastolik : Sulit dinilai
Kontraktilitas LV : Sulit dinilai
Lv wall motion : Normokinetik
Katup-katup jantung :
Aorta : Kesan Baik
Mitral : Kesan Baik
Tricuspid : Kesan Baik
Pulmonal : Kesan Baik
Perikardium : Efusi pericard (-)
Pleura : Efusi pleura kiri massif
Kesimpulan :
Fungsi kontraktilitas LV dan RV baik
Global normokinetik
Efusi pericard (-)
Efusi pleura kiri massif (+)
3.5 Diagnosis
Efusi pleura maligna sinistra
Osteosarcoma
3.6 Tatalaksana
Non-Medikamentosa:
Pemasangan IPC
Perawatan luka 3 hari sekali
Medikamentosa :
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr i.v
Inj. Ketorolac 3x30mg i.v
Inj. Paracetamol 3x1000 mg i.v
3.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : malam
3.8 Follow Up
KESIMPULAN