Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS

PEMASANGAN INDWELLING PLEURAL CATHETER (IPC) PADA


EFUSI PLEURA MALIGNANT SINISTRA ET CAUSA
OSTEOSARCOMA

Oleh:
Nabila Firyal Ananda

I4061202074

Pembimbing:

dr. Alvin Ariyanto Sani, BmedSci.,Sp.BTKV

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER SOEDARSO PONTIANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2022
LEMBAR
PERSETUJUAN

Telah disetujui Laporan Kasus

dengan judul:

Pemasangan Indwelling Pleural Catheter (IPC) Pada Efusi Pleura Malignant


Sinistra Et Causa Osteosarcoma

Disusun sebagai salah satu syarat untuk


menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah

Pontianak, Juni 2022


Pembimbing Penulis

dr. Alvin A Sani, BmedSci.,Sp.BTKV Nabila Firyal A


BAB I

PENDAHULUAN

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan


melebihi normal di dalam cavum pleura diantara pleura parietalis dan visceralis
dapat berupa transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura
hanya mengandung cairan sebanyak 10- 20 ml. Penyakit-penyakit yang dapat
menimbulkan efusi pleura adalah tuberkulosis, infeksi paru non tuberkulosis,
keganasan, sirosis hati, trauma tembus atau tumpul pada daerah ada, infark paru,
serta gagal jantung kongestif.1
Efusi pleura ganas merupakan salah satu komplikasi yang biasa ditemukan
pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan kanker
payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada
sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik. Sementara 5%
kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan
sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura.2
Tindakan pemasangan kateter intrapleura merupakan tatalaksana utama
jika efusi pleura sangat produktif. American Thoracic Society menjelaskan bahwa
kateter yang dapat digunakan antara lain kateter nelaton atau chest tube yang
banyak digunakan pada pemasangan water sealed drainage (WSD).3 Pemasangan
WSD pada penderita keganasan sering menyebabkan lama rawat yang panjang,
sehingga perlu difikirkan alternatif tindakan lain yang dapat berfungsi sama
seperti punksi berulang, namun tanpa melibatkan tenaga medis dalam
pelaksanaannya dan tanpa menyebabkan pasien harus dirawat di rumah sakit.4
Pada perkembangan selanjutnya digunakan kateter jenis lain dengan teknik
pemasangan di bawah jaringan subkutan, sehingga kateter terfiksasi baik dan
memperkecil risiko infeksi yaitu indwelling pleural cathether (IPC), yang saat ini
menjadi salah satu pilihan tatalaksana alternatif
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Pleura


Paru-paru manusia terletak pada rongga dada, bentuk dari paru-paru
adalah berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama
dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua yaitu bagian
yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus
sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Paru-paru bagian kanan dan
bagian kiri dipisahkan oleh sebuah ruang yang disebut mediastinum.5
Paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi menjadi
pleura viseral dan pleura parietal. Pleura viseral yaitu selaput yang langsung
membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel
pada rongga dada. Ruangan yang terbentuk diantara pleura parietalis dan
pleura visceralis dinamakan kavum pleura, dimana didalamnya terdapat
cairan pleura (surfaktan) yang menjadi lubrikans pada permukaan pleura
saat respirasi. Dalam keadaan normal ,jumlah cairan pleura ( surfaktan )
sekitar 1- 5 cc. Cairan pleura ini berfungsi sebagai pelumas sehingga
memudahkan paru untuk mengembang dan mengempis selama proses
pernapasan.6
a) Pleura Visceralis
Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis <
30 mm. Diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit. Di bawah sel-
sel mesothelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit,
di bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-
serat elastik. Lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura
yang banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari arteri
Pulmonalis dan arteri Brakhialis serta pembuluh limfe menempel kuat
pada jaringan paru. Fungsinya untuk mengabsorbsi cairan pleura.6
b) Pleura parietalis
Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat
(kolagen dan elastis). Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung
kapiler dari arteri Intercostalis dan arteri Mamaria interna, pembuluh
limfe, dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit
dan perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n. Intercostalis dinding
dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada. Mudah menempel
dan lepas dari dinding dada di atasnya Fungsinya untuk memproduksi
cairan pleura.6

Gambar 1. Tampilan depan paru dan pleuranya.6

2.2 Efusi Pleura Maligna


2.2.1 Definisi
Efusi pleura adalah akumulasi abnormal cairan dalam rongga pleura
yang dihasilkan dari produksi cairan yang berlebihan atau penurunan
penyerapan. Efusi pleura selalu abnormal dan menunjukkan adanya
penyakit yang mendasarinya.7
Efusi pleura maligna (EPM) merupakan komplikasi penting pada
pasien dengan keganasan intratorakal dan ekstratorakal. Efusi pleura
maligna ini juga merupakan komplikasi keganasan stadium lanjut yang
sangat menyulitkan.8
Efusi pleura ganas didefinisikan sebagai efusi yang terjadi
berhubungan dengan keganasan yang dibuktikan dengan penemuan sel
ganas pada pemeriksaan sitologi cairan pleura atau biopsi pleura.
Kenyataannya sel ganas tidak dapat ditemukan pada sekitar 25% kasus
efusi pleura yang berhubungan dengan penyakit keganasan, sehingga jika
hanya menggunakan definisi di atas dapat terjadi kekeliruan pada kasus
dengan sitologi / histologi negatif. Pada kasus efusi pleura bila tidak
ditemukan sel ganas pada cairan atau hasil biopsi pleura tetapi ditemukan
kanker primer di paru atau organ lain, Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FKUI dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI) memasukkannya sebagai EPG.8 Pada beberapa kasus, diagnosis
EPG didasarkan pada sifat keganasan secara klinis, yaitu cairan eksudat
yang serohemoragik/ hemoragik, berulang, masif, tidak respons terhadap
anti infeks iatau sangat produktif meskipun telah dilakukan torakosentesis
untuk mengurangi volume cairan intrapleura.9
2.2.2 Klasifikasi
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
pembentukan cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat
atau eksudat. Transudat hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan
onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari
peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa
kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristik cairan transudat dan
eksudat.10,11,12
a) Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu
adalah transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan
antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotik, sehingga
terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh
pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada: 10,11,12
1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intra pleura Penyakit-penyakit yang
menyertai transudat adalah:
 Gagal jantung kiri (terbanyak)
 Sindrom nefrotik
 Obstruksi vena cava superior
 Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek
diafragma atau masuk melalui saluran getah bening)
b) Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membran kapiler
yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi
dibandingkan protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi
pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis
eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium
tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa.
Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari
saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini
(misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan
peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan
eksudat. Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:10,11,12
1. Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)
2. Tumor pada pleura
3. Karsinoma bronkogenik
4. Radiasi
5. Penyakit dan jaringan ikat/kolagen/SLE (Sistemic Lupus
Eritematosis)
Gambar 2. Klasifikasi efusi pleura.11

2.2.3 Epidemiologi
Meskipun belum ada penelitian epidemilogi untuk EPG tetapi
insidensinya dapat diestimasi berdasarkan data-data yang ada yaitu sekitar
15% dari seluruh penyakit keganasan. Efusi pleura ganas dapat disebabkan
oleh hampir semua jenis keganasan, hampir sepertiga kasus EPG
disebabkan oleh kanker paru. Penelitian postmortem yang dilakukan di
Amerika Serikat mendapatkan EPG sekitar 15% dari 191 kasus keganasan
yang diteliti. Dari kasus kematian karena keganasan pertahun di Amerika
Serikat ditemukan EPG 83.000 dari 656.500 kasus kanker.13
Penelitian yang dilakukan oleh Khairani dkk. di Rumah Sakit
Persahabatan atau Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, pada 119 pasien yang
dilakukan sejak September 2010 hingga Desember 2011 menunjukkan
42,8% dari total kejadian efusinya disebabkan oleh keganasan. Lebih dari
75% penderita dengan efusi pleura curiga keganasan disebabkan oleh
metastasis yang berasal dari paru, ovarium, atau lymphoma.14
2.2.4 Patofisiologi
Cairan pada rongga pleura secara normal diproduksi melalui filtrasi dari
pembuluh darah perifer yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotik
plasma dan jaringan interstisial sub-mesotelial, kemudian melalui sel
mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura juga
didapat melalui pembuluh limfe di sekitar pleura.15
Cairan pleura akan diserap kembali ke tubuh oleh pleura parietal
melalui pembuluh limfe dan oleh pleura viseral melalui pembuluh darah
mikro. Produksi cairan pleura normal kurang lebih sekitar 0,01
ml/KgBB/jam hampir sama dengan penyerapannya kembali oleh tubuh
dan dapat dikatakan bahwa sekitar 10-20 ml cairan pleura bersirkulasi
setiap harinya. Mekanisme ini mengikuti Hukum Starling yaitu jumlah
pembentukan dan pengeluaran seimbang, sehingga volume pada rongga
pleura tetap. Cairan pleura berperan sebagai pelumas agar paru dapat
bergerak dengan leluasa saat bernapas.9
Berikut adalah keadaan yang dapat mengganggu keseimbangan cairan
dalam rongga pleura yang disebabkan oleh keganasan:15
1. Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan kadar protein dalam
rongga pleura sehingga permeabilitas kapiler meningkat dan terjadi
perpindahan cairan dari dalam vaskuler ke rongga pleura.
2. Masa atau tumor dapat menyebabkan tersumbatnya aliran pembuluh
darah vena dan pembuluh limfe sehingga rongga pleura gagal dalam
memindahkan cairan dan protein.
3. Tumor dapat mempermudah terjadinya infeksi dan selanjutnya timbul
hipoproteinemia. Akibatnya keseimbangan kadar protein darah dan
rongga pleura terganggu dan akan menyebabkan perpindahan cairan ke
rongga pleura akibat tekanan osmotik yang tinggi.
Neoplasma primer maupun sekunder dapat menyerang pleura dan
umumnya menyebabkan efusi pleura. Keluhan yang paling banyak
ditemukan adalah sesak napas dan nyeri dada. Gejala lain yang ditemukan
adalah akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun sudah
dilakukan torakosintesis berkali-kali. Efusi bersifat eksudat, tapi sebagian
kecil (10%) bisa sebagai transudat. Warna efusi dapat berupa sero-
santokrom ataupun hemoragik (terdapat lebih dari 100.000 sel eritrosit per
cc).15
Efusi pleura karena neoplasma biasanya terjadi secara unilateral, tapi
bisa juga secara bilateral karena obstruksi saluran getah bening, metastasis
dapat menyebabkan pengaliran cairan pleura melalui diafragma.15
Tumor primer paru atau metastasis tumor di paru yang menginfiltrasi
pleura viseral dan parietal dapat juga mengakibatkan inflamasi sehingga
permeabilitas pembuluh darah akan meningkat. Studi postmortem (otopsi)
menyebutkan bahwa metastasis tumor lebih banyak terjadi di pleura
viseral daripada pleura parietal. Deposit tumor pada pleura parietal akan
menyebabkan tersumbatnya pembuluh limfe yang bertugas mengalirkan
cairan pleura, sehingga terjadi penumpukan cairan di rongga pleura.
Mekanisme biomolekuler yang mendasari kejadian ini belum diketahui
sepenuhnya. Diperkirakan produksi sitokin intrapleura seperti tumor
necrosing factor-α (TNF-α), tumor growth factor-β (TGF-β) dan
peningkatan endotelial vascular growth factor (VEGF) yang bersifat
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi
cairan. Selain faktor di atas, beberapa penelitian juga menghubungkan
hipoproteinemia yang disebabkan oleh nafsu makan yang berkurang pada
pasien penderita kanker hingga terjadi malnutrisi. Keadaan ini dapat
menurunkan tekanan osmotik intravaskular sehingga memudahkan cairan
masuk ke jaringan interstisial, termasuk rongga pleura.15
2.2.5 Diagnosis
Presentasi klinis efusi pleura tergantung pada jumlah cairan yang ada
dan penyebab yang mendasarinya. Seorang pasien dengan efusi pleura
dapat asimtomatik atau dapat hadir dengan sesak napas saat beraktivitas.
Pasien dengan radang pleura aktif yang disebut pleuritis mengeluh nyeri
crescendo/decrescendo yang tajam, parah, terlokalisir dengan pernapasan
atau batuk, nyeri ini disebabkan oleh gesekan yang berhubungan dengan
gerakan antara dua permukaan pleura. Ketika efusi berkembang, rasa sakit
bisa mereda, secara keliru menyiratkan peningkatan kondisi. Rasa sakit
yang konstan juga merupakan ciri dari penyakit ganas seperti
mesothelioma. Tergantung pada penyebab efusi, pasien juga dapat
mengeluh batuk, demam, dan gejala sistemik.
a) Anamnesis
Anamnesis memberikan informasi tentang kemungkinan etiologi
efusi pleura dan pedoman untuk pemeriksaan penunjang yang
diperlukan. Pada anamnesis ditemukan gejala klinis seperti sesak napas
yang berkaitan dengan volume cairan atau keluhan lain maka riwayat
perjalanan klinis yang mengarah ke penyakit keganasan rongga toraks
dan organ luar toraks lain harus dapat digali secara baik, sistematik dan
tepat.
Kebanyakan kasus EPG simptomatis meskipun sekitar 15% datang
tanpa gejala, terutama pasien dengan volume cairan kurang dari 500 ml.
Sesak napas adalah gejala tersering pada kasus EPG terutama jika
volume cairan sangat banyak. Sesak napas terjadi karena refleks
neurogenik paru dan dinding dada karena penurunan keteregangan
(compliance) paru, penurunan volume paru ipsilateral, pendorongan
mediastinum ke arahkontralateral dan penekanan diafragma ipsilateral.9
Gejala lain adalah nyeri dada sebagai akibat reaksi inflamasi pada
pleura parietal terutama pada mesothelioma, batuk, anoreksia dan berat
badan turun.9
b) Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik adanya tanda-tanda peningkatan volume,
pengurangan fremitus vokal taktil, redup pada perkusi, dan suara napas
berkurang atau tidak ada. Efusi pleura masif hadir dengan gangguan
pernapasan dan tanda-tanda pergeseran mediastinum. Temuan lain
mungkin di temukan pembesaran pada kelenjar getah bening.16
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos thoraks
Karena cairan bersifat lebih padat daripada udara, maka cairan
yang mengalir bebas tersebut pertama sekali akan menumpuk di
bagian paling bawah dari rongga pleura, ruang subpulmonik dan
sulkus kostofrenikus lateral. Efusi pleura biasanya terdeksi pada foto
thoraks postero anterior posisi tegak jika jumlah cairan sampai 200 –
250 ml. Foto thoraks lateral dapat mendeteksi efusi pleura sebesar 50
– 75 ml.16
Berdasarkan foto thoraks, efusi pleura terbagi atas small,
moderate, dan large. Dikatakan efusi pleura small jika cairan yang
mengisi rongga pleura kurang dari sepertiga hemithoraks. Efusi
pleura moderate jika cairan yang mengisi rongga pleura lebih dari
sepertiga tetapi kurang dari setengah hemithoraks. Sedangkan efusi
pleura dikatakan large jika cairan yang mengisi rongga pleura lebih
dari setengah hemithoraks. Selain itu efusi pleura juga dapat dinilai
sebagai efusi pleura massif jika cairan sudah memenuhi satu
hemithoraks serta menyebabkan pergeseran mediastinum kea rah
kontralateral, menekan diafragma ipsilateral dan kompresi paru.16
Pada kasus efusi pleura massif, seluruh hemithoraks akan terdapat
banyangan opasitas. Pada foto tersebut, pergeseran mediastinum
dapat mengidentifikasi penyebab efusi pleura tersebut. Dengan tidak
adanya paru atau mediastinum yang sakit, akumulasi cairan yang
besar akan mendorong mediastinum ke kontralateral. Ketika
mediastinum bergeser ke arah efusi kemungkinan kelainannya adalah
di paru dan bronkus utama atau adanya obstruksi. Ketika
mediastinum tetap di medial kemungkinan penyebabnya adalah
tumor.17

Gambar 3. (a) Efusi pleura kiri pada foto thoraks tampak dari postero
anterior dan lateral. (b) Meniscus sign dapat terlihat dari kedua posisi
tersebut. 17

Gambar 4. Foto thoraks AP penderita efusi pleura menunjukkan


perselubungan pada hemithoraks kanan yang menutupi lapang paru
kanan, sinus pleura kanan serta diafragma kanan.17

2. CT Scan
CT Scan thoraks lebih sensitif dibandingkan dengan foto
thoraks biasa untuk menilai luas, jumlah, dan lokasi dari efusi
pleura yang terlokalisir. Pada gambaran CT scan thoraks, cairan
yang mengalir bebas akan membentuk seperti bulan sabit pada
daerah paling bawah, sedangkan penumpukan cairan yang
terlokalisir akan tetap membentuk lenticular dan relative tetap
berada dalam ruang tersebut.17
Selain itu CT scan thoraks juga dapat digunakan untuk menilai
penebalan pleura, massa yang mengarah ke keganan dan penyakit-
penyakit lain yang menyebabkan efusi pleura eksudatif. Dengan
menggunakan zat kontras intra vena, CT scan thoraks dapat
membedakan penyakit parenkim paru, seperti abses paru. Emboli
paru juga dapat terdeteksi dengan menggunakan zat kontras intra
vena. CT scan thoraks juga berguna dalam mengidentifikasi
patologi mediastinum dan dalam membedakan asites dari efusi
pleura subpulmonik yang terlokalisir.17
Gambar 5. Gambaran efusi pleura tampak pada CT scan thoraks. 16

3. Torakosentesis diagnostik
Aspirasi cairan pleura dapat dilakukan sebagai uji diagnostik
dan terapeutik. Prosedur dilakukan dengan tehnik steril dan anastesi
lokal dengan menggunakan jarum disposable nomer 16 atau 18
gauge pada garis axilaris posterior sela iga ke-7. Analisis cairan
pleura dilakukan secara makroskopis, mikroskopis, biokimia dan
sitologi menunjukan karakteristik efusi pleura ganas sebagai
berikut :9
 Makroskopis, bersifat jernih, sero-hemoragis
 Mikroskopis, ditemukan eritrosit >100.000/mm3 dan
limfositosis (>50%)
 Sitologi, ditemukan sel ganas pada sediaan apus cairan efusi
pleura. Pemeriksaan dengan cairan pleura yang lebih banyak
akan meningkatkan hasil positif. Ketetapan pemeriksaan
sitologi berkisar 40 – 87%.
 Biokimia, bersifat eksudat dengan memakai kriteria Light yaitu
rasio protein cairan plura dan serum > 0,5; lactat dehidrogenase
(LDH) > 200 IU; rasio LDH cairan pleura dan serum > 0,6.

Beberapa karakteristik dari cairan pleura dapat memberikan


petunjuk untuk diagnosis EPM dan penting untuk menentukan jenis
pemeriksaan diagnostic selanjutnya. Seperti misalnya, efusi eksudatif
memiliki kemungkinan yang lebih tinggi mengalami keganasan dari
pada transudat, tetapi temuan ini sifatnya non spesifik karena
banyaknya penyebab inflamasi dari efusi pleura eksudatif. Selain itu
sekitar 3% – 10% EPM dikatakan merupakan efusi pleura yang
bersifat transudat. Hal ini terjadi karena beberapa sebab, seperti tidak
baiknya prosedur pemeriksaan cairan efusi atau karena kondisi
komorbid yang berhubungan dengan transudat,seperti
hipoalbuminamia, sirosis dengan ascites, atau gagal jantung
kongestif.18
4. Biopsi Pleura
Pemeriksaan histopatologi pleura dapat menegakkan diagnosis
efusi pleura ganas sekitar 50 - 70% dengan penemuan sel ganas pada
jaringan pleura. Bila dicurigai tumor primer dinding dada
(mesotelioma) dapat dilakukan biopsi dengan tuntunan CT-Scan.9

Gambar 7. Alur diagnosid efusi pleura ganas.9


2.2.7 Tatalaksana
Prinsip terapi pasien dengan efusi pleura adalah mengeluarkan isi
abnormal di dalam cavum pleura dan berusaha mengembalikan fungsi
tekanan negatif yang terdapat di dalam cavum pleura.
Beberapa pilihan untuk terapi pada efusi pleura adalah sebagai berikut :19
a) Water Seal Drainage (tube thoracostomy) : modalitas terapi yang
bekerja dengan menghubungkan cavum pleura berisi cairan abnormal
dengan botol sebagai perangkat WSD yang nantinya akan menarik
keluar isi cairan abnormal yang ada di dalam cavum pleura dan
mengembalikan cavum pleura seperti semula, menyebabkan
berkurangnya kompresi terhadap paru yang tertekan dan paru akan
kembali mengembang.
b) Thoracocentesis : modalitas terapi yang bekerja dengan cara
melakukan aspirasi menggunakan jarum yang ditusukkan biasanya
pada linea axillaris media spatium intercostalis 6. Aspirasi dilakukan
dengan menggunakan jarum dan spuit, atau dapat juga menggunakan
kateter. Aspirasi dilakukan dengan batas maksimal 1000 – 1500 cc
untuk menghindari komplikasi reekspansi edema pulmonum dan
pneumothoraks akibat terapi.19
c) Pleurodesis : modalitas terapi yang bekerja dengan cara memasukkan
substansi kimiawi pada dinding bagian dalam pleura parietal, dengan
tujuan merekatkan hubungan antara pleura visceral dan pleura parietal.
Dengan harapan celah pada cavum pleura akan sangat sempit dan tidak
bisa terisi oleh substansi abnormal. Dan dengan harapan supaya paru
yang kolaps bisa segera mengembang dengan mengikuti gerakan
dinding dada.19
d) Indwelling pleural catheter (IPC)
Efusi pleura maligna (EPM) merupakan komplikasi penting pada
pasien dengan keganasan intratorakal dan ekstratorakal. IPC memiliki
peran penting dalam pengelolaan EPM. Pemasangan IPC merupakan
pilihan manajemen paliatif apabila pasien tidak memenuhi syarat untuk
dilakukan pleurodesis.20
IPC adalah kateter silicon dengan ukuran 15,5-16 French dan
panjang sekitar 65 cm dan terdapat katup pada bagian ujungnya. katup
satu arah pada ujung distal kateter memungkinkan untuk mengalirkan
cairan pleura saat pasien berada dirumah dengan membuka katup dan
menghubungkan ke alat botol vakum ketika dibutuhkan. Kateter ini
dirancang untuk tetap berada di badan secara in situ selama masa hidup
pasien.21

Gambar 8. Indwelling pleural catheter.21

Penyisipan IPC dapat dilakukan pada hampir semua posisi yang


memungkinkan akses untuk pengambilan cairan. Biasanya akan
diberikan anestesi local terlebih dahulu serta dipasang alat untuk
mengukur saturasi oksigen dan pemantauan denyut nadi selama
prosedur. Untuk menilai letak efusi dan penandaan titik penyisipan
dapat digunakan USG.21
IPC disisipkan ke dalam rongga pleura menggunakan teknik
seldinger yang dimodifikasi, dengan membuat sebuah terowongan dari
2 sayatan kecil biasanya dibuat jarak sekitar 7-10 cm yang
memungkinkan akses untuk IPC disisipkan. panjang terowongan
dibuat cukup untuk mengurangi kemungkinan selang tersebut lepas.
Sayatan kemudian di jahit, ujung dari selang IPC di pasang ke kantong
drainase. Drainase dapat dilakukan dirumah, dengan 3 kali seminggu
untuk 3 minggu pertama, selanjutnya tergantung keluhan klinis dan
produksi cairan pleura.21

Gambar 9. Pemasangan kateter pleura yang menetap di bawah jaringan lunak


dinding dada sebelum dimasukkan ke dalam rongga pleura. Prosedur ini
dapat dilakukan di samping tempat tidur dalam kondisi steril. Situs
penyisipan diidentifikasi dengan ultrasonografi toraks. (a), Kawat pemandu
dimasukkan pada area saluran masuk toraks, kemudian (b) kateter
dimasukkan di bawah kulit ke area kawat pemandu untuk penyisipan. 21

Gambar 10. terowongan dari 2 sayatan kecil biasanya dibuat jarak sekitar
7-10 cm  Sayatan ditutup dengan jahitan.22
 Sebuah tinjauan efikasi dan keamanan IPC mengungkapkan bahwa
komplikasi yang paling sering adalah malfungsi kateter dan yang paling
mengkhawatirkan adalah empiema. Selain itu terdapat komplikasi infeksi
yang biasanya terjadi 6 hingga 8 minggu setelah pemasangan dan lebih
mungkin terkait dengan perawatan pasca pemasangan. Menariknya, infeksi
pleura terkait IPC sering menyebabkan pleurodesis, terutama dengan
infeksi Staphylococcus. Komplikasi lain termasuk perdarahan, infeksi,
selulitis, dislokasi kateter, obstruksi kateter, nyeri, pneumotoraks, dan
metastasis saluran.23

2.3 Osteosarcoma
2.3.1 Definisi
Osteosarkoma disebut juga osteogenik sarkoma adalah suatu
neoplasma ganas yang berasal dari sel primitif (poorly differentiated cells)
di daerah metafise tulang panjang pada anak-anak. Di sebut osteogenik oleh
karena perkembangannya berasal dari seri osteoblastik sel mesensim
primitif. Osteosarkoma merupakan neoplasma primer dari tulang yang
tersering setelah myeloma multipel.24
Osteosarkoma biasanya terdapat pada metafisis tulang panjang dimana
lempeng pertumbuhannya (epiphyseal growth plate) yang sangat aktif yaitu
pada distal femur, proksimal tibia dan fibula, proksimal humerus dan
pelvis. Pada orangtua umur diatas 50 tahun, osteosarkoma bisa terjadi
akibat degenerasi ganas dari paget’s disease, dengan prognosis sangat
jelek.24
2.3.2 Epidemiologi
Berdasarkan data WHO, osteosarkoma adalah tumor tulang primer
paling umum dengan estimasi insiden 4-5/1.000.000 per tahun.25
Osteosarkoma umumnya terjadi pada usia anak-anak dan dewasa muda.
Insiden penyakit ini lebih tinggi pada remaja, yaitu 8-11/1.000.000 per
tahun, laki-laki 1,4 kali lebih sering mengalami osteosarkoma dibanding
perempuan.26 Di Eropa, didapatkan insiden 0,2-3/100.000 per tahun dalam
kelompok usia 15-19 tahun. Angka 2-year survival rate di Taiwan
didapatkan sebesar 46,9%, dengan 5-year survival rate sebesar 37,5%.27
Di Indonesia, berdasarkan Riset Dasar Kesehatan 2013 didapatkan
insiden tumor tulang ganas di Indonesia didapatkan sebesar 1,6% dari
seluruh jenis tumor ganas pada manusia, dengan kecenderungan
meningkatnya insiden tumor tulang setiap tahunnya.28
Osteosarkoma dapat timbul hampir di setiap golongan usia, tapi
kebanyakan pada 10-20 tahun, disusul 21-30 tahun. Rasio pria dan wanita
adalah sekitar 2:1. Terutama timbul di metafisis yang tumbuh aktif. Lokasi
tersering adalah ujung distal femur dan proksimal tibia, tumor pada 50%
pasien timbul di sekitar lutut, lalu proksimal humerus, proksimal fibula,
dll.24
2.3.3 Manifestasi klinis
Umumnya gejala klinik terjadi beberapa minggu sampai bulan
setelah timbulnya penyakit ini. Gejala awal relatif tidak spesifik seperti
nyeri dengan atau tanpa teraba massa. Nyeri biasanya dilukiskan sebagai
nyeri yang dalam dan hebat, yang dapat dikelirukan sebagai peradangan.29
Pemeriksaan fisik mungkin terbatas pada massa nyeri, keras,
pergerakan terganggu, fungsi normal menurun, edema, panas setempat,
teleangiektasi, kulit diatas tumor hiperemi, hangat, edema, dan pelebaran
vena. Pembesaran tumor secara tiba-tiba umumnya akibat sekunder dari
perdarahan dalam lesi. Fraktur patologik terjadi pada 5-10% kasus.30,31
Tumor ini dapat tumbuh pada tulang manapun, tetapi umumnya pada
tulang panjang terutama distal femur, diikuti proksimal tibia dan proksimal
humerus dimana growth plate paling proliferatif. Pada tulang panjang
sering pada bagian metafisis (90%) kemudian diafisis (9%), dan jarang
pada epifisis.30,32
Osteosarkoma bertumbuh cepat dengan ekspansi lokal, doubling time
sekitar 34 hari. Penyebaran hematogen paling sering terjadi pada awal
penyakit dan biasanya ke paru-paru dan tulang sedangkan metastasis ke
kelenjar limfe jarang. Penyebaran transartikuler juga jarang dan dapat
terjadi pada sendi dengan mobilitas rendah. Pada stadium lanjut, berat
badan umumnya menurun dan menjadi kaheksia.30
Penanganan osteosarkoma dilakukan melalui pendekatan dari banyak
segi, termasuk kemoterapi dengan asumsi bahwa semua kasus mempunyai
metastasis pada waktu didiagnosis dan kemudian diikuti dengan operasi.
Paru-paru merupakan tempat tersering dari metastasis tumor ini. Pada
waktu didiagnosis sekitar 10-20% kasus telah terdapat metastasis paru. Dari
kasus yang meninggal karena penyakit ini, 90% telah mempunyai
metastasis paru, tulang, dan otak.33
Terdapat laporan mengenai metastasis pada paru dan pleura yang
terjadi 4 tahun setelah diamputasi osteosarkoma tibia. Dengan demikian,
selain pemeriksaan paru untuk deteksi metastasis, perlu juga pemeriksaan
torakostomi untuk menilai keadaan pleura.34
2.3.4 Staging
Pada tumor muskuloskeletal stagingnya memakai Enneking System,
yang telah dipakai oleh Musculoskeletal Tumor Society, begitu juga pada
osteosarkoma. Staging ini berdasarkan gradasi histologis dari tumor (ada
low-grade dan high-grade), ekstensi anatomis dari tumor
(intrakompartmental atau ekstrakomparmental), dan ada tidaknya metastase
(Mo atau M1).35
Sesuai dengan Enneking System maka Staging dari Osteosarkoma
adalah sebagai berikut :35
 Stadium I (Low-grade Tumor)
IA : derajat keganasan rendah, lokasi intrakompartemen, tanpa
metastasis
IB : derajat keganasan rendah, lokasi ekstrakompartemen, tanpa
metastasis
 Stadium II (High-grade)
IIA : derajat keganasan tinggi, lokasi intrakompartemen, tanpa
metastasis
IIB: derajat keganasan tinggi, lokasi ekstrakompartemen, tanpa
metastasis
 Stadium III (Any Grade with metastase)
III A Intracompartmental
III B Extracompartmental

Gambar 11. Staging Osteosarcoma.35


Staging system ini sangat berguna dalam perencanaan strategi, perencanaan
pengobatan dan memperkirakan prognosis dari osteosarkoma tersebut.
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan serangkaian pemeriksaan yang
dapat membantu menegakkan diagnosis tumor muskuloskeletal.
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan laboratorium rutin, dilanjutkan
dengan pencitraan radiologi, dan pemeriksaan histopatologi
a) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium memberikan data yang penting dan bisa
menggambarkan kondisi umum penderita. Pemeriksaan laboratorium
pada tumor ganas tulang bervariasi sesuai dengan staging dari tumor.
Anemia merupakan hasil yang sering ditemukan pada tumor ganas.
Pada osteosarkoma akan didapatkan peningkatan alkali fosfatase dan
laktat dehidrogenase yang tinggi. Serum alkali fosfatase yang tinggi
menggambarkan peningkatan aktivitas osteoblas, sedangkan laktat
dehidrogenase menunjukan derajat kerusakan jaringan yang terjadi
akibat dari tumor.27
Pemeriksaan untuk menilai fungsi hepar dan ginjal diperlukan
untuk mengetahui kemungkinan metastasis pada kedua organ tersebut.
Dalam mencari sumber tumor primer pada metastasis bisa dilakukan
pemeriksaan tumor marker seperti CEA dan PSA.27
b) Foto rontgen X ray
Merupakan pemeriksaan penunjang utama pada tumor tulang. Foto
sinar X bisa membedakan apakah tumor berasal dari tulang ataupun
jaringan lunak. Evaluasi foto sinar X pertama adalah lokasi tumor,
dimana lokasi tersering pada tumor ganas yaitu pada metafisis. Kedua,
yaitu tipe kerusakan tulang. Tipe kerusakan tulang mencerminkan
kecepatan tumbuh dan agresivitas tumor. Ketiga, yaitu batas tumor.
Batas tumor sangat erat hubungannnya dengan tipe destruksi. Ke empat,
yaitu reaksi periosteum. Proses ini mencerminkan reaksi tulang
terhadap kerusakan yang terjadi. Tipe reaksi periosteum dapat
memprediksi tipe kerusakan atau kelainan tulang termasuk tumor
tertentu. Ke lima, yaitu matriks tulang. Matriks tulang yang timbul bisa
mencerminkan jenis tumor tertentu. Pada tumor ganas yang agresif bisa
terjadi osteolitik atau campuran osteoblastik dan osteolitik. Ke enam,
yaitu ekspansi tumor. Ekspansi di dalam tulang yang menimbulkan
pembesaran diameter tulang mencerminkan pertumbuhan tumor yang
lambat. Ekspansi ke jaringan lunak tampak pada foto sinar-X bila ada
reaksi periosteal, walaupun dari foto sinar-X korteks tulang masih baik.
Ke tujuh multiplisiti. Lesi yang melibatkan lebih dari satu tulang hanya
bisa terjadi pada tumor tertentu. Pemeriksaan foto sinar-X paru berguna
untuk penyaringan awal metastasis tumor.27
c) CT scan
Pencitraan ini memberikan gambaran yang lebih jelas dan detail
pada lesi tulang sehingga berguna untuk menentukan staging lokal
tumor. Bila pada foto sinar-X ditemukan lesi yang samar dan tidak
jelas, dibutuhkan CT scan untuk memberi gambaran yang lebih detail.
Terutama untuk menentukan jenis ossifikasi chondroid atau osteoid.
Pencitraan ini juga sangat membantu bila ada lesi pada tulang kompleks
seperti pelvis dan vertebra yang biasanya sulit dievalusi dengan foto
sinar-X.
Pemberian kontras intra vena pada CT akan lebih memberikan
informasi tentang lesi dan jaringan di sekitarnya. CT 3 dimensi yang
saat ini telah banyak dimiliki oleh fasilitas radiologi sangat membantu
dalam menilai anatomi lesi dan kerusakan tulang yang terjadi serta
merupakan informasi awal yang sangat dibutuhkan untuk pembedahan.
Metode skrining metastasis paru yang paling sensitif adalah CT scan.27
d) MRI
Merupakan standar yang digunakan untuk staging lokal tumor.
Berbeda dengan CT scan, MRI memberikan gambaran yang akurat
tentang kondisi jaringan lunak di sekitar tumor. MRI seharusnya
dilakukan pada seluruh kompartemen, tidak hanya pada daerah tumor
saja. Evaluasi yang harus dilakukan pada MRI adalah keterlibatan
jaringan lunak di sekitarnya terutama struktur penting seperti
neurovaskular, infiltrasi tumor pada medulla tulang (pada osteosarkoma
sering ditemui infiltrasi tumor jauh di proksimal dari lesi pada tulang),
dan mendeteksi skip lesion. MRI juga berguna untuk menilai respon
kemoterapi.27
e) Biopsi
Biopsi didefinisikan sebagai tindakan mengambil atau melakukan
pemeriksaan mikroskopis dari jaringan yang berasal dari tubuh manusia
yang masih hidup untuk menegakkan suatu diagnosis. Sedangkan biopsi
tulang adalah prosedur medis mengambil sebagian contoh tulang dari
tubuh untuk pemeriksaan laboratorium dan analisis yang bertujuan
untuk membedakan antara tumor ganas tulang, tumor jinak tulang,
osteoporosis dan osteomyelitis.27
Biopsi dapat dilakukan untuk menjelaskan osteosarkoma dengan
spesifik dan stadium tumor. Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara
terbuka (insisional) atau tertutup. Biopsi terbuka dapat dilakukan
dengan dua teknik yaitu insisi dan eksisi, sedangkan biopsi tertutup
dilakukan dengan cara Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) dan core
needle biopsy (CNB).36
FNAB dilakukan dengan menggunakan jarum secara perkutan
pada daerah patologis kemudian dilakukan aspirasi. FNAB adalah
prosedur yang relatif atraumatik, ekonomis hemat waktu, tanpa
persiapan khusus dengan angka morbiditas terhadap pasien yang lebih
rendah.37

2.3.6 Tatalaksana
Belakangan ini Osteosarkoma mempunyai prognosis yang lebih baik,
disebabkan oleh prosedur penegakkan diagnosis dan staging dari tumor
yang lebih baik, begitu juga dengan adanya pengobatan yang lebih canggih.
Dalam penanganan osteosarkoma modalitas pengobatannya dapat dibagi
atas dua bagian yaitu dengan kemoterapi dan dengan operasi.38
a) Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pengobatan yang sangat vital pada
osteosarkoma, terbukti dalam 30 tahun belakangan ini dengan
kemoterapi dapat mempermudah melakuan prosedur operasi
penyelamatan ekstremitas (limb salvage procedure) dan meningkatkan
survival rate dari penderita. Kemoterapi juga mengurangi metastase ke
paru-paru dan sekalipun ada, mempermudah melakukan eksisi pada
metastase tersebut.
Regimen standar kemoterapi yang dipergunakan dalam pengobatan
osteosarkoma adalah kemoterapi preoperatif (preoperative
chemotherapy) yang disebut juga dengan induction chemotherapy atau
neoadjuvant chemotherapy dan kemoterapi postoperatif (postoperative
chemotherapy) yang disebut juga dengan adjuvant chemotherapy.
Kemoterapi preoperatif merangsang terjadinya nekrosis pada tumor
primernya, sehingga tumor akan mengecil. Selain itu akan memberikan
pengobatan secara dini terhadap terjadinya mikro-metastase. Keadaan
ini akan membantu mempermudah melakukan operasi reseksi secara
luas dari tumor dan sekaligus masih dapat mempertahankan
ekstremitasnya. Pemberian kemoterapi postoperatif paling baik
dilakukan secepat mungkin sebelum 3 minggu setelah operasi.
Obat-obat kemoterapi yang mempunyai hasil cukup efektif untuk
osteosarkoma adalah: doxorubicin (Adriamycin ® ), cisplatin (Platinol
® ), ifosfamide (Ifex ® ), mesna (Mesnex ®), dan methotrexate dosis
tinggi (Rheumatrex ® ). Protokolstandar yang digunakan adalah
doxorubicin dan cisplatin dengan atau tanpa methotrexate dosis tinggi,
baik sebagai terapi induksi (neoadjuvant) atau terapi adjuvant. Kadang-
kadang dapat ditambah dengan ifosfamide. Dengan menggunakan
pengobatan multi-agent ini, dengan dosis yang intensif, terbukti
memberikan perbaikan terhadap survival rate sampai 60 – 80%.
b) Operasi
Saat ini prosedur Limb Salvage merupakan tujuan yang diharapkan
dalam operasi suatu osteosarkoma. Maka dari itu melakukan reseksi
tumor dan melakukan rekonstrusinya kembali dan mendapatkan fungsi
yang memuaskan dari ektermitas merupakan salah satu keberhasilan
dalam melakukan operasi. Dengan memberikan kemoterapi preoperatif
(induction = neoadjuvant chemotherpy) melakukan operasi
mempertahankan ekstremitas (limb-sparing resection) dan sekaligus
melakukan rekonstruksi akan lebih aman dan mudah, sehingga
amputasi tidak perlu dilakukan pada 90 sampai 95% dari penderita
osteosarkoma.
Dalam penelitian terbukti tidak terdapat perbedaan survival rate
antara operasi amputasi dengan limb-sparing resection. Amputasi
terpaksa dikerjakan apabila prosedur limb-salvage tidak dapat atau tidak
memungkinkan lagi dikerjakan. Setelah melakukan reseksi tumor,
terjadi kehilangan cukup banyak dari tulang dan jaringan lunaknya,
sehingga memerlukan kecakapan untuk merekonstruksi kembali dari
ekstremitas tersebut. Biasanya untuk rekonstruksi digunakan endo-
prostesis dari methal.
Prostesis ini memberikan stabilitas fiksasi yang baik sehingga
penderita dapat menginjak (weight-bearing) dan mobilisasi secara
cepat, memberikan stabilitas sendi yang baik, dan fungsi dari
ekstremitas yang baik dan memuaskan. Begitu juga endoprostesis
methal meminimalisasi komplikasi postoperasinya dibanding dengan
menggunakan bone graft.

2.3.7 Prognosis
Faktor yang mempengaruhi prognosis termasuk lokasi dan besar dari
tumor, adanya metastase, reseksi yang adekuat, dan derajat nekrosis yang
dinilai setelah kemoterapi.39

a) Lokasi tumor
Lokasi tumor mempunyai faktor prognostik yang signifikan pada
tumor yang terlokalisasi. Diantara tumor yang berada pada ekstrimitas,
lokasi yang lebih distal mempunyai nilai prognosa yang lebih baik
daripada tumor yang berlokasi lebih proksimal. Tumor yang berada
pada tulang belakang mempunyai resiko yang paling besar untuk
progresifitas dan kematian. Osteosarkoma yang berada pada pelvis
sekitar 7-9% dari semua osteosarkoma, dengan tingkat survival sebesar
20% – 47%.39
b) Ukuran tumor
Tumor yang berukuran besar menunjukkan prognosa yang lebih
buruk dibandingkan tumor yang lebih kecil. Ukuran tumor dihitung
berdasarkan ukuran paling panjang yang dapat terukur berdasarkan dari
dimensi area crosssectional.39
c) Metastase
Pasien dengan tumor yang terlokalisasi mempunyai prognosa yang
lebih baik daripada yang mempunyai metastase. Sekitar 20% pasien
akan mempunyai metastase pada saat didiagnosa, dengan paru-paru
merupakan tempat tersering lokasi metastase. Prognosa pasien dengan
metastase bergantung pada lokasi metastase, jumlah metastase, dan
resectability dari metasstase. Pasien yang menjalani pengangkatan
lengkap dari tumor primer dan metastase setelah kemoterapi mungkin
dapat bertahan dalam jangka panjang, meskipun secara keseluruhan
prediksi bebas tumor hanya sebesar 20% sampai 30% untuk pasien
dengan metastase saat diagnosis.39

Prognosis juga terlihat lebih baik pada pasien dengan nodul


pulmoner yang sedikit dan unilateral, bila dibandingkan dengan nodul
yang bilateral, namun bagaimanapun juga adanya nodul yang terdeteksi
bukan berarti metastase. Derajat nekrosis dari tumor setelah kemoterapi
tetap merupakan faktor prognostik. Pasien dengan skip metastase dan
osteosarkoma multifokal terlihat mempunyai prognosa yang lebih
buruk.39

BAB III

PENYAJIAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. N.A
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 22 November 2006
Umur : 15 tahun
Alamat : Dusun Sido Makmur kab. Sintang
No RM : 162981
Tanggal Masuk RS : 13 Juni 2022
Ruangan : IGD

3.2 Anamnesis
a) Keluhan utama
Pro Indwelling Pleural Catheter (IPC)
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien perempuan berusia 15 tahun datang ke IGD RSUD
Soedarso, merupakan rujukan dari poli BTKV untuk persiapan
pemasangan IPC. Pasien mengatakan sejak 2 bulan SMRS, dirinya
merasakan sesak napas yang dirasakan terus menerus. Sesak napas
dirasakan memberat ketika pasien beraktivitas seperti berjalan
sejauh ±10 meter dan saat tidur pasien harus menggunakan 2
bantal. Keluhan membaik saat pasien beristirahat. Selain itu pasien
juga mengeluhkan muncul benjolan yang dirasakan semakin
membesar pada punggung kirinya sejak ± 6 bulan SMRS. Pasien
mengatakan tidak ada nyeri pada area benjolan. Pasien juga
mengeluhkan batuk sejak 2 minggu namun tidak mengeluarkan
dahak dan nafsu makan berkurang. Keluhan seperti demam, nyeri
dada, keringat pada malam hari, bantuk yang tak kunjung sembuh
disertai darah di sangkal.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Sekitar 2 minggu SMRS, pasien sempat dirawat di RSUD
Soedarso dengan keluhan sesak napas. Asma (-)
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat serupa
e) Riwayat kebiasaan
Pasien merupakan seorang pelajar SMP. Pasien mengatakan jika ia
senang mengkonsumsi makanan manis.

3.3 Pemeriksaan Fisik


d) Tanda Vital
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 116x/m
Suhu : 36,7
Pernafasan : 22x/m
SpO2 : 97% tanpa oksigen
Berat Badan : 94 kg
Tinggi Badan : 162 cm
e) Status Generalis
Kepala Normosefal, wajah simetris
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-), pupil isokor, reflex cahaya langsung
dan tidak langsung (+/+)
Telinga Secret (-), aurikula hiperemis (-)
Mulut dan gigi Bibir sianosis (-), mukosa bibir kering (-)
Hidung Secret (-), deformitas (-), napas cuping hidung (-)
Tenggorokan Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher Pembesaran KGB (-). Peningkatan JVP (-)
Paru
- Inspeksi : Gerakan dada kiri tertinggal, kanan
normal
- Palpasi : Vocal fremitus melemah pada lapangan
paru kiri
- Perkusi : Lapangan paru kanan sonor. Lapangan
paru kiri redup
- Auskultasi : SND Vesikuler (+ /+ menurun),
rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung - Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


- Palpasi : Iktus kordis teraba kuat angkat di SIC
5 linea midclavicular sinistra
- Perkusi : batas kanan jantung di SIC 3 linea
parasternal desktra, batas kiri jantung di SIC 5
linea axillaris anterior sinistra
- Auskultasi : S1S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen - Inspeksi : Datar
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak teraba membesar
- Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Ekstremitas Akral hangat, edema (-/-), CRT <2’’.
f) Status Lokalis

Teraba massa pada regio dorsum sinistra :


Massa tersebut dirasakan padat, keras, immobile, berbatas tidak
tegas, terdapat nyeri tekan minimal
3.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium

Pemeriksaan Hasil
WBC 10.87x10*3/uL
RBC 4.84x10*6/uL
HGB 12.1 g/dL
HCT 36,4 %
MCV 75,2 fL
MCH 25.0 pg
MCHC 33.2 g/dL
PLT 450x10*3/uL
b. Foto Rontgen Thorax AP

Hasil: (27-05-2022)

 Jantung dan aorta sulit dievaluasi

 Trakea deviasi ke kanan. Hilus kanan masih baik.

 Tampak perselubungan massif hemithoraks kiri

 Tampak lesi multiple di costae 8 dan 9 anterior kiri

Kesan:
 Efusi pleura kiri massif, kemungkinan massa belum dapat
disingirkan.
 Lesi di costae 8 dan 9 anterior kiri
c. CT Scan

 CT Scan 3D thoraks

 CT Scan Thoraks dengan kontras


Hasil: (27-05-2022)

 Tampak massa ekspansif, sun burst type di costae 8 dan 9


anterior kiri, menyangat heterogen pasca kontras berukuran
sekitar13,7x12,8x9,5 cm yang meluas ke ekstrathorakal
menginvasi jaringan lunak hingga kutis-subkutis.

 Tampak fluid collection yang memenuhi hemithorak kiri


disertai tampak lesi hipodens heterogen berlobulasi di intra
fluidnya, struktur mediastinum terdorong ke sisi hemithorak
kanan.

 Tampak kolaps pada paru kiri. Trahea masih baik di tengah.


Bronkus utama kanan masih baik, bronkus utama kiri
menyempit dan terdorong ke sisi hemithorak kanan.

 Tampak multiple nodul ukuran sekitar 0,7-1 cm di paru


kanan. Tampak pula konsolidasi inhomogen di apical paru
kanan, aorta, trunkus pulmonalis, trunkus brachiocephalica
dan vena cava normal.

 Struktur vascular supra arkus aorta masih baik. Jantung tidak


membesar, pericardium tidak menebal.

 Organ-organ abdomen atas yang tervisualisasi tidak


memperlihatkan kelainan.

Kesan:

 Massa tulang di costae 8 dan 9 anterior iri sugestif malignam,


DD/ primer bone tumor

 Efusi pleura kiri massif disertai massa intra efusi, DD/


Metastasis

 Kolaps paru kiri, sugestif atelektasis


c. CT Scan dengan kontras setelah pemasangan IPC
Hasil: (16-06-2022)
 Tampak soft tissue mass besar dengan bone matriks di kiri
bawah
 Tampak costa 8-10 destruksi berat dengan periosteal reaction
sun burst
 Tampak collaps paru bagian bawah, tampak infiltrate di paru
kiri atas
 Paru kanan tidak tampak kelainan
 Tampak pleural effusion kiri minimal dan pneumothoraks kiri
atas minimal
 Trachea normal, bronchus primer kanan terdesak ke kanan
 Tampak pembesaran kelenjar multiple di sepanjang paraaorta
kiri
 Tampak WSD di kiri masuk dari ICS 5 anterior dengan ujung
di ICS 1

Kesan:
 Fluidpneumothoraks minimal di kiri dengan WSD
 Tumor dinding dada kiri meluas ke cavum thoraks kiri

d. Echocardiography (31/05/2022)
 Dimensi ruang jantung : Sinus rhythm
 Fungsi sistolik : Baik. LVEF 56,7%
 Fungsi Diastolik : Sulit dinilai
 Kontraktilitas LV : Sulit dinilai
 Lv wall motion : Normokinetik
 Katup-katup jantung :
Aorta : Kesan Baik
Mitral : Kesan Baik
Tricuspid : Kesan Baik
Pulmonal : Kesan Baik
 Perikardium : Efusi pericard (-)
 Pleura : Efusi pleura kiri massif
Kesimpulan :
Fungsi kontraktilitas LV dan RV baik
Global normokinetik
Efusi pericard (-)
Efusi pleura kiri massif (+)

e. Hasil FNAB (08/06/2022)


 Makroskopis : Teraba benjolan pada regio punggung sisi
kiri ukuran 15 x 12 cm. konsistensi padat, keras, batas sulit
dinilai. Dilakukan 2x puncture dengan jarum G23 dengan
tuntunan USG, didapatkan bahan aspirat bercampur darah.
Dibuat apusan 5 slide dan dipulas dengan pengecatan diff-
kwik
 Mikroskopis : Apusan selularitas cukup terdiri dari sebaran
dan kelompok sel-sel neoplastic dengan morfologi
epithelioid, beberapa spindle, sitoplasma basofilik, inti bulat
– ovoid, N/C ratio meningkat, pleomorfik, membrane ini
ireguler, hiperkromatik, dengan anak inti conspicuous.
Diantaranya tampak fokus-fokus matriks berwarna magenta.
Tampak pula fokus osteoclast – like giant cell. Latar
belakang apusan berupa sebaran eritrosit dan sedikit sel
radang PMN neutrophil dan limfosit.
Kesimpulan : Sitomorfologi menunjukkan Malignant spindle to
ovoid cell, kesan Osteosarcoma.

3.5 Diagnosis
 Efusi pleura maligna sinistra
 Osteosarcoma
3.6 Tatalaksana
Non-Medikamentosa:
Pemasangan IPC
Perawatan luka 3 hari sekali
Medikamentosa :
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr i.v
Inj. Ketorolac 3x30mg i.v
Inj. Paracetamol 3x1000 mg i.v

3.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : malam

3.8 Follow Up

Tanggal Catatan Perkembangan Pasien


13 Juni 2022 S/Pasien post pemasangan IPC, terasa nyeri di
Ruangan IGD daerah pemasangan IPC, masih merasakan sesak
napas
O/
KU : lemah
GCS : E4M6V5
TD: 110/80 mmHg
HR: 104x/menit
RR: 22 x/menit
T: 36,7
SpO2: 98% tanpa O2
IPC :
- Cairan darah gelap
- 2000 cc
A/
- Efusi pleura maligna sinistra
- Osteosarcoma
P/
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr i.v
Inj. Ketorolac 3x30mg i.v
Inj. Paracetamol 3x1000 mg i.v
Perawatan luka 3 hari sekali
14 Juni 2022 S/ Pasien merasakan sesak berkurang, nyeri
Ruang Arwana hilang timbul pada daerah pemasangan IPC
O/
KU ; Lemah
GCS: E4M6V5
TD: 115/79 mmHg
HR: 83 x/menit
RR: 21 x/menit
T: 37,4 derajat celcius
SpO2: 98%
IPC :
- Cairan darah gelap
- (19.00 – 07.00) 350 cc
A/
- Efusi pleura maligna sinistra
- Osteosarcoma
P/
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr i.v
Inj. Ketorolac 3x30mg i.v
Inj. Paracetamol 3x1000 mg i.v
Perawatan luka 3 hari sekali
22 Juni 2022 S/ Pasien merasakan sesak berkurang, nyeri
Ruang Poli BTKV hilang timbul pada daerah pemasangan IPC
berkurang
O/
KU ; Lemah
GCS: E4M6V5
TD: 129/91 mmHg
HR: 84 x/menit
RR: 21 x/menit
T: 36,4 derajat celcius
SpO2: 98%
IPC :
- Cairan darah gelap
- Pasien mengatakan selang hanya di buka
ketika mau mandi dan cairan yang keluar
sudah sedikit
A/
- Efusi pleura maligna sinistra
- Osteosarcoma
P/
p.o Vipalbumin 2x1
p.o Asam folat 3x1
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien perempuan berusia 15 tahun datang ke IGD RSUD Soedarso,


merupakan rujukan dari poli BTKV untuk persiapan pemasangan IPC.
Pasien mengatakan sejak 2 bulan SMRS, dirinya merasakan sesak napas
yang dirasakan terus menerus. Sesak napas dirasakan memberat ketika
pasien beraktivitas seperti berjalan sejauh ±10 meter dan saat tidur pasien
harus menggunakan 2 bantal. Keluhan membaik saat pasien beristirahat.
Selain itu pasien juga mengeluhkan muncul benjolan yang dirasakan
semakin membesar pada punggung kirinya sejak ± 6 bulan SMRS. Pasien
mengatakan tidak ada nyeri pada area benjolan. Pasien juga mengeluhkan
batuk sejak 2 minggu namun tidak mengeluarkan dahak dan nafsu makan
berkurang. Keluhan seperti demam, nyeri dada, keringat pada malam hari,
bantuk yang tak kunjung sembuh disertai darah di sangkal. Pasien
merupakan seorang pelajar SMP.
Pada kasus ini pasien mengeluhkan sesak napas. Keluhan sesak ini
timbul akibat terjadinya timbunan cairan dalam rongga pleura yang akan
memberikan kompresi patologis pada paru sehingga ekspansinya terganggu
dan sesak tidak disertai bunyi tambahan karena bronkus tetap normal.
Makin banyak timbunan cairan maka sesak makin terasa berat.40
Pasien juga mengeluh batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan.
Batuk tidak disertai dengan panas badan maupun berkeringat malam hari.
Batuk darah disangkal oleh pasien. Batuk pada efusi pleura mungkin
disebabkan oleh rangsangan pada pleura oleh karena cairan pleura yang
berlebihan, proses inflamasi ataupun massa pada paru-paru.40
Dari pemeriksaan fisik pada saat inspeksi ditemukan dada kiri
tertinggal sedangkan dada kanan normal, pada palpasi ditemukan vokal
fremitus pada dada kiri menurun sedangkan pada dada kanan normal, pada
perkusi ditemukan dullness pada dada kiri dan sonor pada dada kanan, pada
auskultasi ditemukan suara vesikuler yang menurun pada dada kiri
sedangkan pada kanan normal. y.3
Pemeriksaan fisik pada pasien juga ditemukan benjolan pada
punggung kiri pasien, benjolan tersebut dirasakan padat, keras, immobile,
berbatas tidak tegas, terdapat nyeri tekan minimal. Benjolan ini dapat
mengarah pada neoplasma yang bersifat ganas.1 Terdapat beberapa
kemungkinan yang mengarah pada tumor ganas di tulang pada pediatric
yaitu Osteosarcoma dan Ewing’s sarcoma. Kedua penyakit tersebut
memiliki gejala klinis yang hampir mirip yaitu terjadi pada usia muda
sekitar usia 10-20 tahun dan nyeri pada benjolan. Namun pada
Osteosarcoma biasanya terdapat pada metafisis tulang panjang di mana
lempeng pertumbuhannya (epiphyseal growth plate) yang sangat aktif; yaitu
pada distal femur, proksimal tibia dan fibula, proksimal humerus dan lutut.
Sedangkan pada Ewing’s Sarcoma muncul dari diafisis pada batang tubuh
didominasi oleh pelvis, diikuti skapula, kolumna vertebra, iga dan
klavikula.4 Tentunya harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi untuk
menegakkan diagnosis.
Untuk konfirmasi dugaan akan adanya efusi pleura maka mutlak
diperlukan pemeriksaan penunjang berupa foto toraks PA karena efusi
pleura biasanya terdeksi pada foto thoraks postero anterior dengan posisi
tegak. Namun pada pasien dilakukan foto thoraks dengan posisi AP karena
pasien tidak mampu untuk berdiri. Dari hasil pemeriksaan foto thoraks
didapatkan perselubungan homogen massif pada hemithoraks kiri, sudut
costofrenikus kiri tampak tumpul, trakea tampak deviasi trakea ke arah
kanan dan tampak lesi litik multiple di costae 8 dan 9 anterior kiri dengan
kesan efusi massif pada pleura kiri serta adanya kemungkinan massa. Suatu
perselubungan yang menutupi hemithoraks adalah suatu tanda jelas dari
efusi pleura massif. Kelainan dapat unilateral atau bilateral tergantung dari
etiologi penyakitnya.13
Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya berupa CT
Scan 3D dan CT Scan thoraks dengan kontras dan didapatkan hasil massa di
tulang costae 8 dan 9 anterior kiri sugestif maligna dan terdapat fraktur
patologis pada costae 8 dan 9. Di dukung dengan hasil FNAB berupa kesan
Osteosarcoma.
Efusi pleura yang di derita pasien akibat adanya Osteosarcoma di
dinding dada. Efusi pleura maligna pada seorang penderita dapat berupa
penyebaran dari keganasan yang far-advanced atau merupakan manifestasi
awal dari keganasan intra atau ekstratoraks yang mendasarinya.36
Osteosarkoma disebut juga osteogenik sarkoma adalah tumor ganas
tulang yang sering ditemukan, ditandai dengan pembentukan jaringan tulang
oleh sel tumor. Osteosarkoma biasanya terdapat pada metafisis tulang
panjang di mana lempeng pertumbuhannya (epiphyseal growth plate) yang
sangat aktif; yaitu pada distal femur, proksimal tibia dan fibula, proksimal
humerus dan patella. Pada pasien didapatkan bahwa Osteosarkoma berada
pada tulang costae 8 dan 9, dimana hal ini jarang terjadi. Osteosarkoma
dapat timbul hampir di setiap golongan usia, tapi kebanyakan pada 10-20
tahun, disusul 21-30 tahun. Fraktur patologis dapat terjadi pada 5-10%
pasien osteosarkoma.24
Pasien EPG mengalami akumulasi berulang kurang lebih 50% yang
membutuhkan terapi definitif untuk mengontrol rekurensi cairan, maka dari
itu pasien membutuhkan pemasangan indwelling pleural catheter (IPC). IPC
adalah salah satu pilihan manajemen paliatif apabila pasien tidak memenuhi
syarat untuk dilakukan pleurodesis.22 Berbagai hasil penelitian yang
terangkum dalam ulasan artikel oleh Lui dkk, menyatakan pemakaian
kateter intrapleura jangka panjang seperti IPC, dapat dijadikan alternative
tatalaksana EPG selain pleurodesis, dengan komplikasi yang minim, dapat
digunakan pada keadaan trapped lung dan dapat mempersingkat lama rawat
di rumah sakit.23
Komplikasi IPC jarang dan menguntungkan dibandingkan dengan
pilihan terapi lain pada EPG. Komplikasi yang paling sering terjadi yaitu
infeksi 12%, lokulasi cairan pleura diikuti kegagalan insersi 4%, empiema
3%. Komplikasi lain yang jarang seperti selulitis, perdarahan, pergeseran
kateter, dan nyeri yang membutuhkan pelepasan kateter.23
BAB V

KESIMPULAN

Seorang pasien perempuan 15 tahun datang ke IGD RSUD Soedarso,


merupakan rujukan dari poli BTKV untuk persiapan pemasangan IPC.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien di diagnosis menderita efusi pleura maligna akibat keganasan yang berasal
dari Osteosarcoma. Pasien dilakukan pemasangan IPC bertujuan untuk
mengurangi sesak napas yang di derita pasien, selain IPC dapat dijadikan
alternative tatalaksana EPG selain pleurodesis, mempunyai komplikasi yang kecil
dan dapat mempersingkat lama rawat pasien di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Yataco J.C., Dweik R.A. Pleural effusions: Evaluation and Management.


Cleveland Clinic Journal of Medicine.72:855; 2005.
2. Fishman AP, Elias JA. Fishman’s pulmonary diseases and disorders. New
York: McGraw-Hill Medical; 2008.
3. American Thoracic Society. 2000. Management of malignant pleural
effusion. Am J Respir Crit Care Med.,162:1987-97
4. Syahruddin E. 2013. The management of malignant pleural effusions.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Konas PDPI Lampung.
5. Pearce EC. Anatomi dan Fisiologi untuk paramedic. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. 2016.
6. Verschalen A.J. The Chest Wall , pleura and diaphragm.In Grainger &
Allison’s Diagnostic Radiology A Textbook of Medical Imaging Volume
I. Editor : Grainger G , Allison DJ . 4 th edition.Philadelphia , Churchill-
Livingstone.2013 : 324 – 333
7. Fishman AP, Elias JA. Fishman’s pulmonary diseases and disorders. New
York: McGraw-Hill Medical; 2008.
8. Syahruddin E., Hudoyo A., Arief N., Efusi Pleura Ganas Pada Kanker
Paru Jurnal Respirasi Indonesia. 32:142.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Kanker paru ( kanker paru karsino
bukan sel kecil).Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia.Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
10. Hezer S, Wijaya I, Miranti IP, dan Kusuma MD. Ekspresi Kalretinin Pada
Diagnosis Sitologi Efusi Pleura dengan Gambaran Sitomorfologi
Adenokarsinoma. Biomedika. 2015;7(1):1-2.
11. Rasyid Ahmad. Anatomi Fisiologi Pleura dan Mekanisme Efusi.Bandung :
Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSMH,2012
12. Rubben M ,Padley S.The pleura.In Textbook of Radiology and Imaging
Volume I. Editor : David Sutton.7th edition.Philadelphia, Churchill
13. Light RW. Pleural effusion. N Engl J Med 2012; 346: 1971-7.
14. Hezer S, Wijaya I, Miranti IP, dan Kusuma MD. Ekspresi Kalretinin Pada
Diagnosis Sitologi Efusi Pleura dengan Gambaran Sitomorfologi
Adenokarsinoma. Biomedika. 2015;7(1):1-2.
15. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI. “Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam”. Edisi ke IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam : Jakarta.
2006.
16. Diaz-GuzmanE,BudevMM.Accuracyofthe physical examination in
evaluating pleural effusion. Cleveland Clinic Journal 2008;75: 297-303.
17. Heffner JE, Klein JS. Recent advances in the diagnosi sand management
of malignant pleural effusions.Mayoclin Proc 2008;83(2):235-50.
18. Abouzgheib W, Bartter T, Dagher H, Pratter M, Klump W.A prospective
study of the volume of pleural fluid required foraccurate diagnosis of
malignant pleural effusion. Chest 2009;135(4):999-1001.
19. Devies HE, Lee YCG. (2013). Pleural effusion, empyema, and
pneumothorax. Philadekphia (US): Mosby Inc. Hlm 853
20. QureshiRA,CollinsonSL,PowellRJ,Froeschle
PO,BerrisfordRG.Managementofmalignant pleuraleffusion associated with
trapped lung syndrome. Asian Cardiovasc Thorac Ann 2008;16:120-3
21. Roberts ME, Neville E, Berrisford RG, Antunes G, Ali NJ, BTS Pleural
Disease Guideline Group Management of a malignant pleural effusion:
British Thoracic Society Pleural Disease Guideline 2010. Thorax 2010;
65(suppl 2):ii32–ii40.R
22. Morel A, Mishra E, Medley L, et al.: Chemotherapy should not be
withheld from patients with an indwelling pleural catheter for malignant
pleural effusion. Thorax 2011; 66: 448–9
23. Lui MM, Thomas R, Lee YC. Complications of indwelling pleural
catheter use and their management. BMJ Open Respir
Res. 2016;3(1):e000123
24. Desen W. Buku ajar onkologi klinis. Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. Hal. 614-625
25. Laux CJ, Berzaczy G, Weber M, Lang S, Dominkus M, Windhager R, et
al. Tumor response of osteosarcoma to neoadjuvant chemotheraphy
evaluated by magnetic resonance imaging as prognostic factor for
outcome. International Orthopaedics (SICOT). 2014 : 1- 8.
26. Ritter J, Bielack SS. Osteosarcoma. Ann Oncol. 2010;21:320-5
27. Mahyudin, F., Edward, M. and Dkk (2018) “Osteosarcoma Has Not
Become Attention To Society,” Journal Orthopaedi and Traumatology
Surabaya JOINTS.
28. Kesehatan BP. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: KEMENTERIAN
KESEHATAN RI; 2013
29. Khorate MM, Goel S, Singh MP, Ahmed J. Osteosarcoma of mandible: A
case report and review of literature. Journal of Cancer Science & Therapy.
2010;2(4):122-5
30. Nielsen GP, Rosenberg AE. Osteosarcoma. In: Folpe AE, Inwards CY,
editors. Bone and Soft Tissue Pathology. Philadelphia: Saunder Elsevier,
2010; p. 320-29
31. Raymond AK, Ayala AG, Knuutila S. Conventional Osteosarcoma. WHO
Classification of Tumours. Pathology & Genetics Tumour of Soft Tissue
and Bone. editor: Fletcher CDM, Unni KK, Merlens. FIARC Press Lyon
2002; 268- 85
32. Rosenberg AF. Osteosarcoma. Robbins and Cotran Pathology basis of
Disease edisi 8 editor: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Saunder
Elsevier Philadelphia 2010:1225
33. Horvai A. Osteosarcoma. In: Kumar V, Abbas A, Aster J, editors. Robbins
and Cotran Pathology Basis of Disease (Ninth Edition). Philadelphia:
Saunders Elsevier, 2015; p. 1198-200
34. Saha D, Saha K, Banerjee A, Jash D. Osteosarcoma relapse as pleural
metastasis. South Asia Journal Cancer. 2013;2:56
35. American Cancer Society (2020) “Bone Cancer Early Detection,
Diagnosis, and Staging,” American cancer Society, pp. 1–15.
36. Jamshidi, K. and Bagheri, A. (2015) “Biopsy of Musculoskeletal Tumors;
Current Concepts Review,” Shafa Orthopedic Journal, 2. doi:
10.5812/soj.452
37. Kaur, I. et al. (2016) “Role of fine-needle aspiration cytology and core
needle biopsy in diagnosing musculoskeletal neoplasms.,” Journal of
cytology, 33(1), pp. 7–12. doi: 10.4103/0970-9371.175478.
38. Wittig, James C, Bickels J, Priebat D, et al. Osteosarcoma: a
multidisciplinary approach to diagnosis and treatment.Apeer reviewed
Journal of American Academic of Family Physicians 2012
39. Rasad, Sjahriar : Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.2006. Hal 81
40. Hanley, Michael E., Carolyn H. Welsh. Current Diagnosis & Treatment in
Pulmonary Medicine. 1st edition. McGraw-Hill Companies.USA:2003. E-
book

Anda mungkin juga menyukai