Anda di halaman 1dari 49

PROPOSAL

STUDI LITERATUR: PENGHARU TERAPI MASASSE KAKI


TERHADAP PENURUNAN NYERI SENDI PADA LANSIA DENGAN
RHEUMATOID ATHRITIS

OLEH:

RONALDO A METEKOHY
12114201170211

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU
AMBON
2021

1
LEMBAR PERSETUJUAN

Kami menerima dan menyetujui proposal ini yang disusun oleh Ronaldo A
Metekohy, NPM: 12114201170211 untuk diseminarkan.

Ambon, April 2021

Pembimbing I Pembimbing II

Ns. S.Embuai, S.Kep., M.Kep Ns. S. Tomasoa, M.Kes


NIDN : 1229098901 NIDN :

Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan

Ns. S. R. Maelissa, S.Kep., M.Kep


NIDN : 1223038001

2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulispanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
limpahan berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal
yang berjudul “Studi literatur: Pengharu terapi masasse kaki terhadap
penurunan nyeri sendi pada lansia dengan rheumatoid athritis” .
Adapun maksud penulis menyusun proposal penelitian ini adalah memenuhi
persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Sarjana Keperawatan di Universitas
Kristen Indonesia Maluku.
Penulis sadar bahwa proposal ini dapat terselesaikan berkat dorongan dan
bantuan dari berbagai pihak. Dengan terselesaikannya proposal ini, maka pada
kesempata ini dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
A. Dr. J. Damamain sebagai Rektor Universitas Kristen Indonesia Maluku yang
telah banyak membantu dalam melancarkan proses perkuliahan penulis dari
awal sampai pada tahap ini.
B. Para Pembantu Rektor I, II, III dan IV Universitas Kristen Indonesia Maluku
yang ikut berperan dalam melancarkan proses perkuliahan penulis.
C. B. Talarima. SKM.,M.Kes selaku Dekan Fakultas Kesehatan Universitas
Kristen Indonesia Maluku yang telah berperan dalam membimbing dan
membantu proses perkuliahan penulis sampai pada tahap ini.
D. Para Pembantu Dekan I, II, III dan IV Fakultas Kesehatan Universitas
Indonesia Maluku yang ikut serta berperan dalam membimbing dan
membantu penulis dalam proses perkuliahan.
E. Ns. Sinthia. R. Maelissa, S.Kep., M.kep selaku ketua Program Studi
Keperawatan Fakultas Kesehatan Universitas Kristen Indonesia Maluku yang
telah berperan banyak dalam membimbing, memberi motivasi dan membantu
penulis dalam proses perkuliahan.
F. Ns. S. Embuai, S.Kep., M.kep selaku pembimbing I yang telah banyak
mengarahkan dan membimbing serta memberi motivasi bagi penulis mulai
dari awal penyusunan proposal hingga terselesaikan proposal ini.

3
G. Ns. V. Tomasoa, M.kes selaku pembimbing II yang telah banyak
mengarahkan dan membimbing penulis sehingga proposal ini dapat selesai.
H. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kesehatan
Universitas Kristen Indonesia Maluku.
I. Mama dan papa, adik, kaka, om tante dan saudara/saudari atas dukungan dan
bantuan sehingga penulis bisa membuat proposal ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan mengharapkan


semoga proposal ini dapat diterima dan bermanfaat bagi semua pihak.

Ambon, April 2021

Penulis

4
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL……………………………………………… 1
HALAMAN PESETUJUAN …………………………………….. 2
KATA PENGANTAR ……………………………………………. 3
DAFTAR ISI …………………………………….…………………… 5
DAFTAR GAMBAR……………………………………………… 6
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………….. 6

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………….. 7
B. Rumusan Masalah …………………………………………. 11
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………. 12
D. Manfaat Penelitian ……………………….…………………. 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


a. Konsep Umum Lansia …………………………………………… 13
b. Konsep Dasar Rheumatoid Athritis………………………………. 20
c. Konsep Dasar Nyeri Rheumatoid Athritis……………...………... 27
d. Konsep Terapi Massase kaki ........................................................... 36
e. Kerangka Konsep ………………………………………………... 39

BAB III METODE PENELITIAN


1. Jenis Penelitian ……..……………………………………………. 40
2. Tahapan Systemic Review ………………………………………... 40
3. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling …......…………………… 43
4. Variabel Penelitian ………………………………………………... 44
5. Analisa Data ………………………………………………………. 44

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 46


LAMPIRAN …………………………………………………………. 47

5
DAFTAR GAMBAR

2.1 Gambar 1 Skala nyeri McGill (McGill Scale) .........................................32


2.2 Gambar 2 Skala penilaian nyeri Bayer ......................................................33
2.3 Gambar 3 Skala Wong-Baker Faces Rating Scale……………… …….. 33
2.4 Gambar 4 Skala intensitas nyeri deskkriptif ………………………………34
2.5 Gambar 5 Skala Penilaian nyeri numeric...………………………...........34

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. SK Pembimbing Skripsi ………………................................. 47


Lampiran 2. Hasil pencarian pada situs google scholar ………………….. 48
Lampiran 3. Hasil screening pada situs google scholar …………………. 49

6
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke


atas. Lanjut usia merupakan istilah bagi seseorang yang telah memasuki
periode dewasa akhir atau usia tua. Periode ini merupakan periode
penutup bagi rentang kehidupan seseorang, dimana terjadi kemunduran
fisik dan psikologi secara bertahap (Abdillah & Octaviani, 2017).
Sejalan dengan meningkatnya persentase penduduk lansia dan juga
meningkatnya angka harapan hidup pada lansia mengakibatkan berbagai
masalah kesehatan dan penyakit yang khas terjadi pada lansia juga ikut
meningkat. Perubahan fisik yang terjadi pada lansia dan merupakan
penyakit dengan prevalensi yang cukup besar terdapat pada gangguan
muskolosketal. Perubahan sistim muskolosketal yang terjadi pada lansia
menyebabkan penyakit kronik yang multipel, perubahan fungsi tubuh,
dan kelehahan fisik. Perubahan ini terjadi karena jaringan penghubung
(kolagen dan elastin), kartilago otot, dan sendi. Gangguan persendian
merupakan keluhan yang sering dikeluhkan oleh lansia. Salah satu
penyakit kronis yang dapat menimbulkan sensani nyeri pada lansia
adalah Rheumatoid Athritis (RA) (Kurniawan 2018).
Rheumatoid arthritis merupakan suatu penyakit yang disebabkan
oleh reaksi autoimun yang terjadi di jaringan persendian
(Defebrianasusda Dida, Sakti O. Batubara, Herliana Monika Azi Djogo
2018). Rheumatoid arthritis paling banyak ditemui dan biasanya dari
faktor, genetik, jenis kelamin, infeksi, berat badan/obesitas, usia, selain
ini faktor lain yang mempengaruhi terhadap penyakit rematik adalah
tingkat pengetahuan penyakit rematik sendiri memang masih sangat
kurang, baik pada masyarakat awam maupun kalangan medis (Bawarodi,
fera, dkk : 2017).

7
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit yang relative sering
terjadi diseluruh dunia. Menurut World Health Organitation (WHO)
tahun 2015 sebanyak 165 juta jiwa di dunia menderita penyakit
rheumatoid arthritis dengan prevalensi antara 0,3%-0,5%. Sedangkan
menurut WHO (2016) mencatat penyakit rheumatoid arthritis di dunia
dari 2.130 juta populasi telah mencapai angka 335 juta, yang berarti 1
dari 6 jiwa di diagnosis rheumatoid arthritis. Angka ini diprediksi akan
terus meningkat sampai tahun 2025 dengan kejadian 25% mengalami
kelumpuhan. Menurut data Riskesdas dan Dinkes (2015) Prevalensi
nasional penyakit rheumatoid arthritis adalah 30,3% (berdasarkan
doagnosis tenaga kesehatan dan gejala). Sebanyak 11 provisi mempunyai
prevalensi Penyakit rheumatoid arthritis, yaitu Naggore Aceh
Darussalam, Sumatra Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantas
Selatan dan Papua Barat. Secara Nasional, 10 Kabupaten / kota dengan
prevalensi Penyakit rheumatoid arthritis tertinggi adalah sampang
(57,1%), Garut (55,8%), Sumedang (55,2%), Manggarai (54,7%),
Talikora (53,1%), Majalengka (51,9%), dan Jeneponto (51,9%).
Sedangkan 10 Kabupaten / kota dengan provalensi Penyakit rheumatoid
arthritis terendah adalah Yakuhimo (0,1%), Ogan komering Ulu (8,7%),
Siak (9,9%), Kota Binjai (10,5%), Ogan Komering Ulu Timur (10,7%),
Karo (11,9%), Banjarmasin (11,5%) Kota Payakumbuh (11,9%), Kota
Makassar (12,0%). Menurut dinas kesehatan provinsi Kalimantan Selatan
tahun (2017) angka kejadian Artritis Rheumatoid menempati urutan 5
dari 10 penyakit terbanyak di Kalimantan Selatan prevalensi (9,19%).
Berdasarkan data dari Puskesmas Cempaka Banjarmasin pada tahun
(2016) Artritis Rheumatoid menempati urutan ke 8 dari 10 penyakit
terbanyak dengan angka kejadian 1627 jiwa, sedangkan pada tahun
(2017) Artritis Rheumatoid menempati urutan ke 6 dari 10 penyakit
terbanyak dengan angka kejadian 1445 iwa dan mengalami kenaikan.

8
Keluhan yang paling banyak ditimbulkan oleh pasien rheumatoid
arthritis adalah nyeri, pembengkakan dan kekauan sendi-sendi kecil pada
tangan dan seacara progresif nyeri sering dirasakan dilutut. Rasa nyeri
pada penderita RA dirasakan pada bagian synovial sendi, sarung tendon,
dan bursa akan mengalami penebalan akibat radang yang diikuti oleh
erosi tulang dan destruksi tulang sekitar sendi. Nyeri sendi yang
ditimbulkan mulai dari skala ringan hingga berat yang dapat menggangu
aktivitas lansia (Riski maulany, 2019)
Tindakan farmakologi untuk menurunkan nyeri dibagi menjadi tiga
kategori umum, yaitu Anestesi Lokal, Agen Analgesik Opioid Dan
Nonteroidal Drugs (NSAIDs). Pemberian obat penurun nyeri, dengan
pemberian obat-obat analgesik seperti pemberian obat anti infalamasi
nonsteroid (OAINS). Sedangkan tindakan nonfarmakologi untuk
menurunkan nyeri dapat digolongkan menjadi 2 kategori, yaitu
intervernsi simulasi kutan dan intervensi perilaku kognitif. Intervensi
simulasi kutan mempunyai keuntungan yaitu intervensi ini dapat
dilakukan pada beragam area, sangat efektif dilakukan pada area distal,
proksimal, atau kontralateral terhadap area pemicu nyeri. Sedangkan
penerapan intervensi perilaku kognitif pada lansia kurang efektif, karena
pada lansia terdapat faktor-faktor yang dapat mengganggu seperti defisit
kognitif, depresi berat.
Terapi alternatif untuk mengurangi nyeri pada rhumathoid atrhritis
dilakukan stimulasi kutaneus yang merupakan metode noninvasif dalam
mengatasi nyeri pada lansia. Stimulasi kutaneus merupakan stimulasi
kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri, bekerja dengan cara
mendorong pelepasan endorphin, sehingga memblok transimisi simulasi
nyeri salah satunya dengan cara sentuhan atau mesase.
Sentuhan atau massase merupakan teknik integrasi sensori yang
mempengharui aktifitas sistem saraf otonom. Apabila individu
mempersepsikan sentuhan sebagai stimulus untuk relaks, maka akan
muncul respon relaksasi. Relaksasi sangat penting untuk membantu klien

9
meningkatkan kenyamanan dan nyeri yang tak berkesudahan. Masasse
kaki (foot masagge) pada kaki membantu dalam pembangunan kembali
keseimbangan pada tubuh, hal ini juga membantu dalam meningkatkan
aliran darah, mengurangi tekanan darah dan kolestrol serta dapat
mengurangi nyeri.beberapa penelitian menggambarkan bahwa massase
kaki adalah salah satu metode yang paling umum dari terapi
komplementer yang dapat menurunkan nyeri. Manfaat massase kaki
dapat memberikan block pada transimisi nyeri, dan mengaktifkan
endorphin atau senyawa penawar alamiah dalam sistem kontrol desenden
dan membuat relaksasi otot sehingga nyeripun berkurang (Siti
Nurkothimah, 2019)
Hal ini sejalan hasil penelitian yang dilakukan (Rizki Maulana,
2019) tentang pengahru massase kaki terhadap intensitas nyeri
rehumatoid athritis di dapatkan bahwa massase kaki yang dilakukan 1
kali dalam sehari di pagi hari dengan durasi 20 menit selama 5 hari
berturut-turut pada 30 pasien lansia, dengan nilai rata-rata nyeri sebelum
dilakukan pijat massase pada lansia adalah 5,2 dengan standar devisiasi
0, 789 dan nilai rata-rata nyeri rheumatoid athritis sesudah dilakukan
pijat/massase adalah 3,4 dengan standar devisiasi 1,075 artinya terjadi
penurunan skala nyeri rheumatoid athritis pada lansia yakni dari 5,2
menjadi 3,4.. Berdasarkan penelitian (fenny Marlena, Rita Junairti 2019)
yang dilakukan terhadap 6 pasien lansia dalam sehari diperoleh hasil
penelitian menunjukkan ada 4 orang (80%) setelah diberikan terapi
massase kaki mengalami penurunan skala nyeri yang signifikan. Di
dukung oleh hasil penelitian (Kristanto dan Malia, 2018) dalam
penelitiannya tentang efektivitas massase kaki terhadap nyeri pada pasien
rheumatoid, hasil penelitioan menunjukan bahwa terdapat pengaruh
massase kaki terhadap nyeri. Penelitian tersebut membuktikan bahwa
terapi massase kaki dapat digunakan untuk menurunkan nyeri, termasuk
nyeri kronis seperti nyeri punggung dan sendi lutut.

10
Massase kaki banyak sekali manfaatnya bagi setiap orang dalam
meurunkaan nyeri terutama bagi orang dengan usia lanjut. Efektivitas
massage (pijit) terhadap skala nyeri tersebut disebabkan oleh pengaruh
distraksi dan meningkatnya hormon endorphin dari efek relaksasi yang
ditimbulkan oleh massage (pijit), sehingga mampu memberikan efek
kenyamanan pada lansia.
Berdasarkan uraian latar belakang, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang. Studi literatur: pengharu terapi masasse
kaki terhadap penurunan nyeri sendi pada lansia dengan
rheumatoid athritis

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan


permasalahan penelitian, yaitu “Apakah terdapat pengharu terapi
masasse kaki terhadap penurunan nyeri sendi pada lansia dengan
rheumatoid athritis?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum

Tujuan yang ingin di capai peneliti dalam penelitian ini adalah


mengetahui pengharu terapi masasse kaki terhadap penurunan nyeri
sendi pada lansia dengan rheumatoid athritis.

D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini akan dapat di jadikan sebagai sumber informasi


untuk pengembangan keilmuan bidang keperawatan dalam penanganan
lansia yang mengalami kejadian rheumatoid athritis.

11
b. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan
peneliti tentang pengharu terapi masasse kaki terhadap penurunan
nyeri sendi pada lansia dengan rheumatoid athritis.
b. Bagi Lansia
Hasil penelitian tentang terapi massase kaki ini di harapkan dapat
digunakan bagi lansia untuk nyeri sendi Rheumatoid athritis.
c. Bagi Petugas Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau
informasi dalam mengambil kebijakan dalam penyusunan program
kesehatan lansia.

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Umum Lansia
1. Pengertian Lansia
Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke
atas. Lanjut usia merupakan istilah bagi seseorang yang telah memasuki
periode dewasa akhir atau usia tua. Periode ini merupakan periode
penutup bagi rentang kehidupan seseorang, dimana terjadi kemunduran
fisik dan psikologi secara bertahap (Abdillah & Octaviani, 2017).

2. Klasifikasi Lansia
Menurut World Health Organization (WHO) yaitu:
A. Usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun
B. Lansia (elderly) 60-74 tahun
C. Lansia tua (old) 75-90 tahun
D. Lansia sangat tua (very old) di atas 90 tahun

Menurut Setyonegoro (dalam Dewi 2014) masa lanjut usia (geriatric


age) : >65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric agr) itu
sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu:
2.1 Young old (70-75 tahun)
3.1 Old (75-80 tahun)
4.1 Dan very old (>80 tahun)

3. Tipe-tipe lansia
Tipe lansia dibagi menjadi 8 tipe yaitu tipe optimis, tipe konstuktif, tipe
ketergantungan, tipe defensif, tipe militant dan serius,tipe pemarah
frustasi, tipe bermusuhan, tipe putus asa, membenci dan menyalahkan
diri sendiri.

13
1) Tipe Optimis
Lansia santai dan periang, penyesuaian cukup baik, memandang
lansia dalam bentuk bebas dari tanggung jawab dan sebagai
kesempatan untuk menuruti kebutuhan pasifnya.
2) Tipe konstruktif
Mempunyai integritas baik, dapat menikmati hidup,mempunyai
toleransi tinggi, humoris, fleksibel dan sadar diri. Biasanya sifat ini
terlihat sejak muda.
3) Tipe ketergantungan
Lansia ini masih dapat di terima ditengah masyarakat, tetapi selalu
pasif, tidak berambisi, masih sadar diri, tidakmempunyaiinisiatif, dan
tidakpratis dalam bertindak.
4) Tipe Defensif
Sebelumnya mempunyai riwayat pekerjaan/jabatan yang tidak stabil,
selalu menolak bantuan, emosi sering tidak terkontrol, memegang
teguh kebiasaan, bersifat kompulsif aktif, takut menhadapi “menjadi
tua” dan menyenangi masa pension.
5) Tipe Militant Dan Serius
Lansia yang tidak mudah menyerah, serius, senang berjuang dan bisa
menjadi panutan
6) Tipe pemarah frustasi
Lansia yang pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, selalu
menyalahkan orang lain, menunjukan penyesuaian yang burukk, dan
sering mengekspresikan kepahitan hidupnya.
7) Tipe Bermusuhan
Lansia yang selalu menganggap orang lain yang menyebabkan
kegagalan, selalu mengeluh, bersifat agresif dan curiga. Umumnya
memiliki pekerjaan yang tidak stabil di saat muda, menganggap
menjadi tua sebagai hal yang tidak baik, takut mati, iri hati pada
orang yang masih muda, senang mengadu untung pekerjaan, dan
aktif menghindari masa yang buruk.

14
8) Tipe Putus Asa, Membenci dan Menyalahkan Diri Sendiri
Bersifat kritis dan menyalahkan diri sendiri, tidak memiliki ambisi,
mengalami penurunan sosio-ekonomi, tetapi juga depresi,
menganggap usia lanjut sebagai masa yang tidak menarik dan
berguna.

4. Perubahan proses menua


Proses penuaan merupakan proses yang berhubungan dengan umur
seseorang. Manusia mengalami perubahan sesuai dengan bertambahnya
umur tersebut. Semakin bertambah umur semakinberkurang fungsi-
fungsi organ tubuh. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan struktur dan
fungsi organ antara manusia yang berumur 70 tahun dengan mereka
berumur 30 tahun, yaitu berat otak pada lansia 56% aliran darah ke otak
80%, cardiac output 70%, jumlah glomerulus 56%, glomerular filtration
rate 69%, vital capacity 56%, asupan O2 sesama olahraga 40%, jumlah
dari axon pada saraf spinal 63%, kecepatan penghantar inplus saraf 90%,
dan berat badan 88%. Banyak factor yang memengaruhi proses penuaan
tersebut, sehingga munculah teori-teori yang menjelaskan mengenai
proses penuaan ini (Sunaryo et all., 2015)
Menurut sheiera saul (dalam Muhit & Siyoto, 2016 ), secara individual
tahap proses menua terjadi pada orang dengan usia berbeda-beda.
Masing-masing lanjut usia menpunyai kebiasaaan yang berbeda-beda
sehingga tidakada satu factorpun ditemukan untuk mencegah proses
menua. Teori-teori itu dapat digolongkan dalam dua kelompok teori
biologis dan teori kejiwaan sosial.
a. Teori Biologi
Teori biologi adalah ilmu alam yang mempelajari kehidupan dan
organisme hidup, termasuk struktur, fungsi, pertumbuhan, evolusi,
persebaran, dan taksonominya. Ada beberapa macam teori biologis,
diantaranya sebagai berikut:

15
a. Teori Genetik Dan Mutasi (Somatic Mutatie Theory)
Menua telah terprogram secara genetic untuk spesies-spesies
tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia
yang diprogram oleh molekul-molekul atau DNA dan setiap sel
pada saatnya akan mengalami mutasi sbagai contoh yang khas
adalah mutasi dari sel-sel kellamin (Terjadi penurunan
kemampuan fungsional sel).
b. Teori Interaksi Seluler
sel-sel yag saling berinteraksi satu sama lain dan memengaruhi
keadaan tubuh akan baik-baik saja selama sel-sel masih berfungsi
dalam suatu harmoni. Akan tetapi, bila tidak lagi demikian maka
akan terjadi kegagalan mekanisme feed-back di mana lambat
laun sel-sel akan mengalami degenerasi.
c. Teori Replikasi DNA
Teori ini mengemukakan bahwa proses penuaan merupakan
akibat akumulasi bertahap kesalahan dalam masa replikasi DNA
sehingga terjadi kematian sel. Kerusakan DNA akan
menyebabkan pengurangan kemampuan replikasi ribosomal
DNA (rDNA) dan mempengaruhi masa hidup sel. Sekitar 50%
rDNA akan menghilang dari sel jaringan pada usia kira-kira 70
tahun.
d. Teori Ikatan Silang
Proses penuaan merupakan akibat dari terjadinya ikatan sillang
yang progresif antara protein intraseluler dan interseluler serabut
kolagen. Ikatan silang meningkat sejalan dengan bertambahnya
umur. Hal ini mengakibatkan penurunan elastisitas dan
kelenturan kolagen di membran basalis atau substansi dasar
jaringan penyambung. Keadaan ini akan mengakibatkan
kerusakan fungsi organ.

16
e. Teori Radikal Bebas
Teori radikal bebas dewasa ini lebih banyak dianut dan dipercaya
sebagai mekanisme proses penuaan. Radikal bebas adalah
sekelompok elemen dalam tubuh yang mempunyai electron yang
tidak berpasangan sehingga tidak stabil dan reaktif hebat.
Sebelum memiiki pasangan, radikal bebas akan terus-menerus
menghantam sel-sel tubuh guna mendapatkan pasangannya,
termasuk menyerang sel-sel tubuh yang normal. Teori ini
mengemukakan bahwa terbentuknya gugus radikal bebas
(hydroxyl,superocide, hydrogenperoxide, dan sebagainya) adalah
akibat terjadi otoksidasi dari molekul intraseluler karena
pengaruh sinar UV. Radikal bebas ini akan merusak enzim
superoksida-dismutase (SOD) yang berfungsi mempertahankan
fungsi sel sehingga fungsi sel menurun dan menjadi rusak. Proses
penuaan pada kulit yang dipicu oleh sinar UV (photoaging)
merupakan salah satu bentuk implementasi dari teori ini.
f. Reaksi dari Kekebalan Sendiri (Auto Immune Theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu
zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap
zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
Sebagai contoh ialah tambahan kelenjar timus yang ada pada usia
dewasa berinvolusi dan semenjak itulah terjadilah kelainan
autoimun.
b. Teori Kejiwaan Sosial
Teori kejiwaan sosial meneliti dampak atau pengaruh sosial terhadap
perilaku manusia. Teori ini melihat pada sikap, keyakinan, dan
perilaku lansia. Ada beberapa macam teori kejiwaan sosial,
diantaranya sebagai berikut:
a. Aktivitas Atau Kegiatan (Activity Theory)
Menyatakan bahwa para lanjut usia yang sukse adalah mereka
yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Ukuran

17
optimuun (Pola hidup) dilajutkan pada cara hidup dari lanjut
usia. Mempertahankan hubungan antara system sosial dan
individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
b. Kepribadian Berlanjut (Contiunity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut
usia. Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas. Teori ini
menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang
lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe kepribadian yang
dimilikinya.
c. Teori Pembebasan (Didengagement Theory)
Teori ini menerapkan putusnya pergaulan atau hubungan dengan
masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainnya.
Cumming and Henry (dalam Muhit & Iyoto, 2016 ), menyatakan
bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-
angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau
menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara
kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan
ganda (triple loos) yaitu kehilangan peran (loos of role),
hambatan kontak sosial (restraction of contact and relation
ships), dan berkurangnya komitmen (reduced commitment to
social moves and values).
d. Teori Subkultural
Lansia merupakan kelompok yang memiliki norma, harapan, rasa
percaya, dan adat kebiasaan tersendiri sehingga dapat
digolongkan sebagai subkultural. Akan tetapi, mereka ini kurang
terintegrasi pada masyarakat luas dan lebih banyak berinteraksi
antar sesama. Dikalangan lansia, status lebih ditekankan pada
bagaimana tingkat kesehatan dan kemampuan mobilitasnya,
bukan pada hasil pekerjaan, pendidikan, ekonomi, yang pernah
dicapainya. Kelompok-kelompok lansia seperti ini bila

18
terkoordinasi dengan baik dan dapat menyalurkan aspirasinya
dimana hubungan antar grup dapat meningkatkan proses
penyesuaian pada masa lansia.
e. Teori Strata usia
Teori ini menerangkan adanya saling ketergantungan antara usia
dengan struktur sosial yang dapat di jelaskan sebagai berikut;
orang-orang tumbuh dewasa bersama masyarakat dalam bentuk
kohor dalam artian sosial, biologis, dan psikologis. Kohor
muncul dan masing-masing kohor memiliki pengalaman dan
selera tersendiri. Suatu masyarakat dibagi kedalam beberapa
strata sesuai dengan lapisan usia dan peran. Masyarakat sendiri
senantiasa berubah, begitupula inividu dan perannya dalam
masing-masing strata, terdapat saling keterkaitan antara penuaan
individu dengan perubahan sosial. Kesimpulan adalah lansia dan
mayoritas masyarakat senantiasa saling mempengaruhi dan selalu
terjadi perubahan kohor maupun perubahan dalam masyarakat.
f. Teori Penyesuaian Individu dengan Lingkungan
Teori ini mengatakan ada hubungan antara kompetensi individu
dengan lingkungannya. Kompetensi ini meruupakan ciri
fungsional individu, antara lain kekuatan ego, keterampilan
motoric, kesehatan biologis, kapasitas kognitif, dan fungsi
sensorik.
Adapun lingkungan yang dimaksud adalah mengenai potensinya
dalam menimbulkan respon perilaku dari seseorang terdapay
suatu tingatan suasana tau tekanan lingkungan tertentu yang
menguntungkan baginya. Orang yang berfungsi pada level
kompetensi yang rendah hanya mampuh bertahan pada level
tekanan lingkungan yang rendah. Suatu korelasi yang sering
berlaku adalah semakin terganggu (cacat) seseorang, maka
tekanan lingkungan yang dirasakan akan semakin besar.

19
B. Konsep Dasar Rheumatoid Arthritis
1. Pengertian Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik atau
penyakit autoimun dimana rheumatoid arthritis ini memiliki karakteristik
terjadinya kerusakan pada tulang sendi, ankilosis dan deformitas. Penyakit
ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan penyambung difus
yang diperantarai oleh imunitas (Lukman & Nurna Ningsih, 2013).

2. Etiologi Rheumatoid Arthritis


Penyebab rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti
walaupun banyak hal mengenai patogenesisnya telah terungkap. Faktor
genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan
dalam timbulnya penyakit ini. Kecenderungan wanita untuk menderita
rheumatoid arthritis dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang
sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan
hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penyakit
ini. Walaupun demikian karena pembenaran hormon esterogen eksternal
tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan,
sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang
merupakan penyebab penyakit ini (Aspiani, 2014).
Infeksi telah diduga merupakan penyebab rheumatoid arthritis.
Dugaan faktor infeksi timbul karena umumnya omset penyakit ini terjadi
secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi
yang mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi
suatu organisme dari jaringan synovial, hal ini tidak menyingkirkan
kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau
endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya
rheumatoid arthritis. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab
rheumatoid arthritis Antara lain bakteri, mikoplasma atau virus (Aspiani,
2014). Hipotesis terbaru tentang penyebab penyakit ini adalah adanya
faktor genetik yang akan menjurus pada penyakit setelah terjangkit

20
beberapa penyakit virus, seperi infeksi virus Epstein-Barr. Heat Shock
Protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang yang
dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respon terhadap stress.
Walaupun telah diketahui terdapa hubungan antara Heat Shock Protein
dan sel T pada pasien Rheumatoid arthritis namun mekanisme hubungan
ini belum diketahui dengan jelas (Aspiani, 2014).

3. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis


Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat
membedakan komponen self dan non-self. Pada kasus rheumatoid
arthritis system imun tidak mampu lagi membedakan keduanya dan
menyerang jaringan synovial serta jaringan penyokong lain. Proses
fagositosis menghasilkan enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen
sehingga terjadi edema, proliferasi membrane synovial dan akhirnya
pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan
sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena
serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Aspiani,
2014).
Imflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi synovial seperti
edema, kongesti vascular, eksudat fibrin, dan infiltrasi selular.
Peradangan yang berkelanjutan, synovial menjadi menebal, terutama
pada sendi articular kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi
membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago. Pannus
masuk ke tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang
menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artikuler, sehingga
kartilago menjadi nekrosis. Tingkat erosi dari kartilago menentukan
ketidakmampuan sendi.Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi
adhesi diantara permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang
bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon

21
dan ligament menjadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau
dislokasi dari persendian. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan
terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas
(Aspiani, 2014).

4. Tanda Dan Gejala Rheumatoid Arthritis


Menurut (Aspiani, 2014) ada beberapa gejala klinis yang umum
ditemukan pada pasien rheumatoid arthritis. Gejala klinis ini tidak harus
timbul secara bersamaan. Oleh karenanya penyakit ini memiliki gejala
klinis yang sangat bervariasi.
a. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun, dan demam. Terkadang dapat terjadi kelelahan yang
hebat.
b. Poliaritis simetris, terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-
sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi
interfalang distal, hampir semua sendi diartrodial dapat terangsang.
c. Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan
mekanis dengan nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang
timbul setelah aktivitas an hilang setelah istirahat serta tidak timbul
pada pagi hari merupakan tanda nyeri mekanis. Sebaliknya nyeri
inflamasi akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur
dan disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan
berkurang setelah melakukan aktivitas.
d. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat
generalisata terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini
berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartratis, yang biasanya
hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari
satu jam.
e. Arthritis erosif, merupakan ciri khas rheumatoid arthritis pada
gambaran radiologic. Peradangan sendi yang kronik

22
mengakibatkan erosi di tepi tulang dan dapat dilihat pada
radiogram.
f. Deformitas, kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi
dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari,
sublukasi sendi metakarpofalangeal, leher angsa adalah beberapa
deformitas tangan yang sering di jumpai pasien. Pada kaki terdapat
protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari
subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat
terangsang dan akan mengalami pengurangan kemampuan bergerak
terutama dalam melakukan gerakan ekstensi.
g. Nodula-nodula rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan
pada sekitar sepertiga orang dewasa penderita rheumatoid arthritis.
Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa
elekranon (sendi siku), atau di sepanjang permukaan ekstanor dari
lengan, walaupun demikian nodul-nodul ini dapat juga timbul pada
tempat-tempat lainnya. Nodul-nodul ini biasanya merupakan suatu
tanda penyakit yang aktif dan lebih berat.
h. Manifestasi ekstra articular, rheumatoid arthritis juga dapat
menyerang organorgan lain diluar sendi. Jantung (pericarditis),
paru-paru (pleuritis), mata, dan rusaknya pembuluh darah.

5. Komplikasi Rheumatoid Arthriti


Rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik yang dapat
mempengaruhi bagian lain dari tubuh selain sendi. Menurut (Aspiani,
2014) rheumatoid arthritis dapat menimbulkan komplikasi pada bagian
lain dari tubuh :
a. Sistem respiratori Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak
jarang dijumpai pada rheumatoid arthritis. Gejala keterlibatan
saluran nafas atas ini dapat berupa nyeri tenggorokan, nyeri
menelan, atau disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada

23
pagi hari. Pada rheumatoid arthritis yang lanjut dapat pula
dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru yang luas (Aspiani, 2014).
b. Sistem kardiovaskuler Seperti halnya pada sistem respiratorik,
pada rheumatoid arthritis jarang dijumpai gejala perikarditis
berupa nyeri dada atau gangguan faal jantung. Akan tetapi pada
beberapa pasien dapat juga dijumpai gejala perikarditis yang
berat. Lesi inflamatif yang menyerupai nodul rheumatoid dapat
dijumpai miokardium dan katup jantung. Lesi ini dapat
menyebabkan disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan
konduksi, aortitis dan kardiomiopati (Aspiani, 2014).
c. Sistem gastrointestinal Kelainan sistem pencernaan yang sering
dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptic yang merupakan
komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid
(OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease
modifyingantirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor
penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada rheumatoid
arthritis (Aspiani, 2014).
d. Sistem persarafan Komplikasi neurologis yang sering dijumpai
rheumatoid arthritis umumnya tidak memberikan gambaran yang
jelas sehingga sukar untuk membedakan komplikasi neurologis
akibat lesi artikular dari lesi neuropatik. Pathogenesis komplikasi
neurologis pada umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
instabilitas vertebre, servikal, neuropai jepitan atau neuropati
iskemik akibat vasculitis (Aspiani, 2014).
e. Sistem perkemihan : ginjal Berbeda dengan lupus eritematosus
sistemik pada rheumatoid arthritis jarang sekali dijumpai kelainan
glomelural. Jika pada pasien rheumatoid arthritis dijumpai
proteinuria, umumnya hal tersebut lebih sering disebabkan karena
efek samping pengobatan seperi garam emas dan D-penisilamin
atau erjadi sekunder akibat amiloidosis. Walaupun kelainan ginjal
interstisial dapat dijumpai pada syndrome sjogren, umumnya

24
kelainan tersebut lebih banyak berhubungan dengan penggunaan
OAINS. Penggunaan OAINS yang tidak terkontrol dapat sampai
menimbulkan nekrosis papilar ginjal (Aspiani, 2014).
f. Sistem hematologis Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai
dengan gambaran eritrosit normosistik-normokromik (hipokromik
ringan) yang disertai dengan kadar besi serum yang rendah serta
kapasitas pengikatan besi yang normal atau rendah merupakan
gambaran umum yang sering dijumpai pada rheumatoid arthritis.
Enemia akibat penyakit kronik ini harus dibedakan dari anemia
defisiensi besi yang juga dapat dijumpai pada rheumatoid
arthritis akibat penggunaan OAINS atau DMARD yang
menyebabkan erosi mukosa lambung (Aspiani, 2014).

6. Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis


Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan
penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik
serta ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang lama
(Aspiani, 2014). OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid ) diberikan
sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering
dijumpai.
OAINS yang diberikan yaitu aspirin, pasien dibawah umur 65
tahun dapat dimulai dengan dosis 3-4 x 1g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-
0,6 perminggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi
20-30 mg/dl. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak dan
sebagainya (Aspiani, 2014). DMARD (Disease Modifying
Antirheumatoid Drugs) digunakan unuk melindungi rawan sendi dan
tulang dari proes destruksi akibat rheumatoid arthritis. Keputusan
penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh
dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis rheumatoid
arthritis diegakkan, atau bila respon OAINS tidak ada. DMARD yang
diberikan: (Aspiani, 2014)

25
a. Klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalu enteric, digunakan dalam
dosis 1 x 500 mg/hari, ditinggikan 500 mg/minggu, sampai
mencapai dosis 4 x 500 mg.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat.
Digunakan dalam dosis 250-300 mg/ hari, kemudian dosis
ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk
mencapai dosis total 4 x 20-300 mg/hari.
d. Garam emas adalah gold standart bagi DMARD.
e. Obat imunosupresif atau imonoregulator; metotreksat dosis
dimulai 5-7, mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan idak
menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan.
f. Korikosteroid, hanya dipakai untuk pengobatan Rheumatoid
arthritis dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa seperti
vasculitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat
berat.

Rehabilitasi bertujuan meningkatkan kualitas harapan hidup pasien.


Caranya antara lain dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan,
pemanasan dan sebagannya. Fisioterapi dimulai segera setelah rasa sakit
pada sendi berkurang. Bila tidak juga behasil, diperlukan pertimbangan
untuk pertimbangan operatif. Sering juga diperlukan alat-alat seperti
pemakaian alat bidai, tongkat penyangga, kursi roda, terapi mekanik,
pemanasan baik hidroterapi maupun elekroterapi, occupational therapy
(Aspiani, 2014).

26
C. Konsep Dasar Nyeri pada Rheumatoid Arthritis
1. Pengertian Nyeri
Menurut The International Association for The Study of Pain
(IASP), nyeri didefisinikan sebagai pengalaman sensoris dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan
atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan (Aru W. Sudoyo
dkk, 2014). Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan
jaringan, yang harus menjadi pertimbangan utama perawat saat mengkaji
nyeri (Andarmoyo, 2013).
Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang potensial dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang disebut nosiseptor, yang
merupakan tahap awal proses timbulnya nyeri. Reseptor yang dapat
membedakan rangsang noksius dan nonnoksius disebut nosiseptor.
Nosiseptor merupakan terminal yang tidak tediferensiasi serabut a-delta
dan serabut c. Serabut a-delta merupakan serabut saraf yang dilapisi oleh
mielin yang tipis dan berperan menerima rangsang mekanik dengan
intensitas menyakitkan, dan disebut juga high-threshold
mechanoreceptors, sedangkan serabut c merupakan serabut yang tidak
dilapisi mielin (Aru W. Sudoyo dkk, 2014).

2. Pengertian Nyeri Kronis


Nyeri kronis merupakan pengalaman sensorik atau emosional yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual maupun fungsional dengan
waktu yang mendadak atau lambat dengan intensitas ringan hingga berat
dan konstan yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan (Tim Pokja
SDKI DPP PPNI, 2016).

3. Tanda dan Gejala Nyeri Kronis


Tanda dan gejala nyeri kronis menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,
2016)

27
a. Gejala dan tanda mayor
1) Adapan gejala dan tanda subjektifnya yaitu :
a) Mengeluh nyeri
b) Merasa depresi dan tertekan

2) Adapan gejala dan tanda objektifnya yaitu :


a) Tampak meringis
b) Gelisah
c) Tidak mampu menuntaskan aktivitas

b. Gejala dan tanda minor


1) Adapan gejala dan tanda subjektifnya yaitu : a) Merasa takut
mengalami cedera berulang
2) Adapan gejala dan tanda objektifnya yaitu :
a) Bersikap protektif (misalnya posisi menghindari nyeri)
b) Waspada
c) Pola tidur berubah
d) Anoreksia
e) Focus menyempit
f) Berfokus pada diri sendiri

4. Penyebab Nyeri Kronis


Penyebab nyeri kronis adalah kondisi musculoskeletal kronis,
kerusakan system saraf, penekanan saraf, infiltrasi tumor,
ketidakseimbangan neurotansmiter, gangguan imunitas, gangguan fungsi
metabolik, riwayat posisi kerja statis, peningkatan indeks massa tubuh,
kondisi pasca trauma, tekanan emosional, riwayat penganiyaan, dan
riwayat penyalahgunaan obat/zat (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

28
5. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Nyeri
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri. Perawat
sebagai tenaga kesehatan harus mendalamifaktor yang mempengaruhi
nyeri agar dapat memberikan pendekatan yang tepat dalam pengkajian
dan perawatan terhadap pasien yang mengalami nyeri. Faktor-faktor
tersebut antara lain (Andarmoyo, 2013) :
a. Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya padalansia. Kebanyakan lansia hanya menganggap
nyeri yang dirasakan sebagai bagian dari proses menua. Perbedaan
perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia anak-anak
dan lansia dapat mempengaruhi bagaimana mereka bereaksi
terhadap nyeri. Beberapa lansia enggan memeriksakan nyerinya
karena takut bahwa itu menjadi sebuah pertanda mengalami sakit
yang serius.
b. Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda dalam
mengungkapkan nyeri. Ini dapat dipengaruhi oleh faktor- faktor
biokimia, dan merupakan hal yang unik pada setiap individu, tanpa
memperhatikan jenis kelamin. Kebudayan yang sangat kental
membedakan nyeri antara pria dan wanita, dimana pria dianggap
lebih kuat dalam menahan nyeri.
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai – nilai budaya mempengaruhi cara
individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang
diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini
meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Masyarakat
kebanyakan menganggap anak laki-laki lebih kuat dalam
menangani nyeri dibandingkan anak perempuan, hal ini tentu saja
hanya kebudayaan masyarakat yang terbiasa memandang laki-laki
lebih kuat daripada perempuan.

29
d. Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
Individu akan menilai nyeri dari sudut pandang masing-masing.
Cara memaknai nyeri pasa setiap orang berbeda-beda.

e. Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya pengalihan ( distraksi ) dihubungkan
dengan respon nyeri yang menurun. Perhatian juga dapat dikatakan
mempengaruhi intensitas nyeri. Dibutuhkan pengalihan perhatian
nyeri dengan relaksasi untuk menurunkan intensitas nyeri
f. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks.
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Ansietas memiliki
hubungan dengan intensitas nyeri yang dirasakan pasien
g. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan
menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping. Nyeri yang berlebihan juga dapat
menyebabkab keletihan.
h. Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman
nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan
menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.
Nyeri yang dirasakan terdahulu hanya sebagai gambaran pada
nyeri yang dirasakan saat ini.
i. Gaya koping
Pasien mengalami nyeri di keadaan perawatan kesehatan,
seperti di rumah sakit, pasien merasa tidak berdaya. Koping yang

30
diambil cenderung lebih ke koping individu. Koping ditentukan
dengan bagaimana pasien menanggapi nyeri.
j. Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri ialah
kehadiran orang – orang terdekat pasien dan bagaimana sikap
mereka terhadap pasien mempengaruhi respon nyeri. Pasien
dengan nyeri memerlukan dukungan, bantuan dan perlindungan
walaupun nyeri tetap dirasakan namun kehadiran orang yang
dicintai akan meminimalkan kesepian dan ketakutan.

6. Intensitas nyeri
Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang nyeri yang dirasakan
oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat subjektif dan
individual, memungkinkan individu merasakan nyeri yang berbeda dalam
intensitas yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh masing-masing individu
dalam menyikapi nyeri yang dirasakan. Pendekatan objektif yaitu respon
fisiologis tubuh terhadap nyeri dalam mengukur intensitas nyeri belum
dapat memberikan gambaran mengenai nyeri.
Dibawah ini terdapat cara untuk mengukur skala nyeri yaitu (Iqbal
Mubarak, 2015):
a. Skala nyeri McGill
McGill mengukur intensitas nyeri dengan 5 angka, yaitu 0: tidak
nyeri; 1: nyeri ringan; 2: nyeri sedang; 3: nyeri berat; 4: nyeri
sangat berat; 5: nyeri hebat.

Gambar 1 Skala nyeri McGill (McGill Scale)


Sumber: (Iqbal Mubarak, 2015)

31
b. Bayer
Bayer pada tahun 1992 mengembangkan “Oucher” untuk
mengukur intensitas nyeri pada anak-anak, yang terdiri atas dua
skala terpisah yaitu sebuah skala dengan nilai 0-100 pada sisi
sebelah kiri untuk anak-anak yang lebih besar dengan skala
fotografik enam gambar pada sisi kanan untuk anak-anak yang
lebih kecil.

Gambar 2 Skala penilaian nyeri Bayer


Sumber: (Iqbal Mubarak, 2015)

c. Wong-Baker Faces Rating Scale


Skala wajah yang ditujukan kepada klien yang tidak mampu
menyatakan intensitas nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk
anak-anak yang bermasalah dengan komunikasi verbal dan lansia
yang mengalami gangguan kognisi dan komunikasi.

Gambar 3 Skala Wong-Baker Faces Rating Scale


Sumber: (Iqbal Mubarak, 2015)

32
d. S. C. Smeltzer dan B. G. Bare
S. C. Smeltzer dan B. G. Bare pada tahun 2002 Mengidentifikasi
pengukuran intensitas nyeri dalam 3 jenis yaitu
1) Skala nyeri deskriptif
Alat pengukuran tingkat nyeri yang lebih objektif. Skala
pendeskripsi verbal adalah sebuah garis yang terdiri atas
lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang
sama di sepanjang garis, dimana pendeskripsi ini di-ranking
dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak
tertahankan”. Klien akan memilih intensitas nyeri yang
dirasakan dan perawat mengkaji lebih dalam nyeri yang
pasien rasakan.

Gambar 4 Skala intensitas nyeri deskkriptif


Sumber: (Iqbal Mubarak, 2015)

2) Skala penilaian nyeri numerik


Skala ini digunakan sebagai pengganti alat deskripsi kata.
Klien diminta untuk menilai nyeri menggunakan skala 0-10.
Digunakan efektif untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum
dan setelah dilakukan intervensi, dikarenakan selisih antara
penurunan dan peningkatan nyeri lebih mudah diketahui.

Gambar 5 Skala Penilaian nyeri numeric


Sumber: (Iqbal Mubarak, 2015)

33
3) Skala analog visual
Suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan pendeskripsian verbal pada setiap ujungnya.
Skala ini meminta klien secara bebas mengidentifikasi
tingkat keparahan nyeri yang dialami.

Gambar 6 Skala analog visual (Visual Analog Scale- VAS)


Sumber: (Iqbal Mubarak, 2015)

7. Dampak nyeri
Nyeri yang dirasakan pasien akan berdampak pada fisik, perilaku,
dan aktifitas sehari-hari (Andarmoyo, 2013) :
a. Dampak fisik
Nyeri yang tidak ditangani dengan adekuat akan
mempengaruhi system pulmonary, kardiovaskuler, edokrin, dan
imunologik. Nyeri yang tidak diatasi juga memicu stress yang
akan berdampak secara fisiologis yaitu timbulnya infark miokard,
infeksi paru, tromboembolisme, dan ileus paralitik. Dampak ini
tentunya akan memperlambat kesembuhan pasien
b. Dampak perilaku
Seseorang yang sedang mengalami nyeri cenderung
menunjukkan respon perilaku yang abnormal. Respon vokal
individu yang mengalami nyeri biasanya mengaduh, mendengkur,
sesak napas hingga menangis. Ekspresi wajah meringis,
menggigit jari, membuka mata dan mulut dengan lebar, menutup
mata dan mulut, dan gigi yang bergemeletuk. Gerakan tubuh

34
menunjukkan perasaan gelisah, imobilisasi, ketegangan otot,
peningkatan gerakan jari dan tangan, gerakan menggosok dan
gerakan melindungi tubuh yang nyeri. Dalam melakukan interaksi
sosial individu dengan nyeri menunjukkan karakteristik
menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, perhatian
menurun, dan fokus hanya pada aktifitas untuk menghilangkan
nyeri
c. Pengaruh terhadap aktifitas sehari-hari
Aktivitas sehari-hari akan terganggu apabila nyeri yang
dirasakan sangat hebat. Nyeri dapat mengganggu mobilitas pasien
pada tingkat tertentu. Nyeri yang dirasakan mengganggu akan
mempengaruhi pergerakan pasien.

8. Nyeri Pada Rheumatoid Arthritis


Kerusakan sendi yang dialami oleh penderita rheumatoid arthritis
dimulai dari adanya faktor pencetus, yaitu berupa autoimun atau infeksi,
dilanjutkan dengan adanya poliferasi makrofag dan fibroblas sinovial.
Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliverasi sel-sel
endotel, yang mengakibatkan terjadinya neovaskularisasi. Pembuluh
darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan
kecil atau sel-sel inflamasi. Kelanjutan inflamasi didukung oleh sitokin
yang penting dalam inisiasi yaitu tumor necrosis factor (TNF),
interleukin1 dan interleukin-6, selanjutnya akan mengakibatkan
terjadinya pertumbuhan iregular pada jaringan sinovial yang mengalami
inflamasi. Substansi vasoaktif (histamin, kinin, prostaglandin) dilepaskan
pada daerah inflamasi, meningkatkan aliran darah dan permeabilitas
pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema, rasa hangat, kemerahan
(erythema), serta nyeri atau rasa sakit (Suarjana, 2016).

35
D. Konsep Terapi masasse kaki
1. Definisi Terapi Pijat (Massase kaki)
Terapi komplementer adalah cara penanggulangan penyakit yang
dilakukan sebagai pendukung kepada pengobatan medis konvensional
atau sebagai pengobatan pilihan lain diluar pengobatan medis yang
konvesional. Salah satu yang termasuk terapi komplementer yaitu terapi
pijat. (Purwanto, 2013) Terapi pijat adalah teknik penyembuhan yang
diterapkan dalam bentuk sentuhan langsung dengan tubuh penderita
untuk menghasilkan relaksasi. (Purwanto, 2013). Terapi pijat merupakan
salah satu terapi komplementer dengan melakukan penekanan pada titik
tubuh menggunakan tangan atau benda lain seperti kayu. (Musiana, dkk,
2015). Jadi dapat disimpulkan bahwa terapi pijat adalah suatu metode
terapi komplementer dalam bentuk sentuhan langsung dengan melakukan
penekanan menggunakan tangan.

2. Manfaat Terapi Pijat (Massase kaki)


Menurut Pamungkas (2015) selain dapat memperlancar sirkulasi
darah di dalam tubuh, pijat juga bermanfaat untuk :
1) Menjaga kesehatan agar tetap prima.
2) Membantu mengurangi rasa sakit dan kelelahan.
3) Merangsang produksi hormone endorphin yang berfungsi
untuk relaksasi.
4) Mengurangi beban yang ditimbulkan akibat stress.
5) Menyingkirkan toksin.
6) Mengembalikan keseimbangan kimiawi tubuh dan
meningkatkan imunitas.
7) Memperbaiki keseimbangan potensi elektrikal dari berbagai
bagian tubuh dengan memperbaiki kondisi zona yang
berhubungan.
8) Menyehatkan dan memyeimbangkan kerja organ tubuh.

36
9) Melancarkan sirkulasi darah dibagian perifer.

Selain itu manfaat terapi pijat diantaranya untuk meningkatkan


kelenturan otot, membawa pengaruh terhadap jaringan otot yang lebih
dalam. Selama melakukan pijat, tubuh akan mengeluarkan zat kimia,
meningkatkan serotonin dan dopamine, serta pada saat yang bersamaan
mengurangi gejala depresi. Selain itu, pijat juga dapat menstabilkan
kadar gula dalam darah, memperbaiki fungsi pernafasan, memperbaiki
system imun dalam tubuh serta meningkatkan sirkulasi/peredaran darah
pada area yang dipijat (Putri & Amalia, 2019).

3. Prosedur Terapi Massase kaki


1) Alat dan Bahan
a) Minyak kelapa murni
b) Tissue basah dan kering

2) Pre interaksi
a) Persiapkan alat yang diperlukan
b) Cuci tangan

3) Tahap orientasi
a) Beri salam, panggil responden dengan namanya, dan
perkenalkan diri (untuk pertemuan pertama)
b) Menanyakan keluhan atau kondisi
c) Jelaskan tujuan, prosedur, dan lainnya tindakan hal yang
perlu dilakukan oleh pasien selama terapi pijat dilakukan
4) Tahap kerja
a) Minta pasien untuk berbaring atau duduk dan anjurkan pasien
untuk rileks
b) Bersihkan kaki pasien dengan tissue basah
c) Keringkan kaki pasien dengan tissue kering

37
d) Gunakan minyak kelapa murni ketika akan melakukan teknik
pijatan

Langkah-langkah gerakan pemijatan kaki (Pamungkas, 2010) :


(1) Stroking
Merangsang sirkulasi dan menghangatkan kaki. Pegang
kaki pasien dengan kedua tangan, pada kaki bagian atas
lakukan gerakan stroking yang panjang, perlahan dan tegas
dengan kedua ibu jari. Gerakan dimulai dari ujung jari kaki
dan tekan menjauh dari terapis menuju ke pergelangan kaki,
dan kembali ke ujung jari kaki dengan gerakan stroking yang
lebih ringan. Lakukan gerakan ini 3-5 kali. Lanjutkan dengan
gerakan stroke pada kaki bagian bawah dengan kedua ibu
jari, dimulai pada pangkal jari kaki dan bergerak melalui
lengkungan kaki menuju tumit dan kembali lagi. Gunakan
gerakan stroking yang panjang dan tegas, tekan dengan
lembut telapak kaki dengan kedua ibu jari. Lakukan gerakan
ini 3-5 kali.
(2) Ankle Rotations
Longgarkan sendi dan relaksasikan kaki. Genggam kaki
dibawah tumit dengan satu tangan, dibelakang pergelangan
kaki untuk menahan kaki. Genggam punggung dan telapak
kaki dengan tangan yang lain kemudian putar telapak kaki.
Gerakan dilakukan masing-masing 3 kali pada masingmasing
arah.
(3) Toe Pulls and Squeezes
Jari-jari kaki sangat sensitif ketika disentuh. Genggam
telapak kaki dengan satu tangan. Pegang masing-masing jari
kaki kemudian tarik dengan kuat dan perlahan, gerakan
dilakukan secara bergantian pada masingmasing kaki.
Kemudian pegang masing-masing jari kaki, sambil menekan

38
geser jari ke ujung jari klien dan kembali lagi ke pangkal.
Kemudian ulangi, tetapi penekanan lebih lembut dan putar
ibu jari dan jari telunjuk tangan sambil digeser ke ujung jari
kaki pasien. Ulangi gerakan ini pada kaki lainnya.

(4) Toe Slides


Pegang kaki pada bagian belakang pergelangan kaki.
Dengan jari telunjuk pada tangan lainnya, sisipkan jari
diantara jari-jari kaki pasien, lakukan gerakan maju mundur
sebanyak 3-5 kali

(5) Arch Press


Pegang kaki pasien seperti pada langkah ke empat.
Berikan tekanan pada lengkungan telapak kaki dengan
menggunakan pangkal telapak tangan, dimulai dari telapak
kaki bagian tengah sampai ke tumit kaki pasien dan kembali
lagi. Lakukan gerakan ini sampai 5 kali.

E. Kerangka Konsep

PENURUNAN NYERI SENDI


MASSASE KAKI
RHEUMATOID ATHRITIS

Gambar 2.13 Kerangka Konsep


Keterangan:
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
: Pengaruh

39
BAB III
METODE PENELITIAN
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan menggunakan
metode Systemic Review yang bertujuan untuk membantu peneliti lebih
memahami latar belakang dari penlitian yang menjadi subjek topic yang dicari
serta memahami bagaimana hasil dari penelitian tersebut sehingga dapat
mmenjadi acuan bagi peneitian baru.

b. Tahapan Systemic Review


Dalam penelitian yang menggunakan metode Systemic Review ada beberapa
tahapan yang harus dilakukan sehingga hasil dari studi literature tersebut dapat
diakui kdedibilitasnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut sebagai berikut:
1. Identifikasi Pertanyaan Penelitian Judul penelitian ini adalah “Studi
literatur: pengharu terapi masasse kaki terhadap penurunan nyeri sendi
pada lansia dengan rheumatoid athritis”
Berasarkan judul penelitian di atas PICO dapat ditentukan sebagai berikut:
A. (P) Populasi : Artikel/jurnal peneitian nasional
B. (I) Intervensi : Massase kaki
C. (C) Compotator : Tidak ada pembanding atau intervensi lainnya
D. (O) Outcome : Penurunan nyeri sendi pada lansia dengan
rehumatoid athritis
E. Pertanyaan penelitian berdasarkan PICO adalah “Apakah ada
pengaruh massase kaki terhadap penurunan nyeri sendi pada lansia
dengan rehumatoid athritis?”.
2. Menyusun Protokol
Merupakan detail perencanaan yang dipersiapkan secara matang, yang
mencakup beberapa hal seperti lingkup dari studi, prosedur, kriteria untuk
menilai kualitas (kriteria inklusi dan ekslusi), skala penelitian yang akan

40
diakukan. Untuk menyusun protocol revew kita menggunakn metode
PRISMA (Preferred Reporting Items For Sistematic Review and Meta
Analyses)
B. Pencarian Data
Pencarian data mengacu pada sumber data base yang sifatnya resmi
dan disesuaikan dengan judul penelitian. Pencarian data dalam
penelitian ini menggunakan sumber Google Scholar.
C. Skrining Data
Skrining adalah penyaringan atau pemilihan data (artikel penelitian)
yang bertujuan untuk memilih maslah penelitian yang sesuai dengan
topic atau judu, abstrak dan kata kunci yang diteliti.
D. Penilaian Kualitas (Kelayakan) Data
Penilaian kualitas atau kelayakan didasarkan pada data (artikel
penelitian) dengan teks lengkap (full text) dengan memenuhi kriteria
yang ditentukan (kriteriainklusi dan eksklusi).
E. Hasil Pencarian Data
Berikut ini merupakan “PRISMA Flow Diagram” dari studi literatur
“pengharu terapi masasse kaki terhadap penurunan nyeri sendi pada
lansia dengan rheumatoid athritis”

41
Pencarian pada situs Google Scholar

Hasil jurnal secara keseluruhan


(n= 593)

Screening:
Screening 1. Artikel penelitian diterbitkan dalam rentang waktu 10 tahun terakhir
(n=593 ) dari tahun 2011 sampai tahun 2021
2. Artikel menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris
3. Tipe artikel penelitian (review articles, research articles)

Jurnal yang diakses full text


(n= 220)

Kriteria inklusi:
Artikel penelitian nasional yang diurutkan menurut relevansi dan berkaitan
dengan permasalahan penelitian yang diteliti yakni pengharu terapi
masasse kaki terhadap penurunan nyeri sendi pada lansia dengan
rheumatoid athritis

Jurnal akhir
yang sesuai
dengan kriteria
inklusi (n=10 )

Gambar 3.1. PRISMA flow diagram

42
c. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling
1) Populasi
Menurut Ibnu et all (dalam Alfianika, 2018), menyatakan bahwa populasi
adalah semua subjek atau objek sasaran penelitian. Wujud subjek itu
bermacam-macam bisa berupa manusia, tumbuh-tumbuhan, barang
produki, ungkapan verbal, dokumen, dan barang cetak.
Populasi dalam penelitian ini adalah artikel atau jurnal penelitian nasional
yang berkaitan dengan judul penelitian: “pengharu terapi masasse kaki
terhadap penurunan nyeri sendi pada lansia dengan rheumatoid athritis”
2) Sampel
Rofi udidin (dalam Alfianika, 2018), menjelaskan bahwa sampel adalah
sejumlah contoh populasi yang memiliki karakteristik yang sama dengan
populasi dan secara langsung dijadikan sasaran penelitian..
Sampel dalam penelitian ini berjumblah 10 artikel atau jurnal penelitian
nasional yang berkaitan dengan judul penelitian: “pengharu terapi
masasse kaki terhadap penurunan nyeri sendi pada lansia dengan
rheumatoid athritis”.
3) Teknik Sampling
Teknik sampling merupakan cara yang digunakan dalam pengambilan
sampel agar memperoleh sampel yang sesuai dari keseluruhan subjek
penelitian. Teknik sampling menggunakan teknik Purposive sampling,
yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di
antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel
dapat mewakili karakteristik populasi yang telah diketahui sebelumnya.
Berdasarkan karakteristik populasi yang telah diketahui, maka kriteria
inklusi dan eksklusi adalah sebagai berikut:
A. Kriteria Inklusi:
2.1 Artikel penelitian nasional yang diurutkan menurut relevasi dan
berkaitan dengan permasalahan penelitian yang diteliti yakni
pengharu terapi masasse kaki terhadap penurunan nyeri sendi pada
lansia dengan rheumatoid athritis .

43
3.1 Artikel penelitian diterbitkan dalam rentang waktu 10 tahun
terakhir dari tahun 2011 sampai tahun 2021
4.1 Artikel menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris
5.1 Tipe artikel (review articles, research articles)
6.1 Artikel penelitian yang dapat diakses secara penuh (full text)

d. Variabel Penelitian
Menurut Sugiyono (dalam Alfianika, 2018 ), Variabel adalah segala sesuatu
yang berbentuk apa saja yang di tetapkan oeh peneliti untuk dipelajari
sehingga diperoeh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik
kesimpulannya.
Jenis variabel terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Variabel Bebas (independent variable)
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel terikat.
b. Variabel Terikat (Dependent variable)
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi sebab
akibat, karena adanya variabel bebas.

e. Analisa Data
Penelitian systemic review adalah penelitian yang mengkaji hasil
penelitian pihak lain. Para peneliti tidak berinteraksi langsung dengan subjek
penelitian, namun mereka menkaji data sekunder, yaitu data yang dihasikan
dari penelitian sebelumnya (Irfannudin, 2019).
Penelitian ini menggunakan artikel-artikel nasional berbahasa Indonesia
dan Inggris dan diambil dari data base yang bersifat resmi yakni Google
Scholar dan bertujuan untuk mengidentifikasi apakah ada pengaruh senam
otak dengan fungsi kognitif lansia demensia.

44
DAFTAR PUSTAKA

Alena Susarti, Mohamad Romadhon, (2019). Faktor-faktor yang berhubungan


dengan kejadian rheumatoid athritis pada lansia. Aisyah Medika jurnal (4)
agustus 2019 :284-292
Fenny Marlena, Rita Junarti (2019). Pengharu pijat (massase) terhapat perubahan
intensitas nyeri rheumatoid athritis pada lansia di desa kertapati puskemas
dusun Curup Bengkulu Utara. Jurnal keperawatan (7) oktober 2019:71-74
Daryanti, Budi Widiyanto (2020). Literatur riview yang berhubungan dengan
rheumatoid athritis pada lansia. Jurnal Nursing Arts (XIV):7-11.
Winesha Meilandari, Gmaya T. Utami (2019). Activity of dayli living pada lansia
dengan rheumatoid athritis. Nurses jurnal (1): 350-353
Sakti O. Batubara, Herliana Monica (2018). Hubungan antara nyeri Rheumatoid
athritis dengan tingkat kemandirian dalam aktifitas kehidupan sehari-hari pada
lansia diwilayah kerja Puskesmas Oesao Kabupaten Kupang. CHMK jurnal
(2) 40-47
Rizki Maulani, Titi Suprati, (2019). Stimulasi kutaneus (massase kaki)
menurunkan skala nyeri pasien lansia dengan rheumatoid athritis. Wacana
kesehatan (2) 462-467.
WHO, (2018). Musculoskeletal conditions.
https://www.thelancet.com/pdfs/journals/lancet/PIIS0149-
6736%2817%2932154-2.pdf. Diakses pada 24 maret 2018.
Kemenkes RI,. (2017). Pusat data dan informasi, www. Depkes.go.id
Ahdaniar A, Hasanuddin, Indar I (2014). Faktor yang berhubungan dengan
kejadian penyakit Rheumatoid athritis pada lansia diwilayah kerja kassi-kassi
kota Makassar. Jurnal ilmiah kesehatan. 2014(4):150-6

45
LAMPIRAN

46
47
48
49

Anda mungkin juga menyukai