Anda di halaman 1dari 41

ACUTE MEDULLA COMPRESSION

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA


PERIODE 2016/2017

Oleh
FRISKA JOLANDA KALAY
0120840315

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2017
ACUTE MEDULLA COMPRESSION

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA

PERIODE 2016/2017

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh
FRISKA JOLANDA KALAY
0120840315

Dosen Pembimbing :

1. dr. Only One Taylor, Sp.OT


2. Lusye Howai, S.Psi

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2017

LEMBAR PENGESAHAN

i
Telah disetujui dan diterima oleh Panitia Ujian Karya Tulis Ilmiah

Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura

Untuk memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Pada

Hari :

Tanggal :

MENGESAHKAN

Panitia Ujian Karya Tulis Ilmiah Sarjana

Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura

Ketua Sekretaris

dr. Ferdinant M. Djawa, Sp.PA. Venthy Angelika, S.Psi., M.A.


NIP. 19661030 200501 1 001 NIP. 19870926 201504 2 003

Tim Penguji

1. ……………………………… 1. .....................................

NIP. …………………………

2. ……………………………… 2. .....................................

NIP. …………………………

3. ……………………………… 3. .....................................
NIP. …………………………
4. ……………………………… 4. .....................................
NIP. …………………………

HALAMAN PERSEMBAHAN

ii
“Kesuksesan hanya dapat diraih dengan segala upaya dan usaha yang disertai

dengan DOA, karena sesungguhnya nasib seorang manusia tidak akan berubah

dengan sendirinya tanpa berusaha“

Tetapi seperti ada tertulis “sebab aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa
yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan
damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu
hari depan yang penuh harapan”
(Yeremia 29 :11 )

Karya Tulis Ilmiah ini saya persembahkan untuk Mama yang sangat

saya cintai, Kakak dan Adik, My boyfriend, dan sahabat-sahabat yang

selalu setia memberi dukungan kepada saya dan menjadi motivasi

saya untuk menyelesaikan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan

berkat, rahmat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan KTI (karya

tulis ilmiah) dengan judul “ACUTE MEDULLA COMPRESSION” yang

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)

di Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih.

Dalam menyelesaikan karya tulis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan

berupa bimbingan, pengarahan, maupun dukungan moral dari berbagai pihak

sehingga pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dr. Onesimus Sahuleka, SH, M.Hum sebagai Rektor Universitas

Cenderawasih
2. dr. Trajanus L. Jembise, Sp.B sebagai Dekan Fakultas Kedokteran
3. dr. Only One Taylor, Sp.OT sebagai dosen pembimbing I yang telah

membimbing, mengarahkan, dan membekali penulis dengan penuh

kesabaran dan dengan pengetahuan dasar dalam menunjang penulisan karya

tulis ilmiah.
4. Ibu Lusye Howay, S.Psi sebagai dosen pembimbing II yang telah

membimbing, mengarahkan, dan membekali dengan penuh kesabaran dan

dengan pengetahuan dasar dalam menunjang penulisan karya tulis ilmiah.


5. Kepada seluruh dosen dan staf yang ada di Fakultas Kedokteran, terima

kasih atas dukungan, waktu serta kesempatan yang berikan.

6. Untuk yang tersayang Mama Asnath Tahitu yang selalu setia menjadi

penyemangat, kakak Frelin Nessy Kalay, kakak Stevany kalay, Adek Tiara Ribka

Kalay, My boyfriend Billyan Moniharapon, serta rekan-rekan yang selalu setia

membantu sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan. Para Staf Dosen

iv
Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih yang telah membekali penulis

dengan berbagai ilmu selama mengikuti perkuliahan.


7. My girls Handayani Nurfitriana , Irma Makaba, Chici Cahyanti, Oryza

Ayuni Ikaningtyas, yang selalu setia dengar setiap curahan hati baik senang

maupun sedih dalam menyelesaikan setiap tugas serta KTI kami masing-

masing serta semua keluarga besar FK-11 angkatan 2012 yang tidak

mungkin penulis sebutkan satu persatu, atas segala dukungan, bantuan dan

sarannya sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.
8. Kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang telah

membantu terselesaikannya karya tulis ilmiah ini, terima kasih atas

dukungan dan doanya selama ini.


Penulis menyadari bahwa penulisan karya tulis ilmiah ini masih banyak

kekurangan, oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan guna

penyempurnaan tulisan ini.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga karya tulis

ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

Jayapura, 10 Januari 2017

Penulis

v
DAFTAR ISI

HAL JUDUL…..............……….……………………………………..........................i

HAL PENGESAHAN ……………………………………………………………….. ii

HAL PERSEMBAHAN.........……………………………………….……………….. iii

KATA PENGANTAR............…………………………………….…………………..iv

DAFTAR ISI….………………………………………………………………………vii

DAFTAR GAMBAR......…………………………………………………………........... ix

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................…………………………………………………. 1

1.2 Rumusan Masalah..................…………………………………………………. 3

1.3 Tujuan Penulisan............…….......…….………………………………………. 3

1.4 Manfaat Penulisan...............................……………………………………….... 4

BAB II ISI

2.1 Definisi......…………………….......…………………………………………... 5

2.2 Epidemiologi..........……………….......……………………………………….. 5

2.3 Etiologi...................………….....………………....…………………………… 6

2.4 Penegakkan Diagnosis.................................………………………………….... 15

2.4.1 Anamnesa..............…............……………………………………………. 15

2.4.2 Pemeriksaan Fisik................................….……………………………….. 16

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang.....................................…………………………. 18

2.5 Diagnosis Banding...…………………………………………………………... 18

2.6 Terapi ………………………………………………………………………….. 19

2.6.1 Farmakoterapi...........…………………………………………………….. 19

vi
2.6.2 Non Farmakoterapi….…………………………………………………… 19

2.7 Komplikasi…………………………………………………………………….. 23

2.8 Rehabilitasi…………………………………………………………………….. 23

2.9 Prognosis.....………………………………………………………………….... 24

2.10 Edukasi..........………………………………………………………………… 25

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………….. 26

3.2 Saran...………………………………………………………………………….. 27

DAFTAR PUSTAKA....………………………………………………………………. 28

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Gambar sumsum tulang belakang……………………………………… 2

Gambar 2 Gambar pemeriksaan fisik………………................................................ 8

Gambar 3 Gambar pemeriksaan foto X-Ray…....…………………………………… 9

Gambar 4 Gambar pemeriksaan foto X-Ray 2…....……………………………….. 10

Gambar 5 Gambar pemeriksaan CT-Scan…....……………………………………… 11

Gambar 6 Gambar pemeriksaan MRI …....………………………………………… 14

Gambar 7 Gambar pressure ulcers ………………………………………………… 18

viii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kompresi Medula Spinalis akut adalah merupakan masalah kegawatdaruratan

neurologi yang merugikan kondisi semua golongan di seluruh dunia. (Casey,

Kenneth F. 2016) Penekanan pada sumsum tulang belakang ini berpotensi memicu

terjadinya kerusakan gangguan sistem saraf oleh karena itu waktu serta ketepatan

diagnosis yang akurat sangat berperan penting. (Dugas et al. 2011) Cedera dari

medula spinalis yang berkepanjangan akan menginduksi terjadinya penekanan

pada sumsum tulang belakang yang akan mengakibatkan penurunan perfusi

jaringan lokal, ketidakcukupan suplai darah ke jaringan atau organ tubuh, tingkat

keparahan meningkat sehingga kondisi pasien akan menjadi semakin buruk, dan

nekrosis jaringan yang tidak dapat membaik. (Alshareef et al. 2014)

Kompresi Medula Spinalis akut dapat disebabkan oleh trauma seperti jatuh,

kecelakaan mobil atau motor, luka akibat olahraga, luka penikaman maupun

nontrauma seperti osteoporosis, tumor yang menyebabkan kompresi medulla

spinalis, discus intervertebralis herniasi, dan spondislitis TB. Namun penyebab

utama terjadi akibat trauma. Identifikasi yang dilakukan pada 5 kasus pasien

dengan Kompresi Medula Akut terjadi pada usia <65 tahun dengan urutan

kejadian utama terjadi pada kaum pria. Setiap tahunnya di Amerika Serikat

terdapat 20.000 orang dengan kanker yang menyebar ke vertebra sehingga

menekan medula spinalis. Kelompok ini menunjukan 5% sampai 10% dari

populasi kanker pada umumnya.Presentasi kekambuhan setelah traumatik cedera

medula spinalis sekitar 2-5% , baik yang berkenaan dengan instabilitas tulang

1
2

belakang atau mungkin dikarenkan pasien terus melakukan aktifitas yang berisiko

tinggi. Edukasi yang dapat diberikan bagi pasien, keluarga, serta tim perawat yaitu

berkaitan dengan instruksi rehabilitasi harian, informasi mengenai

penatalaksanaan dan perawatan agar pasien dapat memanfaatkan terapi yang ada,

serta adanya komunikasi yang baik antara tim perawat dan pasien, sehingga

pasien dapat mengetahui tanda dan gejala dengan harapan agar tidak

mengakibatkan adanya kekambuhan. (Casey, Kenneth F. 2016)

Dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia Penyakit kompresi Medula

Spinalis Akut merupakan kompetensi standar 3B yang termasuk dalam kasus

kegawatdaruratan dimana diharapkan agar setiap lulusan dokter mampu membuat

diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan agar dapat menyelamatkan

nyawa atau mencegah keparahan atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter

mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien dan

menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. (Konsil Kedokteran Indonesia

2012)
Oleh karena Penyakit Kompresi Medula Akut merupakan penyakit

kegawatdaruratan, dirasa sangat penting untuk melakukan kajian literatur dari

jurnal terbaru maupun text book untuk memberi pengetahuan bagi mahasiswa

Kedokteran agar mengetahui penanganan yang cepat dan tepat sehingga mampu

menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan kecacatan.


1.1 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Kompresi Medula Akut?
2. Bagaimana epidemiologi dari Kompresi Medula Akut?

3. Jelaskan etiologi dari Kompresi Medula Akut?


4. Bagaimana cara penegakkan diagnosis pada Kompresi Medula Akut?
3

5. Bagaimana cara penegakkan diagnosis banding pada Kompresi Medula

Akut?
6. Jelaskan terapi yang dapat dilakukan pada Kompresi Medula Akut?
7. Apa komplikasi dari Kompresi Medula Akut?
8. Jelaskan rehabilitasi yang dapat dilakukan pada Kompresi Medula Akut?
9. Jelaskan prognosis dari Kompresi Medula Akut?
10. Jelaskan edukasi yang dapat dilakukan pada kasus Kompresi Medula

Akut?
1.2 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui definisi dari Kompresi Medula Akut
2. Mengetahui epidemiologi dari Kompresi Medula Akut
3. Mengetahui etiologi dari Kompresi Medula Akut
4. Mengetahui cara penegakan diagnosis dari Kompresi Medula Akut
5. Mengetahui cara penegakan diagnosis banding pada Kompresi Medula

Akut
6. Mengetahui terapi yang dapat dilakukan pada Kompresi Medula Akut
7. Mengetahui komplikasi dari Kompresi Medula Akut
8. Mengetahui rehabilitasi dari Kompresi Medula Akut
9. Mengetahui prognosis dari Kompresi Medula Akut
10. Mengetahui edukasi yang dapat dilakukan pada Kompresi Medula Akut

1.3 Manfaat Penulisan


1. Bagi Penulis
Untuk menambah pengetahuan dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah.
2. Bagi Institusi
Sebagai bahan pembelajaran bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Cenderawasih yang sedang menjalani studi.


3. Bagi Masyarakat.
Untuk membentuk pola pikir yang lebih berkembang atau pengetahuan

yang lebih baik bagi masyarakat.


BAB II

ISI

2.1 Definisi
Kompresi medula spinalis akut merupakan proses penekanan arteri, vena, dan

ruangan cairan serebrospinalis atau penekanan pada saraf tulang belakang itu

sendiri. Hal ini dapat terjadi akibat dari faktor ekstrinsik dan jejas atau faktor

intrinsik dari substansi saraf. Contoh seperti pada trauma atau tumor

mempengaruhi substansi serabut saraf dan jejas dari kompesi berasal dari sekitar

element atau sumber vaskularisasi. (Casey, F. Kanneth. 2016)

Secara anatomi, medula spinalis adalah jaringan saraf yang berjalan dari batang

otak yang berbentuk silinder memanjang. Struktur ini memiliki panjang 45 cm (18

inci) dan garis tengah 2 cm. Medula spinalis berjalan melalui kanalis vertebralis

dan dihubungkan dengan nervus spinalis. Dari medula spinalis keluar pasangan-

pasangan nervus spinalis melalui ruang-ruang yang terbentuk antara lengkung

tulang berbentuk sayap vertebra-vertebra yang berdekatan. Nervus spinalis diberi

nama sesuai bagian dari kolumna vertebralis tempat keluarnya. Terdapat 8 pasang

nervus servikalis (leher) yaitu C1-C8, 12 pasang nervus thorakalis (dada), 5

pasang nervus lumbalis (perut), 5 pasang nervus sakralis (panggul), dan 1 pasang

nervus koksigeus (tulang ekor). (Sherwood, lauralee. 2011)

5
6

Gambar 1. Gambaran sumsum tulang belakang, medulla spinalis. dan fungsi


motorik, sensorik, dan otonom dari akar saraf tulang belakang.
(Rogers et al, 2015)

Vertebra dikelompokan menjadi beberapa bagian. Semakin tinggi tingkat

trauma pada saraf tulang belakang, maka semakin banyak disfungsi yang akan

terjadi. Ketika terjadi cedera pada level Nervus Cervikalis (C1-C4) ini

menyebabkan tetraplegia, pasien akan mengalami cedera tulang belakang yang

sangat parah, pasien mungkin tidak mampu bernapas dan batuk dengan

kemampuan sendiri juga kehilangan kemampuan mengontrol defekasi, berkemih,

dan terkadang kemampuan untuk berbicara juga terganggu atau menurun. Pasien
7

membutuhkan bantuan dalam aktivitas sehari-hari seperti makan, berpakaian, dan

mandi, kemungkinan diperlukan kursi roda untuk membantu mengontrol

pergerakan.
Pasien dengan cedera pada level Nervus Cervikalis (C5-C8) mampu bernapas

dan bicara normal seperti sebelumnya. Pasien dengan cedera Nervus Cervikalis 5

mampu menggerakkan tangan meraih siku, kemungkinan terdapat sebagian atau

total paralisis pada pergelangan tangan, badan, dan kaki, mampu berbicara

menggunakan diafragma tetapi kemungkinan bernapas melemah. Nervus

Cervikalis 6 merupakan saraf yang berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi

jika terjadi cedera pada level ini menyebabkan gangguan pada kemampuan

ekstensi siku. Secara khas terdapat paralisis pada tangan, badan, dan kaki, mampu

berbicara menggunakan diafragma tetapi bernapas melemah. Pasien dengan

cedera Nervus Cervikalis 7 sebagian besar pasien mampu menggerakan bahu,

dengan gangguan ekstensi siku dan ekstensi jari – jari tangan. Tidak terdapat

gangguan kontrol arau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau

defekasi. Pasien dengan cedera Nervus Cervikalis 8 mampu menggenggam objek

dan melepas objek yang digenggam, tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat

sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi.Vertebra Thorakal terletak

pada petengahan-punggung. Nervus Thorakal (T1-T5) mempengaruhi otot dada

bagian atas, otot abdominal, dan otot punggung atas. Pasien dengan Cedera pada

Nervus ini jarang menyebabkan gangguan ekstremitas atas. Nervus Thorakal (T6-

T12) yang mempengaruhi otot-otot pada perut dan punggung tergantung dari level

cedera, biasanya mengakibatkan paraplegia dengan keluhan ekstremitas atas

dalam kondisi normal. Pasien mampu mengendalikan kemampuan dan

keseimbangan tubuh untuk duduk dan mampu batuk produktif selama otot
8

abdominal masih intak.tidak terdapat kontrol atau terdapat sedikit kontrol

terhadap fungsi berkemih atau defekasi. Cedera pada Nervus Lumbal (L1-L5)

menyebabkan gangguan fungsi panggul dan kaki. Tidak terdapat kontrol atau

terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi. Tergantung

kekuatan kaki pasien mungkin membutuhkan alat bantu untuk berjalan. Cedera

pada Nervus Sakral (S1-S5) umumnya menyebabkan hilangnya beberapa fungsi

dari panggul dan kaki, tidak terdapat kontrol atau sedikit kontrol terhadap fungsi

berkemih atau defekasi. Sebagian besar pasien dapat berjalan dengan baik.

(Shepherd, C. et all. 2011)

2.2 Epidemiologi

Kompresi medula spinalis akut merupakan kasus yang sangat merugikan

kondisi semua golongan usia di seluruh dunia. (Casey, Kanneth F. 2016) Insidens

cedera tulang belakang di Amerika serikat sekitar 12.000 orang per tahun dengan

berbagai bentuk penyebab akibat trauma maupun nontraumatik. Kompresi medula

spinalis terlihat pada sebagian besar pasien dengan cedera tulang belakang

anterior, posterior, anteroposterior. Pada kompresi anterior akan ditemukan

herniasi, dislokasi fraktur, atau masa pada anterior dan posterior epidural seperti

adanya tumor, abses, dan hematoma. Kompresi anteroposterior akan ditemukan

dislokasi vertebra (Tempat yang tinggi dari trauma pada anterior/posterior dari

ligament longitudinal). (Alshareef et all . 2014)

Prevalensi di dunia dari cedera tulang belakang dilaporkan bervariasi dari 236

sampai 1,298 juta per penduduk. Di amerika serikat diperkirakan 40

kejadian/1.000.000 kasus. Di seluruh dunia insiden dari SCI bervariasi dari 8

sampai 246 kasus per juta per penduduk. (Casey, Kanneth. F. 2016)
9

Secara keseluruhan terdapat 5 kasus dari akut Spinal Cord Injury pada usia <65

tahun, dengan urutan kejadian paling utama :

1. Pada pria : Kecelakaan mobil, jatuh, luka tembak, kecelakaan saat

menyelam, kecelakaan motor.


2. Pada wanita : Kecelakaan mobil, jatuh, luka tembak, komplikasi

obat/operasi, kecelakaan saat menyelam.

2.3 Etiologi

Penyebab Kompresi Medula Spinalis Akut, oleh karena :

1) Trauma : pada dewasa muda dan lanjut usia yang melakukan aktivitas fisik

dengan risiko tinggi berpotensi mengalami fraktur pada vertebra, seperti:


a. Jatuh
b. Kecelakaan mobil atau motor
c. Luka akibat olahraga
d. Luka penikaman (Casey, Kanneth F. 2016)
2) Nontrauma :
a. Osteoporosis, yaitu penyakit yang ditandai oleh penurunan pembentukan

osteoblatik matriks dan peningkatan resorpsi osteoklastik tulang. (Salter,

Robert B. 1999)
b. Tumor yang menyebabkan kompressi medula spinalis, yaitu:
Tumor di vertebra torakalis yang soliter biasanya primer yaitu berupa

sarkoma, tetapi tumor ditulang belakang yang multiple hampir selamanya

sekunder atau myeloma multiple. Pada tumor metastasik (sekunder),


tulang belakang biasanya dapat lama mempertahankan bentuk yang normal.

Mieloma multiple sering bersarang di vertebral juga. Keluhan pada tahap dini

tidak banyak berbeda dengan keluhan reumatik atau spondilosis yang sering

dikatakan sebagai penyakit orang yang sudah tua. Sakit tulang belakangnya

mereda dengan penggunaan obat anti nyeri. Akan tetapi tidak lama berikutnya

obat-obat itu tidak mempan lagi, terasa terus-menerus bahkan kalau malam

bertambah sakit. (Sidharta Priguna, 2010)


10

c. Diskus intervertebralis herniasi, membuat ruptur pada pulposus nucleus

dalam ruang intervetebra melalui serabut dari fibrosis annulus. Kemungkinan

kasus herniasi 1 atau lebih dari fragmen nucleus pulposus menyebabkan

kompressi atau mengenai nervus sekitarnya. (Casey, F Kanneth. 2016)


d. Spondilitis TB merupakan suatu infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman

mycobacterium tuberculosa yang mengenai vertebra. (Satyanegara, 2010)

2.4 Penegakan Diagnosis


Diagnosis dapat ditegakkan dengan Anamnesa, Pemeriksaan Fisik, serta

Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan dengan baik dapat memberikan kualitas

hidups yang optimal. Ketika membuat diagnosis gejala yang tampak seperti

hilangnya sensorik, motorik, serta fungsi otonom harus diketahui.


2.4.1 Anamnesa
Pada anamnesa, pasien dengan kompresi medula akan datang dengan keluhan

gejala yang umum yaitu nyeri dan mati rasa (paraesthesis). Terdapat nyeri lokal,

mekanis, atau radikuler. Pasien akan menjelaskan gangguan atau sakit nyeri pada

segemen mekanik dan radikuler seperti rasa sakit yang menusuk.


Anamnesa dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu, autoanamnesa dan allo-

anamnesa. Autonamnesa merupakan kegiatan wawancara langsung kepada pasien

karena pasien dianggap mampu tanya jawab, sedangkan allo-anamnesa

merupakan wawancara secara tidak langsung atau dilakukan wawancara atau

tanya jawab pada keluarga pasien atau yang mengetahui tentang pasien. Penulisan

riwayat pasien memerlukan informasi dari identitas pasien, kejadian, waktu, data

pemeriksaan klinis awal, terapi yang didapat, dan keterangan pada pasien dapat

diambil dari saksi, kerabat, polisi, paramedis, atau staf medis. Pasien yang mampu

memberikan penjelasan dan dapat berkata-kata kemungkinan dengan kompresi

medula sub-akut atau kronis atau dengan nyeri punggung lokal, perlu ditanyakan

dan dicurigai faktor risiko seperti trauma baru atau kronis, pekerjaan, rekreasi
11

kegiatan, yang mendasari penyakit degeneratif tulang belakang, kelainan tulang

belakang bawaan, osteoporosis, penggunaan narkotika intravena, obat-obatan,

operasi terakhir, dan imunosupresi. (Casey, Kanneth F. 2016)


2.4.1 Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan kompresi medula spinalis akut pemeriksaan fisik diawali

dengan ABCD (Airway, Breathing, Circulation, dan Drugs). Dimana

penanganannya meliputi:

A. Airway

Pasien dengan cedera medula spinalis cervikal dapat sangat berisiko tinggi

membahayakan jalan nafas karena sejumlah faktor. Seluruh pasien sebaiknya

di imobilisasi dengan cervikal collar dan backboard/head strap sewaktu

melakukan stimulasi ataupun melakukan pemeriksaan. (Stein, Deborah M.et

all.2015) Bagi pasien yang telah dikonfirmasi mengalami cedera tulang

belakang, dekompresi saraf dan stabilisasi tulang belakang sangat

direkomendasikan dalam jangka waktu 24 jam. Peran dari penanganan operasi

yang cepat untuk penekanan didasarkan pada postulat bahwa operasi

dekompresif yang segera dilakukan secara signifikan meningkatkan

keberhasilan dan mengurangi derajat komplikasi pada pasien dengan cedera

medula spinalis. (Casey, Kanneth F. 2016) Pasien dengan cedera medula

spinalis cervical, kehilangan inervasi dari diafragma akibat cedera pada

cervikal setinggi C3,C4 dan C5, serta hilangnya kekuatan dinding dada dan

kekuatan dinding perut, menyebabkan ketidakmampuan pasien untuk

mencukupi oksigenasi dan ventilasi. Pasien dengan tinggi cervikal diatas C3

cedera medula spinalis komplit, hampir selalu menderita respiratory arrest


12

dalam beberapa menit pada awal cedera, dan jika tidak di intubasi pada pra-

rumah sakit, pasien dapat mengalami cardiac arrest.


Sebagai rekomendasi umum, semua pasien dengan cedera medulsa spinalis

servikal komplit diatas C5 harus sesegera mungkin diintubasi. Pasien dengan

cedera inkomplit atau cedera ringan memiliki tingkat tinggi variabilitas dalam

kemampuan untuk mempertahankan oksigenasi yang memadai dan ventilasi.

Umunya parameter yang mendesak intubasi meliputi :


1. Kesulitan bernafas
2. Dyspnea
3. Mengeluh sulit untuk menarik napas.
4. Tidak mampu untuk menahan nafas selama 12 detik.

Saat dalam keraguan, lebih baik kita mengintubasi pasien dengan cedera

cervikal daripada menunggu sampai penolong tiba dan melakukan

pertolongan. Biasanya pasien memburuk akibat cedera utama yang tidak lama

setelah itu adanya edema saraf tulang belakang dan secara cepat otot

kehilangan kekuatannya. Oleh karena itu, perlunya kewaspadaan dalam

menilai pasien dan melihat kemungkinan perburukan jalan nafas pada status

pasien. Pemeriksa harus memonitoring pasien saat akhir-pasang C02 untuk

memastikan ventilasi pasien bekerja baik. Diperlukan juga pemeriksaan

neurologis untuk mengetahui perubahan status yang terjadi pada pasien.

Pasien yang membutuhkan intubasi mendesak, dapat menggunakan rapid

squance intubation (RSI). Pemeriksa juga dapat mempertimbangkan adanya

pemeriksa tambahan seperti laryngoscopy serta membantu meminimalkan

mobilitas tulang belakang, dan mengoptimalkan visualisasi pita suara. Pada

cervikal collar saat melepaskannya harus hati-hati sehingga leher tidak

hiperekstensi dan mengurangi risiko memburuknya cedera. Atropin harus


13

selalu tersedia saat memanipulasi jalan nafas pada pasien dengan cedera

cervikal akut. (Stein, Deborah M. et all. 2015)

B. Breathing (pernapasan)
Cedera cervikal menyebabkan berkurangnya fungsi diafragma dan dapat

menyebabkan apnea. Dinding dada dan otot-otot perut sangat penting untuk

ventilasi tetapi sering mengalami gangguan, bakhan pada pasien dengan

cedera inkomplit. Hal ini dapat mengakibatkan hipoventilasi dan kehilangan

kemampuan untuk mengeluarkan batuk dan membersihkan sekresi.


Sampai 65% pasien dengan cedera cervikal didapatkan disfungsi

pernapasan sehingga perlu ke unit perawan intensif (ICU). Jika perlu

tambahan oksigen harus disediakan untuk semua pasien dengan cedera

cervikal, sebab hypoksemia sangat merugikan pasien dengan cedera saraf. Pra-

oksigenasi dapat dilakukan dengan intubasi. Hypoksemia dapat menyebabkan

bradikardi pada pasien dengan cedera setinggi cedera cervikal akibat stimulasi

vagal. (Stein, Deborah M. et all. 2015)


C. Circulation
Pasien dengan cedera medula spinalis setinggi T4 sangat berisiko tinggi

terhadap syok neurogenik. Pasien menderita gangguan dari saraf simpatik,

menyebabkan tidak adanya reflex vagal. Hal ini dapat berkontribusi pada syok

dengan hipotensi dan bradikardi.


Bradikardi merupakan karakteristik yang ditemukan dari syok neurogenik

dan mungkin dapat membantu membedakan dari bentuk-bantuk syok lainnya.

Monitoring harus tetap dilakukan, tidak dengan asumsi pasien memiliki syok

neurogenik karena tidak didapatnya takikardi, seperti pada pasien muda,

pasien kelihatannya sehat, pasien lanjut usia, dan pasien pra-cedera, beta-

blocker seringkali tidak menunjukan takikardi pada keadaan dari perdarahan.


14

Terapi lini pertama dari syok neurogenik adalah resusitasi cairan untuk

memastikan euvolemia. Hilangnya reflex simpatik akibat vasodilatasi dan

perlu penambahan pada sirkulasi volume darah. Sekali euvolemia ditetapkan,

terapi lini kedua adalah vasopressor atau inotropes.


1. Norepinefrin memiliki aktivasi alfa dan beta, dengan demikian dapat

meningkatkan vasokontriksi perifer dan inotropy, berkontribusi pada tekanan

darah dan bradikardi, dan lebih suka digunakan.


2. Phenylephrine A murni alpha-1 yang sangat umum digunakan dan

mudah dititrasi. Obat ini sangat bagus digunakan pada pasien dengan lesi

setinggi thorakal dan bradikardi.


3. Dopamin juga sering digunakan, tetapi dosis tertinggi (>10

mcg/kg/menit) yang diperlukan untuk mendapatkan efek vasokontriktor alpha.

Dopamin ini dapat meningkatkan kematian pada pasien dengan syok

kardiogenik.
4. Epinefrin agonis alfa dan beta yang menyebabkan vasokontriktor dan

meningkatkan output jantung. Dosis tinggi dapat menyebabkan iskemia

mukosa yang tidak disengaja, sehingga dibeberapa pusat pengobatan epinefrin

jarang digunakan atau diperlukan lagi.


5. Dobutamine dapat digunakan, seperti agonis beta murni yang dapat

mempengaruhi bradikardi, dan dapat bermanfaat untuk pengobatan hipotensi

jika kehilangan fungsi simpatik akibat disfungsi jantung.


D. Distability-Neurogical Examination
Drugs/pengobatan
Terapi umum untuk cedera medula spinalis adalah dekompresi pada

medula untuk meminimalkan cedera tulang belakang, dan meminimalkan

komplikasi sekunder, seperti kegagalan pernafasan dan infeksi.


Pertimbangan awal harus dilakukan kateter urin, untuk memantau status

volume dan memantau retensi urin. Selain itu stress ulcer prophylaxis harus
15

diperiksa karena biasa didapatkan risiko perdarahan gastrointestinal pada

pasien dengan cedera cervical. (Stein, Debora M. 2015)

a.
b.
c.
d.
e.

Gambar 2. Hasil Pemeriksaan Fisik


(Dugas et al. 2011)

Pada grafik diatas akan terlihat gejala-gejala yang akan dirasakan pasien

Kompresi Medula Spinalis Akut :

1) Defisit motorik
Defisit motorik adalah keluhan utama dari 60% pasien dengan kompresi

medulla spinalis.
a) Paraplegia atau Paraparesis, yaitu kelumpuhan kedua tungkai akibat lesi

bilateral atau transversal di medulla spinalis di bawah tingkat servikal (Sidharta

Priguna, 2010)
16

b) Tetraplegia atau kwadriplegia, yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot

keempat anggota gerak yang biasanya terjadi akibat lesi bilateral atau transversal

di medula spinalis setinggi servikal. (Sidharta Priguna, 2010)


c) Hemiplegia atau hemiparesis, yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot

lengan tungkai berikut wajah pada salah satu sisi tubuh. Kelumpuhan biasanya

disebabkan oleh lesi vascular unilateral di kapsula interna atau korteks motorik.

(Sidharta Priguna, 2010)


1) Defisit sensorik
Pasien akan merasakan perubahan sensasi dibawah tingkat tertentu,

misalnya : Sentuhan, getaran, serta suhu. Secara umum pasien akan kesulitan

dalam mengkancing baju, paraesthesias (baal/mati rasa), dan kesemutan yang

terjadi pada awal kompresi medula spinalis, terutama karena keganasan.

(Casey, Kanneth F. 2016)


2) Nyeri
Nyeri merupakan gejala umum dari kompresi medula spinalis. Pasien akan

menjelaskan gangguan atau sakit nyeri di segmen mekanik, dan radikuler

seperti rasa sakit yang menusuk. Nyeri mekanik aksial meningkat dengan

gerakan, terutama fleksi, ekstensi, atau rotasi dari segemen tulang belakang.

(Casey, Kanneth F.2016)


3) Disfungsi otonom
Karena ketidakmampuan tubuh dalam menjalankan fungsi otonom dengan

baik, sehingga pasien akan merasakan gejala-gejala seperti dibawah ini :


a) Sembelit
b) Pusing karena hipotensi : syok neurogenik biasanya terjadi pada

cedera servikal atau thorakal, sehingga pasien akan mengalami

hipotensi.
c) Dingin, menggigil, dan mengantuk oleh karena hipotermia
d) Disfungsi kandung kemih (Casey, Kanneth F. 2016)
5) Spinal syok
keadaan dimana terjadinya kehilangan sensasi, otot, fungsi dan reflex

dibawah tingkat cedera yang terlihat setelah terjadi cedera tulang belakang.
17

Sering ditandai dengan kehilangan fungsi refleks sumsum tulang belakang

yang melampaui tingkat cedera.(Fox, Adam et all. 2014)

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Tes Laboratorium

Tes laboratorium pra-operasi untuk pasien dengan trauma medula spinalis

akut termasuk tes pembekuan darah, FBC, dan pemeriksaan elektrolit. Tidak

ada tes laboratorium khusus untuk mendiagnosa trauma medula spinalis akut,

analisis CSF dapat membantu akan tetapi tidak termasuk dalam penyebab non-

traumatik, seperti myelopathy HIV, myelitis transversa, dan infeksi.

2. Foto X-Ray

Gambar 3. Foto X-Ray menunjukan fraktur kompresi yang lama dengan fraktur
kompresi akut T10 vertebra
(Dikutip : Muthukumar Thillainayagam, et all. 2016)

Foto polos radiologi dapat digunakan tetapi lebih bagus menggunakan CT-

Scans. Pasien dengan nyeri kronis dapat dilakukan imaging dengan foto polos

film x-ray, apabila dicurigai adanya keterkaitan dengan tulang belakang dapat
18

menggunakan MRI. Pada keadaan trauma, pilihan tes yang digunakan yaitu foto

polos dikombinasikan dengan CT-Scans. (Casey, Kanneth F.2016

Gambar 4. Foto X-Ray menunjukan tingkat 3 fraktur kompresi L2 vertebra dan


tingkat 2 fraktur kompresi T11 vertebra
(Dikutip : Muthukumar Thillainayagam, et all. 2016)
19

3. CT-Scan

Gambar 5. Multi-planar CT yang menunjukan dislokasi fraktur.


(Dikutip : Muthukumar Thillainayagam, et all. 2016)

Imaging CT dapat menunjukan perubahan tulang dan beberapa perubahan

jaringan lunak termasuk kista, abses, dan perdarahan. CT-myelography lebih

disukai untuk mendeteksi kelainan kanal tulang belakang. (Casey, Kanneth F. 201)

4. MRI
20

Gambar 6. Foto MRI Dislokasi Fraktur Sagital-T2


(Dikutip : Muthukumar Thillainayagam, et all. 2016)

MRI merupakan pencitraan yang bagus untuk mengevaluasi jaringan saraf.

MRI penting direkomendasikan untuk semua pasien yang memiliki onset baru

gejala urinari dengan nyeri punggung dan penyakit pegal pada pinggang. (Casey,

Kanneth F.2016)

Pasien dengan riwayat tumor, terutama yang berkaitan dengan metastasis

tulang belakang (misalnya, payudara, prostat, ginjal, sarcoma, dan multiple

myeloma), harus menjalani pemeriksaan CT atau MRI. Ketika MRI tidak tersedia,

dan diperlukan sebelum intervensi bedah, myelography atau CT myelography

dapat digunakan.

2.5 Diagnosis Banding


1) Guillan-Barre syndrome (GBS)

Penyakit ini sering sekali mirip dengan kompresi medula spinalis seperti

awalnya paralisis ascending dengan kelemahan kaki dan menyebar ke tubuh

bagian atas dan wajah, berlanjut sampai dengan kehilangan reflex tendon.

Kemungkinan juga terdapat kelemahan secara progresif otot-otot pernapasan.


2) HIV-related myelopathy
21

Riwayat dari infeksi HIV atau faktor tinggi perilaku, seperti menggunakan

narkotika IV, transfuse darah yang terinfeksi HIV, dan seks bebas. Tanda dan

gejala dapat dijadikan acuan lesi tulang belakang, termasuk paraparesis.


3) Diabetic neuropathy
Riwayat penyakit diabetes mellitus. Sakit dengan kehilangan sensasi pada

daerah kaki, disfungsi kandung kemih ditunjukan pada neuropati otonom.


4) Polymyositis
Kelemahan pada bahu dan daerah pelvic.
5) Amyotropic lateral sclerosis (ALS)
Menunjukan kombinasi dari gejala Upper Motor Neuron dan Lower Motor

Neuron. Diperkirakan 60% pasien dengan Amyotropic Lateral Sclerosis

menunjukan tanda kelemahan otot dan kekakuan. Sering ditemukan kelemahan

otot yang terlokalisasi atau menyebar, tergantung luas penyebaran penyakit.

(Casey, Kanneth F. 2016)

2.6 Terapi

Penanganan pada kompresi medusla spinalis akut tergantung pada penyebab

yang mendasarinya serta lokasi kompresi. Tindakan penanganan yang cepat

sangat membantu pasien untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.

Penanganan yang dapat dilakukan yaitu dapat secara farmakoterapi maupun

nonfarmakoterapi, yaitu diantaranya :

2.6.1 Farmakoterapi
1) Analgesik

Obat yang mencegah atau memperbaiki efek dari tulang belakang.

Diberikan pada pasien metastasis tulang belakang dengan nyeri hebat berupa

pemberian NSAIDs ( Non Steroid Anti Inflamasi Drugs). (White, B. 2008)


2) Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membrane, mensupresi edema vasogenik

dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis. Methylprednisolone


22

menjadi pilihan dibanding steroid lain karena kadar antioksidannya, dapat

menembus membran sel saraf lebih cepat. (Gondowardaja Y, Purwata Thomas

Eko.2014)
Pemberian methylprednisolone dosis tinggi digunakan dalam jangka waktu

8 jam setelah cedera, dengan dosis 30 mg/kgBB IV, diberikan bolus selama 15

menit diikuti dengan infus dengan takaran 5,4 mg/kgBB/jam infus IV selama

24 jam (jika cedera <3 jam). Jika infus diinisiasikan pada jam ke-3 hingga jam

ke-8 setelah cedera, maka lama infus dilakukan selama 48 jam. (Casey,

Kanneth.F.2016)
1. Bifosfonat
a) Bifosfonat merupakan golongan obat yang dapat diberikan pada pasien

secara oral maupun intravena (IV) dan mempengaruhi metabolisme tulang

dengan menghambat aktivitas osteoklastik.


b) Tidak untuk mencegah metastasis tulang tetapi untuk mencegah

hiperkalsemia, mengurangi rasa sakit, dan mengurangi risiko patah tulang

dengan mempengaruhi metabolisme tulang dan menghambat aktivitas

osteoklastik, terutama pada pasien dengan myeloma dan kanker prostat.

(Quraishi, N.A et all. 2010)

2.6.2 Non Farmakoterapi

1) Radioterapi

Radioterapi harus diberikan setelah operasi ketika luka telah sembuh

karena adanya risiko komplikasi pasca operasi terutama luka infeksi.

Radioterapi konvensional diberikan 8 sampai 10 fraksi dengan jumlah dosis

dari 25 Gy sampai 40 Gy. (Quraishi, N.A et all. 2010)

Indikasi untuk dilakukannya radioterapi, yaitu :

a) Tidak adanya instabilitas


23

b) Kemunduran progresif neurological yang cepat dengan limitasi

harapan hidup

Radioterapi dengan operasi direkomendasikan untuk :

a) Pasien dengan instabilitas tulang belakang


b) Pasien dengan tumor resisten dengan pancaran radio (Casey,

Kaneth F. 2016)

2) Vertebroplasty dan Kyphoplasty

Vertebroplasty dan Kyphoplasty pada metastasis tulang belakang

seharusnya hanya dapat diguanakan setelah disetujui oleh dokter spesialis (ahli

onkologi, ahli radiologi, dan ahli bedah tulang belakang), dengan keterlibatan

penuh dari pasien dan akses fasilitas yang bagus untuk bedah tulang belakang.

(White, B. 2008)

3) Pembedahan

a) Tujuan utama dari pembedahan adalah untuk memulihkan fungsi utama dari

saraf, dengan tujuan mempertahankan fungsi saraf serta meningkatkan kualitas

hidup pasien.
b) Pembedahan ditentukan oleh lokasi tumor, dan lokasi kompresi pada

sumsum tulang belakang.


c) Metastasis pada L2-L4 dapat dicapai melalui insisi di panggul. (Quraishi,

N.A et all. 2010)

2.7 Komplikasi

1. Pressure Ulcers
24

2.8

Gambar 7. Gambar pressure ulcers (a) ulkus sakral yang besar (b) ulkus
sacral yang telah berhasil ditutup
(Dikutip dari : (Agrawal Karoon, Chauhan Neha. 2012)

Pressure ulcers (ulkus dekubitus) menurut National Pressure Ulcer Advisory

Panel (NPUAP) dan European Preesure Ulcer Advisory Panel (EPUAP) adalah

cedera lokal pada kulit dan/ atau jaringan dibawahnya biasanya tulang lebih

menonjol sebagai akibat dari tekanan atau tekanan dalam kombinasi dengan

gesekan. Komplikasi jenis ini dapat menyebabkan iskemia, kematian sel dan

nekrosis jaringan. (Agrawal Karoon, Chauhan Neha. 2012)

2. Komplikasi yang berhubungan dengan disektomi

Komplikasi yang terjadi pada 15-30% kasus dan termasuk didalamnya didapat

hemoragik, cedera pada akar saraf, disc herniasi rekuren atau residural, dan

epidural hematom.

3. Disfungsi otonom pasca operatif

Sabut dari sistem saraf simpatis keluar dari medula spinalis antar C7 dan L1.

Sistem saraf parasimpatik keluar diantara S2 dan S4. Oleh karena itu, lesi atau

cedera medula spinalis di tingkat atas secara progresif menyebabkan peningkatan

derajat disfungsi otonomik. Gejala-gejala disfungsi disfungsi otonomik meliputi

kehilangan kontrol perkemihan serta pencernaan. Disfungsi erektil merupakan

gejala awal.
25

4. Disfungsi kardiovaskular

Komplikasi yang sangat dikenal dari kompresi medula spinalis akut yang

termasuk didalamnya persistent sinus bradycardia (meliputi perubahan

repolarisasi), takikardia supraventikular, dan gagal jantung primer. Komplikasi ini

berelasi dengan hilangnya kontrol simpatik supraspinal. Hal ini dapat ditemukan

secara khas pada cedera thoraks bagian atas (T6) dan ruas servikal.

5. Osifikasi heteropatik

Insidensnya pada pasien cedera medula spinalis berkisar 16-35%. Insiden

kasus klinis secara signifikan berkisar 18-27%. Patofisiologinya meliputi proses

inflamasi dengan peningkatan aliran darah dijaringan lunak.

6. Infeksi Saluran Kemih

Pasien dengan respon pengosongan kandung kemih yang buruk memiliki

resiko dari influx perkembangan yang buruk dari organisme dari infeksi. (Casey,

Kanneth F. 2016)

2.8 Rehabilitasi

Prinsip rehabilitasi cedera saraf tulang belakang menyediakan perawatan

penyakit untuk mengoptimalkan kualitas hidup, mengembalikan fungsi anggota

gerak, dan pasien dapat kembali bersosialisasi ke dalam masyarakat. Pusat-pusat

rehabilitasi menyediakan kursi roda, alat bantu berteknologi, perawatan luka

khusus, dan kesempatan untuk berolahraga. Terdapat juga relawan dan dukungan
26

masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu dalam kegiatan konseling yang

merupakan komponen penting dari rehabilitasi komprehensif.

Pada fase akut, tujuan awal yang perlu dicapai adalah toleransi posisi tegak

yang dapat dilakukan dengan latihan duduk, menaikkan kepala saat di tempat

tidur, dan memanfaatkan kemiringan meja atau kerangka yang dipakai untuk

tumpuan tangan pada latihan berjalan. Hal ini membantu menggembalikan

kekuatan otot,dan memperbaiki kontrol tubuh dan kepala. Para perawat juga dapat

menginisiasikan kepada keluarga pasien untuk berpartisipasi secara aktif

(membantu rehabilitasi pasien, mobilitas tidur, latihan ketahanan, dan latihan

pindah tempat (dari tempat tidur ke kursi roda dan dari kursi roda ke kamar kecil)

merupakan komponen awal rehabilitasi pada cedera tulang belakang.

Adanya risiko tinggi decubitus, dan kemungkinan inkontinensius usus serta

kandung kemih, maka pentingnya membantu dan mengajarkan pasien untuk

perlunya bergeser atau membalikan badan sehingga tidak dalam posisi yang lama.

Para terapi dan staf perawat berperan penting dalam hal ini.

Okupasi terapi (OT) dengan tujuan meningkatkan kemandirian individu. Terapi

membantu mengajarkan kegiatan sehari-hari seperti berpakaian, mandi, merawat

diri, makan, dan menyimpan makanan. Patologis dalam berbicara dan berbahasa

serta terapi pernapasan memiliki peranan penting terutama pada pasien cedera

tulang belakang. Tujuan terapi adalah untuk produksi suara, bersihnya jalan nafas,

melatih otot-otot ekspirasi, dan penggunaan alat bantu.Terapi fisik terlibat secara

langsung dalam melatih pasiennya. Pasien dengan cedera cervical atas yang tidak

sanggup menggerakkan badan mereka sendiri untuk menghilangkan tekanan dapat


27

menggunakan “tilt-in-space” kursi roda manual yang berputar pada sumbu

sagittal. (Mazwi, Nicole L et all. 2015).

2.9 Prognosis

Presentasi kekambuhan setelah traumatic cedera medula spinalis sekitar 2-5 %

baik yang berkenaan dengan instabilitas tulang belakang atau mungkin dikarenkan

pasien terus melakukan aktifitas yang berisiko tinggi. Sekitar 30% dari pasien

paraparetic dan 5% dari pasien paraplegic diharapkan agar dapat mempertahankan

atau memperoleh kembali kemampuan untuk berjalan . 45% dari pasien

membutuhkan cateter urin sebelum melakukan perawatan, dan hanya 21% dari

paisen ini yang kemudian tidak lagi memakai kateter. (Casey, Kanneth F. 2016)

2.10 Edukasi

Edukasi yang dapat diberikan pada pasien, keluarga, serta tim perawat :

a) Pasien membutuhkan instruksi pada teknik rehabilitasi harian (penggunaan

otot), perawatan kandung kemih yang meliputi pengosongan regular kandung

kemih yang mungkin membutuhkan katerisasi intermitan yang bersih.

b) Segala informasi mengenai penatalaksanaan dan perawatan sangat penting

sehingga pasien dapat memanfaatkan semua terapi yang ada.


c) Menjalin komunikasi yang baik sangat diperlukan antara tim perawat dan

pasien agar instruksi mengenai tanda dan gejala dapat diketahui dan dimengerti

oleh pasien dengan harapan agar tidak terjadi cedera yang terus berlanjut dan

adanya kekambuhan.(Casey, Kaneth F. 2016)


28
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kompresi Medula Spinalis akut merupakan masalah kegawatdaruratan

neurologi yang merugikan kondisi semua golongan di seluruh dunia, yang

berpotensi memicu terjadinya kerusakan neurologis.Insidens cedera medula

spinalis di Amerika serikat sekitar 12.000 orang per tahun dengan berbagai bentuk

penyebab akibat trauma maupun nontraumatik. Penyebab kompresi medula

spinalis akut yaitu akibat Trauma dan Nontrauma. Diagnosis dapat ditegakkan

dengan Anamnesa, Pemeriksaan Fisik dijumpai adanya defisit sensorik, defisit

motorik, nyeri, disfungsi otonom, serta spinal syok dan Pemeriksaan Penunjang

dengan menggunakan Foto X-ray, CT-Scans, dan MRI yang dilakukan dengan

baik dapat memberikan kualitas hasil yang optimal. Diagnosis banding kompresi

medulla spinalis akut ialah Guillan-Barre syndrome (GBS), HIV-related

myelopathy, Diabetic neuropathy, Polymyositis, dan Amyotropic lateral sclerosis

(ALS). Penanganan yang dapat dilakukan yaitu dapat secara farmakoterapi

(Analgesia, Kortikosteroid, Bifosfonat) maupun nonfarmakoterapi (Radioterapi,

Vertebroplasty dan Kyphoplasty, dan Pembedahan). Komplikasi yang akan terjadi

pada pasien dengan Kompresi medulla spinalis akut yaitu berhubungan Pressure

ulcers, komplikasi yang berhubungan dengan disektomi, Disfungsi otonom pasca

operatif, Disfungsi kardiovaskuler,Osifikasi heteropatiki, dan Infeksi saluran

kemih. Prinsip rehabilitasi cedera saraf tulang belakang menyediakan perawatan

penyakit untuk mengoptimalkan kualitas hidup, mengembalikan fungsi anggota

gerak, dan pasien dapat kembali bersosialisasi ke dalam masyarakat.Presentasi

30
31

kekambuhan setelah traumatic cedera medula spinalis diestimasi sekitar 2-5 %,

baik yang berkenaan dengan instabilitas tulang belakang atau mungkin dikarenkan

pasien terus melakukan aktifitas yang berisiko tinggi. Edukasi yang dapat

diberikan bagi spasien, keluarga, serta tim perawat yaitu berkaitan dengan

instruksi rehabilitasi harian, informasi mengenai penatalaksanaan dan perawatan

agar pasien dapat memanfaatkan terapi yang ada, serta adanya komunikasi yang

baik antara tim perawat dan pasien, sehingga pasien dapat mengetahui tanda dan

gejala dengan harapan agar tidak mengakibatkan adanya kekambuhan

B. SARAN

Adanya pelatihan bagi tim medis yang akan menangani serta segala informasi

yang berkaitan dengan kompresi medulla spinalis akut perlu disampaikan dengan

sosialisasi agar mengurangi kecacatan dan mampu mengoptimalkan kualitas hidup

pasien. Bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian literatur ini dapat

dijadikan acuan sebagai referensi bacaan atau mencari kajian literatur yang lain

sebagai referensi bagi pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, Karoon. Chauhan, Neha. (2012) Pressure Ulcers Back to the Basics.

Indian Journal of Plastic Surgery [online] 45(2). Hal 244-254. Diakses dari:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3495374/ [Diakses 30 Desember

2016]

Alshareef, M, et all. (2014). Effect of spinal cord compression on local vascular

blood flow perfusion capaticy. Plos One [online], 1. Hal 1-9. Diakses dari

www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25268384 [Diakses 19 November 2016]

Bajamal, A.H, Prijambodo B. di dalam sjamsuhidajat, De Jong (2010). Buku

Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. : EGC

Casey, Kenneth.F, et all. (2016). Spinal Cord Compression. 4-5. Hal 4 – 44.

British Medical Journal. Diakses dari : http://bestpractice.bmj.com/best-

practice/signin.html [Diakses 22 Oktober 2016

Center, Shepherd, et all. (2011) Understanding Spinal Cord.

Dugas, A.F, et all. (2011). Diagnosis of spinal Cord Compression in

Nontrauma Patients in the Emergency Department. Academic Emergency

Medicine Journal [online], 18(7). Hal 719-725. Diakses dari :

www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21729189 [Diakses 19 November 2016]

Fox, Adam et all. (2014). Assessment and Treatment of Spinal Cord Injuries and

Neurogenik shock. Journal of emergency medical services. [online], Hal 2-3.

Diakses dari : http://www.jems.com/articles/print/volume-39/issue-

11/features/assessment-and-treatment-spinal-cord-inj.html [Diakses 09 Desember

2016]

32
33

Konsil Kedokteran Indonesia. (2012). Standar Kompetensi Dokter Indonesia.

Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia

Mazwi, Nicole L et all. (2015). Traumatic Spinal Cord Injury: Recorvery,

Rehabilitation, and Prognosis. Springer international publishing [online], 3-6. Hal

1-11. Diakses dari : http://link.springer.com/article/10.1007/s40719-015-0023-x

[Diakses 25 November 2016]

Muthukumar Thillainayagam et all. Radiological investigations in spinal

injuries. Orthropedic and trauma. Elsevier Ltd [online], Hal 1-12. Diakses dari :

http://doi:10.1016/j.mporth.2016.07.009 [Diakses 21 November 2016)

Quraishi, N.A et all. (2010) The surgical management of metastatic epidural

compression of the spinal cord. The Journal Of Bone & Joint Surgery (BR). 3-5.

Hal 1-7. Diakses dari http://www.bjj.boneandjoint.org.uk/content/jbjsbr/92-

B/8/1054 [Diakses 5 Desember 2016]

Rogers, W.K, et all. (2015). Acute Spinal Cord Injury. Hal 27-39. Best

Practice & Reserch ClinicalAnaesthesiology. Diakses dari:

http://dx.doi.org/10.1016/j.bpa.2015.11.003 [Diakses 10 November 2016]

Stein, Deborah M. et all. Emergency Neurological Life Support : Traumatic

Spine Injury Neurocritical care society [online]. 5-7. Hal 1-10. Diakses dari

http://link.springer.com/article/10.1007/s12028-015-0169-y [Diakses : 1

Desember 2016)

Sherwood, Lauralee (2011). Fisiologi Manusia. Jakarta:EGC

White, B. (2008). Diagnosis and management of patients at risk of or with

metastatic spinal cord compression. The National Collaborating Centre For


34

Cancer [online]. Hal 1 – 114. Diakses dari :

www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK55007/ [Diakses :20 November 2016]

Anda mungkin juga menyukai