Anda di halaman 1dari 40

PERFORASI MEMBRAN TIMPANI

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA


PERIODE 2015/2016

Oleh
NYCODEMUS SESA
0110840032

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2016

1
2

PERFORASI MEMBRAN TIMPANI

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

NYCODEMUS SESA

0110840032

Dosen Pembimbing :

1. dr. Trajanus L. Jembise, Sp.B

2. dr. Astrina Sidabutar

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2016
3

HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan diterima oleh Panitia Ujian Karya Tulis Ilmiah

Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura

Untuk memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Pada

Hari : Selasa

Tanggal : 19 Juli 2016

Mengesahkan

Panitia Ujian Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran

Universitas Cenderawasih

Ketua Sekertaris

dr. Herlambang Budi Mulyono, Sp.OT Venthy Angelika, S.Psi, M.A


NIP. 19741207 201112 1 001 NIP. 19870926 201504 2 003

Tim Penguji

1. dr. Trajanus L. Jembise, Sp.B 1. ………………..............


NIP. 19700915 200312 1 002
2. dr. Agnes S. Rahayu, M.Kes 2. …………………………..
NIP. 19741230 200501 2 001
3. Venthy Angelika, S.Psi, M.A 3. ………………………….
NIP. 19870926 201504 2 003
4

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah

dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan

ucapan”- Filipi 4:6

Karya Tulis Ilmiah ini penulis persembahkan untuk pabs, mama, kakak, dan adik

yang sangat di cintai, yang selalu mendukung dan menjadi motivasi penulis untuk

menyelesaikan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.

KATA PENGANTAR
5

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala

kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah

(KTI) dengan judul Perforasi Membran Timpani yang merupakan salah satu

prasyarat untuk dapat meraih gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) di Fakultas

Kedokteran Universitas Cenderawasih. Dalam penulisan KTI ini tidak terlepas

dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini

dengan rasa hormat penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan

yang tulus kepada:

1. Dr. Onesimus Sahuleka, S. H, M. Hum selaku Rektor Universitas

Cenderawasih atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis

untuk menyelesaikan pendidikan sarjana.

2. dr. Trajanus L. Jembise, Sp.B selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Cenderawasih atas waktu, petunjuk dan bimbingannya.

3. dr. Trajanus L. Jembise, Sp.B selaku Dosen pembimbing I dan dr. Astrina

Sidabutar selaku dosen pembimbing II atas waktu, petunjuk, bimbingan serta

saran kepada penulis.

4. dr. Rosmini, Sp.THT-KL selaku Dosen pengajar Ilmu Telinga Hidung

Tenggorakan Kepala & Leher (THT-KL) yang telah memberikan ilmu, saran

serta referensi kepada penulis.

5. Kedua orang tua tersayang Yohan Sesa dan Alma. Costantina Pariaribo yang

selalu memberikan dukungan, doa dan kasih sayang.

6. Kakak dan adik-adik tercinta yang selalu mendukung memberi masukan, dan

perhatiannya.
6

7. Seluruh dosen FK maupun dari Fakultas lain di Lingkungan UNCEN yang

telah membekali penulis dengan ilmu-ilmu mereka selama ini.

8. Sahabat-sahabat sehidup semati Mampir Donk: Maya, Jeane, Purnama,

Patrick, Ita, Anugrah, Winner. Terima kasih untuk cinta yang tak lengkang

oleh waktu

9. Sahabat-sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka: Gian, Bryan, Olivia,

Joice, Adit, Lusia dan Dion. Terima kasih karena selalu menyemangati,

memberi masukan serta dukungan lewat doa

10. Teman-teman FK angkatan 10 (Tahun 2011) yang tidak bisa penulis sebutkan

satu persatu, terima kasih atas doa, dukungan, dan kebersamaan kita selama

masa-masa kuliah.

11. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan KTI ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan KTI ini masih memiliki

banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun demi kebaikan dan kesempurnaan KTI ini.

Semoga Tuhan Yesus Kristus senantiasa menyertai dan melimpahkan

kasih karuniaNya kepada kita semua dan semoga KTI ini dapat memberikan

manfaat bagi para pembaca.

Jayapura, 30 Juni 2016

Penulis
7

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………… i

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………… ii

HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………… iii

KATA PENGANTAR…………………………………………………………… iv

DAFTAR ISI……………………………………………………………………… vi

DAFTAR TABEL………………………………………………………………… vii

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………… . ix

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………… 1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………... 3

1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………… 3

1.4 Manfaat Penulisan……………………………………………………... 4

BAB II ISI………………………………………………………………………… 5

2.1 Definisi………………………………………………………………… 5

2.1.1 Anatomi telinga…………………………………………………. 5

2.1.2 Klasifikasi………………………………………………….……. 10

2.1.3 Fisiologi telinga………………………………………….……... 11

2.2 Epidemiologi…………………………………………………………. 12

2.3 Etiologi………………………………………………………………… 12

2.4 Penegakan Diagnosis…………………………………………………. 13

2.4.1 Anamnesa……………………………………………………….. 13

2.4.2 Pemeriksaan fisik……………………………………………….. 14

2.4.3 Pemeriksaan penunjang………………………………………… 17


8

2.5 Diagnosis Banding……………………………………………………... 18

2.6 Terapi…………………………………………………………………... 18

2.6.1 Farmakoterapi…………………………………………………… 19

2.6.2 Non farmakoterapi………………………………………………. 20

2.7 Komplikasi…………………………………………………………....... 21

2.8 Rehabilitasi……………………………………………………………... 22

2.9 Prognosis……………………………………………………………...... 23

2.10 Edukasi…………………………………………………………………. 23

BAB III PENUTUP………………………………………………………………. 25

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………. 25

3.2 Saran…………………………………………………………………… 27

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 28

DAFTAR TABEL
9

Halaman

Tabel 2.1 Perbedaan Hasil Tes Penala………………………………… 16

DAFTAR GAMBAR
10

Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Telinga…………………………………........……….. 6

Gambar 2.2 Membran Timpani……………………………………………... 7

Gambar 2.3 Struktur Lapisan Membran Timpani ……………………..…... 8

Gambar 2.4 Jenis-jenis Perforasi Membran Timpani……………………… 11

Gambar 2.5 Tes Rinne pada Tuli Konduktif……………………………...... 15

Gambar 2.6 Tes Webber pada Tuli Konduktif …………………………….. 16

Gambar 2.7 Audiograf Tuli Konduktif Telinga Kanan ……………………. 17

Gambar 2.8 Penerusan Energi Suara Melalui Suara Kopling Osikuler Dan
Kopling Akustik ……………………………………...………... 22

BAB I
11

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks

dimana berperan penting dalam proses pendengaran dan keseimbangan.

Indera pendengaran berperan pada partisipasi seseorang dalam aktivitas

kehidupan sehari-hari dalam perkembangan normal, pemeliharaan bicara dan

kemampuan berkomunikasi dengan orang lain, yang bergantung pada

kemampuan mendengar. Dari indera pendengaran diserap sebesar 20%

informasi yang disampaikan dibanding dengan membaca yang hanya dapat

menyerap informasi sebesar 10% (Depkes, 2010: 1). Oleh sebab itu penting

menjaga kesehatan pendengaran dengan pemeriksaan/deteksi dini ada

tidaknya gangguan pendegaran (Depkes, 2013: 1).

Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2005 terdapat

278 juta orang di dunia menderita gangguan pendengaran, 75-140 juta di

antaranya terdapat di Asia Tenggara (Depkes, 2010: 1). Saat ini WHO

memperkirakan ada 360 juta (5,3%) orang di dunia menderita gangguan

pendengaran, 328 juta (91%) diantaranya adalah orang dewasa (183 juta laki

laki, 145 juta perempuan) dan 32 juta (9%) adalah anak-anak (Depkes, 2013:

1).

Berdasarkan hasil Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan

Pendengaran di 7 provinsi tahun 1993-1996, prevalensi ketulian 0,4% dan

gangguan pendengaran 16,8%. Penyebabnya, infeksi telinga tengah (3,1%)


12

presbikusis (2,6%), tuli akibat obat ototoksik (0,3%), tuli sejak

lahir/kongenital (0,1%) dan tuli akibat pemaparan bising (Depkes, 2010: 1).

Salah satu penyebab gangguan pendengaran pada telinga berupa tuli

konduktif dapat disebabkan oleh perforasi membran timpani atau gendang

telinga (Rafique, 2014: 32). Membran timpani berfungsi memisahkan telinga

luar dari telinga tengah dan mempresepsikan suara atau informasi yang

dikirimkan ke otak untuk diinterpretasikan (Lou, 2012: 549). Perforasi

membran timpani adalah fenomena umum yang umumnya diakibatkan dari

infeksi, penyisipan tabung ventilasi atau trauma (Saliba, 2011: 527).

Tingkat dan pola perforasi membran timpani bervariasi sehingga

penatalaksanaannya juga bervariasi. Hal ini berhubungan dengan letak, luas,

dan kontunitas dari kondisi tersebut. Tatalaksana yang dilakukan harus cepat

dan tepat. Setelah itu, observasi dan evaluasi tentang penyebab cedera

tersebut untuk mengetahui tatalaksana selanjutnya sehingga dapat

menurunkan angka morbiditas (Sarojoma, 2014: 1).

Perforasi membran timpani dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia

(SKDI) masuk dalam tingkat kemampuan III A. Tingkat kemampuan III A

artinya lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan

terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter

mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien

selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali

dari rujukan (Konsil Kedokteran Indonesia, 2012).


13

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan perforasi membran timpani ?

2. Bagaimana epidemiologi perforasi membran timpani ?

3. Apakah etiologi perforasi membran timpani ?

4. Bagaimanakah penegakkan diagnosis perforasi membran timpani ?

5. Apakah diagnosis banding perforasi membran timpani ?

6. Bagaimanakah terapi perforasi membran timpani ?

7. Apakah komplikasi perforasi membran timpani ?

8. Bagaimanakah rehabilitasi perforasi membran timpani ?

9. Apakah prognosis perforasi membran timpani ?

10. Bagaimanakah edukasi perforasi membran timpani ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui definisi perforasi membran timpani.

2. Mengetahui epidemiologi perforasi membran timpani.

3. Mengetahui etiologi perforasi membran timpani.

4. Mengetahui penegakkan diagnosis perforasi membran timpani.

5. Mengetahui diagnosis banding perforasi membran timpani.

6. Mengetahui terapi perforasi membran timpani.

7. Mengetahui rehabilitasi perforasi membran timpani.

8. Mengetahui komplikasi perforasi membran timpani.

9. Mengetahui prognosis perforasi membran timpani.

10. Mengetahui edukasi perforasi membran timpani.


14

1.4 Manfaat Penulisan

1. Manfaat bagi penulis

Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah

pengetahuan penulis dalam mendiagnosa dini perforasi membran timpani

serta dapat melakukan pertolongan pertama bagi pasien perforasi membran

timpani.

2. Manfaat bagi Fakultas Kedokteran Universitas Cendrawasih.

Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat menyumbang kelengkapan data

tentang perforasi membran timpani yang dapat berguna bagi mahasiswa

kedokteran ke depannya.

3. Manfaat bagi penulisan karya tulis selanjutnya

Pembuatan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsih untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut, dan dapat

dijadikan referensi untuk penulisan karya tulis sejenis.

4. Manfaat bagi pembaca

Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan

informasi mengenai tanda serta gejala perforasi membran timpani agar

dengan cepat dapat meminta pertolongan petugas kesehatan.


BAB II

ISI

2.1 Definisi

Perforasi membran timpani merupakan keadaan klinis terdapatnya

sobekan atau lubang pada membran timpani (Bickley, 2013:198).

2.1.1 Anatomi telinga

Telinga terbagi menjadi tiga bagian besar yaitu, telinga luar, telinga

tengah dan telinga dalam atau labyrinth (Dhingra, 2014:3).

a. Telinga luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula atau pinna), liang

telinga (external acoustic canal) dan membran timpani (Dhingra,

2014:3). Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit.

Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada

sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam

rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5-3 cm. Pada

sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar

serumen (kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat

pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam

hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen (Soetirto, 2014:10).

15
16

Gambar 2.1 Anatomi Telinga

(Dikutip dari Soetirto,2014: 13)

Membran timpani adalah membran yang berbentuk sedikit oval,

semi transparan, tipis dan memiliki warna abu-abu mutiara dan

berbentuk kerucut. Luas permukaan membran timpani adalah sekitar

85 mm2 (lebar 8 mm dan tinggi 10 mm). Membran timpani terdiri

dari dua bagian yang disebut pars tensa dan pars flaksida. Bagian

utama dari membran timpani yaitu pars tensa dengan luas sekitar 55

mm2, merupakan daerah berbentuk corong yang terbentang antara

manubrium maleus dan tulang liang telinga. Bagian yang kedua

adalah bagian yang paling kecil dari membran timpani yaitu pars

flaksida (biasa disebut membran Sharpnell). Bagian ini terletak di

atas lipatan maleolar dan lebih tebal dari pada pars tensa. Membran
17

timpani tidak selalu dapat diidentifikasi dengan jelas melalui

otoskopi, karena dapat menyatu dengan dinding superior liang

telinga. Secara mikroskopik pars flaksida tidak mempunyai lapisan

fibrosa seperti di pars tensa (Priyono, 2012: 4).

Gambar 2.2 Membran Timpani

(Dikutip dari Soetirto, 2014: 11)

Membran timpani terdiri dari tiga lapisan (Priyono, 2012: 4) :

a. Lapisan luar (lapisan kulit) yang terdiri dari epitel skuamosa

berlapis halus yang biasanya memantulkan cahaya

b. Lapisan dalam rongga timpani (lapisan mukosa) yang terdiri dari

epitel mukosa kuboid

c. Lamina propria yaitu lapisan antara lapisan luar dan dalam.

Lapisan ini terdiri dari dua lapisan jaringan ikat: lapisan luar dari
18

serat radier (lapisan longitudinal) dan lapisan bagian dalam yaitu

serat melingkar (lapisan circuler). Lapisan lamina propria akan

menyatu dengan cincin fibrokartilago di lingkar membran

timpani dalam sulkus timpani dari liang telinga. Lapisan ini

nantinya mempengaruhi keelastisan membran timpani dalam

memberikan getaran yang tepat sesuai dengan frekuensi suara

yang datang. Bayangan manubrium maleus yang disebut umbo

berada di sepanjang membran timpani. Umbo ini merupakan

penanda yang penting untuk mengevaluasi membran timpani.

Membran timpani dibagi dalam empat kuadran, dengan menarik

garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak

lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian anterior-

superior, posterior-superior, anterior-inferior, dan posterior-

inferior, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani

(Soetirto, 2014: 11).

Gambar 2.3. Struktur Lapisan Membran Timpani


19

(Dikutip dari Priyono, 2012: 5)

Pendarahan membran timpani berasal dari a. maksilaris interna

yang berada pada permukaan bawah kulit dan bersama dengan a.

aurikularis posterior. Cabang timpani a. maksilaris interna

mendarahi mukosa membran timpani. Arteri aurikularis profunda

mendarahi bagian kutikular permukaan luar membran timpani.

Membran timpani dipersarafi oleh nervus vagus, cabang aurikularis

mayor mempersarafi antero-superior membran timpani. Nervus

mandibularis cabang aurikulo temporal mempersarafi bagian

posterior dan inferior membran timpani. Nervus glosofaringeus

mempersarafi bagian mukosa membran timpani (Priyono, 2012: 5).

b. Telinga tengah

Telinga tengah berbentuk kubus dengan (Soetirto, 2014: 12):

1. Batas luar: membran timpani

2. Batas depan: tuba eustachius

3. Batas bawah: vena jugularis (bulbus jugularis)

4. Batas belakang: aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikaliss

5. Batas atas: tegmen timpani (meningen/otak)

6. Batas dalam: berturut-turut dari atas ke bawah adalah kanalis

semisirkularis horizontalis, kanalis fasialis, tingkap lonjong dan

tingkap bundar (round window) dan promontorium.

c. Telinga dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua

setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari tiga buah kanalis
20

semisirkularis. ujung atau puncak koklea disebut helikotrema,

menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan

membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang

koklea, tampak skala vestibuli di sebelah atas, skala timpani di

sebelah bawah, dan skala media diantaranya. Skala vestibuli dan

skala timpani berisi cairan perilimfa, sedangkan skala media berisi

endolimfa. Ion dan garam yang terdapat pada perilimfa berbeda

dengan endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala

vestibuli disebut dengan membran vestibuli (Reissner’s membrane),

sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada

membran ini terletak organ corti. Pada skala media terdapat bagian

yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada

membran basalis melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut

dalam, sel rambut luar, dan kanalis corti, yang membentuk organ

corti (Soetirto, 2014: 12).

2.1.2 Klasifikasi

Letak perforasi membran timpani dapat ditemukan pada daerah

sentral, marginal atau atik. Pada perforasi sentral, perforasi terdapat di

pars tensa, sedangkan di seluruh tepi perforasi masih ada sisa membran

timpani. Pada perforasi marginal sebagian tepi perforasi langsung

berhubungan dengan anulus dan sulkus timpanikum. Perforasi atik ialah

perforasi yang terletak pada pars flaksida (Djaafar, 2014: 62).


21

Gambar 2.4. Jenis-jenis perforasi membran timpani

(Dikutip dari Djaafar, 2014: 63)

Letak perforasi membran timpani berefek pada pengelompokkan

penanganan (Patel, 2011: 38):

a. Safe perforations: kondisi telinga kering dan perforasi sentral,

terpisah dari attic atau margin annulus. Umumnya tidak akan

berlanjut menjadi kondisi patologi yang serius.

b. Unsafe perforations: attic, marginal dan gangguan perforasi kronis.

Umumya berlanjut menjadi kondisi patologi yang lebih serius.

2.1.3 Fisiologi telinga

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh

daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau

tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani dan

diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran

yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang

pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan

tingkap lonjong. Energi getar yang diamplifikasi ini akan diteruskan ke

stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada

skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran reissner

yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif


22

antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan

rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia

sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion

bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses

depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke

dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf

auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks

pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. Secara fisiologik telinga

dapat mendengar nada antara 20 sampai 18.000 Hz. Untuk pendegaran

sehari-hari yang paling efektif antara 500-2000 Hz (Soetirto, 2014:

14,17).

2.2 Epidemiologi

Membran timpani lebih sering mengalami trauma dibandingkan dengan

telinga tengah atau telinga dalam. Insidensi pertahun dari perforasi

membran timpani yaitu 6,80 per 1.000 orang (Wani, 2016: 101). Pada

sebuah studi internasional melaporkan penyebab dari perforasi membran

timpani dengan 62% kasus adalah infeksi dan malfungsi auditory tube, 28%

kasus trauma, 10% kasus cholesteatoma (Rafique, 2016: 35).

2.3 Etiologi

Perforasi pada membran timpani dapat disebabkan oleh beberapa sumber

dan mekanisme yang bervariasi, sehingga mengakibatkan perforasi dengan

berbagai bentuk dan ukuran :


23

a. Infeksi

Disebabkan oleh proses perjalanan penyakit infeksi telinga tengah

akibat kurang penanganan seperti, otitis media dan otitis media efusi

(L.O, 2016: 42). Penyebab utama adalah invasi bakteri piogenik

streptokokus hemolitikus, virus dan gangguan fungsi tuba eustachius

yang berujung pada perforasi membran timpani (Djaafar, 2014: 59,67).

b. Trauma

Disebabkan oleh trauma akibat kekerasan (tamparan atau pukulan

langsung pada telinga), kecelakaan lalu lintas (trauma langsung pada

telinga atau regio temporal), kecelakaan domestik (ledakan), kecelakaan

industri (terkena serpih besi panas) dan olahraga (barotrauma: menyelam

dan terbang) (L.O, 2016: 43).

c. Iatrogenik

Prosedur miringotomi (irigasi) (L.O, 2016: 42). Pemindahan serumen

atau benda asing menggunakan instrumen contohnya: cotton buds, korek

api, jepit rambut, tes kalori) dan terapi oksigen hiperbarik (Al-Juboori,

2014: 1).

2.4 Penegakan Diagnosis

2.4.1 Anamnesa

Menurut (L.O, 2016: 43) pada pasien perforasi membran timpani

sering datang dengan keluhan:

a. Otore (keluar cairan dari liang telinga berupa darah / pus )

b. Tinitus (telinga berdengung)


24

c. Otalgia (sakit telinga atau disscomfort)

d. Penurunan fungsi pendengaran pada telinga yang terganggu

e. Vertigo

f. Aural fullness

2.4.2 Pemeriksaan Fisik

Untuk membantu menegakan diagnosis perforasi membran timpani

pada pasien maka dilakukan pemeriksaan fisik :

a. Inspeksi: Bekas luka cedera pada sekitar telinga atau regio

temporal kepala, hematoma perikondrial pada trauma (Hafil, 2014:

51), eritema atau pus keluar dari liang telinga pada keadaan infeksi

(Djaafar, 2014: 61).

b. Palpasi: Kelenjar getah bening regional membesar dan nyeri tekan

biasanya pada keadaan infeksi (Hafil, 2014: 54).

c. Pemeriksaan dengan Otoskopi: Pada pemeriksaan ini terlihat

perubahan pada kulit kanal auditorius menjadi tebal dan berwarna

putih (cholesteatoma), struktur membran timpani tampak retraksi,

dan terlihat hiperemis, udem atau kekuningan yang menandakan

infeksi dan struktur membran timpani sobek atau perforasi

(Djaafar, 2014: 59-60).

d. Tes Penala: Salah satu keadaan klinis perforasi adalah kehilangan

pendengaran (Patel, 2011: 37). Untuk pemeriksaan pendengaran

dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan garpu tala (tes

penala). Untuk mempermudah interpretasi secara klinik, dipakai


25

Tes Rinne, Tes Weber, Tes Schwabach dengan menggunakan 3

jenis penala 512 Hz, 1024 Hz, 2048Hz (Soetirto, 2014: 17-18).

Cara pemeriksaan :

1. Tes Rinne: Penala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus

mastoid, setelah tidak didengar penala dipegang di depan telinga

kira-kira 2 ½ cm. Bila tidak terdengar disebut rinne negatif (-)

(Soetirto, 2014: 18).

Gambar 2.5 Tes rinne pada Tuli Konduktif

(Dikutip dari Bickley 2013: 201)

2. Tes Weber: Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di

garis tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah

gigi seri atau dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras

pada salah satu telinga disebut weber latelarisasi ke telinga

tersebut (Soetirto, 2014: 18).


26

Gambar 2.6 Tes webber pada Tuli Konduktif

(Dikutip dari Bickley 2013: 201)

3. Tes Schwabach: Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan

pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi.

Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada prosesus

mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal.

Bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang

dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosesus

mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat

mendengar bunyi disebut schwabach memanjang (Soetirto,

2014: 18).

Tabel 2.1 Perbedaan Hasil Tes Penala

(Dikutip dari Soetirto, 2014: 18 )

Diagnosis telinga
Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach
yang diperiksa
Tidak ada Sama dengan
Positif Normal
lateralisasi pemeriksa
Lateralisasi ke
Negatif telinga yang Memanjang Tuli konduktif
sakit
Lateralisasi ke
Tuli
Positif telinga yang Memendek
Sensorineural
sehat
27

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Audiogram: Untuk pemeriksaan dilakukan secara kuantitatif

dengan menggunakan audiometer nada murni. Pada pemeriksaan

ini dipakai grafik air conduction (AC) yaitu dibuat dengan garis

lurus penuh (intensitas diperiksa antara 125 – 8000 Hz) dan grafik

BC yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang

diperiksa : 250 – 4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru,

sedangkan untuk telinga kanan, warna merah. Derajat ketulian

dapat dihitung dengan ambang dengar hantaran udara (AC) atau

hantaran tulang (BC) (Soetirto, 2014: 19-21).

Gambar 2.7 Audiograf Tuli Konduktif Telinga Kanan

(Dikutip dari Soetirto, 2014: 21)

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa dan

pemeriksaan otoskopi (L.O, 2016: 43). Dari hasil anamnesa dan


28

pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien, maka pasien dapat

di diagnosis mengalami tuli konduktif yang diakibatkan oleh

gangguan telinga luar dan telinga tengah lebih khusus pada kasus

ini perforasi membran timpani (Soetirto, 2014: 14).

b. Pemeriksaan Laboratorium: Dilakukan kultur bakteri untuk

mengindetifikasi kuman penyebab infeksi dan tes sensitifitas

antibiotik yang sesuai untuk dapat diberikan pada pasien (L.O

2016: 43).

2.5 Diagnosis Banding

Terdapat beberapa diagnosis banding dari perforasi membran timpani

diantaranya adalah:

a. Perikondritis: Radang pada tulang rawan daun telinga, biasanya terjadi

akibat trauma akibat kecelakaan (Hafil, 2014: 51).

b. Serumen: Gumpalan serumen yang menumpuk di liang telinga akan

menimbulkan gangguan pendengaran berupa tuli konduktif (Hafil, 2014:

52).

2.6 Terapi

Hasil akhir dari penatalaksanaan perforasi membran timpani bervariasi

sesuai dengan ukuran, lokasi yang terkena pada permukaan membran timpani

dan kaitannya dengan keadaan patologi (L.O, 2016: 42). Kebanyakan kasus

perforasi akut akibat infeksi akan sembuh secara spontan dengan kultur

bakteri dan pemberian antibiotik yang sesuai (Patel, 2011: 37). Hasil-hasil
29

penelitian menyatakan 90% perforasi akibat trauma dapat sembuh secara

spontan dalam jangka waktu 3 bulan dari kejadian trauma. Selain mendapat

pengobatan simtomatik pasien juga membutuhkan konseling dan bantuan

psikologi (Wani, 2016: 101).

2.6.1 Farmakoterapi

Tujuan utama dari farmakoterapi untuk perforasi membran timpani

adalah mencegah infeksi dan mendapatkan kesembuhan membran

timpani yang baik. Menjaga telinga yang bermasalah tetap kering

adalah kunci utama dari pengobatan (L.O, 2016: 43). Dan dibantu

dengan pemberian antibiotik misalnya amoksisilin kapsul atau tablet

dengan dosis 3 kali 250-500 mg sehari untuk dosis dewasa dan sirup

dosis 3 kali 125 mg/ 5 mL sehari untuk dosis anak selama seminggu

(Istiantoro, 2009: 673), selain itu jika terdapat peradangan yang

bersamaan dengan terjadinya perforasi membran timpani dapat

diberikan kortikosteroid metil prednisolon untuk anti radang dan vit B

kompleks untuk mempercepat penyembuhan perforasi (Suherman,

2009: 515) dan rajin melakukan kontrol dengan dokter spesialis THT-

KL sampai perforasinya tertutup, biasa hanya membutuhkan waktu

beberapa minggu saja untuk sembuh (Patel, 2011: 38). Pada keadaan

tertentu perforasi akut tidak dapat sembuh dan berujung menjadi

perforasi kronik.

.
30

2.6.2 Non Farmakoterapi

Tindakan non farmakologi pada perforasi membran timpani adalah

tindakan bedah, yang dapat dilakukan jika perforasi membran timpani

persisten lebih dari tiga bulan. Jika pasien asimtomatik dengan telinga

kering, safe perforations maka dibiarkan saja, tetapi jika pasien

simtomatik dan unsafe perforations ditangani dengan tindakan bedah.

Pasien selalu mengeluhkan gangguan pada telinga dan kehilangan

pendengaran. Pada kasus ini dilakukan tindakan timpanoplasti

(perbaikan membran timpani dan tulang pendengaran). Unsafe

perforations umumnya dilakukan tindakan pembedahan untuk

mencegah atau mengatasi cholesteatoma. Pada dasarnya dua tindakan

yang dilakukan adalah tindakan konservatif (pemasangan canal wal

mastoidectomy atau atticotomy) (Patel, 2011: 38).

Tujuan utama tindakan pembedahan adalah untuk menghilangkan

penyebab penyakit dan mendapatkan kesembuhan dari telinga yang

bermasalah sehingga kembali fungsi pendegaran (Patel, 2011: 38).

Beberapa tindakan pembedahan untuk menangani perforasi membran

timpani:

a. Miringoplasti (Timpanoplasti I) adalah suatu tindakan penutupan

perforasi pada membran timpani dengan menggunakan graft tanpa

melakukan pembedahan pada liang telinga dan telinga tengah

(Munilson, 2012).

b. Timpanomastoidektomi (Timpanoplasti tipe II, III, Osikuloplasti,

Mastoidektomi sederhana, Atikotomi) adalah operasi pada penyakit


31

kronik mukosa telinga tengah yang bertujuan membersihkan jaringan

patologi, memperbaiki drainase dan ventilasi telinga tengah,

menutup perforasi membran timpani sehingga tercapai telinga

kering, mencegah komplikasi, serta memperbaiki fungsi

pendengaran (bila memungkinkan) (Helmi, 2015: 34).

c. Canal Wall Down Timpanoplasty/Mastoidectomy adalah operasi

pada penyakit/infeksi kronik mukosa telinga tengah disertai

kolesteatoma yang bertujuan membersihkan jaringan patologi,

mempertahankan mukosa telinga tengah dan fungsi tuba eustachius,

menjadikan rongga mastoid, kavum timpani dan liang telinga

menjadi satu rongga dengan meruntuhkan dinding posterior liang

telinga, dengan usaha menutup perforasi membran timpani sehingga

tercapai telinga kering, mencegah komplikasi, serta memperbaiki

fungsi pendengaran bila memungkinkan (Helmi, 2015: 46).

2.7 Komplikasi

Perforasi kecil membran timpai tanpa kelainan lain di telinga tengah akan

menyebabkan dua efek berbeda pada pendengaran. Pertama adalah

pengurangan luas membran timpani yang merupakan pusat pengerahan

tenaga ke telinga tengah sehingga mengurangi gerakan tulang pendegaran.

Untuk perforasi sebesar satu milimeter, gangguan hanya terbatas, yaitu pada

nada di bawah 400 Hz sebesar 12 dB untuk nada 100 dan 200, 29 dB untuk

nada 50 Hz dan 48 dB untuk nada 10 Hz. Makin besar perforasi makin

berkurang permukaan membran sebagai pengumpul tenaga suara, akhirnya


32

suara hanya ditampung di kuadran posterior sisa membran timpani tempat

osikel atau sisa osikel berada.

Efek kedua adalah akibat energi suara yang langsung ke tingkap bulat

tanpa dihambat oleh membran timpani. Efek itu akan semakin besar

sebanding dengan besar perforasi. Selanjutnya, semakin kecil sisa membran

timpani akan semakin kecil efek hidraulik yaitu kopling osikuler sehingga

yang tersisa hanya kopling akustik, akibatnya tenaga suara mencapai ke dua

jendela dengan tenaga dan saat yang hampir sama. Hal terakhir akan

menyebabkan air bone gap (ABG) sebesar maksimal 42 dB. Secara umum

semakin besar perforasi maka semakin besar gangguan pendengaran yang

akan terjadi, akan tetapi hubungan ini secara klinis tidak konsisten (Helmi,

2005: 48).

Gambar 2.8. Penerusan energi suara melalui suara Kopling Osikuler dan
Kopling Akustik pada telinga dengan perforasi membran
timpani (a) perforasi kecil (b) perforasi besar
(Dikutip dari Helmi, 2005: 48)

2.8 Rehabilitasi

Rehabilitasi sebagai upaya mengembalikan fungsi pendengaran pada

perforasi membran timpani yang disebabkan oleh infeksi berulang dilakukan

dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Adakalanya pemasangan


33

alat bantu dengar perlu dikombinasikan dengan latihan membaca ujaran

(speech reading) dan latihan mendengar (audiotory training); prosedur

pelatihan tersebut dilakukan bersama ahli terapi wicara (speech therapist)

(Suwento, 2014: 38).

2.9 Prognosis

Telah terbukti perforasi membran timpani akibat trauma memiliki

prognosis baik yaitu sembuh secara spontan dengan fungsi membran timpani

yang kembali normal (Westphal, 2013: 122). Dua faktor utama yang menjadi

predisposisi gagalnya perforasi membran timpani untuk sembuh adalah area

dan ukuran untuk penyembuhan, kehilangan jaringan, dan infeksi sekunder

(Wani, 2016: 103).

2.10 Edukasi

Semua pasien dengan perforasi membran timpani karena infeksi, tetap

mengkonsumsi obat antibiotiknya dan melakukan follow up setiap dua

minggu selama tiga bulan. Setiap pasien melakukakan follow up membran

timpani dengan cara di evaluasi terus-menerus dan audiometri nada murni

terus dilakukan untuk mengevaluasi fungsi pendengaran pasien. Selain itu

penting untuk menjaga telinga yang terganggu dengan menghindari air masuk

ke dalam telinga (Al-Juboori, 2014: 1).

Penting mengedukasi pasien untuk lebih hati-hati pada saat pengeluaran

benda asing dari telinga (Sarojamma, 2014: 1). Gangguan pendegaran

merupakan masalah utama pada populasi kita dan etiologi yang paling sering
34

dari perforasi membran timpani adalah trauma dan infeksi. Ini adalah

waktunya untuk mengedukasikan orang-orang akan konsekuensi lanjut yang

parah dari perforasi membran timpani (Rafique, 2014: 35).


BAB III

PENUTUP

2.11Kesimpulan

1. Perforasi membran timpani merupakan keadaan klinis terdapatnya

sobekan atau lubang pada membran timpani.

2. Insidensi pertahun dari perforasi membran timpani yaitu 6,80 per 1.000

orang.

3. Perforasi membran timpani disebabkan oleh infeksi (bakteri

streptoccocus haemolitikus, virus, gangguan fungsi tuba eustachius),

trauma (kekerasan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan domestik,

kecelakaan industri, olahraga) dan Iatrogenik (prosedur miringotomi,

pemindahan serumen atau benda asing menggunakan cotton buds dan

terapi oksigen hiperbarik).

4. Diagnosis perforasi membran timpani dapat ditegakkan berdasarkan hasil

anamnesa, pemeriksaan otoskopi dan tes pendengaran. Pasien biasanya

datang dengan keluhan seperti otore, tinitus, otalgia, penurunan fungsi

pendengaran pada telinga yang terganggu, vertigo, aural fullnes dan pada

pemeriksaan otoskopi terlihat membran timpani yang telah sobek. Selain

itu pada hasil pemeriksaan tes pendengaran (tes penala dan audiometer)

didapati gangguan pendengaran berupa tuli konduktif atau tuli

sensorineural.

5. Diagnosis banding perforasi membran timpani adalah perikondritis dan

serumen

35
36

6. Terapi perforasi membran timpani terdiri dari farmakoterapi, yaitu

pemberian antibiotik spesifik sesuai dengan bakteri penyebab infeksi

misalnya amoksisilin 3 kali sehari selama seminggu dan non

farmakoterapi, yaitu teknik pembedahan Miringoplasti,

Timpanomastoidektomi, Canal Wall Down Timpanoplasty /

Mastoidectomy.

7. Komplikasi perforasi membran timpani akan menyebabkan dua efek

berbeda pada pendengaran. Efek pertama adalah pengurangan luas

membran timpani yang merupakan pusat pengerahan tenaga ke telinga

tengah sehingga mengurangi gerakan tulang pendegaran, Efek kedua

adalah energi suara yang langsung ke tingkap bulat tanpa dihambat oleh

membran timpani sehingga terjadi air bone gap sebesar 42 dB. Semakin

besar perforasi yang terjadi maka semakin besar gangguan pendengaran

yang akan terjadi.

8. Rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi pendengaran pada perforasi

membran timpani yang disebabkan oleh infeksi berulang dilakukan

dengan pemasangan alat bantu dengar dan perlu dikombinasikan dengan

latihan membaca ujaran dan latihan mendengar bersama ahli terapi

wicara.

9. Prognosis perforasi membran timpani akibat trauma memiliki prognosis

baik yaitu 90% sembuh secara spontan dengan fungsi membran timpani

yang kembali normal.

10. Edukasi pada pasien perforasi membran timpani yaitu dengan tetap

mengkonsumsi obat antibiotik dan tetap menjaga telinga yang terganggu


37

dengan menghindari air masuk ke dalam telinga agar keadaan telinga

tetap kering dan lebih berhati-hati pada saat pengeluaran benda asing dari

telinga.

2.12Saran

1. Lembaga pendidikan, untuk menyediakan dan menambah referensi tentang

Perforasi Membran Timpani agar dapat menunjang pembelajaran.

2. Peneliti atau penulis berikutnya, agar dapat mencari/ mengumpulkan data

dan informasi yang lebih lengkap serta akurat tentang Perforasi Membran

Timpani.

3. Pembaca, agar mengetahui faktor resiko penyebab Perforasi Membran

Timpani dan mengenali gejala awal dari agar dapat segera mencari

pertolongan medis untuk penanganan.


38

DAFTAR PUSTAKA

Bickley, Lynn S & Szilagyi Peter G. 2013. Bates Buku Ajar Pemeriksaan, Fisik &
Riwayat Kesehatan. Edisi 8. EGC, Jakarta: 198,201.

Dhingra, PL. Dhingra, Shruti. Dhingra, Deeksha. 2014. Diseases of Ear, Nose and
Throat & Head and Neck Surgery. Edisi 6. Elsevier, India: 3.

Djaafar, Z.A. Helmi. Restuti, R.D. 2014. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Badan Penerbit FK UI, Jakarta:
59,60-63,67.

Hafil, Alfian F. Sosialisman. Helmi. 2014. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Badan Penerbit FK UI, Jakarta:
51-52-54.

Helmi. Djaafar, Zainul A. Sosialisman. Soekin, Soekirman. Priyono, Harim.


Restuti, Ratna Dwi. et al. 2015. Panduan Praktik Klinis Panduan Praktik
Klinis Tindakan Clinical Pathway. Pengurus Pusat PERHATI-KL: 34,46.

Helmi. 2005. Otitis Media Supuratif Kronik Pengetahuan Dasar Terapi Medik
Mastoidektomi Timpanoplasti. Badan Penerbit FK UI, Jakarta: 48.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pendengaran Sehat Untuk


Hidup Bahagia. Diakses pada tanggal 22 Juni 2016 dari
http://www.depkes.go.id/article/print/2245/pendegaran-sehat-untuk-hidup-
bahagia.html

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Telinga Sehat Pendengaran


Baik. Diakses pada tanggal 22 Juni 2016 dari
http://www.depkes.go.id/article/print/840/telinga-sehat-pendengaran-
baik.html

L.O, Onotai & E.N Oghenekaro. 2016. Traumatic Tympanic Membrane


Perforations: Management Outcomes In A Resource Poor Country. Vol 7.
Journal of Medicine and Medical Sciences, Port Harcourt: 42-43.
39

Lou, Z.C. Lou, Z.H. Zhang, Q.P. 2012. Traumatic Tympanic Membrane
Perforations: A Study Of Etiology And Factors Affecting Outcome. American
Journal of Otolaryngology: 549.

Munilson, Jacky. Edward, Yan. Triana, Wahyu. 2012. Amnion Patch


Miringoplasti pada Ruptur Membran Timpani. Departemen THT-KL
Universitas Andalas RSUP. Dr. M. Djamil Padang, Padang: 1.

Nasrat, Ahmad A.J. 2014. Evaluation Of Spontaneous Healing Of Traumatic


Tympanic Membrane Perforation. Vol 2. Issue 1. Gen Med, Los Angel: 1.

Patel, Nirmal. 2011. Therapy Update Tympanic Membrane Perforations. The


Nielsen 2010 Australian Online Consumer Report, Australia: 37-38.

Priyono, Harim. Widiarni, Dini. Yanti, Afrina. 2012. Miringoplasti Tandur Lemak
Autologus: Alternatif Pilihan Miringoplasti Di Poliklinik. Departemen THT-
KL FK UI RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta: 4-5.

Rafique, Muhammad. Farrukh, Muhammed Shujah. Shaikh, Arsalan Ahmed.


2014. Assessment of Hearing Loss in Tympanic Membrane Perforation at
Tertiary Care Hospital. Vol 13. Issue 1. Liaquat University of Medical and
Health Sciences, Pakistan: 32,35.

Saliba, Issam. Abela, Anthony. Arcand, Pierre. 2011. Tympanic Membrane


Perforation: Size, Site And Hearing Evaluation. International Journal of
Pediatric Otorhinolaryngology: 527.

Sarojamma. Raj, Saurabh. Satish, H.S. 2014. A Clinical Study Of Traumatic


Perforation Of Tympanic Membrane.Vol 13. Issue 4. Ver 2. IOSR Journal of
Dental and Medical Sciences: 1.

Rasmin, M. Soebono, Hardyanto. Sukarya, Wawang S. Yuniadi, Yoga. Soemitro,


Daryo. Idris, Fachmi. et al. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
Konsil Kedokteran Indonesia.

Soetirto, Indro. Hendarmin, Hendarto. Bashiruddin, Jenny. 2014. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Badan
Penerbit FK UI, Jakarta: 10-14,17-19,21.
40

Suwento, Ronny & Hendarmin, Hendarto. 2014. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Badan Penerbit FK UI,
Jakarta: 38.

Wani, Asef. Rehman, Ayaz. Lateef, Saud. Malik, Reyaz. Ahmed, Asif. Ahmad,
Waseem. et al. 2016. Traumatic Tympanic Membrane Perforation: An
Overview. Vol 22. Issue 2. Indian Journal of Otology, India: 101,103.

Suherman, Suharti K & Ascobat, Purwantyastuti. 2009. Farmakologi dan Terapi.


Edisi 5. Badan Penerbit FK UI, Jakarta: 515.

Westphal, Luiz F. de Sousa, Renato Telles. de Lima, Luiz Carlos Nadaf. de Lima,
Luis Carlos. da Silva, Márcia dos Santos. 2013. Tympanic Membrane
Perforation Caused By Traumatic Asphyxia.Brazilian Journal of
Otorhinolaryngology: 122.

Istiantoro, Yati H & Gan, Vincent H.S. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
Badan Penerbit FK UI, Jakarta: 673.

Anda mungkin juga menyukai