Anda di halaman 1dari 90

PERILAKU DOKTER GIGI DALAM TINDAKAN

PENCABUTAN GIGI PADA PASIEN PENYAKIT


GINJAL KRONIS DI KECAMATAN MEDAN PETISAH
PERIODE DESEMBER 2016 - JANUARI 2017

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

OLEH:
REEVANASH PORAVI
130600161

PEMBIMBING:

ABDULLAH, drg

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
MEDAN 2017

Universitas Sumatera Utara


Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial

Tahun 2017

Reevanash Poravi

Perilaku dokter gigi dalam Tindakan Pencabutan Gigi pada pasien Penyakit
Ginjal Kronis di Kecamatan Medan Petisah Periode Desember 2016 - Januari 2017.

xii + 64 halaman

Penyakit ginjal kronis merupakan salah satu penyakit kompromis medis yang
akan mempengaruhi prosedur pencabutan gigi karena merupakan penyakit yang
melibatkan kerusakan kedua-dua buah ginjal manusia. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran perilaku dokter gigi dalam tindakan pencabutan gigi pada
pasien penyakit ginjal kronis di Kecamatan Medan Petisah. Jenis penelitian ini adalah
survei deskriptif dengan populasi seluruh dokter gigi yang berpraktek di praktek
dokter gigi, puskesmas maupun rumah sakit di Kecamatan Medan Petisah, yaitu
sebanyak 86 orang. Penentuan sampel penelitian menggunakan teknik purposive
sampling, dimana sampel yang dipilih dari populasi harus termasuk dalam kriteria
inklusi dan terbebas dari kriteria eksklusi. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak
100% dokter gigi mempunyai perilaku yang baik dalam melakukan pencabutan gigi
pada pasien penyakit ginjal kronis. Pada masa yang sama, perilaku dokter gigi
termasuk kategori cukup sebesar 42,86% dalam meresepkan obat penisilin,
klindamisin dan sefalosporin dan sebanyak 48,57% dalam melakukan modifikasi
dosis anestesi lokal bagi pasien penyakit ginjal kronis. Perilaku dokter gigi dalam
tindakan pencabutan gigi pada pasien penyakit ginjal kronis di Medan Petisah sudah
tergolong baik meskipun ada beberapa perilaku yang harus ditingkatkan agar
mendapatkan hasil yang lebih baik.

Universitas Sumatera Utara


Kata kunci : Perilaku, dokter gigi, pasien penyakit ginjal kronis, pencabutan gigi

Daftar rujukan : 31 (2005-2016)

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan


dihadapan tim penguji skripsi

Medan, 21 Februari 2017

Pembimbing : Tanda Tangan

Abdullah, drg ………………………….

Universitas Sumatera Utara


TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji


pada tanggal 21 Februari 2017

TIM PENGUJI

KETUA : Hendry Rusdy, drg., Sp.BM, M.Kes.

ANGGOTA : 1. Abdullah Oes, drg


2. Indra Basar Siregar, drg., M.Kes
3. Ahyar Riza,drg., Sp.BM

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya, sehingga proposal ini selesai disusun dalam rangka
memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Dengan hati yang tulus, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak
terhingga kepada dosen pembimbing skripsi yaitu Abdullah Oes, drg, yang telah
meluangkan waktu dan kesabaran dalam membimbing penulis demi selesainya
proposal ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada wali penulis, Poravi
SPS Pillay dan Manokari Sokkalinggam yang telah memberikan kasih sayang, doa
dan dukungan serta segala bantuan baik moral maupun materil yang tidak terbatas
kepada penulis. Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Trelia Boel, drg., M.Kes., Sp RKG (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara.
2. Eddy A Ketaren., Sp. BM selaku Ketua Departemen Bedah Mulut dan
Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, atas segala
saran dan bantuan.
3. Abdullah Oes, drg., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya
untuk memberikan pengarahan, bimbingan, penjelasan dan motivasi tanpa jemu
selama proses penyusunan proposal sampai selesai.
4. Seluruh staf pengajar dan laboran Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
saran dalam menyelesaikan proposal ini.
5. Siti Salmiah, drg., Sp.KGA, selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis selama menjalankan akademik.
6. Teman- teman terbaikku Larissa Rosafina, Harjit Kaur dan senior-senior
Gunavathie dan Najeeha yang telah banyak memberi dukungan, bimbingan dan
saran kepada penulis dalam menyelesaikan proposal ini.

Universitas Sumatera Utara


7. Teman seperjuangan skripsi di Departemen Bedah Mulut dan teman- teman lain
serta seluruh teman mahasiswa setambuk 2013 atas dukungan, saran dan
bantuannya kepada penulis.
Akhirnya, penulis mengharapkan semoga proposal ini dapat digunakan dan
memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara.

Medan, 17 Januari 2017

Penulis,

(Reevanash Poravi)
NIM: 130600161

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………………………………………………………...
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………....
HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI………………………………………
KATA PENGANTAR……………………………………………………….. iv
DAFTAR ISI…………………………………………………………………. vi
DAFTAR TABEL……………………………………………………………. viii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… ix
DAFTAR GRAFIK………………………………………………………….. x
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….…… xi

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang…………………………….…………………… 1
1.2. Rumusan Masalah……………………………….……………... 4
1.3. Tujuan Penelitian……………………………………….……… 4
1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Perilaku……………….…………….…………………….……. 6
2.1.1 Teori Tindakan Beralasan…………………………………….. 7
2.1.2 Teori Perilaku Terencana…………………………………….. 7
2.2. Pencabutan Gigi……….............................................................. 8
2.3. Ginjal……………………..…..………………………………... 10
2.4. Penyakit Ginjal Kronis……………………………………….... 14
2.4.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis…………………………..... 14
2.4.2 Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis…………………............. 16
2.4.3 Etiologi Penyakit Ginjal Kronis………………………............. 17
2.4.4 Gambaran Klinis pada Penyakit Ginjal Kronis……………….. 17

Universitas Sumatera Utara


2.4.5 Gambaran Laboratorium pada Penyakit Ginjal Kronis.............. 18
2.4.6 Gambaran Radiografi pada Penyakit Ginjal Kronis………...... 20
2.4.7 Perawatan pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis…………......... 22
2.4.8 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronis terhadap Penyakit
Sistemik Lain……………………………………………......... 25
2.4.9 Manifestasi Oral pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis............... 27
2.5. Tindakan Pencabutan Gigi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis. 30
2.6. Kerangka Teori………………………………………………… 37
2.7. Kerangka Konsep……………………………………………… 38

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN


3.1. Rancangan Penelitian………………………………………….. 39
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian………….……………….………. 39
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian………………….…………….. 39
3.4. Identifikasi Variabel Penelitian...…….…………….………….. 40
3.5. Definisi Operasional……...………………..…………………… 41
3.6. Metode Pengumpulan Data......……………………….……….. 42
3.7. Pengolahan dan Analisis Data…………………………...……. 42
3.8. Aspek Pengukuran……………………………………………... 43

BAB 4 HASIL PENELITIAN


4.1. Gambaran Responden…………………………………………... 45
4.2. Perilaku Responden dalam Pencabutan Gigi pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronis………………………………………….. 45

BAB 5 PEMBAHASAN…………………………………………………….. 53

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………….. 60

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 62

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan Laju Filtrasi


Glomerulus (LFG)……………………………………………………..... 15
2. Klasifikasi RIFLE (Risk-Injury-Failure-Loss-ESRD)…………………... 16
3. Nilai laboratorium untuk pemeriksaan fungsi ginjal……………………. 19
4. Variabel dan Definisi Operasional……………………………………..... 41
5. Kategori Skor Perilaku…………………………………………………... 44
6. Kriteria dan Jumlah Responden Dokter Gigi……………………………. 45
7. Distribusi Frekuensi Perilaku Responden dalam Pencabutan Gigi pada
Pasien Penyakit Ginjal Kronis (n=70)………………………………….... 49
8. Distribusi Frekuensi Skor Total Responden dalam Pencabutan Gigi pada
Pasien Penyakit Ginjal Kronis…………………………………………… 51

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Teori Tindakan Beralasan………………..…………………………….. 7


2. Teori Perilaku Terencana…………………….………………………… 8
3. Sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA)………………………..... 13
4. Radiografi Panoramik yang menunjukkan kehilangan tulang alveolar,
kalkulus interproksimal dan abses periapikal………………..……….… 21
5. Radiografi Panoramik setelah 5 bulan dilakukan ekstraksi penuh,
menunjukkan berkurangnya malformasi tulang.……………….………. 21

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

1. Frekuensi Responden dengan Skor Total Responden…………………. 52


2. Kategori Perilaku Responden tentang Pencabutan Gigi pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronis…………………………………………………. 52

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Daftar Riwayat Hidup Peneliti


2. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian
3. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
4. Kuesioner Perilaku Dokter Gigi dalam Tindakan Pencabutan Gigi pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronis di Kecamatan Medan Petisah
5. Anggaran Biaya
6. Jadwal Kegiatan
7. Ethical Clearance

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Prosedur bedah mulut merupakan prosedur yang banyak memiliki kesulitan,
terlebih lagi apabila menghadapi banyak pasien yang memerlukan perawatan,
khususnya orang tua yang menderita dengan berbagai kondisi kompromis medis.
Dengan makin banyaknya pasien yang datang untuk perawatan bedah mulut, maka
kelompok tersebut membutuhkan pemeriksaan khusus untuk mengetahui kondisi
sistemiknya. Kondisi-kondisi kompromis medis yang dimaksudkan antara lain adalah
penyakit kardiovaskular, neurologik, gastrointestinal, sistem saluran kemih, saluran
pernapasan, kelainan endokrin dan kelainan tulang. Makanya, dokter gigi harus
mengetahui dan membiasakan diri dengan berbagai kondisi medis dan mampu
melakukan pilihan dalam perawatan yang diberikan kepada kelompok ini. 1
Saat tindakan bedah mulut seperti pencabutan gigi telah ditentukan, maka
keputusan tersebut diambil berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan. Namun begitu,
amat penting untuk memastikan kondisi pasien tersebut diutamakan menurut tingkat
kesehatan pasien secara umum. Hal ini dapat menentukan perawatan yang relevan
dan sesuai dengan kebutuhan pasien. Bagi pasien kompromis medis, hasil perawatan
harus dipertimbangkan berdasarkan resiko atau akibat daripada tindakan bedah yang
ingin dilakukan. Sekiranya diabaikan, maka bisa membahayakan kesehatan pasien
dan mempengaruhi perawatannya. Oleh karena itu, suatu rencana perawatan yang
dilakukan secara rutin di praktek pada pasien dengan kompromis medis harus
dimodifikasi khususnya saat merawat pasien yang tua. Salah satu cara mendiagnosa
kondisi pasien adalah mendapatkan riwayat medis yang bisa menunjukkan
kemungkinan pasien sedang atau pernah menderita penyakit yang signifikan.2

Universitas Sumatera Utara


Pasien kemungkinan juga bisa menderita suatu penyakit sistemik yang tidak
disadari oleh dirinya sendiri dan hal ini merupakan tanggungjawab dokter gigi untuk
memperhitungkan kondisi pasien melalui pemeriksaan anamnesis. Misalnya, seorang
pasien pria yang kelebihan berat badan, berusia 30 tahun yang mengkonsumsi alkohol
harus dianggap mempunyai resiko menderita kelainan hati. Selain itu, rehabilitasi
pasien setelah tindakan bedah mulut juga harus diperhitungkan. Periode
penyembuhan akan membutuhkan penyesuaian berdasarkan kegiatan harian dan diet,
serta dukungan dari teman-teman dan keluarga. Faktor tambahan lain yang juga harus
diperhitungkan adalah akibat dari penyakit yang dideritanya, termasuk obat-obatan
yang dikonsumsi pada proses penyembuhan dan preskripsi obat baru untuk
membantu pemulihan setelah perawatan gigi.2
Identifikasi pasien yang memerlukan perawatan tambahan didasarkan pada
riwayat medis pasien dan hasil evaluasi klinik. Hasil skrining tersebut kemudian akan
menentukan apakah akan dilakukan perawatan tanpa modifikasi, perawatan dengan
pendekatan tambahan, maupun menunda perawatan hingga dilakukan konsultasi atau
merujuk.2
Penyakit gagal ginjal kronis merupakan salah satu penyakit kompromis medis
yang bisa mempengaruhi tindakan pencabutan gigi karena merupakan penyakit
kompleks dari kelainan saluran kemih. Penyakit ginjal kronis (PGK) adalah adanya
kerusakan struktural atau fungsional ginjal dan/atau penurunan laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60mL/menit/ 1,73 m2 yang berlangsung lebih daripada 3
bulan.1 Penyakit ini tidak hanya akan menyebabkan gagal ginjal, tetapi juga
menyebabkan komplikasi kardiovaskular, keracunan obat, infeksi, gangguan kognitif
dan gangguan metabolik dan endokrin seperti anemia, osteitis fibrosa cysta dan
osteomalasia. Selain itu, pada pasien penyakit ginjal kronis juga bisa timbulnya
beberapa kelainan rongga mulut sebagai manifestasi daripada penyakit tersebut.
Contohnya, stomatitis uremik, xerostomia, perubahan pengecapan, petechia mukosa
dan ekimosis, osteodistropi renal, kandidiasis, penyakit periodontal dan kanker
rongga mulut. Pada sisi lainnya, berdasarkan penelitian oleh Kho et al, pada tahun

Universitas Sumatera Utara


1999, kerusakan ginjal bisa menyebabkan penderita mempunyai keluhan rasa tidak
nyaman dan mempunyai bau ammonia dari rongga mulut.3
Lebih daripada 26 juta orang (hampir 11% daripada populasi orang dewasa)
di Amerika Serikat menderita penyakit ginjal kronis. Tahapan awal penyakit ginjal
kronis (tahap 1 sehingga 3) sering bersifat asimptomatik dan mencakup 96,5%
daripada kasus penyakit ginjal kronis. Selain itu, pada setiap tahun, lebih daripada
100,000 kasus penyakit ginjal kronis baru didiagnosa dan lebih daripada 526,000
orang menderita penyakit ginjal kronis tahap akhir (end-stage renal disease). Tingkat
prevalensi penyakit ginjal kronis semakin meningkat setiap tahun sebanyak 4%, dan
lebih cepat pada pasien yang berumur diatas 65 tahun, penderita diabetes dan
hipertensi. 1
Penyakit ginjal kronis (PGK) lebih sering dijumpai pada pria dibanding
wanita, khususnya pada pria Afro-Amerika, Amerika Asli, dan Amerika Asia yang
berumur di antara 45 dan 64 tahun. Hampir 86,000 rakyat Amerika meninggal setiap
tahun diakibatkan oleh kegagalan ginjal dimana penyakit ini berhubungan dengan
penyakit kardiovaskular sebagai pencetus utama. 1
Di Amerika Serikat, setiap praktek dental yang merawat 2000 orang dewasa,
sebanyak 220 pasien dari jumlah tersebut mempunyai gejala fisiologis penyakit ginjal
kronis. Penyakit ginjal kronis juga sering berhubungan dengan penyakit
kardiovaskular, diabetes dan penuaan. Misalnya, setelah dilakukan pemeriksaan
laboratorium pada pasien penyakit ginjal kronis tahap 3 atau lebih, ternyata 14%
pasiennya menderita hipertensi tanpa diabetes, 20% menderita diabetes dan 25%
merupakan pasien yang berusia lebih dari 70 tahun. 1
Di Indonesia, belum ada data yang lengkap mengenai penyakit ginjal kronik.
Diperkirakan insiden penyakit ginjal kronik tahap akhir di Indonesia adalah sekitar
30,7 kasus per juta populasi dan prevalensi sekitar 23,4 per juta populasi. Pada tahun
2006, terdapat sekitar 10,000 orang yang menjalani terapi hemodialisa. Berdasarkan
studi yang dilakukan di RSUP Dr.Mohammad Hoesin Palembang tahun 2012,
prevalensi penderita penyakit ginjal kronis adalah sebanyak 61%. Dari 61% tersebut,

Universitas Sumatera Utara


13,4% merupakan penderita penyakit ginjal kronis pada stadium 3 dan 6,3% berada
pada stadium 4 serta 41,3% pada stadium 5.4
Pertambahan jumlah penderita penyakit ginjal kronis pada orang dewasa di
Amerika memiliki arti bahwa jumlah pasien dengan masalah dental yang serius akan
terus bertambah. Sebagai hasilnya, dokter dan dokter gigi harus berkolaborasi dalam
melakukan perawatan pada pasien penyakit ginjal kronis dan dokter gigi harus
diberitahukan setiap perubahan yang terjadi selama perawatan dilakukan. Maka dari
itu, dokter gigi harus menerapkan perilaku yang baik dan benar dalam menangani
pasien penderita penyakit ginjal kronis. Selain itu, belum ada penelitian sebelumnya
tentang perilaku dokter gigi dalam tindakan pencabutan gigi pada pasien penyakit
ginjal kronis di Indonesia. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian ini di Medan, khususnya di praktek dokter gigi di Kecamatan Medan
Petisah.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana perilaku dokter gigi yang sesuai dengan tindakan pencabutan gigi
terhadap penderita penyakit ginjal kronis di Kecamatan Medan Petisah periode
Desember 2016 -Januari 2017.

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku dokter gigi dalam tindakan
pencabutan gigi terhadap pasien penyakit ginjal kronis di Kecamatan Medan Petisah.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan diketahuinya perilaku dokter gigi mengenai tindakan pencabutan gigi

terhadap penderita penyakit ginjal kronis di Kecamatan Medan Petisah, maka


diharapkan dapat menjadi:

1. Sebagai bahan masukan mengenai jumlah dokter gigi yang berpraktek di


Kecamatan Medan Petisah.

Universitas Sumatera Utara


2. Untuk menambah informasi bagi dokter gigi dalam melakukan tindakan
pencabutan gigi pada penderita penyakit ginjal kronis sehingga dokter gigi
dapat lebih waspada dalam melakukan prosedur pencabutan gigi pada pasien
kompromis medis.
3. Untuk meminimalkan resiko terjadinya komplikasi sistemik yang mungkin
timbul setelah pencabutan gigi pada pasien penyakit ginjal kronis.
4. Menjadi pengalaman untuk peneliti dalam melakukan penelitian.

Universitas Sumatera Utara


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku
Pada tahun 1951, Nikolaas (Niko) Tinbergen, seorang etologis pernah
mengajukan pertanyaan tentang bagaimana hewan bisa berkelakuan seperti diri
hewan itu sendiri. Beliau kemudian menjawab pertanyaannya dengan mengajukan ide
bahwa perilaku atau behavior bisa dijelaskan berdasarkan 4 tingkat analisis: 5
a) Penyebab (Causation), bagaimana suatu tingkah laku terbentuk? Apakah
stimulus internal atau kondisi internal dari hewan tersebut sehingga
merangsang respons perilaku dari dirinya?
b) Fungsi (Function), apakah fungsi daripada perilaku tersebut? Bagaimana
perilaku ini dapat mempengaruhi kehidupan dan reproduksi daripada individu
yang melakukan perilaku ini?
c) Perkembangan (Development), bagaimana perilaku tersebut bisa berubah saat
hewannya tumbuh dan berkembang?
d) Evolusi (Evolution), bagaimana perilaku tersebut bisa dibandingkan dengan
spesies hewan lain yang masih berhubungan dari segi evolusi?

Perilaku manusia lebih kompleks daripada hewan tetapi bisa dijelaskan dalam
arti yang lebih luas berdasarkan interaksi antara komponen psikologikal dan fisiologis
seperti sistem endokrin dan sistem persarafan. Sementara keberadaan hormon masih
dalam penelitiannya, terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa beberapa
sifat-sifat fisik dan perilaku merupakan hasil daripada ketidakseimbangan zat-zat
tertentu dalam tubuh kita.5 Pada tahun 2006, penelitian oleh Ossorio menjelaskan
bahwa perilaku merupakan suatu bentuk percobaan individu dalam merealisasikan
sesuatu yang diinginkannya, mungkin karena ingin membawa perubahan dari suatu
hal ke hal yang lainnya, atau dengan tujuan memelihara suatu keadaan tanpa
perubahan. Departemen Psikologi Universitas Negeri Illinois, Amerika Serikat telah
menyimpulkan bahwa perilaku manusia merupakan suatu fenomena empiris

Universitas Sumatera Utara


(berdasarkan pengalaman) yang bisa diukur melalui analisis parametrik dan bukannya
berdasarkan konsep psikologis dan definisi tradisional.6

2.1.1 Teori Tindakan Beralasan


Berdasarkan Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) yang
dikemukakan oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein, prestasi suatu perilaku ditentukan
berdasarkan niat seseorang individu untuk melakukan perilaku tersebut. Niat untuk
melakukan sesuatu perilaku, dilihat dari fungsi dua faktor, yaitu sikap individu
terhadap melakukan perilaku tersebut (perasaan negatif atau positif terhadap perilaku
tersebut) dan/atau norma subjektif individu terhadap perilaku tersebut (persepsi diri
bahwa orang lain ingin atau tidak menginginkan perilaku tersebut dilakukan oleh
dirinya). 7

Sikap terhadap
perilaku
Niat untuk
melakukan Perilaku
perilaku
Norma-noma
subjektif

Gambar 1: Teori Tindakan Beralasan7

2.1.2 Teori Perilaku Terencana


Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behaviour) dikemukakan oleh
Ajzen dan Madden yang berkembang dari Teori Tindakan Beralasan. Teori ini telah
menambahkan faktor ketiga yang mempengaruhi niat seseorang individu untuk
melakukan suatu perilaku yaitu persepsi terhadap pengawasan perilaku. Faktor ini
merupakan persepsi tingkat kesulitan suatu perilaku dimana, individu tersebut mampu
atau tidak mampu melaksanakan perilaku tersebut. Faktor ketiga ini, amat mirip
dengan konsep Bandura tentang self-efficacy. Teori ini membahaskan tentang
pentingnya persepsi terkontol dalam mempengaruhi perilaku seseorang.8

Universitas Sumatera Utara


Sikap terhadap
perilaku

Niat untuk
Norma-norma
melakukan Perilaku
subjektif
perilaku

Persepsi terhadap
pengawasan
perilaku

Gambar 2: Teori Perilaku Terencana (adaptasi oleh Munro et al) 8

Dari Gambar 2, tampak bahwa tiga komponen utama yang mempengaruhi niat
adalah sikap terhadap perilaku; evaluasi individu tentang positif/negatif dalam
melakukan perilaku tersebut, norma subjektif; persepsi individu terhadap tekanan
sosial untuk melakukan atau untuk tidak melakukan perilaku yang bersangkutan, dan
persepsi terhadap pengawasan perilaku; pandangan individu berdasarkan tingkat
suatu perilaku itu mampu dilakukan oleh dirinya. Komponen ketiga ini dikatakan
menggambarkan faktor eksternal (dukungan sosial dan waktu) dan faktor internal
(kompetensi, kemampuan diri) dari individu tersebut. Selain itu, faktor ini juga bisa
secara langsung mempengaruhi sama ada perilaku tertentu itu adalah di bawah
kontrol individu itu sendiri.8

2.2 Pencabutan Gigi


Menurut Jonathan Pedlar dan John Frame, pencabutan gigi merupakan suatu
prosedur bedah yang dapat dilakukan dengan tang, elevator, atau dengan pendekatan
transalveolar. Pencabutan gigi bersifat ireversibel dan terkadang menimbulkan
komplikasi.2 Tindakan pencabutan juga merupakan prosedur pembedahan yang sering
dilakukan di praktek dental dan bisa dikatakan sebagai salah satu prosedur paling
mudah dan paling menantang secara teknis. Tindakan ini merupakan prosedur yang
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap status kesehatan rongga mulut, seringnya
membutuhkan prosedur restoratif untuk menggantikan daerah gigi yang hilang. Selain

Universitas Sumatera Utara


itu, tindakan pencabutan gigi mempunyai impak psikologis terhadap pasien karena
akan kehilangan giginya dan berhubungan dengan prosedur pencabutan giginya.
Pencabutan gigi yang benar, mencakup prinsip-prinsip dasar dari ilmu fisika,
mekanik dan ilmu bedah, dan seorang klinisi harus mampu memahami dan
menguasai teknik mencabut gigi. Pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan yang
dilakukan dengan hati-hati sehingga gigi terangkat dan keluar dari soketnya tanpa
mengakibatkan trauma terhadap jaringan lunak dan keras sekeliling serta mencegah
terjadinya komplikasi pasca pencabutan. 9
Berdasarkan falsafah kedokteran gigi moderen, semua gigi harus dirawat dan
dipertahankan di dalam rongga mulut seberapa lama mungkin, dengan memenuhi
alasan estetis dan fungsional gigi geligi. Namun begitu, terdapat beberapa kondisi
yang tidak dapat dihindari dimana gigi tertentu terpaksa dicabut.9 Indikasi pencabutan
gigi adalah sebagai berikut10:

a) Gigi dengan karies yang luas sehingga tidak dapat direstorasi lagi. Kadang-
kadang giginya masih bisa direstorasi tetapi karena alasan kesulitan keuangan
bagi pasien maka tindakan pencabutan menjadi pilihan perawatan.
b) Gigi dengan nekrosis pulpa atau pulpitis ireversibel yang tidak dapat dirawat
secara endodontik.
c) Gigi yang mengalami penyakit periodontal yang luas. Penyakit periodontal
yang dialami oleh pasien begitu luas sehingga terjadinya kehilangan tulang
alveolar dan mobiliti gigi bersifat ireversibel.
d) Gigi yang harus dicabut karena alasan ortodontik. Pasien yang akan dilakukan
perawatan perbaikan ortodontik untuk gigi berjejal dengan kekurangan ruang
giginya, akan membutuhkan ruang melalui pencabutan gigi sebelahnya,
seringnya gigi premolar mandibula dan maksila.
e) Gigi malposisi. Gigi malposisi yang menyebabkan trauma pada jaringan lunak
dan tidak dapat dirawat secara ortodontik harus dicabut. Contohnya, gigi
molar tiga maksila, yang erupsi secara bukoversi dan mengakibatkan ulserasi
dan trauma pada jaringan lunak pipi.

Universitas Sumatera Utara


f) Gigi yang impaksi. Amat jelas bahwa gigi yang impaksi sebagian tidak
mampu erupsi ke arah oklusi fungsional karena tidak cukup ruang, berpotensi
menyebabkan resorbsi pada gigi bersebelahan atau karena alasan lainnya.
g) Gigi supernumerari. Gigi supernumerari seperti mesiodens dan laterodens
harus dicabut karena bisa mengganggu erupsi gigi permanennya dan
berpotensi mengakibatkan resorbsi pada gigi tersebut.
h) Gigi dengan lesi patologikal. Contohnya, gigi yang mengalami kista
odontogenik,
i) Gigi yang terlibat dalam fraktur rahang. Pasien yang mengalami fraktur
rahang mandibula atau prosesus alveolar terpaksa dicabut gigi sekiranya gigi
tersebut berada pada garis fraktur. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi
kemungkinan infeksi, penyembuhan yang tertunda atau tidak menyatunya
rahang.

Jika ada kondisi yang membutuhkan pencabutan gigi dilakukan, maka dalam
situasi tertentu, ada juga kondisi dimana gigi tidak harus dicabut karena faktor-
faktor tertentu. Secara umum, kontraindikasi pencabutan gigi bisa dibagikan
kepada dua kelompok yaitu: (1) sistemik dan (2) lokal. Kontraindikasi sistemik
termasuk penyakit sistemik yang dapat mengganggu hasil perawatan. Contohnya,
penyakit diabetes mellitus tidak terkontrol dan leukemia. Wanita hamil dan pasien
yang sedang mengkonsumsi obat-obatan sistemik juga tidak harus dicabut
giginya. Bagi kontraindikasi lokal, tindakan pencabutan gigi merupakan
kontraindikasi untuk pasien dengan riwayat radioterapi kanker, gigi yang berada
pada daerah tumor ganas, gigi impaksi yang ditutupi pericoronitis dan abses
dentoalveolar akut yang masih belum dirawat.10

2.3 Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ menyerupai kacang yang berwarna coklat
kemerahan. Organ ini merupakan sebagian daripada sistem saluran kemih yang
berfungsi menghasilkan urin dan mengekskresikannya dari tubuh. Selain itu, ginjal

Universitas Sumatera Utara


manusia mempunyai panjang antara 11 sehingga 15 cm, berada di dalam rongga
abdominal, satu di setiap sisi kolum vertebra, sedikit di atas pinggang. Kedua ginjal
kanan dan kiri sentiasa menerima suplai darah dan nutrisi dari arteri renal dan vena
renal, masing-masing memasuki dan meninggalkan ginjal pada bagian medial organ
ini.11
Ginjal melakukan beberapa fungsi-fungsi yang spesifik, dimana kebanyakan
fungsi tersebut menjaga keseimbangan cairan internal tubuh11:

• Mempertahankan keseimbangan air (H2O) di dalam tubuh.


• Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh, dengan mencegah
terjadinya penyusutan dan pembesaran sel karena difusi air.
• Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion ekstraselular
seperti natrium, klorida, kalium, kalsium, ion hidrogen, bikarbonat,
fosfat, sulfat dan magnesium.
• Mempertahankan volume plasma yang tepat dan secara tidak
langsung, mengatur jangka panjang tekanan darah arteri melalui peran
regulatorik ginjal dalam keseimbangan garam dan H2O.
• Membantu mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuh yang
tepat dengan menyesuaikan pengeluaran ion hidrogen dan bikarbonat
dalam urin.
• Mengekskresikan sisa-sisa metabolit tubuh seperti urea (protein), asam
urat (dari asam nukleat), kreatinin (dari kreatin otot), bilirubin
(daripada hemoglobin) dan metabolit hormone.
• Mengeluarkan banyak senyawa asing misalnya, obat, aditif makanan,
pestisida, dan bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke dalam
tubuh.
• Menghasilkan eritropoeitin, hormon yang merangsang pembentukan
sel darah merah.
• Menghasilkan renin, suatu hormon enzim yang memicu reaksi berantai
dalam penghematan garam oleh ginjal.

Universitas Sumatera Utara


• Mengubah vitamin D ke dalam bentuk aktifnya.

a) Nephron sebagai unit fungsional ginjal


Masing-masing ginjal terdiri dari 1 juta unit fungsional mikroskopik yang
dikenal sebagai nephron, yang berikatan bersama lainnya oleh jaringan ikat. Nephron
adalah fungsi terpenting dari ginjal untuk menghasilkan cairan urin, secara tidak
langsung, ginjal juga mempertahankan konsistensi cairan ekstraselular 11
b) Ekskresi urin
Tiga proses utama dalam menghasilkan urin adalah proses filtrasi glomerulus,
reabsorpsi tubulus dan sekresi tubulus. Saat darah mengalir melalui glomerulus,
plasma bebas protein disaring dalam kapiler glomerulus menuju ke arah kapsul
Bowman. Proses ini merupakan proses pertama dalam penghasilan urin yang dikenal
sebagai filtrasi glomerulus. Kemudian, hasil filtrat dari proses tadi akan mengalir
melalui tubulus nephron dimana zat-zat yang penting untuk tubuh akan diserap
kembali ke dalam saluran darah. Proses kedua ini dikenal sebagai reabsorpsi tubulus.
Proses renal ketiga adalah sekresi tubulus yaitu perpindahan selektif zat-zat tertentu
dari darah kapiler dalam peritubulus ke dalam tubulus lumen, untuk menghasilkan
filtrat urin. Maka, ada dua cara untuk zat-zat dalam tubuh memasuki ginjal yaitu
melewati filtrasi glomerulus atau sekresi tubulus. Setelah tiga proses ini selesai, maka
eliminasi hasil akhir filtrat tersebut melalui proses ekskresi urin akan berlaku.11
c) Sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA)
Sistem hormonal yang paling penting terlibat dalam mengaturkan kadar ion
natrium dalam darah adalah sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA). Sel
granular pada juxtaglomerular apparatus ginjal mempunyai fungsi mensekresikan
hormon enzimatik yaitu renin ke dalam saluran darah sebagai respons terhadap
penurunan tekanan darah, NaCl dan volume cairan ekstraselular. Peningkatan kadar
renin dalam darah akan mengakibatkan peningkatan dalam kadar resorbsi ion natrium
dari tubulus ginjal. Manfaat daripada penyerapan ion natrium adalah retensi garam
dan air yang dapat mengembalikan volume plasma sehingga dapat mempertahankan
tekanan darah pada tingkat optimum. Selain itu, saat disekresikan ke dalam saluran

Universitas Sumatera Utara


darah, renin sebagai enzim akan mengaktifkan angiotensinogen menjadi angiotensin
I. Angiotensinogen merupakan protein plasma yang dihasilkan oleh hati dan sering
berada di dalam plasma. Saat melewati sirkulasi pulmonari paru-paru, maka
angiotensin I berubah menjadi angiotensin II oleh angiotensin converting enzyme
(ACE), yang banyak terdapat di dalam kapiler paru-paru. Angiotensin II merupakan
perangsang utama sekresi hormon aldosteron dari korteks adrenal. Fungsi utama
aldosteron adalah meningkatkan kadar resorpsi natrium oleh tubulus ginjal. Retensi
natrium yang terjadi menimbulkan efek osmotik yang bisa menahan lebih banyak
H2O di dalam cairan ekstra seluler. Konservasi natrium dan H2O ini akan membantu
mengaturkan tekanan darah tubuh. Di samping itu, dalam kasus hipertensi, terjadinya
peningkatan aktivitas SRAA secara abnormal. Abnormalitas sistem ini
mengakibatkan retensi cairan dan edema pada gagal jantung kongenital.11

Gambar 3: Sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA).11

Universitas Sumatera Utara


2.4 Penyakit Ginjal Kronis (PGK)
Berdasarkan panduan dari Kidney Disease Outcome Quality Initiative
(KDOQI) oleh National Kidney Foundation, penyakit ginjal kronis didefinisikan
sebagai salah satu dari hal berikutnya: (1) adanya tanda-tanda kerusakan ginjal lebih
dari 3 bulan, dengan kata lain, abnormalitias struktural maupun fungsional dengan
atau tanpa pengurangan dalam laju filtrasi glomerulus; (2) mempunyai laju filtrasi
glomerulus yang kurang dari 60 mL/menit/1,73m2 selama lebih dari 3 bulan, dengan
atau tanpa tanda-tanda kerusakan ginjal.12 Semua individu yang mempunyai laju
filtrasi glomerulus kurang dari 90 mL/menit/1,73m2 selama 3 bulan juga
dikategorikan sebagai penderita penyakit ginjal kronis (PJK), selain adanya gejala
proteinuria atau hematuria.13
Laju filtrasi glomerulus normal adalah sekitar 90 – 120 mL/menit/1,73m2 luas
permukaan tubuh dan bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin dan ukuran
tubuh.14 Pada orang dewasa, laju filtrasi glomerulus rata-rata 127 mL/menit/1,73m2
untuk pria dan 118 mL/menit/1,73m2 untuk wanita, dengan deviasi standar sebanyak
20 mL/menit/1,73m2. Setelah umur 30, rata-rata laju filtrasi glomerulus berkurang
sebanyak 1 mL/menit/1,73m2 setiap tahun.15
Penyakit ginjal kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup individu. Insidensi terjadinya penyakit ginjal kronis
adalah 337 orang per juta populasi di Amerika Serikat dan 95 orang per juta populasi
di England. Di Nigeria, insidensi penyakit ini adalah 1,8-10 % (1,800-10,000 per juta
populasi dan mewakili 27,17 % daripada semua kasus medis, sehingga penyakit
ginjal kronis merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terbesar di
Nigeria.16

2.4.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis


Panduan dari Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI)
mengklasifikasikan penyakit ginjal kronis menjadi lima tahap (stage) penyakit
berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG) ginjal (tabel 1).1,15,17 Tahap 1 dan 2
menunjukkan pengurangan dalam fungsi ginjal dengan atau tanpa gejala-gejala

Universitas Sumatera Utara


penyakit walaupun laju filtrasi glomerulus kurang dari 120 mL/menit/1,73m2 tetapi
masih lebih tinggi dari 60 mL/menit/1,73m2. Saat penyakit pasien memasuki tahap 3,
maka akan terjadi kehilangan setengah dari fungsi ginjal. Pada tahun 2008, United
Kingdom National Institute of Health and Clinical Excellence (NICE) telah
membagikan tahap 3 penyakit ginjal kronis kepada dua subdivisi yaitu 3A dan 3B
dengan laju filtrasi glomerulus sebanyak 45-59 mL/menit/1,73m2 dan 30-44
mL/menit/1,73m2 masing-masing. Di atas tahap 4 dan 5, pasien mulai mengalami
hiperkalemia atau masalah berkaitan dengan retensi air dan garam di dalam tubuh.
Ginjal pasien tidak lagi mampu mengadaptasi terhadap perubahan sodium, kalium
dan air. 17

Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus


(LFG)1,12,15,17

Tahap Deskripsi LFG ( mL/menit/1,73m2 )


1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90
atau tinggi dari normal
2 Kerusakan ginjal dengan pengurangan 60-89
LFG yang ringan
3 Pengurangan LFG yang sedang 3A 45-59
3B 30-44
4 Pengurangan LFG yang berat/parah 15-29
5 Gagal Ginjal < 15

Selain dari klasifikasi oleh KDOQI, terdapat klasifikasi Acute Kidney Injury
(AKI) yang menggunakan kriteria RIFLE dalam mengelompokkan pasien penyakit
ginjal akut (tabel 2). Klasifikasi RIFLE terbagi kepada 5 kelompok dan merupakan
akronim yang mengindikasikan resiko gagal ginjal (Risk), injuri terhadap ginjal
(Injury), kegagalan dalam fungsi ginjal (Failure), kehilangan dalam fungsi ginjal
(Loss) dan gagal ginjal tahap akhir (ESKD – end stage kidney disease). Klasifikasi ini
diperkenalkan oleh lembaga Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) sebagai
klasifikasi standar gagal ginjal akut pada tahun 2004.18

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2: Klasifikasi RIFLE (Risk-Injury-Failure-Loss-ESRD)18

RIFLE Kriteria serum kreatinin Kriteria Output Urin


Risk Peningkatan dalam serum <0,5 mL kg-1 h-1 selama
creatinine ≥1,5x dari batasnya atau ≥6 jam
penurunan laju filtrasi glomerulus
≥ 25%
Injury Injuri meningkatkan kadar serum <0,5 mL kg-1 h-1 selama
creatinine ≥2,0x dari batasnya atau ≥12 jam
penurunan laju filtrasi glomerulus
≥50%
Failure Failure meningkatkan serum <0,3 mL kg-1 h-1 selama
creatinine ≥3,0x dari batasnya atau ≥24 jam atau anuria ≥12
penurunan laju filtrasi glomerulus jam
≥75%
Loss Kehilangan fungsi ginjal secara
menyeluruh > 4 minggu
ESKD (End stage Kehilangan fungsi ginjal secara
renal disease) menyeluruh > 3 bulan

2.4.2 Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis


Diabetes dan hipertensi merupakan penyebab utama bagi kebanyakan kasus
penyakit ginjal kronis tahap 5 (end stage renal disease). Glomerulonephritis pula
merupakan penyebab ketiga terjadinya penyakit ginjal kronis tahap akhir. Walaupun
ada banyak penyakit yang bisa menjadi pencetus kerusakan ginjal, namun hanya ada
beberapa jalan perkembangan penyakit ginjal kronis. Patogenesis utamanya adalah
saat hiperfiltrasi berlaku pada nephron yang tersisa setelah nephron lainnya telah
dirusakkan oleh penyakit metabolik. Dengan bertambahnya beban pada nephron
tersisa ini (hipertropi kompensatori) setelah kehilangan massa ginjal, maka tekanan
glomerular yang semakin meningkat akan memicu hiperfiltrasi ini secara berterusan.
Namun, beban pada nephron yang tersisa hanya bisa bertahan sementara tetapi
kemudiannya akan mengakibatkan kerusakan glomerular. Abnormalitas pada
permeabilitas glomerular amat sering pada kelainan glomerular, dengan proteinuria

Universitas Sumatera Utara


sebagai akibat klinisnya. Terdapat beberapa penelitian yang mengatakan bahwa
proteinuria bisa menjadi faktor pemicu penyakit tubulointerstisial. Tingkat keparahan
kerusakan pada tubulointerstisial bisa mempengaruhi perkembangan penyakit ginjal
kronis menjadi gagal ginjal tahap akhir (end stage renal failure). Komplikasi dari
kondisi tersebut termasuk anemia, gangguan dalam elektrolit dan asam-basa tubuh,
osteodistropi renal dan hipertensi.15, 19

2.4.3 Etiologi Penyakit Ginjal Kronis


Penyakit ginjal kronis bukan suatu penyakit yang spesifik karena faktor
penyebab utamanya (75 persen daripada semua kasus dewasa) adalah diabetes,
hipertensi dan glomerulonephritis. Penyakit ginjal seperti glomerulonephritis kronis,
penyakit polisistik renal dan stenosis arteri renal, penyakit sistemik seperti lupus
eritematosus dan mieloma, keracunan akibat timah hitam dan obat-obatan seperti
aspirin dan NSAIDs, merupakan faktor penyebab lainnya.13 Berdasarkan statistik dari
penelitian oleh The United States Renal Data System 2011, diagnosa primer bagi
penyakit ginjal kronis adalah diabetes mellitus (44%), diikuti dengan hipertensi
(28%) , glomerulonephritis dan lain-lain (23%).12

2.4.4 Gambaran Klinis pada Penyakit Ginjal Kronis


Tanda dan gejala klinis dari gagal ginjal, secara kolektif dikenal sebagai
uremia. Penyakit ginjal kronis mempengaruhi kebanyakan sistem tubuh, dan gejala
klinisnya tergantung pada tahap kerusakan ginjal dan sistem tubuh yang terlibat.
Contohnya, gejala awal penyakit ginjal kronis merupakan nokturia, poliuria dan
anorexia. Pada sistem hematologi, gejala klinis dari penyakit ginjal kronis adalah
anemia karena kurangnya erithropoietin dan disfungsi platelet. Dalam sistem
kardiovaskular, bisa terjadi gagal jantung, hipertensi, perikarditis dan arithmia
jantung karena hiperkalemia. Secara neurologis, penderita penyakit ginjal berpotensi
mengalami koma, neuropati, dan paranoia. Pada sistem gastrointestinal, gejala-gejala
seperti xerostomia, halitosis, sialosis, anorexia, mual, perdarahan gastrointestinal,

Universitas Sumatera Utara


konstipasi dan ulserasi intestinal bisa dijumpai secara klinis. Bagi sistem pernafasan,
bisa terjadi infeksi, hiperventilasi karena asidosis dan edema pulmonari.4,20

2.4.5 Gambaran Laboratorium pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis


Diagnosis penyakit ginjal kronis adalah berdasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan klinis, evaluasi laboratorium dan pada beberapa kelainan tertentu,
pemeriksaan biopsi dan radiografi. Laju filtrasi glomerulus (LFG), urinalisis, Blood
Urea Nitrogen (BUN), serum kreatinin, creatinine clearance, pengukuran elektrolit
dan elektroforesis protein digunakan untuk mengukur perkembangan penyakit ginjal.
Pemeriksaan paling dasar untuk fungsi ginjal adalah urinalisis, dengan pemeriksaan
khusus untuk protein. Hal ini karena pengukur terbaik kerusakan ginjal adalah
persistensi protein dalam urin (proteinuria), sementara laju filtrasi glomerulus
mengukur fungsi ginjal secara keseluruhan.1
2.4.5.1 Uji Creatinine Clearance
Kreatinin merupakan hasil degradasi otot, yang dibebaskan dari jaringan otot
untuk diekskresikan melalui urin pada kadar yang tetap. Hal ini mengakibatkan
konsentrasi plasma yang tetap yaitu 0,7-1,5 mg/dL (sering lebih tinggi pada pria
karena lebih banyak massa otot). Kreatinin ditapis sebanyak 100% oleh glomerulus
dan tidak diserap kembali oleh tubulus ginjal. Nilai laju filtrasi glomerulus diestimasi
dengan memasukkan nilai serum kreatinin ke dalam formula, bersama umur, berat
badan dan ras pasien dan dinyatakan dalam nilai milliliter per menit per clearance
(mL/menit/1,73m2). Formula matematika yang sering digunakan adalah Cockcroft-
Gault Formula.12
2.4.5.2 Urinalisis
Aspek paling penting pada pemeriksaan urin pasien penyakit ginjal adalah
deteksi keberadaan protein atau darah di dalam urin. Keunggulan dari pemeriksaan
urinalisis adalah hematuria (adanya darah di dalam urin) dan proteinuria (adanya
protein dalam urin) yang membuktikan bahwa adanya kerusakan ginjal. Hematuria
terjadi akibat dari perdarahan dimanapun di sepanjang saluran kemih. Amat jarang
bahwa hematuria merupakan gejala dari penyakit ginjal yang signifikan sedangkan

Universitas Sumatera Utara


proteinuria merupakan gejala khusus adanya disfungsi ginjal. Batas atas jumlah
protein urin yang normal adalah 150 mg per hari; lebih dari nilai ini harus
diasumsikan sebagai patologikal dan harus dilakukan pemeriksaan segera. Pasien
yang mengekskresikan lebih dari 3 gram protein per hari disebut sebagai penderita
patologi glomerular. Namun begitu, beberapa kegiatan seperti olahraga, stres dan
demam juga dapat mengakibatkan kandungan protein yang tinggi dalam urin.
Sekiranya keraguan, urin 24 jam bisa diperoleh untuk mendapatkan hasil yang lebih
akurat. Hasil pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan pada pasien penyakit
ginjal bisa dilihat pada tabel 3.12

Tabel 3: Nilai laboratorium untuk pemeriksaan fungsi ginjal1, 12

Indikator
Pemeriksaan Nilai referensi (normal) kemerosotan Indikator Gagal
laboratorium ginjal Ginjal (Tahap V)
(Tahap II-IV)
Urin
Creatinine 85-125 mL/min (wanita) 50-90 mL/min Sedang: 10-50
clearance 97-140 mL/min (pria) mL/min; Berat:
<10 mL/min
Laju filtrasi 100-150 mL/min 15-89 mL/min Sedang: <15
glomerulus mL/min; Berat:
<10 mL/min
Serum darah
Blood urea 8-18 mg/dL 20-30 mg/Dl Sedang: 30-50
nitr mg/dL; Berat: >50
ogen mg/dL
Kreatinin 0,6-1,20 mg/dL 2-3 mg/dL Sedang: 3-6
mg/dL; Berat: >6
mg/dL
Serum 8,2-11,2 mg/dL Kurang
kalsium Meningkat
Serum fosfat 2,7-4,5 mg/dL Meningkat
Serum kalium 3,8-5 mmol/L

Universitas Sumatera Utara


2.4.6 Gambaran Radiografi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis
Penyakit ginjal kronis mempunyai berbagai gejala pada sistem tubuh
penderita. Oleh karena itu, penyakit ginjal kronis dapat dihubungkan dengan banyak
komplikasi yang dipengaruhi oleh etiologi, pengurangan fungsi ginjal, respons
terhadap perawatan dan faktor individu sendiri. Salah satu dari contoh gejala penyakit
ginjal kronis adalah osteodistropi renal dan penyakit periodontal yang bisa dilihat
melalui radiografi.21 Antara teknik radiografi yang bisa digunakan pada pasien
penyakit ginjal kronis adalah:12,21,22
a. Ultrasonografi renal
Prosedur diagnostik yang menggunakan gelombang suara berfrekuensi
tinggi (ultrasound) yang diarahkan langsung ke ginjal dan gelombang
suara yang dipantulkan kembali akan membentuk gambaran patologi pada
ginjal (sonogram).
b. Computed Tomography (CT Scan)
CT Scan digunakan saat dibutuhkan evaluasi seluruh saluran kemih atau
retroperitoneum. Gambaran CT Scan dapat memberikan informasi yang
lumayan tentang struktur saluran kemih seperti ureter, urethra dan prostat
serta patologi yang ada pada ginjal.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI tidak sering digunakan tetapi bisa menjadi alat diagnostik pendukung
dalam diagnosa kelainan ginjal. Sekiranya ada stenosis arteri renal atau
kebutuhan untuk evaluasi massa atau kista, maka CT scan tidak bisa
digunakan dan MRI lebih disarankan.
d. Intravenous pyelography
Teknik ini digunakan sebelum adanya CT Scan dan ultrasonografi. Setelah
injeksi zat radiopak secara intravenous, film radiograf abdominal diambil.
Oleh karena kelemahannya dalam teknik ini seperti ketidakmampuan
ginjal mengekskresi zat pewarna dan lokasi patologi sulit ditentukan,
maka teknik ini jarang digunakan lagi.

Universitas Sumatera Utara


e. Foto panoramik
Teknik ini dapat membantu dalam melihat kelainan-kelainan di dalam
rongga mulut pasien seperti kehilangan tulang alveolar dan gambaran
kalkulus yang radiopak. (Lihat gambar 4 dan 5 ).

Gambar 4. Radiografi Panoramik yang menunjukkan


kehilangan tulang alveolar, kalkulus interproksimal
dan abses periapikal.21

Gambar 5. Radiografi Panoramik setelah 5 bulan


dilakukan ekstraksi penuh, menunjukkan
berkurangnya malformasi tulang.21

Universitas Sumatera Utara


Dalam laporan kasus oleh Mahmud Juma dan teman-teman pada tahun 2006,
disebutkan bahwa dua gambar di atas merupakan foto panoramik seorang pasien
wanita Kaukasia berumur 35 tahun yang menderita penyakit ginjal kronis. Pasien ini
mempunyai riwayat diabetes mellitus dan hipertensi sejak usia 13 tahun dan dikontrol
melalui dietnya. Dalam riwayat dentalnya, pasien mengalami rasa sakit di bagian
anterior mandibula. Pasien mengeluhkan rasa nyeri saat mengunyah dan sensitif
terhadap rangsangan suhu. Pemeriksaan intraoral klinis menunjukkan mobiliti pada
beberapa gigi, kehilangan perlekatan generalisata, poket periodontal yang dalam, lesi
furkasi, perdarahan gingiva dan penumpukan plak dental yang parah di seluruh
rongga mulut.21
Oleh karena adanya kehilangan tulang alveolar yang parah dan hampir semua
gigi mengalami kerusakan disertai masalah periodontal, maka telah direncanakan
untuk pencabutan semua gigi pasien dan dilakukan rehabilitasi prostetik. Sebelum
melakukan pencabutan, dokter gigi telah melakukan pemeriksaan laboratorium dan
mendapatkan persetujuan pasien untuk dilakukan perawatan. Selain itu, prosedur
pencabutan gigi dilakukan di bawah anestesi umum. Setelah 5 bulan pasca
pencabutan, gambaran radiograf panoramik tidak menunjukkan malformasi tulang
lagi (lihat gambar 5).21

2.4.7 Perawatan pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis


Penyakit ginjal kronis dapat didiagnosa melalui riwayat dan pemeriksaan
laboratorium; contohnya, peningkatan dalam kadar plasma urea dan kreatinin serta
pengurangan dalam laju filtrasi glomerulus. Jika dijumpai ada pengurangan laju
filtrasi glomerulus, maka dapat ditentukan rencana perawatan dialisis, pembuatan
fistula arteriovenous dan sebagainya. Tindakan perawatan yang penting pada
penderita penyakit ginjal kronis adalah kontrol tekanan darah dengan menggunakan
obat antihipertensi seperti angiotensin-converting-enzyme inhibitors (ACEi) dan
angiotensin-II blockers (ARBs). Kemungkinan adanya penyebab lain dari penyakit
ginjal kronis seperti infeksi atau obstruksi saluran kemih yang harus dirawat secepat
mungkin karena bisa mengakibatkan simptom-simptom sistemik. Sasaran perawatan

Universitas Sumatera Utara


adalah untuk menghambat perkembangan penyakit ginjal kronis ke tahap 5, yang
diukur melalui laju filtrasi glomerulus yang menurun, kadar plasma urea dan kadar
kreatinin yang meningkat. Sasaran lainnya adalah untuk mengurangi resiko penyakit
kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian pasien penyakit ginjal
kronis. Selain itu, penderita penyakit ginjal kronis juga disarankan membatasi
konsumsi diet yang berkalium tinggi.13
Gejala dan komplikasi seperti rasa mual, kesedakan dan kehilangan kalsium
harus dirawat juga. Pemberian kalsium karbonat, vitamin D3, ataupun bifosfonat
dapat menghambat resorbsi tulang serta mencegah terjadinya osteodistropi renal.
Terapi obat-obatan yang memerlukan perhatian khusus adalah obat yang dieliminasi
oleh ginjal, seperti penisilin, sefalosporin dan eritromisin, harus dikurangi dosisnya
berdasarkan tahap fungsi ginjal. Maka dari itu, obat dengan efek nephrotoksisitas
yang paling minimal harus digunakan (NSAID dan tetrasiklin harus dihindari sama
sekali) dan obat alternatif harus disarankan untuk mencegah interaksi obat yang tidak
diingini.13
2.4.7.1 Dialisis
Saat penyakit ginjal kronis pasien mencapai tahap 5, maka terapi pengganti
renal harus dilakukan. Antara terapi pengganti ginjal yang bisa dilakukan adalah
hemodialisis, dialisis peritoneal atau transplan ginjal. Dialisis ginjal merupakan
perawatan yang dilaksanakan untuk mengeluarkan metabolit (urea, kalium) dan air
berlebihan dari tubuh karena ginjal pasien tidak lagi mempunyai kemampuan
menapis darah secara sendirinya. Hal ini dilakukan dengan memberikan cairan
dialisis yang bersifat hipotonik untuk merangsang difusi metabolit dalam darah ke
dalam cairan tersebut. Dialisis peritoneal merupakan salah satu bentuk dialisis yang
berfungsi dengan menggunakan membran peritoneal sebagai membran
semipermeabel alamiah. Cairan dialisis memasuki kateter yang berhubungan dengan
rongga abdominal pasien. Keuntungan dialisis peritoneal adalah mudah digunakan,
lebih efisien dalam mengatur keseimbangan cairan dibandingkan hemodialisis, dapat
dilakukan di rumah dan mudah dibawa ke mana-mana (tas yang mengandung cairan
dialisis dapat dibawa). Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD)

Universitas Sumatera Utara


membutuhkan 4-5 pertukaran manual setiap hari, sementara continuous cyclic
peritoneal dialysis (CCPD) merupakan mesin yang melakukan pertukaran pada
waktu malam saja.13
Pada proses hemodialisis, darah dialirkan ke dalam suatu tabung ginjal buatan
(dialiser) yang terdiri dari dua bagian yang terpisah melalui kateter. Darah pasien
dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput
semipermeabel buatan dengan kompartemen dialisat. Komponen dialisat dialiri cairan
dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum
normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah
yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berdifusi
dari konsentrasi tinggi ke daerah berkonsentrasi rendah sehingga konsentrasi zat
terlarut sama di kedua-dua kompartemen. Hemodialisis sering dilakukan di rumah.
Efek optimal dari prosedur ini adalah 5-7 sesi dialisis dengan 6-8 jam setiap kali per
minggu, tetapi kebanyakan pasien hanya melakukannya 2 sampai 3 kali dengan 3-6
jam bagi setiap sesi per minggu. Perbedaan jelas antara hemodialisis dengan dialisis
peritoneal adalah garis infus pada hemodialisis dibuat pada daerah di atas
pergelangan tangan sementara bagi dialisis peritoneal, garis infus dibuat dekat dengan
pusar atau di bawah kulit yang berdekatan sternum.3,13
2.4.7.2 Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal sekarang lebih disarankan untuk semua pasien dengan
penyakit ginjal kronis tahap 5 atau tahap akhir karena proses transplantasi ginjal yang
sukses dapat menjamin kualitas dan memperpanjang hidup penderita. Lebih-lebih
lagi, transplantasi ginjal dikatakan lebih baik dibandingkan dialisis dari segi efisiensi,
ekonomi dan medis. Organ ginjal untuk transplan bisa diperoleh dari mayat atau dari
donor hidup. Di samping itu, tingkat kelangsungan transplantasi ginjal bisa mencapai
90% pada tahun pertama, hampir 70% untuk 5 tahun dan mempunyai kadar mortalitas
keseluruhan kurang dari 5%. Saat dilakukan transplantasi, maka penerima organ
tersebut wajib menggunakan obat immunosupresi sepanjang hayat untuk mencegah
respons penolakan autoimun sel T. Komplikasi daripada transplantasi ginjal termasuk
penolakan transplan, meningkatnya resiko terhadap atheroma dan penyakit jantung

Universitas Sumatera Utara


iskemik, nefropati karena siklosporin dan infeksi akibat immunosupresi atau
tumor.3,13

2.4.8 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronis Terhadap Penyakit Sistemik


Lain
a. Anemia
Anemia adalah berkurangnya satu atau lebih komponen sel darah merah yang
terdiri dari konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. World
Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia sebagai nilai hemoglobin
kurang dari 13 g/dL pada laki-laki dan kurang dari 12 g/dL pada wanita. Anemia
normositik biasanya terjadi bersama perkembangan penyakit ginjal kronis dan
prevalensi anemia pada penderita penyakit ini dianggarkan mencapai 50%. Walaupun
anemia bisa didiagnosa pada setiap tahap penyakit ginjal kronis namun terdapat
korelasi antara prevalensi anemia dengan tingkat keparahan penyakit ginjal kronis.
25% dari pasien penyakit ginjal kronis tahap 1, 50% dari pasien pada tahap 2, 3 dan 4
serta 75% dari pasien pada tahap 5 penyakit ginjal kronis yang menjalankan dialisis
menderita dengan anemia.23
Anemia pada penyakit ginjal kronis diakibatkan oleh beberapa mekanisme
seperti defisiensi besi, folat atau vitamin B12, perdarahan pada saluran
gastrointestinal, hiperparatiroid yang parah, proses inflamasi akut atau kronis dan usia
sel darah merah yang pendek akibat hemolisis namun pengurangan sintesis
eritropoietin merupakan faktor utama penyebab anemia yang berhubungan dengan
penyakit ginjal kronis. Eritropoietin merupakan glikoprotein yang disekresikan oleh
sel fibroblast interstisial ginjal dan penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel
darah merah dalam sumsum tulang. Pada penyakit ginjal kronis, atrofi pada ginjal
akan mengakibatkan fibrosis tubulointerstisial yang menekan kemampuan sintesis
eritropoietin oleh ginjal sehingga terjadinya anemia.23

Universitas Sumatera Utara


b. Kelainan Tulang dan Mineral
Kelainan tulang dan mineral yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronis
terdiri daripada abnormalitas pada metabolisme tulang dan mineral dan/atau
kalsifikasi ekstraskeletal sekunder yang terjadi sekunder kepada patofisiologi
penyakit ginjal kronis. Osteodistropi renal pula merupakan kelompok perubahan
histologis yang berlaku pada struktur tulang pasien penyakit ginjal kronis.
Sebagaimana yang sudah diketahui, ginjal merupakan lokasi primer ekskresi asam
fosfat dan hidroksilasi dari vitamin D. Pada pasien penyakit ginjal kronis akan terjadi
penumpukan fosfat berlebihan (hiperfosfatemia) akibat ketidakmampuan ginjal untuk
mengekskresi fosfat dengan normal. Kondisi hiperfosfatemia akan mengakibatkan
kalsium dalam darah untuk memasuki osteoid tulang sehingga terjadi hipokalsemia
dan tulang rapuh. Sebagai respons terhadap kurangnya serum kalsium, maka kelenjar
paratiroid akan terangsang untuk mensekresikan parathormone (PTH). Kondisi ini
dikenal sebagai hiperparatiroidisme sekunder. Peningkatan dalam serum fosfat secara
umum sering terlihat pada pasien penyakit ginjal kronis tahap 3. Namun begitu,
hiperparatiroidisme sekunder sering mulai merusakkan struktur tulang lebih awal
sebelum serum fosfat mulai menjadi abnormal.1,23
Sasaran perawatan kelainan tulang dan mineral berhubungan dengan penyakit
ginjal kronis adalah untuk mengurangi kadar serum fosfat. Terapi perawatan pertama
adalah dengan membatasi konsumsi fosfat dalam diet saat hormon paratiroid dan
serum fosfat mulai meningkat dalam darah. Menurut panduan dari Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (K/DOQI), nilai serum fosfat harus mencapai dan
dipertahankan di antara 2,7 sehingga 4,6 mg/dL pada pasien penyakit ginjal kronis
tahap 3 dan 4, dan antara 3,5 sehingga 5,5 mg/dL pada individu dengan penyakit
ginjal kronis tahap 5. Untuk terapi kronik, pengikat fosfat calcium-based merupakan
obat paling umum digunakan dalam mengontrol kondisi hiperfosfatemia. Pengikat
fosfat calcium-based dikatakan lebih sesuai karena bisa menyebabkan hiperkalsemia
yang meningkatkan deposisi kalsium jaringan sementara pengikat fosfat aluminium-
based bisa mengakibatkan toksisitas.23

Universitas Sumatera Utara


c. Penyakit Kardiovaskular
Pasien dengan penyakit ginjal kronis mempunyai resiko tinggi untuk
menderita penyakit kardiovaskular. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
semakin parah penyakit ginjal kronis pasien, semakin meningkat resiko terjadinya
penyakit kardiovaskular. Hipertensi merupakan faktor resiko kardiovaskular utama
yang menyumbang kepada resiko kardiovaskular berhubungan dengan penyakit ginjal
kronis. Menurut studi oleh Muntner et al pada tahun 2005, pasien penyakit ginjal
kronis tahap 2-3 dengan hipertensi beresiko tinggi bisa menderita penyakit
kardiovaskular baru atau rekuren. Makanya, Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (K/DOQI) menentukan bahwa sasaran tekanan darah untuk semua pasien
dengan penyakit ginjal kronis harus ditetapkan kurang dari 130/85 mm/Hg.23

2.4.9 Manifestasi Oral pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis


Kelainan pada rongga mulut merupakan manifestasi adanya gangguan
sistemik. Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu penyakit yang
mempunyai manifestasi pada rongga mulut, sering disebabkan oleh penyakit itu
sendiri atau sebagai efek dari perawatan. Dengan meningkatnya kesadaran tentang
hubungan antara kondisi dental dan medis, peran dokter gigi telah bertambah penting
dalam pengelolaan kesehatan umum pasien penyakit ginjal kronis dan perawatan
untuk kondisi rongga mulut pasien dengan penyakit tersebut.24
Manifestasi oral pada pasien penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut:
1. Stomatitis Uremik
Stomatitis Uremik bisa terjadi karena meningkatnya kadar urea dan sisa zat
nitrogen di dalam aliran darah pada pasien penyakit ginjal kronis. Secara klinis,
stomatitis uremik terlihat sebagai plak putih yang bisa dijumpai pada mukosa bukal,
dasar mulut dan lidah. Stomatitis uremik bisa tejadi dalam salah satu dari empat
bentuknya, erythemopultaceous, ulseratif, hemorrhagic, dan hiperkeratosis.24
2. Xerostomia
Xerostomia atau mulut kering sering merupakan keluhan pasien dialisis.
Terdapat beberapa alasan prevalensi xerostomia. Kurangnya aliran saliva mungkin

Universitas Sumatera Utara


disebabkan oleh keterlibatan uremik pada kelenjar saliva, inflamasi dari obat-obatan
kimiawi, dehidrasi dan kebiasaan bernafas melalui mulut.24 Xerostomia jangka
panjang bisa menjadi predisposisi terjadinya karies dan inflamasi gingiva serta
mengakibatkan kesulitan dalam berbicara, retensi gigi tiruan, gangguan mastikasi dan
hilangnya pengecapan. Menurut penelitian oleh Porter et al pada tahun 2005,
xerostomia juga bisa menjadi predisposisi karies dan infeksi seperti kandidiasis dan
sialadenitis akut suppurativa (SAS). Penelitian oleh King et al pada tahun 1994,
menunjukkan bahwa pasien hemodialisis bisa disertai dengan timbulnya angular
cheilitis sebanyak 4% , kandidiasis jenis pseudomembran sebanyak 1,9%, jenis
eritematosa sebanyak 3,8% dan kandidosis kronik atropik sebanyak 3,8% juga.3
3. Perubahan Pengecapan
Penyebab rasa metalik pada pasien uremik dilaporkan disebabkan oleh
kandungan urea di dalam saliva dan produk-produk ammonia dan karbon dioksida
dari degradasi urea. Perubahan pengecapan juga kemungkinan disebabkan oleh
gangguan metabolik, penggunaan obat-obatan dan kelainan pada kelenjar saliva dan
komposisinya. Ada juga studi yang mengatakan bahwa kadar urea, dimethil, trimethil
amin yang tinggi dan kandungan zink yang rendah dapat mengakibatkan kurangnya
sensasi pengecapan pada pasien uremik.24
4. Petichiae Mukosa dan Ekimosis
Manifestasi ini mungkin terjadi karena kecenderungan perdarahan akibat
disfungsi thrombosit dan kurangnya faktor III platelet yang membantu dalam
koagulasi darah. Kondisi ini juga bisa dihubungkan dengan penggunaan antikoagulan
saat perawatan hemodialisis.24
5. Osteodistropi renal
Komplikasi jangka panjang yang sering dijumpai pada penyakit ginjal kronis
adalah osteodistropi renal yaitu suatu kelompok kelainan metabolism tulang.
Kelainan ini terdiri dari kehilangan hidroksilasi 1-hydroxycholecalciferol dalam
mengaktifasi vitamin D (1,25 – dihydroxycholecalciferol), pengurangan dalam
ekskresi ion hidrogen, hiperfosfatamia, hipokalsemia dan hiperparatiroidisme
sekunder. Berdasarkan penelitian oleh Massry dan Ritz pada tahun 1978,

Universitas Sumatera Utara


hiperparatiroidisme sekunder bisa terjadi pada 92% pasien yang menerima perawatan
hemodialisis.4 Pasien dengan renal osteodistropi mempunyai resiko tinggi terjadinya
fraktur saat perawatan dental, seperti pencabutan gigi. Antara lain tanda-tanda awal
kelainan ini adalah radiolusensi yang luas pada tulang rahang dan pada beberapa
pasien, dijumpai adanya maloklusi gigi dan pembesaran tulang rahang yang jelas.24
6. Lesi Mukosa
Pada pasien penyakit ginjal yang menerima perawatan dialisis atau
transplantasi ginjal, lesi mukosa oral khususnya berupa bercak putih dan ulserasi
sering dijumpai secara klinis. Reaksi lichenoid dan oral hairy leukoplakia bisa terjadi
akibat dari efek samping obat imunosupresif. Bercak putih pada kulit yang dikenal
sebagai uremic frost bisa juga terlihat pada pasien penyakit ginjal kronis karena
deposisi kristal urea pada permukaan epitel setelah berkeringat. Kadang-kadang,
bercak ini bisa terlihat secara intraoral karena evaporasi saliva.24
7. Penyakit Periodontal
Hiperplasia gingiva, peningkatan penumpukan plak, kalkulus, inflamasi
gingiva dan peningkatan prevalensi dan penyakit periodontal yang parah dapat
terlihat pada pasien penyakit ginjal kronis. Obat-obatan seperti calcium channel
blockers dan calcineurin inhibitors yang sering digunakan dalam perawatan penyakit
ginjal dapat mengakibatkan hiperplasia gingiva pada pasien penyakit ginjal kronis.
Pembesaran gingiva yang disebabkan oleh obat-obatan ini bisa bertambah parah
sehingga melibatkan papilla interdental, marginal dan gingiva cekat serta harus
dilakukan bedah reseksi gingiva. Selain itu, berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, pemberian antikoagulasi sistemik secara berterusan pada
pasien hemodialisis bisa menjadi faktor predisposisi kepada perdarahan gingiva dan
merangsang pertumbuhan bakteri periodontal seperti Agregatibacter
25
actinocomycetecomitans dan porphyromonas gingivalis.
8. Keganasan Oral
Peningkatan kerentanan terhadap displasia epitel dan karsinoma bibir
merupakan efek daripada perawatan transplantasi ginjal. Hal ini mungkin disebabkan
oleh efek imunosupresif yang menjadikan mukosa rongga mulut lebih mudah

Universitas Sumatera Utara


terinfeksi oleh virus penyebab tumor seperti Kaposi sarcoma dan non-Hodgkin
limfoma. Menurut penelitian oleh Bradford et al pada tahun 1990, bagi pasien yang
menerima perawatan hemodialisis, resiko karsinoma sel skuamosa oral sama dengan
orang yang sehat pada populasi umum. Pada masa yang sama, penelitian Thomas et
al, mengatakan bahwa perawatan transplantasi ginjal bisa menjadi faktor predisposisi
terjadinya displasia epitel dan karsinoma bibir. Di samping itu, laporan dari Varga
dan Tyldesly pada tahun 1991, mengatakan bahwa karsinoma sel skuamosa oral bisa
terjadi pada daerah yang mengalami pembesaran gingiva akibat daripada obat
siklosporin.3

2.5 Tindakan Pencabutan Gigi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis


Dokter gigi memiliki tanggungjawab untuk memberikan perawatan dental
kepada pasien kompromis medis walaupun semakin bertambah jumlahnya, salah satu
adalah pasien penyakit ginjal kronis. Dengan itu, amat penting bagi seorang dokter
gigi untuk merencanakan tindakan perawatan dan pengelolaan pasien penyakit ginjal
kronis. Sebelum melakukan pencabutan gigi, seorang klinisi harus mampu
menentukan tindakan yang tepat untuk pasien tersebut.1
a. Riwayat Medis
Sebelum melakukan prosedur perawatan dental elektif seperti pencabutan
gigi, maka dalam menggali kondisi umum pasien untuk mendapatkan riwayat medis
lengkap, perlu beberapa pertanyaan yang harus dijawab: 26
1. Apa penyebab penyakit ginjal kronis yang diderita oleh pasien?
2. Status kardiovaskular dan gangguan lain yang menyertai
3. Perawatan yang dijalani untuk menangani penyakit ginjal kronis
4. Obat-obatan yang dikonsumsi dalam merawat penyakit ginjal kronis
5. Riwayat anemia, infeksi, perdarahan abnormal, kelainan tulang, kelainan
psikologi dan keterlibatan tulang
6. Rincian perawatan dialisis yang dijalani

Universitas Sumatera Utara


Sebelum melanjutkan perawatan, sebaiknya dokter gigi berkomunikasi dan
berdiskusi dengan dokter spesialis penyakit dalam yang merawat pasien penyakit
ginjal kronis supaya mendapat informasi lanjut tentang kondisi pasien.26

b. Tindakan pencabutan gigi berdasarkan pertimbangan perawatan


Hal paling penting yang harus diberikan perhatian pada pasien penyakit ginjal
kronis adalah kecenderungan perdarahan, hipertensi, anemia, intoleransi terhadap
obat-obatan tertentu, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi dan adanya
manifestasi dari penyakit ginjal kronis tersebut pada rongga mulut. Selain itu,
penanganan dental bagi pasien penyakit ginjal kronis juga harus dimodifikasi
berdasarkan perawatan yang sedang dijalani, antara lain:14
1. Pasien dalam perawatan penggunaan obat-obatan konservatif.
Dalam menjalankan perawatan dental untuk pasien kelompok ini, dibutuhkan
komunikasi yang baik antara dokter gigi dengan dokter spesialis ginjal yang merawat
pasien untuk mengetahui tahap keparahan penyakit pasien dan perawatan yang bisa
direncanakan. Sebelum prosedur invasif dilakukan, masalah hematologik pada pasien
harus diketahui dengan melakukan pemeriksaan laboratorium. Selain itu, akibat
daripada hipertensi, maka tekanan darah pasien juga harus selalu diamati sepanjang
perawatan. Saat memberikan obat-obatan kepada pasien penyakit ginjal kronis, perlu
dipertimbangkan perubahan farmakokinetik yang terjadi dalam absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi obat-obatan. Pasien dengan gangguan ginjal disertai
dengan gangguan pada saluran gastro-intestinal seperti gastric atrophy, peningkatan
pH lambung, ulser dan perdarahan pada saluran gastrointestinal bisa menghambat
penyerapan obat-obatan yang dikonsumsi secara oral. Dalam pemberian obat-obatan,
dokter gigi harus menghindari penggunaan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik
seperti tetrasiklin dan aminoglikosida dan memodifikasi dosis obat-obatan tertentu
sebelum diberikan kepada pasien seperti obat penisilin dan eritromisin.14
2. Pasien dalam perawatan dialisis peritoneal
Dalam perawatan dialisis peritoneal, sebuah kateter ditempatkan di dinding
abdominal dan dimasukkan ke dalam peritoneum untuk mengeluarkan hasil produk

Universitas Sumatera Utara


nitrogen dan metabolit yang bersifat racun. Membran peritoneal akan menyaring
darah pasien melalui mekanisme osmotik dan menyalurkan sisa metabolit tubuh dan
mengeluarkannya. Perawatan ini bisa dilakukan di rumah oleh pasien tetapi harus
dilakukan setiap hari. Secara umum, pasien dalam perawatan dialisis peritoneal tidak
membutuhkan pendekatan khusus dalam perawatan dental selain dari prosedur
perawatan dan pemeriksaan laboratorium standar.14
3. Pasien dengan perawatan hemodialisis
Pada hemodialisis, proses penapisan dilakukan oleh mesin yang dikenal
sebagai dialiser yang ditempatkan di luar tubuh pasien. Kebanyakan pasien dalam
perawatan ini melakukan hemodialisis sebanyak 3 kali seminggu. Untuk
mengeluarkan darah dari tubuh dan mengembalikannya, amat penting untuk
memperoleh akses vaskular. Akses permanen dibuat dengan memasang arteriovenous
fistula pada pembuluh darah dengan menghubungkan arteri dengan vena secara
bedah. Sepanjang proses hemodialisis, darah pasien dicampurkan dengan heparin
untuk mencegah koagulasi supaya memudahkan pengalirannya. Maka karena alasan
ini, tindakan pencabutan gigi dengan resiko perdarahan sebaiknya tidak dilakukan
pada hari perawatan hemodialisis. Sekiranya dalam keadaan darurat, protamine
sulphate (antagonis heparin) harus diberikan untuk memblokir efek antikoagulan.
Namun begitu, kecenderungan perdarahan masih bisa terjadi akibat disfungsi platelet
dan anemia. Selain itu, ada juga resiko infeksi karena akses vaskular dan potensi
transmisi virus Hepatitis B, Hepatitis C dan HIV, maka resiko infeksi ini harus
dikonfirmasi pada pasien hemodialisa melalui pemeriksaan serum darah.14
4. Pasien dengan perawatan transplantasi ginjal
Pasien yang mendapat perawatan transplantasi ginjal akan mengalami
imunosupresi akibat dari obat-obatan imunosupresan. Oleh karena itu, pemeliharaan
kebersihan rongga mulut amat penting untuk mencegah infeksi oral pada pasien
transplan. Pasien kelompok ini juga biasanya mendapatkan perawatan kortikosteroid,
calcineurin inhibitors (tacrolimus) dan inhibitor proliferasi sel limfosit (azathioprine).
Perawatan jangka panjang dengan dosis kortikosteroid yang tinggi akan
menghasilkan efek supresi fungsi adrenal, yang selanjutnya bisa mengakibatkan

Universitas Sumatera Utara


adrenal crisis dengan komplikasi terhadap perawatan bedah dental. Demi
meminimalisasi resiko adrenal crisis pada pasien penyakit ginjal kronis yang akan
dilakukan pencabutan gigi, maka pasien tersebut disarankan untuk meminum obat
kortikosteroid ditambahkan sebanyak dua kali pada hari perawatan. Hal ini tidak
perlu dilakukan jika pasien sedang menerima perawatan kortikosteroid yang kurang
dari dosis minimal (kurang dari 7,5 mg prednisolone). Secara umum, resiko pasien
transplantasi ginjal menderita dengan adrenal crisis setelah prosedur bedah mulut di
bawah anestesi lokal amat rendah dan bisa dilakukan tanpa suplemen obat
kortikosteroid yang berlebihan.14

c. Antibiotik profilaksis
Infeksi endokarditis, dikatakan hanya bisa terjadi pada jaringan otot jantung
yang sehat tetapi penelitian oleh Leonard dan teman-teman telah menunjukkan bahwa
infeksi ini bisa juga terjadi pada pasien hemodialisis. Di negara-negara seperti
Amerika Serikat dan New Zealand, dokter gigi disarankan memberikan antibiotik
profilaksis sebelum melakukan tindakan pencabutan gigi khususnya untuk pasien
yang mendapat perawatan dialisis dan transplan ginjal, karena adanya resiko infeksi
endokarditis atau infeksi pada lokasi akses vaskular. Namun, pada masa yang sama,
panduan dari The British Society for Antimicrobial Chemotherapy (BSAC) tidak
menyarankan pemberian antibiotik profilaksis kepada pasien penyakit ginjal yang
membutuhkan perawatan dental, karena kurang resiko terjadinya bakteremia.
Penelitian oleh Klassen dan Krasko pada tahun 2002 pula mengatakan bahwa
kesehatan mulut yang baik dapat mengurangkan resiko terjadinya infeksi oral dan
secara tidak langsung, mengurangkan resiko septikemia, endokarditis atau endarteritis
pada daerah akses vaskular.3

d. Tindakan prekausa di dental chair


Adapun tindakan prekausa pasien penyakit ginjal kronis pada dental chair
adalah sebagai berikut:26

Universitas Sumatera Utara


1. Tempatkan pasien pada posisi Trendelenberg dengan angulasi 45º dengan
nyaman.
2. Jika prosedur dental berlangsung dengan lama, biarkan pasien berjalan
atau berdiri sejenak supaya tidak terjadinya penyumbatan pembuluh darah.
3. Lokasi akses arteriovenous tidak harus terganggu.
4. Dokter gigi harus mengawasi tekanan darah sebelum dan selama
perawatan.
5. Jika dibutuhkan, lakukan pemberian obat penenang sebelum melakukan
perawatan dental.
6. Bagi operator, gunakan perlindungan (berdasarkan standard precaution)
sebaik mungkin terhadap transmisi infeksi virus seperti virus hepatitis B
hepatitis C, tuberculosis dan HIV.

e. Tindakan Dokter Gigi terhadap Hemostasis


Kebanyakan prosedur elektif seperti tindakan pencabutan gigi harus dilakukan
setelah kondisi medis pasien stabil. Perdarahan setelah prosedur bedah merupakan
kondisi yang sering terjadi di praktek dental. Di samping pemeriksaan prothrombin
time dan partial thromboplastin time, pemeriksaan platelet count juga harus
diperoleh. Jika nilai pemeriksaannya tinggi, maka bisa menjadi potensi kemungkinan
terjadinya perdarahan. Dengan tambahan pemeriksaan waktu perdarahan (bleeding
time), resiko abnormalitas agregasi platelet akibat uremia bisa didiagnosa. Salah satu
cara mengontrol perdarahan saat tindakan pencabutan gigi adalah dengan melakukan
prosedur hemostatik lokal, penutupan luka bedah dan melaksanakan teknik
pembedahan yang benar. Apabila gawat, maka agen hemostatik seperti kolagen
mikrofibrilar, thrombin topikal atau kauterisasi listrik bisa menjadi pendekatan
terbaik.26

f. Pemberian obat-obatan
Sebelum dan setelah tindakan pencabutan gigi dilakukan, dokter gigi
kemungkinan besar akan memberikan beberapa obat antibiotik dan analgesik kepada

Universitas Sumatera Utara


pasien untuk mencegah infeksi bakteri dan mengurangkan rasa nyeri pasien.
Kebanyakan obat antibiotika dikeluarkan dari ginjal secara aktif, maka modifikasi
dalam dosis obat amat penting dilakukan. Penisilin (dan turunannya seperti
amoksisilin), klindamisin dan sephalosporin merupakan obat antibiotik yang lebih
sesuai digunakan bagi pasien penyakit ginjal kronis. Bagi obat analgesik tanpa
narkotik, parasetamol merupakan pilihan terbaik bagi pasien penyakit ini. Selain itu,
amat penting bagi seorang dokter gigi untuk menghindari pemberian obat anti
inflamasi non steroid (ibuprofen, naproxen dan sodium diklofenak) karena bisa
mengakibatkan hipertensi. Obat benzodiazepine bisa diberikan tanpa modifikasi
dosisnya. Pada masa yang sama, obat analgesik jenis narkotik (codeine, morphine,
phentanile) tidak membutuhkan modifikasi dosis juga.14

g. Anestesi Lokal dan Umum


Menurut Profesor James W.Little dan Donald A.Falace, dosis anestesi lokal
untuk pasien penyakit ginjal kronis secara umumnya tidak perlu dilakukan
modifikasi.1 Anestesi lokal aman diberikan kepada pasien penyakit ginjal kronis
kecuali jika ada tanda kecenderungan perdarahan pada pasien. Jika dibutuhkan sedasi
intravena, atau pengambilan darah, vena lain selain dari yang di atas siku pasien bisa
digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi fistula atau thrombophlebitis.
Midazolam lebih banyak dipilih dibandingkan diazepam karena mempunyai resiko
terjadinya thrombophlebitis yang lebih minimal. Selain itu, anestesi umum juga
menjadi kontraindikasi sekiranya nilai hemoglobin pasien kurang dari 10 g/dL.13,24

h. Pemeriksaan tekanan darah pasien


Salah satu dari gejala penyakit ginjal kronis adalah hipertensi. Dengan itu,
amat penting bagi seorang dokter gigi untuk mengawasi tekanan darah pasien,
sebelum dan sepanjang perawatan dilakukan. Pasien dengan tekanan darah kurang
dari 180/110 mm Hg bisa menerima mana-mana perawatan dental. Bagi pasien
penyakit ginjal kronis yang mempunyai tekanan darah melebihi 180/110 mm Hg,
perawatan dental harus ditunda sehingga tekanan darah dikontrol. Pada kondisi ini,

Universitas Sumatera Utara


dokter gigi harus merujuk pasien ke dokter ahli sebelum melakukan pencabutan gigi
pada pasien. Jika ingin dilakukan perawatan darurat, maka harus dilakukan dengan
cepat dan dibatasi sebanyak mungkin.1

Secara keseluruhan, dalam melakukan pencabutan gigi pada pasien penyakit


ginjal kronis yang memiliki komplikasi dengan penyakit sistemik lain serta memiliki
manifestasi oral, dokter gigi harus memiliki komunikasi, pengetahuan dan
kemampuan dalam melakukan penanganan dental yang benar pada pasien tersebut
sebelum melakukan pencabutan gigi.3

Universitas Sumatera Utara


2.5 Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


2.6 Kerangka Konsep

• Anamnesis
• Tindakan prekausa di dental
chair
• Tindakan hemostasis
• Pemberian obat-obatan
• Anestesi lokal dan umum
• Pemeriksaan tekanan darah
pasien

Universitas Sumatera Utara


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Jenis rancangan penelitian adalah penelitian deskriptif. Dikatakan penelitian


deskriptif karena ini merupakan penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau
menggambarkan perilaku dokter gigi di Medan Petisah dalam melakukan tindakan
pencabutan gigi pada pasien penyakit ginjal kronis.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di praktek-praktek dokter gigi di Kecamatan Medan
Petisah.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan sepanjang bulan Desember 2016 hingga Januari 2017.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi pada penelitian ini adalah seluruh dokter gigi di Kecamatan Medan
Petisah yaitu sebanyak 86 orang. Sampel penelitian adalah dokter gigi yang sesuai
dengan kriteria inklusi serta bersedia untuk dilakukan penelitian di Kecamatan Medan
Petisah sesuai jumlah populasi dengan cara purposive sampling.
Kriteria inklusi:
1. Berprofesi sebagai dokter gigi.
2. Bekerja di praktek dokter gigi, puskesmas, maupun rumah sakit di
Kecamatan Medan Petisah

Kriteria Eksklusi:

1. Dokter gigi yang menolak untuk diteliti.


2. Dokter gigi Spesialis

Universitas Sumatera Utara


Untuk menentukan besar sampel minimal, digunakan rumus besar sampel
penelitian cross-sectional yaitu:

Keterangan:

n = Besar sampel

p = Proporsi penelitian sebelumnya (58/73 = 0,79%)

d = Presisi mutlak (0,05)

z = z score ditentukan berdasarkan derajat kepercayaan (1,96)

N = Jumlah populasi ( 86 )

1.962 x (0,79)(1 − 0,79)(86)


n=
0,052 (86 − 1) + 1,962 (0,79)(1 − 0,79)

54,809
=
0,2125 + 0,6372

= 64,49 = 65 sampel minimal yang dibutuhkan.

2.4 Identifikasi Variabel Penelitian


Variabel Bebas : Perilaku dokter gigi
Variabel Terikat : Tindakan pencabutan gigi pada pasien penyakit ginjal
kronis.
Variabel Moderator : Anamnesis, tindakan prekausa di dental chair, tindakan
hemostasis, pemberian obat-obatan, anestesi lokal dan
umum, pemeriksaan tekanan darah pasien.

Universitas Sumatera Utara


2.5 Definisi Operasional
Tabel 4. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional

Perilaku Perilaku merupakan suatu bentuk perwujudan


terhadap sikap tentang pencabutan gigi pada pasien
penyakit ginjal kronis yang meliputi menanyakan
riwayat medis, merawat kondisi medis, tindakan
prekausa di dental chair, tindakan hemostasis,
memberikan obat yang tepat, pemeriksaan tekanan
darah, pemberian anestesi yang tepat dan
memberikan profilaksis antibiotik.

Tindakan pencabutan Kegiatan melepaskan gigi ke luar dari soketnya


gigi dengan menggunakan tang dan elevator tanpa
mengakibatkan trauma pada gigi dan jaringan
sekitarnya.

Anamnesis Pertanyaan yang diajukan oleh dokter gigi kepada


pasien PGK tentang riwayat kesehatan sistemik dan
rongga mulut.

Tindakan prekausa di Tindakan dokter gigi semasa pasien duduk di atas


dental chair kursi dental serta pengaturan posisi kursi dental.

Tindakan hemostasis Tindakan dokter gigi dalam mengontrol perdarahan


pada pasien semasa tindakan pencabutan gigi.

Pemberian obat- Obat-obat yang diresepkan oleh dokter gigi kepada


obatan pasien penyakit ginjal kronis sesuai dengan
kemampuan ekskresi ginjal.

Universitas Sumatera Utara


Anestesi Lokal dan Tindakan dokter gigi dalam memberikan anestesi.
Umum kepada pasien yang bisa berupa anestesi lokal dan
umum, sesuai dengan dosis kebutuhan pasien.

Pemeriksaan Tekanan Tindakan dokter gigi dalam memeriksa tekanan


Darah Pasien darah pasien sebelum tindakan pencabutan gigi
dilakukan.

2.6 Metode Pengumpulan Data


Data dikumpulkan dengan cara penyebaran kuesioner, dimana kuesioner
diberikan secara langsung kepada responden dan diisi langsung oleh responden.
Setelah diisi diserahkan kepada peneliti saat itu juga. Kuesioner yang diberikan
mempunyai satu bagian saja yaitu pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku
dokter gigi yang berpraktek di Kecamatan Medan Petisah tentang pencabutan gigi
terhadap pasien yang menderita penyakit ginjal kronis.
Prosedur pengumpulan data:
1. Peneliti meminta izin kepada dokter gigi untuk melakukan penelitian.
2. Sebelum penelitian dilakukan, peneliti menjelaskan tentang tujuan
penelitian dan pengisian kuesioner.
3. Setelah memahami tujuan penelitian, responden yang setuju diminta untuk
menandatangani surat ketersediaan menjadi responden.
4. Responden dibagikan kuesioner, bila ada pertanyaan yang tidak jelas,
diberikan kesempatan untuk bertanya.
5. Mempersilakan responden mengisi kuesioner sesuai petunjuk.
6. Kuesioner yang telah diisi, kemudian dikumpulkan dan diperiksa
kelengkapannya oleh peneliti kemudian dilakukan analisa.

2.7 Pengolahan dan Analisis Data


Data yang dikumpulkan melalui kuesioner yang diberikan kepada responden
akan dikelompokkan sesuai dengan langkah-langkah berikut:

Universitas Sumatera Utara


1. Coding, adalah pemberian kode-kode pada setiap data yang termasuk dalam
kategori yang sama. Pengkodean ini berguna untuk memudahkan
pengolahan data, sehingga harus tetap terlebih dahulu diteliti oleh peneliti.
2. Editing, adalah pemeriksaan atau pengoreksian data yang telah terkumpul,
tujuannya untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat lada
pencatatan di lapangan dan bersifat koreksi.
3. Tabulating data, adalah pembuatan tabel-tabel yang berisi data yang telah
diberi kode sesuai dengan analisis yang dibutuhkan.

Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi menggunakan Microsoft Excel


dan Microsoft Word.

2.8 Aspek Pengukuran


Perilaku dokter gigi di Kecamatan Medan Petisah mengenai tindakan sebelum,
semasa dan setelah tindakan pencabutan gigi pada pasien penyakit ginjal kronis
diukur melalui 15 pertanyaan. Skala Likert 3-point digunakan sebagai penilaian
jawaban responden dimana jawaban terbagi atas tiga yaitu selalu, kadang-kadang dan
tidak pernah. Skor tertinggi dari masing-masing pertanyaan adalah 3 dan skor
terendahnya adalah 1 sehingga skor tertinggi dari 15 pertanyaan adalah 45. Skor
diberikan berdasarkan jawaban yang benar untuk pertanyaan. Kemudian jumlah skor
dari setiap responden dihitung dengan rumus:

P = F / N x 100 %

P = Persentase
F = Jumlah jawaban yang benar
N = Jumlah soal

Universitas Sumatera Utara


Tabel 5. Kategori Skor Perilaku

Alat Ukur Hasil Ukur Kategori Skor


Penilaian
Sering Baik 31 – 45
Kuesioner (15
Kadang-kadang
pertanyaan)
Tidak Pernah
(penilaian Cukup/Neutral 30
berdasarkan
pertanyaan)
Kurang 15-29

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Responden


Dari Tabel 6, diketahui bahwa dokter gigi yang menjadi sampel penelitian
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebanyak 81,40% dengan dokter gigi
yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 95,35% dan tidak menjadi sampel
penelitian berdasarkan kriteria eksklusi adalah 13,95%.

Tabel 6. Kriteria dan Jumlah Responden Dokter Gigi

Kriteria Jumlah Persentase


Inklusi 82 95,35%
Eksklusi 12 13,95%
Inklusi dan Eksklusi 70 81,40%

4.2 Perilaku Responden dalam Pencabutan Gigi pada Pasien Penyakit


Ginjal Kronis
Perilaku responden tentang pencabutan gigi terhadap pasien penyakit ginjal
kronis termasuk kategori baik dalam hal menanyakan riwayat medis sebelum
merencanakan tindakan pencabutan gigi. Sebanyak 95,71% responden sering
menanyakan riwayat medis pasien sebelum mencabut giginya sementara 4,29%
responden yang kadang-kadang menanyakan riwayat medis pasien. Tidak ada
responden yang tidak pernah menanyakan riwayat medis pasien sebelum tindakan
pencabutan gigi.
Selain itu, perilaku responden termasuk kategori baik dalam meminta hasil
pemeriksaan darah pasien semasa anamnesis. Sebesar 75,71% responden selalu
meminta hasil pemeriksaan darah pasien sementara 21,43% responden yang kadang-
kadang meminta hasil pemeriksaan darah pasien penyakit ginjal kronis. Sebanyak

Universitas Sumatera Utara


2,86% responden tidak pernah meminta hasil pemeriksaan darah pasien penyakit
ginjal kronis semasa anamnesis.
Perilaku responden termasuk kategori baik dalam menanyakan apakah pasien
sedang menerima terapi obat-obatan, dialisis atau baru menjalani perawatan
transplantasi ginjal untuk mengontrol penyakitnya. Sebanyak 94,29% responden
sering menanyakan kepada pasien tentang perawatan dialisis atau transplantasi ginjal
yang kemungkinan sedang dijalani oleh pasien. Sebesar 5,71% responden yang
kadang-kadang menanyakan kepada pasien tentang perawatan pengganti ginjal yang
dilakukan. Tidak ada responden yang tidak pernah menanyakan pasien tentang
perawatan pengganti ginjal atau obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien penyakit
ginjal kronis.
Perilaku responden termasuk kategori baik dalam tidak merencanakan
pencabutan gigi pada pada hari perawatan hemodialisis pasien penyakit ginjal kronis.
Sebesar 90% responden tidak pernah merencanakan pencabutan gigi pada hari
perawatan hemodialisis dan 4,29% responden yang kadang-kadang merencanakan
pencabutan gigi pada pasien. Sebanyak 5,71% responden merencanakan pencabutan
gigi pada hari perawatan hemodialisis pasien.
Perilaku responden termasuk kategori baik dalam hal merawat kondisi
patologis sistemik yang diderita oleh pasien sebelum melakukan pencabutan gigi.
Sebesar 65,71% responden selalu merawat kondisi patologis sistemik pasien sebelum
mencabut giginya sementara 8,57% responden yang kadang-kadang merawat kondisi
patologis sistemik pasien. Sebanyak 25,71% responden pula tidak pernah merawat
kondisi patologis sistemik pasien penyakit ginjal kronis sebelum melakukan
pencabutan gigi.
Perilaku responden termasuk kategori baik dalam menjelaskan tentang resiko
terjadinya infeksi pada pasien transplantasi ginjal setelah pencabutan gigi. Sebanyak
90% responden sering menjelaskan resiko infeksi kepada pasien penyakit ginjal
kronis. Selain itu, 10% responden yang kadang-kadang menjelaskan resiko terjadinya
infeksi setelah pencabutan gigi. Tidak ada responden yang tidak pernah menjelaskan
tentang resiko infeksi pada pasien transplantasi ginjal sebelum pencabutan giginya.

Universitas Sumatera Utara


Perilaku responden termasuk kategori baik dalam memberikan antibiotik
profilaksis kepada pasien penyakit ginjal kronis sebelum tindakan pencabutan gigi.
Sebesar 55,71% responden sering memberikan antibiotik profilaksis sementara hanya
25,71% responden yang kadang-kadang memberikan antibiotik profilaksis untuk
pasien penyakit ginjal kronis. Namun, sebanyak 18,57% responden tidak pernah
memberikan antibiotik profilaksis untuk pasien penyakit ginjal kronis sebelum
tindakan pencabutan gigi.
Perilaku responden termasuk kategori baik dalam menempatkan pasien
penyakit ginjal kronis pada posisi semi supine atau 45 derajat di kursi dental. Sebesar
50% responden selalu menempatkan pasien ginjal kronis pada posisi 45 derajat
sementara 40% responden yang kadang-kadang melakukannya. 10% responden tidak
pernah menempatkan pasien penyakit ginjal kronis pada posisi tersebut.
Perilaku responden termasuk kategori baik dalam melakukan standard
precaution dengan menggunakan perlindungan seperti masker dan sarung tangan
sebelum mencabut gigi pasien penyakit ginjal kronis. Sebanyak 97,14% responden
sering memakai sarung tangan dan masker sebelum pencabutan gigi. Pada masa yang
sama, sebanyak 2,86% responden yang kadang-kadang memenuhi standard
precaution dengan memakai sarung tangan dan masker sebelum mencabut gigi pasien
penyakit ginjal kronis. Tidak ada responden yang tidak pernah memakai sarung
tangan dan masker sebelum mencabut gigi pasien penyakit ginjal kronis.
Perilaku responden termasuk kategori baik dalam melakukan pemeriksaan
prothrombin time (PT), partial thromboplastin time (PTT), platelet count dan
bleeding time (BT) pada pasien penyakit ginjal kronis sebelum pencabutan gigi.
Sebesar 41,43% responden sering memeriksa hasil PT, PTT, platelet count dan
bleeding time pasien penyakit ginjal kronis dari rekam medis sementara 31,43%
responden yang kadang-kadang memeriksa hasil darah tersebut. Selain itu, sebanyak
27,14% tidak pernah melakukan pemeriksaan PT, PTT, bleeding time dan platelet
count pada pasien penyakit ginjal kronis sebelum dilakukan pencabutan gigi.

Universitas Sumatera Utara


Perilaku responden termasuk kategori cukup dalam meresepkan obat
antibiotik jenis penisilin, klindamisin dan sephalosporin untuk pasien penyakit ginjal
kronis jika ada infeksi pada rongga mulut. Sebanyak 42,86% responden kadang-
kadang meresepkan obat antibiotik golongan tersebut dibandingkan 37,14%
responden yang sering meresepkan obat penisilin, klindamisin dan sephalosporin
untuk pasien penyakit ginjal kronis. Namun, 20% responden tidak pernah meresepkan
obat antibiotik penisilin, klindamisin atau sephalosporin untuk pasien penyakit ginjal
kronis.
Perilaku responden termasuk kategori baik dalam menghindari dari
meresepkan obat antiinflamasi non steroid (NSAID) seperti ibuprofen, naproxen dan
sodium diklofenak pada pasien penyakit ginjal kronis. Sebesar 65,71% responden
sering menghindari obat NSAID untuk pasien penyakit ginjal kronis sementara 30%
responden kadang-kadang menghindari dari meresepkan obat antiinflamasi dari
golongan non steroid untuk pasien ginjal kronis. Pada masa yang sama, sebanyak
4,29% responden yang didapati tidak pernah menghindari dari meresepkan obat
antiinflamasi non steroid untuk pasien penyakit ginjal kronis.
Perilaku responden termasuk kategori baik dalam menghindari obat
antibiotika seperti tetrasiklin dan aminoglikosida pada pasien penyakit ginjal kronis.
Sebanyak 57,14% responden selalu menghindari obat antibiotika tetrasiklin dan
aminoglikosida pada pasien penyakit ginjal kronis sementara 34,29% kadang-kadang
menghindari meresepkan obat tersebut. Sebesar 8,57% responden pula tidak pernah
menghindari meresepkan obat antibiotika tersebut untuk pasien penyakit ginjal
kronis.
Perilaku responden termasuk kategori cukup dalam melakukan modifikasi
dosis anestesi lokal pada pasien penyakit ginjal kronis sebelum tindakan pencabutan
gigi. Sebesar 48,57% responden kadang-kadang memodifikasi dosis anestesi lokal
untuk pasien penyakit ginjal kronis sementara 35,71% tidak pernah memodifikasi
dosis anestesi untuk pasien penyakit tersebut. Namun, 15,71% responden sering
melakukan modifikasi dosis anestesi lokal sebelum mencabut gigi pasien penyakit
ginjal kronis.

Universitas Sumatera Utara


Perilaku responden termasuk kategori baik dalam menunda pencabutan gigi
jika kadar tekanan darah pasien tinggi (melebihi 180/110 mm Hg) atau tidak
terkontrol. Sebanyak 87,14% responden selalu menunda pencabutan gigi pasien jika
tekanan darah tidak terkontrol sementara 5,71% responden yang kadang-kadang
menunda pencabutan gigi. Namun, sebesar 7,14% responden tidak pernah menunda
pencabutan gigi jika kadar tekanan darah pasien tinggi dan tidak terkontrol (Tabel 7).

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Perilaku Responden dalam Pencabutan Gigi pada


Pasien Penyakit Ginjal Kronis (n = 70)

Perilaku Selalu Kadang-kadang Tidak Pernah

Jlh % Jlh % Jlh %

1. Menanyakan riwayat medis 67 95,71 3 4,29 0 0


pasien
2. Meminta hasil pemeriksaan
53 75,71 15 21,43 2 2,86
darah pasien
3. Menanyakan apakah pasien
sedang menjalani dialisis 66 94,29 4 5,71 0 0
atau transplantasi ginjal
4. Merencanakan pencabutan
gigi pada hari perawatan
4 5,71 3 4,29 63 90
hemodialisis
5. Merawat kondisi patologis
sistemik pasien sebelum 46 65,71 6 8,57 18 25,71
pencabutan gigi
6. Menjelaskan resiko infeksi
63 90 7 10 0 0
kepada pasien transplantasi
ginjal

Universitas Sumatera Utara


7. Memberikan antibiotik
39 55,71 18 25,71 13 18,57
profilaksis sebelum
pencabutan gigi
8. Menempatkan pasien pada
35 50 28 40 7 10
posisi 45 derajat di kursi
dental
9. Memakai masker dan
68 97,14 2 2,86 0 0
sarung tangan sebelum
mencabut gigi
10. Melakukan pemeriksaan
PT, APTT, platelet count 29 41,43 22 31,43 19 27,14
dan bleeding time sebelum
pencabutan gigi
11. Meresepkan obat antibiotik
26 37,14 30 42,86 14 20
jenis penisilin, klindamisin
atau sephalosporin
12. Menghindari obat NSAID
46 65,71 21 30 3 4,29
seperti ibuprofen, naproxen
dan sodium diklofenak
13. Menghindari obat
tetrasiklin dan 40 57,14 24 34,29 6 8,57
aminoglikosida
14. Melakukan modifikasi
11 15,71 34 48,57 25 35,71
dosis anestesi lokal
sebelum pencabutan gigi
15. Menunda pencabutan gigi
61 87,14 4 5,71 5 7,14
jika kadar tekanan darah
tinggi/tidak terkontrol

Universitas Sumatera Utara


Hasil penelitan tentang perilaku pencabutan gigi pada pasien penyakit ginjal
kronis didapat persentase tertinggi pada kategori baik, yaitu 100% (Grafik 2). Skor
total keseluruhan 70 responden berada antara 33 hingga 45, yang termasuk kategori
baik. Tidak ada responden yang mendapat skor total dalam kategori cukup atau
kurang (Tabel 8 dan Grafik 1).

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Skor Total Responden dalam Pencabutan Gigi pada
Pasien Penyakit Ginjal Kronis
Skor Total Frekuensi Persentase (%)
(Maksimum 45) (Jumlah Responden)
33 1 1,43
34 1 1,43
35 6 8,57
36 7 10,00
37 12 17,14
38 6 8,57
39 9 12,86
40 3 4,29
41 11 15,71
42 4 5,71
43 5 7,14
44 2 2,86
45 3 4,29

TOTAL 70 100

Universitas Sumatera Utara


Grafik 1. Frekuensi Responden dengan Skor Total Responden

Frekuensi dengan Skor Total Responden


14

12

10

6 Frekuensi Responden

0
Skor total
0 10 20 30 40 50

Grafik 2. Kategori Perilaku Responden tentang Pencabutan Gigi

pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Perilaku

Baik
Cukup
Kurang

Universitas Sumatera Utara


BAB V
PEMBAHASAN

Dari segi perilaku, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 95,71%


responden menanyakan riwayat medis pasien sebelum merencanakan tindakan
pencabutan gigi. Hasil tersebut tergolong baik karena prosedur yang harus dilakukan
sebelum melakukan perawatan atau tindakan dental adalah menanyakan riwayat
medis terlebih dahulu. Namun, ada 4,29% responden yang kadang-kadang
menanyakan riwayat medis pasien. Berbeda dengan hasil penelitian tahun 2016 oleh
Ahamed A, et al., sebanyak 100% (100/100 responden) sering menanyakan riwayat
medis pasien sebelum perawatan dental.27 Penelitian Mohan M, et al., pada tahun
2011 menunjukkan bahwa 88,4% responden sering menanyakan riwayat medis pasien
sementara 11,6% responden tidak melakukannya. Hal ini mungkin disebabkan oleh
ketidakpedulian dokter gigi tentang kepentingan mencatat riwayat medis pasien.
Berdasarkan protokol kedokteran, semua dokter gigi harus menanyakan riwayat
medis pasien untuk mengenal komplikasi yang mungkin terjadi dan memodifikasi
rencana perawatan sesuai dengan kondisi pasien.28
Persentase responden yang sering meminta hasil pemeriksaan darah pasien
penyakit ginjal kronis adalah 75,71%. Hal ini tergolong baik karena hampir semua
pasien penyakit ginjal kronis menderita dengan anemia akibat ketidakmampuan ginjal
dalam menghasilkan hormon eritropoietin yang membentuk sel darah. Maka, amat
penting untuk dokter gigi memeriksa hasil darah pasien penyakit ginjal kronis untuk
melihat ketidakseimbangan jumlah sel darah pasien. Selain itu, studi pengamatan
pada tahun 2002 oleh Astor BC, Muntner P, Levin A, et al., menunjukkan bahwa
prevalensi anemia pada pasien penyakit ginjal kronis stadium III adalah 1,3%, pada
stadium IV adalah 5,2% dan 44,1% pada stadium V (stadium akhir); saat pasien
mulai perawatan dialisis, prevalensi anemia meningkat sehingga 90%.29 Di samping
itu, ada juga resiko infeksi karena akses vaskular dan potensi transmisi virus Hepatitis
B, Hepatitis C dan HIV, maka resiko infeksi ini harus dikonfirmasi pada pasien
hemodialisa melalui pemeriksaan serum darah.14 Namun dari penelitian ini, masih ada

Universitas Sumatera Utara


21,43% yang kadang-kadang meminta hasil pemeriksaan darah pasien dan 2,86%
yang tidak pernah meminta hasil darah pasien penyakit ginjal kronis.20
Perilaku responden baik dalam menanyakan sama ada pasien sedang
menerima terapi obatan, dialisis atau baru menjalani perawatan transplantasi ginjal
untuk mengontrol penyakit ginjal kronis dengan 95,71% dari 70 responden sering
melakukannya. Pada masa yang sama, 5,71% responden hanya kadang-kadang
menanyakan kepada pasien tentang perawatan yang dijalani. Pasien yang menderita
dengan penyakit ginjal kronis seringnya terpaksa menjalani perawatan pengganti
ginjal seperti dialisis atau transplantasi ginjal karena kedua-dua ginjalnya telah
mengalami kerusakan yang parah sehingga tidak bisa berfungsi seperti normal. Pasien
yang mendapat perawatan transplantasi ginjal akan mengalami imunosupresi akibat
dari obat-obatan imunosupresan sementara pasien yang menjalani hemodialisa
cenderung terjadinya perdarahan yang parah saat pencabutan gigi. Selain itu, pasien
dengan penyakit ginjal sering mengkonsumsi obat antihipertensi angiotensin-
converting-enzyme inhibitors (ACEi) atau angiotensin-II blockers (ARBs) yang bisa
mengakibatkan hiperplasia gingiva.13,14
Kebanyakan perilaku responden dalam merencanakan pencabutan gigi pada
hari perawatan hemodialisis pasien sudah benar, dimana dokter gigi tidak harus
mencabut gigi pada hari perawatan hemodialisis. Sebanyak 90% responden tidak
pernah merencanakan pencabutan gigi pada hari hemodialisis pasien sementara ada
4,29% yang kadang-kadang melakukannya dan 5,71% yang sering mencabut gigi
pasien penyakit ginjal kronis pada hari hemodialisis. Penelitian oleh Kipatrick TJ dan
Morton JB pada tahun 2002 menyarankan bahwa perawatan konservatif harus
dilakukan pada hari dialisis karena manfaat dialisis adalah maksimum pada saat ini
dan prosedur tersebut kurang beresiko dalam mengakibatkan perdarahan. Mereka
juga menyarankan tindakan pencabutan gigi ataupun tindakan bedah mulut yang lain
dilakukan di antara perawatan dialisis dimana darah pasien bebas dari heparin.
Namun begitu, mayoritas peneliti bersetuju bahwa tindakan elektif lebih baik
dilakukan pada hari setelah dialisis. Hal ini adalah karena efek heparinisasi telah

Universitas Sumatera Utara


berkurang dan metabolit uremik telah disingkirkan sehingga resiko kardiovaskular
dan perdarahan berkurang.3,30
Perilaku kebanyakan responden baik dalam merawat kondisi patologis
sistemik yang diderita oleh pasien terlebih dahulu sebelum melakukan pencabutan
gigi. Sebesar 65,71% responden merawat kondisi patologis pasien sementara 8,57%
responden yang kadang-kadang melakukannya. Meskipun begitu, sebanyak 25,71%
responden tidak pernah merawat kondisi patologis pasien sebelum pencabutan gigi.
Dalam hal ini, beberapa responden salah mengerti pertanyaan tersebut. Dalam usaha
untuk merawat kondisi patologis pasien, dokter gigi harus merujuk pasien ke dokter
spesialis yang sesuai dengan kondisi patologis pasien untuk mengontrol penyakit
yang dideritanya. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 oleh Shimpi N, et al.,
menunjukkan bahwa 63% responden (dokter gigi) merujuk pasien penyakit ginjal
kronis ke dokter spesialis/nefrologis.31
Perilaku responden termasuk kategori baik dalam menjelaskan tentang resiko
terjadinya infeksi pada pasien transplantasi ginjal setelah pencabutan gigi. Sebanyak
90% responden sering menjelaskan resiko infeksi kepada pasien penyakit ginjal
kronis. Selain itu, hanya 10% responden yang kadang-kadang menjelaskan resiko
terjadinya infeksi setelah pencabutan gigi. Studi oleh Ferguson dan Whyman pada
tahun 1998 menyarankan bahwa pasien yang menjalani operasi transplantasi ginjal
membutuhkan pemeriksaan oral yang lebih menyeluruh karena kondisinya. Walaupun
begitu, penelitian Klassen dan Krasko mendapati bahwa pemeriksaan rongga mulut
pratransplantasi tidak dilakukan dengan baik. Pada masa yang sama, penelitian
Wilson et al. dan Reyna et al. pada tahun 1982 mengatakan bahwa hanya beberapa
kasus yang dilaporkan tentang penyebaran infeksi odontogenik secara lokal dan
sistemik pada pasien penyakit ginjal kronis.3
Perilaku responden termasuk kategori baik dalam memberikan antibiotik
profilaksis kepada pasien penyakit ginjal kronis sebelum tindakan pencabutan gigi.
Sebesar 55,71% responden sering memberikan antibiotik profilaksis sementara hanya
25,71% responden yang kadang-kadang memberikan antibiotik profilaksis untuk
pasien penyakit ginjal kronis. Beberapa studi telah membuktikan bahwa pasien

Universitas Sumatera Utara


hemodialisis lebih rentan menderita dengan infeksi endokarditis dan infeksi akses
vaskular yang berpunca dari bakteri rongga mulut. Hasil penelitian De Rossi et al.
pada tahun 1996 mengindikasikan antibiotik profilaksis untuk pasien hemodialisis
yang akan menjalani tindakan dental yang invasif. Namun, penelitian yang dilakukan
pada tahun 2007 oleh Lockhart, et al., mengatakan bahwa tidak cukup buktinya
tentang manfaat profilaksis antibiotik untuk pasien hemodialisis walaupun
kebanyakan peneliti menyarankan profilaksis sebelum pencabutan gigi. Penelitian
oleh Gutierrez, et al., pada tahun 2006 pula mengatakan bahwa pasien dengan
penyakit ginjal kronis tidak terkontrol beresiko tinggi menderita dengan infeksi
endokarditis.14 Regimen antibiotik profilaksis yang sering disarankan untuk pasien
penyakit ginjal kronis adalah 2g amoksisilin melalui rongga mulut, satu jam sebelum
prosedur dental. Jika pasien alergi terhadap penisilin, maka obat antibiotik pilihan
utama adalah klindamisin (600mg melalui rongga mulut, satu jam sebelum
pencabutan gigi dilakukan).21 Meskipun begitu, sebanyak 18,57% responden dalam
penelitian ini tidak pernah memberikan antibiotik profilaksis untuk pasien penyakit
ginjal kronis sebelum tindakan pencabutan gigi.
Perilaku responden termasuk kategori baik dalam menempatkan pasien
penyakit ginjal kronis pada posisi semi supine atau 45 derajat di kursi dental. Sebesar
50% responden selalu menempatkan pasien ginjal kronis pada posisi 45 derajat
sementara 40% responden yang kadang-kadang melakukannya. Posisi 45 derajat atau
reverse trendelenburg position dikatakan bisa mengurangkan tekanan intrakranial
pasien hipertensi. Oleh karena itu, sering disarankan bahwa posisi kursi dental lebih
baik diaturkan pada posisi 45 derajat.26
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa 97,14% responden melakukan
standard precaution dengan menggunakan perlindungan seperti masker dan sarung
tangan sebelum mencabut gigi pasien penyakit ginjal kronis. Hasil penelitian ini lebih
baik dibandingkan penelitian oleh Mohan M et al pada 282 dokter gigi di Dakshina
Kannada, India. Dalam penelitiannya, sebesar 84,1% dokter gigi umum mengikuti
panduan universal precaution di praktek klinik masing-masing sementara 27,4%
dokter gigi spesialis tidak melakukannya dalam studi tersebut. Penelitian oleh Bishop

Universitas Sumatera Utara


GD et al., setelah meneliti sikap dan perilaku dokter gigi di Singapore, ternyata hanya
78% dokter gigi yang mengikuti universal precautions. Penelitian oleh Martins
Amebl et al. pada tahun 2010 terhadap dokter gigi di Montes Claros, Brazil
menunjukkan bahwa terdapat persentase tinggi dokter gigi yang tidak memakai
masker, sarung tangan, kaca mata pelindung, pelindung kepala dan/atau jas medis,
yaitu sebanyak 100%. Penemuannya menggambarkan kealpaan dan persepsi resiko
yang kurang oleh dokter gigi di kota tersebut. Oleh yang demikian, amat penting
untuk semua pekerja dalam pelayanan kesehatan mengikuti panduan universal
precaution setiap hari dalam praktek klinis.28 Meskipun demikian, dalam penelitian
ini, terdapat 2,86% responden yang kadang-kadang menggunakan perlindungan
seperti masker dan sarung tangan sebelum mencabut gigi pasien penyakit ginjal
kronis.
Sebagian besar responden dalam penelitian ini yaitu sebanyak 41,43%
responden sering melakukan pemeriksaan prothrombin time (PT), partial
thromboplastin time (PTT), platelet count dan bleeding time (BT) pada pasien
penyakit ginjal kronis sebelum pencabutan gigi sementara 31,43% responden yang
kadang-kadang memeriksa hasil koagulasi darah tersebut. Kebanyakan prosedur
elektif seperti tindakan pencabutan gigi harus dilakukan setelah kondisi medis pasien
stabil. Perdarahan setelah prosedur bedah merupakan kondisi yang sering terjadi di
praktek dental. Di samping pemeriksaan prothrombin time dan partial thromboplastin
time, pemeriksaan platelet count juga harus diperoleh. Jika nilai pemeriksaannya
tinggi, maka bisa menjadi potensi kemungkinan terjadinya perdarahan. Dengan
tambahan pemeriksaan waktu perdarahan (bleeding time), resiko abnormalitas
agregasi platelet akibat uremia bisa didiagnosa.26 Khususnya pasien yang menjalani
perawatan hemodialisis, pemeriksaan koagulasi darah amat penting untuk
menentukan resiko perdarahan karena prosedur hemodialisis melibatkan pemberian
antikoagulan heparin ke dalam saluran darah.3,20 Namun begitu, masih ada 27,14%
responden yang tidak pernah melakukan pemeriksaan PT, PTT, bleeding time dan
platelet count pada pasien penyakit ginjal kronis sebelum dilakukan pencabutan gigi.

Universitas Sumatera Utara


Perilaku responden tergolong kategori cukup dalam meresepkan obat
antibiotik jenis penisilin, klindamisin dan sefalosporin untuk pasien penyakit ginjal
kronis jika ada infeksi pada rongga mulut. Mayoritas responden yaitu 42,86%
responden kadang-kadang meresepkan obat antibiotik golongan tersebut
dibandingkan 37,14% responden yang sering meresepkan obat penisilin, klindamisin
dan sefalosporin untuk pasien penyakit ginjal kronis. Kebanyakan antibiotik dihapus
secara aktif oleh ginjal, maka modifikasi dosis jumlah dan frekuensi konsumsi obat
harus dilakukan. Penelitian oleh Cervero AJ et al. pada tahun 2008 menyarankan obat
penisilin (dan sejenisnya, seperti amoksisilin), klindamisin dan sefalosporin
merupakan obat antibiotik pilihan utama untuk pasien penyakit ginjal kronis. Pada
masa yang sama , bagi obat analgesik bukan narkotik, parasetamol merupakan obat
pilihan utama dalam mengurangkan rasa nyeri pada pasien. Dalam penelitian yang
sama juga, obat antiinflamasi non steroid (NSAID) seperti ibuprofen, naproxen dan
sodium diklofenak disarankan untuk dihindari karena bisa mengakibatkan
hipertensi.14,20 Dari hasil penelitian, perilaku responden baik dalam menghindari dari
meresepkan obat jenis NSAID kepada pasien penyakit ginjal kronis dengan 65,71%
responden sering menghindari memberikan obat tersebut kepada pasien ginjal kronis
sementara 30% kadang-kadang dan 4,29% tidak pernah menghindari obat NSAID
untuk pasien penyakit ginjal kronis.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa perilaku responden baik dalam
menghindari dari meresepkan obat antibiotika seperti tetrasiklin dan aminoglikosida
pada pasien penyakit ginjal kronis. Hal ini jelas karena sebagian besar yaitu 57,14%
responden sering menghindari obat tersebut sementara 34,29% kadang-kadang
melakukannya. Laporan oleh Gudapati et al, De Rossi et al dan Proctor R et al,
menyarankan bahwa obat antibiotika tetrasiklin dan aminoglikosida harus dihindari
pada pasien penyakit ginjal kronis karena bisa mengakibatkan nefrotoksisitas,
khususnya pada pasien yang mempunyai laju filtrasi glomerulus kurang dari 10
ml/menit.3,14,20
Bagi modifikasi dosis anestesi lokal pada pasien penyakit ginjal kronis,
perilaku responden tergolong cukup, yakni 48,57% sementara 35,71% tidak pernah

Universitas Sumatera Utara


melakukan modifikasi dosis anestesi bagi pasien penyakit tersebut. Menurut Profesor
James W.Little dan Donald A.Falace, dosis anestesi lokal untuk pasien penyakit
ginjal kronis secara umumnya tidak perlu dilakukan modifikasi.1 Anestesi lokal aman
diberikan kepada pasien penyakit ginjal kronis kecuali jika ada tanda kecenderungan
perdarahan pada pasien. Midazolam lebih banyak dipilih dibandingkan diazepam
karena mempunyai resiko terjadinya thrombophlebitis yang lebih minimal.13,24
Namun demikian, masih ada responden sebanyak 15,71% yang memilih untuk
melakukan modifikasi dosis anestesi lokal bagi pasien penyakit ginjal kronis.
Perilaku responden termasuk kategori baik dalam menunda pencabutan gigi
jika kadar tekanan darah pasien tinggi (melebihi 180/110 mm Hg) atau tidak
terkontrol. Sebanyak 87,14% responden selalu menunda pencabutan gigi pasien jika
tekanan darah tidak terkontrol sementara 5,71% responden yang kadang-kadang
menunda pencabutan gigi. Penelitian oleh Mohan et al, di India menunjukkan bahwa
96,35% dokter gigi umum dan 93,25% dokter gigi spesialis terlatih dalam mengukur
tekanan darah pasien.28 Dalam penelitian lain oleh Shimpi N et al, sebanyak 60%
(9/15) dokter gigi yang wisuda antara tahun 2001 hingga 2013 sering merujuk pasien
hipertensi ke dokter yang bersangkutan sementara 40% (6/15) kadang-kadang
melakukannya. Jika dibandingkan, bagi dokter gigi yang wisuda antara tahun 1983
hingga 2000, sebanyak 11% (1/9) responden sering merujuk pasien hipertensi
sementara 89% (8/9) kadang-kadang melakukannya.29 Walaupun demikian, sebesar
7,14% responden dalam penelitian ini tidak pernah menunda pencabutan gigi jika
kadar tekanan darah pasien tinggi dan tidak terkontrol.
Persentase kategori perilaku menunjukkan bahwa 100% responden termasuk
dalam kategori baik dan tidak ada responden yang termasuk dalam kategori perilaku
yang cukup maupun kategori kurang (Grafik 2).

Universitas Sumatera Utara


BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Perilaku responden tentang pencabutan gigi pada pasien penyakit ginjal
≥ 68,9%)
kronis termasuk kategori baik (skor total melebihi 30 atau secara
keseluruhan. Perilaku sebagian besar dokter gigi di Medan Petisah baik dalam hal
menanyakan riwayat medis sebelum pencabutan gigi, sering meminta hasil
pemeriksaan darah pasien, sering menanyakan apakah pasien menjalani dialisis atau
dilakukan transplantasi ginjal, tidak pernah merencanakan pencabutan gigi pada hari
perawatan hemodialisis pasien, sering merawat kondisi patologis sistemik pasien,
sering menjelaskan resiko infeksi kepada pasien transplantasi ginjal, sering
memberikan profilaksis antibiotik, sering menempatkan pasien pada posisi 45 derajat
pada kursi dental, sering memakai masker dan sarung tangan sebelum mencabut gigi,
sering melakukan pemeriksaan koagulasi darah, sering menghindari dari meresepkan
obat antiinflamasi non steroid dan obat antibiotik seperti tetrasiklin serta
aminoglikosida dan sering menunda pencabutan gigi jika kadar tekanan darah pasien
tinggi atau tidak terkontrol. Sedangkan mayoritas perilaku responden termasuk
kategori cukup dalam hal meresepkan obat antibiotik jenis penisilin, klindamisin dan
sefalosporin dan melakukan modifikasi dosis anestesi lokal untuk pasien penyakit
ginjal kronis.
2. Perilaku semua dokter gigi di Medan Petisah terdapat pada kategori baik
yaitu sebesar 100%, dengan tidak ada dokter gigi yang berperilaku cukup atau kurang
dalam pencabutan gigi pada pasien penyakit ginjal kronis.

Universitas Sumatera Utara


6.2 Saran
1. Dokter gigi di Medan Petisah sebaiknya sering meresepkan obat antibiotik
jenis penisilin, klindamisin dan sefalosporin untuk pasien penyakit ginjal kronis.
2. Dokter gigi di Medan Petisah tidak perlu melakukan modifikasi dosis
anestesi lokal pada pasien penyakit ginjal kronis sebelum tindakan pencabutan gigi.
3. Diharapkan pada penelitian berikutnya bisa dilakukan tentang prevalensi
karies pada pasien penyakit ginjal kronis.
4. Diharapkan calon peneliti lain bisa melakukan penelitian tentang perilaku
dokter gigi berdasarkan tahun wisuda masing-masing.
5. Diharapkan penelitian berikutnya bisa dilakukan dengan membandingkan
perilaku dokter gigi yang mempunyai praktek pribadi, praktek di puskesmas dengan
praktek di rumah sakit.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

1. Little JW. Falace DA. Little and Falace’s dental management of the medically
compromised patient. 8th ed. St Louis: Elsevier Mosby, 2013; 1-3, 186-187
2. Pedlar J. Frame JW. Oral and maxillofacial surgery, an objective-based
textbook. 2nd ed. St Louis: Elsevier Mosby, 2007; 253-255
3. Proctor R. Kumar N. Stein A. Moles D. Porter S. Oral and dental aspects of
chronic renal failure. J Dent Res 2005; 84(3): 199-205
4. Tjekyan RMS. Prevalensi dan faktor risiko penyakit ginjal kronik di RSUP
Dr.Mohammad Hoesin Palembang tahun 2012. MKS 2014; 46(4): 276-282
5. Neave N. Hormones and behaviour, a psychological approach. 1st ed.
Cambridge: Cambridge University Press, 2008; 53-55
6. Bergner RM. What is behavior? And so what? New Ideas in Psychol 2011;
29: 147-155
7. Morris, J. Marzano, M. Dandy, N and O’Brien, L. 2012. Forestry, sustainable
behaviours and behaviour change – setting the scene. Summary report. Forest
Research, Franham. http://www.forestry.gov.uk/fr/INFD-923FBR (25
September 2016)
8. Ramseier CA. Suvan JE. Health behavior change in the dental practice. 1st ed.
Ames: John Wiley & Sons, 2010; 24-28
9. Andersson L. Kahnberg KE. Pogrel MA. Oral and maxillofacial surgery. 1st
ed. Oxford: Blackwell Publishing, 2010; 181-185
10. Hupp JR. Ellis E. Tucker MR. Contemporary oral and maxillofacial surgery.
6th ed. St Louis: Elsevier Mosby, 2014; 91-92
11. Sherwood L. Human physiology: From cells to systems. 7th ed. Belmont:
Brooks/Cole, 2010; 511-529
12. Glick M. Burket’s oral medicine. 12th ed. Shelton: People’s Medical
Publishing House – USA, 2015; 411-418

Universitas Sumatera Utara


13. Scully C. Medical problems in dentistry. 6th ed. St Louis: Churchill
Livingstone Elsevier, 2010; 296-303
14. Alamo SM. Esteve CG. Perez MGS. Dental considerations for the patient with
renal disease. J Clin Exp Dent 2011; 3(2): e112 –e119
15. Schrier RW. Manual of nephrology. 8th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health, 2015; 241-252
16. Oyetola EO. Owotade FJ. Agbelusi GA. Fatusi OA. Sanusi AA. Oral findings
in chronic kidney disease: implications for management in developing
countries. BMC Oral Health 2015; 15(24): 2-8
17. Ahmed S. Lowder G. Severity and stages of chronic kidney disease. In: Gooz
M . Chronic kidney disease. 1st ed. Rijeka: InTech, 2012; 13-24
18. Chang CH. Lin CU. Tian YC. Jenq CC. Chang MY. Chen YC. et al., Acute
kidney injury classification: Comparison of AKIN and RIFLE criteria. J
Shock Soc 2010; 33(3): 247-252
19. Gupta M. Gupta M. Abhishek. Oral conditions in renal disorders and
treatment considerations – A review for pediatric dentist. The Saudi Dent J
2015; 27: 113-119
20. Cervero AJ. Bagan JV. Sorlano YJ. Roda RP. Dental management in renal
failure: Patients on dialysis. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2008; 13(7):
E419-E426
21. Abdei MJA. Dieter C. Schmidt L. Systemic conditions, oral findings and
dental management of chronic renal failure patients: General considerations
and case report. Braz Dent J 2006; 17(2): 166-170
22. Nielsen YW. Marckmann P. Thomsen HS. Imaging in chronic kidney disease.
In: Arici M. Management of chronic kidney disease, a clinician’s guide.
Berlin: Springer, 2014; 29-40
23. Thomas R. Kanso A. Sedor JR. Chronic kidney disease and its complications.
Prim Care Clin Office Pract 2008; 35: 329-344
24. Kuravatti S. David MP. Indira AP. Oral manifestations of chronic kidney
disease – An overview. Int J Contemp Med Res 2016; 3(4): 1149-1152

Universitas Sumatera Utara


25. Akar H. Akar GC, Carrero JJ. Stenvinkel P. Lindholm B. Systemic
consequences of poor oral health in chronic kidney disease patients. Clin J
Am Soc Nephrol 2011; 6: 218-226
26. Kiran MR. Syed AM. Iliger SR. Karigar AA. Dental care for patients with
chronic renal failure receiving dialysis. Unique J Med Dent Sci 2013; 1(1):
23-27
27. Ahamed A. Knowledge, attitude and perceived confidence in handling
medical emergencies among dental students. Pharm Sci & Res 2016; 8(7):
645-649
28. Mohan M. Sharma H. Parolia A. Barua A. Knowledge, attitude and perceived
confidence in handling medical emergencies among dental practitioners in
Dakshina Kannada, India. J OHDM 2015; 14(1): 27-31
29. Shemin D. Anemia and bone disease of chronic kidney disease: Pathogenesis,
diagnosis and management. Rhode Island Med J 2014; 1: 24-27
30. Xavier AM. Rai K. Hegde AM. Preventive protocols and management of oral
pathologies in chronic kidney disease: An update. Biol and Biomed Rep 2012;
2(1): 1-9
31. Shimpi N. Schroeder D. Kilsdonk J. Chyou PH. Glurich I. Assessment of
dental providers knowledge, behavior and attitude towards incorporating
chairside screening for medical conditions: A pilot study. J Den Oral Care
Med 2016; 2(1): 1-7

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Reevanash Poravi


Tempat/ tanggal lahir : Selangor / 30 Agustus 1995
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Alamat : Jl. Kamboja No.7 & 9, Setiabudi, Medan, 20122,
Indonesia
Nama orangtua
Ayah : Poravi S.P.S. Pillay
Ibu : Manokari A/P Sokkalinggam
Riwayat Pendidikan :
1. TK Kidtime, Shah Alam (2001-2002)
2. SRK La Salle, Petaling Jaya (2002-2008)
3. SMK La Salle, Petaling Jaya (2008-2012)
4. S-1 Fakultas Kedokteran Gigi USU, Medan (2013-2016)

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 2

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Salam hormat,
Saya yang bernama Reevanash Poravi, mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi
USU, ingin melakukan penelitian tentang “PERILAKU DOKTER GIGI DALAM
TINDAKAN PENCABUTAN GIGI PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL
KRONIS DI KECAMATAN MEDAN PETISAH PERIODE DESEMBER 2016
S/D JANUARI 2017”. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran
mengenai perilaku dokter gigi dalam tindakan pencabutan gigi pada pasien penyakit
ginjal kronis di Kecamatan Medan Petisah.
Penanganan masalah kesehatan gigi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
sangatlah kompleks. Pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki resiko tinggi
dalam perawatan dental, terutama karena tidak adanya kontrol medis yang adekuat.
Permasalahan yang mungkin timbul adalah bagaimana seorang dokter gigi dapat
melakukan perawatan dengan aman dan dengan risiko sekecil mungkin. Untuk itu,
seorang dokter gigi harus mempunyai pemahaman yang memadai mengenai penyakit-
penyakit atau kelainan sistemik, perlu mengetahui dengan pasti kesehatan umum
pasien dan kondisi pasien apakah cukup aman untuk dilakukan tindakan, khususnya
yang menyangkut tindakan pembedahan.
Proses penelitian memerlukan kerjasama yang baik dari Bapak/Ibu untuk
meluangkan sedikit waktunya. Saya akan memberikan kuesioner mengenai perilaku
dalam tindakan pencabutan gigi pada pasien penyakit ginjal kronis. Bapak/Ibu
diperlukan menjawab soal-soal pada kuesioner yang diberikan. Ini hanya
membutuhkan waktu kira-kira 10 menit untuk menjawab.
Pertama Bapak/Ibu akan ditanya mengenai identitas Bapak/Ibu. Setelah itu,
Bapak/Ibu akan menjawab 16 soal pada kuesioner mengenai perilaku dalam tindakan

Universitas Sumatera Utara


pencabutan gigi pada pasien penyakit ginjal kronis. Kemudian langsung akan
dikumpulkan kepada saya.
Jika Bapak/Ibu bersedia, Lembar Persetujuan Menjadi Subjek Penelitian
terlampir harap ditandatangani dan dikembalikan. Perlu diketahui bahwa surat
ketersediaan tersebut tidak mengikat dan Bapak/Ibu dapat mengundurkan diri dari
penelitian ini selama penelitian berlangsung.
Demikian penjelasan dari saya, atas partisipasi dan ketersediaan waktu
Bapak/Ibu, saya ucapkan terima kasih.

Peneliti,

Reevanash Poravi

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 3

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN


(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertandatangan dibawah ini:


Nama :
Jenis Kelamin : L/P
Alamat Praktek :
Setelah membaca dan mendapatkan penjelasan serta memahami sepenuhnya apa yang
akan dilakukan dan didapatkan pada penelitian yang berjudul
“PERILAKU DOKTER GIGI DALAM TINDAKAN PENCABUTAN GIGI
PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS DI KECAMATAN MEDAN
PETISAH PERIODE DESEMBER 2016 S/D JANUARI 2017”
Maka saya menyatakan bersedia ikut berpartisipasi menjadi salah satu subyek
penelitian ini yang diketahui oleh Reevanash Poravi sebagai mahasiswa Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara secara sadar dan tanpa paksaan, dengan
catatan apabila suatu ketika saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun berhak
membatalkan persetujuan ini.

Medan,.............................
Yang menyetujui,
Subjek penelitian

(..................................)

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 4

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

DEPARTEMEN BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL

Nomor :

Tanggal :

Nama :

Jenis Kelamin : L/P

Alamat Praktek :

PERILAKU DOKTER DALAM TINDAKAN PENCABUTAN GIGI PADA


PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS DI KECAMATAN MEDAN PETISAH
PERIODE DESEMBER 2016 – JANUARI 2017

PETUNJUK PENGISIAN:

1. Pengisian kuesioner dilakukan oleh dokter gigi yang memenuhi kriteria


inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi yang membuka praktek di
Kecamatan Medan Petisah.
2. Jawablah setiap pertanyaan yang tersedia dengan melingkari jawaban yang
dianggap benar.
3. Semua pertanyaan harus dijawab.
4. Setiap pertanyaan diisi dengan satu jawaban.
5. Bila ada pertanyaan yang kurang mengerti, silakan ditanya kepada peneliti.

Universitas Sumatera Utara


PERILAKU

1. Apakah anda menanyakan riwayat medis pasien sebelum


merencanakan tindakan pencabutan gigi?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

2. Jika dari anamnesis, ternyata pasien menderita dengan penyakit


ginjal kronis, maka apakah anda meminta hasil pemeriksaan
darah pasien?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

3. Apakah anda menanyakan sama ada pasien sedang menerima terapi


obatan, dialisis atau baru menjalani perawatan transplantasi ginjal
untuk mengontrol penyakit ginjal kronisnya?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

4. Pada pasien yang menjalani perawatan hemodialisis, apakah anda


merencanakan/melakukan pencabutan gigi pada hari perawatan
dialisisnya?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

Universitas Sumatera Utara


5. Apakah anda merawat kondisi patologis sistemik yang diderita
oleh pasien terlebih dahulu sebelum melakukan pencabutan gigi?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

6. Pada pasien yang telah menjalani operasi transplantasi ginjal,


apakah anda menjelaskan tentang resiko terjadinya infeksi pada
pasien setelah pencabutan gigi dilakukan?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

7. Apakah anda memberikan profilaksis antibiotik pada pasien


penyakit ginjal kronis sebelum melakukan pencabutan gigi?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

8. Apakah anda menempatkan pasien penyakit ginjal kronis pada


posisi 45 derajat/semi supine di kursi dental?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

Universitas Sumatera Utara


9. Apakah anda melakukan standard precaution dengan
menggunakan perlindungan seperti masker dan sarung tangan
sebelum mencabut gigi pasien penyakit ginjal kronis?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

10. Apakah anda melakukan pemeriksaan prothrombin time (PT),


partial thromboplastin time (PTT), platelet count dan bleeding time
(BT) pada pasien penyakit ginjal kronis sebelum pencabutan gigi?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

11. Jika ada infeksi pada rongga mulut pasien penyakit ginjal kronis,
apakah anda meresepkan obat antibiotik jenis penisilin, klindamisin
dan sephalosporin untuk pasien?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

12. Apakah anda menghindari dari meresepkan obat antiinflamasi non


steroid seperti ibuprofen, naproxen dan sodium diklofenak pada
pasien penyakit ginjal kronis?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

Universitas Sumatera Utara


13. Apakah anda menghindari dari meresepkan obat antibiotika seperti
tetrasiklin dan aminoglikosida pada pasien penyakit ginjal kronis?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

14. Apakah anda melakukan modifikasi dosis anestesi lokal pada pasien
penyakit ginjal kronis sebelum tindakan pencabutan gigi?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

15. Apakah anda menunda pencabutan gigi jika kadar tekanan darah
pasien tinggi (melebihi 180/110 mm Hg) atau tidak terkontrol?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 5

ANGGARAN BIAYA PENELITIAN

RINCIAN JUMLAH HARGA SATUAN TOTAL

Biaya pembuatan 40 halaman Rp. 2,000 Rp. 80,000


proposal

Biaya print dan 8 st x 40 halaman Rp. 5,000 Rp. 350,000


fotokopi

Biaya transportasi Rp. 600,000 Rp. 600,000

Biaya bahan habis Rp. 175,000 Rp. 175,000


pakai

Biaya penjilidan dan 8 st x 40 halaman Rp. 12,500 Rp 100,000


penggandaan

Biaya seminar Rp. 250,000 Rp. 250,000


proposal

Biaya lain-lain Rp. 250,000 Rp. 250,000

TOTAL Rp 1,805,000

CATATAN :

Semua biaya ditanggung oleh Peneliti.

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 6

JADWAL KEGIATAN

Waktu Penelitian
No Kegiatan September Oktober November Desember Januari Februari
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penulusuran
Kepustakaan
2 Pembuatan Proposal

3 Seminar Proposal

4 Pengumpulan Data
5 Pengolahan Data
6 Analisis Data
7 Penulisan Laporan
Penelitian
8 Diskusi Tim
9 Perbaikan dan
Penyerahan Laporan

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 7

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai