Anda di halaman 1dari 85

PREVALENSI KASUS PEMBEDAHAN KISTA RONGGA

MULUT YANG DILAKUKAN DI RSUP H. ADAM


MALIK MEDAN PERIODE TAHUN 2014-2017

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

OLEH:
LADY HELENA PATRICIA
130600183

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
MEDAN 2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial
Tahun 2018
Lady Helena Patricia
Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP H.
Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017.
xv+66 halaman
Kista merupakan salah satu kelainan rongga mulut yang sering dijumpai
dalam praktik kedokteran gigi. Kista dapat berasal dari sisa jaringan pembentuk gigi
yang dinamakan kista odontogenik, dapat pula yang pembentukannya tidak berkaitan
dengan jaringan pembentuk gigi yang dinamakan kista non-odontogenik. Secara
umum pembedahan kista rongga mulut dilakukan dengan dua kemungkinan cara,
yaitu tindakan marsupialisasi dan tindakan enukleasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui berapa banyak prevalensi kista rongga mulut yang mendapatkan
pembedahan baik menggunakan tindakan marsupialisasi maupun tindakan enukleasi
yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode tahun 2014 hingga 2017.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Teknik pengambilan sampel
dilakukan dengan teknik total sampling. Jumlah sampel adalah sebanyak 165 rekam
medik di RSUP H. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
Data didapatkan dari bagian rekam medik rawat jalan dan rawat inap RSUP H. Adam
Malik Medan.
Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP H.
Adam Malik Medan lebih banyak menggunakan tindakan enukleasi dibandingkan
dengan tindakan marspialisasi dengan kista odontogenik adalah kista yang paling
sering dijumpai pada pasien, lebih banyak terjadi pada usia pemuda (15-65 tahun) dan
lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Daftar Rujukan : 33 (2004-2017).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Faculty of Dentistry
Department of Oral and Maxillofacial Surgery
Year 2018
Lady Helena Patricia
Prevalence of oral cavity surgery conducted in RSUP H. Adam Malik Medan
period 2014-2017.
xv + 66 pages
Cyst is one of the oral cavity disorder that is often encountered in the practice
of dentistry. Cysts may originate from the rest of the tooth-forming tissues called
odontogenic cysts, or those that are not related to tooth-forming tissues called non-
odontogenic cysts. In general, oral cavity surgery is done with two possible ways,
namely marsupiliazion action and enucleation action. This study aims to find out how
much the prevalence of oral cavity cyst that gets surgery using either marsupiliazion
action or enucleation action conducted in RSUP H. Adam Malik Medan period 2014
to 2017.
This research is a descriptive research. The sampling technique was done by
total sampling technique. The number of samples were 165 records in RSUP H.
Adam Malik Medan that meet the criteria of inclusion and exclusion. The data were
obtained from the outpatient medical record and inpatient in RSUP H. Adam Malik
Medan.
The prevalence of oral cavity cyst surgery performed in RSUP H. Adam
Malik Medan used more enucleation action than with marsupiliazion with
odontogenic cyst is the most common cyst in patients, more common in youth age
(15-65 years) and more occur in women compared with men.
References : 33 (2004-2017).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji


Pada tanggal 9 Oktober 2018

TIM PENGUJI

KETUA : Abdullah Oes, drg


ANGGOTA : 1. Indra Basar Siregar, drg., M.Kes
2. Rahmi Syaflida, drg., Sp. BM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Yesus Kristus yang telah memberikan
rahmat, kasih, dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam
mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.
Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada ayahanda
tercinta Henry D Sitompul, SH., MH dan ibunda tercinta Vera Valoma Br Situmeang,
kakek tercinta Alm. Hitler Sitompul serta nenek tercinta Alm. Tiorlan Br Siahaan atas
kesabaran, kasih sayang, doa, dan dukungan baik moril maupun materil kepada
penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Dalam melaksanakan penulisan skripsi ini, penulis tidak lepas dari berbagai
hambatan dan kesulitan yang datang, namun berkat bimbingan, bantuan, nasehat,
saran, dan kerjasama dari berbagai pihak, segala hambatan tersebut dapat diatasi
dengan baik. Oleh karena itu, penulis dengan kerendahan hati dan dengan
penghargaan yang tulus penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes., Sp.RKG (K) selaku Dekan di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM selaku Ketua Departemen Bedah
Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
3. Indra Basar Siregar, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan serta saran-
saran yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Departemen Ilmu Bedah Mulut dan
Maksilofasial atas bantuan dan motivasinya.
5. Rini Octavia Nasution, drg., SH., Sp.Perio., M.Kes selaku dosen
pembimbing akademik yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama
menjalankan pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi USU.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


vii

6. Tulang, nantulang, uda, dan tante yaitu Kapten Liston Bennedi Situmeang
serta istri Elmi Br Rajaguguk dan Adi Saputra Ginting serta istri Lenny Octaviana Br
Situmeang yang telah mendukung dan memberikan banyak bantuan kepada penulis.
7. Opung boru tersayang serta seluruh keluarga besar penulis yang tidak
dapat disebutkan satu persatu atas dukungan, bantuan, dan doa yang telah diberikan
kepada penulis.
8. Teman-teman stambuk 2013 atas kebersamaan dan bantuannya kepada
penulis selama masa perkuliahan.
Penulis menyadari kelemahan serta keterbatasan ilmu yang penulis miliki
sehingga penulis masih membutuhkan kritik dan saran yang membangun. Akhirnya
penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang berguna
bagi kemajuan disiplin ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi khususnya Departemen
Ilmu Bedah Mulut dan Maksilofasial di masa yang akan datang.

Medan, 25 Oktober 2018


Penulis

(Lady Helena Patricia)


NIM : 130600183

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


viii

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………...
ABSTRAK…………………...………………………………………………
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………...
HALAMAN TIM PENGUJI...……………………………………………..
KATA PENGANTAR………………………………………...………….... vi
DAFTAR ISI…………………………………………………...…………... viii
DAFTAR TABEL…………………………………………………...……... xi
DAFTAR GAMBAR……………………………………...……………….. xii
DAFTAR GRAFIK………………………………………………………... xiv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….… xv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………….………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………….………………… 3
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………….…………. 3
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………........ 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Defenisi Kista Rongga Mulut……….………………….…………. 5
2.2 Etiologi……………………………………………………………. 5
2.3 Gambaran Klinis…………………………………………………... 6
2.4 Klasifikasi Kista Rongga Mulut………........................................... 8
2.4.1 Developmental…………………………………………………. . 9
2.4.2 Inflammatory…………………………………………………..... 26
2.5 Perawatan Kista Rongga Mulut………….……………………….. 31
2.5.1 Enukleasi……………………………………….......................... 31
2.5.2 Marsupialisasi…………………………....................................... 37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ix

2.6 Alur Penelitian…………………………………………………… 44


2.7 Kerangka Teori…………………………………………………... 45
2.8 Kerangka Konsep………………………………………………... 46

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Jenis Penelitian……………………………….…………………. 47
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………….……………..….………. 47
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian………………….……………… 47
3.4 Variabel dan Definisi Operasional Penelitian...…….……….…... 48
3.5 Metode Pengumpulan Data......……………………….…………. 48
3.6 Pengolahan Data…………………………...……………………. 49
3.7 Analisis Data…………………………...……………………….. 49

BAB 4 HASIL PENELITIAN


4.1 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode
tahun 2014-2017………………………………………….……… 50
4.1.1 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode
tahun 2014-2017 berdasarkan metode pembedahan....………… 50
4.1.2 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode
tahun 2014-2017 berdasarkan usia…………………....………... 51
4.1.2.1 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode
tahun 2014-2017 berdasarkan usia menurut WHO......………. 51
4.1.2.1 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode
tahun 2014-2017 berdasarkan usia menurut DINKES......…… 52
4.1.3 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


x

dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode


tahun 2014-2017 berdasarkan jenis kelamin……….....………… 54
4.1.4 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode
tahun 2014-2017 berdasarkan jenis kista yang diderita....……... 55

BAB 5 PEMBAHASAN………………..……………………………….… 57

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan……………………………….……………………… 63
6.2 Saran………….……………..….……………………………....... 64

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 65
LAMPIRAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Variabel dan Definisi Operasional……………………………………..... 48


2. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan
metode pembedahan……………………………….…………………..... 50
3. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan
usia menurut WHO.…………….……………………………………..... 52
4. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan
usia menurut DINKES....……….……………………………………..... 53
5. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan
jenis kelamin……………………….…………………………………..... 54
6. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan
jenis kista yang diderita…………....…………………………………..... 56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kista pada insisif papilla………………………………………………….. 7


2. Ilustrasi kista primordial………………………………………………..… 10
3. Gambaran histopatologi kista primordial………………………………… 11
4. Ilustrasi kista gingiva………………………………………………...…... 13
5. (A) Kista gingiva pada bayi……………………………………………… 13
(B) Kista gingiva pada orang dewasa…………...……………………….. 13
6. Dental lamina pada bayi…...…………………………………………….. 14
7. Gambaran klinis kista erupsi……...……………………………………… 15
8. Gambaran histopatologi kista erupsi…………………………………..…. 15
9. Ilutrasi kista dentigerous………………………………….……………… 16
10. Foto panoramik kista dentigerous…………….…………………………. 18
11. Gambaran histopatologi kista dentigerous……..……………..…………. 19
12. Ilustrasi kista lateral periodontal………..……………………………….. 20
13. Penampang kista lateral periodontal……..……………………………… 21
14. Gambaran radiologi kista lateral periodontal
pada gigi kaninus dan premolar…...…………………………………….. 21
15. (C) Gambaran radiologi kista lateral periodontal pada distal gigi 47
(D) Kista lateral periodontal pada gigi 47……………………………….. 22
16. Gambaran histopatologi kista duktus nasopalatinus……………….……. 24
17. Gambaran radiologi kista duktus nasopalatinus…………………….…... 25
18. Gambaran histopatologi kista radikular……………………………….… 29
19. Foto panoramik kista radikular pada regio gigi 44……………..……….. 30
20. (A) Radiologi kista radikular di regio periapikal gigi 13 dan 15
(B) Kasus lain kista radikular di regio periapikal gigi 23
(C) Foto panoramik kista radikular karena gangren gigi 16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


xiii

di regio apikal gigi 14, 15, dan 16…………………………………... 30


21. Panoramik kista residual pada gigi 46………………………………..…. 31
22. Enukleasi kista…………………………………………………………... 33
23. Marsupialisasi kista pada rahang bawah..……......................................... 43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


xiv

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

1. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan


metode pembedahan……………………………….…………………..... 51
2. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan
usia menurut WHO…………..………………………………………..... 52
3. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan
usia menurut DINKES………………………………………………..... 54
4. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan
jenis kelamin……………………….…………………………………..... 55
5. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan
jenis kista yang diderita…………....…………………………………..... 56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


xv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar Riwayat Hidup Peneliti


2. Jadwal Kegiatan
3. Anggaran Biaya
4. Ethical Clearance

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kista merupakan salah satu kelainan rongga mulut yang sering dijumpai
dalam praktik kedokteran gigi. Kista ini sendiri merupakan rongga patologis yang
tertutup, berkapsul, berbatas jelas dengan atau tidak adanya jaringan epitel, tumbuh
abnormal dalam rongga anatomis, baik pada jaringan keras atau lunak yang berisi
cairan, semifluid atau substansi gas, dan dapat juga mengandung kolesterol.1,2
Kista pada rahang dan mulut sudah dikenali sebagai masalah klinis sejak
lama, seperti yang ditemukan pada penjelasan Fauchard pada tahun 1746 yang
memberikan penjelasan tentang abses dentoalveolar dan perawatannya. Pada tahun
1780, John Hunter menuliskan tentang penyakit-penyakit tulang rahang dan
menjelaskan mengenai sebuah tipe dari lesi yang mana akan timbul sebagai kista.
Perawatan pada kista tulang rahang muncul pada literatur inggris pada tahun 1853
sampai tahun 1989. Pada tahun 1921, Ruffer dalam penelitiannya pada patologi tiga
spesimen mummi dari mesir ditemukan lesi pada rahang yang diperkirakan adalah
kista radikular. Pada tahun 1938, Lufkin juga menunjukan bahwa abses alveolar dan
perialveolar sering dijumpai pada penelitian palaeo-patologi, terutama pada mummi-
mummi mesir. Pada tahun 1951, Salama dan Hilmy membuat laporan dari
sekumpulan tengkorak dua spesimen yang dijumpainya di sakara. Spesimen yang
pertama merupakan tengkorak dewasa yang memperlihatkan kista radikular yang
besar yang berhubungan dengan gigi 2, 3, 4 kiri atas. Spesimen yang kedua
memperlihatkan adanya kista multilokular yang besar pada bagian kiri daerah
mandibular yang tidak bergigi (edentulous). Pada tahun 1960, Dascoulis menemukan
adanya kista radikular pada sebuah tengkorak yang diperkirakan berasal dari periode
Hellenistic. Pada tahun 1977, Neiburger menemukan lesi kistik pada sudut manibula
yang diangkat dari sebuah kuburan dari pertengahan kebudayaan Woodland, 700-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2

1100 SM. Neiburger memperkirakan diagnosa lesi sistik pada sudut mandibular
adalah kista multilokular atau ameloblastoma dan mungkin juga dapat diperkirakan
merupakan sebuah odontogenik keratokista (kista primordial) dari jenis yang dapat
dilihat secara radiologi dengan tepi-tepi yang scalloped. Penelitian yang terakhir
dilakukan oleh Keene yang meneliti kembali literatur dan studi arkeologi tentang
kerusakan tulang mandibular pada daerah lingual, atau kavitas Stafne, yang terkadang
disalahtafsirkan sebagai kista tulang soliter pada pemeriksaan gambaran radiologi.2
Letak kista ini sendiri dapat seluruhnya berada di dalam jaringan lunak atau
diantara tulang atau dapat berada di atas permukaan tulang. Kista juga dapat berasal
dari sisa jaringan pembentuk gigi yang dinamakan kista odontogenik, dapat pula yang
pembentukannya tidak berkaitan dengan jaringan pembentuk gigi yang dinamakan
kista non-odontogenik.1
Banyaknya kasus pada masyarakat yang terkena kista pada rongga mulut
dapat dilihat dari penelitian-penelitian ahli seperti penelitian yang dilakukan oleh
Banu G, dkk yang melakukan analisa kista odontogenik pada 90 pasien di dapat
prevalensi terbanyak adalah kista radikular 59%, odontogenik keratosis 27%, kista
dentigerous 14%.3 Menurut El Gehani R, dkk yang meneliti 2190 rekam biopsi di
dapat prevalensi kista odontogenik 14,8% dengan 326 kasus seperti kista radikular,
dentigerous, dan odontogenik keratosis.4 Menurut Esther M, dkk prevalensi yang
tertinggi kista radikular 56%, kista dentigerous 17%, kista nasopalatinus 13%,
odontogenik keratosis 11%, kista erupsi 0,7%.5 Menurut Deepashri H, dkk yang
meneliti 980 lesi biopsi di dapat prevalensi kista radikular 48,67%, kista dentigerous
17,33%, odontogenik keratosis 8%, kista paradental 7,33%, kista residual dan lateral
periodontal 6%.6 Menurut Rafael L, dkk yang meneliti 5.100 rekam medis prevalensi
yang di dapat kista radikular 51,3% dan kista dentigerous 30,7%.7 Menurut Nigel R
Johnson, dkk prevalensi terbanyak adalah kista radikular 54,6%, kista dentigerous
20,6%.8
Dari data prevalensi diatas dapat disimpulkan bahwasanya memang benar
kista rongga mulut merupakan kelainan pada rongga mulut yang paling sering
dijumpai oleh praktek dokter gigi dan dari data prevalensi diatas juga dapat di lihat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

bahwa kista rongga mulut yang paling sering di derita oleh pasien adalah kista
odontogenik seperti kista radikular, kista dentigerous, dan kista odontogenik
keratosis.1
Berdasarkan keterangan di atas sudah dijelaskan defenisi sampai sejarah dari
kista rongga mulut dan telah dituliskan juga prevalensi-prevalensi yang sudah diteliti
oleh peneliti di berbagai negara dan jika ditilik kembali dapat di lihat bahwa belum
adanya peneliti yang meneliti tentang prevalensi kista dari segi tindakan pembedahan
atau perawatannya di Negara Indonesia sendiri. Hal ini lah yang menjadi alasan
peneliti tertarik untuk mengambil topik penelitian prevalensi kasus pembedahan kista
rongga mulut yang akan dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan.
Secara umum pembedahan atau perawatan kista rongga mulut dilakukan
dengan 2 (dua) kemungkinan cara,9 yaitu tindakan marsupialisasi yang merupakan
tindakan pembuatan surgical window (kantung) pada dinding kista, membuang isi
kista, dan mempertahankan kontinuitas antara kista dan rongga mulut, sinus
maksilaris, dan rongga nasal dan yang kedua adalah tindakan enukleasi yang
merupakan suatu proses pembuangan jaringan kista secara utuh (isinya, gigi atau
benih gigi dari struktur disekitarnya) dalam satu potongan tanpa fragmentasi.10
Prevalensi jumlah kasus kista rongga mulut yang mendapatkan pembedahan di RSUP
H. Adam malik inilah yang selanjutnya akan dibahas ataupun di teliti lebih lanjut oleh
peneliti.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan tersebut diatas maka
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Berapa prevalensi kista rongga mulut yang mendapatkan pembedahan yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik periode tahun 2014-2017?
2. Berapa prevalensi kasus marsupialisasi yang dilakukan di RSUP H. Adam
Malik periode tahun 2014-2017?
3. Berapa prevalensi kasus enukleasi yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik
periode tahun 2014-2017?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan uraian rumusan masalah yang telah dijelaskan tersebut diatas
maka tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kista rongga mulut yang
mendapatkan pembedahan yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kasus marsupialisasi yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik.
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kasus enukleasi yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik.

1.4 Manfaat Penelitian


Dengan diketahuinya prevalensi tindakan pembedahan pada kista rongga
mulut yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik periode tahun 2014-2017, diharapkan
dapat menjadi:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi
mengenai prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di
RSUP H. Adam Malik periode tahun 2014-2017.
2. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi kontribusi bagi pengembangan
ilmu pengetahuan kepada instansi kesehatan maupun menjadi bahan ajar yang
berguna bagi fakultas-fakultas kedokteran gigi.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat tentang prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik periode tahun 2014-2017.
4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan penyuluhan bagi instansi
dan tenaga-tenaga kesehatan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Kista Rongga Mulut


Kista rongga mulut merupakan suatu rongga patologis yang tertutup,
berkapsul, berbatas jelas dengan atau tidak adanya jaringan epitel, tumbuh abnormal
dalam rongga anatomis, baik pada jaringan keras atau lunak yang berisi cairan,
semifluid atau substansi gas, dan dapat juga mengandung kolesterol. Kista dapat
terjadi di antara tulang ataupun di antara jaringan lunak dan dapat dihubungkan
dengan nyeri ataupun pembengkakan. Pada umumnya kista ini dapat berjalan lambat
dengan lesi yang meluas.1,2
Mayoritas kista berukuran kecil dan tidak menyebabkan pembengkakan di
permukaan jaringan. Apabila tidak ada infeksi, maka secara klinis pembesarannya
minimal dan berbatas jelas. Pembesaran kista dapat menyebabkan asimetris pada
wajah, pergeseran gigi yang terlibat, hilangnya gigi yang berhubungan ataupun gigi
tetangganya. Kista jika dilihat dengan pemeriksaan radiografi, terlihat gambaran
radiolusen yang dikelilingi gambaran radiopak tipis, dapat berbentuk uniokular atau
multiokular.11

2.2 Etiologi
Penyebab timbulnya kista terkadang tidak diketahui, namun biasanya dapat
disebabkan akibat dari proses inflamasi, trauma, ataupun karena cacat embriogenik.
Contohnya saja kista radikular yang merupakan salah satu kista odontogenik yang
merupakan riwayat peradangan. Kista ini selalu berhubungan dengan pulpa non-vital
yang mengalami proses peradangan ke daerah peri-apeks. Kista dentigerous yang
disebabkan oleh gangguan pertumbuhan perkembangan gigi, kista fisural yang dapat
dikarenakan adanya gangguan tumbuh kembang embrional, kista residual akibat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

adanya kista yang masih bertahan setelah gigi di ekstraksi, dan kista-kista non-
odontogenik yang biasanya disebabkan oleh trauma. 1,16

2.3 Gambaran Klinis


Manifestasi klinis kista disebabkan adanya ekspansi kista kejaringan
sekitarnya. Kista cenderung berubah bentuk jika mengadakan ekspansi. Ekspansi
kista ini sendiri menyebabkan terdapatnya ransangan pada periosteum untuk
meletakkan tulang baru sehingga secara klinis tampak tonjolan yang licin, keras, dan
tidak sakit selanjutnya, tulang diatasnya menjadi tipis dan jika ditekan dengan jari
tangan akan menimbulkan bunyi seperti kulit telur yang diremas (egg shell cracking)
dan akhirnya akan tampak tulang tipis yang menghilang dan kista hanya dilapisi oleh
mukosa mulut (bony shell).1
Kista mandibula cenderung menyebabkan pembengkakan labio-bukal, kecuali
bila terletak di daerah molar tiga karena kista sering meluas ke lingual yang
disebabkan oleh tulang kortikal pada daerah tersebut lebih tipis. Letak dari
pembengkakan ini akan memberikan petunjuk darimana asal kista tersebut.
Contohnya antara lain:
 Kista radikular yang lebih sering ditemukan pada gigi-gigi anterior rahang
atas.
 Kista dentigerous berasal dari degenerasi folikel di sekitar mahkota gigi tetap.
Kista ini juga akan meresorpsi tulang dan terkadang juga akar. Sebagian besar
kista ini terletak pada regio gigi impaksi (sekitar mahkota, molar tiga bawah,
kaninus atas, dan premolar bawah).
 Kista fisural umumnya terbatas pada maksila.
 Kista tulang soliter dan kista tulang idiopatik terbatas pada mandibula.
 Kista keratosis odontogenik berasal dari sisa lamina gigi yang dapat
menimbulkan masalah karena dapat tumbuh hingga sangat besar, meresorpsi
tulang dan gigi, serta dapat mengalami rekurensi setelah dilakukan tindakan
enukleasi sederhana karena adanya daughter cyst di dalam kapsul. Berbentuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

unilokular ataupun multilokular dan umumnya terdapat pada daerah molar


tiga bawah dan sering meluas ke dalam ramus. 1,16

Gambar 1 : Kista pada insisif papila.22

Kista rahang tidak selalu disertai dengan rasa sakit, jika pada kista rahang
tidak terjadi infeksi. Begitu juga dengan vitalitas gigi geligi yang berdekatan dengan
kista yang tidak terinfeksi, tidak berkurang meskipun ukuran kista besar dan tulang
penyangganya banyak yang hilang, sebaliknya pada gigi geligi yang berdekatan
dengan kista yang terinfeksi mungkin akan terjadi kehilangan respon vitalitas yang
sifatnya sementara.1
Pada kista rongga mulut juga dapat dilakukan pemeriksaan biopsi yang jika
kista tersebut di aspirasi menunjukkan adanya cairan kolesterin berwarna kuning.
Pada pemeriksaan radiografi tidak semua kista rahang berbentuk radiolusen
bulat/oval dengan tepi radiopak yang jelas. Faktor yang mempengaruhi hal ini terjadi
beragam bisa saja dipengaruhi tipe, lokasi kista, dan derajat kerusakan tulang serta
ada atau tidaknya infeksi pada kista, sebaliknya tidak semua gambar radiolusen
dengan tepi yang jelas adalah kista, hal ini disebabkan banyak tumor odontogenik
seperti ameloblastoma, ameloblastik fibroma, odontogenik miksoma, serta kelainan
lain seperti central giant cell granuloma, hemangioma sentral yang juga memberikan
gambaran radiologi yang serupa.1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

Umumnya gambaran radiologi, gambaran klinis, tes vitalitas gigi ini penting
dalam menegakkan diagniosis yang tepat. Terdapat beberapa hal yang dapat juga
membantu menegakkan diagnosis suatu kista:1
 Kista gingiva biasanya dibatasi epitel gepeng berlapis yang tak berkeratin di
atas jaringan ikat fibrosa padat.
 Kista epidermoid dibatasi epitel gepeng berlapis berkeratin dan appendeges
kulit (kelenjar sebasea, folikel rambut).
 Kista radikular atau periodontal biasanya dibatasi epitel gepeng berlapis yang
tak berkeratin di atas jaringan ikat fibrosa padat, menunjukkan infeksi
sekunder dengan infiltrasi sel radang kronis terutama sel plasma. Hal ini
jarang dijumpai pada kista keratosis odontogenik, atau gingiva.
 Kista dentigerous biasanya dibatasi epitel gepeng berlapis yang tak berkeratin
di atas jaringan ikat fibrosa padat dan jarang sekali menunjukan infeksi
sekunder dengan infiltrasi sel radang kronis terutama sel plasma. Kista
dentigerous yang terletak di mandibula kadang-kadang dilapisi sel-sel goblet
atau mengandung folikel limfoid atau sisa sel epitel odontogenik di bawah
lapisan epitel dinding kista. Dikarenakan adanya proliferasi sisa epitel
odontogenik kista dentigerous ini sering keliru dan dapat di diagnosis sebagai
ameloblastoma.
 Kista fisural dibatasi epitel gepeng berlapis yang tak berkeratin di atas
jaringan ikat fibrosa padat, menunjukkan infeksi sekunder dengan infiltrasi sel
radang kronis terutama sel plasma. Hal ini jarang dijumpai pada kista
keratosis odontogenik, atau gingiva. Kista fisural yang terletak di maksila
sering dibatasi oleh epitel yang berkeratin tipis.
 Kista median anterior maksila sering dijumpai kelenjar mukus dan pembuluh
darah serta saraf pada dinding jaringan ikat kista.

2.4 Klasifikasi Kista Rongga Mulut


Banyak klasifikasi pada kista yang dapat ditemukan pada literatur seperti yang
pertama klasifikasi dari WHO (World Health Organization) yang merupakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

klasifikasi standar yang harus dipahami. Pada klasifikasi WHO (1992 dan 2005) kista
rongga mulut terbagi atas 2 (dua) tipe yaitu developmental (perkembangan) dan
inflammatory (peradangan).14

2.4.1 Perkembangan (developmental)


A. Kista odontogenik
Kista odontogenik adalah suatu rongga patologis yang berisi cairan, dilapisi
oleh epitel dan jaringan kolagen yang berasal dari epitel odontogenik. Epitel yang
membentuk kista pada rahang atas berasal dari sisa jaringan lamina dentis dan sisa sel
dari serres, penyusutan epitel enamel (email) yang menyusun folikel dentin akibat
pertumbuhan gigi, serta sisa sel dari malassez.15
Jaringan epitel sisa dapat berasal dari tiga sumber, yaitu pertama dari sel-sel
epitel yang menetap setelah disolusi dari lamina dental yang disebut dengan sisa sel
dari serres. Sel ini dapat menimbulkan keratokista odontogenik dan juga dapat
menimbulkan pertumbuhan kista periodontal lateralis serta kista gingiva pada orang
dewasa. Kedua dapat berasal dari organ enamel (email) yang mengalami reduksi, dari
organ enamel (email) pasca fungsional sesudah penyelesaian dari perkembangan
mahkota gigi. Jaringan ini merupakan asal timbulnya kista dentigerous. Ketiga
berasal dari sisa sel malassez yang timbul mengikuti pemisahan selubung akar dari
Hertwig’s, yang bertanggung jawab terhadap pembentukan akar gigi. Kista yang
tergolong dalam kista odontogenik adalah kista primordial (keratokista), kista
gingival, kista erupsi, kista dentigerous (folikular), lateral periodontal, dan kista
glandular odontogenik, kista globulomaksilari. 15,20,27

1) Kista primordial (keratokista)


Istilah odontogenik keratokista pertama kali diperkenalkan oleh Philipsen, lalu
pada laporan Pinborg, Philipsen dan Henriksen, serta Pinborg dan Hansen, istilah
keratokista digunakan untuk menerangkan setiap kista rongga mulut di mana
didalamnya terdapat jaringan keratin dalam bentuk yang besar. 9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

Gambar 2 : Ilustrasi kista primordial (keratokista)


A. Kista primordial (keratokista) berasal dari jaringan epitel primodial.
B. Kista primordial (keratokista) berasal dari kista dentigerous. 9

Kista primordial atau keratokista merupakan jenis kista yang berbeda dengan
kista yang lain karena sifatnya yang cenderung kambuh setelah perawatan bedah.
Kista primodial ini juga dapat tumbuh dalam ukuran yang besar, mempunyai
gambaran histologi seperti epitel parakeratotik dengan sel basalnya yang berbentuk
seperti pagar (kuboid) tersusun palisade, lapisan epitel skuamosa yang mengalamai
parakeratinisasi dan mempunyai ketebalan 6 (enam) sampai 10 (sepuluh) lapis sel,
pada pembesaran mikroskopik menunjukkan lumen yang dilapisi oleh lapisan epitel
yang terkeratinisasi dengan permukaan yang berkerut-kerut dan berisi sejumlah
desquamated parakeratin, pada permukaan luminalnya dilapisi oleh lapisan jaringan
parakeratin dengan permukaan yang berkerut-kerut, mengandung sedikit rate pegs,
gambaran lainnya yang mungkin dapat ditemukan adanya sisa dental lamina,
terbentuknya mikrokista, dan kista-kista satellite pada dinding kapsul kista.9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

Gambar 3 : Gambaran histopatologi kista primordial


A. Gambaran perbesaran 10X.
B. Pembesaran yang menunjukkan dinding kista yang tersusun atas
6-10 sel dan menunjukkan lumen yang terisi oleh keratinisasi,
permukaan mengalami keratinisasi dan berkerut-kerut.
Lapisan basal tersusun dari sel palisade. Rate pegs dan jaringan
ikat di dalam kapsul terlihat kendur.
C. Di dalam kista banyak didapatkan bentukan kista mikro. 9

Keratokista (kista primordial) mempunyai persentase kekambuhan yang


cukup tinggi. Stoelinga dan Peters menyatakan rekurensi ini timbul karena adanya
dinding kista yang masih melekat pada jaringan mukosa, terutama pada regio molar
ketiga rahang bawah, maka sebaiknya dilakukan eksisi pada mukosa tempat
perlekatannya jaringan kista untuk mencegah kekambuhan akibat tertinggalnya sisa-
sisa sel basal. Odontogenik keratokista juga sering tumbuh pada rahang atas, terutama
pada regio posterior atau regio diantara gigi kaninus dan insisif kedua, juga pada
sekitar gigi yang tidak erupsi, dapat juga tumbuh bersama dengan kista dentigerous
kemudian menyebabkan terjadinya fusi antara keratokista dan kista dentigerous.
Odontogenik keratokista dapat tumbuh dengan ukuran yang besar dan dapat
mengakibatkan destruksi pada tulang rahang. 9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

Keratokista dapat tumbuh pada rata-rata usia 32,1 tahun dan akan mencapai
puncaknya di usia dekade kedua dan ketiga seperti yang diperlihatkan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Browne pada tahun 1969 dan tahun 1972. Pada
pemeriksaan radiologi odontogenik keratokista memberikan gambaran radiologi
berbatas jelas dimana batas jelas yang tampak merupakan tepi yang mengalami
dekortikasi yang membatasi gambaran radiolusen yang dapat berbentuk soliter
dengan tepi yang halus (scallop). Akan tetapi, jika pada kasus dimana kista
mengalami proses peradangan, batas jelas tersebut akan hilang. Gambaran radiologi
keratokista mirip dengan gambaran radiologi kista dentigerous, kista periodontal
lateralis, kista residual, dan kista fisural sehingga dapat membingungkan dokter gigi
dalam mengidentifikasi kista tersebut dan juga pada penelitian secara histologi seperti
yang dilakukan oleh Payne pada jenis keratokista yang berulang-ulang rekuren,
ditemukan proliferasi semacam tunas di lapisan sel basal pada 5 (lima) kasus dari 11
(sebelas) kasus yang ditelitinya, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh
Donatsky, dkk ditemukan proliferasi seperti tunas pada sel basal pada 5 (lima) kasus
dari 55 (lima puluh lima) kasus yang ditelitinya. 9

2) Kista gingiva
Kista gingiva tumbuh hanya pada jaringan lunak dan tidak melibatkan tulang.
Kista gingiva dapat ditemukan pada orang dewasa dan juga bayi, dimana pada orang
dewasa lebih banyak ditemukan pada wanita sekitar 65% dibandingkan dengan pria
hanya 35% saja dan pada bayi biasanya ditemukan saat usia bayi di bawah 3 (tiga)
bulan. Oleh karena itu, pada bayi yang baru lahir sebaiknya dilakukan pemeriksaan
keadaan rongga mulutnya untuk melihat kemungkinan terbentuknya nodul-nodul
kecil seperti mutiara.9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

Gambar 4 : Ilustrasi kista gingiva.9

A B
Gambar 5 : (A) Kista gingiva pada bayi.
(B) Kista gingiva pada orang dewasa.9

Pada kista gingiva terjadi pembengkakan dengan batas jelas dengan diameter
kira-kira 1 (satu) cm pada regio attached gingiva ataupun pada papilla gingiva. Kista
gingiva juga mempunyai bentuk yang bermacam-macam dengan permukaan yang
halus berwarna kebiruan dan lebih sering tumbuh pada mandibula dibandingkan
maksila, terutama pada regio kaninus dan premolar. Lesi pada kista gingiva dapat
teraba lunak, fluktuatif dan gigi-gigi yang terlibat mempunyai vitalitas gigi vital.
Kista gingiva mempunyai dinding yang sangat tipis di bentuk oleh jaringan epitel
yang terdiri dari 1 (satu) atau 2 (dua) lapisan sel pipih atau berbentuk kubus. Pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

pemeriksaan radiologi, kista gingiva mempunyai gambaran radiologi yang tidak jelas
dan dapat juga memperlihatkan suatu bayangan erosi dari tulang yang terlibat kista. 9
Pada bayi, kista gingiva tumbuh dari hasil diferensiasi sel epitel dental lamina
yang selanjutnya akan mengalami keratinisasi dan membentuk kista kecil sejak pada
tahap awal pertumbuhan pada usia 10 (sepuluh) minggu intrauterine. Dimana pada
jaringan epitel rongga mulut akan terlihat adanya benjolan tipis pada daerah atas
permukaannya. Pada masa morfodiferensiasi atau tahap late bell stage, jika terjadi
pertumbuhan kistik berasal dari sisa dental lamina, maka massa kista akan mengalami
percepatan pertumbuhan yang terjadi pada 15-20 minggu usia kehamilan. Kista
gingiva pada bayi merupakan kista yang dindingnya dilapisi oleh epitel tipis jenis
stratified squamous dengan permukaan yang parakeratotik dan jaringan keratin yang
mengisi kavitas kista serta mempunyai sel basal yang berbentuk datar. 9

Gambar 6 : Dental lamina pada bayi, didapatkan bentuk


jaringan keratin mengisi lumen kista dan terletak di bawah
jaringan epitel mukosa mulut.9

3) Kista erupsi
Kista erupsi sebenarnya merupakan tipe lain dari kista dentigerous dimana
mempunyai patogenesis yang sama dan letak kista di ekstraosseous. Perbedaannya
terletak pada waktu pembentukan kista, dimana kista erupsi terbentuk saat gigi akan
erupsi.9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

Pada anak-anak umumnya kista terbentuk saat terjadi pertumbuhan gigi


sulung ataupun pada pertumbuhan gigi insisif atau molar. Kista akan tumbuh
menutupi mahkota gigi lalu menekan jaringan mukosa diatasnya. Kista erupsi tidak
tumbuh di bagian tulang sehingga pada gambaran radiologi tidak terlihat kelainan,
tetapi akan terlihat pada bagian gingiva yang menebal. 9

Gambar 7 : Gambaran klinis kista erupsi.9

Secara klinis pada kista erupsi akan terlihat pembengkakan pada gingiva
dengan warna yang kebiruan dilapisi oleh selapis tipis mukosa. Pada pemeriksaan
histopatologis kista erupsi memiliki gambaran histopatologis yang sama dengan kista
dentigerous.9

Gambar 8 : Gambaran histopatologi kista erupsi.9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

4) Kista dentigerous
Kista dentigerous tumbuh dari dental follicle pada gigi yang tidak erupsi atau
dari gigi yang sedang dalam masa pertumbuhan. Kista ini merupakan kista terbanyak
setelah kista radikular. Tumbuh paling sering di regio posterior mandibula ataupun
maksila dan biasanya berhubungan dengan molar ketiga. Kista dentigerous biasanya
ditemukan pada individu berusia 20 (dua puluh) tahun. Umumnya ditemukan secara
kebetulan pada pemeriksaan radiologi, dapat dikarenakan adanya keluhan gigi yang
tidak tumbuh, gigi yang hilang, karena adanya gigi-gigi yang malposisi atau keluar
dari lengkung gigi, ataupun dikarenakan adanya keluhan dari penderita karena
timbulnya pembengkakan yang semakin membesar dengan ukuran diameter
mencapai 10-15 cm. Karena besarnya ukuran kista, maka dapat pula menimbulkan
terjadinya fraktur patologis. Kista dentigerous biasanya tumbuh menutupi mahkota
gigi yang tidak erupsi dengan ujung melekat di leher gigi dan tumbuh tanpa disertai
rasa sakit kecuali bila terjadi infeksi pada kista.9 Karakteristik kista dentigerous yang
terinfeksi adalah rete ridge yang hiperplastik dan dinding kista memperlihatkan
infiltrasi inflamatori.16

Gambar 9 : Ilustrasi kista dentigerous.9

Terdapat 2 (dua) teori tentang pertumbuhan kista dentigerous, yaitu pertama


bahwa kista dentigerous dimulai dengan pengumpulan cairan antara sisa epitel

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

pembentuk enamel dengan mahkota gigi. Tekanan cairan akan menyebabkan


terjadinya poliferasi sisa epitel pembentuk enamel menjadi sebuah kista. Kedua
bahwa pembentukan kista dimulai dengan terpecahnya stellate reticulum dan
selanjutnya akan terjadi pembentukan cairan antara outer dan inner epitelium.
Epitelium tersebut masih melekat pada regio cemento enamel junction dan
selanjutnya bagian outer epitelium akan tertekan ke arah permukaan gigi. Kedua teori
ini menganut pendapat yang sama dimana proliferasi kista terjadi oleh proses
hiperosmolaritas sehingga akan terjadi kerusakan sel-sel kista di bagian tengah dan
selanjutnya akan terjadi tekanan gradient osmotic yang akan memompa cairan di luar
kista menuju lumen kista.9,26
Patogenesis kista dentigerous dapat dibagi menjadi 4 (empat) tahap, yaitu
tahap awal ditandai dengan kista yang belum merusak tulang sehingga tulang
diatasnya masih utuh dan teraba keras, tahap sensasi bola pingpong yang ditandai
dengan sudah mulainya terjadi desakan kista yang semakin besar pada tulang, tahap
krepitasi dimana pada tahap ini sudah terjadi fragmentasi dari tulang diatasnya akibat
desakan kista sehingga pada saat palpasi akan teraba adanya krepitasi, dan yang
terakhir, yaitu tahap fluktuasi dimana pada tahap ini hanya ada bila kista telah
mengerosi tulang secara sempurna.17
Pada pemeriksaan radiologi, gambaran radiologi dari kista dentigerous
menunjukkan terdapatnya radiolusen unilokuler yang berhubungan dengan mahkota
gigi yang tidak erupsi. Gambaran radiolusen ini berbatas jelas dengan batas yang
sklerotik akan tetapi, jika pada kista terjadi peradangan batas tersebut dapat hilang.
Dapat pula terlihat gambaran tulang yang mengalami trabekulasi sehingga dapat
memberikan kesan gambaran yang multilokuler. 9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

Gambar 10 : Foto panoramik kista dentigerous


A. Kista dentigerous di rahang atas, terdapat
kaninus yang impaksi.
B. Kista dentigerous pada regio molar
C. tiga kanan yang impaksi.9

Klasifikasi kista dentigerous ada 3 (tiga) tipe, yaitu tipe sentral. lateral, dan
sirkumferensial:18
1. Kista dentigerous sentral merupakan kista yang mengelilingi mahkota secara
asimetris dan menggerakkan gigi ke arah yang berlawanan dengan erupsi normal.
2. Kista dentigerous lateral yang berkembang pada sisi mesial dan distal dari gigi dan
meluas jauh dari gigi, hanya menutupi sebagian mahkota gigi, dan menyebabkan
miringnya gigi kearah yang tidak diliputi kista.
3. Kista dentigerous sirkumferensial dimana seluruh organ enamel di sekitar leher
gigi menjadi kistik dan sering menyebabkan gigi bererupsi menembus kista
sehingga menghasilkan gambaran seperti pada kista radikular.
Pada pemeriksaan histopatologis dimana kista dentigerous tidak mengalami
infeksi akan ditemukan lapisan epitel yang terbentuk dari reduced enamel epithelium
yang terdiri atas 2 (dua) sampai 3 (tiga) lapis epitel yang berbentuk kuboid (gepeng),
dapat juga ditemukan sel-sel mukus dalam jumlah yang banyak, serta dapat pula

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

ditemukan sel dengan permukaan yang bersilia. Pada kasus kista dentigerous yang
mengalami peradangan, sering kali ditemui kesulitan untuk membedakannya dengan
kista radikular, oleh karena itu perlunya penegakan diagnosis secara lebih teliti.9

Gambar 11 : Gambaran histopatologi kista dentigerous


A. Lapisan epitel sederhana kista dentigerous.
B. Lapisan tipis stratified squamous epithelium.
C. Kista dentigerous dengan kelenjar-kelenjar
mukus dan lapisan epitel yang bersilia.9

Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan cara melakukan aspirasi dan


apabila pada aspirasi didapatkan cairan jernih yang kekuningan, maka pada tahap
selanjutnya dapat dilakukan eksplorasi melalui enukleasi dan jika pada aspirasi tidak
didapatkan cairan, maka terdapat dugaan bahwa lesi tersebut merupakan lesi padat
sehingga perlu dilakukan tindakan biopsi insisional. Bila memungkinkan dapat
dilakukan pemeriksaan yang lebih canggih dengan menggunakan pemeriksaan
Tomografi Komputer (CT) atau scanning dengan menggunakan Magnetic Resonance
(MRI) untuk mengetahui apakah lesi berisi cairan atau merupakan tumor padat. Dari
pemeriksaan penegakkan diagnosis yang dilakukan di dapat diagnosis banding dari
kista dentigerous yaitu odontogenik keratokista, unikular ameloblastoma,
amaloblastik fibroma pada usia remaja dan anak-anak. Bila kista dentigerous terletak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

pada rahang atas, maka dapat dipertimbangkan kemungkinan merupakan suatu kista
adenomatoid odontogenik.9,16

5) Kista lateral periodontal


Kista lateral periodontal merupakan jenis kista yang tumbuh dari sisa epitel
dental lamina yang tertinggal di daerah regio interradicullar crestal (daerah tulang
setinggi setengah panjang akar) dan sisa epitel dental lamina ini berada pada mukosa
regio puncak prosesus alveolaris yang dikenal dengan epitel rest of serres serta dapat
juga ditemukan di dalam tulang alveolar (interradicullar bone).9

Gambar 12 : Ilustrasi kista lateral periodontal.9

Kista lateral periodontal memiliki gambaran histopatologi berupa lapisan


epitel tipis yang terdiri atas 2 (dua) atau 3 (tiga) lapisan epitel. Pada lapisan ini akan
terlihat adanya pemadatan atau plak yang berbentuk lumen dan mendorong keluar
lapisan epitel ke arah luar atau dalam lumen.9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

Gambar 13 : Penampang kista lateral periodontal.


A. Dinding kista lateral periodontal memperlihatkan
Gambaran plaque-like thickening.
B. Dinding kista lateral periodontal yang terlihat dengan
ketebalan 2 (dua) lapis dan mengalami penebalan.
C. Penebalan pada dinding kista lateral periodontal yang
mengandung glycogen containing clear cell.9

Pada pemeriksaan radiologi, kista lateral periodontal memiliki gambaran


radiolusen berbentuk oval dan umumnya terdapat pada regio gigi kaninus dan gigi
premolar.9

Gambar 14 : A & B terlihat gambar radiolusen


berbentuk oval pada kaninus dan premolar.9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

C D
Gambar 15 : (C) Terlihat gambar radiolusen pada distal gigi 47.
(D) Kista laretal periodontal pada gigi 47.9

6) Kista globulomaksilari
Kista globulomaksila dikatakan menjadi fissural cyst yang timbul dari epitel
yang terperangkap selama fusi bagian globular dari medial nasal process dengan
proses rahang atas. Konsep ini telah dipertanyakan, karena fusi pada bagian globular
dari medial nasal process bersatu dengan proses rahang atas tidak terjadi. Oleh
karena itu, terjebaknya epitel seharusnya tidak terjadi selama perkembangan
embriologi pada area ini. Peneliti juga berteori bahwa beberapa lesi ini mungkin
muncul dari peradangan epitel enamel saat gigi sedang erupsi. Kista globulomaksilari
telah direklasifikasikan sebagai kista odontogenik karena tidak adanya fusi fisur pada
daerah ini, melainkan penghapusan fisura oleh ectomesenchyme.22,27 Pada kejadian
yang langka, kista di area globulomaksilari dapat dilapisi oleh pseudistratified
epithelium, ciliated epithelium, columnar epithelium. Karena fissural cyst di daerah
ini mungkin tidak ada, kista globulomaksilari tidak lagi digunakan. Ketika Gambaran
radiologi dari kista globulomaksilari ditemukan adanya gambaran radiolusen berbatas
jelas pada regio insisif kedua dan kaninus yang menyebabkan akar gigi akan terlihat
divergen akibat dari desakan kista, dokter gigi harus mempertimbangkan asal usul
lesi odontogenik tersebut.9,22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

7) Kista glandular odontogenik


Lesi dapat mewakili neoplasma kistik karena perilaku agresif lokal dan tingkat
kekambuhan yang tinggi, tetapi saat ini masih diklasifikasikan sebagai kista.
Gambaran klinis ditemukan radiolusen unilokular atau multilokular yang terlihat pada
orang dewasa pada dekade kelima sampai ketujuh, lesi sering terjadi pada rahang
bawah sekitar 80%, dapat menyebabkan ekspansi rahang, sekitar 60% lesi melibatkan
bagian anterior rahang, lesi yang multilokular cenderung lebih besar, lesi juga dapat
berhubungan dengan perpindahan gigi atau resorpsi akar sekitar 25-50% atau gigi
yang terkena dampak sekitar 11%, sekitar 60% dapat disebabkan oleh perforasi
korteks. Lesi kemungkinan timbul dari sisa dental lamina. Kista glandular
odontogenik dilapisi oleh nonkeratinized stratified squamous atau basalaoid
epithelium dengan sel-sel mukosa yang tersebar dan sel-sel luminal serta sel-sel yang
membentuk saluran berbentuk kuboid dengan sitoplasma eosinofilik dan sering
menunjukan bukti adanya aktivitas sekretorik. 26

B. Non-odontogenik
Kista non-odontogenik merupakan kista yang berasal dari sisa-sisa epitel
embrionik yang terperangkap di antara fisur dan celah sewaktu perkembangan, yang
kemudian berkembang menjadi kista melalui stimulus intrinsik atau ekstrinsik. Jenis
kista yang termasuk kista non-odontogenik ini adalah kista duktus nasopalatinus dan
kista nasolabial (nasoalveolar).9,20

1) Kista duktus nasopalatinus (kanal insisivus)


Kista nasopalatinus tumbuh dari sisa epitel embrionik duktus nasopalatinus
sehingga kista ini dapat tumbuh disepanjang duktus mulai dari bagian posterior garis
tengah palatum menuju jaringan lunak diregio papilla insisif. Secara klinis
pertumbuhan kista ini ditandai dengan adanya pembengkakan pada regio garis
median palatum. Pada kista dengan ukuran yang kecil pada bagian posterior gigi-gigi
sentral insisif didaerah papilla insisif, sedangkan pada kasus kista dengan ukuran
yang besar akan menyebabkan terjadinya ekspansi diregio labial dan palatal.9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

Gambar 16 : Gambaran histopatologi kista duktus


nasopalatinus.9

Pada pemeriksaan klinis untuk menentukan vitalitas gigi insisif diperlukan


perhatian dimana terdapat kemungkinan keadaan gigi yang non-vital bukan
disebabkan lesi pada pulpa, tetapi disebabkan oleh pembedahan kista didaerah apikal.
Hal ini dapat menyebabkan neuropraxis sehingga tidak didapatkan hasil pemeriksaan
vitalitas gigi yang positif. Dalam membantu penegakan diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan radiologi dan aspirasi pada lesi untuk memastikan pembengkakan
merupakan suatu kista. Dimana pada pemeriksaan radiologi kista nasopalatinus
memiliki gambaran radiologi terdapatnya gambaran bulat di antara gigi insisif yang
dapat membingungkan dengan kista radikular. Oleh karena itu untuk menentukan
kepastian dari diagnosis radiologi dapat ditegakkan jika gigi-gigi anterior tidak
terdapat karies ataupun gigi-gigi dalam keadaan vital.9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

Gambar 17 : Gambaran radiologis kista duktus nasopalatinus.9

2) Kista nasolabialis (kista nasoalveolar)


Kista nasolabial dikenal juga dengan kista nasoalveolar dan klestadt cyst yang
merupakan salah satu kista yang jarang ditemukan dan tumbuh terbatas hanya pada
jaringan lunak pada daerah nasolabial crease. Insindensi kista ini hanya 0,7% dari
seluruh kista rahang. Biasanya bersifat unilateral dan untuk yang bersifat bilateral
ditemukan hanya sekitar 10-11,2%. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Lee
HM pada tahun 2002, dalam penelitiannya selama 12 (dua belas) tahun hanya
ditemukan 18 kasus kista nasolabialis dan pada penelitian yang dilakukan oleh
Zahiruddin, dkk melaporkan terdapat 5 (lima) kasus kista nasolabialis selama periode
7 (tujuh) tahun. Prevalensi lebih sering terjadi pada orang dewasa dengan puncaknya
pada usia dekade keempat dan kelima. Walaupun merupakan kista yang jarang
ditemukan, namun dipercaya pertumbuhan dari kista ini berasal dari sisa epitel
pembentuk duktus nasolakrimalis bagian inferior dan anterior. 9,19
Terdapat 3 (tiga) teori patogenesis terbentuknya kista nasolabial yaitu:
1. Kista terbentuk secara embrionik akibat kegagalan penyatuan sel pada daerah
maksila, dinding medial, dan lateral nasal.
2. Kista terbentuk secara embrionik dari sisa duktus nasolakrimalis yang
terperangkap.
3. Kista terbentuk secara embrionik dari sel endodermal duktus nasolakrimalis yang
mana bila terjadi trauma pada daerah sekitarnya akan membentuk kista. 19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

Kista ini umumnya terletak pada daerah subkutan dan daerah luar otot wajah.
Gejala klinis dari kista nasolabial biasanya asimtomatis, dimana kista ini tumbuh
lambat dan memperlihatkan pembengkakan pada daerah sekitar bibir dan kemudian
kista akan keluar dari lipatan nasolabial dan mengangkat ala nasi sehingga mengubah
bentuk nostril kemudian menyebabkan pembengkakan pada dasar hidung. Didalam
rongga mulut kista akan membentuk tonjolan pada sulkus labialis. Pada saat
dilakukan pemeriksaan bimanual, kista akan teraba fluktuatif. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan meraba pembengkakan pada dasar hidung dan sulkus labialis. Bila
kista terinfeksi dapat ditemukan sekret didalam hidung dan akan terasa sakit. Kista
nasolabial ini juga dapat menyebabkan adanya rasa tidak nyaman saat menggunakan
gigi, obstruksi nafas, dan asimetris pada wajah. 19 Kista nasolabial mempunyai
gambaran histopatologi dimana pada kista ditemukan banyak sel mukus dan pada
dinding kista adalah pseudostratified dengan bentuk epitel yang columnar dan tidak
bersilia.
Diagnosis kista nasolabial dapat ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis
dan pemeriksaan histopatologi. Meskipun saat dilakukan pemeriksaan bimanual,
gambaran kista yang lebih jelas dapat terlihat dengan menggunakan pemeriksaan
tomografi computer, dan dapat juga menggunakan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) yang merupakan modalitas penting untuk mendeteksi kelainan pada jaringan
lunak karena kemampuannya dalam membuat gambaran jaringan lunak dengan
resolusi yang baik. Kista nasolabialis mempunyai diagnosis banding, yaitu infeksi
odontogen, sebaceous cyst, implanted epidermal inclusion cyst dengan predileksi
kejadian pada wanita lebih besar dibandingkan pria dengan perbandingan 4:1. 9,19

2.4.2 Peradangan (inflammatory)


1) Kista Radikular
Kista radikular merupakan rongga patologis yang paling sering ditemukan,
dilapisi dengan epitel, mengandung cairan atau bahan semi cair yang terbentuk oleh
karena iritasi kronis gigi yang sudah tidak vital dan tumbuh dari epitel rest of
malassez yang mengalami proliferasi karena respon dari proses peradangan yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

terpicu oleh infeksi bakteri pada pulpa yang nekrosis. Diagnosis kista radikular
didasarkan pada pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologi, serta aspirasi isi kantung
kista. Frekuensi terjadinya kista radikular sekitar 1825 diantara 3498 kista rahang
atau sekitar 52,2% dan sekitar 62% dari seluruh kista odontogenik berdasarkan
penelitian yang dilakukan pada daerah Afrika Selatan. Hasil ini sejalan dengan
penelitian oleh Nair, dkk pada tahun 1998 dan Amita, dkk pada tahun 2013.
Sedangkan menurut Musaffer, menjelaskan bahwa kista radikular terjadi sekitar
42-44% dari semua lesi apikal.9,12,18
Pada umumnya kista radikular tumbuh pada bagian apikal gigi yang non-vital
dan terjadi diskolorasi, terbentuk dari suatu dental granuloma, dan terjadi karena
adanya proses inflamasi kronis yang menyebabkan terjadinya stimulasi cytokine pada
sel epitel rest sehingga terjadi pembentukkan kista. ketika kista terbentuk, kavitas
akan terisi dengan cairan berwarna coklat dan terkadang dapat juga berwarna
keemasan di bawah sinar lampu dengan kilau kolestrol yang tampak seperti kristal.
Menurut Musaffer, secara umum ciri khas yang dapat ditemukan dari kista radikular,
yaitu perkembangannya secara perlahan, tidak terbentuk rongga yang sangat besar,
tidak disertai nyeri jika tidak terjadi inflamasi ekserbasi akut, tes elektrik gigi
menunjukkan hasil negatif (-), gigi goyang, dan tes perkusi pada gigi menunjukkan
hasil positif (+).9,18,21
Kista radikular lebih sering terjadi pada maksila dari pada mandibula. Pada
maksila yang paling rentan terdapat pada daerah anterior (kaninus kiri ke kaninus
kanan) sebesar 42% dan mandibula pada regio gigi kaninus sekitar 45%, regio
premolar/molar sekitar 30%. Tingginya frekuensi terjadinya kista radikular pada
anterior maksila mungkin disebabkan oleh karies gigi dan trauma pada gigi yang
rentan menyebabkan terjadinya nekrosis pulpa. 18
Kista radikular dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan secara lambat
dan pembengkakan inilah yang biasanya dikeluhkan oleh penderita. Pembesaran awal
kista biasanya terjadi pada tulang keras, terjadi peningkatan ukuran, lapisan
pelindung tulang menjadi tipis sehingga terjadi resorpsi tulang secara progresif.
Pembengkakan ini akan tampak kenyal seperti pecahan telur. Ketika tulang terkikis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

selanjutnya akan timbul fluktuasi. Pada daerah maksila akan muncul pembesaran
didaerah bukal atau palatal dan pada mandibular akan muncul pada daerah bukal atau
lingual.18
Pada beberapa individu dapat ditemukan lebih dari satu kista radikular. Hal ini
menimbulkan keyakinan adanya individu yang rentan terhadap pembentukan kista
radikular (cyst prone individuals). Pandangan ini di dukung oleh fakta bahwa pada
individu dengan gigi yang non-vital banyak, dapat sama sekali tidak terbentuk kista
radikular. Toller menyatakan bahwa kemungkinan saja mekanisme imunitas dapat
mencegah terbentuknya kista pada kebanyakan individu dan bahwa individu yang
rentan tersebut memiliki defek pada mekanisme imunitasnya. Shear juga menyatakan
bahwa beberapa individu mungkin juga memiliki kecenderungan genetik untuk
mengembangkan kista.21
Secara umum pembentukan kista radikular terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap
inisiasi, tahap pembentukan kista dan tahap pembesaran kista. Pada tahap inisiasi,
sisa sel Malassez pada ligamen periodontal akan berproliferasi akibat peradangan di
granuloma periapikal. Granuloma periapikal tersebut merupakan bagian mekanisme
pertahanan lokal terhadap peradangan pulpa kronis agar infeksi tidak meluas. Faktor
yang memicu peradangan dan respons imun dapat menyebabkan proliferasi epitel
diduga adalah endotoksin bakteri yang berasal dari pulpa yang mati dan selanjutnya,
pada tahap pembentukan kista, sisa dari sel Malassez akan berproliferasi pada dinding
granuloma membentuk massa epitel yang makin membesar. Kurangnya nutrisi
terhadap sel-sel epitel di bagian sentral menyebabkan kematian dan mencairnya sel
tersebut sehingga terbentuk rongga berisi cairan yang dibatasi oleh epitel. Pada tahap
pembesaran kista, tekanan osmosis diduga merupakan faktor yang berperan penting.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa eksudat protein plasma dan asam hialuronat
serta produk yang dihasilkan oleh kematian sel menyebabkan tingginya tekanan
osmosis pada dinding rongga kista yang pada akhirnya menyebabkan resorpsi tulang
dan pembesaran kista.21
Secara histopatologis menurut Mandojo dinding kista radikular terdiri dari sel
epitel, sel plasma, jaringan ikat, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan adanya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

suatu rongga yang berlapiskan epitel yang tidak mengalami keratinisasi skuamosa,
mempunyai ketebalan yang bervarisasi, berbentuk pipih dan secara khas dapat dilihat
adanya proses peradangan dengan ditemukannya banyak sel neutrifil pada dinding
kista yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada dinding kista. 9,18

Gambar 18 : Gambaran histopatologi kista radikular.9

Secara radiologi kista radikular mempunyai gambaran radiologi berupa


gambaran radiolusen yang berbentuk bulat berbatas jelas yang melekat pada regio
apikal gigi dikelilingi oleh gambaran radiopak yang tipis melibatkan lamina dura dari
gigi yang terlibat. Pada kista yang mengalami infeksi atau pembesaran yang cepat,
gambaran radiopak mungkin tidak terlihat. Hal ini dapat menjadi suatu masalah
dalam menegakan diagnosis. Resorpsi akar tidak terlalu sering terlihat pada
pemeriksan radiografi, tetapi hal ini mungkin terjadi seperti resorpsi foramen
apikal.9,18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

Gambar 19 : Foto panoramik kista radikuler pada gigi 44.9

Gambar 20 : (A) Radiologi kista redikular di regio perapikal gigi


13 dan 15.
(B) Kasus lain kista redikular di regio perapikal
gigi 23.
(C) Foto panoramaik kista redikular karena
Gangren gigi 16 di regio apikal gigi 14, 15,
dan 16.9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

2) Kista residual
Kista residual merupakan jenis kista yang ditemukan pada rahang akibat tidak
terambilnya seluruh jaringan kista pada saat pencabutan gigi sebelumnya. Kista jenis
ini biasanya ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pemeriksaan radiologi
untuk memeriksa keadaan gigi yang lainnya. Pada saat dilakukan pemeriksaan klinis,
didapatkan rahang sudah tidak bergigi dengan sejarah pernah melakukan ekstraksi
gigi. Pada pemeriksaan radiologi, ditemukan radiolusen berbatas jelas di daerah gigi
yang pernah dilakukan pencabutan.9

Gambar 21 : Panoramik kista residual pada gigi 46. 9

2.5 Perawatan Kista Rongga Mulut


2.5.1 Enukleasi
Enukleasi merupakan suatu proses pembuangan kista secara utuh dalam satu
potongan tanpa fragmentasi. Kista harus dibuang seluruhnya tanpa merobek atau
menusuk. Pemisahan lapisan kista dari ikatan neurovaskuler alveolar bawah, dasar
antral dan apeks gigi harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Diseksi menggunakan
instrumen yang tumpul disarankan untuk dilakukan. 25 Prinsip enukleasi sendiri
memberikan perlindungan pada rongga kista dari tutup mukoperiosteal dan ruang
tersebut terisi dengan gumpalan darah, yang selanjutnya akan membentuk tulang
yang normal.24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

Indikasi kista yang dapat dilakukan tindakan enukleasi ini, yaitu pengangkatan
kista pada rahang, ukuran kista kecil atau kista besar tetapi tidak membahayakan
struktur vital atau resiko terjadinya fraktur rahang patologis, dan untuk kista rahang
yang dapat diangkat dengan aman tanpa terlalu banyak melibatkan struktur jaringan
yang berdekatan. Contohnya seperti kista primordial, kista dentigerous, kista lateral
periodontal, kista gingiva pada orang dewasa, calcifying odontogenic cyst, kista
duktus nasopalatinus, kista radikular, kista residual berukuran kecil, kista paradental,
kista pada mandibula yang mengalami infeksi, postoperative maxillary cyst, kista
lingualis mediana anterior, dan lain-lain.9,13,23,25
Dalam prosesnya enukleasi mempunyai beberapa keuntungan dan juga
kerugian yaitu:23,25
A. Keuntungan enukleasi
- Keseluruhan lapisan kista dibuang.
- Penyembuhan berlangsung dengan cepat karena luka menutup secara primer.
- Pasien juga tidak harus merawat rongga marsupial dengan irigasi konstan.
- Begitu penutupan akses pada mukoperiosteal telah sembuh, pasien tidak akan
terganggu lagi dengan rongga kistik.
B. Kerugian Enukleasi
- Pada pasien berusia muda, kuman gigi atau gigi yang belum mengalami erupsi
yang terkena kista akan dicabut atau dilepas dengan lapisan kista.
- Fraktur rahang patologis bisa terjadi dalam kasus enukleasi kista yang besar.
- Prosedur ini membahayakan struktur vital yang berdekatan.
- Observasi langsung pada penyembuhan luka seperti pada marsupialisasi tidak
bisa dilakukan.
Adapun prosedur kerja dari tindakan enukleasi ini dapat dijabarkan sebagai
berikut :11
1. Lakukan rontgen foto untuk melihat lokalisasi kista dan jaringan sekitarnya.
2. Pemberian anastesi lokal secara infiltasri untuk vasokonstriksi dan/atau efek
anastetik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

3. Kemudian lakukan insisi berbentuk semilunar ataupun trapesium dengan catatan


bahwa flep harus dibuat lebih besar dari luas kista.
4. Tulang yang ada dibawahnya kemudian diperiksa, jika tulang tipis dan terpecah-
pecah, potongan-potongan tersebut dikupas dengan hati-hati.
5. Jika tulang sudah terlihat maka dapat dibuat kantung/lubang di cortical plate
dengan menggunakan bur atau chisel.
6. Lapisan kista dapat dipisahkan dari margin, kemudian fenestrasi dapat
ditingkatkan ukurannya.
7. Lapisan kistik dihilangkan dengan sendok ekskavator. Kuret terbesar yang dapat
memenuhi harus digunakan.
8. Permukaan cekung dari pisau harus menghadap ke rongga tulang dan dilakukan
dengan hati-hati agar tidak merusak lapisan.
9. Setelah lapisan kistik dibebaskan, lapisan kistik dengan hati-hati dikeluarkan.
10. Rongga kemudian dibersihkan dan dikeringkan sebelum dilakukan pemeriksaan
untuk sisa-sisa fragmen dari lapisan kistik. Setelah puas, hemostasis harus dicapai
sebelum penutupan luka.
11. Pasien harus diamati pasca operasi secara berkala untuk memastikan
penyembuhan yang tepat sedang berlangsung.

Gambar 22 : Enukleasi kista.12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

Tindakan enukleasi ini sendiri dalam prosesnya juga dapat dikombinasikan


dengan beberapa teknik lain yaitu :2,23,26
a. Enukleasi dengan Penutupan Primer
Enukleasi dan penutupan primer memiliki prosedur sebagai berikut:
 Insisi dan pengangkatan flep
- Prinsip umum dari rancangan flep berlaku disini, tetapi dengan modifikasi
tertentu tergantung dari kista individu dan letaknya.
- Ketika gigi terlibat, insisi harus ditempatkan disekitar gigi tanpa melihat
apakah gigi harus tetap dipelihara atau dicabut. Insisi ini akan memberikan
akses yang utuh dan membantu perbaikan yang mudah. Kedua, insisi akan
memberikan penutupan luka yang memuaskan jika terjadi pencabutan gigi
yang tidak terduga atau jika gigi tidak diperlukan selama operasi.
- Ketika gigi terkena dampak secara periodontal atau ketika crown buatan
muncul, penting untuk menghindari leher celah gingiva dan menempatkan
insisi jauh dari leher gigi.
- Untuk memudahkan perbaikan di wilayah rahang yang jarang gigi, insisi
dibuat di sepanjang puncak.
- Cabang naik atau turun insisi menyebar ke sulkus bukal dan ditempatkan
jauh dari bengkak. Hal ini membuat garis jahitan akhir berada di tulang
penyangga
 Pemindahan tulang
- Tulang tipis yang berada di atasnya harus dipertahankan. Pada beberapa
lesi yang besar setelah pengangkatan flep mukoperiosteal, tulang bisa
ditembus dan diangkat seperti flap osteomukoperiosteal.
- Jika tulang yang penting tersebut tidak bisa diselamatkan,
mukoperiosteum diangkat dan tulang diatasnya dibuang dengan bur
akrilik, gouge atau rongeur sehingga cukup untuk menciptakan jalan
untuk kantong pada enukleasi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


35

b. Enukleasi dengan Pack


Indikasi dari penerapan tindakan enukleasi dan pack ini adalah kista besar
yang mengalami infeksi kronik dan kista yang tidak cocok untuk dilakukan
penutupan primer, dimana penutupan primer pada kista dapat mengakibatkan
kerusakan luka dan mengganggu penyembuhan. Flep mukoperiosteal diangkat dan
kista di enukleasi seperti penjelasan diatas, tetapi alih-alih penutupan primer, flep
diubah menjadi rongga tulang. Ini dibetulkan dengan balutan kain kasa setengah inci
selama 10 hari. Perubahan balutan diikuti dengan pemasangan plug akrilik seperti
yang digunakan dalam marsupialisasi. Dalam kasus kerusakan yang sangat besar
dimana diduga terjadi fraktur patologis, cangkok tulang menutupi rongga.
c. Enukleasi dengan Kuret
Enukleasi dengan kuret berarti bahwa setelah enukleasi, kuret atau bur
digunakan untuk membuang 1 sampai 2 mm tulang di sekeliling rongga kista. Hal ini
dilakukan untuk membuang sisa sel epitel yang mungkin masih ada di sekeliling
dinding kista atau rongga tulang. Sel-sel tersebut bisa berproliferasi menjadi
kekambuhan kista. enukleasi dengan kuret dapat dilakukan dengan 2 (dua) keadaan,
yaitu keadaan pertama adalah jika dokter sedang membuang keratokista odontogenik.
Dalam hal ini, pendekatan enukleasi dengan kuret yang lebih agresif harus dilakukan
karena keratokista odontogenik menunjukkan perilaku klinis yang agresif dan
memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi. Tingkat kekambuhan yang dilaporkan
mencapai antara 20% sampai 60%. Alasan untuk perilaku yang agresif ini adalah
berdasarkan aktivitas mitosis yang meningkat dan seluleritas epitelium keratokista
odontogenik.
Kista anak, atau kista satelit, yang ditemukan disekeliling luka kista utama
mungkin tidak bisa dibuang secara keseluruhan, yang bisa menyebabkan tingkat
kekambuhan yang tinggi. Lapisan kista ini biasanya sangat tipis dan segera pecah,
sehingga membuat enukleasi susah dilakukan. Oleh karena itu, ketika keratokista
odontogenik diduga secara klinis, penanganan minimal adalah enukleasi seksama
dengan kuret yang agresif di rongga tulang. Jika lesi muncul kembali, penanganan
harus didasarkan pada faktor-faktor berikut ini: jika area mudah diakses, usaha

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


36

enukleasi lain harus dilakukan; jika tidak mudah diakses, reseksi tulang dengan batas
1 cm harus dipertimbangkan. Penanganan seperti apapun dilakukan, pasien harus
diikuti perkembangannya karena keratokista odontogenik bisa kembali bertahun-
tahun setelah ditangani.
Keadaan yang kedua di mana enukleasi dengan kuret harus dilakukan adalah
dengan kista yang muncul lagi setelah pembuangan tuntas. Alasan untuk kuret dalam
hal ini sama dengan yang disebutkan sebelumnya.
Keuntungan menggunakan enukleasi dengan kuret ini, jika enukleasi
meninggalkan sisa, kuret bisa membersihkannya, sehingga menurunkan peluang
kekambuhan.
Kerugian menggunakan enukleasi dengan kuret ini, dimana kuret lebih
destruktif bagi tulang dan jaringan lain yang berdekatan. Pulpa gigi bisa terkupas dari
suplai neurovaskulernya ketika kuret dilakukan dekat dengan akar. Ikatan
neurovaskuler yang berdekatan juga terancam. Kuret harus selalu dilakukan dengan
kehati-hatian yang tinggi untuk mencegah resiko tersebut.
Teknik dari enukleasi dengan kuret ini, yaitu setelah kista di enukleasi dan
dibuang, rongga ulang diperiksa untuk melihat kedekatan dengan struktur yang dekat.
Kuret yang tajam atau bur tulang dengan irigasi yang steril bisa digunakan untuk
membuang lapisan tulang 1 sampai 2 mm di sekitar rongga kista. Prosedur ini harus
dilakukan dengan kehati-hatian yang tinggi ketika bekerja berdekatan dengan struktur
anatomi yang penting. Rongga kemudian dibersihkan dan ditutup.
d. Enukleasi setelah Marsupialisasi
Enukleasi kerap dilaksanakan (dihari berikutnya) setelah marsupialisasi.
Penyembuhan awal cepat terjadi setelah marsupialisasi, tetapi ukuran rongga tidak
bisa mengecil dengan ukuran yang lumayan pada titik tertentu.
Indikasi dilakukannya enukleasi setelah marsupialisasi didasarkan pada
evaluasi menyeluruh pada jumlah jaringan yang akan terluka akibat enukleasi, derajat
akses untuk enukleasi, apakah gigi yang terkena dampak yang berkaitan dengan kista
akan mendapatkan keuntungan dari panduan erupsional dengan marsupialisasi,
kondisi kesehatan pasien, ukuran luka, dan juga jika kista tidak benar-benar lenyap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


37

setelah marsupialisasi, enukleasi harus dipertimbangkan. Indikasi lain untuk


enukleasi kista setelah marsupialisasi adalah rongga kista yang dianggap susah
dibersihkan oleh pasien.
Keuntungan dari penggabungan marsupialisasi dan enukleasi sama dengan
keuntungan marsupialisasi dan enukleasi. Pada fase marsupialisasi, keuntungannya
adalah suatu prosedur yang sederhana yang menyelamatkan struktur vital yang
berdekatan. Pada fase enukleasi, seluruh luka bisa diakses untuk pemeriksaan
histologis. Manfaat lain adalah perkembangan garis kista yang menebal, yang akan
memudahkan prosedur enukleasi sekunder.
Kerugian dari penggabungan marsupialisasi dan enukleasi sama dengan
kerugian yang ditimbulkan oleh marsupialisasi. Kista total tidak bisa dibuang diawal
untuk pemeriksaan patologis tetapi, enukleasi selanjutnya bisa mendeteksi kondisi
patologis yang tersembunyi.

2.5.2 Marsupialisasi
Marsupialisasi merupakan tindakan pembuatan surgical window pada dinding
kista, membuang isi kista, dan mempertahankan kontinuitas antara kista dan rongga
mulut, sinus maksilaris, dan rongga nasal. Dengan melalui proses marsupialisasi ini
tekanan intrakista dapat dikurangi dan mengakibatkan peningkatan pengerutan pada
kista.10,24 Terdapat beberapa indikasi dalam melakukan teknik marsupiaslisasi antara
lain:9,14,24
1. Usia
Pada anak-anak, dengan adanya perkembangan kuman gigi, atau ketika
perkembangan dari gigi yang tanggal belum terjadi, enukleasi akan
menghancurkan calon gigi. Pada orang lansia, pasien yang lemah, marsupialisasi,
jauh lebih tidak menimbulkan stress dan merupakan alternatif yang cukup bagus.
2. Bantuan dalam erupsi gigi
Pada pasien berusia muda dengan keratokista dentigerous atau pseudofollikular,
marsupialisasi akan menimbulkan erupsi pada gigi yang tidak tererupsi atau gigi
lain yang sedang berkembang yang telah digantikan. Jika gigi tidak erupsi, maka

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38

teknik marsupiaslisasi ini dapat digunakan untuk membuka jalur erupsi gigi ke
rongga mulut.
3. Jarak pada struktur vital
Ketika jarak kista ke struktur vital, dapat menciptakan sebuah oronasal atau
oroantral fistula, melukai struktur neurovaskular atau merusak gigi vital, kemudian
marsupialisasi harus dipertimbangkan.
4. Vitalitas gigi
Ketika apeks dari gigi tererupsi yang berdekatan tergabung dalam sebuah kista
yang besar, enukleasi dapat membahayakan vitalitas dari gigi tersebut.
5. Ukuran kista
Pada kista yang besar, jika dilakukan teknik enukleasi kemungkinan dapat
menyebabkan retakan patologis (fraktur rahang) pada rahang. Untuk mencegahnya
lebih baik dilakukan teknik marsupialisasi, setelah tulang rahang remodelling,
teknik enukleasi baru dapat dilakukan. Contoh kista yang dapat dilakukan
marsupialisasi seperti kista residual yang berukuran besar, ranula, dan lain-lain.
Dalam berbagai tindakan pembedahan terdapat beberapa keuntungan dan
kerugian didalamnya, adapun keuntungan dan kerugian dalam teknik ini
adalah:2,13,24,25
A. Keuntungan teknik marsupialisasi
1. Pada kista yang besar, secara teknik lebih sederhana.
2. Pada kista yang agak besar teknik marsupialisasi dapat dilakukan dibawah
anastesi lokal, karena anastesi yang dalam tidak diperlukan terutama bila kista
berada pada maksila.
3. Dikarenakan bagian yang lebih dalam dari batas tidak dapat diganggu, maka
struktur penting didekatnya tidak berisiko. Contohnya, pembuluh darah pada
apeks gigi terdekat, serabut neurovaskular gigi inferior, dan integritas dari batas
pada antrum atau hidung.
4. Merupakan teknik yang baik dalam mempertahankan gigi sumber kista
dentigerous dan memungkinkan erupsinya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


39

5. Merupakan teknik yang paling sederhana dalam merawat fraktur yang


merupakan komplikasi kista yang besar pada mandibula, karena kasa ribbon
dan pack whitehead akan membalut fragmen.
6. Teknik marsupialisasi selalu diusulkan sebagai perawatan pilihan untuk kista
yang sangat besar pada mandibula karena dapat mengurangi risiko fraktur
patologi.
7. Menyebabkan erupsi gigi.
8. Mencegah fistula oronasal dan oroantral.
9. Mengurangi waktu operasi.
10. Mengurangi pendarahan.
11. Membantu penyusutan lapisan kista.
12. Menyebabkan terjadinya pembentukan tulang endosteal.
13. Mengamankan alveolar ridge.
B. Kerugian teknik marsupialisasi
1. Lapisan patologis masih tertinggal dan dapat menyebabkan perkembangan
perubahan neoplastik dimasa depan.
2. Penyembuhan bisa tertunda karena kista yang besar pada pasien yang berusia
lanjut dan kista melubangi mukosa palatal.
3. Pemeriksaan histologis dari seluruh lapisan kista tidak dilakukan
4. Waktu pemulihan yang panjang.
5. Pengurangan ukuran yang tidak merata pada rongga kista akan menimbulkam
celah yang sulit dibersihkan.
6. Rongga kistik harus dijaga tetap bersih untuk mencegah infeksi, karena rongga
ini kerap menjebak sisa makanan.
7. Rasa tidak nyaman pada pasien.
8. Perubahan suara akan terjadi jika rongga tidak obturasi dan akumulasi saliva
dan debris makanan yang tertahan pada rongga mulut akan menimbulkan rasa
dan bau yang tidak enak.
9. Pasien harus mengairi rongga kistik ini beberapa kali setiap hari dengan
syringe.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


40

10. Operasi kedua mungkin dibutuhkan.


Setelah mengetahui beberapa keuntungan dan kerugian dari teknik
marupiasliasi ini, maka selanjutnya yang perlu diketahui selanjutnya adalah
bagaimana teknik ataupun prosedur kerja pada tindakan mersupialisasi ini. Adapun
prosedur kerjanya sebagai berikut:13,24
1. Pemberian obat bius umum atau obat bius lokal diarea yang akan dioperasi.
2. Setelah area yang akan dibedah diberi anastesi, kista tersebut kemudian dapat
dilakukan aspirasi.
3. Sayatan awal biasanya melingkar atau berbentuk bulat panjang sekitar 1 cm atau
lebih besar dengan pinggiran sebesar 0,5 cm atau 1 cm dari pinggiran gusi ke gigi
atau puncak alveolar pada pasien yang hanya memiliki beberapa gigi. Alternatif
lainnya, sebuah bedahan berbentuk U dapat dilakukan dengan dasar yang besar
terhadap sulkus bukal, mukoperiosteum kemudian direfleksikan dalam kasus ini
4. Bila tulang diperluas dan menipis, bedahan awal dapat diperpanjang melalui
mukoperiosteum, tulang dan pinggiran kistik kedalam rongga kistik. Pinggiran dan
isi kistik kemudian diberikan untuk pemeriksaan histologis
5. Ketika tulang bagian atas tebal, lubang dibuat dengan bentuk lingkaran, yang
kemudian dihubungkan dan tulang bagian atas dibuang dengan hati-hati dengan
bur dan rongeurs.
6. Pinggiran kistik kemudian dibuang dengan menusukkan sebuah pisau bedah
melalui pinggiran melawan pinggiran tulang, spesimen dari pinggiran kemudian
diberikan untuk pemeriksaan histologis.
7. Pemeriksaan visual dari sisa pinggiran kistik.
8. Irigasi rongga kistik.
9. Pinggiran kistik yang tersisa dijahit dengan pinggiran dari mukosa mulut
menggunakan jahitan kontinu atau jahitan yang tidak putus.
10. Rongga kemudian dibalut dengan kassa selebar satu atau setengah inci, yang bisa
dibubuhi dengan obat antibiotik, Pernis Whitehead, Tingtur Pasta Parafin Benzoin
atau Bismut Iodoform (BIPP). Balutan membantu mencegah kontaminasi pada
rongga yang disebabkan oleh sisa makanan dan juga menutup pinggiran luka.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


41

Dengan bantuan dari gunting tang yang tak bergigi, kassa pertama-tama diletakkan
disepanjang dasar rongga dan kemudian dimasukkan dari sisi ke sisi. Seluruh
balutan secara umum diamankan dengan jahitan. Balutan dibiarkan di dalam
selama 7 hingga 14 hari. Pada akhir minggu kedua, jahitan antara pinggiran kista
dan mukosa mulut di sekeliling kantung akan sembuh.
11. Instruksi yang cermat diberikan pada pasien mengenai pembersihan dan irigasi
rongga dengan secara teratur menyiramnya dengan antiseptik mulut, lebih baik
dengan jarum suntik sekali pakai.
12. Tambalan dapat dibuat untuk mencegah kontaminasi dari rongga kista dan
mengamankan patensi dari lubang kistik. Tambalan harus stabil, kuat dan
berdesain aman sehingga tidak akan terhirup atau tertelan. Pada awalnya, tambalan
harus terbuat dari material yang kuat untuk mencegah iritasi pada pinggiran yang
telanjang, kemudian tambalan akrilik pengisi dapat dibuat, setelah mengambil
cetakan rongga dengan lilin model atau bahan campuran cetakan. Pada kasus gigi
palsu, tambalan dapat direkatkan pada gigi palsu tersebut. Tambalan dapat dilepas
untuk mencegah terbangunnya tekanan.
13. Rongga dapat atau tidak dapat hilang secara total. Seiring berjalannya waktu,
beberapa tingkat depresi permanen akan tetap ada pada proses alveolar.

Tindakan marsupialisasi ini sendiri dalam prosesnya juga dapat


dikombinasikan dengan beberapa teknik lain yaitu :24,25
a. Modifikasi Marsupialisasi
Modifikasi marsupialisasi atau Metode Waldron (Partsch II) merupakan
teknik dengan 2 (dua) tahapan yang menggabungkan dua prosedur standar. Prosedur
pertama menggunakan marsupialiasasi dan pada tahapan selanjutnya, ketika rongga
menjadi lebih kecil, prosedur enukleasi dilakukan dan seluruh lapisan diperiksa
secara histopatologis.
Indikasi dalam menggunakan teknik atau metode ini, yaitu tulang telah
dilapisi dengan struktur vital yang berdekatan, isi tulang yang cukup telah
menguatkan rahang untuk mencegah retakan saat enukleasi, pasien merasa sulit untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

membersihkan rongga, dan untuk pendeteksian kondisi patologis apa saja yang
tersembunyi.
Keuntungan teknik ini adalah perkembangan dari pinggiran kista yang
menjadi tebal, yang membuat enukleasi menjadi lebih mudah, mengamankan struktur
vital yang berdekatan, pendekatan yang tergabung ini mengurangi morbiditas,
mempercepat proses penyembuhan, dan pemeriksaan histopatologis terhadap jaringan
yang tersisa bisa dilakuakn.
Kerugian menggunakan teknik ini adalah pasien harus melewati operasi kedua
dan komplikasi yang memungkinkan yang tergabung dengan prosedur operasi
apapun.
b. Marsupialisasi dengan Pembukaan ke dalam Hidung atau Antrum
Prosedur ini berlaku ketika ditemukan kista ekstensif di rahang atas yang
menempati sejumlah besar antrum.
Keuntungan teknik ini adalah penutupan luka mulut primer, rongga kistik
dibuka kedalam sinus maksilaris atau rongga nasal, sehingga mengurangi tekanan
intrakistik, rongga kistik menjadi sejajar dengan sinus maksilaris pernafasan atau
rongga nasal, struktur yang berdekatan terlindungi, dan pengembalian ke anatomi
normal dari ruang antral dan hidung.
Kerugian teknik ini adalah perkembangan dari fistula oroantaral atau oronasal,
jika ada kerusakan luka.
Adapun prosedur dari teknik ini sebagai berikut :
- Seluruh lapisan kista dibuang kecuali jika terdapat perhatian tentang kerusakan
pada struktur vital yang berdekatan. Ini juga membantu dinding rongga tertutupi
oleh mukosa respiratori normal, bukan epitel skuamosa.
- Lapisan kista dibuang dalam satu potongan untuk memastikan bahwa pembuangan
telah selesai, karena jika belum tuntas akan berakibat pada pembentukan kista
residu dari sisa jaringan.
- Seluruh pembatas antara kista dan antrum harus disingkirkan untuk memberikan
kontinuitas antar rongga.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

- Kemudian antrostomi intranasal yang kecil dipasang dan dipasang balutan rongga
kista-sinus dengan salah satu alat di bawah ini:
1. Kain kassa iodoform dilapisi dengan benzoin tincture
2. Balon antral
3. Kateter foley dengan balon
4. Tabung polietilen steril.
- Sebuah haemostat yang melengkung dilewatkan melalui nostril ke antrostomi
yang dibuat di dalam meatus bawah untuk menarik ujung saluran keluar dan
diamankan dengan jahitan atau plester.
- Luka ditutup dengan hati-hati tanpa tegangan.

Gambar 23 : Marsupalisasi kista pada rahang bawah.24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

2.6 Alur Penelitian

Perijinan lembaga penelitian Universitas Sumatera Utara dan RSUP H.Adam


Malik Medan

Survey data rekam medis kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan
di RSUP H Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017

Pengambilan sampel didasarkan pada kelompok data pasien dengan kista rongga
mulut yang mendapatkan pembedahan yang dilakukan di RSUP H Adam Malik
Medan periode tahun 2014-2017 yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi
dalam penelitian ini

Penyalinan data rekam medik ke lembar review

Tabulasi dan Penyajian data secara manual

Pembahasan data secara deskripstif

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


45

2.7 KERANGKA TEORI

Kista Rongga
Mulut

Defenisi Etiologi Gambaran Klasifikasi Perawatan


Klinis Pembedahan
Perkembangan
Enukleasi

Peradangan
Marsupialisasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


46

2.8 KERANGKA KONSEP

Kista Rongga Mulut

Kasus Pembedahan

Prevalensi

Marsupialiasi Enukleasi

Prevalensi di
RSUP H Adam Malik Medan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini dilakukan secara survei deskriptif yaitu untuk mendeskripsikan
ataupun menggambarkan tentang prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut
yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik periode tahun 2014-2017.

3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Mei
2018.

3.3 Populasi Dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang mendapatkan
pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan
pada periode tahun 2014-2017.
3.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang mendapatkan
pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan
pada periode tahun 2014-2017 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam
penelitian ini.
Kriteria Inklusi:
a. Data rekam medik yang berisi data pasien yang melakukan ataupun
mendapatkan pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP H.
Adam Malik Medan pada periode tahun 2014-2017.
b. Data rekam medik yang berisi data pasien yang memiliki kista pada rongga
mulut pada periode tahun 2014-2017.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

Kriteria Eksklusi:
a. Data rekam medik pasien yang tidak melakukan ataupun mendapatkan
pembedahan kista rongga mulut di RSUP H. Adam Malik Medan pada
periode tahun 2014-2017.

3.4 Variabel Dan Defenisi Operasional


Variabel Defenisi Operasional
Kista Rongga Mulut Rongga patologis yang tertutup, berkapsul, berbatas
jelas dengan atau tidak adanya jaringan epitel, tumbuh
abnormal dalam rongga anatomis, baik pada jaringan
keras atau lunak yang berisi cairan, semifluid atau
substansi gas, dan dapat juga mengandung kolesterol.
Tindakan Pembedahan Tindakan pembukaan bagian tubuh yang umumnya
dilakukan dengan membuat sayatan pada bagian yang
akan diperbaiki dan diakhiri dengan penjahitan pada
luka bekas sayatan.
Marsupialisasi Tindakan pembuatan surgical window (kantung) pada
dinding kista, membuang isi kista, dan mempertahankan
kontinuitas antara kista dan rongga mulut, sinus
maksilaris, dan rongga nasal.
Enukleasi Suatu proses pembuangan kista secara utuh dalam satu
potongan tanpa fragmentasi.

3.5 Metode Pengumpulan Data


Data dikumpulkan dengan cara mencatat data sekunder rekam medik pasien di
RSUP H. Adam Malik Medan yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi pada
penelitian ini pada periode tahun 2014-2017.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


49

3.6 Pengolahan Data


Data diolah secara manual dan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.

3.7 Analisis Data


Analisis data dilakukan dengan cara menghitung persentase hasil pencatatan
data sekunder rekam medik dari pasien yang mendapatkan ataupun melakukan
pembedahan kista pada rongga mulut pada periode tahun 2014-2017 yang dilakukan
di RSUP H. Adam Malik Medan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


50

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP
H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017
Terdapat 165 kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP
H. Adam Malik Medan periode 2014-2017. Keseluruhan data tersebut didapat dari
bagian rekam medis rawat jalan dan rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan.

4.1.1 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP
H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017 berdasarkan metode
pembedahan
Hasil pada data penelitian menunjukan bahwa metode pembedahan dengan
teknik enukleasi menduduki peringkat teratas yaitu sebanyak 150 kasus atau 90,9%
diikuti dengan metode pembedahan dengan teknik marsupialisasi yaitu sebanyak 15
kasus atau 9,1%.

Tabel 2. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan metode


pembedahan

Metode Pembedahan Jumlah Persentase

Enukleasi 150 90,9%

Marsupialisasi 15 9,1%

Total 165 100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


51

Prevalensi Kasus Pembedahan Pada Kista


Rongga Mulut Berdasarkan Metode
Pembedahan
160
140
120
100
80
Jumlah
60
40
20
0
Enukleasi Marsupialisasi

Grafik 1. Grafik prevalensi kasus pembedahan pada kista rongga mulut berdasarkan
metode pembedahan

4.1.2.Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP


H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017 berdasarkan usia

4.1.2.1 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di


RSUP H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017 berdasarkan usia
menurut WHO
Hasil pada data penelitian menunjukan bahwa kelompok usia pemuda (18-65
tahun) menduduki peringkat teratas pasien yang melakukan pembedahan kista rongga
mulut yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2014-2017 sebanyak 120
pasien atau 72,7% dari keseluruhan data yaitu 165 pasien. Peringkat kedua diduduki
kelompok usia anak dibawah umur (0-17 tahun) sebanyak 44 pasien atau 26,6%.
Peringkat terakhir diduduki kelompok usia setengah baya (66-79 tahun) sebanyak 1
pasien atau 0,6%.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


52

Tabel 3. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan usia menurut
WHO
Kelompok Usia Jumlah Persentase
Anak Dibawah Umur (0-17 tahun) 44 26,6%
Pemuda (18-65 tahun) 120 72,7%
Setengah Baya (66-79 tahun) 1 0,6%
Orang Tua (80-99 tahun) - -
Orang Tua Berusia Panjang (>100 tahun) - -
Total 165 100

Prevalensi Kasus Pembedahan Pada Kista


Rongga Mulut Berdasarkan Usia Menurut
140
WHO
120
100
80
60
Jumlah
40
20
0
Anak Dibawah Pemuda Setengah Baya Orang Tua Orang Tua
Umur Berusia Panjang

Grafik 2. Grafik prevalensi kasus pembedahan pada kista rongga mulut berdasarkan
usia

4.1.2.2 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di


RSUP H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017 berdasarkan usia
menurut Dinas Kesehatan
Hasil pada data penelitian menunjukan bahwa usia masa remaja akhir (17-25
tahun) menduduki peringkat teratas pasien yang melakukan pembedahan kista rongga

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

mulut yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2014-2017 sebanyak 36
pasien atau 21,82% dari keseluruhan data yaitu 165 pasien. Peringkat kedua diduduki
usia masa dewasa awal (26-35 tahun) sebanyak 32 pasien atau 19,39%. Peringkat
ketiga diduduki usia masa dewasa akhir (36-45 tahun) sebanyak 29 pasien atau
17,58%. Peringkat keempat diduduki usia masa remaja awal (12-16 tahun) sebanyak
20 pasien atau 12,12%. Peringkat kelima diduduki usia masa kanak-kanak (6-11
tahun) sebanyak 18 pasien atau 10,90%. Peringkat keenam diduduki usia masa lansia
awal (46-55 tahun) sebanyak 15 pasien atau 9,09%. Peringkat ketujuh diduduki usia
masa lansia akhir (56-65 tahun) sebanyak 9 pasien atau 5,46%. Peringkat kedelapan
diduduki usia masa balita (0-5 tahun) sebanyak 5 pasien atau 3,03%. Peringkat
terakhir diduduki kelompok usia masa manula (65 tahun ke atas ) sebanyak 1 pasien
atau 0,61%.

Tabel 4. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan usia menurut
Dinas Kesehatan
Kelompok Usia Jumlah Persentase
Masa Balita (0-5 tahun) 5 3,03%
Masa Kanak-kanak (6-11 tahun) 18 10,90%
Masa Remaja Awal (12-16 tahun) 20 12,12%
Masa Remaja Akhir (17-25 tahun) 36 21,82%
Masa Dewasa Awal (26-35 tahun) 32 19,39%
Masa Dewasa Akhir (36-45 tahun) 29 17,58%
Masa Lansia Awal (46-55 tahun) 15 9,09%
Masa Lansia Akhir (56-65 tahun) 9 5,46%
Masa Manula (65 tahun ke atas) 1 0,61%
Total 165 100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

Prevalensi Kasus Pembedahan Pada Kista


Rongga Mulut Berdasarkan Usia Menurut
Dinas Kesehatan
40
35
30
25
20
15
10
5 Jumlah
0

Grafik 3. Grafik prevalensi kasus pembedahan pada kista rongga mulut berdasarkan
usia menurut Dinas Kesehatan

4.1.3 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP
H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017 berdasarkan jenis kelamin
Hasil pada data menunjukkan bahwa pasien wanita menduduki peringkat
teratas pada kasus pembedahan kista rongga mulut tang dilakukan di RSUP H. Adam
Malik periode 2014-2017 yaitu sebanyak 96 pasien atau 58,2%, kemudian diikuti
oleh pasien laki-laki yaitu sebanyak 69 pasien atau 41,8%.

Tabel 5. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Perempuan 96 58,2%

Laki-laki 69 41,8%

Total 165 100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


55

Prevalensi Kasus Pembedahan Kista


Rongga Mulut Berdasarkan Jenis
Kelamin

42%
Perempuan
Laki-laki
58%

Grafik 4. Grafik prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan jenis
kelamin

4.1.4 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP
H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017 jenis kista yang diderita
Hasil pada data menunjukkan bahwa jenis kista yang paling sering ditemukan
pada pasien di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2014-2017 adalah kista
dentigerous sebanyak 76 kasus atau 46,1%. Peringkat kedua diikuti oleh kista
radikular yaitu sebanyak 70 kasus atau 42,4%. Peringkat ketiga diduduki oleh ranula
yaitu sebanyak 53 kasus atau 9,1%. Peringkat keempat diduduki oleh kista residual
sebanyak 3 kasus atau 1,8%. Peringkat terakhir diduduki oleh Mandibular infected
buccal cyst yaitu sebanyak 1 kasus atau 0,6%.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


56

Tabel 5. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan jenis kista
yang diderita
Jenis Kista Jumlah Persentase
Kista Dentigerous 76 46,1%
Kista Radikular 70 42,4%
Ranula 15 9,1%
Kista Residual 3 1,8%
Mandibular Infected Buccal Cyst 1 0,6%
Total 165 100

Prevalensi Kasus Pembedahan Kista


Rongga Mulut Berdasarkan Jenis Kista
Yang Diderita
80
70
60
50
40
30
Jumlah
20
10
0
Kista Kista Radikular Ranula Kista Residual Mandibular
Dentigerous Infected Buccal
Cyst

Grafik 4. Grafik prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan jenis
kista yang diderita

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


57

BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian ini membahas tentang kasus pembedahan kista rongga mulut yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017. Hal ini
didasarkan oleh karena kista rongga mulut merupakan kelainan yang paling sering
ditemui dalam praktik kedokteran gigi dan juga sudah dikenal sejak lama. 1
Hasil dari penelitian ini dilakukan di bagian rekam medis RSUP H. Adam
Malik Medan dan menunjukkan bahwa pasien yang menderita kelainan kista rongga
mulut dan telah mendapatkan pembedahan sebanyak 165 pasien. Hasil dari penelitian
ini juga menunjukkan bahwa dari 165 kasus pembedahan yang ditemukan 150 pasien
atau 90,9% yang dirawat menggunakan metode enukleasi dan 15 pasien atau 9,1%
yang dirawat dengan metode marsupialisasi. Hasil data yang tertera pada Tabel 2 dan
Grafik 1 menunjukkan bahwa hasil penggunaan metode enukleasi lebih signifikan
dibandingkan dengan penggunaan metode marsupialisasi. Banyaknya penggunaan
metode enukleasi disebabkan oleh kasus kista yag terjadi di RSUP H. Adam Malik
tahun 2014-2017 didominasi oleh kista dentigerous, radikular, residual, dan
mandibular infected buccal cyst. Kista jenis ini, dirawat dengan menggunakan teknik
enukleasi. Teknik ini memiliki indikasi, yaitu pengangkatan kista pada rahang,
ukuran kista kecil atau kista besar tetapi tidak membahayakan struktur vital atau
resiko terjadinya fraktur rahang patologis dan untuk kista rahang yang dapat diangkat
dengan aman tanpa terlalu banyak melibatkan struktur jaringan yang berdekatan.
Teknik ini juga memiliki kelebihan dimana seluruh lapisan kista dibuang,
penyembuhan berlangsung dengan cepat karena luka menutup secara primer, pasien
juga tidak harus merawat rongga dengan irigasi konstan, begitu penutupan akses pada
mukoperiosteal telah sembuh, pasien tidak akan terganggu lagi dengan rongga kistik.
Hasil data menunjukkan perawatan kista dengan menggunakan teknik marsupialisasi
lebih sedikit, karena kista ranula yang merupakan indikasi dari teknik ini hanya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


58

mencakup 15 kasus dari 165 kasus kista yang diambil dari tahun 2014-2017. Teknik
marsupialisasi memiliki indikasi seperti : usia, bantuan erupsi, vitalitas gigi, ukuran
kistanya, dan jarak pada struktural vitalnya dengan keuntungan penggunaan
tekniknya, yaitu pada kista yang besar dengan teknik ini lebih sederhana, membantu
erupsi gigi, mencegah fistula oronasal dan oroantral, mengurangi waktu operasi,
mengurangi pendarahan, membantu penyusutan lapisan kista, menyebabkan
terjadinya pembentukan tulang endosteal dan mengamankan alveolar ridge.9,13,14,23-25
Pertimbangan-pertimbangan inilah yang mempengaruhi seorang dokter gigi dalam
mengambil tindakan perawatan terhadap salah satu jenis kista. Natheer Hashim Al-
Rawi, dkk pada tahun 2013 melakukan penelitian tentang kasus-kasus yang
didiagnosis kista odontogenik dan tumor antara tahun 1990 dan 2010 yang di ambil
dari Laboratorium Patologi Mulut dan Departemen Bedah Mulut rumah sakit tawam
mengatakan bahwa enukleasi merupakan prosedur yang paling umum digunakan
dalam perawatan pada kista seperti kista radikuler, kista dentigerous, dan odontoma
dengan persentase masing-masing 82,3%, 54,5%, dan 52,9%. Esther Manor, dkk
yang meneliti 322 pasien dengan lesi kista rahang yang sukses didiagnosa dan
dirawat mendapatkan hasil bahwa perawatan yang digunakan marsupialisasi pada 113
kasus atau 35%, enukleasi pada 145 kasus atau 45% serta enukleasi dan bone grafting
pada 62 kasus atau 19% dengan pendekatan intraoral. 5,27
Berdasarkan dari data 165 pasien yang mendapatkan pembedahan kista pada
rongga mulutnya yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode tahun
2014-2017, menurut klasifikasi oleh WHO menunjukkan bahwa pada kelompok usia
pemuda (18-65 tahun) yang menduduki urutan teratas yang menderita kista pada
rongga mulutnya yaitu sebanyak 120 pasien atau 72,7% dari data secara keseluruhan
dan hasil penelitian menurut klasifikasi oleh Dinas Kesehatan menunjukan bahwa
usia masa remaja akhir (17-25 tahun) menduduki peringkat teratas pasien yang
melakukan pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik
pada tahun 2014-2017 sebanyak 36 pasien atau 21,82% dari keseluruhan data yaitu
165 pasien. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok orang yang masih dalam usia
produktif (antara 15-64 tahun) lebih sering terkena kista rongga mulut dibandingkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


59

dengan orang yang berusia lanjut dikarenakan pada usia ini manusia sudah matang
secara fisik dan biologis. Pada usia inilah manusia sedang dalam puncak aktivitasnya,
dimana aktifitas fisik yang dilakukan cenderung lebih berat daripada usia lainnya.
Padatnya aktivitas dapat menyebabkan timbulnya stress dan stres ini dapat memicu
perubahan fungsi normal tubuh dalam rentang waktu yang lama dapat menimbulkan
gejala dini penyakit degeneratif. Tingginya aktivitas fisik yang dilakukan juga dapat
memicu perubahan hormon yang tidak disadari. Dikarenakan aktivitas yang padat
juga manusia pada masa produktif kurang memperhatikan kesehatannya dimana
kebanyakan dari mereka lebih memilih mengunjungi dokter ketika penyakit sudah
semakin parah. Selain dikarenakan stres, dan hormon banyaknya penderita kista pada
usia produktif dapat disebabkan oleh angka harapan hidup pada Negara Indonesia
tahun 2010-2017 cukup tinggi dapat menyebabkan kemungkinan individu yang
menderita suatu penyakit semakin tinggi. Seperti pada data yang dikeluarkan oleh
Badan Pusat Statistik dimana pada pria pada tahun 2010 usia harapan hidup 67 tahun,
tahun 2011-2015 usia harapan hidup 68 tahun, dan pada tahun 2016-2017 usia
harapan hidup 69 tahun, sedangkan pada wanita pada tahun 2010 usia harapan hidup
71 tahun, tahun 2011-2016 usia harapan hidup 72 tahun, dan tahun 2017 usia harapan
hidup 73 tahun. Hasil dapat dilihat pada Tabel 3, Grafik 2, dan Tabel 4, Grafik 3 yang
menunjukkan hasil yang sangat signifikan pada kelompok usia pemuda, hal ini juga
sejalan dengan penelitian Natheer Hashim Al-Rawi, dkk pada tahun 2013 dalam
penelitiannya menyatakan bahwa kasus terjadinya kista lebih banyak ditemukan pada
kelompok usia 21-40 tahun sebanyak 56 pasien atau 46,2%, usia 41-60 sebanyak 30
pasien atau 24,7%, dan yang terakhir kelompok usia >60 sebanyak 9 pasien 7,4% dari
121 sampel secara keseluruhan. Ramachandra S, dkk yang meneliti 1331 analisis
laporan biopsi didapatkan 128 kasus kista odontogenik atau 9,61% dan tumor
odontogenik sebanyak 76 kasus atau 5,79%, dimana usia pasien yang terkena kista
odontogenik berkisar antara 12 dan 69 tahun, yaitu sebanyak 41,5%, usia pasien yang
terkena tumor 8-75 tahun odontogenik, yaitu sebanyak 39,5%, dan usia pasien yang
terkena keduanya antara 21-50 tahun.27,30-32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


60

Selain usia, dalam penelitian ini juga dibahas mengenai prevalensi kasus
pembedahan kista rongga mulut berdasarkan jenis kelamin. Hasil data menunjukkan
bahwa pasien yang berjenis kelamin wanita menempati urutan teratas yaitu sebanyak
96 pasien atau 58,2% dari data keseluruhan. Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 4 dan
Grafik 3 yang menunjukan ratio wanita lebih tinggi dari pria. Hal ini dapat
disebabkan oleh hormon estrogen dan progesteron yang bertanggung jawab untuk
perubahan fisiologis pada wanita dalam fase tertentu pada hidupnya, mulai dari masa
pubertas. Estrogen menginduksi beberapa perkembangan saat pubertas pada wanita
dan progesteron bertindak secara sinergis dengan estrogen untuk mengontrol siklus
menstruasi dan menghambat sekresi follitropin oleh kelenjar pituitari anterior.
Adapun efek hormone estrogen pada keadaan periodontal rongga mulut, yaitu
meningkatkan proliferasi sel di pembuluh darah, meransang PMNL phagicytosis,
menghambat PMNL chemotaxis, menekan produksi leukosit dari sumsum tulang,
mengurangi peradangan mediasi sel-sel, merasang proliferasi fibrobla gingiva,
meransang sintesis dan pematangan jaringan ikat pada gingiva, dan meningkatkan
jumlah peradangan pada gingiva tanpa terjadinya peningkatan plak sedangkan, efek
hormon progesteron pada keadaan rongga mulut, yaitu meningkatkan dilatasi
vaskular sehingga permeabilitas meningkat, meningkatkan produksi prostaglandin,
mengurangi efek anti-inflamasi glukokortikoid, menghambat proliferasi fibroblast
gingiva pada manusia, mengubah laju dan pola produksi kolagen di gingiva, dan
meningkatkan pemecahan metabolik folat yang diperlukan untuk pemeliharan dan
perbaikan jaringan. Selain disebabkan oleh hormon keadaan ini juga dapat
disebabkan oleh kondisi seperti : dalam masa pubertas perubahan pada jaringan
periodontal berupa peningkatan peradangan pada gingiva tanpa disertai peningkatan
kadar plak dan terjadinya peningkatan bakteria tertentu seperti spesies P.intermedia
dan spesies Capnocytophaga, saat sedang mengalami menstruasi perubahan jaringan
periodontal berupa peningkatan eksudat gingiva, gingiva berdarah dan bengkak,
terjadinya mobilitas kecil pada gigi, saat sedang hamil perubahan jaringan periodontal
berupa peningkatan kedalaman probing gingiva, perdarahan saat probing,
peningkatan peradangan pada gingiva, peningkatan mobilitas gigi, dan terjadinya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

peningkatan jumlah patogen pada jaringan periodontal khususnya P. intermedia dan


P. gingivalis, dalam masa menopause dan post-menopause perubahan jaringan
periodontal yang terjadi berupa pengurangan keratinisasi pada epithelial, penurunan
aliran kelenjar saliva, mengeringnya jaringan mulut, jaringan gingiva pucat dn
kemerahan, terjadinya perdarahan saat probing dan menyikat gigi, ataupun sedang
menggunakan alat kontrasepsi. Hal ini sesuai dengan penelitian Natheer Hashim Al-
Rawi, dkk pada tahun 2013 menemukan bahwa kasus kista rongga mulut ini lebih
banyak ditemukan pada wanita yaitu sebanyak 65 pasien atau 53,7% dari pada pria
yaitu sebanyak 56 pasien atau 46,2% dari 121 sampel yang diteliti, tetapi hasil
penelitian ini berbeda dengan peneltian yang dilakukan Luis Villasis-Sarmiento, dkk
yang meneliti 753 sampel di meksiko didapat hasil bahwa kista rongga mulut sering
terjadi pada pria yaitu sebanyak 384 pasien atau 50,9% dari pada wanita yaitu
sebanyak 369 pasien atau 49,1% dari jumlah data secara keseluruhan. 27,28,33
Selain berdasarkan jenis kelamin dan usia pasien, prevalensi kasus
pembedahan ini dapat digolongkan berdasarkan jenis kista yang diderita pasien.
Berdasarkan hasil data yang didapat kista dentigerous merupakan kista yang
menempati urutan teratas dengan jumlah 76 pasien atau 46,1% dari data keseluruhan.
Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 5 dan Grafik 4 yang menunjukan kista dentogerous
lebih banyak dari kista radikular dikarenakan kista ini merupakan kista terbanyak
setelah kista radikular. Tumbuh paling sering di regio posterior mandibula ataupun
maksila dan biasanya berhubungan dengan molar ketiga. Kista dentigerous biasanya
ditemukan pada individu berusia 20 (dua puluh) tahun. Umumnya ditemukan secara
kebetulan pada pemeriksaan radiologi, dapat dikarenakan adanya keluhan gigi yang
tidak tumbuh, gigi yang hilang, karena adanya gigi-gigi yang malposisi atau keluar
dari lengkung gigi, ataupun dikarenakan adanya keluhan dari penderita karena
timbulnya pembengkakan yang semakin membesar dengan ukuran diameter
mencapai 10-15 cm. Hasil ini sesuai dengan penelitian Manickam Selvamani, dkk
menemukan kista pada rahang sebanyak 194 kasus atau 8.5%, termasuk kista
odentogenik sebanyak 153 kasus atau 6.7% dan kista non-odontogenik sebanyak 5
kasus atau 0.25% dari 2275 sampel yang diteliti.16,29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


62

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

1. Penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi kasus pembedahan kista rongga


mulut yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-
2017 yaitu sebanyak 165 kasus yang ditemukan.
2. Hasil data menunjukkan bahwa prevalensi kasus pembedahan yang
menggunakan metode enukleasi sebanyak 150 kasus atau 90,9% dan diikuti
dengan metode marsupialisasi sebanyak 15 kasus atau 9,1%.
3. Hasil data menunjukkan bahwa prevalensi kasus pembedahan kista rongga
mulut yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-
2017 menurut klasifikasi WHO terjadi lebih banyak pada kelompok usia
pemuda (18-65 tahun) sebanyak 120 pasien atau 72,7% dari total data
keseluruhan dan menurut klasifikasi Dinas Kesehatan terjadi lebih banyak
pada usia masa remaja akhir (17-25 tahun) sebanyak 36 pasien atau 21,82%
dari keseluruhan data yaitu 165 pasien.
4. Hasil data menunjukkan bahwa prevalensi kasus pembedahan kista rongga
mulut yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-
2017 terjadi lebih banyak pada perempuan yaitu sebanyak 96 pasien atau
58,2% dari total data keseluruhan.
5. Hasil data menunjukkan bahwa prevalensi kasus pembedahan kista rongga
mulut yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-
2017, kista yang paling banyak ditemukan yaitu kista dentigerous sebanyak
96 kasus atau 58,2% dari total data keseluruhan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


63

6.2 SARAN
1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai pembedahan kista rongga
mulut di rumah sakit lainnya di Indonesia.
2. Perlu diadakan penyuluhan mengenai kista rongga mulut kepada masyarakat
seperti penyebab terjadinya kista rongga mulut serta perawatan-perawatan
kista rongga mulut agar masyarakat dapat lebih berhati-hati terhadap salah
satu kelainan di rongga mulut ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


64

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudiono J. Kista odontogenik pertumbuhan, perkembangan, dan komplikasi.


Jakarta: EGC, 2014: 1-6.
2. Shear M. Kista rongga mulut. 3rd ed. Jakarta: EGC, 2012: 1-6, 299-315.
3. Koseoglu BG, Atalay B, Erdem AM. Odontogenic cysts: A clinical study of 90
cases. Journal of Oral Science. Vol 4. No 4. 2004: 253-57.
4. El Gehani R, Krishnan B, Orafi H. The prevalence of inflammatory and
developmental odontogenic cysts in a Libyan population. Libyan J Med. 2005:
75-7.
5. Manor E, Kachko L, Puterman MB, Szabo G, Bodner L. Cystic lesions of the
jaws- a clinical phatological study of 322 cases and review of the literature. Int J
Med Sci. 2012: 20-6.
6. Deepashri H, Kambalimath HV, Kambalimath SM, Agrawal, Singh M.
Prevalance and distribution of odontogenic cyst in indian population: A 10 year
retrospective study. J Maxillofac Oral Surg. 2014: 10-5.
7. Rafael LA, Antonio AA, Ricardo WF, Paulo GC, Patricio JO. Odontogenic cysts:
A clinicophatological study of 507 cases. Journal of Oral Science. Vol 51. No 4.
2009: 581-86.
8. Nigel RJ, Oria MG, Neil WS, Martin DB. Frequency of odontogenic cysts and
tumors: A systematic review. Journal of Investigative and Clinical Dentistry.
2014: 9-14.
9. Danudiningrat CP. Kista odontogen dan nonodontogen. Surabaya: Airlangga
University Press, 2006: 11-30, 35-42, 68.
10. Harty FJ, Ogston R. Kamus kedokteran gigi. Jakarta: EGC, 2013: 109, 130, 191.
11. Mitra GV. Ilustrated manual of oral and maxillofacial surgery. New delhi: Jaypee
Brother Medical Publishers, 2009: 169-82.
12. Fragiskos FD. Oral Surgery. Jerman: Springer-Verlag, 2007: 301-8.
13. Ozaibi MS. Enucleation vs marsupialization.
http://www.ozident.com/enucleation-vs-marsupialization/ (07 Maret 2017).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


65

14. Varun. Classification of cysts of jaw.


http://www.juniordentist.com/classification-of-cysts-of-jaw.html (08 Agustus
2017).
15. Kuhuwael FG, Pieter N, Nasrul. Kista odontogenik di Rumah Sakit Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makasar.
http://www.jdmfs.org/index.php/jdmfs/article/viewFile/217/217&sa=u&ved=0ah
UKEwj_7zamKLWAhUGp48KHSRHAqoQFggeMAA&usg=AFQjCNG5s5dAo
td5UbaqHFbdMb3nY6gRA (12 Agustus 2017).
16. Widhianingrum RK, Goreti M, Prihartiningsih. Penatalaksanaan kista
dentigerous terinfeksi dengan fistel ekstra oral pada pipi kanan. MKGK. 2015:
79-84.
17. Azhar S, Goereti M, Soteji P. Enukleasi kista dentigerous pada coronoid
mandibular sinistra di bawah anastesi umum. MKGK. 2015: 99-103.
18. Mappangara S, Tajrin A, Fatmawati. Kista radikuler dan kista dentigerous.
http://pdgimakassar.org/journal/file_jurnal/1607010535233ftfatmawati7.pdf&sa=
U&ved=0ahUKEwj_7zamKLWAhUGp48KHSRHAqoQFggdMAI&usg=AFQjC
NGFQG3OeDzt3QPMMuRsFDWN0QZTug (12 Agustus 2017).
19. Budiman BJ, Triana W. Kista nasoabial.
http://jurnal.ugm.ac.id/mkgk/article/11967/8812&sa=U&ved=0ahUKEwj_7zam
KLWAhUGp48KHSRHAqoQFggfMAE&usg=AFQjCNE_jyUIZHq3OzRpznC
U-3opur_Lw (12 Agustus 2017).
20. Sumbh B, Sumbh GS, Jain P, Pagare J. Classification of odontogenic cysts: A
review. Journal of dental and medical sciences. 2017: 79-82.
21. Sirait T, Rahayu S, Sibarani M, Brigitta G. Kista radikular multiple pada
maksila. Majalah kedokteran FK UKI. Vol XXVII. No 4. 2010: 161-66.
22. Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE. Oral and maxillofacial
pathology. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2010: 25-38, 678-701.
23. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 6 th
ed. St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby, 2014: 450-58.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

24. Malik NA. Textbook of oral and maxillofacial surgery. 3 rd ed. New delhi: Jaypee
Brother Medical Publishers, 2012: 491-572.
25. Balaji SM. Textbook of oral and maxillofacial surgery. 2 nd ed. New delhi:
Elsevier, 2013: 509-687.
26. Woo SB. Oral pathology: A comprehensive atlas and text. Philadelphia: Elsevier
Saundres, 2012: 320-338, 424-31.
27. Al-Rawi NH, Awad M, Al-Zuebi IE. Prevalence of odontogenic cysts and tumors
among UAE population. Journal of Orofacial Sciences. Vol. 5. 2013: 95-100.
28. Sarmiento LV, Robertson JV, Ocampo AM. Prevalence and distribution of
odontogenic cysts in a Mexican sample: A 753 cases study. J Clin Exp Dent.
2017: 531-38.
29. Selvamani M, Donoghue M, Basandi PS. Analysis of 153 cases of odontogenic
cysts in a South Indian sample population: A retrospective study over a decade.
Braz Oral Res. 2012: 330-34.
30. Ramachandra S, Shekar PC, Prasad S. Prevalence of odontogenic cysts and
tumors: A retrospective clinico-pathological study of 204 case. SRM Journal of
Research in Dental Sciences. Vol. 5. 2014: 170-73.
31. Syafitri R. Sistem pakar kebutuhan gizi seimbang pada usia produktif berbasis
web. http://elib.unikom.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptunikompp-
gdl-rikhasyafi-31063&q=usia%20produktif (16 Agustus 2018).
32. Badan Pusat Statistik. Angka Harapan Hidup (AHH) menurut provinsi dan jenis
kelamin tahun 2010-2017. http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1114
(8 September 2018).
33. Bhardwaj A, Bhardwaj SV. Effect of androgens, estrogens and progesterone on
periodontal tissue. Journal of Orofacial research. 2012: 165-170.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Lady Helena Patricia Sitompul


Tempat/ tanggal lahir : Medan /09 Januari 1996
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Perkampungan Kodam Sunggal, Jl. Geminastiti Barat
K No
309, Medan
Nama orangtua
Ayah : Henry D Sitompul, SH., MH.
Ibu : Vera Valoma Situmeang
Riwayat Pendidikan
1. 2000-2001 : TK Swasta Kartika I-14 Medan
2. 2001-2007 : SD Sultan Iskandar Muda Medan
3. 2007-2010 : SMP Santo Thomas 3 Medan
4. 2010-2013 : SMA Santo Thomas 1 Medan
5. 2013-sekarang : S-1 Fakultas Kedokteran Gigi USU

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LAMPIRAN 2

JADWAL KEGIATAN

2016 2017 2018


NO KEGIATAN
SEPTEMBER OKTOBER JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS
1 Penulisan Kepustakaan
2 Pembuatan Proposal
3 Seminar Proposal
4 Perbaikan Proposal
5 Pembuatan Etichal Clearance
6 Pelaksanaan Penelitian
7 Pengolahan Data
8 Pembuatan Laporan Hasil
9 Seminar Hasil Penelitian
10 Perbaikan Hasil Penelitian
11 Sidang Akhir

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LAMPIRAN 3

RINCIAN BIAYA PENELITIAN

Besar biaya yang diperlukan untuk melakukan penelitian ini sebesar Rp 4.350.000
dengan rincian sebagai berikut:

1. Persiapan pembuatan proposal Rp 400.000


2. Persiapan Seminar Proposal Rp 650.000
3. Persiapan Ethical Clearance Rp 100.000
4. Persiapan operasional penelitian Rp 900.000
5. Persiapan pembuatan laporan seminar hasil Rp 300.000
6. Persiapan Seminar Hasil Rp 500.000
7. Persiapan pembuatan laporan skripsi Rp 250.000
8. Persiapan Sidang Skripsi Rp 500.000
9. Persiapan print dan fotocopy Rp 500.000
10. Persiapan penjilidan dan penggandaan Rp 250.000 +
Rp 4.350.000

CATATAN : Semua biaya ditanggung oleh Peneliti

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LAMPIRAN 4

ETHICAL CLEARANCE

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai