SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
OLEH:
LADY HELENA PATRICIA
130600183
TIM PENGUJI
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Yesus Kristus yang telah memberikan
rahmat, kasih, dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam
mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.
Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada ayahanda
tercinta Henry D Sitompul, SH., MH dan ibunda tercinta Vera Valoma Br Situmeang,
kakek tercinta Alm. Hitler Sitompul serta nenek tercinta Alm. Tiorlan Br Siahaan atas
kesabaran, kasih sayang, doa, dan dukungan baik moril maupun materil kepada
penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Dalam melaksanakan penulisan skripsi ini, penulis tidak lepas dari berbagai
hambatan dan kesulitan yang datang, namun berkat bimbingan, bantuan, nasehat,
saran, dan kerjasama dari berbagai pihak, segala hambatan tersebut dapat diatasi
dengan baik. Oleh karena itu, penulis dengan kerendahan hati dan dengan
penghargaan yang tulus penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes., Sp.RKG (K) selaku Dekan di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM selaku Ketua Departemen Bedah
Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
3. Indra Basar Siregar, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan serta saran-
saran yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Departemen Ilmu Bedah Mulut dan
Maksilofasial atas bantuan dan motivasinya.
5. Rini Octavia Nasution, drg., SH., Sp.Perio., M.Kes selaku dosen
pembimbing akademik yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama
menjalankan pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi USU.
6. Tulang, nantulang, uda, dan tante yaitu Kapten Liston Bennedi Situmeang
serta istri Elmi Br Rajaguguk dan Adi Saputra Ginting serta istri Lenny Octaviana Br
Situmeang yang telah mendukung dan memberikan banyak bantuan kepada penulis.
7. Opung boru tersayang serta seluruh keluarga besar penulis yang tidak
dapat disebutkan satu persatu atas dukungan, bantuan, dan doa yang telah diberikan
kepada penulis.
8. Teman-teman stambuk 2013 atas kebersamaan dan bantuannya kepada
penulis selama masa perkuliahan.
Penulis menyadari kelemahan serta keterbatasan ilmu yang penulis miliki
sehingga penulis masih membutuhkan kritik dan saran yang membangun. Akhirnya
penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang berguna
bagi kemajuan disiplin ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi khususnya Departemen
Ilmu Bedah Mulut dan Maksilofasial di masa yang akan datang.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………...
ABSTRAK…………………...………………………………………………
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………...
HALAMAN TIM PENGUJI...……………………………………………..
KATA PENGANTAR………………………………………...………….... vi
DAFTAR ISI…………………………………………………...…………... viii
DAFTAR TABEL…………………………………………………...……... xi
DAFTAR GAMBAR……………………………………...……………….. xii
DAFTAR GRAFIK………………………………………………………... xiv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….… xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………….………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………….………………… 3
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………….…………. 3
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………........ 4
BAB 5 PEMBAHASAN………………..……………………………….… 57
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 65
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
DAFTAR GRAFIK
Grafik Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1100 SM. Neiburger memperkirakan diagnosa lesi sistik pada sudut mandibular
adalah kista multilokular atau ameloblastoma dan mungkin juga dapat diperkirakan
merupakan sebuah odontogenik keratokista (kista primordial) dari jenis yang dapat
dilihat secara radiologi dengan tepi-tepi yang scalloped. Penelitian yang terakhir
dilakukan oleh Keene yang meneliti kembali literatur dan studi arkeologi tentang
kerusakan tulang mandibular pada daerah lingual, atau kavitas Stafne, yang terkadang
disalahtafsirkan sebagai kista tulang soliter pada pemeriksaan gambaran radiologi.2
Letak kista ini sendiri dapat seluruhnya berada di dalam jaringan lunak atau
diantara tulang atau dapat berada di atas permukaan tulang. Kista juga dapat berasal
dari sisa jaringan pembentuk gigi yang dinamakan kista odontogenik, dapat pula yang
pembentukannya tidak berkaitan dengan jaringan pembentuk gigi yang dinamakan
kista non-odontogenik.1
Banyaknya kasus pada masyarakat yang terkena kista pada rongga mulut
dapat dilihat dari penelitian-penelitian ahli seperti penelitian yang dilakukan oleh
Banu G, dkk yang melakukan analisa kista odontogenik pada 90 pasien di dapat
prevalensi terbanyak adalah kista radikular 59%, odontogenik keratosis 27%, kista
dentigerous 14%.3 Menurut El Gehani R, dkk yang meneliti 2190 rekam biopsi di
dapat prevalensi kista odontogenik 14,8% dengan 326 kasus seperti kista radikular,
dentigerous, dan odontogenik keratosis.4 Menurut Esther M, dkk prevalensi yang
tertinggi kista radikular 56%, kista dentigerous 17%, kista nasopalatinus 13%,
odontogenik keratosis 11%, kista erupsi 0,7%.5 Menurut Deepashri H, dkk yang
meneliti 980 lesi biopsi di dapat prevalensi kista radikular 48,67%, kista dentigerous
17,33%, odontogenik keratosis 8%, kista paradental 7,33%, kista residual dan lateral
periodontal 6%.6 Menurut Rafael L, dkk yang meneliti 5.100 rekam medis prevalensi
yang di dapat kista radikular 51,3% dan kista dentigerous 30,7%.7 Menurut Nigel R
Johnson, dkk prevalensi terbanyak adalah kista radikular 54,6%, kista dentigerous
20,6%.8
Dari data prevalensi diatas dapat disimpulkan bahwasanya memang benar
kista rongga mulut merupakan kelainan pada rongga mulut yang paling sering
dijumpai oleh praktek dokter gigi dan dari data prevalensi diatas juga dapat di lihat
bahwa kista rongga mulut yang paling sering di derita oleh pasien adalah kista
odontogenik seperti kista radikular, kista dentigerous, dan kista odontogenik
keratosis.1
Berdasarkan keterangan di atas sudah dijelaskan defenisi sampai sejarah dari
kista rongga mulut dan telah dituliskan juga prevalensi-prevalensi yang sudah diteliti
oleh peneliti di berbagai negara dan jika ditilik kembali dapat di lihat bahwa belum
adanya peneliti yang meneliti tentang prevalensi kista dari segi tindakan pembedahan
atau perawatannya di Negara Indonesia sendiri. Hal ini lah yang menjadi alasan
peneliti tertarik untuk mengambil topik penelitian prevalensi kasus pembedahan kista
rongga mulut yang akan dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan.
Secara umum pembedahan atau perawatan kista rongga mulut dilakukan
dengan 2 (dua) kemungkinan cara,9 yaitu tindakan marsupialisasi yang merupakan
tindakan pembuatan surgical window (kantung) pada dinding kista, membuang isi
kista, dan mempertahankan kontinuitas antara kista dan rongga mulut, sinus
maksilaris, dan rongga nasal dan yang kedua adalah tindakan enukleasi yang
merupakan suatu proses pembuangan jaringan kista secara utuh (isinya, gigi atau
benih gigi dari struktur disekitarnya) dalam satu potongan tanpa fragmentasi.10
Prevalensi jumlah kasus kista rongga mulut yang mendapatkan pembedahan di RSUP
H. Adam malik inilah yang selanjutnya akan dibahas ataupun di teliti lebih lanjut oleh
peneliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Etiologi
Penyebab timbulnya kista terkadang tidak diketahui, namun biasanya dapat
disebabkan akibat dari proses inflamasi, trauma, ataupun karena cacat embriogenik.
Contohnya saja kista radikular yang merupakan salah satu kista odontogenik yang
merupakan riwayat peradangan. Kista ini selalu berhubungan dengan pulpa non-vital
yang mengalami proses peradangan ke daerah peri-apeks. Kista dentigerous yang
disebabkan oleh gangguan pertumbuhan perkembangan gigi, kista fisural yang dapat
dikarenakan adanya gangguan tumbuh kembang embrional, kista residual akibat
adanya kista yang masih bertahan setelah gigi di ekstraksi, dan kista-kista non-
odontogenik yang biasanya disebabkan oleh trauma. 1,16
Kista rahang tidak selalu disertai dengan rasa sakit, jika pada kista rahang
tidak terjadi infeksi. Begitu juga dengan vitalitas gigi geligi yang berdekatan dengan
kista yang tidak terinfeksi, tidak berkurang meskipun ukuran kista besar dan tulang
penyangganya banyak yang hilang, sebaliknya pada gigi geligi yang berdekatan
dengan kista yang terinfeksi mungkin akan terjadi kehilangan respon vitalitas yang
sifatnya sementara.1
Pada kista rongga mulut juga dapat dilakukan pemeriksaan biopsi yang jika
kista tersebut di aspirasi menunjukkan adanya cairan kolesterin berwarna kuning.
Pada pemeriksaan radiografi tidak semua kista rahang berbentuk radiolusen
bulat/oval dengan tepi radiopak yang jelas. Faktor yang mempengaruhi hal ini terjadi
beragam bisa saja dipengaruhi tipe, lokasi kista, dan derajat kerusakan tulang serta
ada atau tidaknya infeksi pada kista, sebaliknya tidak semua gambar radiolusen
dengan tepi yang jelas adalah kista, hal ini disebabkan banyak tumor odontogenik
seperti ameloblastoma, ameloblastik fibroma, odontogenik miksoma, serta kelainan
lain seperti central giant cell granuloma, hemangioma sentral yang juga memberikan
gambaran radiologi yang serupa.1
Umumnya gambaran radiologi, gambaran klinis, tes vitalitas gigi ini penting
dalam menegakkan diagniosis yang tepat. Terdapat beberapa hal yang dapat juga
membantu menegakkan diagnosis suatu kista:1
Kista gingiva biasanya dibatasi epitel gepeng berlapis yang tak berkeratin di
atas jaringan ikat fibrosa padat.
Kista epidermoid dibatasi epitel gepeng berlapis berkeratin dan appendeges
kulit (kelenjar sebasea, folikel rambut).
Kista radikular atau periodontal biasanya dibatasi epitel gepeng berlapis yang
tak berkeratin di atas jaringan ikat fibrosa padat, menunjukkan infeksi
sekunder dengan infiltrasi sel radang kronis terutama sel plasma. Hal ini
jarang dijumpai pada kista keratosis odontogenik, atau gingiva.
Kista dentigerous biasanya dibatasi epitel gepeng berlapis yang tak berkeratin
di atas jaringan ikat fibrosa padat dan jarang sekali menunjukan infeksi
sekunder dengan infiltrasi sel radang kronis terutama sel plasma. Kista
dentigerous yang terletak di mandibula kadang-kadang dilapisi sel-sel goblet
atau mengandung folikel limfoid atau sisa sel epitel odontogenik di bawah
lapisan epitel dinding kista. Dikarenakan adanya proliferasi sisa epitel
odontogenik kista dentigerous ini sering keliru dan dapat di diagnosis sebagai
ameloblastoma.
Kista fisural dibatasi epitel gepeng berlapis yang tak berkeratin di atas
jaringan ikat fibrosa padat, menunjukkan infeksi sekunder dengan infiltrasi sel
radang kronis terutama sel plasma. Hal ini jarang dijumpai pada kista
keratosis odontogenik, atau gingiva. Kista fisural yang terletak di maksila
sering dibatasi oleh epitel yang berkeratin tipis.
Kista median anterior maksila sering dijumpai kelenjar mukus dan pembuluh
darah serta saraf pada dinding jaringan ikat kista.
klasifikasi standar yang harus dipahami. Pada klasifikasi WHO (1992 dan 2005) kista
rongga mulut terbagi atas 2 (dua) tipe yaitu developmental (perkembangan) dan
inflammatory (peradangan).14
Kista primordial atau keratokista merupakan jenis kista yang berbeda dengan
kista yang lain karena sifatnya yang cenderung kambuh setelah perawatan bedah.
Kista primodial ini juga dapat tumbuh dalam ukuran yang besar, mempunyai
gambaran histologi seperti epitel parakeratotik dengan sel basalnya yang berbentuk
seperti pagar (kuboid) tersusun palisade, lapisan epitel skuamosa yang mengalamai
parakeratinisasi dan mempunyai ketebalan 6 (enam) sampai 10 (sepuluh) lapis sel,
pada pembesaran mikroskopik menunjukkan lumen yang dilapisi oleh lapisan epitel
yang terkeratinisasi dengan permukaan yang berkerut-kerut dan berisi sejumlah
desquamated parakeratin, pada permukaan luminalnya dilapisi oleh lapisan jaringan
parakeratin dengan permukaan yang berkerut-kerut, mengandung sedikit rate pegs,
gambaran lainnya yang mungkin dapat ditemukan adanya sisa dental lamina,
terbentuknya mikrokista, dan kista-kista satellite pada dinding kapsul kista.9
Keratokista dapat tumbuh pada rata-rata usia 32,1 tahun dan akan mencapai
puncaknya di usia dekade kedua dan ketiga seperti yang diperlihatkan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Browne pada tahun 1969 dan tahun 1972. Pada
pemeriksaan radiologi odontogenik keratokista memberikan gambaran radiologi
berbatas jelas dimana batas jelas yang tampak merupakan tepi yang mengalami
dekortikasi yang membatasi gambaran radiolusen yang dapat berbentuk soliter
dengan tepi yang halus (scallop). Akan tetapi, jika pada kasus dimana kista
mengalami proses peradangan, batas jelas tersebut akan hilang. Gambaran radiologi
keratokista mirip dengan gambaran radiologi kista dentigerous, kista periodontal
lateralis, kista residual, dan kista fisural sehingga dapat membingungkan dokter gigi
dalam mengidentifikasi kista tersebut dan juga pada penelitian secara histologi seperti
yang dilakukan oleh Payne pada jenis keratokista yang berulang-ulang rekuren,
ditemukan proliferasi semacam tunas di lapisan sel basal pada 5 (lima) kasus dari 11
(sebelas) kasus yang ditelitinya, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh
Donatsky, dkk ditemukan proliferasi seperti tunas pada sel basal pada 5 (lima) kasus
dari 55 (lima puluh lima) kasus yang ditelitinya. 9
2) Kista gingiva
Kista gingiva tumbuh hanya pada jaringan lunak dan tidak melibatkan tulang.
Kista gingiva dapat ditemukan pada orang dewasa dan juga bayi, dimana pada orang
dewasa lebih banyak ditemukan pada wanita sekitar 65% dibandingkan dengan pria
hanya 35% saja dan pada bayi biasanya ditemukan saat usia bayi di bawah 3 (tiga)
bulan. Oleh karena itu, pada bayi yang baru lahir sebaiknya dilakukan pemeriksaan
keadaan rongga mulutnya untuk melihat kemungkinan terbentuknya nodul-nodul
kecil seperti mutiara.9
A B
Gambar 5 : (A) Kista gingiva pada bayi.
(B) Kista gingiva pada orang dewasa.9
Pada kista gingiva terjadi pembengkakan dengan batas jelas dengan diameter
kira-kira 1 (satu) cm pada regio attached gingiva ataupun pada papilla gingiva. Kista
gingiva juga mempunyai bentuk yang bermacam-macam dengan permukaan yang
halus berwarna kebiruan dan lebih sering tumbuh pada mandibula dibandingkan
maksila, terutama pada regio kaninus dan premolar. Lesi pada kista gingiva dapat
teraba lunak, fluktuatif dan gigi-gigi yang terlibat mempunyai vitalitas gigi vital.
Kista gingiva mempunyai dinding yang sangat tipis di bentuk oleh jaringan epitel
yang terdiri dari 1 (satu) atau 2 (dua) lapisan sel pipih atau berbentuk kubus. Pada
pemeriksaan radiologi, kista gingiva mempunyai gambaran radiologi yang tidak jelas
dan dapat juga memperlihatkan suatu bayangan erosi dari tulang yang terlibat kista. 9
Pada bayi, kista gingiva tumbuh dari hasil diferensiasi sel epitel dental lamina
yang selanjutnya akan mengalami keratinisasi dan membentuk kista kecil sejak pada
tahap awal pertumbuhan pada usia 10 (sepuluh) minggu intrauterine. Dimana pada
jaringan epitel rongga mulut akan terlihat adanya benjolan tipis pada daerah atas
permukaannya. Pada masa morfodiferensiasi atau tahap late bell stage, jika terjadi
pertumbuhan kistik berasal dari sisa dental lamina, maka massa kista akan mengalami
percepatan pertumbuhan yang terjadi pada 15-20 minggu usia kehamilan. Kista
gingiva pada bayi merupakan kista yang dindingnya dilapisi oleh epitel tipis jenis
stratified squamous dengan permukaan yang parakeratotik dan jaringan keratin yang
mengisi kavitas kista serta mempunyai sel basal yang berbentuk datar. 9
3) Kista erupsi
Kista erupsi sebenarnya merupakan tipe lain dari kista dentigerous dimana
mempunyai patogenesis yang sama dan letak kista di ekstraosseous. Perbedaannya
terletak pada waktu pembentukan kista, dimana kista erupsi terbentuk saat gigi akan
erupsi.9
Secara klinis pada kista erupsi akan terlihat pembengkakan pada gingiva
dengan warna yang kebiruan dilapisi oleh selapis tipis mukosa. Pada pemeriksaan
histopatologis kista erupsi memiliki gambaran histopatologis yang sama dengan kista
dentigerous.9
4) Kista dentigerous
Kista dentigerous tumbuh dari dental follicle pada gigi yang tidak erupsi atau
dari gigi yang sedang dalam masa pertumbuhan. Kista ini merupakan kista terbanyak
setelah kista radikular. Tumbuh paling sering di regio posterior mandibula ataupun
maksila dan biasanya berhubungan dengan molar ketiga. Kista dentigerous biasanya
ditemukan pada individu berusia 20 (dua puluh) tahun. Umumnya ditemukan secara
kebetulan pada pemeriksaan radiologi, dapat dikarenakan adanya keluhan gigi yang
tidak tumbuh, gigi yang hilang, karena adanya gigi-gigi yang malposisi atau keluar
dari lengkung gigi, ataupun dikarenakan adanya keluhan dari penderita karena
timbulnya pembengkakan yang semakin membesar dengan ukuran diameter
mencapai 10-15 cm. Karena besarnya ukuran kista, maka dapat pula menimbulkan
terjadinya fraktur patologis. Kista dentigerous biasanya tumbuh menutupi mahkota
gigi yang tidak erupsi dengan ujung melekat di leher gigi dan tumbuh tanpa disertai
rasa sakit kecuali bila terjadi infeksi pada kista.9 Karakteristik kista dentigerous yang
terinfeksi adalah rete ridge yang hiperplastik dan dinding kista memperlihatkan
infiltrasi inflamatori.16
Klasifikasi kista dentigerous ada 3 (tiga) tipe, yaitu tipe sentral. lateral, dan
sirkumferensial:18
1. Kista dentigerous sentral merupakan kista yang mengelilingi mahkota secara
asimetris dan menggerakkan gigi ke arah yang berlawanan dengan erupsi normal.
2. Kista dentigerous lateral yang berkembang pada sisi mesial dan distal dari gigi dan
meluas jauh dari gigi, hanya menutupi sebagian mahkota gigi, dan menyebabkan
miringnya gigi kearah yang tidak diliputi kista.
3. Kista dentigerous sirkumferensial dimana seluruh organ enamel di sekitar leher
gigi menjadi kistik dan sering menyebabkan gigi bererupsi menembus kista
sehingga menghasilkan gambaran seperti pada kista radikular.
Pada pemeriksaan histopatologis dimana kista dentigerous tidak mengalami
infeksi akan ditemukan lapisan epitel yang terbentuk dari reduced enamel epithelium
yang terdiri atas 2 (dua) sampai 3 (tiga) lapis epitel yang berbentuk kuboid (gepeng),
dapat juga ditemukan sel-sel mukus dalam jumlah yang banyak, serta dapat pula
ditemukan sel dengan permukaan yang bersilia. Pada kasus kista dentigerous yang
mengalami peradangan, sering kali ditemui kesulitan untuk membedakannya dengan
kista radikular, oleh karena itu perlunya penegakan diagnosis secara lebih teliti.9
pada rahang atas, maka dapat dipertimbangkan kemungkinan merupakan suatu kista
adenomatoid odontogenik.9,16
C D
Gambar 15 : (C) Terlihat gambar radiolusen pada distal gigi 47.
(D) Kista laretal periodontal pada gigi 47.9
6) Kista globulomaksilari
Kista globulomaksila dikatakan menjadi fissural cyst yang timbul dari epitel
yang terperangkap selama fusi bagian globular dari medial nasal process dengan
proses rahang atas. Konsep ini telah dipertanyakan, karena fusi pada bagian globular
dari medial nasal process bersatu dengan proses rahang atas tidak terjadi. Oleh
karena itu, terjebaknya epitel seharusnya tidak terjadi selama perkembangan
embriologi pada area ini. Peneliti juga berteori bahwa beberapa lesi ini mungkin
muncul dari peradangan epitel enamel saat gigi sedang erupsi. Kista globulomaksilari
telah direklasifikasikan sebagai kista odontogenik karena tidak adanya fusi fisur pada
daerah ini, melainkan penghapusan fisura oleh ectomesenchyme.22,27 Pada kejadian
yang langka, kista di area globulomaksilari dapat dilapisi oleh pseudistratified
epithelium, ciliated epithelium, columnar epithelium. Karena fissural cyst di daerah
ini mungkin tidak ada, kista globulomaksilari tidak lagi digunakan. Ketika Gambaran
radiologi dari kista globulomaksilari ditemukan adanya gambaran radiolusen berbatas
jelas pada regio insisif kedua dan kaninus yang menyebabkan akar gigi akan terlihat
divergen akibat dari desakan kista, dokter gigi harus mempertimbangkan asal usul
lesi odontogenik tersebut.9,22
B. Non-odontogenik
Kista non-odontogenik merupakan kista yang berasal dari sisa-sisa epitel
embrionik yang terperangkap di antara fisur dan celah sewaktu perkembangan, yang
kemudian berkembang menjadi kista melalui stimulus intrinsik atau ekstrinsik. Jenis
kista yang termasuk kista non-odontogenik ini adalah kista duktus nasopalatinus dan
kista nasolabial (nasoalveolar).9,20
Kista ini umumnya terletak pada daerah subkutan dan daerah luar otot wajah.
Gejala klinis dari kista nasolabial biasanya asimtomatis, dimana kista ini tumbuh
lambat dan memperlihatkan pembengkakan pada daerah sekitar bibir dan kemudian
kista akan keluar dari lipatan nasolabial dan mengangkat ala nasi sehingga mengubah
bentuk nostril kemudian menyebabkan pembengkakan pada dasar hidung. Didalam
rongga mulut kista akan membentuk tonjolan pada sulkus labialis. Pada saat
dilakukan pemeriksaan bimanual, kista akan teraba fluktuatif. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan meraba pembengkakan pada dasar hidung dan sulkus labialis. Bila
kista terinfeksi dapat ditemukan sekret didalam hidung dan akan terasa sakit. Kista
nasolabial ini juga dapat menyebabkan adanya rasa tidak nyaman saat menggunakan
gigi, obstruksi nafas, dan asimetris pada wajah. 19 Kista nasolabial mempunyai
gambaran histopatologi dimana pada kista ditemukan banyak sel mukus dan pada
dinding kista adalah pseudostratified dengan bentuk epitel yang columnar dan tidak
bersilia.
Diagnosis kista nasolabial dapat ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis
dan pemeriksaan histopatologi. Meskipun saat dilakukan pemeriksaan bimanual,
gambaran kista yang lebih jelas dapat terlihat dengan menggunakan pemeriksaan
tomografi computer, dan dapat juga menggunakan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) yang merupakan modalitas penting untuk mendeteksi kelainan pada jaringan
lunak karena kemampuannya dalam membuat gambaran jaringan lunak dengan
resolusi yang baik. Kista nasolabialis mempunyai diagnosis banding, yaitu infeksi
odontogen, sebaceous cyst, implanted epidermal inclusion cyst dengan predileksi
kejadian pada wanita lebih besar dibandingkan pria dengan perbandingan 4:1. 9,19
terpicu oleh infeksi bakteri pada pulpa yang nekrosis. Diagnosis kista radikular
didasarkan pada pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologi, serta aspirasi isi kantung
kista. Frekuensi terjadinya kista radikular sekitar 1825 diantara 3498 kista rahang
atau sekitar 52,2% dan sekitar 62% dari seluruh kista odontogenik berdasarkan
penelitian yang dilakukan pada daerah Afrika Selatan. Hasil ini sejalan dengan
penelitian oleh Nair, dkk pada tahun 1998 dan Amita, dkk pada tahun 2013.
Sedangkan menurut Musaffer, menjelaskan bahwa kista radikular terjadi sekitar
42-44% dari semua lesi apikal.9,12,18
Pada umumnya kista radikular tumbuh pada bagian apikal gigi yang non-vital
dan terjadi diskolorasi, terbentuk dari suatu dental granuloma, dan terjadi karena
adanya proses inflamasi kronis yang menyebabkan terjadinya stimulasi cytokine pada
sel epitel rest sehingga terjadi pembentukkan kista. ketika kista terbentuk, kavitas
akan terisi dengan cairan berwarna coklat dan terkadang dapat juga berwarna
keemasan di bawah sinar lampu dengan kilau kolestrol yang tampak seperti kristal.
Menurut Musaffer, secara umum ciri khas yang dapat ditemukan dari kista radikular,
yaitu perkembangannya secara perlahan, tidak terbentuk rongga yang sangat besar,
tidak disertai nyeri jika tidak terjadi inflamasi ekserbasi akut, tes elektrik gigi
menunjukkan hasil negatif (-), gigi goyang, dan tes perkusi pada gigi menunjukkan
hasil positif (+).9,18,21
Kista radikular lebih sering terjadi pada maksila dari pada mandibula. Pada
maksila yang paling rentan terdapat pada daerah anterior (kaninus kiri ke kaninus
kanan) sebesar 42% dan mandibula pada regio gigi kaninus sekitar 45%, regio
premolar/molar sekitar 30%. Tingginya frekuensi terjadinya kista radikular pada
anterior maksila mungkin disebabkan oleh karies gigi dan trauma pada gigi yang
rentan menyebabkan terjadinya nekrosis pulpa. 18
Kista radikular dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan secara lambat
dan pembengkakan inilah yang biasanya dikeluhkan oleh penderita. Pembesaran awal
kista biasanya terjadi pada tulang keras, terjadi peningkatan ukuran, lapisan
pelindung tulang menjadi tipis sehingga terjadi resorpsi tulang secara progresif.
Pembengkakan ini akan tampak kenyal seperti pecahan telur. Ketika tulang terkikis
selanjutnya akan timbul fluktuasi. Pada daerah maksila akan muncul pembesaran
didaerah bukal atau palatal dan pada mandibular akan muncul pada daerah bukal atau
lingual.18
Pada beberapa individu dapat ditemukan lebih dari satu kista radikular. Hal ini
menimbulkan keyakinan adanya individu yang rentan terhadap pembentukan kista
radikular (cyst prone individuals). Pandangan ini di dukung oleh fakta bahwa pada
individu dengan gigi yang non-vital banyak, dapat sama sekali tidak terbentuk kista
radikular. Toller menyatakan bahwa kemungkinan saja mekanisme imunitas dapat
mencegah terbentuknya kista pada kebanyakan individu dan bahwa individu yang
rentan tersebut memiliki defek pada mekanisme imunitasnya. Shear juga menyatakan
bahwa beberapa individu mungkin juga memiliki kecenderungan genetik untuk
mengembangkan kista.21
Secara umum pembentukan kista radikular terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap
inisiasi, tahap pembentukan kista dan tahap pembesaran kista. Pada tahap inisiasi,
sisa sel Malassez pada ligamen periodontal akan berproliferasi akibat peradangan di
granuloma periapikal. Granuloma periapikal tersebut merupakan bagian mekanisme
pertahanan lokal terhadap peradangan pulpa kronis agar infeksi tidak meluas. Faktor
yang memicu peradangan dan respons imun dapat menyebabkan proliferasi epitel
diduga adalah endotoksin bakteri yang berasal dari pulpa yang mati dan selanjutnya,
pada tahap pembentukan kista, sisa dari sel Malassez akan berproliferasi pada dinding
granuloma membentuk massa epitel yang makin membesar. Kurangnya nutrisi
terhadap sel-sel epitel di bagian sentral menyebabkan kematian dan mencairnya sel
tersebut sehingga terbentuk rongga berisi cairan yang dibatasi oleh epitel. Pada tahap
pembesaran kista, tekanan osmosis diduga merupakan faktor yang berperan penting.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa eksudat protein plasma dan asam hialuronat
serta produk yang dihasilkan oleh kematian sel menyebabkan tingginya tekanan
osmosis pada dinding rongga kista yang pada akhirnya menyebabkan resorpsi tulang
dan pembesaran kista.21
Secara histopatologis menurut Mandojo dinding kista radikular terdiri dari sel
epitel, sel plasma, jaringan ikat, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan adanya
suatu rongga yang berlapiskan epitel yang tidak mengalami keratinisasi skuamosa,
mempunyai ketebalan yang bervarisasi, berbentuk pipih dan secara khas dapat dilihat
adanya proses peradangan dengan ditemukannya banyak sel neutrifil pada dinding
kista yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada dinding kista. 9,18
2) Kista residual
Kista residual merupakan jenis kista yang ditemukan pada rahang akibat tidak
terambilnya seluruh jaringan kista pada saat pencabutan gigi sebelumnya. Kista jenis
ini biasanya ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pemeriksaan radiologi
untuk memeriksa keadaan gigi yang lainnya. Pada saat dilakukan pemeriksaan klinis,
didapatkan rahang sudah tidak bergigi dengan sejarah pernah melakukan ekstraksi
gigi. Pada pemeriksaan radiologi, ditemukan radiolusen berbatas jelas di daerah gigi
yang pernah dilakukan pencabutan.9
Indikasi kista yang dapat dilakukan tindakan enukleasi ini, yaitu pengangkatan
kista pada rahang, ukuran kista kecil atau kista besar tetapi tidak membahayakan
struktur vital atau resiko terjadinya fraktur rahang patologis, dan untuk kista rahang
yang dapat diangkat dengan aman tanpa terlalu banyak melibatkan struktur jaringan
yang berdekatan. Contohnya seperti kista primordial, kista dentigerous, kista lateral
periodontal, kista gingiva pada orang dewasa, calcifying odontogenic cyst, kista
duktus nasopalatinus, kista radikular, kista residual berukuran kecil, kista paradental,
kista pada mandibula yang mengalami infeksi, postoperative maxillary cyst, kista
lingualis mediana anterior, dan lain-lain.9,13,23,25
Dalam prosesnya enukleasi mempunyai beberapa keuntungan dan juga
kerugian yaitu:23,25
A. Keuntungan enukleasi
- Keseluruhan lapisan kista dibuang.
- Penyembuhan berlangsung dengan cepat karena luka menutup secara primer.
- Pasien juga tidak harus merawat rongga marsupial dengan irigasi konstan.
- Begitu penutupan akses pada mukoperiosteal telah sembuh, pasien tidak akan
terganggu lagi dengan rongga kistik.
B. Kerugian Enukleasi
- Pada pasien berusia muda, kuman gigi atau gigi yang belum mengalami erupsi
yang terkena kista akan dicabut atau dilepas dengan lapisan kista.
- Fraktur rahang patologis bisa terjadi dalam kasus enukleasi kista yang besar.
- Prosedur ini membahayakan struktur vital yang berdekatan.
- Observasi langsung pada penyembuhan luka seperti pada marsupialisasi tidak
bisa dilakukan.
Adapun prosedur kerja dari tindakan enukleasi ini dapat dijabarkan sebagai
berikut :11
1. Lakukan rontgen foto untuk melihat lokalisasi kista dan jaringan sekitarnya.
2. Pemberian anastesi lokal secara infiltasri untuk vasokonstriksi dan/atau efek
anastetik.
enukleasi lain harus dilakukan; jika tidak mudah diakses, reseksi tulang dengan batas
1 cm harus dipertimbangkan. Penanganan seperti apapun dilakukan, pasien harus
diikuti perkembangannya karena keratokista odontogenik bisa kembali bertahun-
tahun setelah ditangani.
Keadaan yang kedua di mana enukleasi dengan kuret harus dilakukan adalah
dengan kista yang muncul lagi setelah pembuangan tuntas. Alasan untuk kuret dalam
hal ini sama dengan yang disebutkan sebelumnya.
Keuntungan menggunakan enukleasi dengan kuret ini, jika enukleasi
meninggalkan sisa, kuret bisa membersihkannya, sehingga menurunkan peluang
kekambuhan.
Kerugian menggunakan enukleasi dengan kuret ini, dimana kuret lebih
destruktif bagi tulang dan jaringan lain yang berdekatan. Pulpa gigi bisa terkupas dari
suplai neurovaskulernya ketika kuret dilakukan dekat dengan akar. Ikatan
neurovaskuler yang berdekatan juga terancam. Kuret harus selalu dilakukan dengan
kehati-hatian yang tinggi untuk mencegah resiko tersebut.
Teknik dari enukleasi dengan kuret ini, yaitu setelah kista di enukleasi dan
dibuang, rongga ulang diperiksa untuk melihat kedekatan dengan struktur yang dekat.
Kuret yang tajam atau bur tulang dengan irigasi yang steril bisa digunakan untuk
membuang lapisan tulang 1 sampai 2 mm di sekitar rongga kista. Prosedur ini harus
dilakukan dengan kehati-hatian yang tinggi ketika bekerja berdekatan dengan struktur
anatomi yang penting. Rongga kemudian dibersihkan dan ditutup.
d. Enukleasi setelah Marsupialisasi
Enukleasi kerap dilaksanakan (dihari berikutnya) setelah marsupialisasi.
Penyembuhan awal cepat terjadi setelah marsupialisasi, tetapi ukuran rongga tidak
bisa mengecil dengan ukuran yang lumayan pada titik tertentu.
Indikasi dilakukannya enukleasi setelah marsupialisasi didasarkan pada
evaluasi menyeluruh pada jumlah jaringan yang akan terluka akibat enukleasi, derajat
akses untuk enukleasi, apakah gigi yang terkena dampak yang berkaitan dengan kista
akan mendapatkan keuntungan dari panduan erupsional dengan marsupialisasi,
kondisi kesehatan pasien, ukuran luka, dan juga jika kista tidak benar-benar lenyap
2.5.2 Marsupialisasi
Marsupialisasi merupakan tindakan pembuatan surgical window pada dinding
kista, membuang isi kista, dan mempertahankan kontinuitas antara kista dan rongga
mulut, sinus maksilaris, dan rongga nasal. Dengan melalui proses marsupialisasi ini
tekanan intrakista dapat dikurangi dan mengakibatkan peningkatan pengerutan pada
kista.10,24 Terdapat beberapa indikasi dalam melakukan teknik marsupiaslisasi antara
lain:9,14,24
1. Usia
Pada anak-anak, dengan adanya perkembangan kuman gigi, atau ketika
perkembangan dari gigi yang tanggal belum terjadi, enukleasi akan
menghancurkan calon gigi. Pada orang lansia, pasien yang lemah, marsupialisasi,
jauh lebih tidak menimbulkan stress dan merupakan alternatif yang cukup bagus.
2. Bantuan dalam erupsi gigi
Pada pasien berusia muda dengan keratokista dentigerous atau pseudofollikular,
marsupialisasi akan menimbulkan erupsi pada gigi yang tidak tererupsi atau gigi
lain yang sedang berkembang yang telah digantikan. Jika gigi tidak erupsi, maka
teknik marsupiaslisasi ini dapat digunakan untuk membuka jalur erupsi gigi ke
rongga mulut.
3. Jarak pada struktur vital
Ketika jarak kista ke struktur vital, dapat menciptakan sebuah oronasal atau
oroantral fistula, melukai struktur neurovaskular atau merusak gigi vital, kemudian
marsupialisasi harus dipertimbangkan.
4. Vitalitas gigi
Ketika apeks dari gigi tererupsi yang berdekatan tergabung dalam sebuah kista
yang besar, enukleasi dapat membahayakan vitalitas dari gigi tersebut.
5. Ukuran kista
Pada kista yang besar, jika dilakukan teknik enukleasi kemungkinan dapat
menyebabkan retakan patologis (fraktur rahang) pada rahang. Untuk mencegahnya
lebih baik dilakukan teknik marsupialisasi, setelah tulang rahang remodelling,
teknik enukleasi baru dapat dilakukan. Contoh kista yang dapat dilakukan
marsupialisasi seperti kista residual yang berukuran besar, ranula, dan lain-lain.
Dalam berbagai tindakan pembedahan terdapat beberapa keuntungan dan
kerugian didalamnya, adapun keuntungan dan kerugian dalam teknik ini
adalah:2,13,24,25
A. Keuntungan teknik marsupialisasi
1. Pada kista yang besar, secara teknik lebih sederhana.
2. Pada kista yang agak besar teknik marsupialisasi dapat dilakukan dibawah
anastesi lokal, karena anastesi yang dalam tidak diperlukan terutama bila kista
berada pada maksila.
3. Dikarenakan bagian yang lebih dalam dari batas tidak dapat diganggu, maka
struktur penting didekatnya tidak berisiko. Contohnya, pembuluh darah pada
apeks gigi terdekat, serabut neurovaskular gigi inferior, dan integritas dari batas
pada antrum atau hidung.
4. Merupakan teknik yang baik dalam mempertahankan gigi sumber kista
dentigerous dan memungkinkan erupsinya.
Dengan bantuan dari gunting tang yang tak bergigi, kassa pertama-tama diletakkan
disepanjang dasar rongga dan kemudian dimasukkan dari sisi ke sisi. Seluruh
balutan secara umum diamankan dengan jahitan. Balutan dibiarkan di dalam
selama 7 hingga 14 hari. Pada akhir minggu kedua, jahitan antara pinggiran kista
dan mukosa mulut di sekeliling kantung akan sembuh.
11. Instruksi yang cermat diberikan pada pasien mengenai pembersihan dan irigasi
rongga dengan secara teratur menyiramnya dengan antiseptik mulut, lebih baik
dengan jarum suntik sekali pakai.
12. Tambalan dapat dibuat untuk mencegah kontaminasi dari rongga kista dan
mengamankan patensi dari lubang kistik. Tambalan harus stabil, kuat dan
berdesain aman sehingga tidak akan terhirup atau tertelan. Pada awalnya, tambalan
harus terbuat dari material yang kuat untuk mencegah iritasi pada pinggiran yang
telanjang, kemudian tambalan akrilik pengisi dapat dibuat, setelah mengambil
cetakan rongga dengan lilin model atau bahan campuran cetakan. Pada kasus gigi
palsu, tambalan dapat direkatkan pada gigi palsu tersebut. Tambalan dapat dilepas
untuk mencegah terbangunnya tekanan.
13. Rongga dapat atau tidak dapat hilang secara total. Seiring berjalannya waktu,
beberapa tingkat depresi permanen akan tetap ada pada proses alveolar.
membersihkan rongga, dan untuk pendeteksian kondisi patologis apa saja yang
tersembunyi.
Keuntungan teknik ini adalah perkembangan dari pinggiran kista yang
menjadi tebal, yang membuat enukleasi menjadi lebih mudah, mengamankan struktur
vital yang berdekatan, pendekatan yang tergabung ini mengurangi morbiditas,
mempercepat proses penyembuhan, dan pemeriksaan histopatologis terhadap jaringan
yang tersisa bisa dilakuakn.
Kerugian menggunakan teknik ini adalah pasien harus melewati operasi kedua
dan komplikasi yang memungkinkan yang tergabung dengan prosedur operasi
apapun.
b. Marsupialisasi dengan Pembukaan ke dalam Hidung atau Antrum
Prosedur ini berlaku ketika ditemukan kista ekstensif di rahang atas yang
menempati sejumlah besar antrum.
Keuntungan teknik ini adalah penutupan luka mulut primer, rongga kistik
dibuka kedalam sinus maksilaris atau rongga nasal, sehingga mengurangi tekanan
intrakistik, rongga kistik menjadi sejajar dengan sinus maksilaris pernafasan atau
rongga nasal, struktur yang berdekatan terlindungi, dan pengembalian ke anatomi
normal dari ruang antral dan hidung.
Kerugian teknik ini adalah perkembangan dari fistula oroantaral atau oronasal,
jika ada kerusakan luka.
Adapun prosedur dari teknik ini sebagai berikut :
- Seluruh lapisan kista dibuang kecuali jika terdapat perhatian tentang kerusakan
pada struktur vital yang berdekatan. Ini juga membantu dinding rongga tertutupi
oleh mukosa respiratori normal, bukan epitel skuamosa.
- Lapisan kista dibuang dalam satu potongan untuk memastikan bahwa pembuangan
telah selesai, karena jika belum tuntas akan berakibat pada pembentukan kista
residu dari sisa jaringan.
- Seluruh pembatas antara kista dan antrum harus disingkirkan untuk memberikan
kontinuitas antar rongga.
- Kemudian antrostomi intranasal yang kecil dipasang dan dipasang balutan rongga
kista-sinus dengan salah satu alat di bawah ini:
1. Kain kassa iodoform dilapisi dengan benzoin tincture
2. Balon antral
3. Kateter foley dengan balon
4. Tabung polietilen steril.
- Sebuah haemostat yang melengkung dilewatkan melalui nostril ke antrostomi
yang dibuat di dalam meatus bawah untuk menarik ujung saluran keluar dan
diamankan dengan jahitan atau plester.
- Luka ditutup dengan hati-hati tanpa tegangan.
Survey data rekam medis kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan
di RSUP H Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017
Pengambilan sampel didasarkan pada kelompok data pasien dengan kista rongga
mulut yang mendapatkan pembedahan yang dilakukan di RSUP H Adam Malik
Medan periode tahun 2014-2017 yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi
dalam penelitian ini
Kista Rongga
Mulut
Peradangan
Marsupialisasi
Kasus Pembedahan
Prevalensi
Marsupialiasi Enukleasi
Prevalensi di
RSUP H Adam Malik Medan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Kriteria Eksklusi:
a. Data rekam medik pasien yang tidak melakukan ataupun mendapatkan
pembedahan kista rongga mulut di RSUP H. Adam Malik Medan pada
periode tahun 2014-2017.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP
H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017
Terdapat 165 kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP
H. Adam Malik Medan periode 2014-2017. Keseluruhan data tersebut didapat dari
bagian rekam medis rawat jalan dan rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan.
4.1.1 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP
H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017 berdasarkan metode
pembedahan
Hasil pada data penelitian menunjukan bahwa metode pembedahan dengan
teknik enukleasi menduduki peringkat teratas yaitu sebanyak 150 kasus atau 90,9%
diikuti dengan metode pembedahan dengan teknik marsupialisasi yaitu sebanyak 15
kasus atau 9,1%.
Marsupialisasi 15 9,1%
Grafik 1. Grafik prevalensi kasus pembedahan pada kista rongga mulut berdasarkan
metode pembedahan
Tabel 3. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan usia menurut
WHO
Kelompok Usia Jumlah Persentase
Anak Dibawah Umur (0-17 tahun) 44 26,6%
Pemuda (18-65 tahun) 120 72,7%
Setengah Baya (66-79 tahun) 1 0,6%
Orang Tua (80-99 tahun) - -
Orang Tua Berusia Panjang (>100 tahun) - -
Total 165 100
Grafik 2. Grafik prevalensi kasus pembedahan pada kista rongga mulut berdasarkan
usia
mulut yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2014-2017 sebanyak 36
pasien atau 21,82% dari keseluruhan data yaitu 165 pasien. Peringkat kedua diduduki
usia masa dewasa awal (26-35 tahun) sebanyak 32 pasien atau 19,39%. Peringkat
ketiga diduduki usia masa dewasa akhir (36-45 tahun) sebanyak 29 pasien atau
17,58%. Peringkat keempat diduduki usia masa remaja awal (12-16 tahun) sebanyak
20 pasien atau 12,12%. Peringkat kelima diduduki usia masa kanak-kanak (6-11
tahun) sebanyak 18 pasien atau 10,90%. Peringkat keenam diduduki usia masa lansia
awal (46-55 tahun) sebanyak 15 pasien atau 9,09%. Peringkat ketujuh diduduki usia
masa lansia akhir (56-65 tahun) sebanyak 9 pasien atau 5,46%. Peringkat kedelapan
diduduki usia masa balita (0-5 tahun) sebanyak 5 pasien atau 3,03%. Peringkat
terakhir diduduki kelompok usia masa manula (65 tahun ke atas ) sebanyak 1 pasien
atau 0,61%.
Tabel 4. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan usia menurut
Dinas Kesehatan
Kelompok Usia Jumlah Persentase
Masa Balita (0-5 tahun) 5 3,03%
Masa Kanak-kanak (6-11 tahun) 18 10,90%
Masa Remaja Awal (12-16 tahun) 20 12,12%
Masa Remaja Akhir (17-25 tahun) 36 21,82%
Masa Dewasa Awal (26-35 tahun) 32 19,39%
Masa Dewasa Akhir (36-45 tahun) 29 17,58%
Masa Lansia Awal (46-55 tahun) 15 9,09%
Masa Lansia Akhir (56-65 tahun) 9 5,46%
Masa Manula (65 tahun ke atas) 1 0,61%
Total 165 100
Grafik 3. Grafik prevalensi kasus pembedahan pada kista rongga mulut berdasarkan
usia menurut Dinas Kesehatan
4.1.3 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP
H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017 berdasarkan jenis kelamin
Hasil pada data menunjukkan bahwa pasien wanita menduduki peringkat
teratas pada kasus pembedahan kista rongga mulut tang dilakukan di RSUP H. Adam
Malik periode 2014-2017 yaitu sebanyak 96 pasien atau 58,2%, kemudian diikuti
oleh pasien laki-laki yaitu sebanyak 69 pasien atau 41,8%.
Tabel 5. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan jenis kelamin
Perempuan 96 58,2%
Laki-laki 69 41,8%
42%
Perempuan
Laki-laki
58%
Grafik 4. Grafik prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan jenis
kelamin
4.1.4 Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP
H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017 jenis kista yang diderita
Hasil pada data menunjukkan bahwa jenis kista yang paling sering ditemukan
pada pasien di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2014-2017 adalah kista
dentigerous sebanyak 76 kasus atau 46,1%. Peringkat kedua diikuti oleh kista
radikular yaitu sebanyak 70 kasus atau 42,4%. Peringkat ketiga diduduki oleh ranula
yaitu sebanyak 53 kasus atau 9,1%. Peringkat keempat diduduki oleh kista residual
sebanyak 3 kasus atau 1,8%. Peringkat terakhir diduduki oleh Mandibular infected
buccal cyst yaitu sebanyak 1 kasus atau 0,6%.
Tabel 5. Prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan jenis kista
yang diderita
Jenis Kista Jumlah Persentase
Kista Dentigerous 76 46,1%
Kista Radikular 70 42,4%
Ranula 15 9,1%
Kista Residual 3 1,8%
Mandibular Infected Buccal Cyst 1 0,6%
Total 165 100
Grafik 4. Grafik prevalensi kasus pembedahan kista rongga mulut berdasarkan jenis
kista yang diderita
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian ini membahas tentang kasus pembedahan kista rongga mulut yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode tahun 2014-2017. Hal ini
didasarkan oleh karena kista rongga mulut merupakan kelainan yang paling sering
ditemui dalam praktik kedokteran gigi dan juga sudah dikenal sejak lama. 1
Hasil dari penelitian ini dilakukan di bagian rekam medis RSUP H. Adam
Malik Medan dan menunjukkan bahwa pasien yang menderita kelainan kista rongga
mulut dan telah mendapatkan pembedahan sebanyak 165 pasien. Hasil dari penelitian
ini juga menunjukkan bahwa dari 165 kasus pembedahan yang ditemukan 150 pasien
atau 90,9% yang dirawat menggunakan metode enukleasi dan 15 pasien atau 9,1%
yang dirawat dengan metode marsupialisasi. Hasil data yang tertera pada Tabel 2 dan
Grafik 1 menunjukkan bahwa hasil penggunaan metode enukleasi lebih signifikan
dibandingkan dengan penggunaan metode marsupialisasi. Banyaknya penggunaan
metode enukleasi disebabkan oleh kasus kista yag terjadi di RSUP H. Adam Malik
tahun 2014-2017 didominasi oleh kista dentigerous, radikular, residual, dan
mandibular infected buccal cyst. Kista jenis ini, dirawat dengan menggunakan teknik
enukleasi. Teknik ini memiliki indikasi, yaitu pengangkatan kista pada rahang,
ukuran kista kecil atau kista besar tetapi tidak membahayakan struktur vital atau
resiko terjadinya fraktur rahang patologis dan untuk kista rahang yang dapat diangkat
dengan aman tanpa terlalu banyak melibatkan struktur jaringan yang berdekatan.
Teknik ini juga memiliki kelebihan dimana seluruh lapisan kista dibuang,
penyembuhan berlangsung dengan cepat karena luka menutup secara primer, pasien
juga tidak harus merawat rongga dengan irigasi konstan, begitu penutupan akses pada
mukoperiosteal telah sembuh, pasien tidak akan terganggu lagi dengan rongga kistik.
Hasil data menunjukkan perawatan kista dengan menggunakan teknik marsupialisasi
lebih sedikit, karena kista ranula yang merupakan indikasi dari teknik ini hanya
mencakup 15 kasus dari 165 kasus kista yang diambil dari tahun 2014-2017. Teknik
marsupialisasi memiliki indikasi seperti : usia, bantuan erupsi, vitalitas gigi, ukuran
kistanya, dan jarak pada struktural vitalnya dengan keuntungan penggunaan
tekniknya, yaitu pada kista yang besar dengan teknik ini lebih sederhana, membantu
erupsi gigi, mencegah fistula oronasal dan oroantral, mengurangi waktu operasi,
mengurangi pendarahan, membantu penyusutan lapisan kista, menyebabkan
terjadinya pembentukan tulang endosteal dan mengamankan alveolar ridge.9,13,14,23-25
Pertimbangan-pertimbangan inilah yang mempengaruhi seorang dokter gigi dalam
mengambil tindakan perawatan terhadap salah satu jenis kista. Natheer Hashim Al-
Rawi, dkk pada tahun 2013 melakukan penelitian tentang kasus-kasus yang
didiagnosis kista odontogenik dan tumor antara tahun 1990 dan 2010 yang di ambil
dari Laboratorium Patologi Mulut dan Departemen Bedah Mulut rumah sakit tawam
mengatakan bahwa enukleasi merupakan prosedur yang paling umum digunakan
dalam perawatan pada kista seperti kista radikuler, kista dentigerous, dan odontoma
dengan persentase masing-masing 82,3%, 54,5%, dan 52,9%. Esther Manor, dkk
yang meneliti 322 pasien dengan lesi kista rahang yang sukses didiagnosa dan
dirawat mendapatkan hasil bahwa perawatan yang digunakan marsupialisasi pada 113
kasus atau 35%, enukleasi pada 145 kasus atau 45% serta enukleasi dan bone grafting
pada 62 kasus atau 19% dengan pendekatan intraoral. 5,27
Berdasarkan dari data 165 pasien yang mendapatkan pembedahan kista pada
rongga mulutnya yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan periode tahun
2014-2017, menurut klasifikasi oleh WHO menunjukkan bahwa pada kelompok usia
pemuda (18-65 tahun) yang menduduki urutan teratas yang menderita kista pada
rongga mulutnya yaitu sebanyak 120 pasien atau 72,7% dari data secara keseluruhan
dan hasil penelitian menurut klasifikasi oleh Dinas Kesehatan menunjukan bahwa
usia masa remaja akhir (17-25 tahun) menduduki peringkat teratas pasien yang
melakukan pembedahan kista rongga mulut yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik
pada tahun 2014-2017 sebanyak 36 pasien atau 21,82% dari keseluruhan data yaitu
165 pasien. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok orang yang masih dalam usia
produktif (antara 15-64 tahun) lebih sering terkena kista rongga mulut dibandingkan
dengan orang yang berusia lanjut dikarenakan pada usia ini manusia sudah matang
secara fisik dan biologis. Pada usia inilah manusia sedang dalam puncak aktivitasnya,
dimana aktifitas fisik yang dilakukan cenderung lebih berat daripada usia lainnya.
Padatnya aktivitas dapat menyebabkan timbulnya stress dan stres ini dapat memicu
perubahan fungsi normal tubuh dalam rentang waktu yang lama dapat menimbulkan
gejala dini penyakit degeneratif. Tingginya aktivitas fisik yang dilakukan juga dapat
memicu perubahan hormon yang tidak disadari. Dikarenakan aktivitas yang padat
juga manusia pada masa produktif kurang memperhatikan kesehatannya dimana
kebanyakan dari mereka lebih memilih mengunjungi dokter ketika penyakit sudah
semakin parah. Selain dikarenakan stres, dan hormon banyaknya penderita kista pada
usia produktif dapat disebabkan oleh angka harapan hidup pada Negara Indonesia
tahun 2010-2017 cukup tinggi dapat menyebabkan kemungkinan individu yang
menderita suatu penyakit semakin tinggi. Seperti pada data yang dikeluarkan oleh
Badan Pusat Statistik dimana pada pria pada tahun 2010 usia harapan hidup 67 tahun,
tahun 2011-2015 usia harapan hidup 68 tahun, dan pada tahun 2016-2017 usia
harapan hidup 69 tahun, sedangkan pada wanita pada tahun 2010 usia harapan hidup
71 tahun, tahun 2011-2016 usia harapan hidup 72 tahun, dan tahun 2017 usia harapan
hidup 73 tahun. Hasil dapat dilihat pada Tabel 3, Grafik 2, dan Tabel 4, Grafik 3 yang
menunjukkan hasil yang sangat signifikan pada kelompok usia pemuda, hal ini juga
sejalan dengan penelitian Natheer Hashim Al-Rawi, dkk pada tahun 2013 dalam
penelitiannya menyatakan bahwa kasus terjadinya kista lebih banyak ditemukan pada
kelompok usia 21-40 tahun sebanyak 56 pasien atau 46,2%, usia 41-60 sebanyak 30
pasien atau 24,7%, dan yang terakhir kelompok usia >60 sebanyak 9 pasien 7,4% dari
121 sampel secara keseluruhan. Ramachandra S, dkk yang meneliti 1331 analisis
laporan biopsi didapatkan 128 kasus kista odontogenik atau 9,61% dan tumor
odontogenik sebanyak 76 kasus atau 5,79%, dimana usia pasien yang terkena kista
odontogenik berkisar antara 12 dan 69 tahun, yaitu sebanyak 41,5%, usia pasien yang
terkena tumor 8-75 tahun odontogenik, yaitu sebanyak 39,5%, dan usia pasien yang
terkena keduanya antara 21-50 tahun.27,30-32
Selain usia, dalam penelitian ini juga dibahas mengenai prevalensi kasus
pembedahan kista rongga mulut berdasarkan jenis kelamin. Hasil data menunjukkan
bahwa pasien yang berjenis kelamin wanita menempati urutan teratas yaitu sebanyak
96 pasien atau 58,2% dari data keseluruhan. Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 4 dan
Grafik 3 yang menunjukan ratio wanita lebih tinggi dari pria. Hal ini dapat
disebabkan oleh hormon estrogen dan progesteron yang bertanggung jawab untuk
perubahan fisiologis pada wanita dalam fase tertentu pada hidupnya, mulai dari masa
pubertas. Estrogen menginduksi beberapa perkembangan saat pubertas pada wanita
dan progesteron bertindak secara sinergis dengan estrogen untuk mengontrol siklus
menstruasi dan menghambat sekresi follitropin oleh kelenjar pituitari anterior.
Adapun efek hormone estrogen pada keadaan periodontal rongga mulut, yaitu
meningkatkan proliferasi sel di pembuluh darah, meransang PMNL phagicytosis,
menghambat PMNL chemotaxis, menekan produksi leukosit dari sumsum tulang,
mengurangi peradangan mediasi sel-sel, merasang proliferasi fibrobla gingiva,
meransang sintesis dan pematangan jaringan ikat pada gingiva, dan meningkatkan
jumlah peradangan pada gingiva tanpa terjadinya peningkatan plak sedangkan, efek
hormon progesteron pada keadaan rongga mulut, yaitu meningkatkan dilatasi
vaskular sehingga permeabilitas meningkat, meningkatkan produksi prostaglandin,
mengurangi efek anti-inflamasi glukokortikoid, menghambat proliferasi fibroblast
gingiva pada manusia, mengubah laju dan pola produksi kolagen di gingiva, dan
meningkatkan pemecahan metabolik folat yang diperlukan untuk pemeliharan dan
perbaikan jaringan. Selain disebabkan oleh hormon keadaan ini juga dapat
disebabkan oleh kondisi seperti : dalam masa pubertas perubahan pada jaringan
periodontal berupa peningkatan peradangan pada gingiva tanpa disertai peningkatan
kadar plak dan terjadinya peningkatan bakteria tertentu seperti spesies P.intermedia
dan spesies Capnocytophaga, saat sedang mengalami menstruasi perubahan jaringan
periodontal berupa peningkatan eksudat gingiva, gingiva berdarah dan bengkak,
terjadinya mobilitas kecil pada gigi, saat sedang hamil perubahan jaringan periodontal
berupa peningkatan kedalaman probing gingiva, perdarahan saat probing,
peningkatan peradangan pada gingiva, peningkatan mobilitas gigi, dan terjadinya
BAB VI
6.1 KESIMPULAN
6.2 SARAN
1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai pembedahan kista rongga
mulut di rumah sakit lainnya di Indonesia.
2. Perlu diadakan penyuluhan mengenai kista rongga mulut kepada masyarakat
seperti penyebab terjadinya kista rongga mulut serta perawatan-perawatan
kista rongga mulut agar masyarakat dapat lebih berhati-hati terhadap salah
satu kelainan di rongga mulut ini.
DAFTAR PUSTAKA
24. Malik NA. Textbook of oral and maxillofacial surgery. 3 rd ed. New delhi: Jaypee
Brother Medical Publishers, 2012: 491-572.
25. Balaji SM. Textbook of oral and maxillofacial surgery. 2 nd ed. New delhi:
Elsevier, 2013: 509-687.
26. Woo SB. Oral pathology: A comprehensive atlas and text. Philadelphia: Elsevier
Saundres, 2012: 320-338, 424-31.
27. Al-Rawi NH, Awad M, Al-Zuebi IE. Prevalence of odontogenic cysts and tumors
among UAE population. Journal of Orofacial Sciences. Vol. 5. 2013: 95-100.
28. Sarmiento LV, Robertson JV, Ocampo AM. Prevalence and distribution of
odontogenic cysts in a Mexican sample: A 753 cases study. J Clin Exp Dent.
2017: 531-38.
29. Selvamani M, Donoghue M, Basandi PS. Analysis of 153 cases of odontogenic
cysts in a South Indian sample population: A retrospective study over a decade.
Braz Oral Res. 2012: 330-34.
30. Ramachandra S, Shekar PC, Prasad S. Prevalence of odontogenic cysts and
tumors: A retrospective clinico-pathological study of 204 case. SRM Journal of
Research in Dental Sciences. Vol. 5. 2014: 170-73.
31. Syafitri R. Sistem pakar kebutuhan gizi seimbang pada usia produktif berbasis
web. http://elib.unikom.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptunikompp-
gdl-rikhasyafi-31063&q=usia%20produktif (16 Agustus 2018).
32. Badan Pusat Statistik. Angka Harapan Hidup (AHH) menurut provinsi dan jenis
kelamin tahun 2010-2017. http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1114
(8 September 2018).
33. Bhardwaj A, Bhardwaj SV. Effect of androgens, estrogens and progesterone on
periodontal tissue. Journal of Orofacial research. 2012: 165-170.
JADWAL KEGIATAN
Besar biaya yang diperlukan untuk melakukan penelitian ini sebesar Rp 4.350.000
dengan rincian sebagai berikut:
ETHICAL CLEARANCE