SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
Syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
TIM PENGUJI
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua
orang tua tercinta Humala Lumbantobing dan Rusma Krida Siringoringo, adik-adik
tercinta, Agape, Timothy, dan Natanael atas doa, motivasi, kasih sayang, harapan,
dukungan moril dan materil yang diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
selesai.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, saran,
dukungan, serta doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati serta penghargaan yang tulus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes. Sp.RKG (K) sebagai Dekan
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort (K) sebagai dosen
pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya dalam
memberikan bimbingan, pengarahan, saran serta motivasi kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Erna Sulistyawati, drg., Sp.Ort (K) sebagai Ketua Departemen
Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
4. Hilda Fitria Lubis, drg., Sp.Ort (K) sebagai dosen penguji yang
telah menyediakan waktu dan memberikan masukan kepada penulis.
5. Ervina Sofyanti, drg., Sp.Ort (K) sebagai dosen penguji yang
telah menyediakan waktu dan memberikan masukan kepada penulis.
iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN.........................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................................... iv
DAFTAR ISI.................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... x
BAB 1 PENDAHULUAN
vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.6 Kerangka Teori........................................................................................... 17
2.7 Kerangka Konsep ........................................................................... 18
LAMPIRAN
vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
kurva Spee, overjet, dan overbite pada pasien maloklusi Klas II An-
gle ....................................................................................................... 28
viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Daftar Riwayat Hidup
2. Surat Komisi Etik (Ethical Clearance)
3. Surat Persetujuan Penelitian di Instalasi PPDGS Ortodonsia FKG USU
4. Hasil Pengukuran Kedalaman Kurva Spee, Overjet, dan Overbite maloklusi Klas
II Angle pada Pasien Klinik Spesialis Ortodonti FKG USU
5. Hasil Uji Statistik Deskriptif Nilai Kedalaman Kurva Spee, Overjet, dan Overbite
maloklusi Klas II Angle pada Pasien Klinik Spesialis Ortodonti FKG USU
6. Glossary
x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
dari yang tertinggi, yaitu maloklusi Klas I, diikuti Klas II Divisi 1 dan Klas III,
sedangkan yang lebih rendah maloklusi Klas II Divisi 1.7
Maloklusi Klas II Angle merupakan kondisi hubungan molar satu di mana
groove mesiobukal molar satu rahang bawah lebih ke arah distal dari cusp
mesiobukal molar satu rahang atas. Dengan kata lain, rahang bawah lebih ke arah
distal jika dibandingkan dengan oklusi normal.Maloklusi Klas II dibagi menjadi tiga
divisi, yaitu Divisi 1, Divisi 2, dan Subdivisi.9,10,18
Salah satu tujuan perawatan ortodontik adalah oklusi yang ideal. Lawrence F
Andrews menggambarkan enam karakteristik oklusi ideal, yaitu hubungan molar,
angulasi gigi insisivus, inklinasi gigi insisivus, ruang, rotasi, dan Kurva Spee.15Kurva
Spee (Curve of Spee) pertama kali dikemukakan oleh Ferdinand Graf Von Spee pada
tahun 1890. Spee mendefinisikannya sebagai garis oklusi yang terletak pada silinder
yang bersinggungan dengan batas anterior kondilus, permukaan oklusal gigi molar
kedua, dan tepi insisal gigi insisivus rahang bawah.13-15
Kurva Spee mempunyai peranan penting untuk membantu hasil perawatan
ortodonti dalam hal mencapai oklusi yang ideal. Andrews menyatakan bahwa
interkuspasi terbaik didapatkan apabila bidang oklusal relatif datar. Dengan kata lain,
oklusi yang baik memiliki Kurva Spee relatif datar, sehingga perataan Kurva Spee
perlu dilakukan untuk memaksimalkan perbaikan oklusi dan meningkatkan stabilitas
hasil perawatan ortodonti.12,13,15,19
Secara klinis, Kurva Spee mengacu pada garis lengkung oklusal gigi pada
rahang bawah yang membentang dari ujung cusp tips bukal gigi molar ke tepi insisal
gigi insisivus dari bidang sagital.13 Perhitungan Kurva Spee sangat penting, tidak
hanya untuk diagnosis dan perencanaan perawatan untuk pasien yang akan menjalani
prosedur perawatan ortodonti, tetapi juga untuk mempertimbangkan protokol retensi
setelah perawatan ortodonti yang sesuai serta untuk evaluasi stabilitas hasil
perawatan.15 Kurva Spee juga memiliki fungsi biomekanik selama proses
penghancuran makanan dengan meningkatkan rasio penghancuran makanan antar
gigi posterior dan tekanan oklusal selama proses pengunyahan.12-15
Menurut penelitian Ahmed dkk, Kurva Spee yang paling dalam ditemukan
pada maloklusi Klas II Divisi 2 dengan karakteristik overbite yang parah dan wajah
yang pendek (low angle) dan yang paling datar pada maloklusi Klas III. Hal ini
dipengaruhi oleh posisi anteroposterior dari mandibula. Mereka juga menemukan
Kurva Spee pada maloklusi Klas II Divisi 1 dan 2 memiliki ukuran overjet dan
overbite yang besar. Ahmed dkk Cit Shanon dan Nanda menyatakan bahwa Kurva
Spee pada maloklusi Klas II lebih dalam daripada maloklusi Klas I.12
Kurva Spee dikaitkan hubungannya dengan posisi dan inklinasi gigi insisivus
rahang atas dan bawah, gigi rahang bawah yang berjejal, overjet dan overbite,
lengkung rahang bawah, dan morfologi kraniofasial. Kurva Spee yang dalam
biasanya dihubungkan dengan overbite yang besar.Perawatan ortodonti pada overbite
sering melibatkan perataan Kurva Spee dengan intrusi gigi anterior, ekstrusi gigi
posterior, atau kombinasi dari keduanya. Tujuan yang akan dicapai dari perawatan
ortodonti nantinya adalah Kurva Spee yang relatif datar, yang ditandai dengan insisal
gigi anterior dan ujung cusp tips bukal gigi posterior rahang bawah berada pada
bidang horizontal yang sama. Nilai ini seharusnya dipertimbangkan dan diukur dalam
prosedur penyediaan ruang untuk perawatan ortodonti.12-14
Baydas Cit Dusek dan Celik menyatakan bahwa ada korelasi yang signifikan
antara Kurva Spee dan posisi serta inklinasi gigi insisivus bawah. Dusek juga
menemukan bahwa semakin protrusif gigi insisivus bawah, semakin rendah
kedalaman Kurva Spee.14 AlQabandi dkk mengatakan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara perataan Kurva Spee dan proklinasi gigi insisivus bawah.
Namun, mereka menemukan korelasi yang signifikan antara proklinasi gigi insisivus
bawah dengan pengurangan lebar interkaninus dan gigi berjejal yang berkurang.14,15
Negi dkk dan Kumari dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan
kedalaman Kurva Spee terhadap overjet dan overbite.15,21
Menurut Andrews ada kecenderungan Kurva Spee semakin dalam seiring
berjalannya waktu karena pertumbuhan rahang bawah ke arah bawah dan ke depan
kadang lebih cepat dan berlangsung lebih lama dari pada rahang atas. Hal ini
menyebabkan gigi anterior bawah, yang juga dibatasi oleh gigi anterior atas dan bibir,
dipaksa mundur dan naik, menyebabkan gigi anterior berjejal, overbite dan Kurva
Spee lebih dalam. Penemuan ini menunjukkan bahwa Kurva Spee mungkin
berhubungan dengan posisi dan inklinasi gigi insisivus atas dan bawah, gigi rahang
bawah yang berjejal, overjet dan overbite. Dengan demikian, hubungan ini mungkin
berguna untuk menilai dampak perataan Kurva Spee terhadap perawatan ortodonti.14-
15,20
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
overjet kecil, dan overbite besar.10,18 Pada maloklusi Klas II Subdivisi, karakteristik
dari Divisi 1 maupun 2 dapat dijumpai sehingga tidak memiliki karakteristik khusus,
karena pada dasarnya yang membedakannya dengan kedua divisi tersebut adalah
asimetri hubungan oklusi Klas II.11
(a) (b)
Gambar 1. Maloklusi Klas II Angle10
(a) Divisi 1
(b)Divisi 2
ini yang menyebabkan mengapa pada maloklusi Klas II cenderung lebih sedikit
menggunakan tekanan selama pengunyahan sehingga sering mengalami masalah
dalam mengunyah makanan.17
Gigi desidui memiliki bentuk Kurva Spee mulai dari datar sampai
kelengkungan ringan (normal). Kedalaman Kurva Spee terendah (datar) terdapat pada
masa gigi desidui dan terjadi peningkatan besar pada masa gigi bercampur awal
akibat erupsi gigi molar satu permanen dan gigi insisivus permanen. Proses erupsi
tersebut mempertahankan kedalaman Kurva Spee ini sampai nantinya mencapai
kedalaman maksimum dengan erupsinya gigi molar dua permanen. Selama masa
remaja, kedalaman Kurva Spee sedikit berkurang dan kemudian akan stabil sampai
masa dewasa awal.19
erupsinya gigi insisivus sentral dan gigi molar satu permanen, dan pada akhirnya
mencapai kedalaman maksimum dengan erupsinya gigi molar dua permanen dan
menjadi stabil hingga dewasa.
c. Maloklusi
Kurva Spee yang paling dalam terdapat pada maloklusi Klas II divisi 2, diikuti
Klas II Divisi 1, Klas I, dan paling datar Klas III.
d. Tipe wajah
Kurva Spee yang dalam sering terlihat pada tipe wajah brachycephalic dan
rahang bawah yang pendek.
dalam. Diasumsikan oleh beberapa peneliti bahwa titik terdalam Kurva Spee adalah
cusp mesiobukal molar satu pada oklusi normal. Elias Cit Harris dan Corruccini
menemukan dalam penelitian mereka bahwa titik terdalam dari Kurva Spee ada pada
premolar satu.19
Ada beberapa pendapat mengenai pengukuran Kurva Spee. Baldridge
menggunakan jarak tegak lurus di kedua sisi dan merata-ratakannya. Bishara dkk
menggunakan rata-rata jumlah garis tegak lurus pada masing-masing ujung cusp.
Sondhi dkk menggunakan jumlah garis tegak lurus. Braun dkk dan Schmidt
menggunakan jumlah kedalaman maksimum pada kedua sisi. Secara tradisional
pengukuran ini diambil dari model studi atau foto model studi dengan pembagi atau
caliper dan mesin koordinat.12
Kedalaman Kurva Spee diukur dengan kaliper yaitu jarak tegak lurus antara
cusp tips yang paling dalam dan bidang datar. Garis tegak lurus ini didapat dengan
menarik garis yang menyentuh bidang datar, yaitu pada tepi insisal gigi insisivus
sentral dan bagian distal cusp tips gigi paling posterior di lengkung gigi rahang
bawah ke cusp tipsgigi yang paling dalam (Gambar 5). Pengukuran dilakukan di sisi
kanan dan kiri lengkung gigi dan nilai rata-rata dari kedua pengukuran ini digunakan
sebagai nilai kedalaman Kurva Spee. Metode ini menggunakan metode Baldridge dan
akan digunakan dalam penelitian ini.12
2.3 Overjet
Overjet merupakan karakteristik dari gigi anterior rahang atas untuk overlap
terhadap gigi rahang bawah dalam arah horizontal 1 sampai 2 mm.23,27 Dengan kata
lain overjet adalah jarak horizontal antara tepi insisal gigi insisivus sentral rahang atas
dan permukaan labial gigi insisivus sentral rahang bawah diukur dalam milimeter
(Gambar 6). Nilai normal overjet yaitu 1-2 mm. Nilai overjet lebih dari 2 mm
dianggap tinggi.24 Pada kondisi ini, bisa ditemukan lengkung rahang atas yang sedikit
lebih besar. Overjet berfungsi untuk melindungi tepi gigi insisivus yang sempit dan
untuk menyediakan hubungan interkuspasi pada gigi posterior.23
Pengukuran overjet dapat dilakukan dengan penggarisdan kaliper.Untuk
mengukurnya, bagian penggaris menyentuh bagian labial gigi insisivus rahang bawah
dengan posisi tegak lurus dan bersinggungan dengan tepi gigi insisivus rahang atas.
Jarak antara tepi gigi insisivus rahang atas dan bagian labial gigi insisivus rahang
bawah dapat ditandai pada penggaris saja kemudian diukur menggunakan kaliper.28
2.4 Overbite
Overbite merupakan karakteristik gigi anterior rahang atas untuk overlap
terhadap gigi anterior rahang bawah dalam arah vertikal sepertiga tinggi mahkota gigi
rahang bawah (Gambar 6). Sifatnya seperti gunting yaitu memotong, seperti fungsi
gigi insisivus. Overbite merupakan jarak vertikal (overlap) antara tepi insisal gigi
insisivus sentral rahang atas dan tepi insisal gigi insisivus sentral rahang bawah
diukur dalam milimeter. Nilai overbite normal 1-3mm. Openbite terjadi saat overlap
vertikal kurang dari 0 mm.23,27,29
Pengukuran overbite dapat dilakukan dengan menggunakan penggaris atau
kaliper dan pensil. Sebuah titik ditandai pada persinggungan bagian labial gigi
insisivus rahang bawah dengan tepi gigi insisivus rahang atas, dan jarak antara
keduanya diukur menggunakan penggaris atau kaliper untuk mendapatkan overbite.28
e. Tujuan rujukan
Untuk mentransfer catatan medik jika pasien dirawat oleh dokter gigi lain.
Maloklusi Klas II
Analisa Model
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
( )
n=
( )
Keterangan :
n : Besar Sampel
2
γ : Standard deviasi dari penelitian sebelumnya yaitu 1,6
Zα : Derajat kepercayaan untuk α = 5% maka Zα = 1,96
Zβ : Derajat kepercayaan untuk β = 10% maka Zβ = 1,282
μo-μa : Selisih minimal rerata yang dianggap bermakna yaitu sebesar 1
( , ) ( , , )
n=
( )
n = 26,90 = 30
Untuk mendapatkan data yang lebih valid, maka jumlah sampel ditambah
dari jumlah sampel yang ada menjadi 40 sampel.
3.3.4 Kriteria Inklusi
a. Hubungan molar Klas II
b. Model studi dalam kondisi bagus dan jelas
c. Belum mendapat perawatan ortodonsia
d. Usia ≥ 12 tahun (semua gigi permanen sudah erupsi kecuali molar tiga)
e. Tidak ada karies oklusal dan insisal
f. Ukuran overjet dan overbite tidak normal
3.3.5 Kriteria Eksklusi
a. Kelainan kraniofasial yang parah seperti cleft palate
b. Gigi permanen yang hilang kecuali molar tiga
insisivus rahang
bawah yang tumpang
tindih oleh gigi
insisivus rahang atas.
4. Maloklusi Hubungan molar satu cusp Nominal Visual
Klas II Angle di mana groove mesiobukal
mesiobukal molar satu dari molar satu
rahang bawah lebih ke rahang atas
arah distal dari cusp beroklusi lebih
mesiobukal molar satu mesial dari
rahang atas. groove bukal
molar satu
rahang bawah
5. Klas II Divisi Hubungan molar Klas cusp Nominal Visual
1
II dengan proklinasi mesiobukal
gigi anterior rahang dari molar satu
atas rahang atas
beroklusi lebih
mesial dari
groove bukal
molar satu
rahang bawah
dengan
proklinasi gigi
anterior rahang
atas
6. Klas II Divisi Hubungan molar Klas cusp Nominal Visual
2 II dengan retroklinasi mesiobukal
gigi insisivus sentral dari molar satu
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 8. Alat dan Bahan Penelitian : (a) Kaliper digital, (b) Model Studi, (c)
Pensil Mekanik, (d) Pulpen, (e) Penggaris (f) Penghapus
(a)
(b)
Gambar 10. (a) Cara mengukur Overbite, (b) Cara mengukur Overjet28
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Rerata, standard deviasi, nilai minimum, dan maksimum kedalaman Kurva
Spee, overjet, dan overbite pada pasien maloklusi Klas II Angle
Tabel 1 menunjukkan rerata kedalaman Kurva Spee sebesar 2,91 mm. Rerata
overjet sebesar 5,28 mm dan overbite sebesar 4,66 mm. Nilai minimum dari
kedalaman Kurva Spee yang diteliti adalah sebesar 1,67 mm sedangkan nilai
maksimumnya sebesar 4,48 mm. Nilai minimum dari overjet yang diteliti adalah
sebesar 2,42 mm sedangkan nilai maksimumnya sebesar 12,34 mm. Nilai minimum
dari overbite yang diteliti adalah sebesar 3,02 mm sedangkan nilai maksimumnya
sebesar 9,84 mm.
Tabel 2. Rerata, standard deviasi, nilai minimum dan maksimum kedalaman Kurva
Spee berdasarkan klasifikasi maloklusi Klas II Angle
Nilai Nilai
Persentase Rerata Standard
Maloklusi Jumlah Minimum Maksimum
(%) (mm) Deviasi
(mm) (mm)
Klas II
18 45 3,02 0,64 2,09 4,58
Divisi 1
Klas II
1 2,5 2,52 2,52 2,52
Divisi 2
Klas II
Divisi 1 20 50 2,83 0,73 1,67 4,03
Subdivisi
Klas II
Divisi 2 1 2,5 3,06 3,06 3,06
Subdivisi
Tabel 3. Rerata dan standard deviasi overjet dan overbite berdasarkan klasifikasi
kedalaman Kurva Spee pasien maloklusi Klas II Angle
Klas II
Divisi 2 1 2,9 0 0 0 0
Klas II
Divisi 1 16 47,1 3 100 1 33,3
Subdivisi
Klas II
Divisi 2 1 2,9 0 0 0 0
Subdivisi
Jumlah 34 100 3 100 3 100
Tabel 5. Korelasi kedalaman Kurva Spee, overjet, dan overbite pada pasien maloklusi
Klas II Angle
Kedalaman
Overjet Overbite
Kurva Spee
Korelasi
1 0,520** 0,367*
Kedalaman Pearson
Kurva Spee Sig (2-tailed) 0,001 0,020
N 40 40 40
Ket : **p<0,01
*p<0,05
Pada tabel 5, hasil analisis data menggunakan uji korelasi Pearson dengan
confidence interval 95% menunjukkan bahwa kedalaman Kurva Spee memiliki
hubungan yang bermakna atau signifikan terhadap overjet karena memiliki nilai p=
0,001 (p<0,05). Kedalaman Kurva Spee juga memiliki hubungan yang bermakna atau
signifikan terhadap overbite karena memiliki nilai p=0,020 (p<0,05).
BAB 5
PEMBAHASAN
Kurva Speemerupakan salah satu dari enam faktor yang perlu diperhatikan
untuk mencapai oklusi ideal. Perhitungan Kurva Spee sangat penting, tidak hanya
untuk diagnosis dan perencanaan perawatan, tetapi juga untuk mempertimbangkan
protokol retensi setelah perawatan ortodonti yang sesuai serta untuk evaluasi
stabilitas hasil perawatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau
tidaknya hubungan kedalaman Kurva Spee terhadap overjet dan overbite maloklusi
Klas II Angle pada pasien klinik spesialis ortodonti FKG USU.
Tabel 1 menunjukkan hasil penelitian bahwa rerata kedalaman Kurva Spee
sebesar 2,91 mm. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nayar dkk pada 10 sampel penelitian maloklusi Klas II Angle yang
mendapatkan hasil rerata kedalaman Kurva Spee sebesar 2,71 mm. Namun penelitian
yang dilakukan oleh Negi dkk mendapatkan rerata kedalaman Kurva Spee yang
cukup berbeda, yaitu sebesar 4,14 mm. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan ras dan distribusi usia. Negi dkk menyatakan bahwa terdapat perubahan
kedalaman Kurva Spee yang signifikan terhadap pasien dengan usia tua. Di samping
itu, menurut penelitian Lupatini Cit Marshal SD, Kurva Spee mungkin mengalami
perubahan fisiologis seiring perubahan usia atau patologis karena rotasi, inklinasi,
atau ekstrusi gigi.21,30,32
Hasil penelitian pada Tabel 1 juga mendapatkan nilai rerata overjet sebesar
5,28 mm dan overbite sebesar 4,66 mm. Negi dkk dalam penelitiannya mendapatkan
rerata nilai overjet lebih besar dibandingkan dengan nilai overbite. Namun hasil
tersebut bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Nayar dkk dan
mendapatkan hasil yang cukup berbeda, yaitu rerata nilai overjet lebih kecil
dibandingkan nilai overbite. Hasil penelitian ini bisa berbeda kemungkinan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ditribusi rentang usia dan ras/suku
pasien.21,30
bahwa nilai overbite pada kelompok Kurva Spee dalam signifikan lebih besar
daripada kelompok Kurva Spee normal dan datar.12,14,31
Tabel 4 menunjukkan distribusi pasien maloklusi Klas II berdasarkan
klasifikasi kedalaman Kurva Spee, yaitu 34 pasien memiliki bentuk Kurva Spee
normal, tiga pasien memiliki Kurva Spee datar, dan tiga pasien memiliki Kurva Spee
dalam. Pada kelompok bentuk Kurva Spee normal, pasien maloklusi Klas II Divisi 1
sebanyak 16 orang (47,1%), Klas II Divisi 2 sebanyak satu orang (2,9%), Klas II
Divisi 1 Subdivisi sebanyak 16 orang (47,1%), dan Klas II Divisi 2 Subdivisi
sebanyak satu orang (2,9%). Pada kelompok bentuk Kurva Spee datar, hanya terdapat
pada pasien maloklusi Klas II Divisi 1 Subdivisi sebanyak tiga orang (100%). Pada
kelompok bentuk Kurva Spee dalam, pasien maloklusi Klas II Divisi 1 sebanyak dua
orang (66,7%) dan Klas II Divisi 1 Subdivisi sebanyak satu orang (33,3%).
Distribusi pasien maloklusi Klas II Angle terhadap klasifikasi kedalaman
Kurva Spee (Tabel 4) menunjukkan bahwa kebanyakan pasien memiliki bentuk
Kurva Spee normal dibandingkan bentuk Kurva Spee dalam dan datar. Ahmed dkk
dalam penelitiannya terhadap 62 sampel maloklusi Klas II menemukan kebanyakan
memiliki bentuk Kurva Spee normal (sebanyak 30 pasien atau sekitar 48,3%). Negi
dkk dan Baydas dkk dalam penelitiannya pada sampel maloklusi Klas I, II, III juga
menunjukkan bahwa bentuk Kurva Spee normal lebih banyak jumlahnya
dibandingkan bentuk Kurva Spee dalam dan datar.12,14,21
Tabel 5 menunjukkan hasil analisis data penelitian menggunakan uji korelasi
Pearson. Uji korelasi ini dilakukan untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan
dan kekuatan hubungan kedalaman Kurva Spee terhadap overjet dan overbite pada
maloklusi Klas II Angle. Uji ini dilakukan dengan confidence interval atau tingkat
kepercayaan 95%. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kedalaman Kurva Spee
memiliki hubungan yang bermakna atau signifikan terhadap overjet karena memiliki
nilai p=0,001 (p<0,05). Kedalaman Kurva Spee juga memiliki hubungan yang
bermakna atau signifikan terhadap overbite karena memiliki nilai p=0,020 (p<0,05).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Negi dkk yang
mendapatkan hasil signifikan atau bermakna pada hubungan kedalaman Kurva Spee
terhadap overjet (p=0,19) dan overbite (p=0,00) dengan tingkat kepercayaan 95%
(p<0,05).Kumari dkk dalam penelitiannya juga menyatakan nilai rerata kedalaman
Kurva Spee terhadap overjet dan overbite memiliki hubungan yang signifikan dan
bermakna. Hal ini ditunjukkan dengan nilai kedalaman Kurva Spee terhadap overjet
memiliki p=0,00 (p<0,01) dan overbite memiliki p=0,00 (p<0,00) dengan tingkat
kepercayaan 99%.15,21
Nilai r menunjukkan kekuatan hubungan yang linier diantara kedua variabel.
Kedalaman Kurva Spee terhadap overjet memiliki nilai r (koefisien korelasi) sebesar
0,520, artinya keduanya memiliki hubungan yang kuat dan signifikan. Sedangkan,
kedalaman Kurva Spee terhadap overbite memiliki nilai r sebesar 0,367, artinya
keduanya memiliki hubungan yang cukup dan signifikan. Nilai r juga bertanda
positif, yang artinya keduanya memiliki hubungan yang linier atau searah, semakin
besar nilai kedalaman Kurva Spee maka overjet dan overbite juga akan semakin
besar.33 Dari hasil penelitian ini, hubungan kedalaman Kurva Spee terhadap overjet
lebih kuat dibandingkan terhadap overbite.
Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh
Negi dkk dan Kumari dkk. Mereka menyatakan bahwa hubungan kedalaman Kurva
Spee terhadap overbite memiliki hubungan yang lebih kuat dibandingkan terhadap
overjet.Hasil penelitian yang berbeda juga ditemukan oleh Baydas dkk, mereka
menemukan hubungan kedalaman Kurva Spee terhadap overjet dan overbite sama-
sama memiliki hubungan yang cukup. Perbedaan hasil penelitian ini mungkin
disebabkan oleh distribusi rentang usia pasien dan ras.14,21
Kurva Spee dapat mempengaruhi derajat overbite dan dataran oklusal rahang
atas dan rahang bawah untuk mencapai oklusi yang ideal. Nayar dkk dan Ahmed Cit
Prakash menyatakan overbite yang besar dapat menjadi indikasi Kurva Spee yang
tidak normal dan kedalaman Kurva Spee yang berlebihan akan menyebabkan
peningkatan overbite. Ini mengidentifikasi bahwa Individu yang memiliki Kurva
Spee yang dalam lebih cenderung memiliki overbite dan overjet yang besar dan
kemungkinan inklinasi gigi anterior yang lebih besar pula.12,14,15,30
Perataan Kurva Spee adalah tahap penting dalam perawatan ortodonti yang
akan mempengaruhi kedalaman Kurva Spee setelah perawatan untuk stabilitasnya
selama bertahun-tahun. Perataan Kurva Spee sangat penting untuk mencapai kontak
oklusi statis dan dinamis terbaik. Hal ini akan membantu panduan oklusi gigi kaninus
dan insisal yang ideal, hubungan insisivus ideal, overjet dan overbite. Selain itu,
selain mengurangi risiko gangguan sendi temporomandibular, juga meningkatkan
kestabilan hasil yang dicapai pada akhir perawatan ortodonti.32
Kestabilan perataan Kurva Spee mungkin bergantung pada sifat spesifik dari
perawatan. Selain itu, ada juga faktor seperti adaptasi pertumbuhan dan
neuromuskular dapat mempengaruhi rekurensi.Lupatini Cit Bernstein dkk dan
Alqabandi dkk menyatakan bahwa perataan Kurva Spee disarankan sebagai
overcorrection dalam perawatan ortodonti karena adanya kecenderungan alami Kurva
Spee untuk semakin dalam dari waktu ke waktu, yang dapat menyebabkan gangguan
berupa peningkatan yang tidak diinginkan pada overbite dan oklusal gigi
posterior.15,32
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Ada hubungan yang signifikan pada hubungan kedalaman Kurva Spee
terhadap overjet dan overbite maloklusi Klas II Angle pada pasien klinik spesialis
ortodonti FKG USU (dengan nilai poverjet=0,001 (p<0,05) dan nilai poverbite= 0,020
(p<0,05)). Kedalaman Kurva Spee terhadap overjet memiliki hubungan yang lebih
kuat dibandingkan dengan overbite (roverjet=0,520 dan roverbite=0,367). Kedalaman
Kurva Spee terhadap overjet dan overbite juga memiliki hubungan yang linier atau
searah (nilai r positif), artinya semakin besar kedalaman Kurva Spee maka overjet
dan overbite juga semakin besar.
2. Bentuk kedalaman Kurva Spee maloklusi Klas II Angle pada pasien klinik
spesialis ortodonti FKG USU adalah 34 pasien maloklusi Klas II memiliki bentuk
Kurva Spee normal (maloklusi Klas II Divisi 1 sebanyak 16 orang, Klas II Divisi 2
sebanyak 1 orang, Klas II Divisi 1 Subdivisi sebanyak 16 orang, dan Klas II Divisi 2
Subdivisi sebanyak satu orang), tiga pasien maloklusi Klas II memiliki bentuk Kurva
Spee datar (maloklusi Klas II Divisi 1 Subdivisi), tiga pasien maloklusi Klas II
memiliki bentuk Kurva Spee dalam (maloklusi Klas II Divisi 1 sebanyak dua orang
dan Klas II Divisi 1 Subdivisi sebanyak satu orang).
3. Nilai rerata kedalaman Kurva Spee maloklusi Klas II pada pasien klinik
spesialis ortodonti FKG USU adalah 2,91 mm (Klas II Divisi 1 sebesar 3,02 mm,
Klas II Divisi 2 sebesar 2,52 mm, Klas II Divisi 1 Subdivisi sebesar 2,83 mm, dan
Klas II Divisi 2 Subdivisi sebesar 3,06 mm).
4. Nilai rerata overjet maloklusi Klas II pada pasien klinik spesialis
ortodonti FKG USU adalah 5,28 mm.
5. Nilai rerata overbite maloklusi Klas II pada pasien klinik spesialis
ortodonti FKG USU adalah 4,66 mm.
6.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan distribusi rentang usia yang
lebih bervariasi dengan memperhatikan usia tumbuh kembang pasien.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang stabilitas, tingkat atau
besarnya relapse Kurva Spee setelah perawatan ortodonti.
DAFTAR PUSTAKA
11. Veli I, Ozturk MA, Uysal T. Development of the Curve of Spee in Class II
Subdivision Malocclusion: a Longitudinal Study. European J of Orthodontics
2015; 37(4): 412-7.
12. Ahmed I, Nazir R, Erum G, Ahsan T. Influence of malocclusion on the depth
of curve of Spee.J Pak Med Assoc 2011; 61(11): 1056-59.
13. Dhiman S. Curve of Spee ‑ from orthodontic perspective. Indian J of Dentistry
2015; 6(4): 199-202.
14. Baydas B, Yavuz I, Atasaral N, Ceylan I, Dagsuyu IM. Investigation of the
Changes in the Positions of Upper and Lower Incisors, Overjet, Overbite, and
Irregularity Index in Subjects with Different Depths of Curve of Spee. Angle
Orthod J 2004; 74(3): 349-55.
15. Kumari N, Fida M, Shaikh A. Exploration of Variations in Positions of Upper
and Lower Incisors, Overjet, Overbite, and Irregularity Index in Orthodontic
Patients with Dissimilar Depths of Curve of Spee. J Ayub Med Abbottabad
2016; 28(4): 766–72.
16. Singh G. Textbook of Orthodontics. 3rd Edition. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd, 2015: 619-20.
17. Buschang PH. Recognizing and Correcting Class II Malocclusion a Problem-
oriented Approach to Orthodontics. 1st Edition. New Jersey: Wiley Blackwell,
2016: 90.
18. Premkumar S. Orthodontics: Prep Manual for Undergraduated. New Delhi:
Elsevier, 2008: 124-6.
19. Elias, dos Santos DCL, Negrete D, Flaiban E. Curve of Spee: A Literature
Review. Rev. Odontol. Univ. Cid. São Paulo 2016; 28(2): 110-6.
20. Chitra P, Yaspal. The Curve of Spee- A Diagnostic Tool. Indian J of Applied
Research 2014; 4(11): 147-50.
21. Negi SK, Shukla L, Sandhu GPS, Aggarwal M. Investigation of Variation in
Curve of Spee, Overjet and Overbite Among Class I and Class II
Malocclusion Subjects anf to Find Sexual Dimorphism, If Any. J of Advanced
Medical and Dental Sciences Research 2016; 4(1): 21-6.
22. Cho YH, Lim SH, Gang SN. Reference points suitable for evaluation of the
additional arch length required for leveling the curve of Spee. Korean J
Orthod 2016; 46(6): 356-63.
23. Darby ML.Mosby’s Comprehensive Review of Dental Hygiene. 7th Edition.
Missouri: Elsevier, 2012: 164.
24. Abuelazayem M, Hafez S, Sharaby F. Prevalence and Severity of Anterior
Deep Bite in a Sample of Orthodontic Patients. Australian J of Basic and
Applied Sciences 2014; 8(15): 237-44.
25. Cobourne M. Dibiase A. Handbook of Orthodontics. Missouri: Elsevier,
2016: 181.
26. Pereira BR, Goncalves RV, Oliveira JHG, Tanaka O. Comparison of Curves
of Spee in Class II, Division 1 Malocclusions and Clinically Normal
Occlusions. J Clin Pesq Odontol 2006; 2(4): 283-9.
27. Staley RN, Reske NT. Essentials of Orthodontics Diagnosis and Treatment.
Chichester: Blackwell, 2011: 36,40-42.
28. Jóias RP, Scanavini MA. Factors Related to Bolton’s Anterior Ratio in
Brazilians with Natural Normal Occlusion. Braz J Oral Sci 2011; 10(1): 69-
73.
29. Premkumar S. Textbook of Orthodontics. New Delhi: Elsevier, 2015: 732.
30. Nayar S, Dinakarsamy V, dan Santhosh S. Evaluation Depth of the Curve of
Spee in Class I, Class II, and Class III malocclusion: A Cross Sectional Study.
J Pharm Bioallied Sci 2015; 7(1): 92-4.
31. Huda A, Agha NF, Al-Dawoody A. A Comparative Study of Curve of Spee
and Arch Circumference Between Class I Normal Occlusion and Class II
Division 1 Malocclusion. Al-Rafidain Dent J 2010; 10(2): 341-7.
32. Lupatini PM, Vitral RWF, Campos MJ, Gravina MA, Fraga MR, Junior SLM.
Assessment of Long-Term Stability of Levelling of the Curve of Spee after
Orthodontic Treatment in Mesocephalic Patients-A Pilot Study. Brazilian
Research in Pediatric Dentistry ang Integrated Clinic 2015; 15(1): 263-70.
33. Sarwono J. IBM SPSS Statistic 19 Cara Operasi, Prosedur Analisis Data dan
Interpretasi. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2013: 189-90.
N 40 40 40
a,b
Normal Parameters Mean 2,9103 5,2765 4,6625
Std. Deviation ,67767 2,40673 1,28669
Most Extreme Differences Absolute ,142 ,198 ,160
Positive ,142 ,198 ,160
Negative -,067 -,136 -,106
Kolmogorov-Smirnov Z ,900 1,253 1,011
Asymp. Sig. (2-tailed) ,393 ,086 ,259
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Hasil Uji Statistik Rata-rata nilai Kedalaman kurva Spee, Overjet, dan
Overbite maloklusi Klas II Angle pada Pasien Klinik Spesialis Ortodonti
FKG USU
di
Klas II Divisi 1 3,0178 18 ,64283 2,09 4,58
m
Klas II Divisi 2 2,5200 1 . 2,52 2,52
Hasil Uji Statistik Rata-rata nilai overjet dan overbite terhadap bentuk kurva Spee maloklusi Klas
II Angle pada Pasien Klinik Spesialis Ortodonti FKG USU
Korelasi Pearson
Kedalaman
Kurva Spee Overjet Overbite
**
Kedalaman Kurva Spee Pearson Correlation 1 ,520 ,367*