Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Spondilitis Tuberkulosis (TB) atau pott’s disease adalah suatu osteomielitis kronik

tulang belakang yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa.

Infeksi umumnya mulai dari korpus vertebra lalu ke diskus intervertebralis dan ke

jaringan sekitarnya. Daerah yang paling sering terkena, berturut-

turutialah daerah torakal terutama bagian bawah, daerah lumbal dan servikal 1-4

(Surjono, 2011:177).

2.1.1 Anatomi tulang belakang

Gambar 1: Anatomi vertebra


(Dikutip dari : Atlas Anatomi Manusia Sobbota, 2007:21)

Kolumna vertebralis merupakan polos tulang rangka tubuh yang

memungkinkan untuk bergerak. Terdapat 33 vertebra pada manusia terdiri dari

7 ruas vertebra servikal, 12 ruas vertebra thorakalis, 5 ruas vertebra lumbalis,


5 ruas vertebra sakralis yang membentuk os sacrum, dan 4 ruas vertebra

coccygealis yang membentuk os coccygeus. Kolumna vertebralis juga

membentuk saluran spinal cord. Spinal cord merupakan struktur yang sangat

sensitif dan penting karena meghubungkan sistem saraf otak dan sistem saraf

perifer (Mahadewa, 2009: 89).

2.2 Epidemiologi

Saat ini spondilitis tuberkulosis merupakan sumber morbiditas dan mortalitas

utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia.

Berdasarkan laporan WHO, memperkirakan bahwa jumlah kasus TB baru

terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen insiden TB secara global) termasuk

Indonesia. Jumlah penderita diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan

meningkatnya jumlah penderita Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)

oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Satu hingga lima persen

penderita TB, mengalami TB osteoartikular yaitu tuberkulosis yang sudah

mengenai tulang beserta sendinya. Separuh dari TB osteoartikular adalah

spondilitis TB. Di negara berkembang, penderita TB usia muda diketahui lebih

rentan terhadap spondilitis TB daripada usia tua. Di negara maju, usia

munculnya spondilitis TB biasanya pada dekade kelima hingga keenam. TB

osteoartikular banyak ditemukan pada penderita HIV positif, imigran dari negara

dengan prevalensi tertinggi, usia tua, anak-anak di bawah 15 tahun dan kondisi-

kondisi defisiensi imun lainnya. Pada penderita-penderita HIV positif, insiden

TB diketahui 500 kali lebih tinggi dibandingkan populasi orang HIV negatif. Di

sisi lain, sekitar 25-50 persen kasus baru TB di Amerika Serikat adalah HIV

positif (Grag, 2011:440).


Sekitar 1-2 persen dari semua kasus tuberkulosis menyebabkan penyakit

Pott’s. Di Belanda antara tahun 1993 dan 2001, TBC tulang dan sendi

menyumbang 3,5 persen dari semua kasus tuberkulosis (0,2-1 persen pada

penderita asal Eropa dan 2,3-6,3 persen penderita asal non Eropa). Menurut

WHO 2015, Indonesia adalah negara yang menduduki peringkat ketiga dalam

jumlah penderita TB setelah India dan Cina. Tuberkulosis adalah penyebab

kematian di seluruh dunia yang dapat dikaitkan dengan agen infeksi tunggal.

Lebih dari 40 persen kasus TB di seluruh dunia terjadi di bagian Selatan Asia

Timur. Di wilayah ini, diperkirakan 3 juta kasus baru TB setiap tahun.

Diperkirakan 140.000 orang meninggal di negara-negara tersebut, dan setiap

4 menit ada satu penderita yang meninggal di negara-negara tersebut, dan setiap

2 detik terjadi penularan. TB ekstraparu hanya terjadi 10 sampai 15 persen dari

semua kasus tuberkulosis. Tuberkulosis skletal terjadi 1 hingga 3 persen dari

kasus TB ekstraparu dan biasanya melibatkan tulang belakang. Dalam TB

muskuloskeletal, infeksi paru aktif terlibat sekitar kurang dari 50 persen kasus.

Tulang belakang terlibat pada hingga 50 persen kasus TB muskuloskeletal

(Jacobus, 2014:676).

Pada masa lalu, spondilitis tuberkulosis sering terjadi pada mereka kelompok

umur 3-5 tahun. Seiring meningkatnya pelayanan kesehatan dan gizi pada anak,

pola penyebaran penyakit ini berubah. Pada negara sedang berkembang, sekitar

60 persen kasus rata-rata terjadi pada usia di bawah 20 tahun, sedangkan pada

negara maju lebih sering terjadi pada usia yang lebih tua. Meskipun

perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, biasanya pria lebih rentan
terkena spondilitis TB dibandingkan wanita dengan perbandingan pria : wanita

1,5 : 2,1 (Moon, 2012:150).

Pada kasus-kasus penderita dengan TB, keterlibatan tulang dan sendi terjadi

pada kurang lebih 10 persen kasus dan lebih kurang 50 persen kasus tuberkulosis

tulang adalah spondilitis tuberkulosis. Lebih kurang 45 persen penderita dengan

keterlibatan spinal mengalami defisit neurologis. Tulang belakang adalah daerah

yang paling sering terlibat, yaitu 50 persen dari seluruh kasus tuberkulosis

tulang, 15 persen dari kasus TB ekstrapulmonal dan 3-5 persen dari seluruh

kasus tuberkulosis (Jacobus, 2014:676).

2.3 Etiopatogenesis

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular pada manusia yang

disebabkan terutama oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB). Pada dasarnya

MTB menyebar melalui udara saat batuk, bersin, berbicara, dan tetesan air liur

yang mengandung basil tuberkulum yang diproyeksikan ke udara dan dapat

dihirup oleh orang terdekat. Basil tuberkulum memasuki tubuh manusia terutama

melalui saluran pernafasan setelah menghirup droplets dikeluarkan udara. Partikel

ini cukup kecil mampu mencapai saluran pernafasan bawah. Keberhasilan infeksi

dan perkembangan TBC pada paru-paru (paru-paru merupakan target utama

MTB) tergantung pada empat langkah yaitu: fagositosis basil, multiplikasi

intraselulernya, fase laten terkandung fase infeksi dan infeksi paru aktif. Langkah-

langkah ini bisa berkembang menuju klinis yang berbeda dengan skenario:

penyembuhan spontan, penyakit, infeksi laten dan aktivasi ulang, atau infeksi

ulang (Banuls A-L,. et al. 2015).


Gambar1. Cycle base. MTB memasuki host dengan menghirup aerosol.Skenario
yang berbeda mungkin terjadi: (1) eliminasi segera MTB oleh sistem kekebalan
paru; (2) infeksi berlangsung untuk tuberkulosis aktif; (3) infeksi tidak
berkembang menjadi penyakit aktif dan MTB memasuki fase laten; (4) setelah
fase laten, MTB dapat menjadi aktif setelah reaktivasi endogen atau infeksi
eksogen baru atau keduanya; (5) pada tahap ini,ada penyebaran dan transmisi
MTB.

(Dikutip : Banuls A-L,. et al. 2015)

2.3.1 Patogenesis

Fokus utama penyakit tuberkulosis adalah visera (paru, ginjal, kelenjar

getah bening), keterlibatan sistem muskuloskeletal terjadi melalui

hematogen. Sekali terendap disuatu tempat, organisme ditangkap oleh sel

mononuklear. Sel mononuklear kemudian menyatu ke dalam sel epitheloid

dan tuberkulum terbentuk saat limfosit membentuk cincin di sekitar


sekelompok sel epitheliod. Kemudian terbentuk pengkejuan di pusat

tuberkulum tersebut. Respons inflamasi tubuh meningkat, mengakibatkan

eksudasi dan pencairan, dan terbentuklah cold abscess. Cold abscess terdiri

dari serum, leukosit, pengkejuan, debris tulang, dan basil. Hasilnya

tergantung pada karakteristik dan sensitivitas organisme, status sistem

kekebalan tubuh host, tahap penyakit, dan pengobatan. Hasil akhir mungkin

meliputi resolusi dengan minimal atau tanpa morbiditas, sembuh dengan

sisa deformitas, dinding lesi menghilang dengan kalsifikasi jaringan

pengkejuan, lesi granular kronis derajat ringan, dan penyebaran lokal atau

milier penyakit yang dapat menyebabkan kematian (Jacobus, 2014:676-

677).

Tulang belakang merupakan manifestasi tuberkulosis muskuloskeletal

yang paling sering dijumpai yaitu 50% kasus. Lokasi predileksinya adalah

perbatasan vertebrae torakalis dan lumbalis. Sebagian besar dimulai di

area subkondral bagian anterior korpus vertebra yang melekat dengan

diskus intervertebralis. Penyebaran ke diskus intervertebralis akibat

perluasan secara perkontinuitatum melewati subligamen menuju perluasan

infeksi hingga ke jaringan lunak dan membentuk abses. Abses ini akan

menyebar pada lokasi sesuai aliran limfe seperti lipat paha, bokong, atau

dada. Penyakit ini melibatkan muskulus iliopsoas pada rantai

penyebarannya. Kolaps beberapa vertebrae karena proses destruksi tulang

akan membentuk formasi gibus (Jacobus, 2014:677).


Reaksi tubuh setelah terserang kuman tuberkulosis dibagi menjadi lima

stadium, yaitu (Jacobus, 2014:677-678):

1. Stadium I (Implantasi)
2. Stadium ini terjadi awal, bila keganasan kuman lebih kuat dari daya

tahan tubuh. Pada umumnya terjadi pada daerah torakal atau

torakolumbal soliter atau beberapa level.


3. Stadium II (Destruksi awal)

Terjadi 3-6 minggu setelah implantasi. Mengenai diskus intervertebralis.

4. Stadium III (Destruksi lanjut dan kolaps)

Terjadi 8-12 minggu setelah stadium II. Bila stadium ini tidak diterapi

maka akan terjadi destruksi hebat dan kolaps dengan pembentukan bahan

pengejuan dan pus (cold abscess).

5. Stadium IV (Gangguan Neurologis)

Terdapat komplikasi neurologis, dapat berupa gangguan motoris, sensoris

dan otonom.

6. Stadium V (Deformitas dan Akibat)

Biasanya terjadi 3-5 tahun setelah stadium I. Kifosis atau gibus tetap ada,

bahkan setelah terapi.

2.3.2 Klasifikasi

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, spondilitis

tuberkulosis dibagi menjadi 3 yaitu (Natarajan, 2015:332):


1. Peridiskal/paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area

metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior/area

subkondural). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat

menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak

ditemukan di regio lumbal.


2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga

disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan

ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan

dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih

hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat

trauma. Terbanyak ditemukan di regional torakal.


3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra

di atas dan di bawah. Gambaran radiologisnya mencakup adanya

scalloped karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra. Pola

ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortic yang

ditransmisikan melalui abses prevertebral di bawah ligamentum

longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dan suplai

daerah vertebra.

2.4 Penegakan Diagnosis

2.4.1 Anamnesis
Anamnesa yang dilakukan membutuhkan suatu riwayat medis yaitu

komprehensif, oleh sebab itu anamnesa sebaiknya dilakukan dengan hati-

hati dan akurat terhadap riwayat medis penderita yang dapat diperoleh

melalui penderita atau keluarga penderita. Anamnesa yang baik lebih

berkonstribusi terhadap penegakan diagnosis. Pada penderita dewasa

riwayat medis yang komprehensif meliputi :

 Identifikasi data, seperti nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, status

perkawinan
 Sumber riwayat medis, biasannya langsung melalui penderita, tetapi

dapat juga melalui anggota keluarga, surat rujukan, atau rekam

medis.
 Keluhan utama, satu atau lebih gejala atau kekhawatiran yang

membuat penderita datang ke dokter.


 Riwayat penyakit sekarang, dapat memperjelas keluhan utama, dan

mengurangi bagaimana setiap gejala itu terjadi. Dapat meliputi

kebiasaan-kebiasaan penderita (alkohol, merokok, alergi,

penggunaan obat obatan) yang berhubungan dengan penyakit

sekarang.
 Riwayat penyakit dahulu, daftar penyakit yang pernah dialami oleh

penderita, serta dapat meliputi praktik pemeliharaan kesehatan

penderita seperti imunisasi, tes skrining.


 Riwayat keluarga, mengenai usia, kesehatan dan penyakit spesifik

dalam keluarga.
 Riwayat profesional dan sosial, menjelaskan tingkat pendidikan, asal

keluarga, anggota keluarga saat ini, minat pribadi dan gaya hidup.
 Tinjauan sistim tubuh, catatan ada dan tidaknya gejala yang

berhubungan dengan sistim tubuh utama (Rani, 2015:204).

Pemeriksaan fisik
Gamabaran krinis spondylitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak

faktor. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu disgnosa pasti

bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya

2 tahun setelah infeksi tuberkulosa.

1. Inspeksi
 Gambaran adanya penyakit sistemik: kehilangan BB , keringat

malam, demam yang berlangsung secara intermiten terutama sore

dan malam hari serta cachexia.


 Nyeri terlokalisir pada satu region tulang belakang. Langkah kaki

pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung


 Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat

menolehkan kelapanya, mempertahankan kepala dalam posisi

ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh satu

tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital


 Infeksi di bagian torakal akan menyebabkan punggung tampak

menjadi kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan

mengayunkan dari sendi penggulnya. Jika terdapat abses, maka

abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga

dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada.


 Di reegio lumbal: abses akan tampak sebagai suatu

pembengkakan lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipatan

paha.
 Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi

tulang belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi,

spondilolistesis, dan dislokasi.


2. Palpasi :
 Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan

kulit diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang

membedakan dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat


dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi

leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level

lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa

tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus

dalam cold abscess.


 Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang

terkena.
3. Perkusi :
 Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus

spinosus vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi yang dapat direkomendasikan untuk spondilitis TB

antara lain Sinar X, CT Scan, dan MRI :

1. Sinar X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering

dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil

sebaiknya dua jenis, proyeksi anterior posterior dan lateral. Pada fase

awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan

osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis


menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak

sekitarnya memberikan gambaran fusiformis (Zuwanda, 2013:664)


Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan

membentuk angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang

paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun,

sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik

(Gambar 3), (Zuwanda, 2013:664).

Gambar 1. Pencitraan sinar-X

(Dikutip dari : Zuwanda, 2013)

Pencitraan sinar-X proyeksi Anterior Posterior penderita

spondilitis TB. Sinar-X memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya

ketinggian dari badan vertebra T9 (tanda bintang), serta juga dapat terlihat

massa paravertebral yang samar, yang merupakan cold abscess (panah

putih) (Zuwanda, 2013:664).


Gambar 2. Pria 30 tahun dengan PD L1-L2 dengan nyeri punggung bawah sejak
beberapa minggu, hemoptisis, demam saat malam hari dan penurunan berat
badan. Foto polos menunjukkan sedikit penyempitan ruang diskus. B, Aksial dan
C, corona, yang diperkuat kontras setinggi T1 menampilkan gambar perbaikan
abses paravertebra perifer dan peningkatan perbaikan sumsum tulang corpus
vertebra L1 dan L2. Terlihat destruksi korteks tulang yang berdekatan dan
endplates vertebra.
(Dikutip dari: Jacobus, 2014)

Gambar 3. Kolaps korpus vertebrae pada anak 10 tahun dengan PD pada L1-3.
Foto Ro Lumbal lateral menunjukkan kolaps vertebrae L1-3. Terdapat
penyempitan diskus intervertebralis dengan gambaran lineasi yang buruk (anak
panah).
(Dikutip dari: Jacobus, 2014)
Gambar 4. Pada pada anak usia 2 tahun. Foto toraks AP menunjukkan masa di
paraspinal (anak panah) pada area vertebrae Th7-Th9 yang kolaps.
(Dikutip dari: Jacobus, 2014)

2. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang,

destruksi badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan

penyempitan kanalis spinalis. CT myelography juga dapat menilai dengan

akurat kompresi medula spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI.

Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui punksi lumbal ke

dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan (Satyanegara,

2014:161).
Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk

memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan

jaringan tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan

MRI untuk visualisasi jaringan lunak (Agrawal, 2010:77)

Gambar 5. Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB potongan aksial


setingkat T 12. Pada CT-scan dapat terlihat destruksi pedikel kiri vertebra
L3 (panah hitam), edema jaringan perivertebra (kepala panah putih),
penjepitan medula spinalis (panah kecil putih), dan abses psoas (panah
putih besar).
(Dikutip dari : Zuwanda, 2013)

Gambar 6. Kolaps korpus vertebrae pada anak 10 tahun dengan PD pada L1-3.
CT aksial pada vertebrae L2 menunjukkan perluasan erosi pada sisi kiri korpus
vertebrae (anak panah). Terdapat kalsifikasi jaringan lunak pada kanalis spinalis,
yang menyebabkan kompresi (kepala anak panah).
(Dikutip dari: Jacobus, 2014)
Gambar 7. Pada pada anak usia 2 tahun. Potongan aksial CT pada Th8
menunjukkan destruksi korpus vertebrae (anak panah). Formasi abses
paravertebrae (kepala anak panah), dengan perluasan ke kanalis spinalis(anak
panah kecil).
(Dikutip dari: Jacobus, 2014)

3. MRI

MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak.

Kondisi badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang,

termasuk abses paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan

ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan

MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah

terlewatkannya lesi noncontiguous (Agrawal, 2010:77).

MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan.

Peningkatan sinyal-T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian

jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI

ini berkorelasi dengan gejala klinis (Grag, 2011:446).


Gambar 8. Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB. Pada MRI
dapat dilihat destruksi dari badan vertebra L3-L4 yang menyebabkan kifosis berat
(gibbus), infi ltrasi jaringan lemak (panah putih), penyempitan kanalis spinalis,
dan penjepitan medula spinalis. Gambaran ini khas menyerupai akordion yang
sedang ditekuk
(Dikutip dari : Zuwanda, 2013)

Gambar 9. Pasien 63 tahun dengan tuberkulosis paru dengan manifestasi


kelemahan kedua tungkai. CT mielogram menunjukkan material kontras (anak
panah kecil) meliputi jaringan medula spinalis yang terkompresi (kepala anak
panah). Kompresi disebabkan oleh komponen jaringan lunak (anak panah besar)
dari proses destruksi korpus vertebra Th9 karena tuberkulosis.

(Dikutip dari: Jacobus, 2014)


Gambar 10. Gambaran MR pada PD stadium awal. (a) Potongan sagital T1
menunjukan korpus vertebrae L3-L4 hipointens (anak panah) karena keterlibatan
medula spinalis. (b) Potongan sagital T2 menunjukan iregularitas pada bagian
superior L4 (anak panah besar). Diskus intervertebralis antara L3-L4
menunjukkan hipointens dibandingkan diskus intervertebral yang lain.
Hiperintens dapat diamati pada korpus vertebra L3.
(Dikutip dari: Jacobus, 2014)

Gambar 11. Pemantauan gambaran MR pada laki-laki usia dua dengan riwayat PD
sebelumnya, dan saat ini mengeluh nyeri punggung. Potongan sagital (a) T1 dan
(b) T2 menunjukkan ankilosis tulang vertebrae L3-L4 yang menghasilkan kifosis.
Didapatkan infi ltrasi ke jaringan medulla spinalis dari dalam korpus vertebrae.
Selain itu juga didapatkan deformitas dan penyempitan kanalis spinalis.
(Dikutip dari: Jacobus, 2014)
Diagnosis Banding
1. Spondilitis piogenik
Salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang serupa dengan
spondilitis TB dan tidak mudah untuk membedakan keduanya tanpa
pemeriksaan penunjang yang adekuat. Spondilitis piogenik umumnya
disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus, dan
Pneumococcus. Secara epidemiologi, spondilitis piogenik lebih sering
menyerang usia produktif, sekitar usia 30–50 tahun. Hingga saat ini,
prevalensi spondilitis piogenik dilaporkan meningkat diakibatkan
banyaknya penyalahgunaan antibiotik, tindakan invasive spinal,
pembedahan spinal. Di lain pihak, jumlah kasus baru spondilitis TB
semakin berkurang dengan penggunaan OAT. Spondilitis piogenik
memiliki perjalanan yang lebih akut dengan gejala yang hampir sama
dengan spondilitis TB. Vertebra servikal dan lumbal lebih sering terlibat,
dibandingkan dengan spondilitis TB yang lebih sering menyerang vertebra
torakolumbal lebih dari satu vertebra (Zuwanda, 2013:665).
Telah dilakukan studi untuk membedakan kedua penyakit melalui
MRI. Jung dkk menjabarkan beberapa perbedaan temuan MRI secara rinci
yang mengarahkan pada infeksi TB: 1) sinyal abnormal paraspinal
berbatas tegas. 2) dinding abses tipis dan halus. 3) adanya abses paraspinal
dan intraoseus. 4) penyebaran subligamen lebih dari 2 vertebra. 5)
keterlibatan vertebra torakal. 6) lesi multipel (Zuwanda, 2013:665).

2. Tumor metastatik spinal


Mencakup 85 persen bagian dari semua tumor tulang belakang yang
mengakibatkan kompresi medula spinalis. Insiden tertinggi kasus tumor
metastasik spinal pada usia di atas 50 tahun. Urutan segmen yang sering
terlibat yaitu torakal, lumbar dan servikal. Neoplasma dengan
kecenderungan bermetastasis ke medula spinalis meliputi tumor payudara,
prostat, paru, limfoma, sarkoma, dan myeloma multipel. Metastasis
keganasan saluran cerna dan rongga pelvis relatif melibatkan vertebra
lumbosakral, sedangkan keganasan paru dan mamae lebih sering
melibatkan vertebra torakal (Zuwanda, 2013:665).

3. Keganasan primer
Pada pasien anak-anak yang cukup sering menyebabkan kompresi

medula spinalis meliputi neuroblastoma, Sarkoma Ewing, dan

hemangioma. Formasi abses dan adanya fragmen tulang adalah temuan

MRI yang dapat membedakan spondilitis TB dari neoplasma. Keluhan


yang sering berupa nyeri punggung belakang yang kronis progresif yang

tidak spesifik, hal inilah yang menyebabkan neoplasma spinal sulit

dibedakan dengan spondilitis TB. Adanya riwayat keganasan di tempat

lain dapat membantu penegakkan diagnosis. Defisit neurologis terjadi

tergantung tingkat lesi, muncul jika tumor sudah menekan epidural dan

medula spinalis. Kolaps vertebra dengan deformitas kifotik atau skoliotik

terjadi akibat destruksi badan vertebra/ fraktur oleh invasi tumor dengan

diskus yang bebas dari kerusakan. MRI belum dapat secara pasti

menyingkirkan atau memastikan diagnosis tumor spinal. Semua temuan-

temuan MRI spondilitis TB bisa ditemukan pada tumor spinal (Zuwanda,

2013:665).
4. Fraktur kompresi
Badan vertebra berpotensi menyebabkan deformitas kifotik disertai

gangguan neurologis dengan derajat yang bervariasi. Trauma harus dengan

kekuatan yang besar untuk membuat badan vertebra yang bersangkutan

retak, kecuali jika didapatkan osteoporosis, usia tua atau penggunaan

steroid jangka panjang. Contoh klasik trauma yang menyebabkan fraktur

kompresi seperti jatuh dari ketinggian dengan bokong terlebih dahulu.

Kecelakaan mobil juga dapat menyebabkan dampak serupa. Mekanisme

fleksi-kompresi biasanya menyebabkan fraktur kompresi dengan bagian

anterior mengecil (wedge-shaped) dengan derajat kerusakan bagian tengah

dan posterior yang bervariasi. Medula spinalis segmen torakal lebih sering

mengalami cedera karena merupakan segmen yang paling panjang

dibandingkan segmen lainnya dan juga karena kanalis spinalisnya yang

lebih sempit dengan vaskularisasi yang tentatif. Diagnosis ditegakkan


dengan temuan klinis dan adanya riwayat trauma yang bermakna

dikombinasikan dengan ada atautidaknya faktor risiko seperti osteoporosis

atau usia tua(Zuwanda, 2013:666).


2.6 Tatalaksana

Sebelum ditemukannya OAT yang efektif, penanganan spondilitis TB hanya


dengan metode imobilisasi, yaitu tirah baring dan korset/bidai. Mortalitas dan
angka relaps sangat tinggi waktu itu.

Sekarang, penanganan spondilitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian


yang berjalan dapat bersamaan, medikamentosa dan pembedahan. Terapi
medikamentosa lebih diutamakan, sedangkan terapi pembedahan melengkapi
terapi medikamentosa dan disesuaikan dengan keadaan individual tiap pasien.
Pasien spondilitis TB pada umumnya bisa diobati secara rawat jalan, kecuali
diperlukan tindakan bedah dan tergantung pada stabilitas keadaan pasien. Tujuan
penatalaksanaan spondilitas TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB,
mencegah dan mengobati defisit neurologis, serta memperbaiki kifosis.

2.6.1 Farmakoterapi
1. Medikamentosa
Spondilitis TB dapat diobati secara sempurna hanya dengan OAT
saja hanya jika diagnosis ditegakkan awal, dimana destruksi tulang
dan deformitas masih minimal. Seperti pada terapi TB pada
umumnya, terapi infeksi spondilitis TB adalah multydrug therapy.
Secara umum, regimen OAT yang digunakan pada TB paru dapat
pula digunakan pada TB ekstraparu, namun rekomendasi durasi
pemberian OAT pada TB ekstraparu hingga saat ini masih belum
konsisten antar ahli.

Tabel 1. Obat Anti Tuberkulosis


(Dikutip dari : Setiati, 2009:2644)
Nama obat Dosis Anak/hari Dosis Dewasa/hari Dosis maksimum

Rifampisin 10-20 mg/kg 10 mg/kg 600 mg


Isoniazid (INH) 10-20 mg/kg 5mg/kg 300-400 mg

Piraznamid 15-30 mg/kg 15-30 mg/kg 2 gr


Streptomisin 20-40 mg/kg 15mg/kg 1gr
>60 thn:10mg/kg) (>60th: 750 mg IM)

Etambutol 15-25 mg/kg 2,5 gr 2 gr

2.6.2 Non Farmakoterapi


1. Pembedahan
Dengan berkembangannya penggunaan OAT yang efektif, terapi
pembedahan relatif ditinggalkan sebagai penatalaksaan utama pada
spondilitis TB. Pilihan teknik bedah tulang belakang pada spondilitis
sangat bervariasi, namun pendekatan tindakan bedah yang baku dan
empiris masih belum ada. Setiap kasus harus dinilai keadaannya secara
individual. Pada pasien yang direncanakan operasi, kemoterapi tetap
harus diberikan, minimal 10 hari sebelum operasi OAT harus sudah
diberikan. Kategori regimen OAT yang diberikan disesuaikan jenis
kasus yang ada dan dilanjutkan sesuai kategori masing-masing.
Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada spondilitis TB meliputi
drainase abses, debridemen radikal, penyisipan tandur tulang,
artrodesis/fusi, penyisipan tandur tulang dengan atau tanpa
instrumentasi/fiksasi, baik secara anterior maupun posterior dan
osteotomi.
Indikasi pembedahan pada spondilitis TB secara umum sebagai
berikut : 1) defisit neurologis akut, paraparesis, atau paraplegia. 2)
deformitas tulang belakang yang tidak stabil atau disertai nyeri, dalam
hal ini kifosis progresif (30˚ untuk dewasa, 15˚ untuk anak-anak). 3)
tidak responsif kemoterapi selama 4 minggu. (4) abses luas. (5) biopsi
perkutan gagal untuk memberikan diagnosis. (6) nyeri berat karena
kompresi abses.
Jika lesi di servikal, intervensi bedah dilakukan lebih awal
mengingat potensi kecacatan yang akan terjadi. Sementara itu, satu-
satunya kontraindikasi pembedahan pada pasien spondilitis TB adalah
kegagalan jantung dan paru. Pada keadaan ini kegagalan jantung dan
paru harus ditangani terlebih dahulu untuk menyelamatkan jiwa pasien.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi salah satunya adalah cedera corda spinalis

(spinalcord injury). Hal ini dapat terjadi karena adanya tekanan epidural

sekunder karena pus tuberkulosis, sekuestra tulang, skuestrer dari diskus

intervertebralis (contoh: Pott’s parapelegia-prognosa baik) atau dapat juga

langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosis

(contoh: meningomyelitis–prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon

baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan miolografi dapat

membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena investasi dura dan

corona spinalis. Empyema tuberkulosis karena rupturnya abses paravetebral di

torakal ke dalam pleura (Natarajan, 2015:335).

Prognosis
Modalitas pengobatan saat ini sangat efektif terhadap penyakit spondilitis

tuberkulosis tidak rumit oleh cacat parah atau didirikan defisit neurologis.

Deformitas dan defisit motorik adalah konsekuensi paling serius pada spondilitis

tuberkulosis dan terus menjadi masalah serius ketika diagnosa tertunda atau

presentasi penderita dalam stadium lanjut dari penyakit. Terapi kepatuhan dan

resistensi obat merupakan faktor tambahan yang signifikan, akan mempengaruhi

hasil individu (Hidalgo, 2016:2/9)


Paraplegia yang dihasilkan dari komperesi medula spinalis yang disebabkan

oleh penyakit aktif biasaanya merespon dengan baik terhadap pengobatan.


Namun, paraplegia dapat bertahan dan bermanifestasi karena kelainan medula

spinalis yang permanen. Dekomprasi operatif dapat mempengaruhi

pemulihan penderita, dibandingkan dengan terapi obat yang lambat. Harus

diwaspadai komplikasi lambat pada jangka panjang termasuk reaktivitasi

penyakit serta deformitas lainnya (Momijian, 2014:11).

Rehabilitatif

Imobilisasi yang singkat akan menguragi morbiditas pasien. Dengan

instrumentasi, kebutuhan imobilisasi semakin berkurang sehingga pasien dapat

cepat mencapai status ambulatorik. Jenis imobilisasi spinal tergantung pada jenis

tingkat lesi. Pada daerah servikal dapat dimobilisasi dengan jaket Minerva; pada

daerah vertebra torakal , torakolumbal dan lumbal bagian atas dapat dimobilisasi

dengan menggunakan body cast jacket. Sedangkan pada lumbal bawah,

lumbosacral, dan sacral dilakukan imobilisasi dengan body jacket atau kerset

dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul.Terapi pada

penderita Spondilitis TB dapat pula berupa tirah baring disertai dengan

pemberian kemoterapi (Zuwanda, 2013:671).


Gambar 5. Pemasangan Gips dan Imobilisasi dengan Jaket Minerva
Dikutip : ( Dunn, 2009:67;Varghese, 2013:390)

Gambar 6. Pemasangan Gips dan Body Cast Jacket


Dikutip : (Dunn, 2009:68 ; Varghese, 2013:391)
Edukasi
1. Memberikan informasi kepada penderita dan keluarga tentang penyakit

tuberkulosis.
2. Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara teratur
3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan (Natarajan, 2015:337)

Alavi A., Sharifi M. 2010. Tuberculous spondylitis: Risk factors and

clinical/paraclinical aspects in the south west of Iran King Saud Bin

Abdulaziz Universiti for Health Sciences, Vol. 3 No.196-200.

Agrawal V., Patgaonkar P.R., Nagaria S.R. 2010. Tuberculosis of Spine. Jurnal of

Junction and Spine. 1:14.

Banuls A-L,. et al. 2015. Mycobacterium tuberculosis: ecology and evolution of a

human bacterium. Journal of Medical Microbiology 64, 1261–1269

Jacobus D.J. 2014. Pott”s Disease. CDK-220/ vol. 41 no. 9


Zuwanda, Raka J. 2013. Tinjauan Pustaka : Diagnosis dan Penatalaksanaan

Spondilitis tuberkulosa. CKD-208/ Vol40 No.9

Dunn RN. 2009. Surgical Management of Cervical Tuberculosis. SA


ORTHOPAEDIC JOURNAL. Winter:63

Natarajan M, Maxilvahanan. 2015. Tuberculosis of the spine. Book of


orthopaedics and traumanology. (diakses 24 Januari 2018)

Rani A., et al. 2015. Anamnesis & Pemeriksaan Fisis Komprehensif. Jakarta.
Interna Publishing: xxi+401 hlm.

Sahputra R.E, Irsal M.2015. Laporan kasus :Spondiliosis Tuberkulosa Cervical.


Jurnal Kesehatan Andalas,

Anda mungkin juga menyukai