Anda di halaman 1dari 8

KLIPING PBAK

SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA

Dosen Pengampu : MELLY, SST, M.Kes

Disusun Oleh :

1) Dinda Nabilla (P032114401053)


2) Dzil Adzmi Kurnia Arif (P032114401055)
3) Falentina (P032114401058)
4) M. Azis (P032114401065)
5) Nadhira Putri Habimayu (P032114401068)

TINGKAT 2B

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES RIAU

2022/2023
Sejarah Korupsi di Indonesia Sejak Zaman Sebelum Kemerdekaan, Orde
Lama Sampai Reformasi

Korupsi berasal dari bahasa Latin “Corruptio” atau “Corruptus”, yang kemudian
diadopsi oleh banyak bahasa di Eropa, misalnya di Inggris dan Perancis “Corruption” serta
Belanda “Corruptie”, dan selanjutnya dipakai pula dalam bahasa Indonesia “Korupsi”. Secara
harfiah/bahasa sehari-hari korupsi berarti : kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dapat
disuap. Dalam kaidah bahasa menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan
Poerwadarminta “korupsi” diartikan sebagai : “perbuatan yang buruk seperti : penggelapan
uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya”. Sedangkan menurut kamus besar bahasa
Indonesia “korupsi” diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara
untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Sejarah korupsi di Indonesia terjadi sejak zaman Hindia Belanda, pada masa
pemerintahan Orde Lama, Pemerintahan rezim Orde Baru dan Orde Reformasi.Pemerintahan
rezim Orde Baru yang tidak demokratis dan militerisme menumbuhsuburkan terjadinya
korupsi di semua aspek kehidupan dan seolah-olah menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit
pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara Negara sudah
terjangkit “virus korupsi” yang sangat ganas.
Istilah Korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam
Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan
Korupsi. Kemudian, dimasukkan juga dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang
Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak
tanggal 29 Maret 1971 digantikan oleh Undang-undang No.3 tahun 1971 karena Undang-
undang No. 24 Prp. tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi berhubung dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat
mencapai hasil yang diharapkan, dan oleh karenanya Undang-undang tersebut perlu diganti,
yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 karena undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum, karena itu perlu
diganti dengan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru sehingga
diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan membrantas tindak pidana korupsi dan
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001
Perubahan atas Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang pembrantasan tindak pidana
korupsi, karena untuk menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran
hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta
perlakuan secara adil dalam pembrantasan tindak pidana korupsi.
Selanjutnya korupsi terus menerus menunjukkan perkembangannya, sebagai respon
akan hal tersebut pemerintah kemudian membentuk suatu komisi untuk mengatasi,
menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia berdasarkan Uundang-undang No 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini membawa
sebuah perubahan besar dalam sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Sebelum Kemerdekaan
Budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan,
kekayaan dan wanita. Perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan
saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa
Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain- lain),
Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari
ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso).

Kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah


karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir
karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa.
Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal
Maha Patih Gajah Mada. Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah
dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda. Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC
memecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta. Tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah
kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Kesultanan Yogyakarta juga
dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jenderal
Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), Hal menarik dalam buku itu adalah
pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo”
atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih
dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk
mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui. Hal
menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak
(abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian
majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi”
di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti”
(pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang
akan diserahkan kepada Tumenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten
atau propinsi juga mengkorup harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan. Indonesia
memiliki sejarah panjang dalam pemberantasan korupsi. Perlawanan terhadap korupsi terlihat
bahkan sejak awal kemerdekaan.

Orde Lama

Pemberantasan korupsi secara yuridis dimulai sejak 1957 dengan dikeluarkannya


Peraturan Penguasa Militer Nomor 6 Tahun 1957 atau PRT/PM/06/1957 tentang Langkah
Pemberantasan Korupsi. Fokus dari peraturan ini adalah menyelidiki politisi yang
menghimpun aset mencurigakan dengan memeriksa rekening pribadi mereka. Tentara juga
diberi kewenangan untuk menyita aset tersangka tapi terbatas pada pelaku korupsi sesudah 9
April 1957.
Langkah pemberantasan korupsi ini pun akhirnya menggetarkan banyak pihak.
Namun, Jenderal AH Nasution akhirnya mengaku kesulitan dalam memberantas korupsi.
Berbagai pergejolakan menggoyang langkah pemberantasan korupsi saat itu, termasuk
korupsi di tubuh Angkatan Darat sendiri. Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membentuk
Badan Pengawasan Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) yang bertugas mengawasi setiap
aktivitas aparatur negara dan melakukan penelitian. Lembaga ini mendapatkan respon yang
luar biasa di awal kehadirannya. Hingga Juli 1960, tercatat ada 912 laporan korupsi yang
dilaporkan masyakarat di mana 400 di antaranya diproses. Lembaga kedua yang bernama
Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) didirikan pada Januari 1960 dengan persetujuan
Soekarno. Lembaga ini diprakarsai dan diketuai oleh AH Nasution. Namun, keberadaan dua
lembaga ini akhirnya tumpang tindih. Bapekan kemudian sepakat untuk fokus pada
pengawasan dan penelitian aktivitas aparatur negara, sementara Paran pada penindakan
korupsi. Bapekan kemudian dibubarkan pada Mei 1962. Sementara, Paran dibubarkan saat
lembaga ini baru menangani 10 persen dari kasus mereka pada Mei 1964.
Orde Baru
Pemberantasan korupsi pada Orde Baru tidak jauh berbeda dari Orde Lama. Bahkan,
korupsi disebut semakin merajalela dan merata hingga ke semua lini kehidupan dan
pemerintahan. Presiden kala itu, Soeharto, terus dituntut untuk menunjukkan keseriusannya
dalam memberantas korupsi.

Lima kasus korupsi besar di masa Orde Baru :


1. Kasus Coopa
31 Januari 1970, Soeharto membentuk Tim Empat, diketuai Wilopo, untuk memberangus
korupsi di pemerintahannya. Gebrakan Tim Empat sangat menggemparkan, karena berhasil
mengungkap skandal korupsi melibatkan seorang jendral dikenal dekat dengan Cendana.
Sang jendral memiliki kedekatan denga sang presiden lantaran berurusan dengan Coopa,
perusahaan pemasok pupuk untuk program pertanian pemerintah “Bimas Gotong Royong”.
Lalu pada 11 Maret 1970, Soeharto mengadakan pertemuan dengan Komisi Empat di Istana
Merdeka, salahsatu agendanya membahas masalah penyelewengan Bimas Coopa. Kejaksaan
Agung menahan Arief Husni atau Ong Seng Keng, pemilik Coopa, pada Agustus 1970.
Selain Coopa, Arif Husni juga merangkap direktur Bank Ramayana, tempat Probosutedjo,
adik Soeharto, ikut duduk dalam jajaran pemegang saham di bank itu. Korupsi dalam
program swasembada pangan nasional ini merugikan keuangan negara US$ 711.000. Diduga,
Arief tidak bekerja sendiri. Di belakanganya tersiar kabar, seorang jendral cum ketua tim
Penerbitan Keuangan Negara ikut bermain.
2. Kasus Badan Urusan Logistik
Posisinya sebagai lembaga langsung di bawah presiden menjadikan Bulog bisa menikmati
dana non bujeter di luar anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kewenangan itu
membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sulit
menjamah alur keuangan Bulog. Prakteknya, Bulog tidak pernah membeli langsung bahan
pangan dari petani melainkan dari para pedagang perantara dan operasi pasar juga dilakukan
melalui perantara.
Perantara arus utama pada kaitan pembelian dengan Bulog, tak lain Go Swie Kie atau
Dasuki Angka Subroto. Dasuki Angka Subroto memulai bisnis utamanya sebagai importir
beras dan kacang kedelai untuk Bulog, sehingga dijuliki 'Bulog Swasta'. Kepala Bulog kala
itu, Achmad Tirtosudiro, meyatakan operasi Bulog terhambat oleh ketidakberesan
administrasi sehingga dana senilai Rp 1,3 miliar (atau senilai US$ 800000 kala itu)
mengendap. Imbasnya, Acmad Tirtosudiro diberhentikan dari jabatan Kepala Bulog atas
dugaan korupsi, pada Juni 1973. Dia justru beralih tempat kerja, menjadi Duta Besar RI di
Republik Federasi Jerman atau Jerman Barat.
3. Kasus Pertamina
Di bawah kuasa penuh Ibnu Sutowo, Pertamina dikelola secara tertutup. Ketika Slamet
Bratanata, Menteri Pertambangan mencoba mengatur Pertamina seperti mempersyaratkan
kontrak dengan tender terbuka, justru Bratanata terpental. Direktorat Minyak dan Gas
kemudian dialihkan dari Kementrian Pertambangan, menjadi langsung berada di bawah
Soeharto. Bratanata pun diberhentikan tahun 1967.
Meski BUMN, prakteknya Pertamina di bawah Ibnu Sutowo bertanggungjawab bukan
kepada Menteri Pertambangan tetapi kepada militer. Neraca tidak pernah diumumkan dan
laba tidak pernah diwartakan. Walaupun pajak berhasil disetor ke pemerintah naik dari 15%
menjadi 50% pada tahun 1973, sesungguhnya tidak mencerminkan besarnya laba Pertamina.
Pengelolaan serba rahasia tersebut diyakini Pertamina menjadi sumber keuangan TNI paling
besar. Tanpa akuntabilitas pengelolaan dan transparasi, Pertamina kemudian terpuruk. Tahun
1975, Pertamina tidak mampu membayar kembali (default) sejumlah hutang luar negeri
jangka pendek mencapai US$ 1,5 miliar. Tahun 1976 kembali terungkap Pertamina gagal
membayar hutang jatuh tempo mencapai US$ 10 miliar, sehingga Ibnu Sutowo tergusur dari
kursinya.
4. Kasus Bapindo
Eddy Tanzil mengajukan permohonan kredit bagi proyek Golden Key Petrokimia kepada
Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Guna memudahkan pinjaman, dia mendapat surat
referensi Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Sudomo. Surat tersebut digunakan Eddy Tanzil
untuk mengubah fasilitas usance L/C menjadi red clause L/C. Dalam kegiatan bisnis, Letter
of Credit atau kerap disebut L/C. L/C memiliki fungsi jaminan pembayaran, instrumen kredit
dan pedoman jika terjadi permasalahan.
Berdasarkan jangka tempo pembayaran, L/C dibagi dua; usance L/C dan sight L/C. Dan
untuk pembayaran di muka, dikenal ada dua macam; red clause dan advance payment. Red
clause berarti pembayaran di muka kepada eksportir diberikan oleh negotiating bank. Kredit
diajukan Eddy Tanzil itu pun dicairkan oleh Bapindo seluruhnya pada akhir 1991. Dalam
perjalanannya, proses pembangunan pabrik Golden Key tidak berjalan dengan semestinya.
Dari usaha nakal itu, negara dirugikan sebesar 1,3 trilyun. PN Jakarta Pusat telah memvonis
bersalah Eddy Tanzil selama 20 tahun penjara, pidana denda 30 juta; membayar uang
pengganti 500 milyar; dan mengganti uang negara 1,3 T. Namun Eddy Tanzil berhasil kabur,
hingga hari ini.
5. Korupsi Soeharto
Mantan Presiden Soeharto ditempatkan sebagai Presiden terkorup sedunia berdasarkan
temuan Transparency International 2004 dengan total perkiraan korupsi sebesar 15-25 miliar
dolar AS. Dana tersebut digunakan untuk membiayai tujuh yayasan milik Soeharto; Yayasan
Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan
Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong
Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No
2896 K/Pdt/2009 tanggal 28 Oktober 2010, memutuskan Yayasan Supersemar dihukum
mengganti kerugian negara sebesar 315.002.183 US dolar dan Rp.139.229.178 atau sekitar
Rp 3,07 triliun. Namun, hingga kini putusan tersebut belum dieksekusi lantaran aset Yayasan
Supersemar tidak mencukupi untuk membayar ganti rugi.
DPR akhirnya mengesahkan UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Namun, terdapat beberapa kelemahan dalam UU ini, yaitu tidak berlaku
surut dan tidak menempatkan tentara kepada yurisdiksi sipil. Seiring waktu, UU ini pun
terbukti tidak berjalan efektif dalam pemberantasan korupsi. Orde Baru merupakan rezim
yang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa pemerintahannya yang cukup
panjang. Namun, sayangnya, tidak banyak peraturan yang dibuat itu berjalan efektif. Berikut
ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru terkait pemberantasan korupsi dikutip
dari laman Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK):
 GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam
Pengelolaan Negara
 GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka
Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang,
Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar
serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan
Pembangunan
 UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi
 Keppres Nomor 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS
 Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban
 UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap
Reformasi
Era reformasi yang lahir dari gerakan nasional penyelamatan Indonesia dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) diharap dapat menunjukkan keseriusan dalam pemberantasan korupsi.
Di era Presiden BJ Habibie, pemberantasan korupsi dimulai dengan dikeluarkannya UU
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN. Dengan
berlandaskan UU ini, dibentuklah sejumlah lembaga anti korupsi, seperti Komisi Pengawas
Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Pemerintah era BJ Habibie juga mengeluarkan UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, UU berikut
lembaga-lembaga tersebut belum juga menunjukkan hasil yang signifikan.
Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dibentuk sebuah Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada tahun 2000. Lingkup
wilayah kerja tim ini menyasar pejabat penegak hukum dan unsur masyarakat sipil. Gus Dur
bahkan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. PP ini bertujuan untuk meningkatkan peran aktif
masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Mahkamah Agung (MA) kemudian membatalkan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000, yang menjadi dasar hukum TGPTPK, atas
putusan hak uji aturan hukum yang diajukan salah satu hakim MA. TGPTPK pun dibubarkan
pada Agustus 2001.
Di era Presiden Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap dan
berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Di tengah rendahnya kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga negara, pemerintahan Megawati kemudian membentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) melalui UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaga inilah yang menjadi cikal bakal
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Struktur dan kelembagaan KPK berdiri independen
dan tidak dipengaruhi kekuasaan manapun. KPK pun langsung menunjukkan taringnnya dan
menjadi lembaga yang ditakuti para pejabat.
Meski berpindah rezim, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tetap
mempertahankan KPK. SBY pun membuat gebrakan dengan membentuk Tim Pemberantas
Tindak Pidana Korupsi (TimTas Tipikor) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun
2005. Tim ini bertanggung jawab langsung kepada presiden. Namun, keberadaan tim ini tidak
bertahan lama. Pertengahan 2007, TimTas Tipikor dibubarkan. Meski begitu, KPK tetap
bekerja. Berbagai kasus korupsi besar dan kecil diungkap. Sederet nama pejabat ikut
ditangkap akibat kasus korupsi. KPK pun mendapatkan hati masyarakat. Hingga era Presiden
Joko Widodo saat ini, keberadaan KPK beserta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
yang terpisah dari pengadilan umum masih menjadi kekuatan dalam pemberantasan korupsi.

Anda mungkin juga menyukai