Anda di halaman 1dari 5

Nama : Farhan Lesmana Elhakim

NPM: 232151137
Kelas : 2023-D
Mata Kuliah : Profesi Anti Korupsi
Dosen Pengampu : Depi Setialesmana., S.Pd., M.Pd

A. Sejarah Korupsi
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi
bukanlagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan.
Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsiantar negara, Indonesiaselalu
menempati posisi palingrendah. Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong
pemberantasan korupsi diIndonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di
Indonesia belum menunjukkan titikterang melihat peringkat Indonesia dalam
perbandingan korupsi antar negara yang tetaprendah.Hal ini juga ditunjukkan dari
banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. korupsi yang sudah di tangani di
Indonesia. Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesiatumbuh dan berkembang
melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman
modern seperti sekarang ini.Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di
Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif
kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarahmasyarakat Indonesia, terutama pada
zaman kerajaan-kerajaan kuno. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari
yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuhturunan saling membalas
dendam berebut kekuasaan. Lalu, kerajaan Demak yangmemperlihatkan persaingan
antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada jugaKerajaan Banten yang
memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnyasendiri, yaitu
Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-Analis
Informasi LIPI).Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai
terbangunnya watakopurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah
posisi orang suruhan dalamkerajaan, atau yang lebih dikenal dengan
“abdi dalem”.
Abdi dalem dalam sisi kekuasaanzaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk
menarik simpati raja atau sultan. Haltersebut pula yang menjadi embrio lahirnya
kalangan opurtunis yang pada akhirnya jugamemiliki potensi jiwa yang korup yang
begitu besar dalam tatanan pemerintahan kitadikmudian hari.Kedua, Fase Zaman
Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulaimasuk dan meluas ke
dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah
dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun.
Budaya. korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan
badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal
demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat
lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk
menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan
dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan
oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan
rakyat Indonesia. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang
mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak
segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya.
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern
seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu
penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta
merta. lenyap begitu saja, salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat
pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya
semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga
saat ini. Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang
pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini. Di Indonesia langkah-langkah
pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan
selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan
perundang-undangan. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif
indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-
undang hukum pidana I januari 1918. KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi
berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi dan
diundangkan dalam Staatblad 1915 nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.
Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia
sebagai berikut:
1. Masa Peraturan Penguasa Militer
Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa
Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat.
Rumusan korupsi menurut perundang-undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan
yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk
kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau
tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Masa
Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
2. Masa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958)
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Masa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387),
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan
perundang-undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi.
Diantaranya ada KUHP dan KPK. Secara substansi Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus
operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam Undang-Undang ini
tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian
pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada
orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi
minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3
undang-undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah
pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut
umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi
pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai
kontrol, undang-undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran
serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama
dengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi
PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset
para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri.
Hukum pidana tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP dinilai masih
sangat lemah. Memang tidak perlu sampai diberlakukan hukuman mati bagi koruptor
seperti yang di berlakukan di Negara China, tapi untuk tindak pidana korupsi yang
merugikan negara dalam jumlah besar seharusnya diberi hukuman seumur hidup dan
tanpa remisi ataupun grasi. Agar terjadi efek jera dan juga sebagai pelajaran bagi
pejabat-pejabat baru. Selain hukum yang masih lemah terjadinya korupsi di Indonesia
juga didukung dengan aparat hukum yang korup mulai dari Kepolisian. Kejaksaan,
hingga Pengadilan. Kepolisian bisa menghentikan penyelidikan bila koruptor mampu
menyuapnya. Hal ini menyebabkan mudahnya para pejabat yang terjerat kasus
korupsi untuk membebaskan diri dari jeratan hukum dengan jalan menyuap dari hasil
uang korupsi. Sehingga sebanyak apapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
melimpahkan kasus korupsi ke pihak kepolisian akan menjadi percuma. Bahkan
beberapa waktu lalu ada upaya pelemahan KPK oleh institusi hukum lain yang takut
diselidiki mengenai kasus korupsi di dalamnya.
B. Bentuk bentuk korupsi
1. Suap: Ini adalah bentuk korupsi yang paling umum, di mana seseorang
memberikan uang atau barang berharga kepada pejabat pemerintah atau individu
lainnya dengan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan atau pengaruh yang tidak
pantas.
2. Nepotisme: Ketika seseorang memanfaatkan posisinya untuk memberikan
perlakuan istimewa kepada anggota keluarga atau teman-teman dekatnya dalam hal
pengangkatan, promosi, atau pengadaan kontrak.

3. Penyuapan: Terjadi ketika seseorang menerima hadiah atau insentif yang tidak
pantas sebagai imbalan atas tindakan atau keputusan yang menguntungkan pihak
yang memberikan hadiah tersebut.

4. Penggelapan: Ini terjadi ketika seseorang yang bertanggung jawab atas keuangan
publik atau swasta menggunakan dana atau aset tersebut untuk kepentingan pribadi
tanpa izin atau persetujuan yang tepat.

5. Kolusi: Ini terjadi ketika individu atau entitas bekerja sama untuk mencapai tujuan
yang tidak sah, seperti menetapkan harga, menghindari persaingan, atau membagi-
bagi pasar.

6. Pencucian Uang: Ini melibatkan upaya untuk menyembunyikan atau melegitimasi


asal-usul uang yang diperoleh secara ilegal dengan cara mengalirkannya melalui
serangkaian transaksi keuangan yang kompleks.

7. Penyalahgunaan Kekuasaan: Terjadi ketika pejabat pemerintah atau individu yang


memiliki kekuatan atau pengaruh menggunakan kekuasaan tersebut untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya tanpa memperhatikan kepentingan umum.

8. Korupsi Politik: Ini terjadi ketika proses politik, seperti pemilihan atau pembuatan
kebijakan, dipengaruhi oleh uang atau kepentingan pribadi, daripada kepentingan
publik atau prinsip demokrasi.
9. Korupsi Sektor Swasta: Ini terjadi ketika praktik-praktik korupsi merasuki bisnis
dan sektor swasta, seperti penyuapan dalam proses pengadaan atau kontrak,
manipulasi laporan keuangan, atau pencurian kekayaan perusahaan oleh manajemen
atau pegawai.

10. Korupsi di Lembaga Pendidikan: Terjadi ketika praktik korupsi memengaruhi


lembaga-lembaga pendidikan, seperti penyuapan untuk masuk ke sekolah atau
universitas tertentu, penyalahgunaan dana pendidikan, atau pemalsuan kredensial
akademik.

11. Korupsi di Sektor Kesehatan: Ini melibatkan praktik-praktik korupsi dalam sistem
kesehatan, seperti suap kepada dokter atau petugas medis untuk pelayanan yang lebih
baik, penyalahgunaan dana kesehatan, atau penipuan dalam klaim asuransi.
12. Korupsi dalam Pembangunan Infrastruktur: Terjadi ketika korupsi memengaruhi
proyek-proyek infrastruktur, seperti pemalsuan dokumentasi, penggelembungan
biaya, atau pengabaian standar keselamatan demi keuntungan pribadi.

13. Korupsi di Bidang Lingkungan: Melibatkan penyalahgunaan kekuasaan atau


penyuapan dalam kebijakan lingkungan, izin pembangunan, atau penegakan hukum
terkait dengan perlindungan lingkungan hidup.

14. Korupsi di Sistem Hukum: Ini terjadi ketika sistem hukum terpengaruh oleh
praktik korupsi, seperti penyuapan hakim atau petugas penegak hukum, manipulasi
kasus, atau penyalahgunaan proses hukum untuk keuntungan pribadi.

15. Korupsi dalam Organisasi Internasional: Terjadi ketika organisasi internasional


atau lembaga-lembaga multinasional terpengaruh oleh praktik korupsi, seperti
penyalahgunaan dana, nepotisme dalam pengangkatan, atau penyuapan dalam proses
pengambilan keputusan.

Anda mungkin juga menyukai