Anda di halaman 1dari 14

PERTANGGUNG JAWABAN DAN PENJATUHAN HUKUMAN PADA

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

DISUSUN OLEH :

RASTRA PRASETYO ADITIYONO, A.md , SH

NIM : A2021151039

MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK

2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
               Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku
pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
               Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakupunsur-
unsur sebagai berikut:
•      perbuatan melawan hukum;
•      penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
•      memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
•       merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

               Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
• penggelapan dalam jabatan;
• pemerasan dalam jabatan;
• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

               Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi
untuk keuntungan pribadi.Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya.Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan
pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat
yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
               Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak.Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan
narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini
saja.Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan
antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.      
            Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju
modernisasi.Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan
tampak lebih nyata.Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti
perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan
beranekaragam.Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut
mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang
telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat
contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money
laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
            Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini.Sesungguhnya
fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak
perang dunia kedua berakhir.Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak
Indonesia belum merdeka.
            Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat
Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa
golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
            Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di
Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan.Masalah korupsi
ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung
memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa.Reimon Aron seorang sosiolog
berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk
mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa
tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981:310)
            Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut.Telah banyak
gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan.
            Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar
ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif,
eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN.Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi
hampir kita temui dimana-mana.Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
            Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang
tindak pidana korupsi sudah ada.Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana
korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1.            Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, 
2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, 
3.Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, 
4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang
undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

B.           Rumusan masalah
            Adapun yang menjadi permasalahan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.    Bagaimana Pertanggung Jawaban Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-
undang Nomor 31 tahun 1999
2.    Bagaimana Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999

C.           Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pertanggung jawaban Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-
Undang Nomor 31 tahun 1999
2.    Untuk mengetahui Bagaimana Penjatuhan Pidana  Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999

D.           Kegunaan Penulisan
1.    Memberikan pemahaman tentang pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana
korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
2.    Memberikan jenis-jenis Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi menurut
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.           Pengertian Korupsi
            Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption =
penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan
lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :
1. Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan  ketidakjujuran. 
2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya. 
3. 1. Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan untuk
kepentingan sendiri dan sebagainya.
2. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya);
3. Koruptor (orang yang korupsi).
            Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah
korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan
dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi
Hartanti, S.H., 2005:9)

            Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:


1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau
perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya
bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210,
387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.

B.   Korupsi di Indonesia
            Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik.Bagi banyak orang korupsi bukan lagi
merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan.Dalam seluruh
penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling
rendah.Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di
Indonesia.Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik
terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap
rendah.Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.
• Pemberantasan korupsi di Indonesia
            Pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde
Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
1.    Orde Lama
            Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960
Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang
dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani
menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa
kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali
Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer.
Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan
Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu.Dalam kasus tersebut mantan
Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan
Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
            Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena
dianggap sebagai lawan politik Sukarno.Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing
di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di
Indonesia.Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-
perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di
tubuh TNI.
            Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun
kurang berhasil.
            Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur.
            Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus
korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas
Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol
Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto,
yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan
menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.
2. Orde Baru
            Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971
Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis.
3. Reformasi
            Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
3. Kepolisian
4. Kejaksaan
5. BPKP
6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW)

C.  Komisi Pemberantasan Korupsi


            Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia
yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di
Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketua KPK adalah
Antasari Azhar (Non Aktif),Saat ini KPK dipimpin secara kolektif.
Era Kepemimpinan KPK :
1.             KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian
(Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki,
KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain
untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih)
di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001,
Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang
pilih pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana
menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah
tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan
antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang
bebas korupsi).Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan
dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif
(pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai
katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance
dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai
penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu
memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut
menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency
International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut
responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD
(10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan
(4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi
Global", menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2
(dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di
Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di
atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah
membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci
utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari
perbuatan tercela, entah itu "corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by
greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi karena
kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas
antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran
pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi
masyarakat dan organisasi bisnis. Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh
Antasari Azhar sebagai Ketua KPK.
2.            KPK di bawah Antasari Azhar (2007-2009)
Dimasa kepemimpinan Antasari Azhar telah banyak kasus-kasus besar korupsi terungkap
terbukti banyak para pejabat pemerintah yang dipenjarakan karena kasus korupsi, hal ini terjadi
karena kerjasama yang erat antara lembaga penegak hukum yang ada di Indonesia.Namun
perjalanan panjang pemberantasan korupsi kepemimpinan Antasari Azhar terhambat akibat
sejumlah sekenario pelemahan KPK yang membuat Antasari Azhar di non aktifkan dari
jabatannya.
3.            Tumpak Hatorangan Panggabean (Plt Ketua)
Mantan Pimpinan KPK Jilid I periode 2003-2007 ini Lahir di Sanggau, Kalimantan Barat,
pada 29 Juli 1943, dan menamatkan pendidikan di bidang hukum pada Universitas Tanjungpura
Pontianak. Seusai menamatkan bangku kuliah, bapak tiga anak ini memilih langsung untuk
mengabdi kepada negara dengan berkarier di Kejaksaan Agung pada1973. Karier di kejaksaan
meliputi Kajari Pangkalan Bun (1991-1993), Asintel Kejati Sulteng (1993-1994), Kajari Dili
(1994-1995), Kasubdit Pengamanan Ideologi dan Politik Pada JAM Intelijen (1996-1997),
Asintel Kejati DKI Jakarta (1997-1998), Wakajati Maluku (1998-1999), Kajati Maluku (1999-
2000), Kajati Sulawesi Selatan (2000-2001), dan SESJAMPIDSUS (2001–2003).
Sosok pekerja keras ini pernah mendapatkan penghargaan Satya Lencana Karua Satya
XX Tahun 1997 dan Satya Lencana Karya Satya XXX 2003, kemudian diusulkan oleh Jaksa
Agung RI untuk bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2003.
Setelah memimpin KPK periode pertama, pada 2008 Tumpak diangkat sebagai Anggota
Dewan Komisaris PT Pos Indonesia (Pesero) berdasarkan Keputusan Meneg BUMN,
sebelumnya akhirnya dipilih oleh presiden untuk menduduki posisi pejabat sementara (Plt)
pimpinan KPK bersama Waluyo dan Mas Achmad Santosa.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pertanggung Jawaban Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999
            Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah; atau
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

B. Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan ketentuan undang-
undang nomor 31 Tahun 1999
            Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor
20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak
pidana korupsi adalah sebagai berikut.Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
1) Pidana Mati
            Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.

2) Pidana Penjara
1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1) 
2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara
atau perekonomian Negara (Pasal 3)
3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi
dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam
pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
3) Pidana Tambahan
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang
yang menggantikan barang-barang tersebut. 
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi. 
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. 
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. 
5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya
dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. 
6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo
undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya
pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. 
4) Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi
            Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal
ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-
(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai
berikut:
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan
dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut
diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan
dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.
5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap
dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal
pengurus atau ditempat pengurus berkantor.
            Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor
20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
2. Perbuatan melawan hukum;
3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian
BAB IV
PENUTUP
A.           KESIMPULAN
            Dari uraian pengertian dan penyebab korupsi di atas, dapat disimpulkan bahwa akibat
dari tindak pidana korupsi sangat luas dan mengakar. Adapun akibat dari korupsi adalah sebagai
berikut:
1. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah;
2. Berkurannya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat;
3. Menyusutnya pendapatan Negara;
4. Rapuhnya keamanan dan ketahanan Negara;
5. Perusakan mental pribadi;
6. Hukum tidak lagi dihormati.

B.           SARAN
Adapun yang menjadi saran penulis dalam penyusunan makalah ini yakni korupsi adalah
masalah besar di negeri ini yang harus di perangi bersama-sama guna mencapai kehidupan yang
jujur dan bersih. Karena dengan prilaku jujur dari masyarakat ataupun pemerintah akan
membawa negeri ini jauh lebih baik.
Dan untuk pertanggung jawaban pidana nya terdakwa harus menebus dan
mempertanggung perbuatan nya dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Dan apabila Negara
dirugikan maka harus mengganti kerugian Negara sesuai hukum yang telah di tetapkan dan
sesuai dengan putusan hakim.

Anda mungkin juga menyukai