Anda di halaman 1dari 12

A.

Definisi Korupsi
Kata korupsi bukanlah kata yang asing kita dengar, seperti yang kita ketahui, kasus
korupsi kerap hadir pada pemberitaan baik secara elektronik maupun cetak. Kasus korupsi
populer terjadi pada lembaga negara, daerah, maupun perusahaan-perusahaan yang ada di
Indonesia. Hal itu terjadi karena lembaga-lembaga tersebut menjadi sorotan masyarakat
umum.
Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengambil keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi, korupsi
merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi,
salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan
kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk
memperkaya diri sendiri. Korupsi menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
adalah kejahatan atau kesalahan, ataupun perbuatan-perbuatan yang bisa dikenai tindak
dan sanksi hukum.
Korupsi sudah berlangsung sejak zaman Mesir kuno, Babilonia, Roma, sampai abad
pertengahan, dan sekarang. Para pendeta pada zaman Mesir Kuno memeras rakyatnya
dengan alasan keharusan menyajikan kurban kepada para dewa. Jendral-jendral pada
zaman Romawi memeras daerah-daerah jajahannya guna memperkaya diri. Pada abad
pertengahan banyak bangsawan korup di istana-istana para raja di Eropa. Pada zaman
sekarang, di Amerika Serikat pun yang cenderung negara makmur masih banyak
ditemukan praktik-praktik korupsi dari orang-orang yang memiliki power. Dinamika yang
terjadi tersebut sedikitnya dapat memberikan gambaran bahwa begitu sulitnya melawan
dan memberantas praktik korupsi.
Untuk menyikapi maraknya kasus korupsi yang terjadi, pemerintahan Indonesia
menawarkan beberapa solusi untuk menahan laju prilaku koruptif yang mengalir sangat
deras dan tidak terhambatkan lagi antara lain:
1. Era Orde Lama
Pada priode kepemimpinan presiden Soekarno, untuk mengatasi kasus korupsi yang
mulai meluas dibentuklah Badan Koordinasi Penilik Harta Benda (BKHPBN) dengan
berlandaskan Peraturan Penguasa Perang Pusat untuk daerah Angkatan Darat
No.Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 dan Peraturan Perang Pusat Kepala Staff
Angkatan Laut No. Prt/Z.1/1/7 pada tanggal 17 April 1958
2. Era Orde Baru
Pada tanggal 17 Agustus 1970, Soeharto mengkritik kegagalan orde lama dalam
melakukan pemberantasan korupsi, hal ini disampaikan Soeharto pada saat pidato
kenegaraan, seiring dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai oleh
Jaksa Agung. Soeharto kembali berpidato pada tanggal 17 Agustus 1970, pemerintahan
orde baru mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda
maksimum 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.
3. Era Reformasi
Gerakan reformasi lahir pada tahun 1998 pada masa kekuasaan Abdurrahman Wahid.
Pada masa reformasi muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang pengelolaan
negara yang bersih dan bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk
badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi antara lain: Tim
Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional,
Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap
dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai
meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat itu karena banyaknya
BUMN yang ditenggarai banyak korupsi namun tak mampu dituntaskan, korupsi di
BULOG salah satunya. Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah,
pemerintahan Megawati kemudian membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
pada tahun 2002 berdasarkan Undang-undang No.30 tahun 2022. KPK bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya. Hal itu menjadi tawaran kepada rakyar Indonesia hingga saat ini.

B. Korupsi dan Modernisasi


Pemberian hak-hak monopoli dan macam-macam privilage oleh para penguasa (baik
yang ada di pusat maupun daerah), biasanya di perlicin dengan cara penyuapan atau
sogokan. Bertambahnya proyek-proyek pembangunan negara yang besar, menghasilkan
relasi-relasi yang akrab antara pemerintah dan kaum bisnis melalui kontrak-kontrak yang
mengandung tindak koruptif. Kontrak-kontrak hampir selalu diberikan kepada mereka
yang sanggup memberikan uang komisi yang paling tinggi atau diberikan kepada kalangan
atau relasi khusus (individu). Hal ini menyuburkan sistem sogok dan penyuapan.
Pada masyarakat yang tengah melaksanakan modernisasi, korupsi ini paling banyak
terjadi, biasanya korupsi ini bersamaan dengan pembangunan industri, perkembangan
sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru dan bersamaan pula dengan tampilnya
kelas-kelas baru yang banyak mengajukan tuntutan-tuntutan baru kepada pihak
pemerintahan. Pada zaman modernisasi banyak menciptakan praktik koruptif, sebabnya
adalah;
1. Modernisasi menimbulkan perubahan-perubahan nilai yang paling mendasar di
masyarakat, khususnya dalam hal norma-norma, harapan, prestasi, dan ambisi materil.
2. Modernisasi juga membuahkan korupsi karena morernisasi selalu menghasilkan
sumber-sumber kekayaan dan sumber-sumber kekuasaan baru, tanpa menyertakan
tegaknya lembaga-lembaga kontrol yang seimbang.
3. Modernisasi memungkinkan perluasan otoritas dan kekuasaan pemerintah, serta
melipatgandakan aktivitas-aktivitas pembangunan dan pengaturan yang semuanya
memberikan celah-celah kemungkinan bagi tindak korup serta penindasan penekanan
terhadap pihak yang lemah dan bodoh.
4. Pergeseran nilai-nilai dan norma-norma etis dalam periode transisional dan
modernisasi dengan perubahan-perubahan yang maha cepat jelas memunculkan
bentuk mentalitas baru, yaitu mentalitas ingin instan.
5. Di negara-negara berkembang termasuk juga Indonesia, modernisasi pada umumnya
tidak atau belum ditunjang oleh lembaga-lembaga politik, bahkan dibarengi dengan
melemahnya institusi-institusi politik. Hal itu terjadi karena institusi-institusi politik
tersebut sangat mudah dibeli pada zaman modernisasi.

C. Praktik-praktik Korupsi di Indonesia, Korupsi Dengan Latar Belakang


Masyarakatnya
Korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik, massif dan terstruktur sehingga bukan
sajamerugikan kondisi keuangan Negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak social dan
ekonomi masyarakat secara luas. Sesuai pendapat Lord Acton (John Emerich Edward
Dalberg Acton) dalam suratnyakepada Bishop Mandell Creihgton menulis sebuah
ungkapan yang menghubungkan antara Korupsi dengan Kekuasaan yakni “Power tends to
corrupt, and absolut Power corrupts absolutely” bahwa kekuasaan cenderung untuk
korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut.4 Ungkapan tersebut
adalah kondisi yang terjadi saat ini di Indonesia. Jika melihat perjalanan pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi saat ini, maka tidak dapat kita pisahkan dari peran penting
Lembaga Peradilan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Hakim sebagai penegak hukum mempunyai tugas pokok di bidang yudisial, yaitu
menerima, memeriksa, memutusakan dan menyelesaiakan setiap perkara yang ditujukan
kepadanya, tugas seperti itu dapat dinyatakan bahwa Hakim merupakan pelaksanaan inti
yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Barda Nawawi Arief mengemukakan gagasan tentang konsep kekuasaan dalam arti luas
yaitu “Kekuasaan negara untuk menegakan hukum dan keadilan demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia”,dengan pengertian seperti ini, maka kekuasaan
kehakiman tidak hanya berarti “kekuasaan mengadili” (kekuasaan menegakan hukum
dalam seluruh proses penegakan hukum).
Sesuai pernyataan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia
Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan berdasarkan data ICW, rata-rata
koruptur hanya divonis 2 Tahun dan 9 Bulan, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. ICW melakukan pemantauan selama semester I
2014 terhadap 210 kasus korupsi dengan 261 terpidana, ICW membagi 4 kategori vonis
Pengadilan Tipikor, yakni vonis bebas, vonis ringan antara 1-4 Tahun, vonis sedang untuk
4-10 Tahun, dan vonis berat untuk hukuman 10 tahun keatas. Berdasarkan data tersebut,
sebanyak 73,94% koruptor divonis ringan, 16,86% koruptor divonis sedang, 1,53%
koruptor divonis berat dan 7,67% koruptor divonis bebas. Karena itu, lanjut Emerson
Yuntho, pihaknya meminta Mahkamah Agung untuk menunjukan keseriusanya menindak
tegas pelaku korupsi dengan membuat surat edaran (SE) Mahkamah Agung atau Instruksi
Ketua Mahkamah Agung agar Hakim menjatuhkan putusan maksimal terhadap pelaku dan
pemiskinan melalui denda atau uang pengganti yang tinggi sesuai kesalahan. Selain itu
perlu divonis berat sebanyak pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak politik, dana
pensiun dan status kepegawaian bagi koruptor yang terbukti bersalah.
Koordinator badan pekerja ICW Danang Widoyoko dijakarta, mengungkapkan hal
senada menilai rendahnya putusan Hakim terhadap pelaku tindak korupsi menunjukan
kesadaran Hakim, bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan dapat
menghancurkan kehidupan berbangsa, masih rendah pula. Hal itu dapat terjadi karena para
Hakim juga dibesarkan atau dibentuk di lingkungan peradilan yang banyak melakukan
praktik korupsi sehingga cenderung permisif terhadap praktik korupsi. Kesadaran Hakim
bahwa korupsi merupakan kejahatan extra ordinary crime belum ada sehingga hukumanya
ringan-ringan saja sehingga diskriminatif dengan kejahatan biasa, seperti pelaku pencurian
atau perampokan yang mendapat hukuman tinggi. Hakim harus berpikir bahwa Putusanya
akan membawa efek jera terhadap tindak pidana korupsi. Putusan Hakim yang tidak
membawa efek jera memiliki andil menjerumuskan Bangsa Indonesia dalam kegelapan.
Pemidanaan terhadap penegak hukum yang melakukan korupsi, semestinya maksimal dan
lebih berat ketimbang pelaku biasa yang bukan penegak hukum supaya ada fungsi
prevensi.Hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi tampak berlawanan arah dengan
efek jera sebagaimana dimaksudkan adanya hukum positif di dalam undang-undang. Salah
satu penyebabnya, dan ini sering menjadi bahan“gerundelan publik” adalah hukuman yang
dijatuhkan Hakim bagi parakoruptor dipersepsikan belum sebanding dengan kejahatan luar
biasa tersebut.

D. Korupsi Akibat Iklim Politik yang Tidak Sehat


Revolusi fisik tahun 1945-1950 disusul dengan periode perlementer pada tahun 1950-
1958 para partai politik memegang peranan penting dalam penentuan haluan negara dan
jalannya pemerintahan. Pada saat itu persaingan antar partai semakin sengit dalam
mengontrol laju negara hingga ada di titik persaingan antar partai tersebut tidak wajar dan
tidak sehat lagi. Politik yang tidak sehat itu memberi jalan terhadap praktik penyuapan,
intimidasi, taktik kekerasan dan pemalsuan hasil pemilihan umum agar bisa memenangkan
wakil partainya untuk duduk di kursi pemerintahan Indonesia. Dengan banyaknya wakil
partai yang duduk di kursi pemerintahan tersebut akan semakin banyak juga kas yang akan
masuk untuk partai politik tersebut.
Pada tahun 1957-1965 terjadi krisis nasional yang disebabkan oleh perang konsepsi
dari para partai politik yang sedang berkompetisi. Dalam kondisi krisis tersebut, semua
energi dipusatkan pada perjuangan partai, segala cara dilakukan demi memenangkan partai
politik yang dia bela. Hal ini menimbulkan praktik-praktik korupsi menjadi semakin
merajalela. Hal itu memperlihatkan bahwa kelemahan total dari sistem kepartaian di
Indonesia.
Gagalnya demokrasi parlementer dengan sistem malpartai dicoba diatasi dengan
sistem Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno pada tahun 1959-1965 dengan harapan
mampu menciptakan kehidupan demokrasi dan mekanisme pemerintahan yang sehat.
Akan tetapi, Demokrasi Terpimpin tidak bisa menenangkan keadaan karena Soekarno
mempraktikkan sistem balance of power guna mempertentangkan partai-partai yang satu
melawan lainnya, akubatnya semakin meruncingnya rivalitas antar partai dan semakin
membesarnya aspirasi-aspirasi politik yang tidak sehat.
Kekuasaan mutlak Sorkarno tidak ada batasannya, tidak ada orang yang berani
mengontrol dan mengajukan kritik terhadap keputusan-keputusan yang dibuat. Oleh
karena itu timbul lah favoritisme dengan jalan menghadiahkan jabatan dan kedudukan
tinggi kepada anak-anak emas yang disukai. Praktik-praktik tersebut memunculkan sistem
nepotisme yaitu pemerintahan keuarga dengan jalan menempatkan keluarga dan kawan
sendiri sebagai pejabat atau pemerintah negara.

E. Sudut Pandang Sosiologi Tentang Tindak Pidana Korupsi


Perspektif struktural fungsionalisme memandang bahwa menjamurnya praktek
korupsi di Indonesia merupakan tanda disfungsinya hukum dalam menciptakan tujuannya
yakni mewujudkan kepatuhan hukum dan keteraturan di masyarakat. Peraturan undang-
undang sebagai produk hukum tentu tidak berjalan sendiri dalam implementasinya, hukum
melibatkan para penegak hukum, maka para penegak hukum ini turut memegang kunci
suksesnya hukum di masyarakat sebab menurut kaum fungsionalisme, keteraturan tercipta
karena berfungsinya unsur-unsur yang saling terhubung satu sama lain, maksud dari unsur
yang saling terhubung adalah kerja sama antara KPK, masyarakat, dan lembaga hukum
lainnya dalam menegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Jika kita melihat kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, rata-rata pelaku korupsi
adalah masyarakat kelas atas atau masyarakat yang memiliki power terhadap
kehidupannya baik secara bermasyarakat maupun bernegara. Hal ini menarik jika kita
bahas dengan meminjam istilah dalam sosiologi yaitu sosialisasi tidak sempurna dalam
konteks kajian sosiologi hukum, dapt diartikan bahwa hukum dapat diartikan sebagai
media dan sumber sosialisasi tidak dapat memenuhi tugasnya dikarenakan terjadi
disfungsi peran dan status para aparat penegak hukum yang bertanggung jawab sebagai
agen sosialisasi. Jika kita lihat dengan konsep determinasi stratifikasi, maka kasus korupsi
cenderung melibatkan individu-individu yang berada di lapisan sosial atas, hal ini didasari
dengan tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, dan status sosial yang melekat pada pelaku
korupsi. Hal itu terjadi karena keserakahan dan melemahnya integritas diri.
E. Korupsi dan Administrasi yang Simpang Siur
Korupsi merupakan salah satu patologi yang dilakukan oleh para pegawai aparatur
sipil negara (ASN) yang telah menyalahi wewenang atas kekuasaan yang mereka miliki.
Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu
jabatan, sehingga karakteristik kejahatan korupsi selalu berkaitan dengan penyalahgunaan
kekuasaan dalam perspektif kejahatan yang terorganisir. Banyak hal yang menyebabkan
kinerja administrasi yang simpang siur seperti nepotisme sehingga menyebabkan dalam
pelayanan publik tidak stabil. Banyaknya lembaga administrasi, mulai dari komisi
lembaga-lembaga, tim-tim dan dinas-dinas di bawahnya hal ini menyebabkan birokrasi
dan ketidakadilan. Sistem kepegawaian pemerintah yang dijalankan oleh pegawai tidak
dipilih rakyat secara langsung, membuka ruang penyelewengan, penyogokan dan korupsi.
Totalitas kepegawaian bahkan bisa dimanipulasi dengan tumpukan uang-uang haram demi
sesuap nasi.
Dalam permasalahan yang terjadi didalam administrasi negara dapat terbagi menjadi
beberapa bentuk yang dikutip didalam artikel (Ali and Rao, 2000) yang berjudul
“ReinventingPublicAdministration For 21 Century”, dalam buku Reformasi Administrasi
Publik yang ditulis Agus Handrayady, S. Sos., M. Si. Bahwa yang sering terjadi adalah
Bureaucratisation dan PublicMaladministration. Bureaucratisation menjelaskan bahwa
dalam hal ini birokratisasi merupakan patologi dalam administrasi publik. Birokrasi yang
dimaksud diasumsikan dengan hal yang negatif dengan indikasi ketidakefektifan, korupsi
dan tidak responsif dalam sebuah organisasi pemerintah. Sedangkan
PublicMaladministration dikenal dengan tidak berfungsinya administrasi publik. Etika
pejabat negara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih mempunyai kedudukan
yang penting. Sebagai pedoman moral dalam menyelenggarakan tertib pemerintahan,
maka, etika pejabat negara menjadi rujukan dalam berperilaku sehingga upaya
menciptakan pemerintahan yang bersih pun akan lebih mudah tercapai. Sebaliknya,
pelanggaran terhadap etika tersebut akan memunculkan perilaku buruk bahkan dapat
menyebabkan terjadinya pelanggaran pidana. Dengan kata lain, praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh pejabat negara adalah merupakan pelanggaran
etika. Kebocoran ini dapat disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang miskin, kondisi
pelayanan publik yang buruk, kekuasaan sewenang-wenang dari para pejabat publik.
Pejabat Pemerintah melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin untuk bisa
menyejahterakan rakyatnya. Sesuai dengan fungsinya, dalam hal ini Pejabat Pemerintah
yang seharusnya melaksanakan fungsi dari Pemerintahan itu sendiri apabila
menyalahgunakan kewenangan dalam jabatannya akan sangat menimbulkan kerugian bagi
negara. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat aturan larangan penyalahgunaan
wewenang pejabat pemerintahan. Misalnya, yang akan berdampak langsung dengan nasib
rakyat yang akan menjadi terganggu kehidupannya terkait dengan perekonomian dan
sosial. Hasil pajak-pajak yang telah mereka bayar apabila dana yang sudah terkumpul
tersebut malah disalahgunakan oleh Pejabat Pemerintahnya itu sendiri. Hal ini menjadi
sangat tidak sesuai dengan apa tugas dan fungsi Pejabat Pemerintah dengan mempunyai
kekuasaan tersebut. Menjadi seorang Pejabat Pemerintah, alangkah baiknya bisa
menyejahterakan rakyatnya untuk selalu menjalakan tugasnya dengan jujur dan tidak
terpengaruhi oleh apa pun dan siapa pun dengan tidak pernah mengharapkan imbalan
berupa apa pun walaupun dirinya bisa melakukan hal tersebut karena jabatan atau posisi
yang dimilikinya. Tujuan penelitian ini yakni untuk bisa menyadarkan generasi penerus
bangsa yang ingin bercita-cita ingin menjadi seorang Pejabat Pemerintah agar tidak
melakukan hal-hal atau tindakan di luar kapasitas kewenangannya maupun seorang yang
telah memiliki kekuasaan tersebut. Pada akhirnya birokrasi pemerintah tidak lagi formal
dan legalistik lagi, sebab sebagai aparatur pemerintah yang harus mengabdi kepada rakyat
pada kenyataan konkret tidak lagi loyal terhadap konstitusi dan konvensi (kesepakatan).
Pada dasarnya birokrasi tidak terlepas dari kekuasaan dan wewenang. Birokrasi adalah
aktor penting dalam tata kelola pemerintah, birokrasi adalah lembaga yang besar dalam
struktur pemerintah, dengan kekuasaan yang besar itu sangat mudah untuk disalahgunakan
salah satu nya korupsi.
F. Infiltrasi Bisnis ke dalam Pemerintahan
Korupsi itu berkembang paralel dengan pesatnya kemajuan dibidang ekonomi,
usaha, dan perdagangan. Kemudian ditambah lagi dengan kebutuhan yang meningkat di
sektor transportasi, pertanian, dan irigasi, pendidikan dan kesejahteraan rakyat,
pembangunan industri-industri berat, yang semuanya memerlukan budget miliaran,
memberikan kesempatan bagi kaum koruptor untuk ikut meraup keuntungan dalam
kesibukan pembangunan tersebut.
Presiden Soekarno yang memperkenalkan konsep “Ekonomi Terpimpin”, sehingga
menjadi cikal bakal meluasnya secara besar-besaran dan ketika itu perusahaan swasta
asing diambil alih oleh negara dan pjabat sipil serta pejabat militer dibiarkan mengurus
proyek-proyek nasional yang sesungguhnya tidak profesional dan tidak lazim dengan
tugas mereka.
G. ABRI dan Masalah Korupsi
ABRI dan peranannya Di Masa Pemerintahan Orde Baru Tahun 1965-1998
menyebutkan, bahwa awal mula muncul konsep dwifungsi ABRI dicetuskan oleh Abdul
Haris Nasution pada tanggal 12 November 1958 pada peringatan ulang tahun Akademi
Militer Nasional (AMN). Hal ini dilatar belakangi oleh rasa nasionalisme yang tinggi pada
perwira anggota ABRI sehingga mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk
melibatkan diri dalam politik dengan tujuan menyelamatkan bangsa. Dwifungsi ABRI
seperti namanya dwifungsi atau yang berarti dua fungsi ABRI memiliki dua fungsi yang
berbeda.
Dwifungsi ABRI adalah fungsi tempur dan fungsi pembina wilayah atau pembina
masyarakat, atau sederhananya dapat disebut sebagai kekuatan militer negara pada
pengatur pemerintahan negara. Sehingga anggota ABRI mendapatkan jatah kursi di MPR
dan DPR tanpa bersusah payah mengikuti pemilu.Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) menetapkan Dwifungsi ABRI di bawah kepimpinan Soeharto dalam
ketetapan MPRS No II Tahun 1969. Dampak dari adanya dwifungsi ABRI adalah
berkurangnya jatah warga sipil dibidang pemerintahan karena banyaknya anggota ABRI
yang mendominasi pemerintahan, dan membuat sistem pemerintah di Indonesia pada masa
itu tidak menjadi transparan.
Dwifungsi memang tidak layak diterapkan dan layak dihapuskan dalam sistem
demokrasi Indonesia yang berlandaskan supermasi sipil. Dengan begitu sistem
demokrasi di negara kita benar-benar berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat. Pada dasarnya ABRI cenderung digunakan sebagai alat penguasa untuk
melanggengkan kekuasaan yang bersifat otoriter.
I. Tanggapan Pemerintah dan Rakyat Terhadap Korupsi
Penilaian Pemerintah terhadap kasus korupsi sangat serius mengingat bahwa
pemberantasan korupsi KPK dan aparat belum baik. Di era orde baru para
mahasiswa sangat sensitif dan mengutuk tindakan korupsi yang merugikan negara.
Dengan hal tersebut rezim pada masa tersebut merespon dengan meluncurkan tim
pemberantasan korupsi yaitu Komisi Empat dan OPSTIB (Operasi Tertib). Pusat
dan Daerah. Tugasnya memeriksa peristiwa korupsi, baik yang terjadi di Daerah
maupun di pusat pemerintahan.
Penilaian lazim dilakukan oleh masyarakat terhadap tindakkan korupsi yang
tekah berkembang dan menjalar ke segala segi dan lapisan masyarakat, dan
dilakukan oleh pejabat publik. Dimana sikap masyarakat terhadap perbuatan korupsi
tidak memuji dan membencinya, jika perbuatan korupsi tidak dilakukan tindakan
tegas dari pemerintah dengan pengenaan sanksi berat dapat merusak dan bahkan
menghancurkan masyarakat serta melemahkan usaha mewujudkan kesejahteraan
rakyat yang berkeadilan sosial.
5. Saran-saran Penanggulangan Korupsi.
Dalam mengatasi kasus korupsi yang ada di Indonesia yang sudah berakar dan
beruratdalam lapisan masyarakat, perlunya koordinasi dan partisipasi segenap
lapisanmasyarakat. Berikut beberapa saran penanggulangan korupsi diantara-Nya
sebagai berikut:
1. Adanya kesadaran masyarakat untuk ikut memikul tanggung jawab, dalam hal
partisipasi politik dan kontrol sosial, menghilangkan rasa sikap acuh tak acuh.
2. Mengutamakan kepentingan Nasional diatas kepentingan pribadi, menanamkan nilai
kejujuran serta pengabdian kepada bangsa dan negara, melalui sistem pendidikan
formal, non formal dan pendidikan agama.
3. Para pejabat negara seharusnya bisa memberikan teladan kepada masyarakat melalui
kehidupan sederhananya.
4. Perlunya sanksi dan kekuatan untuk menindak tindak kasus korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalitas dari organisasi pemerintahan di mana adanya
penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan-jawatan sebawahannya.
6. Adanya penerimaan pegawai sesuai apa yang telah dihasilkan (Achievemnt) dan
keterampilanteknis. Dan bukan karena penerimaan berdasarkan penentuan sebabnya
(ascription).
7. Gaji yang memadai bagi para pegawai-pegawai negeri dan jaminan masa tua,
sehingga dengan gaji yang memadai tersebut memanimalisir tindakan korupsi. Dan
jika memang masih korupsi perlu tindakan yang sekeras-kerasnya.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur. Karena jika ada seseorang atau
pejabatkhususnya yang tidak jujur itu kebaikannya hanya baik berkedok kebaikan,
untuk menutupi ketidak jujurannya. Karena jika pejabat sudah tidak jujur energinya
hanya untuk menutupi ketidak jujurannya, karena setiap kebohongan itu takut
ketahuan harus mencari kebohongan lagi nah bohongnya itu juga harus di tutuppin
bikin lagi kebohongan. Jadi intinya orang atau pejabat yang tidak jujur tidak akan
kerja selain pekerjaannya membuat kebohongan.
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis
tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok
dengan pengenaan pajak yang tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Handrayady, Agus. (2021). Reformasi Administrasi Publik. Media Sains Indonesia
Bandung-Jawa Barat.
Sumanto, RB. Sudarto dan Sudarsana. (2014). Pemahaman Masyarakat Tentang
Korupsi. JurnalYustisia.
Hardayanto, M. Fajar. (2015), Kepemimpinan Dan Korupsi (Simbiosis
Mutualisme). Al-Mawarid Edisi XIII.
Mustopa, Zaenal., Sururie, Ramdhani., & Fu’adah, Tsamrotul (2021). Korupsi Dalam
Perspektif Sosiologi Hukum. Hermeneutika, Vol 5, No 2.
Rahardjo, Satjipto. (2010). Sosiologi Korupsi. Yogyakarta: Genta Publishing.
Pendidikan Sosiologi angkatan 2019 Untirta. (2022). Sosiologi Korupsi. Bandung: Media
Sains Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai