20 MARET 2023 SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA Sejarah Korupsi di Indonesia (Bagian 1-10)
Sejarah korupsi di masa kolonial
Di Indonesia korupsi dapat kita telusuri sejak masa sebelum kemerdekaan bahkan akar kulturalnya bisa kita telusuri sejak masa pra kolonial. Sejarawan asal Inggris Petter Carry dalam bukunya bahwa pada masa pangeran Diponegoro, korupsi ini dilakukan oleh Adipati Danurejo yang memiliki perangai yang buruk. Ia seringkali merampas tanah milik rakyat dan menjualnya dengan harga murah kepada company, yang dimana hal ini membuat pangeran Diponegoro marah besar. Kemarahannya ini dokumentasikan oleh Adipati Tjojodiningrat dalam bentuk sebuah lukisan yang menggambarkan pangeran Diponegoro sedang memukul Danurejo menggunakan sepatu. Korupsi pada masa pra kolonial tidak hanya terjadi pada masa Pangeran Diponegoro sejarawan Ong Hok Ham menuliskan bahwa pada masa perang kolonial para petani seringkali menjadi korban penyelewengan pajak. Para pemungut pajak kerap sekali menghubungkan jumlah yang harus dibayarkan, hal ini berkaitan dengan para raja atau Adipati Harus membayarkan upeti kepada raja penakluk. Upeti merupakan tanda - tanda kesetiaan yang dilakukan oleh Adipati. Pada novel yang ditulis oleh Multatuli pada tahun 1860 dengan judul Max Havelaar Lelang Kopi Perusahaan Belanda. Multatuli sendiri merupakan nama samaran dari Douwes Dekker. Max Havelaar bercerita tentang bagaimana pemerintah kolonial Belanda sengaja membiarkan pemerintah tradisional untuk berlaku koruptif, hal ini bertujuan untuk mempermudah pemerintah kolonial Belanda mengeruk negara jajahan dan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. SejDi Masa kolonial juga kita bisa belajar korupsi melalui VOC. Sebelumnya VOC memiliki masa kejayaan, yang pada akhirnya bangkrut karena korupsi. Awal mulanya kepanjangan VOC adalah Vereenigde Oostindische Compagnie menjadi Vergaan Onder Corruptie artinya yaitu hancur karena korupsi). Pemerintah kerajaan Belanda mengutus jenderal-jendral Daendels tujuannya untuk mengubah birokrasi patrimonial menjadi demokrasi modern yang sesuai hukum atau rule of Law. Namun dalam kenyataannya hukum tersebut hanya berlaku untuk aparat kolonial sedangkan masyarakat ditindas dan diperas habis-habisan bahkan Jenderal Daendels sendiri pun melakukan tindakan korupsi.
Korupsi Pada Masa Orde Lama
Korupsi masih terus membayangi Indonesia pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 jabatan dan urusan-urusan yang muncul dalam pemerintahan justru makin menyuburkan praktik korupsi keadaan ini diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan gaji yang layak bagi pegawai sipil dan tentara. Hal yang biasa dilakukan para tentara misalnya para komandan menyelundupkan barang dari luar negeri dengan tujuan untuk menopang kesejahteraan anak buahnya. Sejumlah kasus korupsi dilakukan oleh menteri dan pejabat sipil lainnya pada masa pemerintahan Soekarno. Pada kenyataannya korupsi yang dilakukan oleh partai politik itu bukanlah hal yang baru, salah satu skandal korupsi yang terjadi saat itu melibatkan seorang politisi dari Partai Nasional Indonesia atau PNI yakni Iskaq cokroadisuryo Iskak merupakan mantan menteri perekonomian pada masa Ali Sastroamidjojo yang divonis bersalah karena telah memberikan lisensi impor kepada kerabat dekatnya. Mr Djody Gondokusumo terbukti menerima suap dari seorang pengusaha Hongkong yang bernama Gong Kim Song, dimana Kusumo terbukti menerima suap sebesar 40.000, sisa uang tersebut digunakan oleh Djody Gondokusumo untuk membiayai partai yang dipimpinnya. Dari masa orde lama kita dapat mencatat bahwa partai yang berbasis agama tidak kebal terhadap korupsi. Yusuf Wibisono dari partai Masyumi akhirnya ditahan oleh tentara karena terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang atas lisensi kredit pada masa orde lama korupsi pun terjadi di sejumlah BUMN misalnya kasus Pertamina yang melibatkan Ibnu Sutomo lembaga pemberantas korupsi di bawah Jenderal A. H Nasution gagal melakukan penyidikan korupsi dalam kasus tersebut karena adanya intervensi politik dari presiden Soekarno saat akan diperiksa diketahui bahwa Ibnu Sutowo sudah pergi ke luar negeri.
Bagaimana Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Lama
Pada masa orde lama, aktor - aktor yang terlibat dalam korupsi sebagian besar adalh politisi, pengusaha yang dekat dengan lingkar kekuasaan atau pejabat yang mengelola BUMN. Korupsi yang telah ada pada orde lama membuat Bung Hatta menyatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya yang terjadi di Indonesia yang menunjukkan keprihatinan.Pada orde lama, Jenderal A. H. Nasution merupakan salah satu pejabat militer yang melakukan langkah serius dalam memberantas korupsi. Jenderal Nasution mengesahkan Peraturan Penguasa Perang Kepala Staf Angkatan Darat No. 013 Tahun 1958 yang kemudian diubah menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Pengesahan, dan Pemberantas Tindak Pidana Korupsi. Aturan tersebut kemudian dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dan Operasi Budi. Kedua kebijakan tersebut dibentuk untuk menekan tingkat korupsi yang semakin tinggi pada masa orde lama. Jenderal Nasution oleh beberapa ahli hukum dianggap sebagai bapak korupsi di Indonesia. Adanya peraturan tersebut berhasil membuat aparatur negara berhasil dijerat hukum. Namun, usia PARAN dan OPERASI BUDI tidak berlangsung lama. PResiden Soekarno membubarkan kelompok tersebut dikarenakan dianggap mengganggu presdis dirinya. Agenda pemberantasan korupsi pada masa orde lama semakin lama semakin terkubur setelah Presiden Soekarno mengumumkan konfrontasi dengan Malaysia. Dapat dikatakan bahwa politik orde lama telah memupus harapan pemberantasan korupsi yang telah direncanakan oleh A. H. Nasution.
KORUPSI PADA MASA ORDE BARU
Puncak korupsi di Indonesia pada orde baru memunculkan di bawah kepemimpinan rezim Soeharto. Transparansi internasional menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup pada masa itu. Indonesia berada di posisi paling buruk di Indeks Persepsi Korupsi dari 41 negara yang di survei. Transparansi Internasional mencatat harta kekayaan Soeharto mencapai 50 milyar yang kemudian menempatkan Soeharto sebagai Presiden Terkorup di dunia yang mana Presiden kedua terkorup ditempatkan oleh Presiden Ferdinan. Di depan anggota DPR MPR, tanggal 16 Agustus 1967 Soeharto mengatakan bahwa orde lama tidak mampu memberantas korupsi, oleh karena itu kebijakan ekonomi dan politik hanya mampu berpusat di istana. Soeharto juga menyatakan tekadnya untuk membasmi korupsi sampai ke akarnya dan berbicara lain. Bumi minyak pada awal 1970 dianggap sebagai puncak emas bagi pemerintahan orde baru untuk mengejar berbagai ketinggalan akibat ketidakstabilan politik pada masa orde lama. Usaha minyak membuat Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi 13% / tahun. Namun, itu juga justru membuka peluang pesat untuk korupsi. Salah satu korupsinya yakni memaksa Pertamina untuk melakukan usaha ekspor impor melalui keluarga Soeharto. Tidak heran bilamana pada pertengahan tahun 1970-an Pertamina mengalami kebangkrutan dengan kerugian mencapai 10 miliar dolar. KKN tumbuh subur seiring dengan semakin besar kepentingan bisnis Keluarga Soeharto dengan koloni - koloninya. Salah satu koloninya, Suwiryo memakai kekayaan pemerintah yang membuatnya menjadi seorang konglomerat paling berkuasa pada masa itu. Melalui campur tangan istrinya, bisnis ibu tiri Soeharto dan keluarga Cendana mengalami perkembangan pesat. Anak bungsunya, Tommy Soeharto mendapat berbagai fasilitas untuk mengembangkan bisnisnya termasuk proyek mobil nasional dan juga monopoli perdagangan cengkeh. Soeharto juga memupuk kekayaan dan pengaruhnya melalui sejumlah yayasan yang dibuatnya. Soeharto membuat kebijakan kepada bank - bank negara agar menyisihkan 2,5% sumbernya sebagai sukarela. KKN yang terjadi dipertontonkan secara telanjang di istana dengan melanda seluruh birokrasi baik sipil maupun militer. Urusan kehidupan juga tidak bebas dari korupsi karena melibatkan kehidupan rakyat jelata. Presiden Soeharto membentuk berbagai macam aturan dan komisi untuk memberantas korupsi. Namun, sayangnya semua kandas di tengah jalan dan menjadi pemanis bibir belaka. Puncaknya terjadi pada tahun 1997 yang membuat Presiden Soeharto harus mundur selama berkuasa 32 tahun. Kejatuhan Soeharto ditandai dengan terjadinya konflik dan kerusuhan dimana - mana. Bahkan, kondisi tersebut masih terjadi sampai beberapa tahun setelahnya. Pada masa itu terjadi infrastruktur yang rusak, hukum tidak berwibawa, bansos menjadi mahal, konflik dimana - mana. Di masa orde baru, korupsi berhasil menempatkan Indonesia sebagai negara yang gagal di dalam deretannya. PEMBERANTASAN KORUPSI PADA ERA BARU Pada masa orde baru, Presiden Soeharto menjadi pemimpin dalam pemberantasan korupsi. Era orde baru, berbagai macam inisiatif dan peraturan antikorupsi mulai dikeluarkan. Diantaranya adalah GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur Yang Berwibawa dan Bersih dalam Pengelolaan Negara. 5 tahun kemudian, MPR mengeluarkan GBHN 1978 tentang Kebijakan Dan Langkah - Langkah Dalam Rangka Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran, Pemborosan Kekayaan dan Keuangan Negara, Pungutan - pungutan liar, serta berbagai bentuk penyelewengan lainnya yang menghambat pelaksanaan pembangunan. Selain itu, pada masa orde baru, ada UU yang dikeluarkan untuk mencegah dan memberantas korupsi. 1. UU No. 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi 2. Inpres No. 9 Tahun 1977 Tentang Operasi Penertiban Korupsi 3. UU No. 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap Korupsi Lahirnya berbagai regulasi tersebut menandakan bahwa pemerintah orde baru memiliki keinginan serius untuk memberantas korupsi. Bukannya menurunkan korupsi yang menjadi masalah besar, pemerintah justru memicu korupsi yang lebih parah di Indonesia. KKN telah mewarnai kebijakan ekonomi orde baru. Pada masa orde baru, oposisi ditiadakan, suara kritis masyarakat dibungkam, media massa sering mendapat ancaman. Akibatnya, pemerintahan Soeharto di era orde baru semakin otoriter. Berbagai UU antikorupsi yang sudah dibuat nyaris tidak ada giginya karena harus mengalah dengan ambisi keluarga dan kroni Soeharto yang ingin memupuk kekayaan dan memusatkan kekuasaan. Korupsi akhirnya membuat ekonomi Indonesia semakin terpuruk yang mana puncaknya pada 1997 yang mana terjadi krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang terjadi kemudian menyebabkan harga bahan pokok melambung tinggi dan tidak dapat terjangkau oleh rakyat. Krisis ekonomi ini melahirkan gelombang gerakan masyarakat yang lahir pada tahun 1998 di berbagai kota untuk melengserkan presiden Soeharto dan perlu untuk diadili beserta dengan kroni - kroninya.Oleh karena itu, presiden Soeharto berhasil dilengserkan.
PEMBERANTASAN KORUPSI DI ERA REFORMASI
Era reformasi ditandai dengan jatuhnya era orde baru yang mana Presiden Soeharto turun dari jabatan dan berbagai macam tuntutan yang digaungkan oleh gerakan mahasiswa. Salah satu tuntutan gerakan mahasiswa 1998 adalah pemberantasan korupsi di Indonesia sampai tuntas. Karena, menurut para mahasiswa mengapa Indonesia kemudian jatuh dan bangkrut secara ekonomi tidak lain salah satu faktornya adalah masalah korupsi yang merugikan di era orde baru. Tampilnya B.J Habibie sebagai presiden reformasi memberikan ruang yang begitu besar yang ditandai dengan berbagai macam regulasi, aturan, dan mengacu pada ketetapan MPR tahun 1998 disana dijelaskan bagaimana upaya- upaya pemberantasan korupsi dasar, ketentuannya telah diletakkan secara lebih baik di era habibie. Salah satu poin penting pada ketetapan MPR tahun 1998 adalah point yang terkait dengan keseriusan negara dalam upaya menegakkan sekaligus menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Di dalam ketetapan tersebut, bahkan masuk satu pasal yang menuntut agar penegak hukum melakukan upaya - upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum kepada keluarga Soeharto dan kroni - kroninya. Ini menjadi upaya yang besar karena pada era presiden Soeharto, tidak mungkin ada aturan yang menuntun adanya hukuman terhadap keluarga Soeharto dengan kroninya secara hukum karena telah melakukan korupsi. Ketetapan MPR tahun 1998 juga memperkuat legal framework antikorupsi di Indonesia salah satunya adalah lahirnya UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dari KKN. UU ini melandasi berbagai macam regulasi turunannya di kemudian hari dan kemudian ketetapan MPR ini melahirkan suatu regulasi baru tentang pemberantasan korupsi yaitu UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana KOrupsi. Sebenarnya dengan ketetapan MPR ini, yang kemudian lahir dua UU baru yang menjadi landasan besar sebagai upaya pemberantasan korupsi yang lebih efektif di era reformasi, maka sebenarnya setelah UU No. 28 tahun 1999 dan UU No. 31 Tahun 1999 itu lahir berbagai macam ketentuan dan aturan turunannya bermunculan. Dari sinilah upaya korupsi dimaknai sebagai usaha politik yang lebih serius
PEMBERANTASAN KORUPSI DI ERA REFORMASI (2)
UU No. 28 Tahun 1999 dan UU No. 31 Tahun 199 Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dari KKN melahirkan lembaga pertama yaitu Komisi Pemeriksaan Kekayaan Negara (KPKPN). Disadari bahwa periode sebelumnya memang terdapat lembaga anti korupsi yang bersifat ad hoc. KPKPN ini dibentuk berdasar pada UU No. 28 Tahun 1999 yang mewajibkan dibentuknya lembaga baru. Lembaga ini memang didesain sejak awal untuk menjadi suatu institusi yang bertugas melakukan pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara. Dalam UU No. 28, dijelaskan bagaimana UU ini mengatur tentang kewajiban pejabat publik untuk melaporkan kekayaan mereka baik sebelum menjabat, ketika menjabat, dan sesudah menjabat. Ketiga laporan ini diperiksa oleh KPKPN. Selain memeriksa, tugas KPKPN sekaligus melakukan pemeriksaan dan penyelidikan atas indikasi korupsi dan laporan korupsi, sekaligus menerima laporan masyarakat atas indikasi terjadinya praktik korupsi. Lembaga lain yang lahir pada era reformasi awal adalah ketika presiden Gus Dur berkuasa, era Gus Dur melahirkan lembaga baru bernama Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Lembaga ini dibawah naungan langsung presiden dan komposisi anggotanya merepresentasikan mewakili 3 elemen negara sekaligus, yaitu : - Mewakili pemerintah - Mewakili aparat penegak hukum - Mewakili masyarakat Asumsi dengan tiga komposisi ni, TGPTPK lebih merepresentasikan aspirasi masyarakat terkait upaya pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi bukanlah suatu upaya yang mudah yang mana ini dibuktikan dari eksistensi TGPTPK yang hanya memiliki waktu kurang lebih dari 1 tahun berdiri. Ketika tim ini melakukan penyelidikan terhadap indikasi korupsi terkait suap yang diterima oleh hakim agung di MA, tiba - tiba lembaga ini dibubarkan oleh MA. Kesulitan pada upaya pemberantasan korupsi di era reformasi salah satunya yakni disebabkan karena masih banyaknya orang - orang dan lingkaran presiden Soeharto yang tercokol di lembaga, badan pemerintahan yang mana tidak ikut tersapu dengan upaya - upaya reformasi yang digaungkan oleh mahasiswa. Mereka lah yang menjadi salah satu faktor arus balik upaya pemberantasan korupsi di era reformasi awal pemerintahan masa transisi, termasuk dengan presiden Megawati yang menggantikan posisi Gus dur. Pada tahun 2002 tepatnya, di bawah pemerintah Megawati, lahir UU 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau KPK. KPK merupakan lembaga antikorupsi di era reformasi yang memiliki keistimewaan, yaitu KPK memiliki kewenangan yang cukup besar. KPK juga didesain sebagai lembaga antikorupsi yang bersifat independen dari seluruh cabang kekuasaan yang ada di Indonesia. Eksistensi KPK yang sudah mencapai 1 tahun di Indonesia telah memberikan harapan. PEMBERANTASAN KORUPSI DI ERA REFORMASI (3) Upaya pemberantasan korupsi KPK berhasil dilakukan dengan sangat baik, kemudian mendorong pencarian publik kepada KPK yang sangat tinggi. Di balik upaya penegakan hukum yang keras terhadap pejabat publik, juga telah menimbulkan efek yang tidak diharapkan, Itu adalah serangan balik. serangan balik terhadap KPK sudah dimulai sejak adanya KPK yang telah menangani kasus korupsi secara besar seperti kasus BLBI yang merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan BI kepada bank - bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Kerugian yang diciptakan oleh kasus ini mencapai 106 triliun. Kasus korupsi BLBI sendiri belum tuntas ditangani KPk, kasus lainnya melibatkan kepala daerah. Salah satu contohnya adalah korupsi yang melibatkan bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi yang melakukan izin usaha pertambangan dengan kerugian negara mencapai 5,8 triliun. Kasus lainnya yang berhasil ditangani adalah korupsi e-ktp yang mana menimbulkan kerugian negara 2,3 triliun. Bukan hanya nilai kerugian yang besar, akan tetapi pejabat publik yang terlibat merupakan mereka yang ditampu kekuasaan paling atas seperti mantan ketua DPR setya Novanto. Begitu juga pengusaha besar yang berhasil ditangani KPK yang mana salah satunya yaitu Korupsi Proyek Fasilitas Olahraga Hambalang dengan kerugian mencapai 1,2 triliun. Dalam kasus korupsi proyek hambalang, berhasil menyeret menteri dan partai demokrat lainnya. KPK juga berhasil menjebloskan 8 menteri ke penjara, dari 8 itu 6 diantaranya adalah menteri kabinet bersatu dibawah era SBY, dan dua menteri di bawah Jokowi juga ditetapkan sebagai tersangka yaitu menteri sosial, dan menteri olahraga. KPK juga berhasil mengungkapkan korupsi yang dilakukan oleh 6 ketua umum parpol, 2 ketua MK, 2 Jenderal Polisi, dan 25 Hakim. Terdapat 460 politisi yang dijerat kasus korupsi dimana KPK berhasil menuntaskannya.
PEMBERANTASAN KORUPSI DI ERA REFORMASI 4
Kontribusi penting KPK adalah meningkatkan indeks persepsi korupsi yang mulai terlihat hasilnya sejak tahun 2004. 2004 adalah awal dimana KPK melakukan upaya penegakan hukum. Apabila dilihat , skor indeks persepsi korupsi Indonesia terlihat kemajian. Skor tidak naik setiap tahun, namun itu lebih signifikan daripada era - era sebelumnya. Namun, upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK agaknya hanya keinginan masyarakat saja. Karena justru dibalik reputasi yang sangat baik di KPK, yang telah berhasil mengangkat indeks tersebut, KPK juga merupakan musuh bersama bagi politisi dan elite korup lainnya. Upaya untuk menghancurkan KPK sudah belasan kali dilakukan baik melalui jalur hukum, gugatan terhadap UU KPK, mendorong revisi UU KPK, dan juga melakukan upaya kriminalisasi terhadap pimpinan dan staf KPK. Kriminalisasi biasa disebut dengan cicak vs buaya dimulai dari dimana bareskrim menuduh KPK melakukan penyadapan ilegal terhadap dirinya. Proses kriminalisasi terhadap pimpinan KPK terjadi, dua KPK Chandra Hamzah dan Dibit Indrayanto dijadikan tersangka korupsi karena dituduh melakukan penggunaan kekuasaan. Karena tekanan publik yang luas, dan sikap pemerintahan SBY yang mendukung eksistensi KPK. Kemudian muncul cicak buaya jilid dua dimana saat itu Irjen Djoko Susilo dijadikan tersangka karena terlibat korupsi proyek simulator SIM di Mabes Polri. Akibat Dari penetapan djoko susilo sebagai tersangka oleh KPK, muncul serangan balik dimana salah satu penyidik KPK Novel Baswedan diincar untuk ditangkap oleh sejumlah orang yang mengaku berasal dari Polri. Mereka menuduh bahwa Novel adalah otak dibalik penangkapan simulator mabes polri. Novel sendiri adalah penyidik senior di KPK yang juga pernah mengabdikan dirinya di kepolisian. Kasus cicak buaya 2 akhirnya berhenti karena presiden SBY mengambil sikap tegas untuk mendukung KPK. seiring dengan waktu, KPK tetap menjadi target. Cicak buaya 3 yang mana terjadi di kala pimpinan Budi Gunawan, KPK secara berani menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus penerimaan gratifikasi. Padahal, saat itu BUdi sedang digadang menjadi calon kapolri. Penetapan tersangka kemudian berbalik ke Abraham Samad dan Bambang Wijayanto sebagai tersangka dengan berbagai macam tuduhan. Kasus itu berhenti di tingkat Kejaksaan Agung yang mana mengeluarkan surat penuntutan jabatan terhadap Abraham dan Bambang
PEMBERANTASAN KORUPSI DI ERA REFORMASI 5
KPK juga merupakan lembaga antikorupsi yang bisa bernasib sama dengan lembaga antikorupsi sebelumnya. Pemberantasan korupsi memerlukan satu upaya yang serius. Akan tetapi juga menimbulkan ongkos yang tidak sedikit. Karenak KPK menyasar politisi, penegak hukum, dan pengusaha kelas kakap yang selama ini punya kepentingan langsung terhadap pembiaran praktik korupsi Indonesia, maka akhirnya KPK juga mengalami suatu proses penurunan reputasi yang dibuktikan lahirnya UU KPK baru: revisi UU KPK, UU NO.30 TAHUN 2002 menjadi UU NO.19 Tahun 2019. UU baru ini memberikan suatu babak baru yang semakin menurunnya reputasi KPK yang dibuktikan dari beberapa survei awal 2020. Survei sebelumnya, KPK merupakan lembaga negara yang paling dipercaya oleh masyarakat. Tapi revisi UU KPK NO.19 Tahun 2019 menetapkan Firly sebagai pimpinan KPK, reputasi KPK kemudian mengalami anjloknya kepercayaan publik terhadap KPK yang mana kepercayan publik terhadap KPK hanya ada di posisi 5. Meskipun KPK telah berusia 17 tahun, KPK juga mengalami sedikit demi sedikit kemunduran. Salah satu kunci sukses yaitu apabila masyarakat memang memberikan dukungan yang sangat besar bagi lembaga yang diberikan kepercayaan oleh negara. Perlu untuk mendesak pemerintah dan negara agar upaya korupsi di Indonesia dilakukan secara serius