Heni
Diana
Ranny
Orde Baru
adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan
Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas
penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan
secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan
yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan
pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota
PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September1966 mengumumkan bahwa
Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia
diterima pertama kalinya. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan
lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi
Sistem Pemerintahan Presiden Soeharto
( 1966 – 1998 )
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 merupakan
dasar legalitas dimulainya pemerintahan Orde Baru di Indonesia
Melalui Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto
ditugaskan oleh MPRS untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya
muncul dualisme kepemimpinan nasional. Berdasarkan Keputrusan
Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966 dibentuklah Kabinet Ampera
Sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, menyebabkan
kekuasaan pemerintahan di tangan Soeharto semakin besar sejak awal
tahun 1967. Pada 10 Januari 1967Presiden Soekarno menyerahkan
Pelengkap pidato pertanggungjawaban presiden yang disebut
PelNawaksara, tidak diterima oleh MPRS berdasarkan Keputusan
Pimpinan MPRS No. 13/B/1967
Sebagai tindak lanjut lembaga tertinggi Negara ini mengeluarkan
Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967, yang
secara resmi mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan Negara dari
Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat
presiden Republik Indonesia
Catur Karya Kabinet Ampera
Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan
pangan
Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu yang ditetapkan,
yaitu tanggal 5 Juli 1968
Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan
nasional
Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam
segala bentuk dan manifestasinya
Setelah MPRS pada tanggal 27 Maret1968 menetapkan Soeharto
sebagai presiden RI untuk masa jabatan lima tahun, maka dibentuklah
Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut Panca Krida
yang meliputi :
Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi
Menyusun dan melaksanakan Pemilihan Umum
Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September
Membersihkan aparatur Negara di pusat dan daerah dari pengaruh
PKI
Pembubaran PKI dan Organisasi massanya &
Penyederhanaan Partai Politik
Pemilihan Umum &
Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali
pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1997.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan
Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia
telah berjalan dengan baik. Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas
LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun dalam
kenyataannya Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu
kontrestan Pemilu yaituGolkar
Untuk menciptakan stabilitas politik, pemerintah Orde Baru
memberikan peran ganda kepada ABRI, yaitu peran Hankam dan
sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi
Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena
adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang
tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama
Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan
pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator.Peran
dinamisator sebanarnya telah diperankan ABRI sejak zaman Perang
Kemerdekaan
PENATAAN KEHIDUPAN EKONOMI Stabilisasi dan
Rehabilitasi Ekonomi
Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan
pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh Ketetapan MPRS
No. XXIII/MPRS/1966
MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni
program penyelamatan, program stabilisasi dan rehabilitasi
Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi
tersebut adalah:
Rendahnya penerimaan negara
Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara
Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansikreditbank
Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri
Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang
berorientasi pada kebutuhan prasarana
KEKURANGAN SISTEM PEMERINTAHAN ORDE BARU
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat
dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di
Aceh dan Papua
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
miskin)
Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan
Misterius"
Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini
kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.
Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
KRISIS FINANSIAL ASIA
Dari kasus-kasus yang telah diuraikan tadi nampak jelas bahwa masa Orde Baru sangat buruk dalam sistem
pemerintahannya.Presiden Soharto nampaknya telah merestui adanya KKN tersebut.Ini dibuktikan dengan makin
merajalelanya KKN dari tahun ketahun di masa Orde Baru. Walaupun ada upaya pemberantasan KKN, tapi
koruptor-koruptor yang dekat dengan kekuasaan tampaknya tak pernah disentuh sama sekali
Suburnya Pelanggaran HAM
Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta
yang disertai oleh pembakaran-pembakaran pada peristiwa Malari. Kasus 15 Januari 1974 yang lebih
dikenal “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan.
Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg
emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif.Ada
yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama
Jepang.Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual
terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-
lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar.Soehartopun seperti menutup mata melihat kasus
berdarah ini.Beliau malah menyalahkan para mahasiswa
Kasus Balibo 1975, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius. Agar dapat menghilangkan
jejak, mayat pata wartawan asing ini harus dibakar habis.Mereka juga diberi pakaian Fretilin.Kasus
ini dianggap sudah selesai oleh pemerintah dan tidak dibuka lagi
Kasus Kedung Ombo 1989, kasus Kedung Ombo merupakan borok sejarah pemerintah orde baru.
Pemerintah membangun Kedung Ombo dari bantuan Bank Dunia.Sampai saat ini uang ganti rugi
tanah masih belum diterima.Atau adapun warga yang dibayar sangat rendah untuk tanah yang
tergusur.Kasus Kedung Ombo juga melibatkan kekerasan secara sistematis oleh aparat
negara.Keterlibatan oknum bersenjata masa Orde Baru itu, harusnya menjadi kasus HAM hari
ini.Warga Kedung Ombo masih mengalami trauma akibat baik itu represi secara fisik ataupun
psikologis.Warga Kedung Ombo banyak yang mati ngenes
Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peristiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa
Talangsari.Peristiwa Talangsari Lampung menjadi kisah tragis yang dilupakan negara. Ratusan orang
yang saat itu menjadi korban seakan tidak berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, serta
mendapatkan keadilan lewat penghukuman pelaku dan pemulihan hak-haknya
Data Korban Kasus Talangsari Hasil investigasi Kontras 2005
Korban Penculikan : 5 orang
Korban Pembunuhan di luar proses hukum : 27 orang
Korban Penghilangan Paksa : 78 orang
Korban Penangkapan Sewenang-wenang : 23 orang
Korban Peradilan yang Tidak Jujur : 25 orang
Korban Pengusiran (Ibu dan Anak) : 24 orang
Peristiwa 27 Juli 1996 tidak lain adalah kasus penyerbuan paksaan ABRI terhadap para pendukung PDI pro Megawati
di kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Penyerbuan itu dilakukan dalam upaya membungkam aksi-aksi yang digelar
kubu Megawati. Tindakan kekerasan itu juga berakibat situasi chaos dibeberapa wilayah Ibukota, antara lain ditandai
dengan pembakaran sejumlah gedung oleh masa. Menurut hasil investigasi Komnas HAM, 5 orang tewas, 149
menderita luka-luka dan 23 hilang dalam insiden berdarah itu (Lesmana,2009:65)
Kerusuhan kelam Mei 1998 tidak mudah kita lupakan. Banyak nyawa yang hilang dan darah berceceran.Namun belum
ada titik terang dalam kasus ini hingga 13 tahun lebih era reformasi.Kasus ini dumulai dari aksi-aksi rakyat yang
semula bermotifkan ekonomi dengan cepet berkembang menjadi aksi politik, yaitu menuntut pengunduran diri
Soeharto.Pada 12 Mei 1998, pecah insiden berdarah Trisakti. Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas terkena
tembakan senjata aparat keamanan di dalam kampus. Tragedi Trisakti inilah yang men-trigger “Kerusuhan Mei”, dan
berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto. Dalam kerusuhan Mei, muncul pula 2 (dua) tokoh militer sentral:
Jendral TNI Wiranto sebagai Menhankam/Pangab dan Letnan Jendral TNI Prabowo Subianto selaku Pangkostrad
(yang sebelumnya menjabat Komandan Jendral Kopasus, pasukn elite TNI-AD). Sedangkan dalam laporan resmi
Komnas HAM mengatakan kerusuhan 13-14 Mei memang dipicu oleh kelompok-kelompok terorganisasi
(Lesmana,2009:117-122). Kasus ini tak akan terunggakap tanpa adanya kejujuran dari kedua tokoh militer tersebut.
Dari kasus-kasus diatas diketahui bahwa pada masa Orde Baru banyak terjadi kasus pelanggaran HAM.Dari kasus-
kasus tersebut kebanyakan belum diketahui siapa pelaku dan dalang utama dalam kasus-kasus tersebut.Bahkan belum
ada tindakan hukum bagi pelaku pelanggaran HAM di Orde Baru.Bahkan para korban yang masih hidup dan keluarga
korban masih menunggu kejelasan hukum kasus tersebut yang nampaknya terlupakan oleh pemerintah
Lima kasus korupsi besar di Masa Orde Baru
Kasus Coopa : 31 Januari 1970, Soeharto membentuk Tim Empat, diketuai Wilopo, untuk
memberangus korupsi di pemerintahannya.Gebrakan Tim Empat sangat menggemparkan, karena
berhasil mengungkap skandal korupsi melibatkan seorang jendral dikenal dekat dengan
Cendana.Sang jendral memiliki kedekatan denga sang presiden lantaran berurusan dengan Coopa,
perusahaan pemasok pupuk untuk program pertanian pemerintah “Bimas Gotong Royong”.
Lalu pada 11 Maret 1970, Soeharto mengadakan pertemuan dengan Komisi Empat di Istana Merdeka,
salahsatu agendanya membahas masalah penyelewengan Bimas Coopa.Kejaksaan Agung menahan
Arief Husni atau Ong Seng Keng, pemilik Coopa, pada Agustus 1970.Selain Coopa, Arif Husni juga
merangkap direktur Bank Ramayana, tempat Probosutedjo, adik Soeharto, ikut duduk dalam jajaran
pemegang saham di bank itu.Korupsi dalam program swasembada pangan nasional ini merugikan
keuangan negara US$ 711.000
Kasus Badan Urusan Logistik : Posisinya sebagai lembaga langsung di bawah presiden menjadikan
Bulog bisa menikmati dana non bujeter di luar anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Kewenangan itu membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
sulit menjamah alur keuangan Bulog.Prakteknya, Bulog tidak pernah membeli langsung bahan
pangan dari petani melainkan dari para pedagang perantara dan operasi pasar juga dilakukan
melalui perantara.Perantara arus utama pada kaitan pembelian dengan Bulog, tak lain Go Swie Kie
atau Dasuki Angka Subroto.Dasuki Angka Subroto memulai bisnis utamanya sebagai importir beras
dan kacang kedelai untuk Bulog, sehingga dijuliki 'Bulog Swasta.Kepala Bulog kala itu, Achmad
Tirtosudiro, meyatakan operasi Bulog terhambat oleh ketidakberesan administrasi sehingga dana
senilai Rp 1,3 miliar (atau senilai US$ 800000 kala itu) mengendap.Imbasnya, Acmad Tirtosudiro
diberhentikan dari jabatan Kepala Bulog atas dugaan korupsi, pada Juni 1973.Dia justru beralih
tempat kerja, menjadi Duta Besar RI di Republik Federasi Jerman atau Jerman Barat
Kasus Pertamina : Di bawah kuasa penuh Ibnu Sutowo, Pertamina dikelola secara tertutup. Ketika
Slamet Bratanata, Menteri Pertambangan mencoba mengatur Pertamina seperti mempersyaratkan
kontrak dengan tender terbuka, justru Bratanata terpental. Direktorat Minyak dan Gas kemudian
dialihkan dari Kementrian Pertambangan, menjadi langsung berada di bawah Soeharto.Bratanata
pun diberhentikan tahun 1967.Meski BUMN, prakteknya Pertamina di bawah Ibnu Sutowo
bertanggungjawab bukan kepada Menteri Pertambangan tetapi kepada militer.neraca tidak pernah
diumumkan dan laba tidak pernah diwartakan. Walaupun pajak berhasil disetor ke pemerintah naik
dari 15% menjadi 50% pada tahun 1973, sesungguhnya tidak mencerminkan besarnya laba
Pertamina. Pengelolaan serba rahasia tersebut diyakini Pertamina menjadi sumber keuangan TNI
paling besar.Tanpa akuntabilitas pengelolaan dan transparasi, Pertamina kemudian terpuruk.Tahun
1975, Pertamina tidak mampu membayar kembali (default) sejumlah hutang luar negeri jangka
pendek mencapai US$ 1,5 miliar.Tahun 1976 kembali terungkap Pertamina gagal membayar hutang
jatuh tempo mencapai US$ 10 miliar, sehingga Ibnu Sutowo tergusur dari kursinya
Kasus Bapindo : Eddy Tanzil mengajukan permohonan kredit bagi proyek Golden Key Petrokimia
kepada Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Guna memudahkan pinjaman, dia mendapat surat
referensi Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Sudomo.
Surat tersebut digunakan Eddy Tanzil untuk mengubah fasilitas usance L/C menjadi red clause
L/C.Dalam kegiatan bisnis, Letter of Credit atau kerap disebut L/C. L/C memiliki fungsi jaminan
pembayaran, instrumen kredit dan pedoman jika terjadi permasalahan.Berdasarkan jangka tempo
pembayaran, L/C dibagi dua; usance L/C dan sight L/C. Dan untuk pembayaran di muka, dikenal
ada dua macam; red clause dan advance payment. Red clause berarti pembayaran di muka kepada
eksportir diberikan oleh negotiating bank.Kredit diajukan Eddy Tanzil itu pun dicairkan oleh
Bapindo seluruhnya pada akhir 1991.Dalam perjalanannya, proses pembangunan pabrik Golden Key
tidak berjalan dengan semestinya. Dari usaha nakal itu, negara dirugikan sebesar 1,3 trilyun. PN
Jakarta Pusat telah memvonis bersalah Eddy Tanzil selama 20 tahun penjara, pidana denda 30 juta;
membayar uang pengganti 500 milyar; dan mengganti uang negara 1,3 T. Namun Eddy Tanzil
berhasil kabur, hingga hari ini
Korupsi Soeharto : Mantan Presiden Soeharto ditempatkan sebagai Presiden terkorup sedunia berdasarkan temuan
Transparency International 2004 dengan total perkiraan korupsi sebesar 15-25 miliar dolar AS.Dana tersebut
digunakan untuk membiayai tujuh yayasan milik Soeharto; Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar,
Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan
Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No 2896
K/Pdt/2009 tanggal 28 Oktober 2010, memutuskan Yayasan Supersemar dihukum mengganti kerugian negara sebesar
315.002.183 US dolar dan Rp.139.229.178 atau sekitar Rp 3,07 triliun. Namun, hingga kini putusan tersebut belum
dieksekusi lantaran aset Yayasan Supersemar tidak mencukupi untuk membayar ganti rugi
Kasus dugaan korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang diketuainya,
yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri[1][2], Yayasan Supersemar[1][3], Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais) [1][4],
Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab) [1], Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila[1][5],
Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora[1][6]. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 90 Tahun 1995.Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari
keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil
pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah
dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999
Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998.Asalnya dari pos Dana
Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa
Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara Kependudukan dan Kepala
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi
wakil ketua di Dana Mandiri.Bambang Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata
mengalirkan lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank
Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito
Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp 3,3
triliun.Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai
saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27
perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan
Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto bersama bersama Tinton Suprapto, pernah memanfaatkan nama
Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare di Citeureup, Bogor, guna pembangunan Sirkuit Sentul.
Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tetapi gagal
Catatan dana Yayasan Supersemar yang diselewengkan
Bank Duta US$ 420 juta
Diberikan pada 22 september 1990 sebesar US$ 125 juta
Diberikan pada 25 september1990 sebesar US$19,59 juta
Diberikan pada 26 september 1990 sebesar US$ 275,04 juta
PT Sempati Air Rp.13 Miliyar
Diberikan pada 23 September 1989 hingga 17 November 1998
PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti Rp. 150 miliyar
Diberikan pada 13 November 1995
PT Kalhoid Utama, Essam Timber, Dan PT Tanjung Redep Hutan
Tanaman Industri Rp. 12 Miliyar
Diberikan pada Desember 1982 hingga Mei 1993
Kelompok Usaha Kosgoro Rp. 10 Miliyar
Diberikan pada 28 Desember 1993
Kesimpulan
Masa awal orde baru ditandai oleh terjadinya perubahan besar dalam
pengimbangan politik di dalam Negara dan masyarakat, sebelumya pada era
Orde Lama kita tahu bahwa pusat kekuasaan ada di tangan presiden, militer
dan PKI. Namun pada Orde Baru terjadi pergeseran pusat kekuasaan dimana
dibagi dalam militer, teknokrat, dan kemudian birokrasi. Namun harapan itu
akhirnya menemui ajalnya ketika pada pemilu 1971, golkar secara
mengejutkan memenangi pemilu lebih dari separuh suara dalam pemilu. Orde
Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan
dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan
antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar. Itulah beberapa
sekelumit cerita tentang Orde Baru, tentang bagaimana kehidupan sosial,
politik dan ekonomi di masa itu. Yang kemudian pada Orde Baru akhirnya
tumbang bersamaan dengan tumbangnya Pak Harto atas desakan para
mahasiswa di depan gendung DPR yang akhirnya pada saat itu titik tolak era
Reformasi lahir. Dan pasca reformasilah demokrasi yang bisa dikatakan
demokrasi yang di Inginkan pada saat itu perlahan-lahan mulai tumbuh
hingga sekarang ini