Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA

Makalah ini disusun guna memenuhi salah satu syarat mengikuti mata kuliah
PBAK

Disusun oleh:
Nony Nabila Purnama Ningrum
17116/2C

AKADEMI KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH


CIREBON
2018
BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Kemajuan suatu negara dapat diliahat dari segi kemampuan dan keberhasilan
dalam melakukan pembangunan. Efektifitas dan keberhasilan pembanguna
ditentukan oleh dua faktor yaitu sumber daya manusia dan pembiayaan. Namun
diantara dua faktor tersebut yang paling utama dan paling dominan adalah
manusianya. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah
penduduk berkisar 265 juta jiwa pada tahun 2018. Indonesia juga merupakan negara
yang kaya akan keanekaragaman sumber daya alamnya. Ironisnya dengan kekayaan
SDA yang dimiliki, Indonesia masih belum bisa mandiri masih banyak masalah-
masalah internelal yang terjadi di negara ini. Mengapa demikian? Karena masih
kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas. Kulitas tersebut bukan hanya
berkaitan dengan pegetahuan dan intelektualitas tetapi juga menyangkut kualitas
moral dan keribadiannya. Rendahnya moral dan kejujuran dari aparat penyelenggara
negara menyebabkan terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’
sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru,
berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas
korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Korupsi telah mengakibatkan
kerugian materil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih
memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara
yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan dalih studi
banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya di luar batas kewajaran. Hal itu
merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol
adalah sikap kerakusan dan sok berkuasa
BAB II

LANDASAN TEORI
Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau corruptus yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut para ahli bahasa,
corruptio berasal dari kata kerja corrumpere, suatu kata dari Bahasa Latin yang lebih
tua. Kata tersebut kemudian menurunkan istilah corruption, corrups (Inggris),
corruption (Perancis), corruptie/korruptie (Belanda) dan korupsi (Indonesia).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan di seluruh dunia ini
rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi tentu berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan. Titik ujung
korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di
mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan dan


administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun
orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga
meninmbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan, atau pribadi lainnya.

Penegrtian Korupsi Menurut Para Ahli


Pengertian korupsi menurut Alatas(1987) adalah pencurian yang melalui
penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi merupakan wujud
perbuatan immoral dari dorongan untuk mendapatkan sesuatu menggunakan metode
penipuan dan pencurian. Poin penting yang harus anda tahu bahwa nepotisme dan
korupsi otogenik itu merupakan bentuk korupsi.

Korupsi adalah pemanfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi. Bila


anda perhatikan dengan seksama definisi korupsi ini maka kolusi, dan nepotisme
merupakan bagian dari korupsi atau bentuk korupsi itu sendiri (Kusuma,2003).
Sejarah Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak zaman dahulu, yakni dimulai dari
periode prakemerdekaan, sesudah kemerdekaan, era Orde Lama, era Orde Baru,
berlanjut hingga era Reformasi. Budaya korupsi yang sudah mendarah daging
mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal
yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola
pemerintahan di Nusantara.

Pra Kemerdekaan
Masa Pemerintahan Kerajaan
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi
korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan
wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalan berkelit dan
dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling
membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa
Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan
lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji
merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso). Gejala korupsi dan
penyimpangan kekuasaan masih didominasi para kalangan elite bangsawan,
sultan, dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris belum mengenal atau
memahaminya.

Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Perilaku korup tidak hanya oleh masyarakat Nusantara, tetapi orang


Belanda, Portugis dan Jepang pun gemar mengorup harta-harta korps, institusi,
atau pemerintahannya. Budaya yang sangat tertutup dan penuh keculasan tersebut
turut menyuburkan budaya korupsi di Indonesia, seperti kebiasaan mengambil
upeti (pajak) dari rakyat. Adapun penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga
karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di
Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan
bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda
hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.
Pasca Kemerdekaan
Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan?
Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah
Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era
Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde
Baru.

Orde Lama
Pada era kepemimpinan Presiden Soekarno tercatat 2 kali
membentuk Badan Pemberantasan Korupsi yakni, Panitia Retooling
Aparatur Negara (PARAN) dan operasi Budhi dipimpin oleh Abdul Haris
Nasution. Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) sebagai Badan
Pemberantasan Korupsi mengharuskan Pejabat mengisi formulir daftar
kekayaan pejabat negara.

Usaha Panitian Retooling Aparatur Negara (PARAN) akhirnya


mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik
Presiden, sehingga diserahkan kembali ke Pemerintah (kabinet Juanda).
Pada Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963,
upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan dengan membentuk
lembaga yang bertugas meneruskan kasus-kasus korupsi di meja
pengadilan yang dikenal “Operasi Budhi”. Dalam kurun waktu 3 bulan
sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan
sebesar kurang lebih Rp11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk
kurung waktu itu. Karena dianggap menggangu prestise Presiden,
akhirnya Operasi Budhi dihentikan.

Orde Baru
Pada Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto
menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi.
Pidato tersebut memberi isyarat bertekad untuk membasmi korupsi sampai
ke akar-akarnya. Sebagai wujud dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi
(TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Pada Tahun 1970, Pelajar dan
Mahasiswa melakukan unjuk rasa memprotes kinerja Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK), yang mana perusahaan-perusahaan negara dalam hal ini
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) disorot sebagai sarang korupsi,
akhirnya Presiden Soeharto membentuk Komite Empat. Pembentuk
Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan
berwibawa seperti Prof. Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo dan A.
Tjokroaminoto yang mempunyai tugas utama adalah membersihkan antara
lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan
Pertamina. Namun komite ini hanya “macan ompong” karena hasil
temuannya tentang dugaan korupsi di BUMN tidak direspons Pemerintah.

Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak
dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi
hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus
Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi
sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru
yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA
serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan
konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde
Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan
secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.

Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28


Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari
KKN berikut pembentukan berbagai komisi seperti KPKPN, KPPU, atau
lembaga Ombudsman. Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini
dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo. Namun, di tengah semangat
menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui
suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan.
Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan
KKN.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan
konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman.
Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate dan menyebabkan Gus Dur
lengser. Presiden Megawati pun menggantikannya melalui apa yang
disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg
BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena
kebijaksanaannya menjual aset-aset negara. Pada tahun 2003 dibentuk
suatu komisi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi
di Indonesia. Komisi ini dinamai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Berdasarkan data ICW, Kemenkes merupakan lembaga yang paling besar
merugikan negara, yakni Rp 249,1 miliar.

Ada sembilan kasus korupsi yang berhasil ditindak aparat penegak


hukum di kementerian tersebut. Selanjutnya, 46 kasus korupsi terjadi di
Dinkes, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Ada juga 55 kasus
kesehatan di RS dan 9 di Puskesmas. Mulai tahun 2003 s.d. 2014 yaitu
kerja sama KPK dengan PPATK, BPK, Polri, dan Kejaksaan Agung. Data
dari Lembaga Survei Nasional (LSN) Pada Pemilu tahun 2009, sebanyak.

Anda mungkin juga menyukai