Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perbincangan mengenai korupsi dari dulu hingga saat ini masih saja hangat
dibicarakan orang. Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih
belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit,
sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum
bisa ditemukan. Tulisan ini mencoba untuk menelusuri perjalanan para pemimpin negara ini
dalam upayanya memberantas korupsi, mulai dari era Orde Lama, Orde Baru hingga 'Orde
Reformasi'.

Korupsi tampaknya telah menjadi budaya yang mendarah daging di negara kita
Indonesia. Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat menghawatirkan dan berdampak
buruk luar biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan. Korupsi lebih dari sekedar pencarian
keuntungan yang bersifat individu tetapi sudah merupakan perilaku umum sehingga sebagai
salah satu factor penghambat pertumbuhan ekonomi yang sulit untuk dihapuskan. Korupsi
juga merusak moral suatu bangsa. Jika moral suatu bangsa sudah rusak bagaimana
perekonomian akan tumbuh

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana terjadinya korupsi dari masa orde lama, orde baru dan masa sekarang ?

1.2.2 Apakah jenis-jenis korupsi dari masa orde lam, orde baru dan sekarang ?

1.2.3 Apa peraturan korupsi dari masa orde lama,orde baru dan sekarang ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana terjadinya korupsi dari masa orde lama,
orde baru dan masa sekarang
1.3.2 Mahasiswa data mengetahui apakah jenis-jenis korupsi dari masa orde lam, orde
baru dan sekarang
1.3.3 Mahasiswa dapat mengetahui apa peraturan korupsi dari masa orde lama,orde baru
dan sekarang
BAB II

ISI

2.1 Terjadinya korupsi pada masa orde lama, orde baru, dan sekarang

2.1.1 Korupsi pada era orde lama

Antara 1951 – 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia
Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan
Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini
adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas
intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal
ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah
juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu.
Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet
sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe
berhasil ditangkap. Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961
karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno.

Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958


dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH
Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil
nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.

Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini,
namun kurang berhasil. Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi
paling subur. Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam
kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo
dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti
oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen
Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini
membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.

2.1.2 Korupsi pada era orde baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj


Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi
sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat
bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud
dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang
diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan
TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan
banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang
protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan
membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan
berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas
mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV
Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong”
karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib


(Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul
perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut
pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin
berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan
kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu,
Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

2.1.3. Korupsi pada era reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara
negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru,
korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang
bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan
Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru
lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah
diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden
berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.
pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat


tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan
korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan
bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan
kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat
tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan


Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung
Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun
menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi
sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya
menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa
mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke
luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim,
The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian
fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit
pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa
pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene
memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin
kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era
Reformasi.

2.2 Jenis-jenis korupsi pada masa orde lama, orde baru, dan sekarang

Jenis-jenis dari Korupsi antara lain :


a. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara.
b. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap.
c. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan.
d. Korupsi yang terkait dengan pemerasan.
e. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang.
f. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan.
g. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.

a) Penyuapan
Penyuapan merupakan sebuah perbuatan kriminal yang melibatkan sejumlah pemberian
kepada seorang dengan sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan tugas dan
tanggungjawabnya. Sesuatu yang diberikan sebagai suap tidak harus berupa uang, tapi
bisa berupa barang berharga, rujukan hak-hak istimewa, keuntungan ataupun janji
tindakan, suara atau pengaruh seseorang dalam sebuah jabatan public.
b) Penggelapan (embezzlement) dan pemalsuan atau penggelembungan (froud).
Penggelapan merupakan suatu bentuk korupsi yang melibatkan pencurian uang, properti,
atau barang berharga. Oleh seseorang yang diberi amanat untuk menjaga dan mengurus
uang, properti atau barang berharga tersebut. Penggelembungan menyatu kepada praktik
penggunaan informasi agar mau mengalihkan harta atau barang secara suka rela.
c) Pemerasan (Extorion)
Pemerasan berarti penggunaan ancaman kekerasan atau penampilan informasi yang
menghancurkan guna membujuk seseorang agar mau bekerjasama. Dalam hal ini
pemangku jabatan dapat menjadi pemeras atau korban pemerasan.
d) Nepotisme (nepotism)
Nepotisme berarti memilih keluarga atau teman dekat berdasarkan pertimbagan hubungan
kekeluargaan, bukan karena kemampuannya. Kata nepotisme ini berasal dari kata
Latin nepos, berarti "keponakan" atau "cucu".
Dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, menyebutkan bahwa, nepotisme adalah setiap
perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan
Negara, (Pasal 1 Angka 5). Contoh nepotisme,misalnya seorang
pejabat Negara mengangkat anggota keluarganya menduduki jabatan tertentu, tanpa
memperhatikan aturan hukum yang berlaku.[3]
e) Gratifikasi
Gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang,
rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (Penjelasan Pasal 12B UU
Pemberantasan Tipikor).[4]
Pada UU 20/2001 setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima

2.3 Peraturan korupsi

Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai tindak pidana


korupsi, saat ini sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya dengan dikeluarkannya UU
No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN,
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
serta terakhir dengan diratifikasinya United Nations Convention Against Corruption,
2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan UU No. 7
Tahun 2006. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam Tindak Pidana Korupsi
adalah sebagai berikut :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999).
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999).
3. Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001).
4. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau.
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).
5. Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001:
a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja
membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara
dalam keadaan perang.
e. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaan perang atau yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang.
6. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain,
atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 UU No. 20 tahun 2001).
7. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi
(Pasal 9 UU No. 20 tahun 2001).
8. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja (Pasal
10 UU No. 20 Tahun 2001):
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan
di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
9. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11
UU No. 20 Tahun 2001).
10. Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 :
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolaholah pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah merupakan
utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah
menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai
dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundangundangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang
pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk
mengurus atau mengawasinya.
11. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya. (Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001).
12. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan (Pasal 13 UU
No. 31 Tahun 1999).
13. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana
korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undangundang ini (Pasal 14 UU No. 31
Tahun 1999).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ditinjau dari sudut apapun, korupsi sama sekali tidak memberikan manfaat. Baik
kepada perekonomian, maupun kepada sistem demokrasi politik yang baik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa negara dalam masa transisi seperti Indonesia, baik dari
sistem ekonomi (dari sistem ekonomi terpusat menuju sistem ekonomi yang lebih
menganut pasar) maupun dari sistem politik dan demokrasi (pemerintahan yang otoriter
ke pemerintahan yang demokratis), selalu mengalami masalah korupsi yang luar biasa
besar.

3.2 Saran

Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya dimulai dari sejak dini. Dan pencegahan
korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.hukumprodeo.com/korupsi-dalam-perjalanan-sejarah-indone

http://sarfaraazyusuf.blogspot.co.id/2016/03/korupsi-pengertian-ciri-ciri-dan-jenis.html

Anda mungkin juga menyukai