KATA PENGANTAR
Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin... puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, yamg
telah membentangkan jalan keselamatan buat insan dan menerangi mereka dengan pelita
yang terang benderang. Shalawat dan Salam atas Nabi Muhammad SAW yang membawa
petunjuk buat kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Demikian pula, ucapan
keselamatan atas keluarga, sahabat dan pengikut beliau sampai hari kiamat.
Alhamdulillah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan , kami menyadari bahwa makalah ini
masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh karna itu kami sangat berterima kasih apabila ada
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
1. Latar Belakang
Di dalam hiruk-pikuk masyarakat dunia termasuk di Indonesia, dewasa ini terjadi
tindak criminal yang sudah membudaya dan sangat kronis.
Hasil survey (2004) Political and Economic Risk Consultancy Ltd. (PERC)
menyatakan bahwa korupsi di Indonesia menduduki skor 9,25 di atas India (8,90), Vietnam
(8,67), dan Thailand (7,33). Artinya, Indonesia masih menjadi negara terkorup di Asia.
Apabila banyak upaya baik tingkat legislative, yudikatif, maupun eksekutif untuk
memberantas korupsi, maka timbul pertanyaan apakah korupsi telah membudaya?
Mampukah Sistem Pendidikan Nasional dijadikan strategi pemberantasan korupsi di
Indonesia?
Merujuk pada permasalahan tersebut dan fenomena yang berkembang selama ini,
maka kajian ini dipikir penting untuk mendeskripsikan dan dijadikan salah satu strategi
pemberantasan korupsi di Indonesia dan di berbagai dunia lainnya
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana mengatasi korupsi di lingkungan Negara maupun masyarakat?
b. Apa dampak korupsi di masyarakat?
c. Apa penyebab korupsi?
3. Tujuan
Salah satu upaya untuk menghilangkan budaya korupsi
Menyadarkan masyarakat
Mendidik generasi muda agar tidak melakukan tindak pidana korupsi sehingga dapat
memajukan bangsa dan negara
BAB II
Pembahasan
Pemberantasan korupsi di Indonesia dapat di bagi menjadi 3 periode, yaitu Orde
Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi
a. Orde Lama
Dasar hukum: KUHP (awal) UU 24 tahun 1960
Antara 1951-1956 isu korupsi mulai diangkat oleh Koran local seperti Indonesi Raya
yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi[1] Ruslan
Abdulgani menyebabkan Koran tersebut dibredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah
peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM
Ali Sostroamidjodjo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh polisi
militer. Sebelumnya, Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada
Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus
tersebut mantan menteri penerangan cabinet Burhanuddin Harahap (cabinet sebelumnya),
Syamsudin Sutan Makmur, dan direktur percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil
ditangkap.
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena
dianggap sebagai musuh Soekarno. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing
di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titk awal berkembangnya korupsi di Indonesia.
Upaya Jenderal A.H. Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-
perusahaan hasil nasionalisasi di bawah penguasa darurat militer justru melahirkan korupsi
ditubuh TNI.
[1] Lihat tulisan Nur Rachmat Yuliantoro tentang “Korupsi dengan Karakteristik
Jenderal nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun
kurang berhasil. Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam
kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S. parman, M.T. Haryono, dan Sutoyo
dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti
oleh Letkol Pranoto, kepala Staffnya. Proses hukum Soeharto saat itu dihentikan oleh Mayjen
Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Soeharto ke Seskoad di bandung. Kasus ini
membuat D.I. Panjaitan menolak pencalonan Soeharto menjadi ketua senat Seskoad.
b. Orde Baru
Pemberantasan korupsi pada orde baru tidak jauh beda pada masa orde lama. Korupsi
orde baru dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis.
c. Era Reformasi
Dasar hukum: UU 31 tahun 1991, UU 20 tahun 2001
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi
Kepolisian
Kejaksaan
BPKP
Lembaga non-pemerintah: media massa, organisasi massa (mis: ICW)
a. Bidang Ekonomi
1. Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Chetwynd et al
(2003), korupsi akan menghambat pertumbuhan investasi. Baik investasi domestik maupun
asing.
2. Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan
program pembangunan. Sehingga, kualitas pelayanan pemerintah terhadap masyarakat
mengalami penurunan. Layanan publik cenderung menjadi ajang 'pungli' terhadap rakyat.
Akibatnya, rakyat merasakan bahwa segala urusan yang terkait dengan pemerintahan pasti
berbiaya mahal.
3. Sebagai akibat dampak pertama dan kedua, maka korupsi akan menghambat upaya
pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Yang terjadi justru sebaliknya, korupsi
akan meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
b. Bidang Kesejahteraan Rakyat
1. Korupsi menyebabkan Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional kurang
jumlahnya. Akibatnya, Untuk mencukupkan anggaran pembangunan, pemerintah pusat
menaikkan pendapatan negara, salah satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Hal ini
tentu saja akan menimbulkan keresahan masyarakat.
2. Korupsi juga berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak. Baik
individual maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain meningkatkan ketamakan dan
kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan korupsi juga akan menyebabkan hilangnya
sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama. Rasa saling percaya yang merupakan salah satu
modal sosial yang utama akan hilang. Akibatnya, muncul fenomena distrust society, yaitu
masyarakat yang kehilangan rasa percaya, baik antar sesama individu, maupun terhadap
institusi negara. Perasaan aman akan berganti dengan perasaan tidak aman (insecurity
feeling). Inilah yang dalam bahasa Al-Quran dikatakan sebagai libaasul khauf (pakaian
ketakutan). Terkait dengan hal tersebut, Uslaner (2002) menemukan fakta bahwa negara
dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat ketidakpercayaan dan kriminalitas yang
tinggi pula. Ada korelasi yang kuat di antara ketiganya.
c. Dampak Korupsi Bagi Rakyat Miskin
Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan masyarakat
miskin di desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan Anggaran Pembangunan dan
Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk mencukupkan anggaran pembangunan,
pemerintah pusat menaikkan pendapatan negara, salah satunya contoh dengan menaikkan
harga BBM. Pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan
BBM tersebut ; harga-harga kebutuhan pokok seperti beras semakin tinggi ; biaya pendidikan
semakin mahal, dan pengangguran bertambah.
Sesungguhnya korupsi memiliki beberapa dampak yang sangat membahayakan
kondisi perekonomian sebuah bangsa. Dampak-dampak tersebut antara lain:
Pertama, menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Chetwynd et al
(2003), korupsi akan menghambat pertumbuhan investasi. Baik investasi domestik maupun
asing. Mereka mencontohkan fakta business failure di Bulgaria yang mencapai angka 25
persen.
Maksudnya, 1 dari 4 perusahaan di negara tersebut mengalami kegagalan dalam
melakukan ekspansi bisnis dan investasi setiap tahunnya akibat korupsi penguasa.
Selanjutnya, terungkap pula dalam catatan Bank Dunia bahwa tidak kurang dari 5 persen
GDP dunia setiap tahunnya hilang akibat korupsi. Sedangkan Uni Afrika menyatakan bahwa
benua tersebut kehilangan 25 persen GDP-nya setiap tahun juga akibat korupsi.Yang juga
tidak kalah menarik adalah riset yang dilakukan oleh Mauro (2002).
Setelah melakukan studi terhadap 106 negara, ia menyimpulkan bahwa kenaikan 2
poin pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK, skala 0-10) akan mendorong peningkatan investasi
lebih dari 4 persen. Sedangkan Podobnik et al (2008) menyimpulkan bahwa pada setiap
kenaikan 1 poin IPK, GDP per kapita akan mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen
setelah melakukan kajian empirik terhadap perekonomian dunia tahun 1999-2004. Tidak
hanya itu. Gupta et al (1998) pun menemukan fakta bahwa penurunan skor IPK sebesar 0,78
akan mengurangi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin sebesar 7,8 persen.
Ini menunjukkan bahwa korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menghambat
investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, pada institusi pemerintahan yang memiliki angka korupsi rendah, maka
layanan publik cenderung lebih baik dan lebih murah. Terkait dengan hal tersebut, Gupta,
Davoodi, dan Tiongson (2000) menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi ternyata akan
memperburuk layanan kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya, angka putus sekolah dan
kematian bayi mengalami peningkatan.
Ketiga, sebagai akibat dampak pertama dan kedua, maka korupsi akan menghambat
upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Yang terjadi justru sebaliknya,
korupsi akan meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
Terkait dengan hal ini, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan IPK
sebesar 2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin. Artinya, kesenjangan
antara kelompok kaya dan kelompok miskin akan semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh
semakin bertambahnya aliran dana dari masyarakat umum kepada para elit, atau dari
kelompok miskin kepada kelompok kaya akibat korupsi.
Keempat, korupsi juga berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak. Baik
individual maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain meningkatkan ketamakan dan
kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan korupsi juga akan menyebabkan hilangnya
sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama.
Rasa saling percaya yang merupakan salah satu modal sosial yang utama akan hilang.
Akibatnya, muncul fenomena distrust society, yaitu masyarakat yang kehilangan rasa
percaya, baik antar sesama individu, maupun terhadap institusi negara. Perasaan aman akan
berganti dengan perasaan tidak aman (insecurity feeling). Inilah yang dalam bahasa Al-Quran
dikatakan sebagai liibasul khauf (pakaian ketakutan).
Terkait dengan hal tersebut, Uslaner (2002) menemukan fakta bahwa negara dengan
tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat ketidakpercayaan dan kriminalitas yang tinggi
pula. Ada korelasi yang kuat di antara ketiganya.
Dampak negative korupsi:
1. Korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik dengan cara
menghancurkan proses formal
2. Korupsi dpat memprsulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan
3. Korupsi merugikan rakyat luas dan menguntungkan salah satu pihak yaitu pemberi sogok
Singapura memiliki sebuah pasar ekonomi yang maju dan terbuka, dengan PDB per
kapita kelima tertinggi di dunia. Bidang ekspor, perindustrian dan jasa merupakan hal yang
penting dalam ekonomi Singapura. Untuk mendukung kesuksesan Singapura dalam bidang
ekonomi, juga dibutuhkan adanya suatu sistem pemberantasan korupsi yang baik.
Korupsi merupakan sebuah penyakit yang ada di hampir seluruh pemerintahan di
dunia. Korupsi harus diberantas agar sebuah negara dapat membentuk pemerintahan yang
bersih dan efektif. Salah satu negara yang dapat dikatakan berhasil memberantas korupsi
adalah Singapura. Menurut sebuah survey yang dilakukan oleh sebuah perusahaan konsultan
yang bermarkas di Hongkong, Political and Economic Risk Consultancy (PERC), Singapura
menduduki peringkat kelima dunia negara terbersih dari korupsi. Peringkat yang didapat oleh
Singapura ini tidak terlepas dari keberhasilan pemberantasan korupsi.
Pemberantasan korupsi di Singapura sendiri memiliki sejarah yang panjang.
Pemberantasan korupsi di Singapura berawal dari kegagalan Bagian Antikorupsi Kepolisian
Singapura. Apalagi, setelah seorang pejabat senior kepolisian ditangkap sebab menerima suap
dari pedagang opium. CPIB yang semula menjadi bagian kepolisian pun dijadikan lembaga
mandiri. Gerakan-gerakan pemberantasan korupsi ini kemudian menguat begitu People's
Action Party di bawah pimpinan Lee Kwan Yew yang berkuasa pada tahun 1959. Lee Kwan
Yew memproklamirkan 'perang terhadap korupsi'.
Beliau menegaskan: 'no one, not even top government officials are immuned from
investigation and punishment for corruption'. 'Tidak seorang pun, meskipun pejabat tinggi
negara yang kebal dari penyelidikan dan hukuman dari tindak korupsi'. Tekad Lee Kwan
Yew ini didukung dengan disahkannya Undang-Undang Pencegahan Korupsi (The
Prevention of Corruption Act/ PCA) yang diperbaharui pada tahun 1989 dengan nama The
Corruption (Confiscation of Benefit) Act. Tindak lanjut dari undang-undang ini adalah
dibentuknya lembaga antikorupsi yang independen di negara tersebut, yang diberi nama 'The
Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
Sejarah telah membuktikan bahwa China adalah sebuah negara-bangsa yang berhasil
melalui berbagai episode kehidupan, dengan akhir kisah yang tragis maupun bahagia. Dari
sebuah bangsa besar yang dipimpin oleh berbagai dinasti, China harus melewati dulu “masa
penghinaan” oleh kekuatan Eropa sejak pertengahan abad ke-19, sebelum pada akhirnya
“dibebaskan” oleh kekuatan komunis di bawah pimpinan Mao Zedong pada tahun 1949.
China di masa Mao adalah China yang “benci tapi rindu” terhadap baik Amerika
Serikat maupun Uni Soviet – sebuah postur politik luar negeri yang akhirnya membuat China
harus mengisolasi dirinya dari pergaulan internasional. China di masa Mao adalah sebuah
negara sosialis di mana negara memainkan peran utama dalam pembangunan perekonomian.
Di sektor industri, misalnya, perusahaan-perusahaan milik pemerintah menghasilkan lebih
dari 60 persen gross value produksi industri. Di sektor urban, pemerintah adalah satu-satunya
agen yang berwenang menetapkan harga komoditas utama, menentukan distribusi dana
investasi, mengalokasikan sumber-sumber energi, mematok tingkat upah tenaga kerja, serta
mengontrol kebijakan finansial dan sistem perbankan. Sistem perdagangan luar negeri juga
menjadi monopoli pemerintah sejak awal tahun 1950-an.
Korupsi merupakan salah satu tantangan politik dan ekonomi terbesar yang dihadapi
oleh China di abad ke-21. Korupsi dianggap sebagai salah satu masalah paling besar yang
dihadapi China saat ini karena di samping kerusakan ekonomi, sosial, dan politik yang
ditimbulkannya, sifat distribusi tindak korupsi itu juga sudah sangat luas. Keberhasilan
pembangunan ekonomi China yang menakjubkan semenjak dekade 1990-an, membuat
beberapa ahli merumuskan bahwa pada abad ke-21 ini merupakan “the Chinese century”.
Meski demikian, pengamatan seksama mengenai reformasi ekonomi menunjukkan bahwa
kecermelangan ekonomi China ternyata tidak sebaik seperti yang diduga. Hal ini dikarenakan
ekonomi China menghadapi masalah ketimpangan pembangunan antara pantai timur dan
selatan dengan daera tengah dan barat, jumlah pengangguran yang tinggi, ketidakbecusan
manajemen BUMN, lemahnya sistem perbankan hingga masalah korupsi.
Korupsi khususnya, telah lama terjadi di negara ini yang diperkirakan sudah ada sejak
zaman Dinasti Zhou (1027-771 SM). Kasus-kasus korupsi banyak ditemukan dalam
berbagai catatan sejarah dinasti di China. Periode revolusi nasional dan peperangan
antarwilayah menyusul berdirinya Republik Rakyat China pada tahun 1911 juga tidak luput
dari korupsi. Korupsi juga diyakini menjadi salah satu penyebab jatuhnya Guomindang,
sebuah partai nasionalis yang didirikan oleh Sun Yat Sen dalam perang saudara melawan
kekuatan komunis yang berakhir pada tahun 1949. Republik Rakyat China pada masa
pemerintahan Mao Zedong (1949-1976) pun terlibat banyak kasus korupsi. Dengan
dimulainya reformasi ekonomi pada tahun 1979, China menunjukkan hubungan baru yang
kontroversial antara kekayaan dengan kekuasaan.
Melalui ide “getting is glorius, pemimpin reformasi Deng Xiaoping mendorong rakyat
China untuk melakukan yang terbaik dalam tiap aktivitas ekonomi mereka. Seruan tersebut
memberi ruang bagi rakyat China untuk memaksimalkan usaha menjadi kaya. Namun
sayangnya, seruan untuk berusaha menjadi lebih kaya tersebut disalahartikan menjadi
korupsi. Reformasi ekonomi justru semakin memperluas kesempatan para pejabat untuk
memperkaya diri dengan cara yang tidak sah. Hal ini dikarenakan adanya tradisi guanxi
(koneksi) di kalangan elite yang sangat mendalam dan pandangan tentang uang kaum
reformis, bahwa menjadi kaya itu mulia sehingga memunculkan motivasi untuk cepat kaya.
Reformasi tersebut membuka kesempatan yang luas untuk menjadi kaya bagi rakyat di negara
sosialis-komunis tersebut.
Beberapa kebijakan reformis dibuat tidak rinci sehingga menghasilkan kelemahan
struktural yang menjadi sarana korupsi. Desentralisasi administratif, sistem harga ganda,
perkembangan ekonomi swasta, serta privatisasi BUMN yang ‘setengah hati’ telah
memberikan jalan bagi koruptor di China. Korupsi yang tersistem tersebut telah membuat
China kehilangan 2-3 % Gross Domestic Product (GDP)-nya. Kader-kader partai mudah saja
menggaji akuntan atau staf lain untuk melakukan money laundering di luar negeri, sebuah
operasi yang difasilitasi oleh integrasi ekonomi China di pasar global.
Menurut survei di tahun 1998 dan 1999, orang China melihat korupsi sebagai faktor
utama yang menyumbang pada instabilitas sosial. Di tahun 2000, sedikit berubah ketika
mereka yang disurvei menempatkan “pengangguran atau PHK” di atas korupsi sebagai
sumber utama instabilitas sosial. Skandal-skandal keuangan yang menyebar luas
menimbulkan kekacuan di banyak tempat di Cina. Statistik resmi menunjukkan bahwa 30%
perusahaan negara, 60% perusahaan joint venture, 80% perusahaan swasta, dan hampir
semua pemilik toko secara bergantian melakukan kecurangan dalam pajak. Korupsi yang
meluas di China merefleksikan sebuah krisis sosial, politik yang dalam.
Peristiwa Tiananmen 8 Juni 1989 menandai berakhirnya tahap revolusioner gerakan
Komunis dan kini para pemimpin China secara terbuka mengakui bahwa Partai Komunis
China (PKC) telah berubah dari alasan pendiriannya sebagai partai vanguard yang
proletarian, para kader Partai kini merasa bahwa mereka tidak lagi dibatasi oleh etika
ortodoks. Banyak di antara mereka melihat pluralisme ekonomi sebagai kesempatan bagi
mereka untuk berbuat curang. Ketakutan bahwa reformasi ekonomi akan gagal dan tiadanya
keyakinan diri bahwa masyarakat akan tetap stabil dalam jangka waktu yang lama lebih jauh
mendorong mereka untuk cepat menjadi kaya. Slogan Mao “melayani rakyat” telah dibuang
jauh-jauh untuk digantikan motto baru “gunakan kekuasaan sebaik-baiknya selagi engkau
masih berkuasa”.
Di China dilakukan pemutihan semua koruptor yang melakukan korupsi sebelum tahun
1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tetapi begitu ada korupsi sehari sesudah
pemutihan, pejabat itu langsung dijatuhi hukuman mati. Hingga Oktober 2007, sebanyak
4.800 pejabat di China dijatuhi hukuman mati.
BAB III
Penutup
1. KESIMPULAN
Cara pemberantasan dan hukuman koruptor antara satu negara dengan negara lain
berbeda-beda, hal ini terlihat dari uraian di atas. Setiap negara telah berusaha, bagaimana
caranya agar para koruptor bisa dibasmi dari negara masing-masing. Mulai dari zaman
dahulu hingga sekarang pemerintah di setiap negara telah berusaha menangani kasus korupsi
dengan serius.
2. SARAN
Kami mengharap kritik dan saran dari ibu dosen atau teman teman sekalian demi
perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Grafitti Press, Jakarta,
2006.
Syahrin, Alvi. Beberapa Masalah Hukum, PT. Softmedia, Medan, 2009.
Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta, 1984.