Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Santi Nurhidayah, Fahma Attila Hafizhah, Risna Zulfaidah, Ririn Reyna Wati, Izmi Dhea
Annisa Putri, Sabrina Kiki Indaswari, [Zulkarnain S.Pd, M.Pd]
Program Studi Akuntansi Perpajakan Politeknik Negeri Balikpapan
santinurhidayah943@gmail.com, [zulkarnain@poltekba.ac.id]

Abstrak
Salah satu masalah nasional yang belum teratasi adalah korupsi. Termasuk juga upaya
pemberantasannya. Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda penting pemerintah
dalam rangka membersihkan diri dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi merupakan
penyakit birokrasi yang penyembuhannya hanya dapat dilakukan melalui reformasi birokrasi.
Korupsi di Indonesia juga terjadi karena kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh
Pemerintah. Sejak masa pemerintahan Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono,
berbagai kebijakan publik untuk membentuk badan anti korupsi telah diterbitkan, namun
sejauh ini masih belum efektif dan korupsi masih terus meningkat. Korupsi yang ada di
Indonesia dari era Orde Lama hingga Reformasi menjadi masalah yang penting karena
berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia sehingga pemerintah
melakukan berbagai upaya dalam menyelesaikan masalah korupsi yang ada di Indonesia.
Masalah korupsi dari era Orde Lama hingga saat ini serta upaya yang dilakukan pemerintah
dalam menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia menjadi landasan pengambilan judul
dalam penelitian "Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia".
Kata kunci: korupsi, sejarah, orde lama, orde baru, reformasi

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Penelitian


Secara bahasa, kata corruption berasal dari bahasa latin yang disebut dirtyptio. Kata
ini memiliki kata kerja kotor yang berarti membusuk, merusak, goyah, merusak bentuk atau
disuap. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah
penggelapan atau penyalah gunaan uang negara, perusahaan, dan lain-lain untuk keuntungan
atau untuk tujuan lain. (Achmad Badjuri, 2011)
Korupsi merupakan hal yang sering ditemui dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tak hanya di indonesia saja korupsi menjadi salah satu masalah yang serius,
namun di seluruh negara yang ada di duniapun juga. Korupsi yang mulanya dilakukan secara
sederhana, namun seiring berkembangnya zaman tindakan korupsi tersebut juga ikut
berkembang dan menjadi masalah yang sulit untuk di tuntaskan. (Hikmatus Syuraida, 2015)
Banyaknya korupsi yang terjadi di masyarakat membuat timbulnya anggapan bahwa
korupsi sudah menjadi hal yang biasa terjadi dalam sebuah pemerintahan, hal tersebut jika
dibiarkan akan merusak moral bangsa dan akan menghancurkan suatu negara, seperti pada
tahun 1977 tugas dalam memberantas korupsi dilakukan oleh Komisi Empat Kopkamtib yang
melakukan Operasi Tertib (Opstib) dengan cara melakukan inspeksi mendadak ke depatemen-
departemen yang terkenal korupsi, dan menangkap basah para pelakunya. (Hikmatus
Syuraida, 2015)
Terbongkarnya tindakan korupsi yang begitu besar oleh Presiden Soeharto beserta
keluarganya membuktikan bahwa upaya pemberantasan korupsi pada masa orde baru tidak
bisa diterapkan dengan baik. Seiring berkembangnya zaman, upaya pemberantasan korupsi di
indonesia mengalami banyak kemajuan, seperti KPK yang dibentuk pada masa reformasi
berhasil membawa koruptor-koruptor yang merugikan negara dan mendapat hukuman yang
1
setimpal. Pada era orde lama yang dilakukan pemerintah dalam melakukan pemberantasan
korupsi yang sudah menjadi warisan budaya indonesia masih diangap kurang maksimal dan
kurang serius. (Hikmatus Syuraida, 2015)

1.2 Tujuan Penelitian


a). Untuk mengetahui contoh kasus korupsi dan upaya pemerintah dalam memberantas
korupsi di era orde lama.
b). Untuk mengetahui contoh kasus korupsi dan upaya pemerintah dalam memberantas
korupsi di era orde baru.
c). Untuk mengetahui contoh kasus korupsi dan upaya pemerintah dalam memberantas
korupsi di era reformasi.

1.3 Manfaat Penelitian


Memperluas wawasan dan pengetahuan penulis serta pembaca tentang sejarah pemberantasan
korupsi. Sehingga mengetahui dampak dari tindakan pemberantasan korupsi. Selain itu,
penulis dapat menjadi sarana pengukur, sejauh mana pemahaman mahasiswa terhadap sejarah
pemberantasan korupsi.

2. Kajian Pustaka

2.1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


Dalam undang-undang ini menjelaskan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang
didalamnya menjelaskan perbuatan apa saja yang termasuk kedalam tindak pidana korupsi
beserta hukuman pidananya.
2.2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Dalam undang-undang ini menjelaskan tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
2.3 Teori Klitgard
Klitgard membuat suatu teori/persamaan penyebab seseorang melakukan korupsi.
Persamaan tersebut menjelaskan bahwa seseorang melakukan korupsi ketika mempunyai
hak monopoli atas urusan tertentu yang disertai diskresi dalam menggunakan kekuasaan
namun lemah dalam hal pertanggungjawaban.
C=M+D–A
C = Corruption
M = Monopoly
D = Discretion
A = Accountability

3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian menggunakan metode penelitian
kualitatif berupa studi dokumen/teks dan metode penelitian sejarah (histori) yang terdiri
dari tiga langkah yaitu heuristik, interpretasi, dan historiografi. Langkah yang pertama
yaitu heuristik yang artinya mengumpulkan sumber. Pencarian sumber dilakukan penulis
melalui jurnal nasional seperti google scholar dan jurnal internasional seperti scient direct
dan taylor francis online. Langkah yang kedua yaitu interpretasi/penafsiran yang
dilakukan terhadap fakta-fakta yang telah dikumpulkan untuk dijadikan dasar dalam
pembahasan. Langkah yang terakhir yaitu historiografi yang berarti penulisan sejarah.

2
Penulisan dilakukan secara kronologis berdasar pada data yang telah dikumpulkan
sebelumnya.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Korupsi di Indonesia


Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, korupsi adalah tindakan melanggar hukum dengan maksud
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang berakibat merugikan Negara atau
perekonomian Negara. (Syuraida, 2015)
Tindakan korupsi merupakan suatu kejahatan yang disebut sebagai kejahatan luar
biasa, yang berarti dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan ataupun kedudukan
dalam lapisan masayarakat. (Syuraida, 2015)
Pemberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya sudah dilakukan sejak orde lama.
Berbagai upaya dan strategi telah dilakukan dalam pemberantasan korupsi seperti
dibuatnya peraturan perundang-undangan maupun lembaga anti korupsi. Akan tetapi, hal
itu masih tidak cukup menjamin bangsa ini terbebas dari korupsi.
Pemerintah telah berupaya memberantas korupsi melalui peraturan perundang-
undangan, yaitu diantaranya :
 TAP MPR No. X/MPR/1998 dan TAP MPR No. XI/MPR/1998;
 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari KKN;
 UU NO. 31 Tahun 1999 tentang Pembebasan Tindak Pidana Korupsi;
 Keppres RI No. 81 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Komisi Pemeriksa
Kekayaan Negara;
 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999;
 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Badjuri,
2011)
4.2 Korupsi Era Orde Lama
Orde Lama ini berlangsung dari tahun 1945 hingga 1966. Pada Era Orde Lama
ini,terjadi beberapa kasus korupsi diantaranya: korupsi minyak pada tahun 1965 dimana
Jaksa Penuntut Umum BAS Tobing mengajukan tuntutan masing-masing lima tahun
penjara kepada Kepala Depo PT Shell Kramasan Kertapati, Palembang Singgih Handjojo
dan Kepala PN Pertamin Perwakilan Sumsel di Palembang, Jahja Abdurrachman, pada
Agustus 1965 silam. Keduanya didudga telah melakukan pemalsuan DO penjualan
minyak pelumas dan melanggar pasal tindak pidana korupsi. Mereka dianggap merugikan
sampai sebesar Rp 4.650.000. (Syuraida, 2015)
Kasus korupsi yang terjadi di Era Orde Lama ini terjadi akibat kurangnya pengawasan
yang dilakukan oleh atasan kepada bawahan, sehingga banyak orang yang tidak
bertanggung jawab mengambil keuntungan dari situasi yang ada demi keuntungan
pribadinya. Hal ini bisa terjadi karena di era ini kondisi Indonesia yang masih baru
merdeka menyebabkan sistem pemerintahan yang ada masih kurang stabil. (Syuraida,
2015)
Pada era ini, gerakan perlawanan anti korupsi ditandai dengan mulai disahkannya
Undang-Undang Keadaan Bahaya pada awal tahun 60-an. Dari Undang-Undang tersebut
lahirlah Komisi Pemberantas Korupsi yang bernama PARAN (Panitia Retooling Aparatur
Negara). PARAN ini diketuai oleh Jenderal A. H. Nasution dengan dibantu oleh Prof. M.
Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Dalam hal ini PARAN hanya mengambil tindakan

3
pencegahan untuk memperbaiki masalah korupsi. Akan tetapi, pada akhirnya PARAN
mengambil tindakan tegas terhadap pelaku korupsi dengan melakukan Operasi Budi.
Tugas PARAN hanya melakukan pengawasan dan pengumpulan atas data kekayaan yang
dimiliki oleh para pejabat, jika telah terjadi tindakan penyelewengan yang melanggar
Undang-Undang akan dibawa langsung ke pengadilan. (Suraji, 2008)

4.3 Korupsi Era Orde Baru


Orde Baru ini berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Pada Era Orde Baru ini,
terjadi beberapa kasus korupsi diantaranya: pada 15 November 1957 dalam surat kabar
Angkatan Bersendjata terdapat kasus korupsi yang terjadi di Semarang, pada 12 Januari
1968, sebuah surat kabar mengenai kasus korupsi yang dilakukan oleh Pelaksana
Pembangunan Gedung PN Waskita Karya Palembang, pada 22 September 1977 terdapat
sebuah kasus korupsi yang terjadi dalam Lembaga Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS),
pada 19 November 1981 terdapat berita tentang tindakan penyelewengan yang terjadi di
Departemen Pertanian, pada 10 Juli 1967 terdapat sebuah kasus korupsi yang melibatkan
Kantor Pajak di Magelang, pada 27 Maret 1968, terdapat sebuah berita kasus korupsi yang
sangat besar dalam BNI Unit II yang berada di jalan Nusantara 18 Jakarta. (Syuraida,
2015)
Kasus korupsi yang terjadi di Era Orde Baru ini terjadi akibat penyalahgunaan
kekuasaan oleh para pemegang jabatan suatu instansi pemerintah ataupun perusahaan
demi keuntungannya sendiri. Korupsi pada Era Orde Baru ini kebanyakan dilakukan
karena monopoli kekuasaan para pemegang jabatan. Korupsi di Era Orde Baru meningkat
karena tiga alasan utama: pertama, dominasi dan intervensi militer. Sejak menjadi
pemimpin rezim Orde Baru, Soeharto telah menguasai kekuasaannya dengan
mengikutsertakan para jenderal dan ikut serta dalam kekuatan militer dalam jaringan
pemerintahan dan lembaga ekonomi (milik amper). Jaringannya dibentuk dalam kerangka
patronase dan menggunakan model kekuasaan yang terpusat dan otoriter. Kedua,
kapitalisasi dalam pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan akumulasi modal yang besar dari investor
(terutama investor asing) ke Indonesia. Untuk mendapatkan keuntungan dari proses
investasi, pengusaha cenderung membentuk aliansi dengan pengusaha dan pemerintah
daerah yang dianggap terhubung secara politik. Adanya aliansi antara pengusaha dan
amper kemudian akan menimbulkan distorsi dalam kebijakan ekonomi, pengusaha akan
mendapatkan berbagai kemudahan dari pemerintah, dan rakyat sering kali akan menderita
akibat kejahatannya. Pendeknya, peluang korupsi terbuka lebar dalam konteks amper
ekonomi yang buruk (kapitalisme Indonesia). Ketiga, prosedur birokrasi yang
diskriminatif. Korupsi dapat dikaitkan dengan amper amperral, terutama pembentukan
birokrasi pemerintah. Terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat di posisi strategis
yang bahkan amper merambah ke birokrat level bawah. (Suraji, 2008)
Pemerintahan Suharto dapat dibagi menjadi dua periode. Tahun-tahun awal yaitu 1966
hingga pertengahan 1980-an, ini adalah periode di mana ekonomi Indonesia dengan
kebijakan substitusi impor dan pemerintah menjalankan sebagian besar perusahaan besar.
Tahun-tahun berikutnya dimulai dari pertengahan 1980-an hingga 1998, di mana
Indonesia mengikuti rekomendasi Bank Dunia untuk memprivatisasi ekonominya dan
memberi perusahaan swasta peran yang lebih besar dalam pembangunan nasional.
(Arifianto, 2001)
Pada tahun-tahun awal Soeharto memiliki hubungan cukong dengan pengusaha etnis
Tionghoa. Cukong adalah hubungan antara pengusaha etnis Tionghoa dan pejabat sipil
dan militer asli Indonesia, di mana dengan imbalan suap, para perwira berjanji untuk
4
melindungi pengusaha dari kemungkinan gangguan yang terus berlanjut dan juga
memberikan akses pemerintah kepada para pengusaha (misalnya, kredit berbunga rendah,
keringanan pajak, dll.). (Schwarz, 2000). Hubungan cukong sangat bermanfaat bagi
pengusaha Tionghoa Indonesia yang mencari kontrak dengan instansi pemerintah dan
perusahaan milik Negara. Sejak hubungan cukong menyebar luas di seluruh negeri selama
pemerintahan Soeharto, tidak heran banyak orang Indonesia Tionghoa menjadi sangat
kaya dan memiliki kendali atas sebagian besar ekonomi. Hal ini menyebabkan kebencian
yang sangat besar oleh penduduk asli Indonesia terhadap orang Indonesia Tionghoa yang
berpuncak pada kerusuhan besar-besaran yang ditujukan terhadap mereka pada Mei 1998,
ketika Suharto digulingkan dalam sebuah pemberontakan rakyat. Penduduk asli Indonesia
yang menerima manfaat ekonomi dari Soeharto selama periode tahun-tahun awal sebagian
besar ialah perwira tentara Indonesia yang bersekutu dengan Soeharto selama masa
jabatannya di Angkatan Darat Indonesia. Suharto mengangkat banyak dari perwira-
perwira ini sebagai menteri kabinet, birokrat tinggi, dan direktur perusahaan milik negara,
dan mereka memiliki banyak kesempatan untuk memperkaya diri sendiri selama mereka
menduduki posisi ini. (Robertson-Snape, 1999)
Selama tahun-tahun terakhirnya, Suharto mulai mengubah penerima manfaat dari
kebijakannya dari pengusaha Tionghoa Indonesia ke keluarganya sendiri. Semua anak dan
saudara kandung Suharto menjadi konglomerat bisnis besar, seringkali mereka memiliki
hak monopoli atas sumber daya ekonomi yang bernilai tinggi. Perusahaan domestik dan
asing tidak punya pilihan selain menerima mereka sebagai mitra bisnis mereka, apalagi
mereka akan kehilangan dukungan dari pemerintah. (Schwarz, 2000)
Korupsi yang dilakukan Soeharto dan keluarganya ini sangat merugikan negara dan
rakyatnya. Hampir semua aspek pelayanan publik, dari aplikasi izin usaha hingga aplikasi
pribadi untuk SIM, KTP, dan bahkan akta kelahiran dan pernikahan, membutuhkan
pembayaran suap kepada petugas sebelum aplikasi dipertimbangkan. (Robertson-Snape,
1999). Sedangkan, mencari keadilan melalui pengadilan tidak mungkin bagi sebagian
besar orang Indonesia, karena polisi, jaksa, dan hakim berpihak kepada siapa yang lebih
memiliki uang yang banyak, sehingga orang-orang Indonesia yang miskin tidak memilki
kesempatan untuk meminta bantuan ketika hak-hak mereka disalahgunakan oleh
pemerintah atau kepentingan pribadi yang kuat. (Arifianto, 2001)
Pada Era Orde Baru ini,dibuatlah TPK (TIM pemberantasan korupsi). Akan tetapi,
TPK ini tidak memiliki keberanian untuk membongkar korupsi yang telah meningkat,
hingga akhirnya terjadi demonstrasi pada tahun 1970 oleh para mahasiswa yang menuntut
Soeharto untuk memenuhi janjinya untuk yang akan memberantas korupsi sampai ke
akarnya, terutama di Pertamina, Bulog, serta Departemen Kehutanan. Dari hal tersebut,
mucul lah inisiatif untuk dibentuknya “Komite Empat”. Akan tetapi, lagi-lagi lembaga
tersebut juga tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah
menggerakkan operasi yang bernama “OPSTIB” (Operasi Tertib) yang diketuai oleh
Laksamana Sudomo. (Suraji, 2008)
Pada Era Orde Baru ini banyak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang
ada karena masa Orde Baru ini terbilang cukup lama. Peraturan tersebut diantaranya :
GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam
Pengelolaan Negara; GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam
rangka Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang,
Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar
serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan
Pembangunan; Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
5
Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban; Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

4.4 Korupsi Era Reformasi


Era Reformasi ini berlangsung dari tahun 1998 hingga sekarang. Setelah berkahirnya
Orde Baru, di Era Reformasi ini dipimpin oleh B. J. Habibie. Upaya pemerintah selama
Era Reformasi untuk memberantas korupsi antara lain dengan membuat Undang-Undang
Anti Korupsi dan Pembentukan Lembaga Anti Korupsi. Sebuah badan anti korupsi yang
dibentuk bernama Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN).
Pembentukan KPKPN ini berdasarkan Keputusan Presiden No 127 Tahun 1999. Akan
tetapi, KPKPN ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat karena KPKPN ini masih
dianggap kurang mampu dalam memberantas korupsi yang ada. (Syuraida, 2015)
Pada masa pemerintahan KH Abdurrachman Wachid, gerakan anti korupsi dilakukan
dengan pembentukan lembaga antikorupsi yang disebut “Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi” (TGPTPK) yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2000 Pemerintah. Sayangnya, organisasi yang diketuai oleh Hakim
Agung Andi Andojo itu akhirnya bubar karena menurut Mahkamah Agung (melalui
Judicial Review), keberadaan dan strukturnyatidak lazim. (Suraji, 2008)
Selama masa kepresidenan Megawati, komitmen untuk melanjutkan pemberantasan
korupsi juga terus tumbuh. Pada periode inilah pemerintah membentuk Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Struktur dan
kelembagaan KPK tidak terpengaruh oleh kekuasaan apapun. Setelah berdiri, KPK
langsung bekerja sangat keras. Jadi, meski merupakan lembaga baru, KPK tampil sebagai
diktator dan ditakuti pejabat. Banyak pejabat dan politisi, terutama DPR/DPRD, diadili
atas tuduhan korupsi. Meski banyak PNS dan politisi terjerat hukum karena kasus
korupsi. (Suraji, 2008)
Kinerja KPK untuk memberantas korupsi sangat penting dan mulai membawa efek
jera. Terdapat beberapa kasus korupsi yang berhasil diungkap KPK antara lain : kasus
penjualan aset kredit PT PPSU oleh BPPN, kasus penyalahgunaan fasilitas preshipment
dan placement deposito dari Bl kepada PT Texmaco Group melalui Bank BNI, kasus
penyalahgunaan jabatan oleh Kepala Bagian Keuangan Dirjen Perhubungan Laut dalam
pembelian tanah, dan kasus pengadaan Busway pada Pemda OKI Jakarta. (Suraji, 2008)

4.4 Upaya Mengurangi Korupsi

a) Mengurangi peran pemerintah dalam perekonomian. Dengan menghilangkan peraturan


atau program pemerintah yang tidak efisien yang mendorong korupsi, pejabat publik akan
kehilangan sumber yang biasanya mereka gunakan untuk mengambil uang sewa dari
warga. Selain itu, juga akan menciptakan pasar yang lebih efisien dan kompetitif. Namun,
hanya mengurangi peran pemerintah dalam perekonomian tidak cukup, karena di banyak
negara seperti Indonesia, korupsi masih terjadi bahkan ketika pemerintah telah
mengurangi perannya dalam perekonomian. Dengan demikian, langkah ini harus diambil
bersama langkah lainnya. (Rose-Ackerman & Palifka, 2016)
b) Mengesahkan undang-undang anti korupsi yang keras dan menegakkannya secara ketat
untuk mencegah pejabat pemerintah melakukan korupsi. Jika ada undang-undang
antikorupsi yang kuat dan dapat ditegakkan, dengan kemungkinan lebih tinggi bahwa
pelanggar akan dihukum dan menjalani hukuman penjara yang lama, korupsi akan
berkurang. Indonesia sudah merevisi undang-undang antikorupsi tahun lalu, dengan
hukuman maksimal mati bagi pelanggar paling korup. Masalah dengan undang-undang
6
ini, bersama dengan undang-undang antikorupsi sebelumnya adalah penegakannya yang
lemah. Tidak ada pejabat tinggi pemerintah atau mantan pejabat pemerintah yang
dihukum secara pantas berdasarkan undang-undang baru ini, dan dalam kasus pelanggar
paling menonjol yang diadili dan dihukum berdasarkan undang-undang ini, hukuman
Tommy Soeharto, yang awalnya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara kemudian turun
menjadi 10 tahun penjara dan dipankas lagi menjadi 6 tahun penjara. Oleh karena itu,
pengesahan undang-undang antikorupsi yang baru saja tidak cukup untuk mencegah
perilaku korupsi. Yang kita butuhkan adalah penegakan hukum yang kuat sehingga
pejabat pemerintah tidak akan melakukan tindakan korupsi. (Rose-Ackerman & Palifka,
2016)
c) Reformasi sistem rekrutmen dan promosi PNS. Rekrutmen dan promosi pejabat
pemerintah harus didasarkan pada prestasi dan prestasi daripada kemampuan untuk
membeli jabatan tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa perekrutan profesional dan
promosi pegawai negeri berkorelasi dengan berkurangnya korupsi.
d) Meningkatkan pengawasan independen terhadap korupsi. Pembentukan kelompok
"pengawas" korupsi yang independen juga dapat menjadi sarana untuk mengurangi
korupsi. Kelompok-kelompok semacam itu dapat dibentuk dalam bentuk sistem peradilan
yang independen, badan anti korupsi resmi ataupun organisais-organsasi. Selain mencegah
korupsi, kelompok-kelompok tersebut juga dapat meningkatkan partisipasi warga negara
di ranah publik dan menggerakkan negara menjadi lebih demokratis dan transparan.
(Arifianto, 2001)

5. Kesimpulan, Keterbatasan, dan Saran

5.1 Kesimpulan
Korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri
sendiri/memperkaya orang lain, baik perseorangan maupun perusahaan, yang dapat
merugikan keuangan Negara/perekonomian Negara. Masalah korupsi sebenarnya bukan
masalah baru di Indonesia, karena sudah ada sejak 1950an. Korupsi di Indonesia dan
ditambah dengan ketidakcukupan hukum pidana yang ada, reformasi undang-undang
korupsi adalah pilihan. Setiap hari perkembangan korupsi di Indonesia tidak berkurang,
semakin hari semakin meningkat dan berdampak pada masyarakat. rakyat harus
menanggung akibat korupsi. Upaya pemberantasan korupsi melalui penerapan hukum
yang adil saat ini tampaknya membutuhkan perjuangan yang berat. Karena korupsi
merupakan kejahatan luar biasa yang berbeda dengan tindak pidana biasa, maka upaya
yang harus dilakukan memerlukan sistem yang terintegrasi dan luar biasa. Salah satu
“upaya luar biasa” yang dilakukan adalah membentuk lembaga penegak hukum baru
dalam sistem peradilan pidana, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tertuang
dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 30 Tahun 2002
sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Tindak Pidana Korupsi Kenyataan menunjukkan bahwa upaya
pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini belum dapat dilakukan secara optimal
karena selama ini lembaga-lembaga pemerintah (secara luas) yang menangani kasus-kasus
tindak pidana korupsi, termasuk sistem peradilan, belum berfungsi dengan baik dan
efektif. Memang harus diakui secara jujur, fakta bahwa publik telah kehilangan
kepercayaan terhadap lembaga-lembaga tersebut. Pemberantasan tindak pidana korupsi
harus menghormati undang-undang yang ada tentang korupsi dengan mengutamakan
pertanggungjawaban pidana terlebih dahulu, baru pertanggungjawaban perdata.

7
5.2 Keterbatasan

Dari penelitian ini terdapat bebrapa keterbatasan yang menimbulkan gangguan dan
kurangnya hasil penelitian ini. Keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini antara lain
mencakup hal hal sebagai berikut:
1. Keterbatasan literatur hasil penelitian sebelumnya yang masih kurang peneliti daptkan.
Sehingga mengakibatkan penelitian ini memiliki banyak kelemahan baik dari segi
hasil penelitian maupun hasil analisisnya.
2. Keterbatasan waktu dalam melakukan penelitian sehingga hasil yang didapatkan
masih banyak kekurangan.

5.3 Saran
Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan yang kami miliki, baik dari tulisan
maupun bahasa yang kami sajikan. Oleh karena itu mohon berikan saran agar kami bisa
membuat jurnal yang lebih baik lagi, dan semoga jurnal ini bisa bermanfaat bagi kita
semua serta menjadi wawasan kita dalam memahami sejarah pemberantasan korupsi di
Indonesia.

8
Daftar Pustaka
1. Arifianto, A. (2001). Corruption in Indonesia: Causes, history, impacts, and possible cures.
Braindeis University, 1–26.
2. Badjuri, A. (2011). Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga anti
korupsi di indonesia. Jurnal Bisnis Dan Ekonomi (JBE), 18(1), 84–96.
3. Robertson-Snape, F. (1999). Corruption, collusion and nepotism in Indonesia. Third World
Quarterly, 20(3), 589–602.
4. Rose-Ackerman, S., & Palifka, B. J. (2016). Corruption and government: Causes,
consequences, and reform: Second edition. Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform: Second Edition, 1–644.
5. Suraji. (2008). Sejarah Panjang Korupsi di Indonesia dan Upaya Pemberantasannya. In
JKAP (Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik) (Vol. 12, Issue 2, pp. 135–148).
6. Syuraida, H. (2015). Perkembangan Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Era Orde Lama
Hingga Hera Reformasi. Jurnal Pendidikan Sejarah, Volume 3(2), 230–238.
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/12011/11203
7. Schwarz, Adam. (2000). A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability. Boulder,
CO: Westview Press.

Anda mungkin juga menyukai