Anda di halaman 1dari 10

NAMA : AWALIA AGUSTINA

NIM : P133742011337

PRODI : DIII KEPERAWATAN SEMARANG KELAS KENDAL

TUGAS : RESUME SEJARAH PERJALANAN ANTI KORUPSI DARI PARA


TOKOH BANGSA BERINTEGRITAS DAN TOKOH KESEHATAN

SEJARAH PERJALANAN ANTI KORUPSI DARI PARA TOKOH


BERINTEGRITAS DAN TOKOH KESEHATAN

A. SEJARAH PERJALANAN KORUPSI DI INDONESIA


Korupsi sudah membudaya sejak zaman dahulu yakni dimulai periode pra
kemerdekaan, sesudah kemerdekaan, di era orde lama, orde baru, berlanjut hingga era
reformasi. Berikut ini sejarah perjalanan korupsi di Indonesia menurut Rahayu (2011)

Pada kenyataannya upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah


membalikkan telapak tangan. Korupsi dapat menghambat proses pembangunan negara
ke arah yang lebih baik, seperti ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat,
minimnya komitmen dari elit pemerintahan menjadi faktor penyebab mengapa KKN
masih tumbuh subur di Indonesia semua itu karena hukum tidak sama dengan
keadilan, hukum datang dari otak penguasa, sedankan keadilan datang dari hati
sanubari rakyat.

Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia dibagi 2 yaitu:

a. Pra kemerdekaan yang dibagi lagi menjadi masa kerajaan dan masa kolonial
Belanda dan pasca kemerdekaan
b. Pasca kemerdekaan yaitu jaman orde lama, order baru, dan reformasi

1. Pra kemerdekaan
a. Masa kerajaan
Sejak Negara Republik Indonesia belum terbentuk masih berupa kerajaan-kerajaan,
korupsi sudah terjadi bahkan salah satu penyebab kehancuran kerajaan-kerajaan
besar seperti Sri Wijaya, Majapahit, dan Mataram adalah perilaku korupsi dari
sebagian besar bangsawannya. Gejala korupsi dan penyimpangan kekuasaan masih
didominasi para kalangan elit bangsawan, sultan, dan raja, sedangkan rakyat kecil
nyaris belum mengenal atau memahaminya.
b. Masa kolonial Belanda
Perilaku korup bukan hanya oleh masyarakat Nusantara saja, akan tetapi orang
Belanda, Portugis dan jepan pun gemar mengkorup harta-harta korpsnya, institusi,
atau pemerintahannya. Budaya yang sangat tertutup dan penuh keculasan tersebut
turut menyuburkan budaya korupsi di indonesia, seperti kebiasaan mengambil
upeti (pajak) dari rakyat. Pada era kolonialisme belanda, kebiasaan mengambil
"upeti" dari rakyat kecil yang dilakukan oleh para bangsawan (Raja) Jawa ditiru
oleh belanda ketika menguasai Nusantara. Akibatnya banyak terjadi perlawanan
rakyat terhadap Belanda seperti perlawanan Diponegoro (1825-1830), Imam
Bonjol (1821-1837), Perlawanan Aceh (1873-1904), dll.

2. Pasca kemerdekaan
a. Orde lama
1) Pasca kemerdekaan, Pemerintah telah melakukan berbagai gerakan
pemberantasan korupsi melalui badan pemberantasan korupsi dengan nama
yang berbeda-beda. Tahun 1959 Presiden Sukarno membentuk Badan
Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (BAPEKAN) Lembaga ini diketuai oleh
Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam masa kerjanya BAPEKAN berhasil
mengungkap praktik korupsi mulai kelas pegawai sampai pejabat
pemerintahan. Tahun 1962 BAPEKAN dibubarkan. Kemudian dibentuk
Panitia Retooling Aparatur negara (PARAN) diketuai oleh AH. Nasution,
berhasil membongkar korupsi oleh beberapa pejabat pemerintahan.
2) Kepres No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan
dengan membentuk lembaga yang bertugas meneruskan kasus-kasus korupsi
di meja pengadilan yang dikenal “Operasi Budhi”. Usaha PARAN akhirnya
mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik presiden,
sehingga diserahkan kembali ke pemerintah (kabinet juanda).
3) Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara
dapat diselamatkan, karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya
Operasi Budhi di hentikan. Soebandrio mengumumkan pembubaran Operasi
Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi komando tertinggi Retooling
Aparat Revolusi (KOTRAR), diketahui langsung oleh presiden soekarno.
b. Orde baru
1) Dibentuknya tim pemberantasan korupsi (TPK) diketuai JAGUNG.
2) Dibentuk komite empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih
dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A
Tjokroaminoto dengan tugas utama membersihkan Depag, Bulog, CV waringin
PT Mantrust, Telkom dan Pertamina. Namun komite ini hanya “Macan
Ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di BUMN tidak
direspon pemerintah.
3) Dibentuknya Operasi Tertib (Opstib) memberantas korupsi. Seiring dengan
berjalannya waktu (Opstib) pun hilang ditiup angin tanpa bekas.
c. Reformasi
Laksaman Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di
masyarakat karena kebijaksanannya menjual aset-aset negara. Pada tahun 2003
dibentuk suatu komisi untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi
di indonesia. Komisi ini dinamai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), didirikan
berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002.

B. PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA PADA MASA ORDE LAMA,


ORDE BARU, DAN REFORMASI

Korupsi merupakan musuh bersama masyarakat dan bangsa Indonesia.


Pemerintah dalam hal ini menyadari betapa korupsi merupakan penyakit yang harus
diberantas. Oleh karenanya, sejak pemerintahan orde lama hingga era reformasi, telah
diupayakan berbagai cara untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Pada
masa orde lama, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki peran besar dalam
melakukan pemberantasan korupsi. Hal ini dibuktikan dengan inisiatif penguasa
militer pada saat itu dengan mengeluarkan peraturan antikorupsi (PAK) yang diketuai
A.H. Nasution. Untuk mendukung sikap tegas tentara terhadap korupsi, tahun 1960
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960.
Pada tahun-tahun berikutnya dibentuk PARAN dan Operasi Budhi guna mendukung
upaya percepatan pemberantasan korupsi.
Pada masa orde baru dibentuk lembaga uang bertugas memberantas korupsi.
Demikian pula, dikeluarkan berbagai peraturan untuk memberantas korupsi.
Berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 dibentuk Tim Pemberantas Korupsi
yang diketuai Jaksa Agung Sugiharto. Setelah itu dibentuk Komisi Empat yang
diketuai Wilopo dan juga dibentuk Komisi Antikorupsi. Untuk memperkuat upaya
pemberantasan korupsi dikeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Guna meningkatkan efektivitas
pemberantasan korupsi, Presiden Soeharto juga membentuk tim operasi tertib, yang
salah satunya berfungsi untuk melakukan pemberantasan korupsi.

Era reformasi merupakan era emas pemberantasan korupsi, utamanya pada


masa pemerintahan SBY. Jauh sebelum SBY menjadi presiden, telah ditetapkan TAP
MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme. Setahun berikutnya, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme. Dalam UU ini ditetapkan adanya suatu Komisi Pemeriksa, yang tugasnya
melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi. Komisi ini
bubar setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam
memberantas korupsi dikeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian diperbarui lagi
dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sebagai bukti keseriusan
pemerintah SBY, pemerintah menetapkan Rencana Aksi Nasional (RAN)
Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009, yang kemudian ditindaklanjuti dengan
ditetapkannya RAN pemberantasan korupsi.

Dari berbagai fakta dan data tentang aktivitas pemberantasan korupsi di


Indonesia sejak era orde lama hingga reformasi, menunjukkan bahwa pemerintah
serius dalam melakukan pemberantasan korupsi. Masyarakat pada era reformasi
memberikan dukungan penuh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Buktinya,
banyak berdiri lembaga-lembaga nirlaba yang bergerak pada bidang pemberantasan
korupsi.

C. TOKOH ANTIKORUPSI BERINTEGRITAS DAN TOKOH KESEHATAN


1. TOKOH BERINTEGRITAS
a. Mohammad Hatta

Nama Mohammad Hatta sudah tak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Ia
adalah salah satu pahlawan proklamasi bersama Sukarno. Selain berjasa besar
bagi kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta, sapaan akrabnya, juga memiliki
rekam jejak sebagai seorang sosok yang sangat anti terhadap korupsi.

Salah satu kisahnya ada pada 1970, ketika Bung Hatta dan rombongan
mengunjungi Tanah Merah, Irian Jaya, tempat ia sempat dibuang oleh kolonial
Belanda. Di Irian Jaya, Bung Hatta disodori amplop berisi uang. Uang tersebut
sebenarnya bagian dari biaya perjalanan Bung Hatta yang ditanggung
pemerintah.

Namun, Bung Hatta menolaknya. "Uang apa lagi...? Bukankah semua


ongkos perjalanan saya sudah ditanggung pemerintah? Dapat mengunjungi
daerah Irian ini saja saya sudah bersyukur. Saya benar-benar tidak mengerti
uang apa lagi ini?" kata Bung Hatta.

Bung Hatta juga mengatakan bahwa uang pemerintah pun sebenarnya


adalah uang rakyat. "Tidak, itu uang rakyat, saya tidak mau terima..
Kembalikan," tegas Bung Hatta seperti dikutip dari buku berjudul Mengenang
Bung Hatta (2002). Ketegasan Bung Hatta perihal korupsi juga tecermin pada
hal yang sederhana. Pada suatu ketika, Hatta menegur sekretarisnya karena
menggunakan tiga lembar kertas kantor Sekretariat Wakil Presiden untuk
mengirim surat pribadi. Menurut Hatta, kertas itu adalah aset negara yang
merupakan uang rakyat. Hatta pun mengganti kertas tersebut dengan uang
pribadinya. (Andri Setiawan)

b. Hoegeng

Usai pensiun, Kapolri Hoegeng tak memiliki rumah mewah ataupun


kendaraan mewah. Ia hidup sederhana dengan kejujuran hingga akhir hayatnya.
Gus Dur pernah berkata, "Hanya ada tiga polisi yang tidak bisa disuap, yakni
patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng." Kalimat tersebut diutarakan Gus Dur
lantaran Hoegeng memang merupakan ikon polisi jujur dan antisuap. Sepak
terjangnya sebagai seorang polisi yang amanah memang patut ditiru. Ketika
menjabat sebagai Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet, Hoegeng seharusnya
mendapat mobil dinas dan mobil keluarga. Ia menolak satu mobil, yaitu mobil
keluarga. "Hoegeng mau simpan di mana lagi, Mas Dharto? Hoegeng tak punya
garasi lagi," katanya kepada sekretarisnya dalam Hoegeng, Polisi dan Menteri
Teladan (2014). Namun karena sudah ketentuan, mobil tersebut akhirnya
diterima. Akan tetapi, mobil tersebut disimpan di rumah sekretarisnya dan
hanya akan dipakai ketika perlu saja. Selain itu, Hoegeng juga pernah menerima
hadiah mobil dari perusahaan Dasaad Musin Concern yang memegang lisensi
beberapa mobil merek Eropa dan Jepang. Namun, oleh Hoegeng surat
pemberitahuan hadiah tersebut tak ditanggapi dan malah diberikan kepada
seorang teman. Selain mobil, Hoegeng juga pernah menolak hadiah dua motor.
Oleh Hoegeng, kedua motor tersebut langsung dikembalilan pada hari
kedatangan. Ia memang tak pernah mau menerima hadiah-hadiah yang tidak
jelas juntrungannya.

Ketika menjadi Kapolri, pemilik rumah yang disewa Hoegeng tidak mau
dibayar. Ia akhirnya harus membayarnya lewat wesel. Hoegeng memang sangat
menghindari politik balas budi meski dalam bentuk yang paling sederhana.
Hoegeng berpesan mengenai cara memberantas korupsi yang menurutnya
efektif.

"Kalau mau menghilangkan korupsi di negara ini, sebenarnya gampang.


Ibaratnya, kalau kita harus dimulai dari atas ke bawah. Membersihkan korupsi
juga demikian. Harus dimulai dengan cara membersihkan korupsi di tingkat
atas atau pejabatnya lebih dulu, lalu ke turun badan atau level pejabat eselonnya
dan akhirnya ke kaki hingga telapak atau ke pengawal bawah," kata Hoegeng
kepada anaknya Didit Hoegeng.

c. Baharuddin Lopa

Baharuddin Lopa adalah sosok lain dalam ikon antikorupsi di Indonesia.


Namanya santer disebut sebagai Jaksa Agung yang tegas dan tak pandang bulu
dalam penegakan hukum. Lopa juga sangat galak terhadap setiap tindak tanduk
yang menjurus ke korupsi. Lopa adalah Jaksa Agung Republik Indonesia pada 6
Juni 2001 hingga meninggal dunia pada 3 Juli 2001.
Pernah suatu ketika, Lopa ingin membeli mobil pribadi karena tidak mau
menggunakan mobil dinas untuk kegiatan keseharian. Lopa menghubungi Jusuf
Kalla yang merupakan pengusaha otomotif dan menginginkan sedan yang
paling murah. Kalla pun membohongi Lopa dengan menawarkan Corolla
seharga Rp 5 juta. Padahal harga sesungguhnya Rp 27 juta. Karena tidak mau
membeli dengan harga teman tersebut, Lopa akhirnya membayar mobil tersebut
dengan harga asli. Mobil tersebut lunas setelah dicicil selama tiga tahun.

"Ya... boleh terima mobil darimu karena memang tidak ada urusan apa
pun. Tapi, suatu saat kau atau temanmu punya urusan kemudian datang dan
minta tolong. Saya tidak tegak lagi karena telah tersandera oleh pemberianmu
waktu itu," ungkap Lopa kepada Kalla di kemudian hari.

Baharuddin Lopa sangat anti terhadap suap. Lopa sering menerima parsel
ketika hari raya, tapi semua parsel yang dikirim ke rumahnya selalu
dikembalikan. Suatu kali, anak-anak Lopa mengambil cokelat dalam parsel dan
menutup kembali bungkus parsel tersebut. Namun hal ini ternyata diketahui
oleh Lopa.

"Jadi parsel itu mereka buka diambil cokelatnya, kemudian saya cari
bungkus cokelat itu di toko, kemasannya apa, mereknya apa harus sama, saya
masukkan kembali dan saya bungkus kembali parsel itu lalu saya kembalikan,"
kata Lopa bercerita kepada seorang sahabatnya.

Mantan Ketua KPK Abraham Samad menganggap Lopa adalah sosok yang
sangat bersahaja dan sederhana. Sebagai seorang pejabat, Lopa pun tidak
memiliki harta melimpah sampai akhir hidupnya.

"Rumahnya di Makassar sangat sederhana sebagai rumah seorang pejabat


tinggi negara pada saat itu, dibandingkan dengan para pejabat tinggi saat itu dan
sekarang ini," tulis Abraham Samad dalam buku Apa dan Siapa

Baharudin lopa (2012).

2. TOKOH KESEHATAN DI INDONESIA


a. Prof. Dr. Gerrit A. Siwabessy
Prof. Dr. Gerrit A. Siwabessy lahir di Desa Ullath, Pulau Saparua, 19
Agustus 1914. Ia merupakan lulusan dari Sekolah Kedokteran NIAS di
Surabaya pada tahun 1942. Pada tahun 1949 ia melanjutkan studi ke Inggris
(London) dan mendalami bidang Radiologi dan Kedokteran Nuklir di London
University. Ketika kembali ke Indonesia tahun 1962 diangkat sebagai Kepala
Bagian Radiologi (Ilmu Sinar) pada rumah sakit pusat atau Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM).

Kemudian Dr. Siwabessy merintis pembinaan di bidang radiologi antara


lain: mendirikan Sekolah Asisten Rontgen di RSCM, melatih para dokter
penyakit paru-paru, mengatur dan membina kegiatan-kegiatan klinis dalam
bidang radiologi di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Dr. Siwabessy
kemudian diangkat sebagai Kepala Lembaga Radiologi Departemen Kesehatan
dan juga menjadi ketua dari Panitia Penyilidikan Radioaktivitas dan Tenaga
Atom.

Pada tahun 1954 didirikanlah Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan
Siwabessy menjadi direkturnya. Dua tahun kemudian ia dikukuhkan sebagai
Guru Besar Radiologi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Siwabessy juga pernah mengepalai Tim Dokter Kepresidenan. Pada Kabinet
Pembangunan ia menjadi Menteri Kesehatan selama dua periode.

Ia meninggal dunia di Jakarta pada tahun 1981. Tokoh nasional dan


“Bapak Atom” Indonesia ini dihargai jasa-jasa dan pengabdiannya oleh
Pemerintah RI dan bangsa Indonesia sebagai seorang Mahaputera Indonesia
yang besar dan dianugerahi bintang tertinggi yaitu Bintang Mahaputera Utama.

b. Abdulracman Saleh

Nama beliau diabadikan menjadi nama Bandar Udara di Malang, Jawa


Timur. Beliau merupakan seorang dokter yang juga Marsekal Muda
(Anumerta). Setelah lulus pendidikan dokter, beliau mendalami fisiologi,
sehingga beliau diangkat sebagai Bapak Fisiologi di Indonesia. Julukan beliau
saat berkiprah di dunia militer adalah Karbol. Agar para kadet TNI AU setelah
beliau meneladani beliau, maka sampai saat ini kadet TNI AU masih dipanggil
Karbol. Selain berkiprah di militer beliau merupakan inisitor terbentuknya
Radio Republik Indonesia (RRI).
c. Prof. Dr. Sardjito

Prof. Dr. Sardjito lahir pada 13 Agustus 1889 di desa Purwodadi,


Kawedanan, Mageran, wilayah Keresidenan Madiun. Pada tahun 1907 Sardjito
melanjutkan jenjang pendidikannya ke pendidikan tinggi kedokteran di
STOVIA (School toot Opleiding voor Indische Artsen) serta meraih gelar
dokter dengan predikat sebagai lulusan terbaik di tahun 1915.

Rektor pertama Universitas Gadja Mada (UGM) ini patut disebut sebagai
pahlawan kesehatan. Sebab, semasa hidupnya Sardjito merupakan perintis
lahirnya Palang Merah Indonesia. Semasa perang dahulu, Sardjito berupaya
sekuat tenaga agar ketersediaan obat-obatan dan vitamin bagi para prajurit atau
tentara Indonesia selalu terpenuhi. Bahkan ia sempat mendirikan pos kesehatan
tentara di Yogyakarta dan sekitarnya. Kini, namanya telah menjadi nama satu
Rumah Sakit (RS) di Yogyakarta.

d. Moewardi

Dokter Moewardi merupakan dokter spesialis Telinga, Hidung, dan


Tenggorokan dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Beliau juga
pernah ditunjuk sebagai Ketua Umum Barisan Pelopor menggantikan Bung
Karno setelah Proklamasi Kemerdekaan. Atas perintah Dr. Moewardi, Barisan
Pelopor mempersiapkan pelaksanaan Acara Pembacaan Teks Proklamasi yang
dilaksanakan di Pegangsaan Timur pada 16 Agustus 1945. Melalui SK Presiden
RI no. 190 tahun 1964, beliau dianugrahi gelar Pahlawan Kemerdekaan
Nasional. Nama beliau kemudian diabadikan sebagai nama rumah sakit di Solo,
RSUD DR. Moewardi.

e. Hasri Ainun Besari

Hasri Ainun Besari atau Bu Ainun menikah dengan teman SMA nya, Rudy
Habibie yang kelak menjadi presiden ke-3 di Indonesia. Ia mendapatkan gelar
dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1961 dan
bekerja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Semasa hidup, beliau
membangun bank mata yang memiliki manfaat cukup besar bagi
keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia. Tindakan mulia ini mendapat
apresiasi begitu besar dari Menteri Kesehatan Republik Indonesia kala itu, Nila
F Moeloek. Beliau juga salah seorang yang getol memperjuangkan Indonesia
bebas rokok.

DAFTAR PUSTAKA

Karyanti, Tri. Prihati, Yani. Galih, Sinta Tridian. (2019). Pendidikan Anti Korupsi Berbasis
Multimedia. Yogyakarta : Deepublish CV Budi Utama

Trionovani, Elvi. (2016). Pengetahuan Budaya Anti Korupsi. Jakarta: Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia

YUNIARTO, TOPAN. (2018). Kisah Tiga Tokoh Antikorupsi. Dalam Kompas, 15 Desember
2018 07:00 WIB

Handoyo, Eko. 2013. Pendidikan Anti Korupsi. Yogyakarta: Ombak.

Anda mungkin juga menyukai