Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

BAYI TABUNG DAN SURROGATE


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Etikolegal dalam pelayanan kebidanan.
Dosen pengampu Sri Wisnu, SST. M.keb

Disusun Oleh :
Thasya Vinny Siti Yuniarsyah
P17324119062
Tingkat 1B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG


PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN BANDUNG
TAHUN AJARAN 2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan
kuasa-Nya penulis bisa menyelesaikan makalah berjudul “Bayi Tabung” dengan lancar
tanpa kendala yang berarti. Tidak lupa shalawat serta salam semoga tercurah limpah
kepada Nabi Muhammad SAW berserta keluarga, para sahabat, dan kita selaku
umatnya.
Penulisan makalah mata kuliah Etikolegal Dalam Praktik Kebidanan ini tidak
terlepas dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua orang yang terlibat
dalam penulisan makalah ini.
Penulisan makalah ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan dalam
pembuatannya. Sehingga penulis membutuhkan saran dan kritik yang mengandung
untuk memperbaiki makalah ini.

Bandung, Maret 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................
B. Rumusan Masalah......................................................................................
C. Tujuan Penelitian.......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
A. Pengertian Bayi Tabung............................................................................
B. Tujuan Bayi Tabung..................................................................................
C. Syarat-syarat Mengikuti Program Bayi Tabung........................................
D. Prosedur Bayi Tabung...............................................................................
E. Kedudukan Hukum Melalui Proses Bayi Tabung.....................................
BAB III KASUS DAN PEMBAHASAN ...............................................................
A. Kasus.........................................................................................................
B. Pembahasan ..............................................................................................
BAB IV PENUTUP..................................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dua dekade terakhir ini, ilmu dan teknologi di bidang kedokteran
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Salah satu hasil di bidang ini adalah
dengan telah ditemukannya cara-cara baru dalam memproduksi manusia yang dalam
istilah kedokteran disebut dengan fertifisasi in vitro atau lebih populer dengan istilah
bayi tabung. Bayi tabung tersebut merupakan sebuah keberhasilan dari kerjasama
antara pakar kedokteran dan pakar teknologi farmasi, dimana mereka mengawinkan
sperma dan ovum di luar rahim dalam sebuah tabung yang dipersiapkan lebih dulu
untuk itu. Setelah terjadi pembuahan, barulah ditempalkan ke dalam rahim wanita
yang dipersiapkan sebelumnya. Dengan proses seperti ini akan menghasilkan bayi
sebagaimana yang diperoleh dengan cara yang alami.
Pada prinsipnya, program bayi tabung itu bertujuan untuk membantu mengatasi
pasangan suami isteri yang tidak mampu melahirkan keturunan secara alami yang
disebabkan karena ada kelainan pada masing-masing suami isteri, seperti radang
pada selaput lendir rahim, sperma suami kurang baik, dan lain sebagainya. Dengan
program bayi tabung ini, diharapkan akan mampu memberikan kebahagiaan bagi
pasangan suami isteri yang teiah hidup bertahun-tahun dalam ikatan perkawinan
yang sah tanpa keturunan. Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran dalam hal
memproses kelahiran bayi tabung dengan cara asimilasi buatan, dari satu sisi dapat
dipandang sebagai suatu keberhasilan untuk mengatasi kesulitan bagi pasangan
suami isteri yang telah lama mengharapkan keturunan. Tetapi dari sisi lain program
bayi tabung tersebut, diatas telah banyak menimbulkan permasalahan di bidang
hukum, khususnya bagi umat Islam. Permasalahan-permasalahan yang pantas
ditampilkan antara lain mengenai bagaimana status hubungan nasab antara bayi
tabung dengan orang yang menjadi penyebab kelahirannya, bila terjadi kelahiran
bayi tabung itu dengan proses pengambilan sperma dari suami dan ovum dari isteri
yang setelah terjadi pembuahan kemudian ditransfer kedalam rahim perempuan lain
yang bukan isterinya, Faktor apa saja yang paling dominan untuk menghubungkan

4
nasab bagi bayi tabung dengan orang yang menjadi penyebab kelahirannya? Apakah
cukup untuk dapat dikatakan sebagai seorang ayah dan ibu yang hanya sementara
mereka telah menyerahkan beberapa tetes sperma dan ovumnya kepada seorang ahli
teknologi farmasi untuk memproses air tersebut menjadi bayi tabung dengan segala
akibatnya, sementara proses itu berjalan pada seorang Ibu titipan (surrogate mother
yanq mengandungnya dan melahirkannya. Apakah seoara psikologis ibu titipan yang
mengandung dan melahirkannya itu tidak berpengaruh terhad anak yang
dilahirkannya bayi tabung dari aspek kejiwaan, fisik dan lain sebagainya. Jika ada
pengaruhnya apakah tidak mungkin untuk menghubungkan nasab kepada ibu titipan
yang mengandung dan yang melahirkannya sebagai ibu bagi sibayi tabung?
Semua permasalahan tersebut di atas, di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis, secara
eksplisit tidak didapatkan ketentuan hukumnya, bahkan dl Indonesia persoalan yang
berhubungan dengan bayi tabung timbul disebabkan karena peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui
proses bayi tabung. Belum ada Hukum positif yang berlaku di Indonesia hanya
mengatur tentang pengertian anak sah yang dilahirkan secara alami, bukan melalui
proses bayi tabung. Pasal 250 KUH Perdata menyebutkan: "tiap-tiap anak yang
dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai
bapaknya". Demikian juga di dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 42 menyebutkan:
"anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah" (UU No. 1 tahun 1974 pasal 42). Kedua rumusan tentang pengertian anak sah,
baik yang tertuang di dalam KUH Perdata pasal 250 maupun didalam UU No. 1
Tahun 1974 itu sangat sederhana, karena di dalam pasal tersebut tidak dipersoalkan
tentang asal usul sperma dan ovum yang dipergunakannya, asal anak itu dilahirkan
dalam perkawinan yang sah maka sah kedudukan hukum anak itu, walaupun anak itu
produk dari sperma dan ovum donor atau sperma yang masuk kedalam rahim
perempuan itu tidak didahulul oleh perkawinan yang sah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud bayi tabung?
2. Apakah tujuan bayi tabung?
3. Apa saja syarat melakukan bayi tabung?
4. Apakah kedudukan bayi tabung?

5
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui apa itu bayi tabung
2. Mengetahui bayi tabung
3. Mengetahui syarat-syarat bayi tabung
4. Mengetahui kedudukan bayi tabung

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bayi Tabung

Bayi tabung adalah merupakan individu (bayi) yang di dalam kejadiannya,


proses pembuatannya terjadi di luar tubuh wanita (in vitro), atau dengan kata lain
bayi yang di dalamnya kejadiannya itu ditempuh dengan cara inseminasi buatan,
yauitu suatu cara memasukkan sperma ke buatan, yaitu suatu cara memasukkan
sperma ke dalam kelamin wanita tanpa melalui seng-gama
Adapun jenis-jenis bayi tabung apabila ditinjau segi sperma, dan ovum serta
tempat embrio ditransplansikan, maka bayi tabung, dapat dibagi menjadi 8 jenis,
yaitu;
1. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-
isteri, kemudian embrionya ditrans-plantasikan ke dalam rahim isteri.
2. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-
isteri, lalu embrionya ditransplan-tasikan ke dalam rahim ibu pengganti
(surrogate mother.
3. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami dan ovumnya berasal
dari donor, lalu embrionya ditrans-plantasikan ke dalam rahim isteri.
4. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari donor, sedangkan ovumnya
berasal dari isteri lalu embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim
isteri.
5. Bayi tabung yang menggunakan sperma donor, sedangkan ovumnya
berasal dari isteri lalu embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim
surrogate mother.
6. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami, sedangkan ovumnya
berasal dari donor, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam
rahim surrogate mother.

7
7. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari donor, lau
embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri.
8. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum berasal dari donor,
kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim surrogate
mother.
B. Tujuan Bayi Tabung
Pada hakikatnya program bayi tabung bertujuan untuk membantu
pasangan suami-isteri yang tidak mampu melahirkan keturunan secara alami
yang disebabkan karena ada kelainan pada tubanya, endometriosis (radang pada
selaput lendir rahim), oligospermia (sperma suami kurang baik), unexplained
infertility (tidak dapat diterangkan sebabnya), dan adanya factor immunologic
(faktor kekebalan). Dan ternyata program bayi tabung ini mampu memberikan
kebahagiaan bagi pasangan suami-isteri yang telah hidup bertahuntahun dalam
ikatan perkawinan yang sah. Program ini semakin lama semakin disenangi oleh
pasangan suami-isteri yang mandul untuk mendapatkan keturunan. Namun di
balik kebahagiaan itu ternyata program bayi tabung menimbulkan persoalan di
bidang agama dan hukum. Timbulnya persoalan di bidang agama disebabkan
karena di dalam berbagai agama tidak dikenal anak yang dihasilkan dari teknik
bayi tabung, tetapi yang dikenal adalah anak yang dihasilkan dari hubungan
badani antara pasangan suami-isteri. Sehingga para tokoh/pemimpin agama
harus mencari dan menemukannya di dalam kitab suci hal-hal yang ada
kesamaan dengan itu.
Sedangkan persoalan di bidang hukum timbul disebabkan karena
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kedudukan hukum anak
yang dilahirkan melalui proses bayi tabung belum ada, sedangkan hukum itu
bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia agar di dalam masyarakat
terdapat ketertiban, keadilan dan kepastian hukum.
C. Syarat-Syarat Mengikuti Program Bayi Tabung
Pasangan suami-isteri yang diperkenankan adalah pasangan suami isteri
yang kurang subur, disebabkan karena:
1. steri mengalami kerusakan kedua saluran telur (tuba).
2. Lendir leher rahim isteri yang tidak normal.

8
3. Adanya gangguan kekebalan di mana terdapat zat anti terhadap sperma
di dalam tubuh.
4. Tidak hamil juga setelah dilakukan bedah saluran telur.
5. Tidak hamil juga setelah dilakukan pengobatan endometriosis.
6. Suami dengan mutu sperma yang kurang baik (oligospermia).
7. Tidak diketahui penyebabnya (unexplained infertility).
D. Prosedur Bayi Tabung
Prosedur dari teknik bayi tabung, terdiri dari beberapa tahapan yaitu:
1. Tahap pertama: Pengobatan merangsang indung telur. Pada tahap ini
isteri diberi obat yang merangsang indung telur, sehingga dapat
mengeluarkan banyak ovum dan cara ini berbeda dengan cara biasa,
hanya satu ovum yang berkembang dalam setiap siklus haid. Obat yang
diberikan kepada isteri dapat berupa obat makan atau obat suntik yang
diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah
ternyata sel-sel telurnya matang. Pematangan sel-sel telur dipantau setiap
hari dengan pemeriksaan darah isteri, dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG). Ada kalanya indung telur gagal bereaksi terhadap
obat itu. Apabila demikian, pasangan suami-isteri masih dapat mengikuti
program bayi pada kesempatan yang lain, mungkin dengan obat atau
dosis obat yang berlainan.
2. Tahap kedua: Pengambilan sel telur. Apabila sel telur isteri sudah
banyak, maka dilakukan pengambilan sel telur yang akan dilakukan
dengan suntikan lewat vagina di bawah bimbingan USG.
3. Tahap ketiga: Pembuahan atau fertilisasi sel telur. Setelah berhasil
mengeluarkan beberapa sel telur, suami diminta mengeluarkan sendiri
sperma. Sperma akan diproses, sehingga sel-sel sperma suami yang baik
saja yang akan dipertemukan dengan selsel telur isteri dalam tabung
gelas di laboratorium. Sel-sel telur isteri dan sel-sel sperma suami yang
sudah dipertemukan itu kemudian dibiak dalam lemari pengeram.
Pemantauan berikutnya dilakukan 18-20 jam kemudian. Pada
pemantauan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembelahan sel.

9
4. Tahap keempat: Pemindahan embrio. Kalau terjadi fertilisasi sebuah sel
telur dengan sebuah sperma, maka terciptalah hasil pembuahan yang
akan membelah menjadi beberapa sel, yang disebut embrio. Embrio ini
akan dipindahkan melalui vagina ke dalam rongga -rahim ibunya 2-3
hari kemudian.
5. Tahap kelima: Pengamatan terjadinya kehamilan. Setelah implantasi
embrio, maka tinggal menunggu apakah akan kehamilan terjadi. Apabila
14 hari setelah pemindahan embrio tidak terjadi haid, maka dilakukan
pemeriksaan kencing untuk menentukan adanya kehamilan. Kehamilan
baru dipastikan dengan pemeriksaan USG seminggu kemudian.

Apabila semua tahapan itu sudah dilakukan oleh isteri dan ternyata
terjadi kehamilan, maka kita hanya menunggu proses kelahirannya, yang
memerlukan waktu 9 bulan 10 hari. Pada saat kehamilan itu sang isteri tidak
diperkenankan untuk bekerja berat, karena dikhawatirkan terjadi keguguran.

E. Kedudukan Hukum Anak Yang Dilahirkan Melalui Proses Bayi Tabung


1. Kedudukan Hukum Anak Yang Dilahirkan Melalui Proses Bayi Tabung
Yang Menggunakan Sperma Suami Bahwa hukum yang mengatur
tentang bayi tabung di Indonesia belum ada, sedangkan hukum positif
yang mengatur tentang status hukum anak, apakah itu anak sah maupun
anak luar kawin diatur di dalam KUHPerdata dan UU Nomor 1 Tahun
1974. Di dalam Pasal 250 KUHPerdata diatur tentang pengertian anak
sah yakni tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Selanjutnya dalam
Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa "Anak sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang
sah". Pada prinsipnya ketiga pendapat dan pandangan di atas menyetujui
penggunaan teknik bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum
dari pasangan suami-isteri kemudian embrionya ditransplantasikan ke
dalam rahim isteri dan kedudukan yuridis anak tersebut yang dilahirkan
secara alami.

10
2. Kedudukan Hukum Anak Yang Dilahirkan Melalui Proses Bayi Tabung
Yang Menggunakan Sperma Donor Masalah anak sah diatur di dalam
Pasal 250 KUH Perdata dan Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974. Pasal
250 KUH Perdata berbunyi: "Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau
ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai
bapaknya". Selanjutnya Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi
"Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah".
3. Kedudukan Hukum Anak Yang Dilahirkan Melalui Proses Bayi Tabung
Yang Menggunakan Surrogate Mother Hukum positif yang mengatur
tentang
surrogate mother secara khusus di Indonesia belum ada, namun apabila
kita menggunakan cara berpikir argumentum acontrario, maka kita dapat
menerapkan Pasal 1548 KUH Perdatai:
Sewa-menyewa ialah suatu persetujuan dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya kepada pihak lainnya kenikmatan suatu barang,
selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, dan pihak
yang tersebut belakangan disanggupi pembayarannya.
Berdasarkan bunyi Pasal 1548 KUH Perdata di atas, maka yang
dijadikan objek dalam sewa-menyewa, adalah barang yang dapat
memberikan kenikmatan bagi para pihak selama waktu tertentu dan
dengan pembayaran suatu harga. Tetapi kini muncul suatu pertanyaan,
apakah rahim seorang wanita dapat dianggap sebagai barang atau tidak?
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah diatur tentang syaratsyarat
sahnya perjanjian. Bila syarat-syarat pertama dan kedua (subyektif) tidak
terpenuhi, maka perjanjiannya dapat dimintakan pembatatannya kepada
pengadilan (vernietigbaar), sedangkan kalau syarat ketiga dan keempat
tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum (null and
void).
Dalam undang-undang peraturan pemerintah RI nomor 61 tahun
2014 pada pasal 44 yang menyatakan bahwa Reproduksi dengan Bantuan
atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah dilarang untuk tujuan memilih

11
jenis kelamin anak yang akan dilahirkan kecuali dalam hal pemilihan
jenis kelamin untuk anak kedua dan selanjutnya. Dan Pelayanan
Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah harus
dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi
persyaratan, standar, dan memiliki izin dari Menteri.
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan
Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah wajib
membuat pencatatan dan pelaporan kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota dengan tembusan dinas kesehatan provinsi. Pelayanan
Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah harus
didahului dengan konseling dan persetujuan tindakan kedokteran
(informed consent).

12
BAB III

KASUS DAN PEMBAHASAN

A. KASUS
1. Kasus 1
Terdapat sepasang suami istri, sudah menikah selama 10 tahun. Pasangan
tersebut belum dikaruniai anak sampai saat ini. Mereka sangat sedih karena
belum dikaruniai anak, walaupun mereka sudah berusaha dan tetap ikhtiar.
Lalu ada kerabat dari istri tersebut untuk menyarankan agar mereka
melakukan program bayi tabung, tentunya program bayi tabung tersebut
menggunakan sperma dari suaminya.
Setelah disarankan oleh kerabatnya mengenai program bayi tabung,
pasangan tersebut berniat untuk melakukan program bayi tabung tersebut.
Akan tetapi mereka juga bingung, apabila program bayi tabung yang mereka
jalani berhasil, bagaimana kedudukan bayi tersebut dalam hukum.
2. Kasus 2
Terdapat pasangan suami istri sudah menikah selama 12 tahun. Pasangan
tersebut belum dikaruniai anak sampai saat ini Mereka sangat sedih karena
belum dikaruniai anak, walaupun mereka sudah berusaha dan tetap ikhtiar.
Lalu ada kerabat dari istri tersebut untuk menyarankan agar mereka
melakukan program bayi tabung, tetapi suami tersebut tidak ingin

13
melakukan program bayi tabung. Suami tersebut menyuruh istrinya untuk
melakukan progam bayi tabung menggunakan sperma donor. Pasangan
tersebut akan menjalankan program bayi tabung tersebut, tetapi bingung.
Setelah bayinya lahir bagaimana kedudukan bayi tersebut.
B. Pembahasan
1. Kasus 1
Kedudukan Hukum Anak Yang Dilahirkan Melalui Proses Bayi Tabung
Yang Menggunakan Sperma Suami Bahwa hukum yang mengatur tentang
bayi tabung di Indonesia belum ada, sedangkan hukum positif yang
mengatur tentang status hukum anak, apakah itu anak sah maupun anak luar
kawin diatur di dalam KUHPerdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974. Di dalam
Pasal 250 KUHPerdata diatur tentang pengertian anak sah yakni tiap-tiap
anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh
si suami sebagai bapaknya. Selanjutnya dalam Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun
1974 disebutkan bahwa "Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat dari perkawinan yang sah". Pada prinsipnya ketiga pendapat
dan pandangan di atas menyetujui penggunaan teknik bayi tabung yang
menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri kemudian
embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri dan kedudukan yuridis
anak tersebut yang dilahirkan secara alami.
2. Kasus 2
Kedudukan Hukum Anak Yang Dilahirkan Melalui Proses Bayi Tabung
Yang Menggunakan Sperma Donor Masalah anak sah diatur di dalam Pasal
250 KUH Perdata dan Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 250 KUH
Perdata berbunyi: "Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan
sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya". Selanjutnya
Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi "Anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah".
Karena dalam Pasal 250 KUH Perdata berbunyi: “Tiap-tiap anak yang
dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami
sebagai bapaknya.” Sedangakn dalam kasus tersebut suami tidak mau
menjalankan program bayi tabung dan memilih agar istrinya melakukan

14
program bayi tabung menggunakan sperma donor. Maka bayi tersebut
kedudukannya tidak sah.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Bayi tabung adalah merupakan individu (bayi) yang di dalam
kejadiannya, proses pembuatannya terjadi di luar tubuh wanita (in vitro). Jenis-
jenis bayi tabung apabila ditinjau dari segi sperma, dan ovum serta tempat
embrio ditransplansikan, dapat dibagi menjadi 8 jenis. Pada hakikatnya program
bayi tabung bertujuan untuk membantu pasangan suami-isteri yang tidak mampu
melahirkan keturunan secara alami yang disebabkan karena ada kelainan pada
tubanya, endometriosis (radang pada selaput lendir rahim), oligospermia
(sperma suami kurang baik), unexplained infertility (tidak dapat diterangkan
sebabnya), dan adanya factor immunologic (faktor kekebalan). Syarat-Syarat
Mengikuti Program Bayi Tabung adalah pasangan suami isteri yang kurang
subur. Prosedur bayi tabung adalah Pengobatan merangsang indung telur,
Pengambilan sel telur, Pembuahan atau fertilisasi sel telur, Pemindahan embrio,
Pengamatan terjadinya kehamilan. Kedudukan Hukum Anak Yang Dilahirkan
Melalui Proses Bayi Tabung Yang Menggunakan Sperma Suami, Yang
Menggunakan Sperma Donor, Yang Menggunakan Surrogate Mother.

15
DAFTAR PUSTAKA

https://www.neliti.com/publications/42561/bayi-tabung-status-hukum-dan-hubungan-
nasabnya-dalam-perspektif-hukum-islam

16
17
MAKALAH

BAYI TABUNG DAN SURROGATE MOTHER

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Etikolegal dalam praktik kebidanan

Dosen Pengampu: Sri Wisnu, STT. M.Keb

Disusun Oleh:

Thasya Vinny Siti Yuniarsyah

(P17324119062)

Tingkat 1-B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIANKESEHATAN BANDUNG

18
PRODI D-III KEBIDANAN BANDUNG

TAHUN 2020

19
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya berupa kesempatan dan
pengetahuan sehingga makalah yang berjudul surrogate mother.

Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan singkat


secara terperinci mengenai surrogate mother. Adapun penulisan makalah ini merupakan
bentuk dari pemenuhan beberapa tugas mata kuliah etikolegal.

Makalah ini telah kami susun dengan mendapat bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami ucapkan
terimakasih kepada pihak yang telah mendukung serta membantu kami selama proses
penyelesaian makalah ini. Tidak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada dosen
mata kuliah etikolegal. Kami juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca.

Namun dari itu, kami menyadari bahwa makalah ini masih kurang sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan guna
penyempurnaan makalah ini.

Bandung, 22 Maret 2020

penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...............................................................................................

Daftar Isi..........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................

A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................
D. Manfaat.................................................................................................
BAB II KAJIAN PUSTAKA..........................................................................
A. Tidak Dilegalkannya Praktik Sewa Rahim Di Indonesia.....................
B. Pengertian Surrogate Mother................................................................
C.

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sudah menjadi fitrah manusia berkeinginan untuk memiliki keturunan pada saat
setelah berlangsungnya pernikahan. Akan tetapi, masih banyak dari kalangan suami-istri
yang menjumpai hambatan untuk memperoleh keturunan. Sehingga ada beberapa
diantara mereka yang tidak dapat menghasilkan keturunan kemudian mengangkat
seseorang untuk dijadikannya sebagai anak. Dewasa ini perkembangan teknologi sudah
sangat pesat dan maju dengan demikian pula halnya dengan perkembangan cara untuk
memperoleh keturunan semakin banyak pula, salah satu cara untuk memperoleh ketrunan
yaitu dengan melakukan metode Surrogacy atau yang di Indonesia kita di kenal dengan
istilah sewa rahim.
Surrogacy merupakan perluasan dari metode bayi tabung yang dikenal sebagai
perjanjian sewa rahim, yaitu perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri
melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami-istri) untuk menjadi hamil terhadap
hasil pembuahan suami istri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah
melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami istri berdasarkan
perjanjian yang dibuat.
Praktik surogasi dilarang di Indonesia. Larangan tersebut termuat dalam peraturan
umum mengenai "bayi tabung" pada Pasal 16 UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
dan Keputusan Menteri Kesehatan No.72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan
Teknologi Reproduksi Buatan. Dari kedua peraturan tersebut dapat disimpulkan kalau
praktik "ibu pengganti" dilarang pelaksanaannya di Indonesia, dan dipertegas dengan
adanya sanksi pidana bagi yang mempraktikkannya (Pasal 82 UU No.23 Tahun 1992
tentang Kesehatan).Namun jika kita melihat dari sisi lain bahwa setiap warga negara
memiliki hak-hak yang melekat pada dirinya yaitu termasuk hak untuk memiliki
keturunan. Hak itu tercantum pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 Ayat
(3).

3
Hak ini diatur antara lain pada Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI), Pasal 16 Ayat (1) Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 2 piagam HAM Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia (UU HAM). Dengan demikian, negara wajib menjamin warga
negaranya untuk melanjutkan keturunan dan membentuk keluarga sebagai perlindungan
terhadap hak asasi manusia. Adanya pertentangan hukum mengenai hal tersebut, dirasa
perlu untuk mengupayakan suatu perlindungan hak bagi pasangan suami istri agar dapat
melakukan surrogate mother sebagai upaya untuk melanjutkan keturunan yang
merupakan hak asasi bagi setiap orang tidak di legalkan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah dilegakan praktik sewa Rahim di Indonesia ?
2. Apa yang dimaksud dengan sewa Rahim ?
3.
C. Tujuan
D. Manfaat

4
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Surrogate Mother


Menurut Desriza Ratman, Surrogate Mother adalah someone who takes the place of
another person (seseorang yang memberikan tempat untuk orang lain). Surrogate mother
secara harfiah disamakan dengan istilah “ibu pengganti” yang menurut Fred Ameln
didefinisikan secara bebas sebagai seorang wanita yang mengikatkan dirinya melalui
suatu ikatan perjanjian dengan pihak lain (biasanya suami-istri) untuk menjadi hamil
setelah dimasukannya penyatuan sel benih laki laki (sperma) dan sel benih perempuan
(ovum) yang dilakukan pembuahannya diluar rahim sampai melahirkan sesuai
kesepakatan yang kemudian bayi tersebut diserahkan kepada pihak suami istri dengan
mendapatkan imbalan berupa materi yang telah disepakati. Dalam perkembangan
teknologi kedokteran surrogate mother dapat dilakukan dalam berbagai cara, yaitu:
1. Benih yang akan ditanam berasal dari pasangan suami istri kemudian ditanam
kembali ke rahim istri;
2. Salah satu benih dari donor (baik sperma maupun sel telur) yang kemudian
ditanam ke rahim istri
3. Benih berasal pasangan suami istri, tetapi ditanam pada rahim wanita lain.
Berdasarkan cara tersebut di atas, surrogate mother dikenal dalam dua tipe, yakni:
1. Tipe Gestational Surrogacy, di mana embrio berasal dari sperma suami dan sel
telur berasal istri yang dipertemukan melalui teknologi IVF, ditanam dalam rahim
perempuan yang bukan istri (disewa);

5
2. Tipe Genetic Surrogacy, dimana sel telur berasal dari perempuan lain yang bukan
istri, kemudian dipertemukan sperma dari suami yang selanjutnya ditanam dalam
rahim perempuan tersebut.
Melihat cara-cara untuk melakukan surrogate mother, maka yang menjadi focus analisa
dalam hukum pidana, yaitu pada penanaman benih yang dilakukan tanpa diikat pada
hubungan perkawinan yang sah, baik dalam penanaman benih yang berasal dari donor
kemudian ditanam pada rahim istri maupun benih dari suami istri dan ditanam pada
rahim orang lain, ataupun kedua-duanya tidak terikat perkawinan yang sah tempat di
mana benih tersebut ditanam.

B. Macam-macam Surrogate Mother (Penyewaan Rahim)

Dari devinisi Surrogate Mother (Penyewaan Rahim) di atas, bahwa sapasang suami

istri menyewa rahim seorang perempuan untuk menampung serta merawat benih mereka,

maka ada beberapa macam pembagian dari masalah penyewaan rahim ini. Yaitu:

1. Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian

dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Proses seperti ini digunakan dalam keadaan

isteri memiliki benih yang baik, akan tetapi rahimnya dibuang yang di sebabkan oleh

pembedahan, memiliki cacat rahim yang di akibatkan oleh penyakit yang kronis atau

sebab-sebab yang lain.

2. Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dan

dibekukan kemudian dimasukkan ke dalam rahim perempuan yang di sewa selepas

kematian pasangan suami isteri itu.

3. Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya yang sah )

dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Dalam hal ini adalah pada situasi

seorang suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi

benih isteri dalam keadaan baik.

6
4. Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain (bukan istri yang sah),

kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Hal ini terjadi apabila isteri

terkena atau memiliki penyakit pada ovari, sedangkan rahimnya tidak mampu untuk

menjalani proses kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap putus haid

(monopause).

5. Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim

isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup

mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.

C. Dampak positif dan negatif Surrogate Mother (Penyewaan Rahim)

Setiap hal yang dilakukan oleh manusia pasti memiliki dampak, baik bagi dirinya

sendiri atau bagi orang lain, bahkan bisa saja kedua-duanya terkena dampak dari

perbuatan salah satu orang. Dalam kasus Surrogate Mother atau Penyewaan Rahim

tentunya juga memiliki dampak negatif dan positifnya.

Damapak positif dari Surrogate Mother ini adalah dari kedua belah pihak yang

melakukan perjanjian sewa-menyewa rahim sama-sama mendapat keuntungan. Dari

pihak penyewa mendapat keuntungan memiliki keturunan selain alasan mengapa memilih

jalan menyewa rahim. Sedangkan dari pihak yang menyewakan tentunya mendapatkan

materi yang telah disepakati sebelumnya.

Dari segi negatifnya ada beberapa faktor, yaitu :

1) Wanita yang disewa.

Wanita ini sebenarnya pihak yang paling di rugikan, hal ini di karena ia hanya

disewa selama 9 bulan untuk mengandung bayi penyewanya, yang artinya bagaimana

kesehatan dan keadaan fisik perempuan tersebut setelah melahirkan nanti sudah

7
bukan tanggung jawab pasangan yang menyewanya. Jadi apabila terjadi pendarahan,

atau komplikasi pasca melahirkan, wanita ini tidak berhak menuntut apapun kepada

penyewanya, karena dalam perjanjian, posisinya inferior. Pasangan yang menyewa

hanya berpikir untuk mengambil bayi hasil pesanan, bayar sewa dan selesai. Selain

itu secara psikis, bagaimanapun seorang ibu pasti mempunyai ikatan batin yang kuat

dengan bayi yang telah 9 bulan bergantung dalam rahimnya. Pasangan penyewa tidak

akan memperdulikan dengan kondisi dari perasaan si wanita yang notabene adalah

seorang ibu yang pasti akan merasa sangat kehilangan “sesuatu” yang telah menjadi

bagian dari dirinya. Apalagi ini juga diperberat dengan jika ASI si ibu keluar lancar,

ia akan merasa kesakitan untuk bisa menghentikan aliran ASI-nya. Memang wanita

sewaan telah mengetahui resiko akan ada rasa kehilangan tersebut, namun sebelum

benar-benar mengalaminya, seorang wanita tidak akan pernah tahu seberapa sakit

rasa dipisahkan dengan bayi yang seharusnya ia bisa asuh sendiri itu. Masyarakat

kita masih menjunjung tinggi kehormatan wanita dalam sebuah perkawinan yang

sah. Karena itu secara moral juga, si wanita akan dipandang hina oleh masyarakat

karena dianggap telah hamil di luar nikah, mengandung anak hasil perzinahan, dan

setelah melahirkan pun, pandangan rendah pada sosok wanita ini tak akan hilang

begitu saja. Dalam hal ini wanita sewaan mengalami kerugian fisik, mental, maupun

moral.

2) Bayi yang dilahirkan.

Bayi yang menjadi pusat permasalahan hingga terjadi proses sewa menyewa ini

tak kalah merugi dengan adanya kasus seperti ini. Bagaimana tidak karena ia sama

sekali tidak akan pernah mendapatkan haknya untuk menghisap ASI ibu kandungnya

8
sendiri. ASI merupakan asupan gizi vital yang seharusnya diberikan pada bayi,

namun dalam kasus sewa menyewa rahim, hal ini tidak akan pernah dipikirkan. Masa

kontrak hubungan penyewa dengan wanita yang disewanya hanya selama bayi

berada dalam kandungan. Setelah bayi lahir, hubungan mereka putus. Praktis ASI

bukan bagian dari kontrak sewa rahim. Seperti yang beberapa waktu lalu ditayangkan

dalam salah satu stasiun televisi, kenyataannya ada klinik-klinik tertentu yang malah

menyediakan layanan penyewan rahim ini satu paket dengan pengurusan dokumen-

dokumennya yang notabene adalah palsu. Dalam surat dan akta kelahiran si bayi pun

tertera nama ibu kandung yang sebenarnya adalah ibu angkat yang telah menyewa

rahim wanita malang itu. Jadi selama hidupnya si bayi tidak akan pernah merasakan

kasih sayang ibu kandung yang sebenarnya. Bayi yang dilahirkanpun mengalami

kerugian fisik dan psikis.

3) Si penyewa wanita.

Bagi si penyewa wanita Sepertinya ia memang menghendaki semua ini terjadi.

Namun siapa yang tahu bahwa di kedalaman hatinya pastilah ada perasaan tak rela

mengijinkan suaminya sendiri berhubungan sex dengan wanita lain. Meski hanya

sebatas kontrak, namun mereka pasti telah menyeleksi wanita yang akan disewa

rahimnya adalah benar-benar wanita sehat dan sesempurna mungkin. Bagaimana

dengan perasaan si istri sah ini ketika membesarkan anak hasil hubungan suaminya

dengan wanita sewaan yang pastinya bukan wanita sembarangan. Ketulusan kasih

sayang yang diberikan akan sangat diragukan realitasnya.

4) Si penyewa pria.

9
Sepertinya memang hanya si suami yang sama sekali tidak merugi dengan kasus

penyewaan rahim ini. Karena ia mendapatkan anak dari benihnya sendiri, yang

berarti bahwa bayi yang dilahirkan adalah anak kandungnya. Jadi dari keempat orang

yang terlibat dalam kasus ini tampaknya si suami penyewa rahim wanita itu adalah

yang paling untung dan tanpa mengalami kerugian apapun.

Dalam praktek surrogacy juga dapat mengeksploitasi wanita penganti karena

kekurangan secara ekonomi, sehingga wanita dapat diatur dalam peraturan surrogacy

karena kesulitan finansial tanpa menghiraukan potensi resiko yan akan di hadapinya.

Surrogacy dapat menyebabkan wanita pengganti menjadi dikucilkan dan dijauhi oleh

orang-orang disekitarnya yang akan menimbulkan efek buruk bagi ibu pengganti dan

keluarganya. Di sisi lain wanita pengganti bisa saja tidak memperdulikan

kandungannya karena dia merasa bayi yang dikandungnya milik orang lain sehingga

resiko kesehatan bayi yang dikandungnya terancam.

D. Surrogate Mother Menurut Hukum Kesehatan Di Indonesia

Salah satu permasalahan di bidang kesehatan adalah masalah reproduksi, yang

mana setiap warga negara mempunyai hak otonomi untuk mengatur hidupnya sendiri

selama tidak bertentangan dengan kepentingan umum, oleh karena itu adanya aturan

hukum. Aturan mengenai reproduksi dapat dilihat dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi “Setiap

orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

yang sah”. Menurut pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan (Selanjutnya UU Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara

alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:

10
1) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan

dalam rahim istri dari mana ovum berasal;

2) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk

itu;

3) Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Persyaratan mengenai kehamilan diluar cara alamiah diatur oleh peraturan pemerintah.

Diantaranya yaitu :

1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 73 /

Menkes / PER / II / 1999 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi

Buatan. Pasal 4 Permenkes ini menyatakan bahwa “pelayanan teknologi reproduksi

buatan hanya diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang

sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan pada

suatu indikasi medik”. Terhadap pelanggaran aturan ini dapat dikenakan sanksi

tindakan administrative (Pasal 10 ayat (1) Permeskes RI).

2) SK Dierjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 Tentang Pedoman Pelayanan Bayi

Tabung di Rumah Sakit, :

a) Pelayanan teknik reprodukasi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel sperma

dan sel telur pasangan suami-istri yang bersangkutan;

b) Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas,

sehingga sehinggan kerangka pelayannya merupakan bagian dari pengelolaan

pelayanan infertilitas secara keseluruhan;

c) Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun.

11
Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma

dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum

berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung. Adapun metode atau upaya

kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan

termasuk Surrogate Mother tidak diperbolehkan oleh aturan hukum.

E. Surrogate Mother Menurut Hukum Perdata Di Indonesia

Bagaimana halnya kedudukan Surrogate Mother dalam hukum perdata (hukum

perikatan). Menurut pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya

disingkat KUHPerdata) memang diatur mengenai kebebasan berkontrak, di mana para

pihak dalam berkontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun

bentuknya “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”. Akan tetapi, asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak

boleh melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

(1) Kesepakatan para pihak; (2) Kecakapan para pihak; (3) Mengenai suatu hal tertentu;

dan (4) Sebab yang halal.

Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah harus memiliki sebab yang halal, yaitu

tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum

(Ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1337 KUHPerdata). Sedangkan praktek ibu pengganti

bukan merupakan upaya kehamilan yang ”dapat dilakukan” menurut Pasal 127 UU

Kesehatan termasuk Surrogate Mother tidak diperbolehkan oleh aturan hukum. Dengan

demikian syarat sebab yang halal ini tidak terpenuhi.

F. Pandangan Surrogate Mother Menurut Hukum Islam

12
Berkembangnya masalah ini tidak terlepas dari pantauan fiqih Islam karena segala

perbuatan manusia tidak akan pernah terlepas dari hukum Islam. Surrogate Mother /

Penyewaan rahim baik dengan suka rela atau dengan imbalan berupa materi dan dengan

tujuan apapun di hukum haram dalam islam. Untuk masalah penyewaan rahim, ulama

bersepakat bahwa masalah ini merupakan masalah yang terlarang dalam islam dengan

menimbang beberapa alasan. Yaitu:

Tidak adanya tali pernikahan diantara pemilik sperma dan pemilik rahim. Dalam syariat

islam, syarat mutlak atas status legal atau sah dari kelahiran seorang anak ke alam

semesta adalah dengan melalui jalur resmi, yaitu pernikahan. Jika ada seorang perempuan

hamil diluar tali pernikahan, maka kehamilannya dihukumi kehamilan yang tidak sah,

begitu juga anak yang nanti akan lahir. Dengan adanya penyewaan rahim, maka

dihawatirkan akan timbul fitnah kepada perempuan yang dijadikan tempat penanaman

janin. Padahal islam sangat mengecam adanya perbuatan fitnah dan pencemaran nama

baik. Disamping itu juga dihawatirkan akan terjadi ketidak jelasan nasab dari anak yang

dilahirkan. Dan lagi islam sangat menjaga kesucian nasab.

Tidak sah rahim itu menjadi barang jual beli. Rahim tidak termasuk dalam barang

yang bisa diserah terimakan dengan imbalan materi misalkan dengan disewa atau

diperjual belikan atau dengan tanpa imbalan misalkan dipinjamkan atau diserahkan

dengan sukarela. Penyewaan rahim akan mengakibatkan terlantarnya anak dan

menyebabkan orang tua melepaskan tanggung jawab. Terkadang dapat terjadi penyia-

nyiaan terhadap anak yang dihasilkan dari penyewaan rahim, misalkan saja kalau terjadi

cacat pada anak tersebut atau hal-hal yang tidak dapat diterima oleh pihak penyewa, dan

pihak yang disewa juga tidak mau merawatnya karena tidak termasuk dalam perjanjian.

13
Dalam hal ini para ulama telah sepakat tentang pengharaman sewa rahim

(Surrogate Mother) dalam keadaan berikut: menggunakan rahim wanita lain selain isteri,

percampuran benih antara suami dan wanita lain, percampuran benih isteri dengan lelaki

lain, atau memasukkan benih yang disenyawakan selepas kematian suami isteri,

sebagaimana pendapat Syekh Jad Al-Haq Ali Jad Al-Haq, Syekh Al-Azhar bahwa hal

tersebut hukumnya haram, karena akan menimbulkan percampur-adukkan nasab.

BAB III
KESIMPULAN

Teknologi reproduksi buatan merupakan hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

yang pada prinsipnya bersifat netral dan dikembangkan untuk meningkatkan derajat hidup dan

14
kesejahteraan umat manusia. Dalam pelaksanaannya akan berbenturan dengan berbagai

permasalahan moral, etika, dan hukum yang komplek sehingga memerlukan pertimbangan dan

pengaturan yang bijaksana dalam rangka memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap

semua pihak yang terlibat dalam penerapan teknologi reproduksi buatan dengan tetap mengacu

kepada penghormatan harkat dan martabat manusia serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Hukum Indonesia mengatur mengenai teknologi reproduksi manusia sebatas upaya

kehamilan diluar cara alamiah, dengan sperma dan sel telur yang berasal pasangan suami isteri

dan ditanamkan dalam rahim isteri. Dengan demikian teknologi bayi tabung yang sperma dan sel

telurnya berasal dari suami isteri dan ditanamkan dalam rahim isteri diperbolehkan di Indonesia,

sedangkan teknik ibu pengganti (surrogate mother) tidak diizinkan dilakukan.

Surrogate Mother adalah seorang wanita yang mengikat dirinya melalui suatu ikatan

perjanjian dengan pihak lain untuk menjadi hamil setelah dimasukkannya penyatuan sel benih

laki-laki (sperma) dan sel benij rahim (ovum) yang dilakukan pembuahannya diluar rahim (In

Vitro fertilzation) sampai melahirkan sesuai kesepakatan yang kemudian bayi tersebut

diserahkan kepada pihak lain untuk mendapatkan imbalan materi seperti kesepakatan yang telah

disepakati. Pelaksanaan Surrogate Mother di Indonesia batal demi hukum karena tidak terdapat

pengaturannya dalam UU Kesehatan serta melanggar syarat suatu perjanjian yang diatur dalam

Pasal 1320 KUHPerdata. Disini ketentuan 1338 KUHPerdata tidak dapat diberlakukan. Sehingga

pelaksanaan Surrogate Mother tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak ada perlindungan

hukumnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia, Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia dan Kelompok Kerja Ake Arif, Jakarta, 2006.

Ameln, Kapita Selekta Hukum Kesehatan, Cet.I, Grafika Tama Jaya, Jakarta, 1991.

Anu, et all., Surrogacy and Women’s Right to Health in India:Issues and Perspective, Indian
Journal of Public Health, Volume 57, Issue 2, April-June, 2013.

Desriza Ratman, Bolehkan Sewa Rahim di Indonesia?, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2012.

Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Komisi Kesehatan Reproduksi, Departemen


Kesehatan RI, Kebijakan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi Republik Indonesia,
Jakarta, 2005.

H. Desriza Ratman, Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum : Bolehkah Sewa
Rahim di Indonesia?, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2012.

Med. Ahmad Ramali, K.St.Pamoentjak, Kamus Kedokteran , Jakarta, 2005.

Tono Djuantono, dkk, Panduan Medis Tepat dan Terpercaya untuk Mengatasi Kemandulan
Hanya 7 Hari, Memahami Infertilitas, Refika Aditama, Bandung, 2008.

United Nations, Report of the International Conference on Population and Development Cairo
5-13 September 1994, New York, 1995.

16
1. Makalah ditulis dalam kertas A4, font 12, margin atas dan kanan 4 cm, kiri dan bawah 3 cm,
spasi 2 cm.
2. Jarak antara judul bab dan sub judul 2 ketukan enter, hurup pertama paragraph 5 ketukan
menjorok ke dalam.
3. Hurup menggunakan times new roman.
4. Outline makalah sebagai berikut:
a. Cover
b. Kata pengantar
c. Daftar isi
d. BAB I Pendahuluan
- Latar belakang
- Rumusan masalah
- Tujuan umum dan khusus
- Manfaat
e. BAB II Tinjauan Pustaka
2.1. Bayi tabung dipandang menurut etik dan moral

17
2.2. Bayi tabung dipandang menurut hukum internasional dan nasional
2.3. Bayi tabung dipandang menurut hokum agama
2.4. Surrogate mother dipandang menurut etik dan moral
2.5. Surrogate mother dipandang menurut hukum internasional dan nasional
2.6. Surrogate mother dipandang menurut hukum agama
f. BAB III Kasus dan Pembahasan
g. BAB IV Simpulan dan Saran
h. Daftar Pustaka
5. Daftar pustaka harus menggunakan sumber yang relevan dalam 10 tahun terakhir, baik berupa
jurnal, artikel, buku, jurnal elektronik, e-book, dsb.
6. Minimal buku yang digunakan berjumlah 30% dari total sumber pustaka lainnya.
7. Total daftar pustaka yang digunakan sekurang-kurangnya 10 sumber yang relevan.
8. Tugas dikumpulkan via GCR maks hari sabtu tanggal 4 April 2020.

18

Anda mungkin juga menyukai