Anda di halaman 1dari 3

Asal Usul Korupsi

Bagaimana korupsi bisa sampai di Indonesia? Berita-berita di media masa tidak jarang
memberitakan mengenai kasus-kasus korupsi, khususnya di Indonesia. Walaupun hampir seluruh
lapisan masyarakat sudah mengetahui penyebab terjadinya korupsi, tetapi kasus korupsi di
Indonesia tidak pernah terelakkan.
Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan,
dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan dan filsuf.
Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal telah merumuskan sesuatu yang
disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption). Korupsi moral merujuk pada berbagai
bentuk konsitusi yang sudah menyimpang, hingga para penguasa rezim termasuk sistem
demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hukum tetapi tidak lebih hanya melayani dirinya saja.
Tindakan korupsi di Indonesia sudah muncul pada era sebelum Indonesia merdeka. Dahulu
korupsi muncul didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan, dan wanita. Pada masa kolonialisme,
Belanda memahami betul akar dari tindakan korupsi yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia.
Maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara. Gelaja
korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan
bangsawan, sultan, dan raja. Sedangkan rakyat kecil nyaris belum mengenal atau belum
memahaminya.
Jika kita lihat dari sejarahnya sampai keadaan sekarang tindakan korupsi seolah sudah
menjadi tradisi atau budaya bagi warga Indonesia yang diwariskan secara turun temurun.
Korupsi sudah seperti kebiasaan bagi rakyat Indonesia dan sudah membaur dalam kehidupan
sosial masyarakat. Tetapi korupsi menjadi lawan berat bagi masyarakat hingga sampai saat ini
karena berdampak besar terhadap kehidupan.
Permasalahan korupsi memang bukan hal yang baru bagi masyarakat. Banyak cerita sejarah
yang bisa dibaca dan dituliskan bahwa korupsi itu selalu ada dalam setiap pemerintahan. Fakta
yang tidak terbantahkan adalah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bukanlah hal yang
baru. Banyak tim atau lembaga dibentuk untuk memberantas korupsi, mulai dari tahun 1957an
sampai sekarang. Banyak peraturan dilahirkan untuk memberantas korupsi. Mulai dari Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak
Pidana Korupsi, hingga Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United
Nations Convention Against Corruption, 2003. Tetapi Indonesia tetap saja masuk ke dalam daftar
Negara terkorup di dunia.
Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem
budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah kolonial
(terutama oleh Belanda) selama ratusan tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan
tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah
adiministratif tertentu, seperti demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi),
dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda
untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan
dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah
Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia.
Contoh lain adalah Van Rossen, Komisaris Besar (hoofdcommissaris) Polisi Batavia, yang
merangkap sebagai komandan wilayah polisi lapangan Batavia dan Banten, ditahan karena
dugaan kasus penggelapan. Marieke Bloembergen seorang Dosen Sejarah Universitas
Amsterdam dan peniliti senior di KITLV (Institute Linguistik dan Antropologi Kerajaan
Belanda) (buku: Polisi Zaman Hindia Belanda Dari Kepedulian dan Ketakutan) bercerita, pada
8 September 1923, tak lama setelah perayaan kenaikan tahta Ratu Wilhelmina. Waktu itu, Asisten
Residen Batavia, JJ van Helsdingen, setelah mendapat informasi yang cukup dari dalam
kepolisian, berhasil mengumpulkan cukup bukti. Dia menangkap Van Rossen atas dugaan
keterlibatan kasus tersebut.
Kemudian Rossen mengakui segala tuduhan itu, lalu ditahan. Rossen datang ke Batavia pada
1918, menggantikan Komisaris Besar Polisi Boon. Rossen disebut sebagai tokoh yang bersih
oleh Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum. Ternyata, selama bertahun-tahun Rossen berhasil
memperkaya diri sendiri dengan mempermainkan pos anggaran kepolisian.
Caranya, dia mengalihkan sebagian uang yang tersedia karena adanya kekosongan jabatan
dan menyalahgunakan kebijakan kepegawaian. Dia mengangkat pegawai sementara, lalu
memecatnya. Rossen berhasil menggelapkan uang kepolisian dengan jumlah besar, mencapai
satu juta gulden.
Sejak 1922, Helsdingen selalu mengawasi dan mencermati segala tindak tanduk Rossen itu.
Kecurigaan terhadap Rossen menguat setelah melihat harta kekayaanya melimpah. Dia memiliki
mobil Hudson warna merah, rumah dengan interior mewah dan sebuah vila di Belanda.
Setelah diusut, ternyata Rossen terlibat pemerasan rumah perjudian dan pelacuran di
kawasan Senen, Batavia (sekarang Jakarta). Setiap bulan, rumah judi dan pelacuran itu
membayar uang kepada kantor polisi Senen sebesar 2.000 gulden. Uang itu mengalir ke kantong
pribadi Rossen. Setelah kasus penggelapan dana kepolisian itu terbongkar, Rossen diseret ke
pengadilan, dan dituntut dengan hukuman 6 tahun penjara.
Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya
dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi warisan yang
ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak lenyap begitu saja. Salah satu warisan yang tertinggal
adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat
pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin
berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Pola
kepemimpinan yang cenderung otoriter dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktik
korupsi semakin terbuka.
Masalah korupsi sepertinya telah sama seperti sejarah manusia. Demikian pula perjuangan
untuk menentangnya, juga tidak kurang lamanya dalam sejarah manusia. Namun korupsi dalam
bentuk dan ruang lingkupnya seperti sekarang, dengan bentuk, rupa, dan cara yang kita hadapi
sekarang, mungkin belum pernah ada dalam sejarah umat manusia sebelumnya. Sekarang,
korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim dan bahkan juga dapat menyengsarakan suatu bangsa.
Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini sudah dalam posisi yang sangat akut dan begitu
mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun
semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi
kualitas semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai