Anda di halaman 1dari 6

KONTRA ORDE BARU

Tesis
Kasus Soeharto adalah masalah besar yang dampaknya amat besar di kemudian hari, baik
di bidang politik, sosial, ekonomi, kehidupan moral dan keadilan sosial, perikemanusiaan, HAM,
dan penegakan hukum. Karenanya, kalau dilihat dari segi sejarah lahirnya Orde Baru dan dari
apa yang telah terjadi selama 32 tahun itu, nyatalah bahwa kita perlu melihat Soeharto ini secara
menyeluruh, proporsional, benar, adil dan jujur. Sikap ini perlu kita ambil bersama demi
kepentingan kelanjutan kehidupan bersama bangsa kita.
politik Soeharto selama puluhan tahun itu tidak salah, karena sudah selalu mendapat
persetujuan atau pengesahan dari DPR dan MPR. Sudah puluhan tahun (dan sampai sekarang)
hukum sudah dimanipulasi secara kasar dan besar-besaran oleh para penguasa Orde Baru
(terutama oleh Soeharto). Dan norma-norma keadilan sudah dirusak demi kepentingan haram
sebagian kecil sekali bangsa kita. Maka, membela Soeharto atas nama penegakan hukum adalah
suatu hal yang patut sekali untuk dipertanyakan ketulusannya atau kejujurannya (bahkan, juga
kebenarannya). Yang jelas adalah kebalikannya.
Kita semua sudah menyaksikan -selama puluhan tahun- bahwa di antara kerusakan-
kerusakan paling parah yang diperbuat oleh Orde Baru adalah di bidang penegakan hukum.
Banyak sekali pelecehan terhadap supremasi hukum, maka begitu banyak orang-orang yang
tidak bersalah telah dibunuh, banyak orang ditahan tanpa proses pengadilan, kehidupan
demokrasi telah dicekik, hak-hak asasi manusia telah diinjak-injak dalam berbagai bentuk dan
cara, KKN merajalela, dan kebobrokan moral melanda di seluruh negeri.
Mari kita buka kembali halaman-halaman sejarah bagaimana Soeharto bisa naik menjadi
kepala negara melalui berbagai jalan yang penuh bau mesiu dan ujung bayonet. Dan tentang
bahwa ia sudah "dipilih" rakyat untuk memimpin bangsa, perlulah kita ingat
kembali bagaimana 7 kali "pemilihan umum" yang lalu telah "dimenangkan" secara mutlak
oleh Golkar berkat berbagai rekayasa dan penggunaan cara-cara yang batil serta dana yang
haram.

Ekonomi
Rasio utang di era Soeharto mencapai 57,7% terhadap PDB. Pada 1998 lalu, utang
pemerintah berada di kisaran Rp 551,4 triliun, sementara PDB berada di kisaran Rp 955,6 triliun.
SEJARAH PEMBANGUNAN ORDE BARU
Dimulai ketika Soeharto dilantik menjadi Presiden menggantikan Soekarno pada 1967.
Pada saat itu disebut-sebut sebagai masa pemulihan ekonomi. Sebelum peralihan tongkat
kepemimpinan memang tengah terjadi gejolak perekonomian. Dengan berbegai kebijakan
ekonomi, pemerintah Orde Baru mampu meredam hiper inflasi itu. Franciscus Xaverius Seda
(Menteri Keuangan 1966-1968) menjadi aktor utama dari upaya menekan inflasi menjadi 112%
dengan menerapkan anggaran penerimaan dan belanja yang berimbang.

Pada 1977 Indonesia memproduksi begitu banyak minyak hingga mencapai 1,68 juta barel
perhari, sementara konsumsi BBM rakyat Indonesia hanya sekitar 300.000 barel per hari. Ini
yang menyebabkan Indonesia masuk dalam organiasasi OPEC (Organization of the Petroleum
Exporting Countries). Besarnya pemasukan negara dari sektor minyak, membuat pemerintah
orde baru memiliki amunisi untuk melakukan pembangunan. Pembangunan yang dilakukan saat
itu mengarah pada tujuan sosial.

Menurut data sejarah yang dicatat Bank Indonesia (BI), kondisi itu memungkinkan pemerintah
memacu kegiatan pembangunan ekonomi dan melaksanakan program pemerataan pembangunan
lewat penyediaan kredit likuiditas, termasuk pemberian kredit untuk mendorong kegiatan
ekonomi lemah.

Namun, pengucuran deras kredit perbankan tersebut mengakibatkan uang beredar meningkat
dalam jumlah yang cukup besar. Akibatnya, tingkat inflasi 1973/1974 melonjak tajam menembus
angka 47%.Lalu terjadi tekanan inflatoir sehingga mengakibatkan lemahnya daya saing produk
Indonesia di luar negeri karena nilai rupiah menjadi over valued. Pada 15 Nopember 1978
pemerintah mengambil kebijakan yang dikenal dengan KNOP 15 yang mendevaluasi Nilai
Rupiah sebesar 33,6% dari Rp 415 per US$ menjadi Rp 625 per US$. Sejak saat itu pula sistem
nilai tukar diubah menjadi sistem nilai tukar mengambang terkendali dengan mengaitkan mata
uang Rupiah dengan sekeranjang mata uang mitra dagang utama.

Ekonomi Indonesia juga terguncang ketika anjloknya harga minyak dunia yang terjadi pada
1980-an karena banjirnya pasokan minyak dunia. Harga minyak mentah dari US$ 35 per barel
turun menjadi kurang dari US$ 10 pada 1986."Krisis ekonomi tahun 1980-an awal negara
bangkrut karena harga minyak turun di bawah US$ 10 per barrel. Pertamina bangkrut dan negara
bangkrut karena 80% pendapatan negara berasal dari minyak," kata Ekonom Indef Didik J
Rachbini. Saat itu Pertamina mengalami kerugian hingga US$ 10,5 miliar. Ibnu Sutowo yang
saat itu menjadi Dirut Pertamina dituding korupsi dan menjadi penyebab kebangkrutan
Pertamina.

Dengan memanfaatkan upah buruh yang murah, pemerintah Orde Baru mencoba untuk menarik
investor asing. Investor asing juga masuk ke sektor pertanian dengan memproduksi pupuk kimia
dan pestisida. Loncat hingga ke penghujung pemerintahan Orde Baru mulai terjadi tanda-tanda
krisis ekonomi sejak 1997. Saat itu banyak dari perusahaan nasional yang memiliki utang di luar
negeri. Rupiah mulai melemah pada Agustus 1997. Memasuki pertengahan 1997 Indonesia pun
meninggalkan sistem kurs terkendali. Penyebabnya, cadangan devisa Indonesia rontok karena
terus-terusan menjaga dolar AS bisa bertahan di Rp 2.000-2.500.

UNDANG UNDANG HAM DAN KEBEBASAN BERPENDAPAT

UUD 19945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Kemerdekaan mengemukakan
pendapat merupakan sebagian dari hak asasi manusia. Oleh sebab itu, dijamin oleh Deklarasi
Universal Hak – Hak Asasi Manusia PBB, tegasnya dalam pasal 19 dan 20
“ Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapar, dalam hal
ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan untuk mencari,
menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dan tidak
memandang batas-batas.”

KORUPSI SOEHARTO DAN OKNUMNYA


Korupsi memang masih jadi penghambat utama kemajuan Indonesia. Tapi yang
namanya korupsi juga ada di zaman Orba. Bahkan kalau dibandingkan dengan mereka,
koruptor zaman Reformasi cuma ikan teri. Memang, nggak semua kasus korupsi di zaman
Orba bisa diketahui publik. Ini karena sistem pemerintahan yang nggak transparan dan
prosedur checks-and-balances yang nggak jalan. Tapi, kasus-kasus korupsi yang akhirnya
terungkap ke publik selalu masif dan mencengangkan.

Salah satunya Ibnu Sutowo Oleh harian Indonesia Raya, mantan Direktur Utama
Pertamina ini diberitakan korupsi dengan modus kongkalikong proyek senilai $1 juta dengan
pihak Jepang. Ibnu Sutowo ditengarai punya simpanan yang mencapai Rp. 90,48 miliar. Itu
terjadi di tahun 1970, saat tiga ratus perak saja nilainya sudah setara dengan satu dolar
Amerika. Kasus ini sendiri akhirnya nggak pernah tuntas. Harian Indonesia Raya dibredel.
Editor utamanya, Mochtar Lubis, masuk penjara. Tapi tidak dengan Ibnu Sutowo. Ia hanya
diberhentikan dari jabatannya pada tahun 1975, meninggalkan Pertamina yang hampir
bangkrut. Ya, perusahaan minyak negara itu berhutang sebesar US$10,5 milyar kepada grup
donor Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI).

Itu baru dugaan korupsi satu oknum

Menurut NGO Transparency International, Soeharto diduga telah menggelapkan 15-35


miliar dolar AS selama menjabat sebagai presiden Indonesia. Sepanjang sejarah, tidak ada
pemimpin yang pernah menggelapkan uang negara dengan jumlah sebanyak itu. Dampak dari
korupsi sistemik dan masif di era Orde Baru ini adalah utang luar negeri yang diwariskan
kepada Era Reformasi. Jumlahnya nggak tanggung-tanggung: 171 miliar dolar. Luar biasa.

SISTEM SENTRALISASI

Pada era Orba, birokrasi dijalankan dengan sistem sentralisasi. Presiden Soeharto
mengeluarkan UU no. 5/1974 tentang pemerintahan daerah dan UU no. 5/1979 tentang
pemerintahan desa. Kedua UU itu pada dasarnya melarang hak dari setiap wilayah untuk
mengurus wilayahnya sendiri, sehingga daerah jadi tergantung pada kebijakan pusat. Yang
bikin repot, pembangunan di daerah jadi tersendat. Sebagai contoh, kalo kamu ingin
membangun mal di suatu daerah, kamu harus mengajukan proposal ke pemerintah daerah
setempat, lalu dari pemda diteruskan ke pemerintah pusat. Kalo pusat ngegolin proposalmu,
baru deh kamu bisa bangun mal. Dan jangan dikira itu birokrasi satu pintu. Puluhan pintu
pejabat yang kamu masuki berhak menolak proposalmu, terutama kalau proposalmu itu nggak
berkutat di “area basah” yang bisa dikorupsi.

Selain itu, terjadi kesenjangan antara pusat dan daerah, karena kekayaan daerah banyak
yang tersedot ke pusat. Sementara, pembangunan infrastruktur juga lebih sentralistik, sehingga
cuma daerah dekat ibukota aja yang menikmati hasilnya.
GOLKAR
Pemilu tahun 1971 dimenangkan secara mutlak oleh Golongan Karya (Golkar)
dengan 62,8 persen suara. Menurut sejarawan Anhar Gonggong, Golkar sudah diperkirakan
bakal menang secara merata meski baru kali pertama ikut pemilu. Sekretariat Bersama Golkar
dijadikan kendaraan politik Soeharto. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan
seluruh jaringannya, pegawai negeri sipil (PNS), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI),
serta birokrasi di semua tingkat menjadi alat untuk memobilisasi rakyat dari pusat sampai ke
desa-desa agar memilih Golkar.

Atas alasan membahayakan stabilitas nasional, Soeharto menghapuskan sistem


multipartai di pemerintahan. Partai-partai politik disederhanakan menjadi dua saja: yaitu PPP
(dengan basis kaum Muslim) dan PDI (Partai Sosialis-Marhaenis berideologi Nasionalisme).
Golkar bukan partai, tapi boleh ikut pemilu. Itu adalah cara Soeharto menjaga agar tampuk
kekuasaan tetap ada di tangannya, Golkar, serta kroni-kroninya.

PERS DIBUNGKAM

Orba tampak seperti zaman yang tentram di permukaan. Itu bukan karena minimnya
kriminalitas, tapi karena pers dibungkam. Kebebasan pers dalam menyampaikan berita dan
aspirasi rakyat dibelenggu negara lewat Departemen Penerangan. Media yang tetap bersikap
kritis terhadap pemerintah, seperti Tempo dan Detik, akan dibredel. Artinya, izin terbitnya
dicabut.

Individu yang masih nekat kritis akan dicap “musuh negara” dan patut “diproses”. Kamu
mungkin masih ingat Udin, wartawan harian Bernas Yogyakarta yang tewas pada tahun 1996
setelah dianiaya orang tak dikenal. Sebelum kejadian itu, Udin kerap menulis artikel kritis
tentang kebijakan pemerintah Orba dan militer. Sampai sekarang, kasus ini belum menemukan
titik terang dan pelakunya belum terungkap. Dewan Pers pada masa Orba sendiri hanyalah
formalitas belaka, tak lebih dari boneka pemerintah untuk mengontrol media. Independensi
dewan pers seolah dikebiri dan harus taat perintah. Kalo zaman itu udah ada internet, bisa-bisa
media online, Facebook, dan Twitter juga disensor.

ATRIBUT ISLAM DIBATASI

Pada rezim Orba, kebebasan mengenakan atribut bernuansa Islam sangat minim. Saat
itu, kita gak pernah melihat jilbab dikenakan oleh pegawai pemerintahan, pelajar, atau aparat
hukum, karena atribut Islam dianggap sebagai representasi politik Islam yang akan
“mengganggu stabilitas negara”. Pada tahun 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
mengeluarkan SK 052 yang mengatur bentuk dan penggunaan seragam sekolah di sekolah
negeri. SK ini memicu pelarangan pengenaan jilbab di kalangan pelajar sekolah negeri. Pelajar
yang mengenakan jilbab bahkan sampai terancam dikeluarkan dari sekolah.
DISKRIMINASI TIONGHOA

Orde Baru menjalankan kebijakan anti-budaya Tionghoa. Komunitas Tionghoa di Indonesia


dianggap berpotensi menjadi kaki tangan Republik Rakyat Tiongkok, yang sistem
pemerintahannya komunis. Belum lagi banyaknya penyerangan baik secara lisan maupun aksi
kepada Tionghoa contohnya penyerangan etnis tionghoa di medan pada tahun 1966 karena
dianggap komunis oleh massa. Selain mengganti “Tiongkok” dan “Tionghoa” menjadi “China”
atau “Cina” lewat Surat Edaran SE-06/Pres.Kab/6/1967, pemerintah juga melarang
penggunaan bahasa Mandarin dan tidak mengakui agama Kong Hu Cu. Nama Tionghoa harus
diubah ke nama “asli” Indonesia, dan agama mereka juga harus dipindah ke lima agama yang
diakui negara.

PETRUS

Penembak misterius, atau disingkat ‘petrus’, adalah operasi pembasmian gali


(gabungan anak liar) atau preman sepanjan tahun 1980-an. Disebut ‘petrus’ karena pelakunya
tidak ada yang ditangkap. Di masa Reformasi, baru diketahui kalau petrus adalah operasi
militer dengan kode Operasi Clurit (Jakarta) dan Operasi Penumpasan Kejahatan (OPK –
Yogyakarta). Operasi ini menyasar para preman yang saat itu dengan cara menembak mati dan
membiarkan mayatnya sampai ditemukan warga, agar menimbulkan efek jera.

Tapi gak cuma yang terbukti preman aja yang dihabisi; mereka yang bertato juga
terancam nyawanya. Orang-orang ini hidup dalam teror, sampai harus mengungsi atau
bersembunyi di gunung. Bahkan ada juga yang sampai menyetrika kulitnya untuk menghapus
tato. Ribuan orang tewas selama petrus bergentayangan. Sebagian besar ditemukan dengan
luka tembak dalam keadaan tangan dan leher terikat atau dibungkus karung. Mayatnya
ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan, dan kebun.

HARGA MINYAK YANG SEBENARNYA TIDAK MURAH

Memang, di zaman Orba Indonesia bisa mengimpor minyak dan menjadi anggota
OPEC, sementara di era Reformasi kita malah keluar dari asosiasi negara pengekspor minyak
tersebut dan mulai mengimpor. Tapi, itu bukan tanda bahwa Orde Baru lebih hebat dari
Reformasi.

Indonesia bisa masuk OPEC karena cadangan minyak kita waktu itu masih melimpah.
Sekarang, cadangan minyak kita lebih tipis — dan bakal tetap tipis siapapun presidennya.
Lagipula, di zaman Reformasi permintaan BBM dalam negeri kita semakin tinggi. Permintaan
BBM yang tinggi ini sebenarnya adalah salah satu tanda semakin berkembangnya ekonomi
Indonesia. Memang, nggak kayak zaman Reformasi, di zaman Orba nggak pernah ada ide
untuk menghapus subsidi BBM. Tapi kebijakan subsidi BBM ini sebenarnya adalah alat Orba
mempertahankan kekuasaan. Dan asal tau aja, subsidi ini dibayarkan dari utang luar negeri.
Kalo ingin analisa lebih jauh perbandingan harga BBM pada tahun 1993 yang Rp. 700 dan
tahun 2013 yang Rp 6.500.

KESIMPULAN :
Awalnya, Orba memang dipuja-puja karena berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi
sebesar rata-rata 6-7 % per tahun. Tapi, pertumbuhan ekonomi itu ternyata ditopang oleh
eksploitasi sumber daya alam, utang luar negeri pemerintah, utang elit swasta (konglomerat),
serta sentralisasi keuangan. Artinya, pertumbuhan ekonomi itu tidak dibarengi dengan
pemerataan kekayaan masyarakat. Yang kaya makin kaya, yang miskin tetap aja miskin.

Struktur ekonomi yang elitis itu pun jadi penyebab kenapa Indonesia adalah negara
yang paling hancur akibat badai krisis ekonomi Asia di tahun 1997. Inflasi menggila dan nilai
rupiah juga anjlok ke Rp17.000 per dolar AS.

ALASAN LAIN :

1. Pada tahun 1971, pemilu dimenangkan mutlak oleh Golkar. Hal itu karena seluruh
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berserta seluruh jaringannya,
termasuk pegawai negeri sipil, dan juga persatuan guru diharuskan memilih Golkar.
Jadi, yang namanya demokrasi di masa itu hanya hal yang semu. Terlebih pada tahun
1997-1998, banyak terjadi kasus penculikan para aktivis yang pro demokrasi. Hal itu
terjadi pada hari-hari jelang pemilu atau menuju sidang MPR

2. Orang zaman orde baru nggak bisa ngomong sembarangan. Salah ngomong sedikit,
bisa dianggap musuh negara, bahkan bisa langsung disikat. Mungkin kamu bisa
googling tentang kisah Udin, seorang wartawan harian Bernas Yogyakarta yang kerap
menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah orde baru dan militer. Ujung-
ujungnya, penyeruan suara tersebut berakhir dengan tewasnya Udin setelah dianiaya
oleh orang nggak dikenal. Kasusnya pun nggak nemu titik terang hingga kini.

3. Zaman dulu nggak ada korupsi? Jangan salah. Pada masa orde baru, setidaknya ada
tujuh yayasan pak Harto yang diduga menggunakan uang Negara. Hasil penyelidikan
kasus tujuh yayasan tersebut menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Hasil
tersebut merupakan kumpulan dari 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli. Setidaknya,
sekitar 400 miliar dana mengalir ke yayasan milik Soeharto pada tahun 1996 sampai
1998. Dalam kasus-kasus tersebut, terungkap pula banyak menteri-menteri yang
terlibat dalam korupsi yang merugikan Negara.

Anda mungkin juga menyukai