Anda di halaman 1dari 41

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. M DAN Tn.

T
YANG MENGALAMI PNEUMONIA DENGAN
KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN
NAPAS DI RUANG ICU RSUP Dr.
SOERADJI TIRTONEGORO
KLATEN

DISUSUN OLEH :
FRISKA E D RUMKIEK
31440120012

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2017
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. M DAN Tn. T
YANG MENGALAMI PNEUMONIA DENGAN
KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN
NAPAS DI RUANG ICU RSUP Dr.
SOERADJI TIRTONEGORO
KLATEN

Karya Tulis Ilmiah


Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma Tiga Keperawatan

DI SUSUN OLEH :
FRISKA E D RUMAKIEK
3144020012

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan keperawatan Ny. M dan Tn. T Yang
Mengalami Pneumonia di Ruang ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1. Wahyu Rima Agustin S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Institusi
Pendidikan yang telah memberikan kesempatan untuk menimbailmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2. Meri Oktariani S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Program Studi D3
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
3. Erlina Windyastuti S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi D3
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat
menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
4. Alfyana Nadya Rachmawati S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku dosen pembimbing
sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat,
memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam
bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
5. Setiyawan S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku dosen penguji yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
6. Ny.M dan Tn.T yang telah mengizinkan saya untuk mengaplikasikan
Asuhan Keperawatan pada klien yang mengalami Pneumonia.
7. Semua dosen Program Studi D3 Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan
wawasannya serta ilmu yang bermanfaat.
8. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan
semangat, kepercayaan, kasih sayang, nasihat dan dukungan dalam segala
bentuk serta atas do’anya selama ini yang tidak terbalas oleh apapun untuk
menyelesaikan pendidikan.
9. Kakak-kakakku dan orang yang kusayangi yang selalu memberikan
semangat, do’a dan dukungan dalam setiap proses yang di lalui penulis.
10. Teman-teman Mahasiwa Program Studi D3 Keperawatan STIKes Kusuma
husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satupersatu,
yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga laporan studi
kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan.
Amin.

Surakarta, 24 Juli 2017

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas
tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak,
dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang) (Riskesdas,
2013). Mahfudzoh (2016) yang melaporkan penelitian tahun 2008 oleh Muttaqin
menyatakan bahwa pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat
konsolidasi dan terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Pneumonia nosokomial merupakan
salah satu komplikasi perawatan di rumah sakit yang meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pasien. Insiden pneumonia nosokomial mencapai 30%. Pneumonia
nosokomial yang terjadi dirumah sakit dapat dibagi dua, yaitu: Hospital Acquired
Pneumonia (HAP) dan Ventilator Associated Pneumonia (VAP). Kedua jenis
pneumonia ini masih jadi penyebab penting dalam angka kematiandan kesakitan pada
pasien yang dirawat dirumah sakit (Hendra & Huriani,2011).

Purnamasari (2016) yang melaporkan Penelitian tahun 2012 oleh Widagdo


menyatakan mikroorganisme penyebab pneumonia ialah Streptococcus pneumoniae
(paling sering), Chlamidia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae. Selain itu juga
dapat disebabkan oleh Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus,
Haemophyllus Influenzae, Mycobactrium tuberculosis, Salmonella, Scherichiacolli,
Pneumocystis jirofeci. Karhu (2014) yang melaporkan penelitian 2012 oleh
Mongardon dkk menyatakan bahwa Streptococcus pneumoniae adalah patogen paling
umum didapatdari pemeriksaan kultur darah positif.Klebsiella pneumonia adalah
isolat etiologi yang paling umum diikuti oleh Streptococcus pneumoniadan candida
albicans (Rohini dkk, 2015).

Di Amerika Serikat, pneumonia merupakan penyebab kematian utama akibat penyakit


infeksi, infeksi nosokomial (didapat dari rumah sakit) adalah yang paling sering
ditemukan, dan merupakan penyebab kematian keenam. Sekitar 4,8 juta kasus
pneumonia (1,8 kasus per 100 orang), dengan diagnosa pneumonia dilaporkan setiap
tahunnya (Morton Dkk, 2014). Pneumonia merupakan salah satu dari 10 besar
penyakit rawat inap di rumah sakit, dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki dan
46,05% perempuan (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Di RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten penyakit pneumonia menduduki peringkat 10 besar penyakit yang
paling sering dijumpai di ruang Intensif Care Unit (ICU) (RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten). Kondisi pasien yang berada di ICU umumnya terpasang ventilasi
mekanik. Ventilasi mekanik memberikan tekanan positif secara kontinu yang dapat
meningkatkan pembentukan sekresi pada paru-paru. Ventilator dipasang dengan
memasukkan sebuah tube melalui trakea atau dikenal juga dengan nama endotracheal
tube (ETT). Terpasangnya ETT akan menjadi jalan masuk bakteri secara langsung
menuju saluran nafas bagian bawah. Hal ini akan mengakibatkan adanya bahaya
antara saluran nafas bagian atas dan trakea, yaitu terbukanya saluran nafas bagian atas
dan tersedianya jalan masuk bakteri secara langsung. Karena terbukanya saluran nafas
bagian atas akan terjadi penurunan kemampuan tubuh untuk menyaring dan
menghangatkan udara. Selain itu, reflek batuk sering ditekan atau dikurangi dengan
adanya pemasangan ETT, dan gangguan pada pertahanan silia mukosa saluran nafas
karena adanya cidera pada mukosa pada saat intubasi dilakukan, sehingga akan
menjadi tempat bakteri untuk berkolonisasi pada trakea. Keadaan ini akan
mengakibatkan peningkatan produksi dan sekresi sekret sehingga menimbulkan
masalah ketidakefektifan jalan nafas (Agustyn, 2007 dikutip dalam Rahman 2011).
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah ketidakmampuan membersihkan sekresi
atau obstruksi dari saluran napas untuk mempertahankan bersihan jalan napas
(Herdman, 2015). Perawat harus mengidentifikasi adanya sekresi dengan cara
auskultasi paru sedikitnya 2-4 jam (selama pasien masih terpasang ventilasi mekanik
dan post ekstubasi). Tindakan untuk membersihkan jalan napas diantaranya yaitu:
fisioterapi dada seperti penepukkan pada dada/punggung, menggetarkan, perubahan
posisi, seperti; posisi miring, posisi telentang, dan termasuk penghisapan. Fisioterapi
dada sangat berguna bagi penderita penyakit paru baik yang bersifat akut maupun
kronis, sangat efektif dalam upaya mengeluarkan sekret dan memperbaiki ventilasi
pada pasien dengan fungsi paru yang terganggu. Jadi tujuan pokok fisioterapi pada
penyakit paru adalah mengembalikan dan memelihara fungsi otot-otot pernafasan dan
membantu membersihkan sekret dari bronkhus dan untuk mencegah penumpukan
sekret. Fisioterapi dada ini dapat digunakan untuk pengobatan dan pencegahan pada
penyakit paru obstruktif menahun, penyakit pernafasan restriktif karena kelainan
neuromuskuler dan penyakit paru restriktif karena kelainan parenkim paru seperti
fibrosis dan pasien yang mendapat ventilasi mekanik. Mobilisasi atau aktivitas di
rumah sakit pada pasien istirahat total sangat penting sekali dilakukan (Hendra &
Huriani, 2011). Berdasarkan data diatas penulis tertarik untuk menulis Karya Tulis
ilmiah dengan judul Asuhan Keperawatan pada klien yang mengalami pneumonia
dengan Ketidakefektifan bersihan jalan napas di Ruang ICU RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten.

1.2 Batasan Masalah

Masalah pada studi ini dibatasi pada Asuhan Keperawatan Klien yang mengalami
Pneumonia dengan Ketidakefektifan bersihan jalan napas di Ruang ICU RSUP Dr.
Soeradji Tirtonegoro Klaten.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Ny. M dan Tn. T yang mengalami Pneumonia


dengan Ketidakefektifan bersihan jalan napas di ruang ICU RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten?

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum adalah melaksanakan Asuhan Keperawatan Ny. M dan Tn. T yang
mengalami Pneumonia dengan Ketidakefektifan bersihan jalan napas di Ruang ICU
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.

1.4.2 Tujuan Khusus

1) Penulis mampu melakukan pengkajian keperawatanpada Ny. M dan Tn. T yang


mengalami Pneumonia dengan Ketidakefektifan bersihan jalan napas di Ruang
ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
2) Penulis mampu menetapkan diagnosa keperawatan pada Ny. M dan Tn. T yang
mengalami Pneumonia dengan Ketidakefektifan bersihan jalan napas di Ruang
ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
3) Penulis mampu menyusun intervensi keperawatan pada Ny. M dan Tn. T yang
mengalami Pneumonia dengan Ketidakefektifan bersihan jalan napas di Ruang
ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
4) Penulis mampu melakukan implementasi keperawatan pada Ny. M dan Tn. T
yang mengalami Pneumonia dengan Ketidakefektifan bersihan jalan napas di
Ruang ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
5) Penulis mampu melakukan evaluasi pada Ny. M dan Tn. T yang mengalami
Pneumonia di Ruang ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.

1.5 Manfaat

1.5.1 Teoritis

Karya Tulis Ilmiah ini dapat digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan ilmu
keperawatan dan juga sebagai pedoman untuk penatalaksanaan pada pasien yang
mengalami Pneumonia.

1.5.2 Praktis

1) Bagi institusi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit) sebagai acuan dalam


menjalankan praktek keperawatan pada asuhan keperawatan pada klien dengan
Pneumonia.
2) Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat sebagai acuan dalam upaya
meningkatkan mutu pelayanan dalam memberikan asuhan keperawatan secara
komperhensif terutama pada klien dengan Pneumonia.

3) Bagi institusi pendidikan sebagai referensi dan wacana dalam perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang perawatan klien dengan penyakit
Pneumonia di masa yang akan datang dan acuan bagi pengembangan laporan
kasus sejenis.
4) Bagi penulis selanjutnya menambah wawasan dan pengalaman tentang konsep
penyakit serta penatalaksanaanya dalam aplikasi langsung melalui proses
keperawatan dengan basis ilmu keperawatan dalam memberikam asuhan
keperawatan pada pasien dengan Pneumonia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit Pneumonia

2.1.1 Definisi

Pneumonia adalah infeksi yang umum ditemukan di komunitas (Community Acquired


Pneumonia, CAP) dan rumah sakit (Hospital Acquired Pneumonia, HAP). Kasus ini dihadapi
oleh perawat keperawatan kritis ketika infeksi tersebut memperberat kondisi penyakit yang
serius atau menyebabkan gawat napas (Morton dkk, 2014). Pneumonia adalah suatu proses
peradangan dimana terdapat konsolidasi yang disebabkan pengisisan rongga alveoli oleh
eksudat. Pertukaran gas tidak dapat berlangsung pada daerah yang mengalami konsolidasi,
begitupun dengan aliran darah disekitar alveoli menjadi terhambat dan tidak berfungsi
makasimal. Hipoksemia dapat terjadi, bergantung pada banyaknya jaringan paru-paru yang
sakit (Somantri, 2009). Ventilator-associated Pneumonia (VAP) merupakan infeksi
pernafasan yang beresiko untuk terjadi pada pasien yang di rawat di ICU yang terpasang
selang trakeal dan/atau ventilator (Rahmiati & Kurniawan, 2013)
2.1.2 Klasifikasi

Menurut Ward dkk (2008), klasifikasi pneumonia adalah sebagai berikut:

1. Pneumonia yang didapat dari komunitas , yaitu infeksi LRT yang terjadi dalam 48
jam setelah dirawat dieumah sakit pada pasien yang belum pernah dirawat di
rumah sakit selama >14 hari.
2. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial) yaitu setiap Infeksi LRT yang
berkembang >2 hari setelah dirawat di rumah sakit.
3. Pneumonia aspirasi/anaeorob yaitu infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain
setelah aspirasi isi orofaringeal (misalnya CVA).
4. Pneumonia oportunistik yaitu pasien dengan penekanan sistem imun
(misalnya steroid, kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh
virus, jamur, dan mikrobakteri selain organisme bakterial lain.
5. Pneumonia rekuren yaitu disebabkan oleh organisme aerob dan
anaeorob yang terjadi pada fibrosis kistik dan bronkiektasis

2.1.3 Etiologi

Menurut Morton dkk (2014), penyebab penyakit pneumonia adalah


Sebagai berikut:
1. Pneumonia yang didapat dari komunitas antara lain usia <2 tahun atau >65 tahun,
merokok, penyalahgunaan alkohol, komorbiditas: penyakit
Paru, penyakit kardiovaskular, penyakit hepar, penyakit ginjal,
Penyakit sistem saraf pusat.
2. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit

a) Terkait pajemu: pertambahan usia, perubahan tingkat kesadaran, penyakit


paru obstruksi kronis (PPOK), penyakit berat, malnutrisi, karang gigi,
rauma tumpul, trauma kepala berat, trauma dada, merokok.
b) Terkait Pengobatan: ventilasi mekanis, reintubasi atau ekstubasi
sendiri, bronkoskopi, slang nasogatrik dan pemberian makanan
enteral, adanya alat pemantau tekanan intrakranial (TIK), terapi
antibiotik sebelumnya, pembedahan kepala, toraks atau abdomen
atas, terapi antasid, posisi telentang.
c) Terkait infeksi: mencuci tangan kurang bersih, mengganti slang
ventilator kurang dari 48 jam sekali.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut Somantri (2009) tanda dan gejala yang muncul pada pneumonia adalah
demam 39-40oC, nyeri dada karena batuk, nyeri dada pleuritis, nyeri kepala, nyeri
tenggorokan, batuk produktif ataupun kering, sputum hijau dan purulen serta mungkin
mengandung bercak darah, bisa juga berbau busuk, adanya retraksi interkostal,
penggunaan otot aksesorius, dispnea berat, sianosis, hipoksemia dan malaise.

2.1.5 Patofisiologi

Pneumonia merupakan respons inflamasi terhadap benda asing yang tanpa sengaja
teraspirasi atau multiplikasi mikroorganisme tidak terkontrol yang menginvasi saluran
pernapasan bawah. Respons tersebut menyebabkan akumulasi neutrofil dan sel
efektor di bronkus perifer dan ruang alveolar. Sistem pertahanan tubuh yang
mencakup pertahanananatomis, mekanis, humoral, dan seluler dirancang untuk
menyingkirkan organisme yang memasuki saluran pernapasan. Sebagian besar
penyakit sistemik meningkatkan risiko pneumonia pada pasien dengan cara
mengubah mekanisme pertahanan pernapasan. Pneumonia terjadi jika. Mekanisme
pertahanan paru yang normal terganggu atau bekerja terlalu berat, sehingga
mikroorganisme berkembang dengan cepat (Morton dkk, 2014). Saat terjadi inhalasi
bakteri mikroorganisme penyebab pneumonia diaspirasi melalui orofaring. Tubuh
pertama kali akan melakukan mekanisme pertahanan primer dengan meningkatkan
respons radang (Somantri, 2009). Patogen dapat memasuki saluran pernapasan bawah
melalui empat cara; aspirasi, inhalasi, penyebaran hematogen dari lokasi yang jauh,
dan translokasi. Rute utama bakteri memasuki paru adalah melalui aspirasi
mikroorganisme dari orofaring. Aspirasi sering kali terjadi(>45% waktu) pada
individu yang sehat ketika mereka tidur. Risiko aspirasi yang signifikan dari segi
klinis meningkat pada pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran atau
disfagia dan pada mereka yang terpasang slang endotrakea atau slang enteral.
Penyebaran hematogen merupakan mekanisme yang efektif, sirkulasi pulmonal
menjadi jalan masuk yang efektif bagi mikroba. Kapiler paru membentuk jaringan
padat di dinding alveoli yang ideal untuk pertukaran gas. Mikroba hematogen dari
lokasi infeksi yang jauh dapat bermigrasi melalui jaringan tersebut dan menyebabkan
pneumonia (Morton dkk, 2014).
2.1.7 Komplikasi
2.1.8

Komplikasi pneumonia menurut Manurung (2016) yaitu :

1) Abses paru
2) Efusi pleura
3) Empiema
4) Bakteremia dan septicemia
5) Bronkiektasis

2.1.9 Pentalaksanaan
2.1.10
1) Terapi Suportif menurut Ward dkk (2008)

a) Oksigen suplemental untuk mempertahankan PaO2>8 kPa (SaO2 < 90%).

b) Cairan intravena (± vasopresor/inotrop) untuk stabilisasi Hemodinamik.

c) Bantuan ventilasi, misalnya tekanan jalan napas positif kontinu Pada gagal
napas.

d) Fisioterapi membantu bersihan sputum pascaoperasi dan pada Pasien


imobilisasi.

e) Posisi setengah telentang (yaitu elevasi kepala tempat tidur 300) Pada
pasien yang harus berbaring terus ditempat tidur dapat mengurangi risiko
aspirasi.

2) Terapi Antibiotik menurut Ward dkk (2008) yaitu:

a) Pada HAP onset dini (<4 hari di rumah sakit) tanpa faktor risiko untuk
organisme MDR (resisten terhadap antibiotik), monoterapi pada beta-
laktam/beta-laktamse, antibiotik selfalosporin generasi ketiga, seftriakson,
ko-ammoksiklav atau ertapenem, dan fluorokuinolon.
b) Pada HAP onset lambat (>4 hari dirumah sakit) dengan faktor risiko
patogen MDR, terapi kombinasi dengan antibiotik spektrum luas untuk
mencakup hasil gram-negatif MDR dan MRSA (resisten mitisilin)
misalnya sefalospirin antipseudomonas, karbapenem antipseudomonas,
vankomisin, dll. Terapi tambahan dengan aminoglikosida inhalasi atau
polimiksin dipertimbangkan pada pasien yang tidak membaik dengan
terapi sistemik.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Nurarif & Kusuma (2015) pemeriksaan penunjang pada pneumonia adalah sebagai
berikut :

1) Sinar X: untuk mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar, bronkial,


dapat juga menyatakan abses).
2) Biopsi Paru: untuk menetapkan diagnosis.
3) Pemeriksaan kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi semua
organisme yang ada.
4) Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas berat
penyakit dan membantu diagnosis keadaan.
5) Spirometrik static : untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi.
6) Bronkoskopi:untuk menetapkan diagnosa dan mengangkat benda asing.

2.2 Konsep Dasar Ventilasi Mekanik


2.3
2.2.1 Definisi

Menurut Soetioputro (2016) ventilasi mekanik merupakan salah satubentuk terapi yang sering
diberikan kepada pasien kritis di ruang perawatan intensif. Ventilasi mekanik adalah mesin
yang digunakan untuk memasukkan dan mengeluarkan udara pernapasan ke dalam paru-paru.
Ventilasi mekanik berfungsi untuk menormalkan nilai gas darah arteri dan keseimbangan
asam basa, serta berfungsi menurunkan kerja pernapasan pasien dengan memberikan bantuan
ventilasi yang disesuaikan dengan kebutuhan.

2.2.2 Mode Ventilator

Menurut Dewi (2008), mode ventilasi adalah salah satu dari beberapa metode yang
digunakan oleh ventilator untuk membantu ventilasi. Adapun mode-mode tersebut antara
lain:

1. Control Ventilation(VC)
Mode control ventilation menjamin bahwa pasien menerima jumlah dan volume pernapasan
setiap menit yang telah ditentukan sebelumnya. Pada umumnya pasien diberi sedatif atau
dilumpuhkan dengan obat penghambat neuromuskular untuk mencapai tujuan.

2.Assist-Control Ventilation (VCA)


Mode ini menjamin bahwa jumlah dan volume pernapasan tertentu yang diberikan oleh
ventilator setiap menit mengharuskan pasien untuk tidak memulai respirasi dengfan frekuensi
itu atau lebih. Apabila pasien memulai pernapasan dengan frekuensi yang lebih tinggi dari
nilai minimum yang telah ditentukan, maka ventilator akan memberi awal pernapasan secara
spontan.
3. Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV)
Mode SIMV memastikan bahwa jumlah oksigen yang telah ditentukan sebelumnya sesuai
dengan Vt yang dipilih akan diberikan setiap menit. Pasien boleh memberi napas awal, tetapi
berbeda dengan mode assist control ventilation, pada mode ini pernapasan tersebut tidak
diberikan kembali oleh ventilator. Pasien boleh bernapas secara spontan dengan kedalaman
dan frekuensi napas yang diinginkan sampai tiba waktunya pernapasannya dibantu atau
dilakukan oleh ventilator. Bantuan pernapatan (napas mendatori) pada mode ini disesuaikan
dengan kerja inspirasi pasien, apabila pasien dapat melakukannya, untuk mengoptimalkan
keselarasan antara ventilaror dengan pasien. Pernapasan spontan yang dilakukan selama
penggunaan SIMV mempunyai FiO2 yang sama dengan pernapasan mendatori.
4. Pernapasan Spontan (SPONT)
Mode ini memberikan seluruh kerja pernapasan dilakukan oleh pasien selama pernapasan
spontan. Pada beberapa situasi penghentian (penyapihan) pasien menggunakan ventilator
dapat menyebabkan penurunan kerja pernapasan. Sama dengan pernapasan spontan, mode-
mode ventilasi sering dikenal sebagai CPAP, flow-byatau SPONT pada ventilator. Tekanan
jalan mapas kontinyu (CPAP) adalah setting pernapasan spontan dengan tambahan PEEP
selama siklus pernapasan. Apabila tidak digunakan PEEP maka CPAP setting sama dengan
pernapasan spontan.

5.Pressure Support (PS)


PS adalah tipe pernapasam spontan, terdapat pada mode SIMV dan SPON, yamg
mempertahankan tekanan positif selama inspirasi Spontan. Volume gas yang diberikam oleh
ventilator untuk setiap inspirasi berbeda-beda tergantung pada level pressure support dan
kebutuhan pasien. Semakin tinggi level pressure support maka semakin banyak gas yang
diberikan setiap pernapasan.
6.Pressure Ekspirasi Ekspirasi Positive (PEEP/CPAP)
PEEP digunakan bersama-sama dengan salah satu mode ventilator untuk membantu
menstabilkan volume alveolar paru dan memperbaiki oksigenasi.

2.4 Konsep Diagnosa Keperawatan : Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas


Diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah ketidakmampuan
membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk mempertahankan bersihan
jalan napas. Batasan karakteristik dari ketidakefektifan bersihan jalan nafas yaitu batuk yang
tidak efektif, dispnea, gelisah, kesulitan verbalisasi, mata terbuka lebar, ortopnea, penurunan
bunyi napas, perubahan frekuensi napas, perubahan pola napas, sianosis, sputum dalam
jumlah yang berlebihan, suara napas tambahan, tidak ada batuk (Herdman dkk, 2015).

2.5 Asuhan Keperawatan


2.6

2.4.1 Pengkajian

Menurut Hidayat dkk (2012), pengkajian adalah langkah awal dari tahapan proses
keperawatan, kemudian dalam mengkaji harus memperhatikan data dasar dari pasien, untuk
informasi yang diharapakan dari pasien. Pengkajian keperawatan pada seluruh tingkat
analisis (individu, keluarga, komunitas) terdiri atas data subjektif dari seseorang atau
kelompok, dan data objektif dari pemeriksaan diagnostik dan sumber lain. Pengkajian
individu terdiri atas riwayat kesehatan (data subjektif) dan pemeriksaan fisik (data objektif)
(Weber & Kelley 2009).

1) Biodata

Anamnesis yang diperoleh dari anamnesis umum merupakan identitas diri pasien yaitu nama,
umur, alamat, jenis kelamin, agama, pekerjaan, dan hobi (Febrianto, 2013).

2) Riwayat Kesehatan
a) Keluhan Utama dan Riwayat Kesehatan Sekarang
Keluhan utama yang sering timbul pada klien pneumonia adalah adanya
awitan yang ditandai dengan keluhan menggigil, demam ≥40oC, nyeri
pleuretik, batuk, sputum berwarna seperti karat, takipnea terutama setelah
adanya konsolidasi paru.
b) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pneumonia sering kali timbul setelah infeksi saluran napas atas (infeksi pada
hidung dan tenggorokan). Risiko tinggi timbul pada klien dengan riwayat
alkoholik, posr-operasi, infeksi pernapasan, dan klien dengan imunosupresi
(kelemahan dalam sistem imun). Hampir 60% dari klien kritis di ICU dapat
menderita pneumonia dan 50% (separuhnya) akan meninggal dunia.

3) Pengkajian Fokus

Menurut Muttaqin (2014), pengkajian fokus pada pasien pneumonia adalah


sebagai berikut:

a) Breathing

Pemeriksaan fisik pada klien dengan pneumonia merupakan pemeriksaan


fokus, berurutan pemeriksaan ini terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi.

1. Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan: gerakan pernapasan
simetris, pada klien dengan pneumonia sering ditemukan
peningkatan frekuensi napas cepat dan dangkal, serta adanya
retraksi sternum dan intercostal sternum space (ICS). Napas
cuping hidung pada sesak berat dialami terutama pada anak-anak.
Batuk dan sputum: saat dilakukan pengkajian batuk pada klien
demgan pneumonia biasanya didapatkan batuk produktif disertai
dengan adanya peningkatan produksi sekret dan sekresi sputum
yang purulen.

2. Palpasi
Gerakan dinding thoraks anterior/ ekskrusi pernapasan: pada
palpasi klien dengan pneumonia, gerakan pada saat bernafas
biasanya normal dan seimbang antara bagian kanan dan kiri.
Getaran suara (fremitus fokal): taktil fremitus pada klien
dengan pneumonia biasanya normal.
3. Perkusi
Klien dengan pneumonia tanpa disertai komplikasi,
biasanya didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh
lapang paru. Bunyi redup perkusi pada klien dengan
pneumonia didapatkan apabila bronkopneumonoia menjadi
satu sarang (kunfluens).
4. Auskultasi
Pada klien dengan pneumonia, didapatkan bunyi napas
tambahan ronkhi basah pada sisi yang sakit. Penting bagi
perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil
auskultasi didaerah mana didapatkan adanya ronkhi.

b) Blood

Pada pasien dengan pneumonia pengkajian yang didapat


meliputi:
(1) Inspeksi : didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum
(2) Palpasi : denyut nadi perifer melemah
(3) Perkusi : batas jantung tidak mengalami pergeseran
(4) Auskultasi : tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung
tambahan biasanya tidak didapatkan
c) Brain

Klien dengan pneumonia berat sering terjadi penurunan kesadaran,


didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat.
Pada pengkajian objektif, wajah klien tampak meringis, menangis,
merintih, meregang, dan menggeliat.

d) Bladder

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan.


Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal
tersebut merupakan tanda awal dari syok.

e) Bowel

Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan


penurunan berat badan.

f) Bone

Kelemahan dan kelelahan fisik secara umum sering menyebabkan


ketergantungan klien terhadap bantuan orang lain dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
3) Pemeriksaan Fisik

Menurut Sudoyono 2006 (dikutip dalam Somantri 2009) presentasi bervariasi


bergantung pada etiologi, usia dan keadaan klinis

a) Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. Pneumoniae,


Streptococcus spp, dan Staphylococcus. Pneumonia virus ditandai dengan
mialgia, malaise, batuk kering yang nonproduktif.
b) Awitan yang tidak terlihat dan ringan pada orang tua/orang dengan penurunan
imunitas akibat kuman yang kurang patogen/ oportunistik.
c) Tanda-tanda fisik pada pneumonia klasik yang biasa dijumpai adalah demam,
sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang dullnes, ronchi
nyaring, serta suara pernapasan bronkial).
d) Ronchi basah dan gesekan pleura dapat terdengar diatas jaringan yang
terserang karena eksudat dan fibrin dalam alveolus. Pengkajian kardiovaskular
dan paru harus dilakukan secara komperhensif, perawat harus mengkaji
adanya tanda-tanda hipoksia (kulit keabu-abuan atau sianosis) dan dispnea
(napas cuping hidung). Pasien memperlihatkan gejala awitan awal pada
pernapasan (misal batuk, produksi sputum dan dispnea) yang biasanya disertai
dengan demam dan menggigil, inspeksi dada meliputi pengkajian pola
pernapasan dan frekuensi pernapasan, observasi postur tubuh pasien dan kerja
pernapasan, serta inspeksi adanya retraksi interkosta. Perkusi dada biasanya
menghasilkan bunyi pekak pada pneumonia lobus. Penurunan bunyi napas
terdengar pada saat auskultasi. Craclke awal yang halus (dulu disebut rales)
atau bunyi napas bronkus terdengar di area konsoldasi (Morton dkk, 2014).

2.4.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons manusia terhadap gangguan
kesehatan atau proses kehidupan, atau kerentangan respons dari seorang individu, keluarga,
kelompok, atau komunitas. Diagnosis keperawatan biasanya berisi dua bagian yaitu
deskription atau pengubah, fokus diagnosis, atau konsep kunci dari diagnosis (Hermand dkk
2015).
Menurut Herdman dkk (2015), masalah yang muncul pada pasien

pneumonia adalah :

1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas

2) Ketidakefektifan pola napas b.d keletihan otot pernapasan

3) Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen

4) Resiko Kekurangan volume cairan b.d kegagalan mekanisme regulasi

2.4.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan merupakan suatu perawatan yang dilakukan perawat berdasarkan


peenilaian klinis dan pengetahuan perawat untuk meningkatkan outcome pasien atau klien.
Intervensi keperawatan mencakup baik perawatan langsung dan tidak langsung yang
ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat, serta orang-orang dirujuk oleh perawat,
dirujuk oleh dokter maupun pemberi pelayanan kesehatan lainnya (Bullechek dkk 2015).
Menurut Bulechek dkk (2015), intervensi keperawatan untuk pasien pneumonia yaitu:

1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan napas

a) Tujuan : bersihan jalan napas dapat efektif.

b) Kriteria hasil

(1) Menunjukkan jalan nafas paten


(2) Tidak mengalami penurunan kesadaran
(3) Tidak ada dispnea atau sianosis
(4) Saturasi oksigen >90%

c)Intervensi

Manajemen Jalan Nafas (3140)


1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Lakukan fisioterapi dada
3. Motivasi untuk melakukan batuk efektif
4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian bronkodilatator yang
meningkatkan patensi jalan napas

Monitor Pernafasan (3350)

Kaji perlunya penyedotan pada jalan nafas dengan

Auskultasi suara nafas ronki di paru

Monitor saturasi oksigen pada pasien yang tersedasi

2) Ketidakefektifan pola napas b.d keletihan otot pernapasan

a) Tujuan : pola napas dapat efektif


b) Kriteria hasil :
(1) Tidak ada sianosis dan dispneu
(2) Frekuensi nafas normal
(3) Vital sign dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, Resoirasi, suhu)

c) Intervensi :
Manajemen Asma (3210)
(1) Monitor tanda-tanda vital

Monitor Pernafasan (3350)

(2) Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernafas


(3) Informasikan pada pasien dan keluarga tentang pentingnya oksigenasi

Manajemen Jalan Nafas (3140)

(4) Beri terapi oksigen sesuai kebutuhan


(5) Posisikan pasien semi fowler untuk memaksimalkan ventilasi
(6) Kelola pengobatan aerosol sebagaimana mestinya

4) Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen


a) Tujuan : aktivitas pasien mandiri
b) Kriteria hasil :

1. Mampu melakukan aktivitas dan latihan (ADLs) secara mandiri


2. Tanda-tanda vital normal
3. Mampu berpindah: dengan atau tanpa bantuan alat
4. Status kardiopulmonari adekuat
5. Status respirasi: pertukaran gas dan ventilasi adekuat
c) Intervensi :
Terapi Latihan: Keseimbangan (0222)
(1) Monitor respon pasien dalam latihan keseimbangan
(2) Ajarkan tekhnik relaksasi otot progresif
Terapi Latihan : Ambulasi (0221)
(3) Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti
kursi roda dan krek
(4) Dorong klien untuk bangkit sebanyak dan sesering yang
diinginkan (up ad lib)
Terapi Aktivitas (4310)
(5) Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu
Dilakukan
(6) Kolaborasi dengan terapis fisik dalam merencanakan program terapi yang
tepat

4) Resiko kekurangan volume cairan b.d kegagalan mekanisme regulasi

a) Tujuan : tidak ada tanda-tanda dehidrasi


b) Kriteria hasil:
(1) Vital sign normal
(2) Balance cairan
(3) Tidak ada tanda-tanda dehidrasi (elastis turgor kulit baik,
mukosa bibir lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan)
c) Intervensi :
Manajemen Hipovolemi (4180)
(1) Monitor asupan dan pengeluaran
(2) Implementasikan posisi trendelenburg yang dimodivikasi
(3) Berikan vasodilatator sesuai resep dengan hati-hati
(4) Instruksikan pada pasien/keluarga untuk mencatat intake dan output
dengan tepat manajemen Cairan (4120)
(5) Kolaborasi pemberian cairan IVseperti yang ditentukan
(6) Berikan diuretik yang diresepkan perawatan Demam (3740)
(7) Monitor vital sign
(8) Dorong pasien untuk konsumsi cairan

2.4.4 Implementasi

Implementasi atau pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang spesifik. Tahap implementasi di mulai setelah rencana tindakan di susun
dan di tujukan pada rencana strategi untuk membantu mencapai tujuan yang di
harapkan. Oleh sebab itu, rencana tindakan yang spesifik di laksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan. Tujuan dari
implementasi adalah membantu dalam mencapai tujuan yang telah di tetapkan, yang
mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan
memfasilitasi koping (Efendi & Makhfudli, 2009).

2.4.5 Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang


menandakan seberapa jauh diagnosis keperawatan, rencana tindakan dan
implementasinya sudah berhasil di capai. Tujuan evaluasi adalah melihat kemampuan
klien dalam mencapai tujuan. Hal ini bisa di laksanakan dengan mengadakan
hubungan dengan klien berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang
di berikan, sehingga perawat dapat mengambil keputusan. Proses evaluasi terdiri atas
dua tahap yaitu mengukur pencapaian tujuan klien yang baik kognitif,
afektif, psikomotor dan perubahan fungsi tubuh serta gejalanya serta
membandingkan data yang terkumpul dengan tujuan dan pencapaian
tujuan (Efendi & Makhfudli, 2009).
Dari masalah yang muncul, evaluasi yang diharapkan oleh penulis yaitu:
1) Kebersihan jalan nafas kembali efektif
2) Pola nafas kembali efektif
3) Pasien dapat melakukan aktivitas secara mandiri
4) Tidak terjadi dehidrasi

BAB IV
LAPORAN HASIL

4.1 Gambaran Lokasi Pengambilan Data

Studi kasus ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Soeradji Tirtonegoro
khususnya di ruang Intensif Care Unit. RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten yakni salah
satu layanan kesehatan milik kementerian Kesehatan Klaten yang berwujud RSU, diurus oleh
kementerian Kesehatan dan termuat kedalam Rumah Sakit Tipe B. layanan Kesehatan ini
telah terdaftar sejak 29/10/2014 dengan Nomor surat Izin 445/28/2013 dan Tanggal Surat Izin
22/03/2013 dari Gubernur Jawa Tengah dengan Sifat Tetap, dan berlaku sampai 5 Tahun.
Setelah menjalani Prosedur AKREDITASI Rumah sakit Seluruh Indonesia dengan proses
Pentahapan III (16 Pelayanan) akhirnya diberikan status Tingkat paripurna Akreditasi Rumah
Sakit. RSU ini beralamat di Jl. KRT. Dr. Soeradji Tirtonegoro No.1, Klaten, Klaten,
Indonesia.

Identitas Klien Klien 1 Klien 2


Tanggal Pengkajian 23 Mei 2017 30 Mei 2017
Tanggal Masuk RS 21 Mei 2017 20 Mei 2017
Nama Ny. M Tn. T
Umur 62 tahun 42 tahun
Agama Islam Islam
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Ibu rumah tangga Buruh
Status perkawinan Janda Menikah
Alamat Prambanan Klaten
Tanggal Masuk RS 21 Mei 2017 20 Mei 2017
Diagnosa Medis Pneumonia Pneumonia
Nomer Registrasi 1010xxx 1010xxx

Tabel 4.1 Identitas Klien


4.2.2 Riwayat Penyakit

Riwayat Penyakit Klien 1 Klien 2


Keluhan utama Gagal nafas Gagal nafas
Riwayat penyakit Keluarga pasien mengatakan Keluarga pasien
sekarang pasien jatuh dari tempat mengatakan pada tanggal
tidur pada tanggal 21 Mei 20 Mei 2017 pukul 16.50
2017, pasien tidak dapat pasien datang ke IGD
diajak berkomunikasi. Pada RSUP Dr. Soeradji
pukul 12.30 pasien dibawa Tirtonegoro Klaten dengan
ke RSUD Prambanan untuk keluhan tidak sadar. Hasil
mendapatkan perawatan pemeriksaan yang
medis. Karena kondisi didapatkan yaitu batuk,
pasien yang perlu penangan nafas tidak adekuat,
lebih lanjut dan fasilitas pernafasan kusmaul
yang lebih memadai, pasien dengan Tanda Tanda Vital
di rujuk ke RSUP Dr. Tekanan Darah 140/90
Soeradji Tirtonegoro Klaten. mmhg, Nadi 60x/menit,
Pada pukul 13.30 pasien Suhu 36,8oC, kesadaran
telah sampai di IGD dan Soporkoma GCS E1 M4
telah dilakukan pemeriksaan V1. Telah diberikan terapi
Tekanan Darah 60/palpasi, injeksi Ranitidin 25 mg,
terpasang SIMV rate 12 RR Manitol 200 cc, Infus
23x/menit 20x/menit suhu NacL 0,9% 20 tpm dan
36,5oC nadi 106x/menit, telah dilakukan
SaO2 95% kesadaran Apatis pemasangan NGT dan DC.
GCS E4 M6 Vx dan Kemudian pada pukul
diberikan terapi infus NacL 19.30 pasien dipindah
0,9% loading 500cc, injeksi keruang ICU dan
Ranitidin 500 mg dan mengalami gagal nafas.
Ondansentron 4 mg, telah Lalu pasien dilakukan
dilakukan head up 30o pemasangan ET dan
, Ventilator. Pada tanggal 21
pemasangan DC, NGT dan Mei 2017 keadaan pasien
Oksigen 4 liter/menit. Pada membaik dan dilakukan
pukul 17.30 pasien ekstubasi ventilator. Pada
dipindahkan ke HCU dan hari senin tanggal 22 mei
telah dilakukan foto thorax, 2017 dilakukan operasi
didapatkan hasil adanya Kraniotomi karena SH
Pneumonia. pada tanggal 22 IVH, post operasi pasien
Mei 2017 kondisi pasen mengalami penurunan
semakin kritis maka pada kesadaran. Pada tanggal 26
jam 17.30 dipindahkan ke Mei 2017 dilakukan foto
ICU. Di ICU pasien thorax dan didapatkan
mengalami gagal nafas lalu hasil adanya pneumonia.
dilakukan pemasangan pasien mengalami gagal
Intubasi dan Ventilator. nafas pada tanggal 30 Mei
2017 pukul 08.15 dan
dilakukan pemasangan
Intubasi dan Ventilator.
Keluarga pasien mengatakan Keluarga pasien
pasien mempunyai riwayat mengatakan pasien
Hipertensi, riwayat TB dan memiliki riwayat
gejala stroke 5 tahun yang Hipertensi dan belum
lalu. Karena penyakit pernah dirawat di rumah
tersebut pasien lebih banyak sakit sebelumnya. Pasien
beristirahat dirumah. Pasien memiliki alergi makanan
tidak memiliki alergi yaitu ikan dan riwayat
makanan ataupun obat. merokok. Pasien tidak
Pasien tidak memiliki memiliki riwayat DM, TB,
riwayat DM, Jantung Jantung ataupun Hepatitis.
ataupun Hepatitis. Keluarga pasien
mengatakan ada riwayat
penyakit Hipertensi dari
keluarga ibu pasien.
Keluarga pasien
mengatakan lingkungan
sekitar rumah bersih dan
rapi.

beristirahat dirumah. Pasien


tidak memiliki alergi
Riwayat Penyakit makanan ataupun obat.
Dahulu Pasien tidak memiliki
riwayat DM, Jantung
ataupun Hepatitis.
Keluarga pasien mengatakan
ada riwayat penyakit
Hipertensi dari keluarga ibu
pasien.
Keluarga pasien mengatakan
lingkungan sekitar rumah
bersih dan rapi.
Riwayat Kesehatan
Keluarga

Riwayat Kesehatan
Lingkungan

Tabel 4.1 Riwayat Penyakit


BAB V
PEMBAHASAN

Pada sub bab ini penulis membahas mengenasi asuhan keperawatan pada Ny. M dan Tn. T
dengan Pneumonia di ruang ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Pembahasan pada
sub bab ini berisi tentang perbandingan antara tinjauan pustaka yang disajikan untuk
membahas tujuan khusus yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana tindakan, tindakan
keperawatan, dan evaluasi.

5.1 Pengkajian

Pengkajian adalah langkah awal dari tahapan proses keperawatan, kemudian dalam mengkaji
harus memperhatikan data dasar dari klien, untuk informasi yang diharapakan dari klien
(Hidayat, 2012). Pengkajian terhadap klien 1 dan 2 dengan Pneumonia di ruang ICU RSUP
Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten menggunakan metode alloanamnesa dan autoanamnesa.
Autoanamnesis adalah anamnesis terhadap klien itu sendiri. Sedangkan alloanamnesis adalah
anamnesis terhadap keluarga/relasi terdekat yang membawa klien tersebut kerumah sakit
(Nurhay dkk, 2005 yang dikutip dari Pedoman Rekam Medik, 2009). Diagnosa medis klien 1
dan 2 yaitu Pneumonia. Pneumonia adalah suatu proses peradangan dimana terdapat
konsolidasi yang disebabkan pengisisan rongga alveoli oleh eksudat. Pertukaran gas tidak
dapat berlangsung pada daerah yang mengalami konsolidasi, begitupun dengan aliran darah
disekitar alveoli menjadi terhambat dan tidak berfungsi maksimal. Hipoksemia dapat terjadi,
bergantung pada banyaknya jaringan paru-paru yang sakit (Somantri, 2009). Hasil dari
pengkajian klien 1 didapatkan data keluhan utama gagal nafas dengan adanya sputum
berwarna seperti karat (kuning kemerahan), dan dilakukan pemasangan intubasi. Klien 2 juga
mengalami gagal nafas dengan adanya sputum berwarna seperti karat (kuning kemerahan),
dan dilakukan pemasangan intubasi. Keluhan utama adalah keluhan terpenting yang
membawa klien meminta pertolongan dokter atau petugas kesehatan lainnya. Keluhan utama
biasanya dituliskan secara singkat beserta lamanya (Nurhay dkk, 2005 yang dikutip dari
Pedoman Rekam Medik, 2009). Keluhan utama yang sering timbul pada klien pneumonia
adalah adanya awitan yang ditandai dengan keluhan menggigil, demam ≥40oC, nyeri
pleuretik, batuk, sputum berwarna seperti karat, takipnea terutama setelah adanya konsolidasi
paru (Somantri, 2009). Menurut Fauci dkk (2012) yang dikutip oleh Rahmawati (2014)
komplikasi dari pneumonia salah satunya yaitu gagal pernafasan. Gagal nafas merupakan
kondisi ketidakmampuan sistem respirasi untuk memasukkan oksigen yang cukup dan
membuang karbondioksida, yang disebabkan oleh kelainan sistem pernafasan dan sistem
lainnya, termasuk gangguan sistem saraf (Bakhtiar, 2013). Keluhan utama pada klien 1 dan 2
sudah sesuai teori dari komplikasi dan tanda gejala dari Pneumonia.Pengkajian fokus pada
klien 1 yaitu pada breathing didapatkan hasil suara redup saat perkusi dan auskultasi suara
ronkhi basah di lobus bawah paru kanan dan kiri, terpasang ventilator mode SIMV rate 12
RR 23x/menit, SPO2 95%, suhu 39oC. Pada klien 2 yaitu pada breathing didapatkan hasil
suara redup saat perkusi dan auskultasi suara ronkhi basah Di lobus bawah paru kanan,
terpasang ventilator mode VC RR 28x/menit, SPO2 100%, suhu 39oC. Pengkajian fokus
terdiri dari 6B yaitu breathing(pernafasan), blood (jantung dan pembuluh darah), brain
(susunan syaraf Pusat), bladder (saluran kemih), bowel (saluran cerna), bone (tulang
Kerangka) (Firdaus, diakses pada 17 juli 2017: 22.15). Menurut Somantri (2009), perkusi
klien dengan pneumonia tanpa disertai komplikasi, Biasanya didapatkan bunyi resonan atau
sonor pada seluruh lapang paru. Bunyi redup perkusi pada klien dengan pneumonia
didapatkan apabila Bronkopneumonoia menjadi satu sarang (kunfluens). Auskultasi Pada
klien Dengan pneumonia, didapatkan bunyi napas tambahan ronkhi basah pada Sisi yang
sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk Mendokumentasikan hasil auskultasi didaerah
mana didapatkan adanya Ronkhi. Hasil pengkajian fokus breathing sudah sesuai dengan
teori.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien 1 dan 2 adalah Laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium pada klien 1 didapatkan pada Tanggal 23 Mei 2017 hasil leukosit
17.000. Pemeriksaan laboratorium Pada klien 2 didapatkan pada tanggal 29 Mei 2017 hasil
leukosit 14.600. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
Ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat Berkembang biak dan
menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru Sangat tergantung pada kemampuan
mikroorganisme untuk sampai dan Merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa
cara mikroorganisme mencapai permukaan yaitu dengan cara inokulasi Langsung,
penyebaran melalui pembuluh darah, Inhalasi bahan aerosol, Kolonisasi dipermukaan
mukosa. Dari keempat cara tersebut diatas yang Terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi Virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan Bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus
Terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi Kolonisasi pada
saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi Aspirasi ke saluran napas bawah dan
terjadi inokulasi mikroorganisme, hal Ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar
infeksi paru. Aspirasi Dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu
tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan Pemakai obat
(drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi Bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 -1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum
bakteri yang tinggi dan Terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya
masuk Secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat Disaluran
napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, Akan tetapi pada beberapa
penelitian tidak di temukan jenis Mikroorganisme yang sama (PDPI, 2003). Menurut Hendra
dkk (2011) Hasil pemeriksaan laboratorium pada pneumonia yaitu leukosit >10.000. Hasil
pemeriksaan penunjang leukosit pada klien 1 dan 2 sudah sesuai Dengan teori yang ada.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien 1 dan 2Selanjutnya adalah dan foto
thorax. Hasil foto thorax pada klien 1Didapatkan pada tanggal 21 Mei 2017 menggambarkan
adanya Oedem Pulmonal Mixed Pneumonia. Pemeriksaan foto thorax pada klien 2
Didapatkan pada didapatkan pada tanggal 16 Mei 2017 menggambarkan Adanya Oedem
Pulmonal Mixed Pneumonia. Foto toraks (PA/lateral) Merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan “ air Broncogram”, penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran
kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, Hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran Pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau Gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering Menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun
Dapat mengenai beberapa lobus (PDPI, 2013). Pneumonia positif bila pada Pemeriksaan fisik
fungsi pernafasan ditemukan ronkhi (+), frekuensi Napas, meningkat, hasil radiologi
ditemukan infiltrat (+) lobus paru bagian Bawah (Hendra dkk, 2011). Klien 1 dan 2 telah
dilakukan pemeriksaan kultur sputum pada Tanggal 24 Mei 2017 dan 27 Mei 2017. Menurut
Hendra dkk (2011) Kriteria terakhir dari pneumonia adalah hasil kultur sputum terinfeksi.
Hal Ini sesuai dengan teori yang ada, tetapi hasil pemeriksaan kultur sputum Klien 1 dan 2
belum keluar.

5.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons Manusia terhadap gangguan
kesehatan atau proses kehidupan, atau Kerentangan respons dari seorang individu, keluarga,
kelompok, atau Komunitas. Diagnosis keperawatan biasanya berisi dua bagian yaitu
Deskription atau pengubah, fokus diagnosis, atau konsep kunci dari Diagnosis (Hermand dkk
2015). Berdasarkan data-data yang didapatkan penulis dari hasil Pengkajian pada klien 1 dan
2 di ruang ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, bahwa klien mempunyai diagnosa
keperawatan Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan napas.Pada kasus klien
1 data obyektif didaptkan jalan napas dibantu Ventilator, terdapat sekret dimulut dan selang
ventilator mode SIMV rate 12 PEEP 7, suara ronkhi basah dilobus bawah paru kanan dan
kiri, Kesadaran somnolen, RR 23x/menit, SPO2 95%, foto thorax menunjukkan Oedem
pulmonal mixed pneumonia, leukosit 17.000, suhu 39oC. Pada Kasus klien 2 data obyektif
didaptkan jalan napas dibantu ventilator mode VC PEEP 6, terdapat sekret dimulut, suara
ronkhi dilobus bawah paru Kanan, RR 28x/menit, SPO2 100%, foto thorax menunjukkan
oedem Pulmonal mixed pneumonia, leukosit 14.600, suhu 39oC. Batasan Karakteristik dari
ketidakefektifan bersihan jalan nafas yaitu batuk yang Tidak efektif, dispnea, gelisah,
kesulitan verbalisasi, mata terbuka lebar, Ortopnea, penurunan bunyi napas, perubahan
frekuensi napas, perubahan Pola napas, sianosis, sputum dalam jumlah yang berlebihan, suara
napas tambahan, tidak ada batuk (Herdman dkk, 2015). Analisa data klien 1 dan2 sesuai
dengan batasan karakteristik dari ketidakefektifan bersihan jalan napas hanya pada klien 1
dan 2 tidak mengalami sianosis, karena kebutuhan oksigen sudah dipenuhi dari alat
ventilator. Sedangkan klien 2 tidak mengalami gelisah, mata terbuka lebar dan tidak ada
batuk karena kesadaran DPO.

5.3 Intervensi Keperawatan


Intervensi keperawatan merupakan suatu perawatan yang dilakukan perawat berdasarkan
peenilaian klinis dan pengetahuan perawat untuk meningkatkan outcome klien atau klien.
Intervensi keperawatan mencakup baik perawatan langsung dan tidak langsung yang
ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat, serta orang-orang dirujuk oleh perawat,
dirujuk oleh dokter maupun pemberi pelayanan kesehatan lainnya (Bullechek dkk 2015).
Intervensi keperawatan dituliskan sesuai rencana dan kriteria hasil berdasarkan NIC
(Nurshing Intrvention Classification) dan NOC (Nurshing Outcome Classification).
Intervensi Keperawatan disesuaikan dengan kondisi klen dan fasilitas yang ada, sehingga
rencana keperawatan dapat diselesaikan dengan spesifik (jelas dan khusus). Dalam kasus ini
penulis melakukan intervensi sesuai dengan rumusan masalah diatas selama 3x8 jam dengan
tujuan untuk mengetahui keefektifan tindakan secara maksimal. Tujuan dari intervensi adalah
suatu sasaran atau maksud yang menggambarkan perubahan yang diinginkan pada setiap
kondisi atau perilaku klien dengan kriteria hasil yang diharapkan perawat. Kriteria hasil
keperawatan mengacu pada perilaku yang terukur atau persepsi yang ditunjukkan oleh
seorang individu terhadap tindakan keperawatan. Kriteria hasil harus SMART (Specific,
Measurable, Achievable, Reasonable, dan Time). Specific artinya berfokus pada klien,
Measurable artinya dapat diukur, Achievable artinya tujuan yang harus dicapai, Reasonable
artinya tujuan yang harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan Time artinya batas
pencapaian dalam rentang waktu tertentu, harus jelas batasan waktunya (Dermawan,
2012).Berdasarkan fokus diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d
obstruksi jalan napas, maka penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 jam ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi
dengan kriteria hasil a) menunjukkan jalan nafas paten (tidak ada sekret), b) tidak ada
sianosis atau dispnea, c) saturasi oksigen >95%, d) respirasi 16-24x/menit, e) sekret
berkurang atau hilang. Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan pada klien 1
dan 2 yang pertama yaitu mobilisasi atau ambulasi klien (miring kiri, telentang head up 30o
miring kanan). Menurut Suzan (2004) yang dikutip oleh Hendra dkk (2011) tujuan dari
mobilisasi adalah memperlancar peredaran darah dan membantu pernapasan menjadi lebih
baik. Lakukan fisioterapi dada, tujuannya untuk membersihkan sekret pada bronkus dan
mencegah penumpukan sekret (Hendra dkk, 2011). Lakukan suctioning endotrakea,
tujuannya untuk membebaskan jalan napas dan mengurangi restensi sputum (Hendra dkk,
2011). Selalu mencuci tangan untuk mencegah penularan infeksi. Lakukan oral hygine untuk
mencegah infeksi dan komplikasi. Monitor staus himodinamik untuk mengetahui status
kesehatan klien. Kolaborasi aktif dengan dokter untuk terapi obat antibiotik tujuannya untuk
mengurangi produksi sputum (Bulechek, 2015). Dalam intervensi, tindakan yang tidak
dilakukan oleh penulis yaitu pemberian terapi obat antibiotik yang sudah diresepkan, karena
pemberian obat antibiotik dilakukan oleh perawat senior pada pukul 5 pagi.

5.4 Implementasi

Implementasi atau pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik. Tahap implementasi di mulai setelah rencana tindakan di susun dan di tujukan
pada rencana strategi untuk membantu mencapai tujuan yang di harapkan. Oleh sebab itu,
rencana tindakan yang spesifik di laksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan. Tujuan dari implementasi adalah membantu dalam
mencapai tujuan yang telah di tetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping (Efendi & Makhfudli,
2009).Implementasi hari pertama pada klien 1 dilakukan pada tanggal 23 Mei 2017 yaitu
melakukan personal hygiene, mengobservasi jalan nafas dan auskultasi suara nafas,
memberikan mobilisasi (miring kiri, telentang head up 30odan miring kanan), melakukan
fisioterapi dada dan suctioning, memonitor status himodinamik. Implementasi hari kedua
dilakukan pada tanggal 24 Mei 2017 yaitu melakukan personal hygiene, mengobservasi
mengobservasi jalan nafas dan auskultasi suara nafas, memberikan mobilisasi (miring kiri,
telentang head up 30o dan miring kanan), melakukan fisioterapi dada dan suctioning,
memonitor status himodinamik. Implementasi hari ketiga dilakukan pada tanggal 23 Mei
2017 yaitu melakukan personal hygiene, mengobservasi jalan nafas dan auskultasi suara
nafas, memberikan mobilisasi (miring kiri, telentang head up 30o dan miring kanan),
melakukan fisioterapi dada dan suctioning, memonitor status himodinamik. Implementasi
hari pertama pada klen 2 yang dilakukan pada tanggal 30 Juni 2017 yaitu memonitor status
himodinamik, memberikan mobilisasi (posisi miring kiri, telentang head up 30o dan miring
kanan), mengobservasi jalan nafas dan auskultasi suara nafas, memberikan fisioterapi dada
dan suctioning. Implementasi hari kedua pada klien 2 dilakukan pada tanggal 31 Mei 2017
yaitu melakukan personal hygiene, memberikan mobiliosasi (posisi miring kiri, telentang
head up 30o dan miring kanan, mengeobservasi jalan nafas dan auskultasi suara nafas,
memberikan fisioterapi dada dan suctioning, auskultasi suara nafas, monitor status
himodinamik, mengobservasi hasil laboratorium, mengobservasi keadaan klien, dan
melakukan perawatan jenazah. Menurut Hendra dkk (2011) mobilisasi didefinisikan menjadi
penggantian posisi klien setiap dua jam yaitu miring kiri, telentang head up 30odan miring
kanan. Fisioterapi dada adalah tindakan yang dilakukan pada klien dengan cara menepuk
dinding dada atau punggung dengan tangan dibentuk seperti mangkok dilanjutkan vibrasi
dengan cara menggetarkan dinding dada atau punggung pada waktu klien mengeluarkan
napas.Dalam melakukan implementasi, ada beberapa tindakan yang tidak disusun dalam
intervensi yaitu mengobservasi jalan nafas dan auskultasi suara nafas karena tindakan ini
sebenarnya sudah dilakukan bersamaan dengan prosedur fisioterapi dada. Secara singkat
prosedur dari tindakan memberikan mobilisasi (miring kiri, telentang head up 30odan miring
kanan) dan fisioterapi dada yaitu memberikan mobilisasi (miring kiri, telentang head up
30odan miring kanan), observasi jalan nafas, auskultasi suara nafas, melakukan tekhnik
clapping (penepukan) selama ±5 menit setiap posisi, melakukan tekhnik fibrasi
(menggetarkan) selama ±5 menit setiap posisi, mengobservasi jalan nafas lalu melakukan
suctioning endotrakea. Selanjutnya auskultasi suara nafas kembali setelah selesai melakukan
tindakan.

5.5 Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan
seberapa jauh diagnosis keperawatan, rencana tindakan dan implementasinya sudah berhasil
di capai. Tujuan evaluasi adalah melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Hal ini
bisa di laksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien berdasarkan respon klien
terhadap tindakan keperawatan yang di berikan, sehingga perawat dapat mengambil
keputusan. Proses evaluasi terdiri atas dua tahap yaitu mengukur pencapaian tujuan klien
yang baik kognitif, afektif, psikomotor dan perubahan fungsi tubuh serta gejalanya serta
membandingkan data yang terkumpul dengan tujuan dan pencapaian tujuan (Efendi &
Makhfudli, 2009).Tindakan keperawatan yang dilakukan selama tiga hari pada klien 1 dan
dua hari pada klien 2 sudah dilakukan sesuai dengan pengelolaan asuhan keperawatan serta
berkolaborasi dengan tim kesehatan lain. Kriteria hasil yang diharapkan adalah tidak ada
sianosis atau dyspnea, saturasi oksigen >95%, tidak mengalami penurunan kesadaran,
respirasi 16-24x/menit, sekret berkurang atau hilang. Evaluasi hari pertama yang dilakukan
pada klien 1 dengan ketidalefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan napas
didapatkan hasil Klien terpasang ET Ventilator mode PS PEEP 7 VT/PS 10 fio2 90%, TD
90/70 mmHg, N 140x/menit, S 38,5oC, RR 28x/menit, SPO2 97%, mulut bersih, suara
ronkhi terdengar di lobus bawah kanan dan kiri kesadaran somnolen, tidak ada sianosis
setelah dilakukan mobilisasi setiap dua jam sebanyak tiga kali sehari dan fisioterapi dada
dengan durasi 15 menit. Evaluasi hari kedua didapatkan hasil Klien terpasang ET Ventilator
mode PS PEEP 7 VT/PS 10 fio2 90%, TD 100/80 mmHg, N 130x/menit, S 37oC, RR
24x/menit, SPO2 99% tidak ada penumpukan sekret dijalan nafas, suara ronkhi terdengar di
lobus bawah kiri kesadaran somnolen, tidak ada sianosis setelah dilakukan mobilisasi setiap
dua jam sebanyak tiga kali sehari dan fisioterapi dada dengan durasi 15 menit. Evaluasi hari
ketiga didapatkan hasil Klien terpasang ET Ventilator mode SIMV rate 5 PEEP 7 VT/PS 12
fio2 90%, TD 130/90 mmHg, N 130x/menit, S 37oC, RR 24x/menit, SPO2 99% tidak ada
penumpukan sekret dijalan nafas, suara ronkhi terdengar di lobus bawah kiri kesadaran apatis
GCS E4M6Vx, tidak ada sianosis setelah dilakukan mobilisasi setiap dua jam sebanyak tiga
kali sehari dan fisioterapi dada dengan durasi 15 menit. Pada hari pertama mode ventilator
klien 1 berubah dari SIMV rate 12 menjadi PS karena pasien mampu melakukan nafas secara
mandiri oleh karena itu agar tidak tergantung alat secara terus menerus, mode ventilator
diubah dengan tujuan untuk memandirikan nafas klien. Sedangkan hari ketiga mode
ventilator dari PS ke SIMV rate 5 karena terjadi penurunan nafas mandiri oleh klien sehingga
agar tidak terjadi komplikasi lain maka mode ventilator diubah kembali. Evaluasi hari petama
yang dilakukan pada klien 2 dengan ketidalefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan
napas didapatkan hasil Klien terpasang ventilator mode VC PEEP 6 fio2 60% terdengar suara
gargling, suara ronkhi dilobus kanan bawah, kesadaran DPO, SPO2 100% TD 160/98 mmHg,
N 150x/menit RR 30x/menit S 38,8oC, tidak sianosis setelah dilakukan mobilisasi setiap dua
jam sebanyak tiga kali sehari dan fisioterapi dada dengan durasi 15 menit. Evaluasi hari
kedua didapatkan hasil TD tidak muncul, Nadi tidak teraba, RR tidak ada, tidak ada tanda-
tanda kehidupan, klien pucat, sianosis, EKG flet, klien meninggal. Hasil evaluasi yang
didapatkan pada klien 1 teratasi sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan yaitu
nafas klien yang meningkat dari hari pertama terpasang ventilator mode SIMV rate 12
dengan RR 23x/menit, hari ketiga klien terpasang ventilator mode SIMV rate 5 dengan RR
24x/menit. Sedangkan hasil evaluasi yang didapatkan pada klien 2 tidak teratasi karena
tujuan dan kriteria hasil tidak tercapai karena pasien meninggal dunia.
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar. 2013. Aspek Klinis dan Tatalaksana Gagal Nafas Akut Pada Anak. JURNAL
KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 13 Nomor 3 Desember 2013

Bulechek, G.M., et al. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC) edisi 6. 6th
Indonesian edn. Elsevier Singapore Pte Ltd
Dermawan, D. 2012. Proses Keperawatan Penerapam Dan Kerangka Kerja. Yogyakarta:
Gosyeng Publishing.

Dewi, Y. Anisa. 2008. BASIC VENTILATORY MANAGEMENT. Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Anastesi, Perawatan Intensif Dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin Makasar. Text Book Reading November 2008

Efendi, F dan Makhfudi. 2009. Keperawatan kesehatan Komunitas Teori dan Praktik Dalam
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Febrianto, Ardy.2013. Penatalaksanaan Fisioterapi Dada Pada Pneumonia di RSUD


Pandangarang Boyolali. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Naskah Publikasi
Firdaus, M. 2017. TRIASE. Dilihat tanggal 17 Juli 2017 pukul 22.15 WIB.
http://www.academia.edu/5296135/Dr._M_Firdaus_TRIASE

Hendra & Emil Huriani. 2011. Pengaruh Mobilisasi Dan Fisioterapi Dada Terhadap
Kejadian Ventilator Associated Pneumonia Di Unit Perawatan Intensif. NERS
JURNAL KEPERAWATAN Volume 7 No 2, Desember 2011 : 121-129

Herdman, T. Heather. 2015. NANDA International Inc. Diagnosis Keperawatan:


Definisi & Klasifikasi 2015-2017, Edisi 10. Jakarta EGC

Hidayat, A.A & M. Uliyah. 2012. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia (KDM),
Pendekatan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surabaya: Health Books Publishing

Karhu, Jaana. 2014. Severe Communityacquired Pneumonia – Studies On Imaging,


Etiology, Treatment, And Outcome Among Intensive Care Patients. Journal
ISBN 978-952-62-0531-1 (PDF).ACTA Universitatis Ouluensis D Medica 1256, Finland

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil Kesehatan Indonesia.


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI 2014

Mahfudzoh, Siti. 2016. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Pneumonia di


Bbkpm Surakarta.Universitas Muhammadiyah Surakarta: Naskah Publikasi

Manurung, Nixson. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Sistem Respiratory. Jakarta:


CV. Trans Info Media

Morton, P.G., et al. 2014. Critical care Nursing : A Holistic Approach, Vol 1 Edisi 8.
Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif. 2014. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
Nurarif, A.H & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & North American Nursing Diagnosis Association (NANDA),
Jilid 2 Edisi Revisi. Yogyakarta: Mediaction Publishing

Pedoman Rekam Medis Berorientasi Masalah. 2009. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PNEUMONIA KOMUNITI
PEDOMAN
DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia 2003

Purnamasari, Dewi. 2016. Upaya Mempertahankan Kebersihan Jalan Napas Dengan


Fisioterapi Dada Pada Anak Pneumonia. Universitas Muhammadiyah
Surakarta: Publikasi Ilmiah

Rahman, Dally dkk. 2011. Kejadian Ventilator Associated Pneumonia (Vap) Pada
Klien Dengan Ventilasi Mekanik Menggunakan Indikator Clinical Pulmonary
Infection Score (CpIS. Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011, hal 126–135

Rahmawati, Fida A. 2014. Angka Kejadian Pneumonia Pada Pasien Sepsis Di ICU
RSUP Dr. Kariadi Semarang. Laporan Akhir Hasil Penelitian Karya Tulis
Ilmiah. FK: Universitas Diponegoro

Rahmiati & Titis Kurniawan. 2013. VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA


DAN PENCEGAHANNYA. Jurnal Husada Mahakam Volume III No. 6,
Nopember 2013, hal. 263 – 318

Rekam Medik. RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. 2016. Jumlah Pasien
Pneumonia. Klaten: RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Tidak Di Publikasikan

Rohini, K. Patel, et al. 2015. Study Of Bacteriological And Clinical Profile In


Community Acquired Pneumonia.International Journal of Advanced Research
(2015), Volume 3, Issue 9, 1042- 1056

Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan


Pernapasan edisi 2. Jakarta: Salemba

Ward, P.T. Jeremy, et.al. 2008. At Aglance Sistem Respirasi edisi kedua. Jakarta:
Erlangga

Anda mungkin juga menyukai