Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

EMPIEMA
Pembimbing :

dr. Doddy Prabisma Sp.BTKV

Penyusun:

Luthfi Mahfuzh130100152

William Jonathan140100260

Asdar Raya140100191

Clare Anthony140100194

Kiko Micheal Valentino120100046

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT RUJUKAN HAJI ADAM MALIK

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-NYa sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
yang berjudul “Empiema”.
Selama penyusunan laporan kasus ini, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih dan rasa hormat kepada dr. Doddy Prabisma, Sp.BTKV
selaku supervisor pembimbing laporan kasus di Departemen Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan waktunya dalam
membimbing dan membantu hingga laporan kasus ini dapat selesai dengan baik.
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui pencapaian
pembelajaran dalam kepaniteraan klinik senior. Penulisan laporan kasus ini
merupakan salah satu untuk melengkapi persyaratan Departemen Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis sangat menyadari laporan kasus ini pasti tidak luput dari
kekurangan oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus
ini bermanfaat. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, September 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR........................................................................................... 2

DAFTAR ISI.......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 4

1.1. Latar Belakang Masalah.............................................................. 4

1.2. Tujuan........................................................................................... 5

1.3. Manfaat......................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 3

2.1. Empiema

2.1.1 Definisi..................................................................................... 7

2.1.2. Klasifikasi............................................................................... 7

2.1.3. Patofisiologi............................................................................ 9

2.1.4. Faktor Resiko......................................................................... 10

2.1.5. Manifestasi Klinis.................................................................. 10

2.1.6. Diagnosis...........................................................................11

2.1.7. Diagnosis Banding............................................................14

2.1.8. Tatalaksana.............................................................................14

2.1.9 Komplikasi............................................................................... 21

BAB III STATUS PASIEN.................................................................................. 22

BAB IV FOLLOW UP......................................................................................... 27

BAB IV DISKUSI KASUS.................................................................................. 28

BAB V KESIMPULAN........................................................................................ 30

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 31

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Empiema adalah kumpulan cairan eksudatif di rongga pleura yang
berhubungan dengan terjadinya infeksi paru. Empiema sering disebabkan karena
komplikasi dari pneumonia tetapi dapat juga disebabkan karena adanya infeksi
dari tempat lain. Empiema dapat juga disebabkan oleh suatu trauma, tindakan
operasi, keganasan, kelainan vaskuler, penyakit imunodefisiensi, dan adanya
infeksi di tempat yang berdekatan seperti di orofaring, esophagus, mediastinum
atau jaringan di subdiafragma yang memberikan manifestasi klinik bermacam-
macam, tergantung dari organ utama atau tempat yang terinfeksi, mikroba
pathogen dan penurunan daya tahan tubuh.1
Empiema saat ini masih menjadi masalah penting dalam bidang penyakit
paru. Angka kematian penyakit ini berkisar antara 5 hingga 30 persen dengan
insiden bervariasi berdasar kondisi komorbid.2 Walaupun penatalaksanaan
empiema berkembang pesat, seperti pemberian terapi antibiotik, drainase pleura
dan pembedahan dekortikasi, tetapi hal ini belum dapat menurunkan angka
kematian akibat empiema. Pada 20-30% pasien dengan empiema, pemberian
antibiotika dan drainase dengan chest tube gagal mengendalikan infeksi.3
Penelitian oleh Sahn menyatakan 5-10% pasien pneumonia yang dirawat
di rumah sakit berkembang menjadi empiema dan angka kematian meningkat
secara bermakna dibandingkan pasien pneumonia tanpa empiema. Angka
kematian juga akan meningkat hingga 40% pada kondisi immunocompromised.2
Diagnosis empiema ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisis
dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologis dan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan radiologis diantaranya
foto toraks, USG dan CT Scan toraks. 4,5 Perkembangan terbaru dalam dunia
kedokteran dan alatalat kedokteran telah memudahkan penegakan diagnosa dan
tata laksana empiema, selain itu sudah banyak jurnal yang meningkatkan

4
pemahaman terhadap patofisiologi, gambaran klinis serta tata laksana dari
empiema.6,7,8 Empiema secara definisi adalah pus didalam rongga pleura.9
Definisi menurut Vianna, empiema adalah efusi pleura dengan kultur
bakteri yang positif atau jumlah leukosit lebih besar dari 15,000/mm3 dan level
protein diatas 3.0 g/dL.10Apabila pus menembus bronkus maka akan timbul
bronkhopleural fistel. Sedangkan bila pus menembus dinding toraks dan keluar
melalui kulit disebut empiema nesessitasis. Empiema dapat digolongkan menjadi
akut dan kronis. Empiema akut dapat berlanjut menjadi kronis. Empiema akan
mengalami organisasi setelah seminggu dan proses ini berjalan terus sampai
terbentuknya jaringan yang bersepta septa.11 Sekitar 80.000 orang di AS dan
Inggris setiap tahunnya memiliki risiko terkena infeksi pleura. Community-
aquired pneumonia memiliki insiden 8 sampai 15 per 1000 per tahun. Empat
puluh sampai 57% pasien pneumonia, dapat berkembang menjadi efusi
parapneumonik. Sekitar 5 sampai 10% dari efusi parapneumonik berkembang
menjadi empiema. Terdapat beberapa bukti bahwa insiden empiema meningkat
pada orang dewasa dan anakanak dengan alasan yang tidak diketahui.1
Setidaknya dua pertiga pasien memiliki faktor risiko yang dapat
diidentifikasi termasuk kondisi immunocompromised (infeksi Human
Imunodeficiency Virus, diabetes mellitus dan kekurangan gizi), alkohol atau
penyalahgunaan obat intravena, aspirasi bronkial, oral hygiene yang buruk,
refluks gastrooesophageal, dan penyakit kronis parenkim paru. Selain faktor risiko
diatas Keterlibatan virulensi mikroba dan sistem kekebalan tubuh berpengaruh
terhadap empiema.12
Pengenalan yang cepat dari perkembangan empiema merupakan waktu
yang krusial untuk menentukan keberhasilan pengobatan; meskipun dengan terapi
yang sesuai, mortalitas pasien dengan empiema sebesar 15 - 20% dan lebih tinggi
pada pasien imunokompromais.1

1.2 Tujuan

5
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk menambah
pengetahuan mengenai Empiema Thoraks sehingga dokter muda dapat mengenali
penyakit ini dan menangani sesuai dengan kompetensinya.

1.3 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai Empiema Thoraks yang berlandaskan teori sehingga dapat dikenali dan
ditatalaksana sedini mungkin sesuai kompetensinya pada tingkat pelayanan
primer.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Empiema Thorax


2.1.1 Definisi
Empiema secara definisi adalah pus didalam rongga pleura. Definisi
menurut Vianna, empiema adalah efusi pleura dengan kultur bakteri yang positif
atau jumlah leukosit lebih besar dari 15,000/mm3 dan level protein diatas 3.0
g/dL. Apabila pus menembus bronkus maka akan timbul bronkhopleural fistel.
Sedangkan bila pus menembus dinding toraks dan keluar melalui kulit disebut
empiema nesessitasis. Empiema dapat digolongkan menjadi akut dan kronis.
Empiema akut dapat berlanjut menjadi kronis.13
Empiema akan mengalami organisasi setelah seminggu dan proses ini
berjalan terus sampai terbentuknya jaringan yang bersepta-septa.14

2.1.2. Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi efusi parapneumonia diantaranya yang akan
disebutkan adalah klasifikasi menurut Light dan American College of Chest
Physicians (Tabel 1). Infeksi pleura merupakan suatu proses yang progresif,
dimana efusi pleura parapneumonik dapat membaik dengan sendirinya, namun
dapat juga berkembang menjadi terorganisasi dan fibrotik bersepta-septa yang
hanya dapat ditatalaksanakan melalui pembedahan. Klasifikasi berdasarkan
American College of Chest Physicians berguna untuk menjelaskan cara
mengevaluasi faktor risiko yang dapat memperburuk. Tiga variabel tersebut yaitu:
Anatomi rongga pleura, bakteriologi cairan pleura, dan kimia klinik cairan pleura.
Kategori ini digunakan untuk mengetahui prognosis pasien rawat inap. Pada Tabel
2 dijelaskan adanya empat tingkat risiko yaitu: risiko yang sangat rendah, risiko
rendah, risiko sedang, dan risiko tinggi.15,16

7
Tabel 1 Klasifikasi menurut Light dan American College of Chest Physicians

Tabel 2 Empat tingkat risiko yaitu: risiko yang sangat rendah, risiko rendah, risiko
sedang, dan risiko tinggi.

8
2.1.3. Patofisiologi
Pleura dalam keadaan normal memproduksi cairan pleura sekitar 0,01
mL/kg/jam dan normalnya rongga pleura terisi cairan sekitar 5-10 ml yang
disekresi dari pleura parietalis dan diserap melalui beberapa mekanisme yaitu
tekanan gradient melalui pleura visceralis, drainase limfatik stoma dari pleura
parietal dan mekanisme seluler.17
Efusi pleura terjadi karena keseimbangan antara produksi dan pengeluaran
cairan pleura terganggu. Efusi pleura sekunder yang terjadi oleh karena
pneumonia disebut dengan efusi parapneumonia. Perkembangan proses empiema
dibagi menjadi tiga tahap yaitu eksudatif sederhana, fibrinopurulen dan
organisasi.17
a) Tahap eksudatif
Pada tahap eksudatif terdapat peningkatan produksi sitokin proinflamasi
seperti interleukin 8 (IL-8) dan tumor necrosis factor a (TNFa) sehingga
menyebabkan peningkatan cairan ke dalam rongga pleura oleh karena peningkatan
permeabilitas pembuluh darah kapiler. Hal ini mengakibatkan perubahan aktif
pada sel mesothelial pleura untuk semakin mempermudah cairan masuk ke dalam
rongga pleura. Karakteristik cairan eksudat ditandai dengan jumlah leukosit yang
rendah, tingkat LDH cairan pleura setengah LDH serum, kadar pH dan kadar
glukosa dalam batas normal dan tidak mengandung organisme bakteri. Efusi
tersebut akan sembuh secara spontan dengan terapi antibiotik untuk pneumonia
yang mendasari.18
b) Tahap Fibropurulen
Jika terapi yang diberikan tidak adekuat pada tahap eksudatif maka
inflamasi pada parenkim paru akan terus berlanjut ke tahap fibropurulen yang
ditandai dengan peningkatan cairan pleura dan adanya invasi bakteri pada rongga
pleura melalui endothelium yang rapuh. Invasi bakteri memicu respon imun
sehingga mendorong migrasi neutrophil dan aktivasi jalur koagulasi. Penekanan
aktivitas fibrinolitik disebabkan karena meningkatnya titer penghambat aktivitas
fibrinolitik spesifik seperti plasminogen activator inhibitor (PAI) 1 dan PAI 2 dan
penurunan tissue type plasminogen activator (tPA). Hal ini mengakibatkan

9
endapan fibrin pada pleura visceralis dan parietalis, sehingga rongga pleura
terbagi oleh sekat fibrin, lokulasi cairan dan adhesi pleura, membentuk ruangan
bersepta-septa yang akan mengganggu drainase dari pus. Metabolisme bakteri dan
aktivitas fagositosis neutrophil distimulasi oleh protease dan fragmen yang berasal
dari dinding sel bakteri. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi asam laktat,
penurunan pH cairan pleura, serta peningkatan metabolisme glukosa dan
peningkatan kadar LDH. Karakteristik biomolekul tahap ini adalah pH 1000
IU/L.18
c) Tahap organisasi
Terdapat proliferasi fibroblast dan penebalan pleura. Penelitian pada
hewan coba menunjukkan bahwa proses ini diperantara oleh beberapa faktor
seperti plateletderived growth factor-like growth factor (PDGF) dan transforming
growth factor beta (TGF-ß). Pada tahap ini lapisan dikedua permukaan pleura
menjadi tebal dan tidak elastis serta jaringan yang bersepta akan semakin fibrotik,
sehingga ekspansi paru menjadi terhambat, fungsi paru menurun dan rongga
pleura yang bersepta-septa akan membuat risiko infeksi semakin tinggi.
Selanjutnya tahap organisasi bervariasi, pada tiap individu ada yang mengalami
penyembuhan secara spontan dalam 12 minggu sementara yang lainnya menjadi
kronik sepsis dan terjadi defisit fungsi paru. Dari keterangan diatas dapat
disimpulkan bahwa infeksi pleura merupakan proses progresif dimana efusi pleura
parapneumonia yang dapat sembuh dengan sendirinya bisa berkembang menjadi
kompleks membentuk rongga pelura yang bersepta-septa yang hanya dapat
diterapi dengan tindakan bedah.18

2.1.4. Faktor Risiko


Faktor risiko untuk empiema meliputi usia (anak-anak dan orang tua),
imunitas lemah, pneumonia, dan penyakit komorbid seperti bronkiektasis,
rheumatoid arthritis, alkoholisme, diabetes, dan penyakit refluks
gastroesophageal.19
Sebuah studi di Inggris mengidentifikasi 7 faktor klinis yang memprediksi
perkembangan empiema, di antaranya nilai albumin kurang dari 30 g/L, nilai

10
natrium serum kurang dari 130 mmol/L, jumlah trombosit lebih besar dari
400.000/L, tingkat C-reactive protein lebih besar dari 100 mg/L , dan riwayat
penyalahgunaan alkohol atau penggunaan obat intravena secara independen dapat
meningkatkan resiko, sedangkan riwayat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
dikaitkan dengan penurunan risiko.20

2.1.5. Gejala Klinis


Perjalanan klinis empiema dibagi menjadi dua bagian besar yaitu
berdasarkan infeksi oleh bakteri aerob atau bakteri anaerob.21
Pasien dengan infeksi bakteri aerob memiliki gejala klinis yang sama
dengan pneumonia karena bakteria aerob tanpa efusi. Infeksi pneumonia aerob
akan muncul dengan gejala demam akut, nyeri dada pleuritik terlokalisasi,
produksi dahak dan leukositosis.21
Sedangkan pada infeksi bakteria anaerob akan memperlihatkan gejala
klinis sub akut. Gejala klinis akan mulai dirasakan setelah >7 hari sejak pertama
kali mendapatkan gejala seperti batuk tidak produktif, demam subfebrile, bau
mulut, leukositosis dan anemia. Jika demam menetap lebih dari 48 jam setelah
pemberian antibiotik, empiema dapat dipertimbangkan.22
Pasien lansia mungkin relatif asimptomatik, hanya menunjukkan gejala
kelelahan atau perubahan status mental, tanpa gejala paru.23
Infeksi pleura harus diduga pada semua pasien dengan pneumonia, khususnya
orang- orang yang gagal respon terapi antibiotik yang sesuai, didefinisikan dengan
demam yang persisten, leukositosis dan meningkatnya penanda inflamasi seperti
C-reaktif protein. Ukuran efusi bervariasi, dan tidak dapat digunakan untuk
memprediksi etiologi infeksi.23

2.1.6. Diagnosa
a) Anamnesis
Manifestasi klinis demam, nyeri dada dan sesak akan timbul jika cairan
efusi cukup banyak. Demam yang menetap setelah di diagnosis pneumonia perlu
dicurigai suatu empiema. Sebanyak 70% dari empiema merupakan komplikasi

11
pneumonia. Pasien dapat mengeluhkan gejala demam tinggi, berkeringat, selera
makan turun, malaise, dan batuk. Radang pleura dan dyspnea dapat juga
merupakan gejala pada beberapa pasien. Radang pleura dan dyspnea tidak
tergantung pada ukuran efusi.21

b) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pergerakan dinding dada
tertinggal saat ekspirasi dan fremitus melemah. Pada perkusi paru ditemukan
daerah yang lebih redup dan pada auskultasi dapat ditemukan penurunan suara
napas dan ronki.24

c) Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengevaluasi adanya efusi pleura, tes pertama yang harus
dilakukan adalah rontgen dada. Ini adalah tes yang tersedia secara luas dan
sederhana, tetapi tidak 100% sensitif. Sejumlah cairan tertentu harus ada untuk
dideteksi, biasanya 75 ml dalam tampilan lateral, dan sekitar 175 ml dalam
tampilan anterior. Pada x-ray, beberapa karakteristik efusi pleura tumpul karena
sudut kostodiafragma dan paru-paru diisi dengan cairan radiolusen (tergantung
pada ukuran efusi).25

12
Gambar. Foto thorax posteroanterior (PA) seorang pria berusia 50-an yang
memiliki riwayat 2 minggu pneumonia yang diobati. Ia mengalami demam dan
nyeri dada yang persisten. Kekeruhan parenkim paru bilateral yang merata
mengindikasikan pneumonia. Sudut costophrenic kiri yang hilang menunjukkan
efusi pleura kiri. 26

Jika dicurigai efusi dengan rontgen dada, langkah selanjutnya adalah


ultrasonografi. USG semakin umum karena manfaatnya, yaitu karena tersedia
secara luas, dapat dilakukan di samping tempat tidur pasien, lebih sensitif dalam
mengidentifikasi efusi pleura daripada x-ray, memungkinkan diferensiasi antara
parenkim dan cairan pleura, dan itu juga memiliki penggunaan terapeutik.
Ultrasonografi dapat bermanfaat dalam memandu penempatan chest tube selama
thoracentesis. Beberapa karakteristik empiema yang ditemukan dengan USG
adalah echogenicity homogen, efusi anechoic dengan septasi hyperechoic,
penebalan pleura dan split pleura, pemisahan parietal, dan visceral pleura oleh
cairan.25
CT scan dada harus dilakukan pada pasien dengan empiema. Ini bisa
menjadi pilihan alternatif setelah dilakukan rontgen dada atau ultrasonografi. CT
scan idealnya dilakukan dengan kontras intravena (IV) untuk meningkatkan
pleura. CT scan juga dapat bersifat diagnostik dan terapeutik, thorasentesis, dan
torakotomi tabung dapat dilakukan dengan modalitas ini. Beberapa karakteristik
pada CT scan adalah penebalan pleura (terdapat pada sekitar 80% sampai 100%
pasien), peningkatan pleura, split tanda pleura, gelembung tanpa adanya drainase

13
chest tube, dan septasi. Dengan CT scan, praktisi dapat menilai parenkim paru
dengan lebih baik dan posisi chest tube.25
Pada pungsi pleura ditemukan adanya pus. Setelah itu cairan yang
diperoleh harus dikirim untuk analisis dan kultur.25
Kultur cairan pleura memiliki sensitivitas yang buruk; ini dapat meningkat
jika cairan itu bukan hanya disimpan dalam wadah steril tetapi juga dalam botol
kultur darah. Idealnya, cairan biakan harus diperoleh dari thoracentesis,
penempatan chest tube, atau intervensi bedah, tetapi tidak pernah dari drainase
yang sudah ada sebelumnya.25
Analisis cairan pleura tidak diperlukan untuk diagnosis empyema, seperti
yang disebutkan sebelum adanya nanah, bakteri gram positif, atau kultur akan
menghasilkan diagnosis; namun demikian, semua cairan pleura harus dikirim
untuk analisis.25

2.1.7. Diagnosa Banding


Diagnosis banding dari empiema didasarkan pada beberapa penyakit yang
mempunyai gejala yang mirip seperti sesak, demam, dan nyeri dada, di antaranya
yaitu pneumonia, gagal jantung, efusi pleura yang disebabkan oleh penyakit lain
seperti lupus, rheumatoid arthritis, dll. Perlu diperhatikan karakteristik nyeri pada
empiema adalah pleural pain untuk membedakannya. Dibutuhkan pemeriksaan
penujang lebih lanjut untuk menegakkan diagnosa. 27

2.1.8. Penatalaksanaan
Pengobatan utama untuk infeksi pleura tetap antibiotik yang sesuai,
dikeluarkannya cairan pleura, dan gizi yang memadai.28
1. Terapi Antibiotik
Antibiotik harus diberikan kepada semua pasien dengan infeksi pleura dan jika
mungkin harus didasarkan pada kultur cairan pleura dan uji sensitivitas. Faktor
lainnya yang dapat mempengaruhi pilihan antibiotik adalah kemampuan dari
antibiotik menembus rongga pleura dan adanya gangguan ginjal atau hati.28

14
Dimana kultur tidak tersedia, regimen antibiotik harus termasuk mencakup
anaerobik dan untuk organisme resisten penisilin. Pada infeksi yang didapat di
rumah sakit, harus mencakup MRSA dan juga organisme aerob gram-positif dan
gram negatif dan organisme anaerobik. Aminoglikosida tidak menembus rongga
pleura dan seharusnya tidak digunakan.29
Proporsi yang signifikan dari kedua organisme aerob dan anaerob dari
infeksi pleuropulmonary dapat menunjukkan resistensi terhadap penisilin, tapi β-
lactams tetap menjadi agen pilihan untuk infeksi yang disebabkan S pneumoniae
dan S milleri. Aminopenisilin, penisilin (misalnya, dikombinasikan dengan
penghambat β-laktamase Co-amoxiclav, piperacillin-tazobactam) dan sefalosporin
menunjukkan penetrasi yang baik pada rongga pleura. Aminoglikosida harus
dihindari karena memiliki penetrasi yang buruk ke rongga pleura dan mungkin
tidak aktif jika terdapat asidosis cairan pleura. Tidak terdapat bukti bahwa
pemberian antibiotik langsung ke rongga pleura memiliki keuntungan.30, 31
Pada infeksi yang didapat di komunitas, pengobatan dengan
aminopenisilin (misalnya, amoxicillin) akan mencakup organisme seperti S
pneumonia dan H influenzae, tapi penghambat β-laktamase seperti Co-amoxiclav
atau metronidazol juga akan diberikan karena sering adanya aerob penisilin-
resisten termasuk S aureus dan bakteri anaerobik.5 Untuk infeksi pleura dengan
hasil kultur negatif, rejimen yang diusulkan oleh Pedoman BTS adalah
cefuroxime intravena 1,5 gram per 8 jam ditambah metronidazol 500 miligram per
8 jam atau Benzil penisilin intravena 1.2 gram per 6 jam ditambah siprofloksasin
400 miligram per 12 jam atau meropenem intravena 1 gram per 8 jam ditambah
metronidazol 500 miligram per 8 jam untuk infeksi yang didapat di komunitas.28
Klindamisin memiliki penetrasi yang baik pada rongga pleura yang
terinfeksi dan merupakan antimikroba yang memadai. Pasien yang alergi penisilin
dapat diberikan Klindamisin saja atau kombinasi dengan siprofloksasin atau
sefalosporin. Kloramfenikol, karbapenem seperti meropenem, sefalosporin
generasi ketiga dan penisilin antipseudomonas spektrum luas seperti piperasilin
juga memiliki aktivitas anti anaerobik yang baik dan merupakan agen alternatif.31

15
Pada empiema yang didapat di rumah sakit, biasanya sekunder terhadap
pneumonia nosokomial, trauma atau operasi, antibiotik harus dipilih untuk
mengobati organisme aerob gram-positif dan gram-negatif dan anaerobik. Studi
terbaru menunjukkan bahwa ada peningkatan yang signifikan infeksi MRSA pada
pneumonia yang didapat di rumah sakit dan empiema, jadi antibiotik empiris
seharusnya dari awal sudah menutupi untuk MRSA sampai hasil mikrobiologi
ada.5 Kultur negatif pada infeksi yang didapat di rumah sakit, pedoman BTS
mengusulkan piperasilin intravena ditambah tazobactam 4.5 gram per 6 jam atau
ceftazidime 2 gram per 8 jam atau meropenem 1 gram per 8 jam dimana
metronidazol dapat ditambahkan pada dosis 500 miligram per 8 jam.28
Pemberian antibiotik intravena sering sesuai pada awalnya tetapi dapat
diubah ke rute oral ketika perbaikan klinis secara objektif dan biokimia terlihat.
Untuk terapi oral, pedoman BTS menganjurkan amoksisilin 1 gram per 8 jam
ditambah asam clavulanic 125 miligram per 8 jam atau amoksisilin 1 gram 8 per
jam ditambah metronidazol 400 miligram per 8 jam atau Klindamisin 300
miligram per 8 jam. Durasi pengobatan untuk infeksi pleura tidak dievaluasi pada
percobaan klinis secara detail, namun antibiotik sering dilanjutkan selama
minimal 3 minggu, berdasarkan respon klinis, biokimia (contohnya, CRP) dan
radiologis.31, 28

2. Drainase Cairan Pleura


Pasien dengan infeksi pleura memerlukan drainase akan berkembang
menjadi cairan pleura yang asam yang terkait dengan meningkatnya kadar LDH
dan kadar glukosa yang menurun. Data dari sistemik meta-analisis meninjau
kriteria tersebut telah dibenarkan untuk digunakan. Laporan ini menunjukkan
bahwa pH cairan pleura < 7.2 juga salah satu indikator yang paling kuat untuk
memprediksi kebutuhan untuk drainase, dan bahwa LDH cairan pleura (>1000
IU/l) dan glukosa (< 3.4 mmol/l) tidak meningkatkan akurasi diagnostik. Dimana
pengukuran pH cairan pleura tidak tersedia maka glukosa dan LDH harus diukur,
kadar glukosa cairan pleura < 3.4 mmol/l dapat digunakan sebagai penanda
alternatif untuk mengindikasikan kebutuhan untuk drainase. Namun, glukosa

16
cairan pleura dapat menurun dalam situasi selain infeksi pleura, seperti efusi
rheumatoid, dan ini harus diingat ketika menafsirkan hasil.31

Tabel 1. Indikasi untuk drainase cairan pleura

Tabel 2. Staging efusi pleura dan rekomendasi drainase

3. Fibrinolitik Intrapleura
Terapi fibrinolisis intrapleural ini pertama kali digunakan lebih dari 60
tahun yang lalu. Setelah percobaan awal terapi ini, ada jarak selama 32 tahun
sampai studi kedua diterbitkan pada tahun 1981 terutama untuk mengatasi efek
streptokinase intrapleural pada fibrinolisis sistemik; ini mungkin kekhawatiran
tentang efek samping yang disebabkan streptokinase intrapleural selama
penggunaan periode tersebut. Sejak tahun 1981, beberapa studi observasi dan
beberapa percobaan kontrol telah diterbitkan.28
Obat-obatan fibrinolitik bervariasi dalam mekanisme kerjanya. tPA
menginduksi fibrinolisis trombus yang terbentuk oleh plasminogen teraktivasi
terikat fibrin dan tidak mengaktifkan plasminogen sistemik. Streptokinase
menggabungkan dengan plasminogen yang ada di sirkulasi untuk membentuk

17
kompleks aktivasi, yang penyebab terbatasnya proteolitik dari molekul
plasminogen lain terhadap plasmin. Streptokinase mengaktifkan konversi
plasminogen (profibrinolisin) menjadi plasmin (fibrinolisin), yang merangsang
konversi fibrin (tidak larut) menjadi fragmen fibrin (larut). Urokinase fibrin juga
merupakan selektif-fibrin dan dikonversi ke urokinase dari prourokinase berikatan
dengan fibrin. Langsung mengubah plasminogen menjadi plasmin. Ketiga obat
tersebut telah digunakan dalam percobaan fibrinolisis intrapleural pada orang
dewasa dan anak-anak.32
Tidak ada indikasi penggunaan fibrinolisis intrapleura secara rutin pada
pasien dengan infeksi pleura.5 Fibrinolitik seperti streptokinase dan urokinase
telah digunakan secara luas dalam pengobatan infeksi pleura, terutama dengan
drain, untuk memecah lokulasi dan cairan kental, cairan kaya fibrin yang sering
menyumbat drain. Percobaan besar, acak, kontrol menunjukkan bahwa
penggunaan rutin tidak meningkatkan kematian atau mengurangi jumlah pasien
yang membutuhkan pembedahan. Namun, ini percobaan yang dibuat sebelum
munculnya USG pleura dan tidak membedakan antara efusi simpel dan lokulasi.
Semua pasien dengan pH cairan pleura < 7.2 atau pus diberikan fibrinolitik,
terlepas dari apakah cairan dikeluarkan dengan mudah atau tidak. Pedoman BTS
merekomendasikan penggunaannya pada cairan yang banyak, lokulasi yang tidak
dapat dilakukan drainase dimana pembedahan thoraks tidak dianggap menjadi
suatu alternatif atau tidak tersedia.29
Urokinase merupakan non-antigenik tetapi tetap menyebabkan reaksi akut
(disebabkan oleh hipersensitivitas tipe cepat dan pelepasan histamin) dengan
demam dan aritmia kardiak. Ada laporan mengenai sindrom distress pernafasan
dewasa pada pasien yang menerima streptokinase dan urokinase untuk drainase
empiema. Dosis fibrinolitik yang digunakan pada studi tersebut bervariasi tetapi
termasuk streptokinase 250.000 IU per hari atau 250.000 IU per 12 jam atau
urokinase 100.000 IU per hari dalam 24 jam di rongga pleura.31
Maskell et al. melaporkan hasil dari percobaan besar (427 pasien),
multicenter, acak, double-blind di UK yang menunjukkan tidak ada keuntungan
dari streptokinase atas saline berkaitan dengan tingkat mortalitas atau kebutuhan

18
operasi pada 3 atau 12 bulan pada pasien yang memiliki empiema (83%). Dalam
percobaan single-center, acak, double-blind, 44 pasien (81% memiliki empiema)
diacak untuk menerima baik Streptokinase (250.000 U per hari) atau salin selama
4 - 5 hari. Di hari ke 7, kelompok streptokinase lebih sedikit dilakukan operasi
(43% vs 9%; PP.02) dan tingkat keberhasilan klinis yang lebih baik (82 vs 48%;
PP.02).30
Beberapa obat-obatan fibrinolitik intrapleura dapat dilihat pada tabel 3
dibawah ini:

Tabel 3. Beberapa fibrinolitik intrapleura

4. Pembedahan
Banyak teknik bedah telah digunakan dalam pengobatan empiema
termasuk debridemen melalui VATS (video-assisted thoracic surgery),
dekortikasi, thoracoplasty, dan thoracostomy terbuka. Debridement melalui VATS
paling popular sejak pertengahan 1990-an, dan tingkat keberhasilan berkisar 68 -
93%. Tingkat keberhasilan debridement VATS sangat tergantung pada tahap efusi
parapneumonik dan jika pasien pada fase pembentukan jaringan ikat, lebih tinggi
tingkat kegagalannya.28
Pembedahan harus dipertimbangkan tanpa penundaan pada pasien yang
gagal diterapi dengan antibiotik dan drainase selang dada, dan yang memiliki
gejala infeksi persisten, demam, leukositosis dan peningkatan penanda inflamasi.
Bertentangan dengan kepercayaan populer, bersihan cairan pleura secara

19
radiologis bukanlah indikator yang baik dari kemajuan penyakit. Dua penelitian
longitudinal telah menunjukkan bahwa opacity radiologis dari infeksi pleura
meningkat pada pasien dewasa dan anak-anak pada bulan berikutnya, tanpa perlu
dilakukan operasi. Demikian juga, perubahan restriksi pada tes fungsi paru
biasanya perbaikan secara paralel, dari waktu ke waktu; sangat sedikit pasien
memiliki gangguan fungsi dari sisa fibrosis pleura.33
Dekortikasi adalah metode pilihan ketika paru-paru pada dasarnya tidak
mampu mengembang karena inflamasi yang tebal dan pasien cocok untuk operasi
besar. Dekortikasi telah terbukti secara substansial meningkatkan kapasitas vital
dan volume ekspirasi paksa pada detik pertama. Thoracoplasty memerlukan
remodeling dari dinding osteomuskular kavum thoraks untuk mengontrol proses
inflamasi tapi ini jarang dilakukan belakangan ini. Prosedur operasi lain -
thoracostomy terbuka - dilakukan pada pasien yang lemah, ketika thoracoplasty
bukanlah alternatif dan ketika VATS telah gagal untuk mengendalikan penyakit
tersebut.28
Dalam beberapa studi retrospektif, pasien yang terlambat dirujuk untuk
operasi memiliki komplikasi lebih banyak dan tingkat keberhasilan lebih rendah
dari VATS, dan perawatan di rumah sakit yang lebih lama. VATS adalah prosedur
pilihan, sama-sama efektif tetapi kurang invasif (sehingga tinggal di rumah sakit
lebih pendek dan komplikasi yang lebih sedikit), daripada drainase oleh
thoracotomy pada orang dewasa dan anak-anak, meskipun sekitar 20% pasien,
VATS tidak adekuat dan konversi ke drainase thoracotomy terbuka diperlukan.
Thoracoscopy medis telah terbukti aman dan efektif dalam satu seri retrospektif
127 pasien.33
Pengobatan yang mendasari faktor predisposisi klinis, seperti dental atau
immunodefisiensi, adalah penting, dan dukungan gizi penting, dengan analisis
besar baru-baru ini dari faktor prognostik pada empiema yang didapat dari
komunitas mengidentifikasi bahwa pemberian albumin serum < 30 g/L sebagai
faktor risiko independen untuk kematian.33

20
2. 1. 9. Komplikasi
Komplikasinya salah satunya yaitu empyema necessitans. Pembengkakan
awalnya muncul di dinding dada, yang berhubungan dengan empiema.
Pembengkakan ini menimbulkan dorongan untuk batuk. Biasanya tidak
memerlukan perawatan tambahan dan sembuh secara spontan dengan pengobatan
empiema yang adekuat sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.34
Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan adanya gambaran abnormal pada pemeriksaan raddiologi 3–6 bulan
setelah terapi, dengan sedikit atau tanpa gejala yang dilaporkan pada pemeriksaan
lanjutan. Pada pemeriksaan fungsi paru yang dilakukan setelah rawatan tidak
menunjukkan adanya abnormalitas. Yang ditemukan hanyalah sedikit limitasi
pada flow espiration. Gangguan obstruktif ringan adalah satu-satunya temuan
yang diamati pada pasien yang dievaluasi 12 tahun (± 5) setelah pemulihan dari
empiema.34
Pada tahap lanjut dari empiema, sebagian pasien menderita Restrictive
Lung Disease tanpa disadari dan hasil spirometri yang abnormal. Adanya
peningkatan reaktivitas bronkus ditemukan pada pemeriksaan lebih lanjut.
Namun, fungsi paru akan kembali normal pada sebagian pasien. Deteksi dini dari
pneumonia dengan efusi parapneumonic, intervensi yang efektif untuk
mengidentifikasi organisme penyebab, dan memulai terapi definitif akan
mengurangi morbiditas dan komplikasi yang berhubungan dengan penyakit ini.
Keberhasilan dari setiap intervensi yang dilakukan bergantung pada kondisi
patologis paru dan penggunaan antibiotik yang tepat. Posisi drainase yang tepat
dapat menghindari operasi. Kasus empyema yang dikelola dengan baik akan
mencegah terjadinya komplikasi yang membutuhkan operasi reseksi mayor.34

21
BAB III

STATUS ORANG SAKIT

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ronal Hutasoit


No. RM : 71.72.74
Jenis Kelamin : Laki Laki
Tanggal Lahir : 24-09-1988
Usia : 30 tahun
Alamat : Batu Mardinding Lintong
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 13 September 2019

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Sesak nafas


Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 2 minggu terakhir dan
memberat dalam 2 hari sebelum masuk RSUP HAM. Pasien menpunyai riwayat
sesak nafas sebelumnya. Pasein juga mengeluhkan adanya batuk sejak 2 minggu
lalu. Batuk berdahak tidak dijumpai. Batuk darah tidak dijumpai. Nyeri dada tidak
dijumpai. Demam tidak dijumpai. Mengigil tidak dijumpai. Keringat malam
dijumpai. Pasien juga mengeluhkan adanya penurunan nafsu makan dan adanya
penurunan berat badan dalam 3 bulan terakhir ini. Mual dan muntah disangkal
pasien. BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien memiliki riwayat TB paru
dengan konsumsi OAT I (2016) selama 4 bulan dan OAT kategori II (2018)
selama 5 bulan. Pasien mempunyai riwayat pemasangan chest tube sebanyak 4x
pada paru kana, terakhir pada tahun 2018..

Riwayat alergi obat : Tidak dijumpai

Riwayat penyakit terdahulu :Tidak dijumpai

22
Riwayat pengobatan terdahulu : OAT selama lini 1 (2016) OAT lini 2 (2018)

Riwayat keluarga : Tidak dijumpai anggota keluarga dengan


keluhan serupa.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status presens :

Sensorium : Compos mentis

Tekanan : 134/84 mmHg

Darah
HR : 106 kali/menit

RR : 28 kali/menit

Temperatur : 37,3C

VAS : -

BB : 55 kg

Kepala

- Wajah : Dalam batas normal


- Mata : Pupil isokor, refleks cahaya +/+, konj. palp
: anemis (+/+)
- Telinga, Dalam batas normal
hidung &
mulut
Thoraks

- Inspeksi : Asimetris, sela iga tampak jelas, retraksi


suprasternal dan epigastrial tidak dijumpai.
: HR: 108 x/i; reguler, desah tidak dijumpai
- Jantung
:
-
RR: 28 x /i; SP: Ronkhi (+) paru kanan
- Paru
Abdomen

- Inspeksi : Simetris

23
- Palpasi :
- Perkusi : Soepel,hepar dan lien dalam batas normal.
- Auskultasi : Timpani
Peristaltik (+) normal

Ekstremitas

- Inspeksi : Akral hangat, CRT < 2”, edema pretibial


tidak dijumpai

Genitalia

Genitalia : Laki laki, kelainan bentuk (-).

3.5 Pemeriksaan Penunjang

3.5.1 Laboratorium

Laboratorium (02/09/2019)

Laboratorium Hasil Rujukan

HEMATOLOGI
9.0 g/dL 13 - 18 g/dL
- Hemoglobin
3.75 jt/µL 4,50- 6,50 jt/µL
- Eritrosit 11.930/µL 4.000-11.000/µL
- Leukosit 32 % 39-54 %
- Hematokrit 372,000/µL 150.000 - 450.000/µL
- Trombosit
ELEKTROLIT
135 mEq/L 135 – 155
- Natrium
4.7 mEq/L 3,6 – 5,5
- Kalium

24
- Klorida 94 mEq/L 96 – 106

KGDSewaktu 75 mg/dL < 200

GINJAL
Blood Urea Nitrogen (BUN) 6 mg/dL 9-21
Ureum 13 mg/dL 19-44
Kreatinin 0,64 mg/dl 0.7-1.3

3.5.2 Foto Toraks PA dewasa (9/09/2019)

Kesimpulan:

25
Tampak fibroinfiltrat pada lapangan tengah dan bawah paru kiri
Tampak area lusen avaskular di hemitoraks kanan disertai air
fluid level
Tampak rongga lusen pada lapangan atas paru kanan.
Tampak konsolidasi homogeny pada lapangan tengah dan bawah
paru kanan
Jantung ukuran normal CTR < 50%
Trakea ditengah
Tulang tulang dan soft tissue baik.

3.5.3 Elektrokardiografi (13/09/2019)

Kesan: Tidak layak dibaca

26
3.5.4 Foto post-op PA dewasa (13/9/2019)

Kesimpulan:

27
Tampak fibroinfiltrat pada lapangan tengah dan bawah paru kiri
Tampak area lusen avaskular di hemitoraks kanan disertai air
fluid level
Tampak rongga lusen pada lapangan atas paru kanan.
Tampak konsolidasi homogeny pada lapangan tengah dan bawah
paru kanan
Jantung ukuran normal CTR < 50%
Trakea ditengah
Tulang tulang dan soft tissue baik.
WSD terpasang dengan ujung distal berada pada proyeksi kosta
& posterior.

3.6 Diagnosis

Pre-operation diagnosis: (R) Hidropneumothorax + susp. MDR-TB


Post operation diagnosis: (R) Empyema + susp MDR-TB

3.7 Tatalaksana

IVFD RL 20 gtt/i (makro)

inj. seftriakson 1gr/ 12 j (IV)

drips Metronidazole 500 mg/ 12 j (IV)

inj. ranitidin 50 mg/ 12 j (IV)

R/pemasangan chest tube

28
BAB IV

FOLLOW UP

14/09/2019
S Sesak (+)
O Airway: clear, SP: vesikuler, ST:( -/-) , RR:22 x/I, SpO2: 99%
Akral H/M/K, TD: 117/62. HR: 105x/i
Sensorium : compos mentis
Abdomen soepel, peristaltik (+) normal
Drain: undulasi (+), produksi 600cc/10 jam, pus(+),serohemorrhagik
A Post (R) Chest Tube Insertion + (R) Empiema+ susp. MDR TB
P IVFD RL 20 gtt/i (makro)

inj. seftriakson 1gr/ 12 j

drips Metronidazole 500 mg/ 12 j (IV)

inj. ranitidin 50 mg/ 12 j

Pemberian OAT (Rif/ 450 mg (1x1), Eth/ 500 mg (1x2), Iso 300 mg

29
(1x1))

 Pasang Continous Suction


 Pantau Hemodinamik
 Pantau Drain

15/09/2019
S Sesak (+)
O Airway: clear, SP: vesikuler, ST:( -/- ), RR:24x/I, SpO2: 99%
Akral H/M/K, TD: 110/70. HR: 95x/i
Sensorium : compos mentis
Abdomen: soepel, peristaltik (+) normal
Drain: undulasi (+), produksi 160cc/24jam
A Post (R) Chest Tube Insertion + (R) Empiema+ susp. MDR TB
P IVFD RL 20 gtt/i (makro)

inj. seftriakson 1gr/ 12 j

drips Metronidazole 500 mg/ 12 j (IV)

inj. ranitidin 50 mg/ 12 j

Pemberian OAT

 Pantau Hemodinamik
 Pantau Drain
 Susul hasil kultur pus

17/09/2019
S Sesak nafas
O Airway: clear, SP: vesikuler, ST:( -/- ), RR:24x/I, SpO2: 99%
Akral H/M/K, TD: 100/70. HR: 90x/i
Sensorium : compos mentis
Abdomen: soepel, peristaltik (+) normal
Drain: undulasi (+), produksi 250cc/24jam
A Post (R) Chest Tube Insertion + (R) Empiema+ susp. MDR TB

30
P IVFD RL 20 gtt/i (makro)

inj. seftriakson 1gr/ 12 j

drips Metronidazole 500 mg/ 12 j (IV)

inj. ranitidin 50 mg/ 12 j

Pemberian OAT
 Pantau Hemodinamik
 Pantau Drain
 Susul hasil kultur pus

18/09/2019
S Sesak nafas
O Airway: clear, SP: vesikuler, ST:( -/- ), RR:22 x/I, SpO2: 99%
Akral H/M/K, TD: 100/80. HR: 105x/i
Sensorium : compos mentis
Abdomen: soepel, peristaltik (+) normal
Drain: undulasi (+), produksi 250cc/24jam
A Post (R) Chest Tube Insertion + (R) Empiema+ susp. MDR TB
P IVFD RL 20 gtt/i (makro)

inj. seftriakson 1gr/ 12 j

drips Metronidazole 500 mg/ 12 j (IV)

inj. ranitidin 50 mg/ 12 j

Pemberian OAT
 Pantau Hemodinamik
 Pantau Drain
 Rencana CT scan
Hasil kultur pus: Pseudomonas aeruginosa

31
21/09/2019
S Sesak nafas
O Airway: clear, SP: vesikuler, ST:( -/- ), RR:22 x/I, SpO2: 99%
Akral H/M/K, TD: 110/70. HR: 102x/i
Sensorium : compos mentis
Abdomen: soepel, peristaltik (+) normal
Drain: undulasi (+), produksi 250cc/24jam
A Post (R) Chest Tube Insertion + (R) Empiema+ susp. MDR TB
P  Pantau Hemodinamik
 Pantau Drain
 Pasien menolak operasi

32
BAB V
DISKUSI KASUS

Teori Diskusi
Defenisi dan Epidemiologi Pasien laki-laki usia 30tahun datang
Adalah akumulasi pus atau nanah dengan keluhan sesak napas sejak ±2
didalam rongga pleura. Empiema dapat harisebelum masuk rumah sakit.
mengenai semua kelompok usia, jenis
kelamin dan etnis
Diagnosis Hal ini dialami pasien sejak 2 hari
Anamnesis: terakhir, memberat dalam 2 minggu
terakhir. Batuk dijumpai, disertai
a. Demam yang menetap setelah
sputum, batuk darah disangkal.
didiagnosis pneumonia.
Demama disangkal. Riwayat penurunan
b. Demam tinggi, berkeringat,
berat badan dijumpai. Pasien riwayat
selera makan turun, malaise,
TB paru dengan konsumsi OAT I
dan batuk
(2016) selama 4 bulan dan OAT
c. Nyeri dada dan sesak akan
kategori II (2018) selama 5 bulan.
timbul jika cairan efusi cukup
Pasien riwayat pemasangan chest tube 4
banyak
kali pada paru kanan, terakhir tahun
d. Radang pleura dan dyspnea
2018.
dapat ditemukan pada beberapa
pasien

33
Pemeriksaan Fisik:

1. Dapat ditemukan pergerakan


Pada pemeriksaan fisik thoraks
dinding dada tertinggal saat
dijumpai:
ekspirasi dan fremitus melemah.
 Inspeksi: asimetris, sela iga
2. Pada perkusi paru ditemukan
tampak jelas, retraksi
daerah yang lebih redup
suprasternal dan epigastrial
3. Pada auskultasi dapat ditemukan
tidak dijumpai
penurunan suara napas dan
 Perkusi: redup
ronki
 Palpasi: nyeri tekan (-/-)
 Auskultasi: ronkhi (+/+)

Pemeriksaan Penunjang Status presens


Sensorium : Compos Mentis
1. Pemeriksaan Radiologis
Nadi : 106x/menit
2. Pemeriksaan kultur cairan
Frekuensi nafas : 28x/menit
pleura
Temperatur : 37°C

Status generalisata
Kepala: dalam batas normal
Mata: dalam batas normal
Telinga: dalam batas normal
Hidung: dalam batas normal
Tenggorokan: dalam batas normal
Mulut: dalam batas normal
Leher: dalam batas normal

Penatalaksanaan Terapi

34
 Farmakologi
 Drainase cairan pleura  IVFD RL 20gtt/i (makro)
 Bedah  Sudah terpasang selang dada
(kiri)
 Inj. Seftriakson 1gr/ 12 J (IV)
 Inj. Ranitidin 50mg / 12 J (IV)
 Drip Metronidazole 500 mg/ 12
j (IV)

35
BAB VI
KESIMPULAN

Pasien, laki-laki, 30 tahun datang ke RSUP Haji Adam Malik dengan keluhan
sesak napas + 2 hari dan didiagnosa dengan Hidropneumothorax (R) + susp.
MDR TB dalam pengobatan dan diberikan tatalaksana IVFD RL 20 gtt/i (makro)
inj. seftriakson 1gr, inj. ranitidin 50 mgdan pemasangan chest tube. Kemudian
setelah pemasangan chest tube pasien didiagnosa dengan post (R) Chest tube
insertion + (R) Empyema + susp MDR-TB

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Davies HE, Davies RJ, Davies CW. Management of pleural infection in adults:
British Thoracic Society pleural disease guideline 2010. Thorax. 2010; 65(suppl
2): 41-53

2. Sahn SA. Diagnosis and management of parapneumonic effusions and


empyema. Clin Infect Dis. 2007; 45: 1480-1486.

3. Strachan RE, Gulliver T, Martin A, McDonald T, Nixon G, Roseby R, et.al.


Pediatric Empyema Thoracis: Recommendation for Management. The Thoracic
Society of Australia and New Zealand. 2011: 1-39.

4. Sharma S. Empyema, pleuropulmonary. Available at:


http://www.emedicine.com/med/topic659.htm. Accesed on June 23 rd, 2008.

5. Garrido VV, Sancho JF, Blasco LH, Gafas AP, et al. Diagnosis and treatment
of pleural effusion. Arch Bronkoneumol. 2006; 42(7):349-372.

6. Heffne JE, Klein JS, Hampson C. Interventional management of pleural


infections. Chest. 2009; 136(4); 1148-1159.

7. Koegelenberg CF, Diaconb AH, Chris T, Bolligere CT. Parapneumonic pleural


effusion and empyema. Respiration. 2008; 75(3); 241-250.

8. Light RW. Parapneumonic effusions and empyema. Pleural disease. 3rd ed.
Baltimore: Williams & Wilkins, 1995; 129-153.

9. Light RW, Lee YG. Textbook of Pleural Disease. 2nd edition. UK. Hudder
Arnold. 2008: 26; 341-362.

10. Vianna NS. Non tuberculous bacterial empyema in patient with and without
underlying diseases. J. Am. Med Assoc. 1971: 215: 69-75.

37
11. Rogayah, Rita. Empiema. 2010. Jakarta: Dept. Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FKUI. Diakses tanggal 27 Mei 2013:
http://staff.ui.ac.id/internal/140240448/material/empiema.pdf

12. Strachan RE, Gulliver T, Martin A, McDonald T, Nixon G, Roseby R, et.al.


Pediatric Empyema Thoracis: Recommendation for Management. The Thoracic
Society of Australia and New Zealand.2011: 1-39.

13. Light RW, Lee YG. Textbook of Pleural Disease. 2nd edition. UK. Hudder
Arnold. 2008: 26; 341-362. 10.

14. Vianna NS. Non tuberculous bacterial empyema in patient with and without
underlying diseases. J. Am. Med Assoc. 1971: 215: 69-75

15. Light RW. Parapneumonic effusions and empyema. Pleural disease. 3rd ed.
Baltimore: Williams & Wilkins, 1995; 129-153

16. Colice GL, Curtis A, Deslauriers J, et al. Medical and surgical treatment of
parapneumonic effusions: an evi- dence-based guideline. Chest 2000; 118: 1158-
1171

17. Garrido VV, Sancho JF, Blasco LH, Gafas AP, et al. Diagnosis and treatment
of pleural effusion. Arch Bronkoneumol. 2006; 42(7): 349-372

18. Helen E Davies, Robert J O Davies, on behalf of the BTS Pleural Disease
Guidline Group. Management of pleural infection in adults: British Thoracic
Society pleural disease guideline 2010. Thorax 2010;65(Suppl 2): 41-53. Garrido
VV, Sancho JF, Blasco LH, Gafas AP, et al. Diagnosis and treatment of pleural
effusion. Arch Bronkoneumol. 2006; 42: 349-372

19. Diagnosis and management of parapneumonic effusions and empyema. Clin


Infect Dis. 2007; 45(11):1480-6 (ISSN: 1537-6591) Sahn SA

20. Risk factors for complicated parapneumonic effusion and empyema on


presentation to hospital with community-acquired pneumonia. Thorax. 2009;
64(7):592-7 (ISSN: 1468-3296) Chalmers JD; Singanayagam A; Murray MP;
Scally C; Fawzi A; Hill AT

21. Light RW. Parapneumonic effusions and empyema. Pleural disease. 3rd ed.
Baltimore: Williams & Wilkins, 1995; 129-153.

38
22. Limsukon, A, Hoo, GWS. 2009. Parapneumonic Pleural Effusions and
Empyema Thoracis.

23. Brims, FJH, et al. Empyema Thoracis : new insights into an old disease.
European Respiratory Review 2010;19;117;220-228

24. Chris tanto, et al., (2014), Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media
Aeskulapius.

25. Ohara G, Iguchi K, Satoh H. VATS and Intrapleural Fibrinolytic Therapy for
Parapneumonic Empyema. Ann Thorac Cardiovasc Surg. 2018 Oct 19;24(5):263-
264.

26. Tobler M. Empyema Imaging. 2015. Available at:


https://emedicine.medscape.com/article/355892-overview#a5

27. Ward MA. Empyema and Abscess Pneumonia Differential Diagnoses. 2015.

28. Ahmed, AEH, Tariq, EY. Empyema Thoracis. Clinical Medicine Insights:
Circulatory, Respiratory and Pulmonary Medicine 2010:4

29. Walters, J, et al. Pus in the thorax : Management of empyema and lung
abscess. British Journal of Anesthesia : Oxford University Press 2011

30. Sahn, SA. Diagnosis and Management of Parapneumonic Effusions and


Empyema. Chicago Journal : Clinical Infectious Disease 2007:45

31. Davies, HE, et al. Management of Pleural Infection in Adults. British Thorax
Society pleural disease guideline 2010;65

32. Ahmed, AEH, Tariq, EY. Intrapleural Therapy in management of complicated


parapneumonic effusions and empyema. Clinical Pharmacology: Advances and
Applications 2010:2;213–221

33. Brims, FJH, et al. Empyema Thoracis : new insights into an old disease.
European Respiratory Review 2010;19;117;220-228

34. D. K. Gupta, Shilpa Sharma. Management of empyema – Role of a surgeon.


Department of Pediatric Surgery, All India Institute of Medical Sciences, New
Delhi, India. J Indian Assoc Pediatr Surg / Jul-Sept 2005 / Vol 10 / Issue 3.

39
40

Anda mungkin juga menyukai