Anda di halaman 1dari 39

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

PRESENTASI KASUS

FRAKTUR AVULSI TUBEROSITAS TIBIA DEXTRA

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Bedah
Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono, Magelang

Pembimbing:
Letkol CKM dr. Basuki Widodo, Sp. OT

Disusun Oleh:
Novita Winda Puspitaningtyas
30101206691

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RUMAH SAKIT TENTARA TK II DR. SOEDJONO, MAGELANG
PERIODE 25 JULI 23 SEPTEMBER 2017
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

FRAKTUR AVULSI TUBEROSITAS TIBIA DEXTRA

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Bedah
Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono, Magelang

Disusun Oleh:
Novita Winda Puspitaningtyas
30101206691

Telah Disetujui Oleh Pembimbing

Pembimbing : Letkol CKM dr. Basuki Widodo, Sp. OT

Tanggal :
BAB 1

PENDAHULUAN

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang


dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang
menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung. Akibat trauma pada
tulang tergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya. Trauma tajam yang
langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan
luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di
dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi
sendi yang disebut fraktur dislokasi, sedangkan trauma tumpul dapat
menyebabkan fraktur tertutup yaitu apabila tidak ada luka yang menghubungkan
fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.

Tendensi untuk terjadinya fraktur tibia terdapat pada pasien-pasien usia lanjut
yang terjatuh, dan pada populasi ini sering ditemukan fraktur tipe III, fraktur
terbuka dengan fraktur kominutif. Pada pasien-pasien usia muda, mekanisme
trauma yang paling sering adalah kecelakaan kendaraan bermotor. Fraktur lebih
sering terjadi pada orang laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45
tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan.
Sedangkan pada Usia lanjut prevalensi cenderung lebih banyak terjadi pada
wanita berhubungan dengan adanya osteoporosis yang terkait dengan perubahan
hormon. Di Amerika Serikat, insidens tahunan fraktur terbuka tulang panjang
diperkirakan 11 per 100.000 orang, dengan 40% terjadi di ekstremitas bawah.
Fraktur ekstremitas bawah yang paling umum terjadi pada diafisis tibia.2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


No RM : 129374
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama : Sdr. M. H
Status Perkawinan : Belum kawin
Umur : 15 tahun
Alamat : Graha Azaria, Magelang
Bangsal : Nusa Indah
Tgl Masuk : 29-07-2017
Tgl Keluar : 03-08-2017

2.2 Anamnesa
A.Keluhan Utama
Nyeri di bawah lutut kaki kanan
B.Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RST Magelang dengan keluhan nyeri di bawah lutut kaki
kanan post ditendang teman saat bermain bola 2 jam SMRS. Bengkak (+), nyeri
saat digerakkan (+). Pusing (-), mual (-), muntah (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi, penyakit jantung, hipertensi, DM, asma, dan riwayat keganasan
disangkal.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi, penyakit jantung, hipertensi, asma, DM, dan riwayat keganasan
disangkal.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : Composmentis, GCS E4V5M6
Tanda Vital :
- Tek. Darah : 110/70 mmH
- Nadi : 98x/menit, reguler, isi cukup, equal di keempat
ekstermitas
- Pernapasan : 22x/menit
- Suhu : 36,5 C
Kepala : normocephal, distribusi rambut merata, tidak mudah dicabut, jejas
(-)
Mata : conjungtiva anemik (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor 3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
Hidung : nafas cuping (-), sekret (-), septum deviasi (-), rhinorrea(-)
Telinga : normotia, deformitas (-), discharge (-/-), ottorhea(-)
Mulut : bibir sianosis (-), parese (-/-)
Leher : simetris, trakhea ditengah, jejas (-), pembesaran KGB (-)
Thorax : bentuk normal, jejas (-)
Pulmo
I: simetris statis dan dinamis
Pa: stem fremitus kanan = kiri
Pe: sonor seluruh lapangan paru
Au: Suara dasar vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung
I: ictus cordis tak tampak
Pa:ictus cordis teraba pada ICS 2 cm medial Linea Midclavikularis Sinistra
Pe: konfigurasi jantung dalam batas normal
Au: Suara jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
Abdomen
I: datar, jejas (-), massa (-)
Au: bising usus (+) normal
Pe: timpani , pekak alih (-)
Pa: supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan(-),defans muskuler (-)

Ekstremitas
Superior Inferior

Akral dingin -/- -/-

Oedem -/- -/-

Sianosis -/- -/-

Gerak (Aktif- +/+ (terbatas pada


pasif) cruris dextra)

Refleks Fisiologis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks Patologis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

CRT <2/<2 <2/<2

STATUS LOKALIS (Ekstremitas Atas dan Bawah)


1. LOOK
DEXTRA SINISTRA

a. Perubahan Atas : sama seperti warna Atas : sama seperti


warna kulit kulit sekitar, hematom (-) warna kulit sekitar,
Bawah : sama seperti hematom (-)
warna kulit sekitar, Bawah : sama seperti
hematom (-) warna kulit sekitar,
Kaki : sama seperti warna hematom (-)
kulit sekitar, hematom (-) Kaki : sama seperti
warna kulit sekitar,
hematom (-)
b. bengkak (+) (-)
c. deformitas (-) (-)
d. luka (-) (-)
(trbuka/trtutup)
e. perdarahan (-) (-)

2. FEEL
DEXTRA SINISTRA

a. nyeri Cruris: (+) - (-)


tekan
b. pulsasi - A. poplitea : (+) reguler, - A. poplitea : (+)
isi dan tegangan cukup reguler, isi dan
- A. tibialisposterior tegangan cukup
(+) reguler, isi dan - A. tibialis posterior
tegangan cukup (+) reguler, isi dan
- A. dorsalis pedis (+) tegangan cukup
reguler, isi dan tegangan - A. dorsalis pedis (+)
cukup reguler, isi dan
tegangan cukup

c. sensibilitas Raba/suhu/nyeri Raba/suhu/nyeri:


Atas/bawah/kaki/ : +/+/+ Atas/bawah/kaki/ : +/+/+
d. krepitasi Tidak ditemukan Tidak ditemukan
e. deformitas (-) (-)

2. KEKUATAN
DEXTRA SINISTRA

Atas/Bawah/Kaki :5/2/5 Atas/Bawah/Kaki : 5/5/5


3. MOVE
DEXTRA SINISTRA

a. gerak (aktif- - (+) terbatas pada cruris (+)


pasif)
b. ROM - articulatio coxae: - articulatio coxae:
exorotasi (+), exorotasi (+),
endorotasi (+),abduksi endorotasi (+),abduksi
(+), adduksi (+), fleksi (+), adduksi (+), fleksi
(-), ekstensi (-) (+), ekstensi (+)
- articulatio genu: - articulatio genu
fleksi (-), ekstensi (-) fleksi (+), ekstensi (+)
- articulatio talocruralis - articulation
exorotasi (+), talocruralis exorotasi
endorotasi (+), (+), endorotasi (+),
dorsofleksi (+), dorsofleksi (+),
plantarfleksi (+), plantarfleksi (+),
abduksi (+), adduksi abduksi (+), adduksi
(+) (+)

4. TANDA-TANDA COMPARTMEN SYNDROME


DEXTRA SINISTRA

a. Pain Atas/Bawah/Kaki : -/+/- Atas/Bawah/Kaki : -/-/-


b. Pallor Atas/Bawah/Kaki : -/-/- Atas/Bawah/Kaki : -/-/-
c. Pulslessness Atas/Bawah/Kaki : -/-/- Atas/Bawah/Kaki : -/-/-
d. Parestesia Atas/Bawah/Kaki : -/-/- Atas/Bawah/Kaki : -/-/-
e. Paralysis Atas/Bawah/Kaki : -/-/- Atas/Bawah/Kaki : -/-/-
2.4 Diagnosa Kerja
- Fraktur avulsi tuberositas tibia dextra
2.5 Planning
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ketorolac 3x1
- Inj. Ranitidine 3x1
- Cek foto rontgen cruris dextra Ap/L
- Rencana orif elektif
- Cek DR dan EKG

Hasil rontgen cruris dextra AP/L

Kesan :
- Fraktur epifisolisis tibia dextra proksimal cum distractionem.
- Tak tampak dislokasi

Hasil laboratorium tanggal 29 Juli 2017


Parameter Hasil Normal Range

WBC 12.3 4.0-10.0 103/ul


LYM % 18.2 15.0 50.0 %

MID % 4.1 2.0-15.0%

GRAN% 77.7 35.0 80.0%

LYM# 2.2 0.5-5.0 103/ul

MID# 0.5 0.1-1.5 103/ul

GRAN# 9.6 1.2-8.0 103/ul

RBC 4.65 3.50-5.50 106/ul

HGB 13.0 11.5-16.5 g/dl

HCT 33.8 35.0-55.0 %

MCV 72.7 75.5-100.0 fL

MCH 27.9 25.0-35.0 pg

MCHC 36.4 31.0-38.0 g/dl

RDW-CV 14.3 11.0-16.0 %

PLT 265 150-400 103/ul

MPV 11.8 8.0-11.0 Fl

PDW 17.2 10.0-17.0 %

PCT 0.31 0.10-0.28 %

LPCR 32.2 13.0 43.0 %

GDS 80 70.0 115.0

CT 3
BT 130

Hasil EKG

Kesan : normosinus rhytm

II.6 Follow Up
Pre Operasi (31 Juli 2017)

Subyektif Obyektif Assesment Planning

Nyeri di KU baik Fraktur avulsi Inf. RL 20 tpm


bawah Nyeri tekan di bawah tuberositas Inj.
lutut kanan
lutut tibia dextra Dexketoprofen
Vital sign:
kanan TD: 130/90 mmHg 3x1
Nadi: 98 x/mnt Inj. Cefxone
Respirasi: 20x/menit
2x1gr
Suhu: 36 C
Status Lokalis (cruris (premed)
dextra) Puasa 6 jam
Look : Luka terbuka (-),
deformitas (-), bengkak
(+),
Feel : Nyeri tekan (+),
Krepitasi(-), Akral
dingin(-), sensasi raba(+)
Move: Gerakan terbatas
(+)

Post Operasi (1 Agustus 2017)


Subyektif Obyektif Assesment Planning

Nyeri (+) KU baik Post op Inf. RL 20 tpm


Vital sign: Fraktur avulsi Inj.
TD: 120/70 mmHg tuberositas Dexketoprofen 3
Nadi: 80x/mnt tibia dextra x1
Respirasi: 16x/menit Inj. Cefxone
Suhu: 36,5 C 2x1gr
Status Lokalis : Luka Fisioterapi
tertutup tensokrep,
Rembesan darah (-

Hasil foto rontgen setelah operasi


Post Operasi (2 Agustus 2017)
Subyektif Obyektif Assesment Planning

Nyeri (+), KU baik Post op Inf. RL 20 tpm


Vital sign: Fraktur avulsi Inj.
TD: 120/70 mmHg tuberositas Dexketoprofen 3
Nadi: 60x/mnt tibia dextra x1
Respirasi: 16x/menit Inj. Cefxone
Suhu: 36,5 C 2x1gr
Status Lokalis : Luka Fisioterapi
tertutup tensokrep,
Rembesan darah (-)

Post Operasi (3 Agustus 2017)


Subyektif Obyektif Assesment Planning

Nyeri (+), KU baik Post op Inf. RL 20 tpm


Vital sign: Fraktur avulsi Inj.
TD: 120/80 mmHg tuberositas Dexketoprofen 3
Nadi: 84x/mnt tibia dextra x1
Respirasi: 18x/menit Fisioterapi
Suhu: 36,5 C blpl
Status Lokalis : Luka
tertutup perban,
Rembesan darah (-)
pedis dextra)
II.7 Laporan Operasi

1. Posisi supine dalam spinal anestesi


2. Disinfeksi
3. Insisi tibia proksimal anterior approach
4. Tampak fraktur tuberositas tibia
5. Dilakukan orif dengan wire dan screw
6. Jahit dalam
7. Fascia dijahit
8. Jahit subkurtikuler
9. Operasi selesai
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. PENDAHULUAN
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa.
Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung,
Akibat trauma pada tulang tergantung pada jenis trauma, kekuatan dan
arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat
menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang
disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai
sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut
fraktur dislokasi, sedangkan trauma tumpul dapat menyebabkan fraktur
tertutup yaitu apabila tidak ada luka yang menghubungkan fraktur dengan
udara luar atau permukaan kulit.

3.2. INSIDEN
Tendensi untuk terjadinya fraktur tibia terdapat pada pasien-pasien
usia lanjut yang terjatuh, dan pada populasi ini sering ditemukan fraktur tipe
III, fraktur terbuka dengan fraktur kominutif. Pada pasien-pasien usia muda,
mekanisme trauma yang paling sering adalah kecelakaan kendaraan
bermotor. Fraktur lebih sering terjadi pada orang laki-laki daripada
perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan atau kecelakaan. Sedangkan pada Usia lanjut prevalensi
cenderung lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan adanya
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon. Di Amerika Serikat,
insidens tahunan fraktur terbuka tulang panjang diperkirakan 11 per 100.000
orang, dengan 40% terjadi di ekstremitas bawah. Fraktur ekstremitas bawah
yang paling umum terjadi pada diafisis tibia.
3.3. ETIOLOGI
- Fraktur traumatik dapat terjadi karena trauma yang tiba-tiba.
- Fraktur stress terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada
suatu tempat yang tertentu.
- Fraktur patologis pula terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya
akibat kelainan patologis di dalam tulang. Fraktur patologis dapat terjadi
secara spontan atau akibat trauma ringan.

3.4. KLASIFIKASI
Menurut Smeltzer (2001:257) jenis-jenis fraktur yaitu:
- Fraktur complete adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya mengalami pergeseran (bergeser pada posisi normal).
Fraktur in complete, patah hanya terjadi pada sebagian dari garis
tengah tulang.
- Fraktur tertutup (fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit.
Fraktur terbuka (fraktur kompleks) merupakan fraktur dengan luka
pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur
terbuka digradasi menjadi:
a. Grade I dengan luka bersih kurang dari l cm panjangnya.
b. Grade II luka lebih besar, luas tanpa kerusakan jaringan lunak
yang ekstensif.
c. Grade III yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif, merupakan yang paling kuat.

Menurut Smeltzer (2001:257) fraktur juga digolongkan sesuai pergeseran


anatomis fragmen tulang, fraktur bergeser/tidak bergeser. Jenis ukuran
fraktur adalah:
a) Greenstick : fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedang
sisi lainnya membengkok.
b) Transversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang.
c) Oblique : fraktur yang membentuk sudut dengan garis tengah
tulang (lebih tidak stabil dibanding batang tulang).
d) Spiral : fraktur memuntir seputar batang tulang.
e) Communitive : fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa
fragmen.
f) Depresi : fraktur dengan tulang patahan terdorong ke dalam
(sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
g) Kompresi : fraktur di mana tulang mengalami kompresi (terjadi
pada tulang belakang).
h) Patologik : fraktur yang terjadi pada bawah tulang berpenyakit
(kista tulang, penyakit paget, metastasis tumor tulang).
i) Avulasi : tertariknya fragmen tulang dan ligamen atau tendon
pada perlekatannya.
j) Impaksi : fraktur di mana fragmen tulang lainnya rusak.

3.5. ANATOMI
Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan
berfungsi menyanggah berat badan. Tibia bersendi di atas dengan condylus
femoris dan caputfibulae, di bawah dengan talus dan ujung distal fibula.
Tibia mempunyai ujung atas yang melebar dan ujung bawah yang lebih
kecil, serta sebuah corpus. Pada ujung atas terdapat condyli lateralis dan
medialis (kadang-kadang disebut plateau tibia lateral dan medial), yang
bersendi dengan condyli lateralis dan medialis femoris, dan dipisahkan oleh
menisci lateralis dan medialis. Permukaan atas facies articulares
condylorum tibiae terbagi atas area intercondylus anterior dan posterior; di
antara kedua area ini terdapat eminentia intercondylus.
Pada aspek lateral condylus lateralis terdapat facies articularis
fibularis circularis yang kecil, dan bersendi dengan caput fibulae. Pada
aspek posterior condylus medialis terdapat insertio m.semimembranosus.
Corpus tibiae berbentuk segitiga pada potongan melintangnya, dan
mempunyai tiga margines dan tiga facies. Margines anterior dan medial,
serta facies medialis diantaranya terletak subkutan. Margo anterior menonjol
dan membentuk tulang kering. Pada pertemuan antara margo anterior dan
ujung atas tibia terdapat tuberositas, yang merupakan tempat lekat
ligamentum patellae. Margo anterior di bawah membulat, dan melanjutkan
diri sebagai malleolus medialis. Margo lateral atau margo interosseus
memberikan tempat perlekatan untuk membrane interossea. Facies posterior
dan corpus tibiae menunjukkan linea oblique, yang disebut linea musculi
solei, untuk tempatnya m.soleus.
Ujung bawah tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornya terdapat
permukaan sendi berbentuk pelana untuk os.talus. ujung bawah memanjang
ke bawah dan medial untuk membentuk malleolus medialis. Facies lateralis
dari malleolus medialis bersendi dengan talus. Pada facies lateral ujung
bawah tibia terdapat lekukan yang lebar dan kasar untuk bersendi dengan
fibula. Musculi dan ligamenta penting yang melekat pada tibia.

Gambar 2. Anatomi cruris.


(dikutip dari kepustakaan 4) (1)
3.6. FISIOLOGI
Tulang adalah suatu jaringan dan organ yang terstruktur dengan baik,
tulang terdiri atas daerah yang kompak pada bagian luar yang disebut
dengan korteks dan bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk
trabekula dan dilapisi oleh periosteum pada bagian luamya sedangkan yang
membatasi tulang dari cavitas medullaris adalah endosteum.
Tibia sendiri termasuk tulang panjang , dimana daerah batas disebut
diafisis dan daerah yang berdekatan dengan garis epifisis disebut metafisis.
Tulang tibia turut membentuk rangka badan, sebagai pengumpil dan tempat
melekat otot, berfungsi juga sebagai bagian dari tubuh untuk melindungi
dan mempertahankan alat-alat dalam, dan menjadi tempat deposit kalsium,
fosfor, magnesium dan garam.

Gambar 3. Struktur tulang dan aktivitas osteoblast serta osteoclast pada tulang.
(dikutip dari kepustakaan 5)

Osteoblast merupakan satu jenis sel hasil diferensiasi sel masenkim


yang sangat penting dalam proses osteogenesis atau osifikasi. Sebagai sel,
osteoblast dapat memproduksi substansi organik intraseluler atau matriks,
dimana kalsifikasi terjadi kemudian hari. Jaringan yang tidak mengandung
kalsium disebut osteoid dan apabila kalsifikasi terjadi pada matriks maka
jaringan disebut tulang. Sesaat setelah osteoblast dikelilingi oleh substansi
organik intraseluller, disebut osteosit dimana keadaan ini terjadi dalam
lakuna.
Sel yang bersifat multinukleus, tidak ditutupi oleh permukaan
tulang dengan sifat dan fungsi reabsorbsi serta mengeluarkan tulang yang
disebut osteoclast. Kalsium hanya dapat dikeluarkan dari tulang melalui
proses aktivitas osteoclasis yang menghilangkan matriks organik dan
kalsium bersamaan dan disebut deosifikasi.

3.7. PATOFISIOLOGI
Jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak sekitarnya juga rusak,
periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat.
Bekuan darah terbentuk pada daerah tersebut. Bekuan akan membentuk
jaringan granulasi didalamnya dengan dengan sel-sel pembentuk tulang
primitif (osteogenik) berdiferensiasi menjadi chondroblast dan osteoblast.
Chondroblast akan mensekresi fosfat, yang merangsang deposisi
kalsium.Terbentuk lapisan tebal (callus) di sekitar lokasi fraktur.Lapisan ini
terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan callus dari fragmen
satunya, dan menyatu. Penyatuan dari kedua fragmen (penyembuhan
fraktur) terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula dan osteoblast yang
melekat pada tulang dan meluas menyeberangi lokasi fraktur. Penyatuan
tulang provisional ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk
menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Callus tulang akan mengalami
remodeling untuk mengambil bentuk tulang yang utuh seperti bentuk
osteoblast tulang baru dan osteoclast akan menyingkirkan bagian yang rusak
dan tulang sementara.

3.8. DIAGNOSIS
Fraktur tibia dapat terjadi pada bagian proksimal (kondiler), diafisis
atau persendian pergelangan kaki.
3.7.1. Fraktur Kondiler Tibia
Mekanisme trauma
Fraktur kondiler tibia lebih sering mengenai kondiler lateralis
daripada medialis serta fraktur kedua kondiler. Banyak fraktur
kondiler tibia terjadi akibat kecelakaan antara mobil dan pejalan kaki
di mana bemper mobil menabrak kaki bagial lateral dengan gaya
kearah medial (valgus). Ini menghasilkan fraktur depresi atau fraktur
split dari kondiler lateralis tibia apabila kondiler femur didorong
kearah tersebut. Kondiler medial memiliki kekuatan yang lebih
besar,jadi fraktur pada daerah ini biasanya terjadi akibat gaya dengan
tenaga yang lebih besar(varus). Jatuh dari ketinggian akan
menimbulkan kompresi aksial sehingga bisa menyebabkan fraktur
pada proksimal tibia. Pada golongan lanjut usia, pasien dengan
osteoporosis lebih mudah terkena fraktur kondiler tibia berbanding
robekan ligamen atau meniscus setelah cedera keseleo di lutut.
Eminentia intrakondiler dapat fraktur bersama robekan ligamen
krusiatum sebagai akibat hiperekstensi atau gaya memutar.

Klasifikasi
Klasifikasi yang sering dan meluas dipakai sekarang adalah klasifikasi
Schatzker.
I : Fraktur split kondiler lateral
II : Fraktur split/depresi lateral
III: Depresi kondiler lateral
IV: Fraktur split kondiler medial
V : Fraktur bikondiler
VI: Fraktur kominutif
Tipe IV-VI biasanya terjadi akibat trauma dengan tekanan yang
kuat. Fraktur tidak bergeser apabila depresi kurang dari 4 mm,
sedangkan yang bergeser apabila depresi melebihi 4 mm.
Gambar 4. Klasifikasi Schatzker.
(dikutip dari kepustakaan 8)(

Gambar 5. Fraktur kondiler tibia.


(dikutip dari kepustakaan 9)
Gambar 6. Gambaran radiologis CT potongan coronal menunjukkan fraktur
kondiler tibia dengan depresi terpencil dari kondiler lateral tibia (Schatzker tipe
3)i
(dikutip dari kepustakaan 10)
Gambaran klinis
Pada anamnesis terdapat riwayat trauma pada lutut,
pembengkakan dan nyeri serta hemartrosis.Terdapat gangguan dalam
pergerakan sendi lutut. Biasanya pasien tidak dapat menahan beban.
Sewaktu pemeriksaan, mereka merasakan nyeri pada proksimal tibia
dan gerakan flesi dan ekstensi yang terbatas.Dokter perlu menentukan
adanya penyebab cedera itu akibat tenaga yang kuat atau lemah karena
cedera neovaskular, ligamen sindroma kompartmen lebih sering
terjadi pada cedera akibat tenaga kuat. Pulsasi distal dan fungsi saraf
peroneal perlu diperiksa. Kulit perlu diperiksa secara seksama untuk
mencari tanda-tanda abrasi atau laserasi yang dapat menjadi tanda
fraktur terbuka.
Penilaian stabilitas lutut adalah penting dalam mengevaluasi
kondiler tibia. Aspirasi dari hemartrosis pada lutut dan anestasi lokal
mungkin diperlukan untuk pemeriksaan yang akurat. Jika
dibandingkan dengan bagian yang tidak cedera, pelebaran sudut sendi
pada lutut yang stabil mestilah tidak lebih dari 10o dengan stress varus
atau valgus pada mana-mana titik dalam aksis gerakan dari ekstensi
penuh hingga fleksi 90o. Integritas ligamen crusiatum anterior perlu
dinilai melalui tes Lachman.
Fraktur kondiler sering disertai cedera jaringan lunak
disekeliling lutut. Robekan ligamen kollateral medial dan meniscus
medial sering menyertai fraktur kondiler lateral. Fraktur kondiler
medial disertai robekan ligamen kollateral lateral dan meniscus
medial.Ligamen crusiatum anterior dapat cedera pada fraktur salah
satu kondiler. Fraktur kondiler tibia, terutama yang ekstensi frakturnya
sampai ke diafisis, dapat meyebabkan kepada sindroma kompartmen
akut akibat perdarahan dan edema.

Pemeriksaan radiologik
Dengan foto rontgen posisi AP dan lateral dapat diketahui jenis
fraktur, tapi kadang-kadang diperlukan pula foto oblik. Apabila pada
foto polos tidak dapat dilihat dengan jelas, CT atau tomografi dengan
proyeksi AP dan lateral sering diperlukan. Untuk melihat tanda
Fat(marrow)-fluid(blood) interface sign (hemarthrosis) dilakukan
cross table lateral view.
Gambaran fraktur:
- Tipe fraktur: split, depresi
- Lokasi: medial, lateral
- Jumlah fragmen
- Pergeseran fragmen
- Derajat depresi
Gambar 7. (A) Fraktur kondiler tibia dengan split dan terpisah di lateral. (B)
Fraktur kondiler tibia direduksi dengan menggunakan buttress plate dan screw
untuk mengembalikan kongruensi sendi.
(dikutip dari kepustakaan 11)(ii)

Pengobatan
1. Konservatif
Pada fraktur yang tidak bergeser dimana depresi kurang dari 4
mm dapat dilakukan beberapa pilihan pengobatan, antara lain
verban elastik, traksi, atau gips sirkuler. Prinsip pengobatan adalah
mencegah bertambahnya depresi, tidak menahan beban dan segera
mobilisasi pada sendi lutut agar tidak segera terjadi kekakuan
sendi.
2. Operatif
Depresi yang lebih dari 4 mm dilakukan operasi dengan
mengangkat bagian depresi dan ditopang dengan bone graft.Pada
fraktur split dapat dilakukan pemasangan screw atau kombinasi
screw dan plate untuk menahan bagian fragmen terhadap tibia.
Komplikasi
1. Genu valgum; terjadi oleh karena depresi yang tidak direduksi
dengan baik
2. Kekakuan lutut; terjadi karena tidak dilakukan latihan yang lebih
awal
3. Osteoartritis; terjadi karena adanya kerusakan pada permukaan
sendi sehingga bersifat irrreguler yang menyebabkan inkonkruensi
sendi lutut.
4. Malunion
5. Cedera ligamen dan meniskus (misal: ligamen medial kollateral)
6. Cedera saraf peroneal.

3.7.2. Fraktur Diafisis Tibia


Mekanisme trauma
Fraktur diafisis tibia terjadi karena adanya trauma angulasi yang
akan menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik pendek,
sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan fraktur tipe spiral. Fraktur
tibia biasanya terjadi pada batas antara 1/3 bagian tengah dan 1/3
bagian distal. Tungkai bawah bagian depan sangat sedikit ditutupi otot
sehingga fraktur pada daerah tibia sering bersifat terbuka. Penyebab
utama terjadinya fraktur adalah kecelakaan lalu lintas.

Gambar 8. Fraktur diafisis tibia.


(dikutip dari kepustakaan 10)
Klasifikasi fraktur
Klasifikasi dari fraktur diafisis tibia bermanfaat untuk
kepentingan para dokter yang menggunakannya untuk memperkirakan
kemungkinan penyembuhan dari fraktur dalam menjalankan
penatalaksanaannya.
Orthopaedic Trauma Association (OTA) membagi fraktur
diafisis tibia berdasarkan pemeriksaan radiografi, terbagi 3 grup,
yaitu: simple, wedge dan kompleks. Masingmasing grup terbagi lagi
menjadi 3 yaitu:
A. Tipe simple, terbagi 3: spiral, oblik, tranversal.
B. Tipe wedge, terbagi 3: spiral, bending, dan fragmen.
C. Tipe kompleks, terbagi 3: spiral, segmen, dan iregular.

Gambar 9. Klasifikasi fraktur diafisis tibia mengikut Orthopaedic Trauma


Association (OTA). (dikutip dari kepustakaan 8)

Sistem klasifikasi yang sering digunakan pada fraktur terbuka


adalah sistem Gustilo sebagai berikut:
- Tipe I: lukanya bersih dan panjangnya kurang dari 1 cm.
- Tipe II: panjang luka lebih dari 1 cm dan tanpa kerusakan jaringan
lunak yang luas.
- Tipe IIIa: luka dengan kerusakan jaringan yang luas, biasanya lebih
dari 10 cm dan mengenai periosteum. Fraktur tipe ini dapat disertai
kemungkinan komplikasi, contohnya: luka tembak.
- Tipe IIIb: luka dengan tulang yang periosteumnya terangkat.
- Tipe IIIc: fraktur dengan gangguan vaskular dan memerlukan
penanganan terhadap vaskularnya agar vaskularisasi tungkai dapat
normal kembali.

Gambar 10. (A)Fraktur OTA tipe B.Ini adalah fraktur terbuka Gustilo tipe IIIb.
(B) Fraktur ini dipasang dengan locked intramedullary nail. Foto lateral
menunjukkan OTA tipe II dengan hilangnya tulang. Fraktur tidak menyatu, dan
pertukaran nailing dilakukan 5 bulan setelah kecederaan.(C) 4 bulan setelah
pertukanran nailing, fraktur menyatu dan area yang hilang tulang telah terisi tanpa
bone grafting.
(dikutip dari kepustakaan 8)
Gambaran klinis
Ditemukan gejala fraktur berupa pembengkakan, nyeri dan
sering ditemukan deformitas misalnya penonjolan tulang keluar kulit.
Sindroma kompartemen bisa muncul di awal cedera maupun
kemudian. Sehingga perlu pemeriksaan serial dan perhatian pada
ekstremitas yang mengalami cidera.Sindroma kompartemen terdiri
dari: pain, pallor, paralysis, paresthesia, pulselessness.

Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen harus mencakup bagian distal dari femur dan
ankle. Dengan pemeriksaan radiologis, dapat ditentukan lokalisasi
fraktur, jenis fraktur, sama ada transversal, spiral oblik atau
rotasi/angulasi. Dapat ditentukan apakah fraktur pada tibia dan fibula
atau tibia saja atau fibula saja. Juga dapat ditentukan apakah fraktur
bersifat segmental. Foto yang digunakan adalah foto polos AP dan
lateral. CT tidak diperlukan.

Gambar 11. Fraktur diafisis tibia dan fibula dengan pergeseran lateral 100%.
(dikutip dari kepustakaan 13)(iii)
Gambar 12. (A) Fraktur stress pada seorang atlit muda.(B) Perhatikan
sklerosis and pelebaran cortical berikut penyembuhan tulang.
(dikutip dari kepustakaan 8)
Pengobatan
1. Konservatif
Pengobatan standar dengan cara konservatif berupa reduksi
fraktur dengan manipulasi tertutup dengan pembiusan umum.
Pemasangan gips sirkuler untuk immobilisasi, dipasang sampai
diatas lutut.
Prinsip reposisi adalah fraktur tertutup, ada kontak 70% atau
lebih, tidak ada angulasi dan tidak ada rotasi. Apabila ada angulasi,
dapat dilakukan koreksi setelah 3 minggu (union secara fibrosa).
Pada fraktur oblik atau spiral, imobilisasi dengan gips biasanya
sulit dipertahankan, sehingga mungkin diperlukan tindakan operasi.
Cast bracing adalah teknik pemasangan gips sirkuler dengan
tumpuan pada tendo patella (gips Sarmiento) yang biasanya
dipergunakan setelah pembengkakan mereda atau terjadi union
secara fibrosa.
2. Operatif
Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka, kegagalan dalam
terapi konservatif, fraktur tidak stabil dan adanya nonunion.Metode
pengobatan operatif adalah sama ada pemasangan plate dan screw,
atau nail intrameduler, atau pemasangan screw semata-mata atau
pemasangan fiksasi eksterna. Indikasi pemasangan fiksasi eksterna
pada fraktur tibia:
- Fraktur tibia terbuka grade II dan III terutama apabila terdapat
kerusakan jaringan yang hebat atau hilangnya fragmen tulang
- Pseudoartrosis yang mengalami infeksi (infected
pseudoarthrosis)
Gambar 13. (A) Fraktur OTA tipe A. Ini adalah fraktur bifokal, di mana terdapat
fraktur bimaleolus pergelangan kaki selain fraktur diafisis; 5% dari fraktur tibia
adalah bifokal, dan kombinasi dari pergelangan kaki dan fraktur diafisis yang
paling biasa terjadi. (B) Fraktur diafisis ditangani dengan pemasangan locked
intramedullary nail, dan fraktur pergelangan kaki ditangani dengan teknik AO
konvensional.
(dikutip dari kepustakan 8)

Komplikasi
Di antara komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur diafisis
tibia adalah infeksi, delayed union atau nonunion, malunion,
kerusakan pembuluh darah (sindroma kompartmen anterior), trauma
saraf terutama pada vervus peroneal komunis dan gangguan
pergerakan sendi pergelangan kaki. Gangguan pergerakan sendi ini
biasanya disebabkan adanya adhesi pada otot-otot tungkai bawah.

3.7.3. Fraktur Distal Tibia


Pergelangan kaki merupakan sendi yang kompleks dan
penopang badan dimana talus duduk dan dilindungi oleh maleolus
lateralis dan medialis yang diikat dengan ligamen. Dahulu,fraktur
disekitar pergelangan kaki disebut fraktur Pott.
Mekanisme trauma
Fraktur maleolus dengan atau tanpa subluksasi dari talus, dapat
terjadi dalam beberapa macam trauma.
1. Trauma abduksi
Trauma abduksi akan menimbulkan fraktur pada maleolus lateralis
yang bersifat oblik, fraktur pada maleolus medialis bersifat avulsi
atau robekan pada ligamen bagian medial.
2. Trauma adduksi
Trauma adduksi akan menimbulkan fraktur maleolus medialis yang
bersifat oblik atau avulsi maleolus lateralis atau keduanya. Trauma
adduksi juga bisa hanya menyebabkan strain atau robekan pada
ligamen lateral, tergantung dari beratnya trauma.
3. Trauma rotasi eksterna
Trauma rotasi eksterna biasanya disertai dengan trauma abduksi
dan terjadi fraktur pada fibula di atas sindesmosis yang disertai
dengan robekan ligamen medial atau fraktur avulsi pada maleolus
medialis. Apabila trauma lebih hebat dapat disertai dengan
dislokasi talus.
4. Trauma kompresi vertikal
Pada kompresi vertikal dapat terjadi fraktur tibia distal bagian
depan disertai dengan dislokasi talus ke depan atau terjadi fraktur
kominutif disertai dengan robekan diastesis.

Klasifikasi
Lauge-Hansen(1950) mengklasifikasikan menurut patogenesis
terjadinya pergeseran dari fraktur, yang merupakan pedoman penting
untuk tindakan pengobatan atau manipulasi yang dilakukan.
Klasifikasi lain yang lebih sederhana, menurut Danis & Weber (1991),
dimana fibula merupakan tulang yang penting dalam stabilitas dari
kedudukan sendi berdasarkan atas lokalisasi fraktur terhadap
sindesmosis tibiofibular.

(dikutip dari kepustakaan 14)

Klasifikasi terdiri atas (gambar 14.121):


Tipe A: fraktur maleolus di bawah sindesmosis
Tipe B: fraktur maleolus lateralis yang bersifat oblik disertai avulsi
maleolus medialis dimana sering disertai dengan robekan dari
ligamen tibiofibular bagian depan
Tipe C: fraktur fibula di atas sindesmosis dan atau disertai avulsi
dari tibia disertai fraktur atau robekan pada maleolus medialis.
Pada tipe C terjadi robekan pada sindesmosis. Jenis tipe C ini juga
dikenal sebagai fraktur Duyuptren.

Klasifikasi ini penting artinya dalam tindakan pengobatan oleh


karena selain fraktur juga perlu dilakukan tindakan pada ligamen.
(dikutip dari kepustakaan 14)

Gambaran klinis
Ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki,
kebiruaan atau deformitas. Yang penting diperhatikan adalah
lokalisasi dari nyeri tekan apakah pada daerah tulang atau pada
ligamen.

Pemeriksaan radiologis
Dengan pemeriksaan radiologis dapat ditentukan jenis-jenis
fraktur dan mekanisme terjadinya trauma(gambar 14.122).Foto
rontgen perlu dibuat sekurang-kurangnya tiga proyeksi, yaitu antero-
posterior, lateral dan setengah oblik dari gambaran posisi pergelangan
kaki. Sering fraktur terjadi pada fibula proksimal, sehingga secara
klinis harus diperhatikan.
(dikutip dari kepustakaan 14)
Pengobatan
Fraktur dislokasi pada sendi pergelangan kaki merupakan
fraktur intra-artikuler sehingga diperlukan reduksi secara anatomis
dan akurat serta mobilisasi sendi yang sesegera mungkin.
Tindakan pengobatan terdiri atas:
1. Konservatif
Dilakukan pada fraktur yang tidak bergeser, berupa pemasangan
gips sirkuler di bawah lutut.
2. Operatif
Terapi operatif dilakukan berdasarkan kelainan-kelainan yang
ditemukan apakah hanya fraktur semata-mata, apakah ada robekan
pada ligamen atau diastasis pada tibiofibula serta adanya dislokasi
talus( gambar 14.123).
Beberapa hal yang penting diperhatikan pada reduksi, yaitu:
Panjang fibula harus direstorasi sesuai panjang anatomis
Talus harus duduk sesuai sendi dimana talus dan permukaan tibia
duduk paralel
Ruang sendi bagian medial harus terkoreksi sampai normal(4 mm)
Pada foto oblik tidak nampak adanya diastasis tibiofibula
Tindakan operasi terdiri atas:
Pemasangan screw( maleolar)
Pemasangan tension band wiring
Pemasangan plate dan screw

(dikutip dari kepustakaan 14)

Komplikasi
1. Vaskuler
Apabila terjadi fraktur subluksasi yang hebat maka dapat terjadi
gangguan pembuluh darah yang segera, sehingga harus dilakukan
reposisi secepatnya.
2. Malunion
Reduksi yang tidak komplit akan menyebabkan posisi persendian
yang tidak akurat yang akan menimbulkan osteoartritis.
3. Osteoartritis
4. Algodistrofi
Algodistrofi adalah komplikasi dimana penderita mengeluh nyeri,
terdapat pembengkakan dan nyeri tekan di sekitar pergelangan
kaki. Dapat terjadi perubahan trofik dan osteoporosis yang hebat.
5. Kekakuan yang hebat pada sendi.

3.9. PROGNOSIS
Prognosis dari fraktur tibia untuk kehidupan adalah bonam. Pada sisi
fungsi dari kaki yang cedera, kebanyakan pasien kembali ke perfoma
semula,namun hal ini sangat tergantung dari gambaran frakturnya, macam
terapi yang dipilih, dan bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Torsten B. Moeller MD, Emil Reif MD. Pocket atlas of radiographic


anatomy. Second edition. New York: Thieme; 2000. p. 164-7.

2. Arthur C. Guyton, John E. Hall. Textbook of medical physiology.11th ed.


Philadelphia, Pennsylvania: Elsevier Inc; 2006. p. 982-3.

3. Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown C, et al., eds. Rockwood and


Green. Fractures in adults. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2006. p. 2081-93.
4. Jon C. Thompson. Netters concise orthopaedic anatomy. 2nd edition.
Philadelphia: Saunders; 2010. p. 293-4.
5. Borut Marincek, Robert F. Dondelinger . Emergency radiology imaging and
intervention . 1st Edition. Verlag Berlin Heidelberg : Springer; 2007. p.278.
6. Berquist, Thomas H. Musculoskeletal imaging companion. 2nd Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 222-3.
7. Robert R. Simon, Scott C. Sherman, Steven J. Koenigsknecht. Emergency
orthopedics: the extremities. 5th Edition. United States: The McGraw-Hill
Companies; 2006.

Anda mungkin juga menyukai