Oleh:
Pembimbing:
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat serta karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan paper yang
berjudul “Congenital Tallipes Equinovarus” tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaian paper ini, penyusun banyak mendapat bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun mengucapkan banyak terima kasih
kepada dr. Iman Dwi Winanto, Sp.OT atas kesediaannya untuk meluangkan waktu
dan pikiran untuk membimbing, mendukung, dan memberikan masukan kepada
penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan paper ini dengan sebaik-
baiknya.
Penyusun menyadari bahwa penyusunan paper ini masih jauh dari sempurna,
baik dalam isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penyusun mengharapkan saran
dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penyusunan paper selanjutnya.
Semoga paper ini dapat bermanfaat, akhir kata penyusun mengucapkan terima
kasih.
Penyusun,
i
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ..................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN
2.1.Anatomi ……………………………………………………........…….……... 3
2.2.Definisi ………………………………………………………………..……... 6
2.3.Epidemiologi ………………………………………………………….……... 6
2.4.Etiopatogenesis……………………………………………………….……… 7
2.5.Klasifikasi ………………………………………………………………….... 8
2.6.Diagnosis……………………………………………………………………..12
2.7.Pemeriksaan Penunjang ………………………………………………….…..12
2.8.Penatalaksanaan ………………………………………………………….…..13
Daftar Pustaka.......................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal sebagai ‘club-
foot’ adalah suatu gangguan perkembangan pada ekstremitas inferior yang sering
ditemui, tetapi masih jarang dipelajari. CTEV dimasukkan dalam terminologi
“sindromik” bila kasus ini ditemukan bersamaan dengan gambaran klinik lain
sebagai suatu bagian dari sindrom genetik. CTEV dapat timbul sendiri tanpa
didampingi gambaran klinik lain, dan sering disebut sebagai CTEV “idiopatik”.
CTEV sindromik sering menyertai gangguan neurologis dan neuromuskular,
seperti spina bifida maupun spinal muskular atrofi. Tetapi bentuk yang paling
sering ditemui adalah CTEV “idiopatik”, dimana pada bentuk yang kedua ini
ekstremitas superior dalam keadaan normal.1
Club-foot ditemukan pada hieroglif Mesir dan dijelaskan oleh Hipokrates
pada 400 SM. Hipokrates menyarankan perawatan dengan cara memanipulasi kaki
dengan lembut untuk kemudian dipasang perban. Sampai saat ini, perawatan
modern juga masih mengandalkan manipulasi dan immobilisasi. Manipulasi dan
immobilisasi secara serial yang dilakukan secara hati-hati diikuti pemasangan gips
adalah metode perawatan modern non operatif. Kemungkinan mekanisme
mobilisasi yang saat ini paling efektif adalah metode Ponseti, dimana penggunaan
metode ini dapat mengurangi perlunya dilakukan operasi. Walaupun demikian,
masih banyak kasus yang membutuhkan terapi operatif. 2
Menurut data yang didapat dari US kelainan ini diderita 1-2 bayi per 1000
kelahiran hidup, di Indonesia belum ada pencatatan tentang penyakit ini. Penyakit
ini terkadang tidak disadari oleh orang tua yang baru melahirkan bayi dan akhirnya
seringkali terapi dilakukan terlambat atau bahkan sampai terbengkalai.1
1
1.2 Tujuan
Penyusunan telaah pustaka mengenai CTEV ini bertujuan untuk mengkaji
terutama mengenai patofisiologi, penegakan diagnosis dan penatalaksanaan CTEV
yang merupakan kasus sering di bidang orthopaedi dan traumatologi sehingga bisa
menjadi acuan dan bahan referensi untuk para tenaga kesehatan.
1.3 Manfaat
Penyusunan telaah pustaka ini diharapkan dapat mengembangkan
kemampuan dan pemahaman penyusun serta pembaca khususnya peserta P3D
untuk lebih memahami dan mengenal osteoarthritis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
Anatomi Pedis
Pedis pada manusia terdiri dari 26 tulang, yang dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
7 tulang tarsal
5 tulang metatarsal
14 tulang phalanges
3
Struktur persendian dan ligamen
Tulang-tulang tersebut membentuk persendian-persendian sebagai berikut:3
a. Artikulatio talocruralis
Merupakan sendi antara tibia dan fibula dengan trachlea talus. Sendi ini
distabilkan oleh ligamen-ligamen:
▪ Sisi medial: lig. Deltoid yang terdiri dari:
◦ Lig. tibionavikularis
◦ Lig. calcaneotibialis
◦ Lig. talotibialis anterior dan posterior
▪ Sisi lateral:
◦ Lig. talofibularis anterior dan posterior
◦ Lig. calcaneofibularis
b. Artikulatio talotarsalis
Terdiri dari 2 buah sendi yang terpisah akan tetapi secara fisiologi keduanya
merupakan 1 kesatuan, yaitu:
Bagian belakang: artikulatio talocalcanearis/subtalar
Ligamen yang memperkuat adalah: lig. talocalcanearis anterior,
posterior, medial dan lateral
▪ Bagian depan: artikulatio talocalcaneonavicularis
Ligamen yang memperkuat adalah:
◦ Lig. tibionavikularis
◦ Lig. calcaneonaviculare plantaris
◦ Lig. bifurcatum: pars calcaneonavicularis (medial) dan pars
calcaneocuboid (lateral) berbentuk huruf V
Gerak sendi ini ◦ Inversi pergelangan kaki
◦ Eversi pergelangan kaki
4
c. Articulatio tarsotransversa
Disebut juga sendi midtarsal atau ‘surgeon’s tarsal joint’ yang sering
menjadi tempat amputasi kaki. Terdiri dari 2 sendi, yaitu:
Articulatio talonavicularis
Articulatio calcaneocuboid, yang diperkuat oleh:
◦ Pars calcaneocuboid lig. bifurcati di medial
◦ Lig. calcaneocuboid dorsalis di sebelah dorsal
◦ Lig. calcaneocuboid di sebelah plantar
Gerak sendi ini ◦ Rotasi kaki sekeliling aksis
◦ Memperluas inversi dan eversi art. Talotarsalis
d. Artikulatio tarsometatarsal
Adalah sendi diantara basis os metatarsal I-V dengan permukaan sendi
distal pada os cuneiformis I-III
Rongga sendi ada 3 buah, yaitu:
Diantara os metatarsal I dan cuneoformis I
Diantara os metatarsal II dan III dengan cuneiformis II dan III
Diantara os metatarsal IV dan V dengan cuboid
Ligamentum pengikatnya adalah:
◦ Ligg. Tarsi plantaris
◦ Ligg. Tarsi dorsalis
◦ Ligg. Basium os metatarsal dorsalis, interosea dan plantaris
e. Articulatio metacarpofalangeal
Ligamen pengikatnya adalah: lig. collateralia pada kedua sisi tiap sendi
Gerak sendi ini: ◦ Fleksi-ekstensi sendi metacarpal
◦ Abduksi-adduksi sendi metacarpal
f. Artculatio interphalangeal
Ligamen pengikat: lig. colateral di sebelah plantar pedis
5
Gerak sendi ini: ◦ Fleksi-ekstensi interfalang
◦ Abduksi-adduksi interfalang
2.2 DEFENISI
CTEV (Congenital Talipes Equino Varus) sering disebut juga clubfoot
adalah deformitas yang meliputi flexi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai,
adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia. Taliper berasal dari kata talus
(ankle) dan pes (foot), menunjukan suatu kelainan pada kaki (foot) yang
menyebabkan penderitanya berjalan pada pergelangan kakinya. Sedang
Equinovarus berasal dari kata equino (seperti kuda) dan varus (bengkok ke arah
dalam/medial).1
2.3 EPIDEMIOLOGI
CTEV rata-rata muncul dalam 1-2:1000 kelahiran bayi di dunia dan
merupakan salah satu defek saat lahir yang paling umum pada system
musculoskeletal(Baruah et al, 2013). Insidensi CTEV beragam pada beberapa
Negara, di Amerika Serikat 2,29:1000 kelahiran; pada ras Kaukasia 1,6:1000
kelahiran; pada ras Oriental 0,57:1000 kelahiran; pada orang Maori 6,5-7,5:1000
kelahiran; pada orang China 0,35:1000 kelahiran; pada ras Polinesia 6,81:1000
kelahiran; pada orang Malaysia 1,3:1000 kelahiran; dan 49:1000 kelahiran pada
orang Hawaii (Hosseinzaideh, 2014). Terdapat predominansi laki-laki sebesar 2:1
terhadap perempuan, dimana 50% kasusnya adalah bilateral. Pada kasus unilateral,
kaki kanan lebih sering terkena.4
Insidensi akan semakin meningkat (pada 25% kasus) bila ada riwayat
keluarga yang menderita CTEV. Kemungkinan munculnya CTEV bila ada riwayat
keluarga yaitu sekitar 1:35 kasus, dan sekitar 1:3 (33%) bila anak terlahir kembar
identik.4
6
2.4 ETIOPATOGENESIS
Etiologi dari CTEV belum sepenuhnya dimengerti. CTEV umumnya
merupakan isolated birth defect dan diperkirakan idiopatik, meskipun kadang
muncul bersamaan dengan myelodysplasia, arthrogryposis, atau kelainan
kongenital multiple. Ada beberapa teori yang telah diajukan untuk menjelaskan
etiologi CTEV, yaitu :5
1. Faktor mekanik in utero
Teori ini merupakan yang pertama dan tertua, diutarakan oleh
Hippocrates. Dia percaya bahwa kaki tertahan pada posisi equinovarus
akibat adanya kompresi dari luar uterus. Namun Parker pada 1824 dan
Browne pada 1939 mengatakan bahwa keadaan dimana berkurangnya
cairan amnion, seperti oligohidramnion, mencegah pergerakan janin dan
rentan terhadap kompresi dari luar. Amniocentesis dini diperkirakan
memicu deformitas ini.
2. Defek neuromuskuler
Beberapa peneliti masih berpendapat bahwa equinovarus adalah
akibat dari adanya defek neuromuskuler, walaupun ada beberapa studi yang
menemukan gambaran histologis normal. Peneliti menemukan adanya
jaringan fibrosis pada otot, fascia, ligament dan tendon sheath pada
clubfoot, hal ini diperkirakan mengakibatkan kelainan pada tulang
(Maranho et al, 2011). Adanya jaringan fibrosis ini ditandai dengan
terekspresinya TGF-beta dan PDGF pada pemeriksaan histopatologis,
keadaan ini juga berperan dalam kasus-kasus resisten.
3. Primary germ plasma defect
Irani dan Sherman telah melakukan diseksi pada 11 kaki
equinovarus dan 14 kaki normal, mereka menemukan neck talus selalu
pendek dengan rotasi ke medial dan plantar. Mereka berpendapat hal ini
karena adanya defek pada primary germ plasma.
4. Arrested fetal development
Intrauterina
7
Heuter dan Von Volkman pada 1863 mengemukakan bahwa
adanya gangguan perkembangan dini pada usia awal embrio adalah
penyebab clubfoot kongenital.
Pengaruh lingkungan
Beberapa zat seperti agen teratogenik (rubella dan
thalidomide) serta asap rokok memiliki peran dalam terbentuknya
CTEV, dimana terjadi temporary growth arrest pada janin (Meena
et al, 2014)
5. Herediter
Pada janin perkembangan kaki terbagi menjadi dua fase, yaitu fase
fibula (6,5 – 7 minggu kehamilan) dan fase tibia (8-9 minggu kehamilan).
Ketika terjadi gangguan perkembangan saat kedua fase tersebut, maka
kemungkinan terjadinya CTEV akan meningkat (Herring, 2014). Semua
teori di atas belum dapat menjelaskan secara pasti etiologi dari CTEV,
namun kita dapat menyimpulkan bahwa penyebab CTEV adalah
multifactorial dan proses kelainan telah dimulai sejak limb bud
development.
2.5 KLASIFIKASI
Untuk menilai suatu CTEV sangatlah subyektif dan berdasarkan keparahan
deformitas dan fleksibilitas kaki pasien, namun ada juga yang menggolongkannya
berdasarkan pemeriksaan radiologis. Klasifikasi diperlukan untuk membantu
menentukan prognosis dan juga mengevaluasi keberhasilan terapi. Ada beberapa
system skoring dan klasifikasi yang dipakai di berbagai Negara, namun system
klasifikasi dari Dimeglio dan Pirani yang paling banyak digunakan. Keduanya
memberikan nilai berdasarkan pemeriksaan fisik.6
Dimeglio pada tahun 1991 membagi CTEV menjadi empat kategori
berdasarkan pergerakan sendi dan kemampuan untuk mereduksi deformitas:5
1. Soft foot; dapat disebut juga sebagai postural foot dan dikoreksi dengan
standard casting atau fisioterapi.
8
2. Soft > Stiff foot; terdapat pada 33% kasus. Biasanya lebih dari 50% kasus
dapat dikoreksi, namun bila lebih dari 7 atau 8 tidak didapatkan koreksi
maka tindakan operatif harus dilakukan.
3. Stiff > Soft foot; terdapat pada 61% kasus. Kurang dari 50% kasus
terkoreksi dan setelah casting dan fisioterapi, kategori ini akan dilakukan
tindakan operatif.
4. Stiff foot; merupakan kategori paling parah, sering kali bilateral dan
memerlukan tindakan koreksi secara operatif.
9
Gambar 1. Klasifikasi Dimeglio
10
Setiap komponen mayor dari clubfoot (equinus, heel cavus, medial, roatasi
calcaneopedal block, forefoot adduction) dikategorikan dari I – IV. Poin tambahan
ditambahkan untuk deep posterior dan medial creases, cavus dan kondisi oto yang
buruk. Sistem klaifikasi Pirani memiliki suatu skala perhitungan yang sederhana, yang
terdiri dari tiga variable pada hindfoot dan tiga pada midfoot. Setiap variable dapat
menerima nilai nol, setengah, dan satu poin.5
11
2.6 DIAGNOSIS
Dalam pemeriksaan kita harus menyingkirkan juga apakah kasus yang dihadapi
idiopatik atau nonidiopatik. Pada kasus nonidiopatik akan memiliki prognosis yang
lebih buruk dan memiliki tingkat rekurensi yang tinggi. CTEV dengan arthrogryposis,
diastrophic dysplasia, Mobius atau Freeman-Sheldon syndrome, spina bifida dan spinal
dysraphism, serta fetal alcohol syndrome penanganannya hampir pasti meliputi
tindakan operatif. Terkecuali CTEV dengan Down syndrome dan Larsen syndrome,
penanganan seringkali hanya secara nonoperatif.6
12
2.8 PENATALAKSANAAN
Hampir seluruh ahli bedah Orthopaedi sepakat bahwa terapi non operatif
merupakan pilihan pertama dalam menangani kasus CTEV. Mereka pun setuju
semakin awal terapi dimulai, maka semakin baik hasilnya, sehingga mencegah
terapi operatif lanjutan.7
Tata laksana CTEV sebaiknya dimulai pada beberapa hari awal kehidupan
sang bayi. Tujuannya adalah mendapatkan kaki yang estetik, fungsional, bebas
nyeri dan plantigrade. 7
Prinsip terapi meliputi koreksi pasif yang gentle, mempertahankan koreksi
untul periode waktu yang lama, dan pengawasan anak hingga usai masa
pertumbuhan (Salter, 2009). Pengawasan diperlukan karena walaupun telah
terkoreksi, 50% kasus akan terjadi rekurensi dan adanya kontraktur soft tissue dapat
menyebabkan terbatasnya pergerakan sendi. Tata laksana non-operatif lebih disukai
di berbagai belahan dunia karena extensive surgery memiliki hasil yang buruk
dalam jangka panjang. 7
Metode Ponseti
Metode ini diperkenalkan oleh Ignacio Ponseti pada akhir tahun 1940an
sebagai jawaban atas terapi operatif yang sedang popular namun masih
menimbulkan nyeri dan deformitas residu. 7
Komponen dari metode ini meliputi serial manipulasi yang gentle dan
casting setiap minggunya, diikuti Achilles tenotomy. Terkadang digunakan juga
foot abduction brace untuk mencegah dan mengatasi relaps (Dobbs, 2009). Ponseti
memberikan sebuah akronim CAVE sebagai panduan untuk tahapan koreksi
CTEV. Pada metode ini terjadi relaksasi kolagen dan atraumatik remodeling pada
permukaan sendi dan menghindari fibrosis, seperti yang terjadi bila dilakukan
operasi release. 7
Dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang baik dengan orang tua pasien,
dikarenakan metode ini setidaknya butuh waktu selama 4 tahun. Terapi dapat
dimulai dalam beberapa hari setelah kelahiran. Batas akhir usia belum ditentukan
dikarenakan adanya keberhasilan metode ini saat diterapkan pada anak usia lebih
13
dari 1 tahun. Tercatat sekitar 95% kasus yang ditangani dengan metode ini tidak
memerlukan posterior medial dan laterat release. Terkadang diperlukan sedasi pada
anak-anak usia lebih dari 15 bulan karena nyeri yang ditimbulkan saat manipulasi.7
Tindakan Operatif
Tindakan operatif sebaiknya dihindari dan dibatasi hanya sebagai terapi
tambahan terapi konservatif. Indikasi tindakan operatif adalah pada kasus resisten,
kasus yang berkaitan dengan sindroma dan neurogenic, kasus rekuren, dan adanya
deformitas residu setelah tindakan extensive soft tissue release (Dobbs, 2009).
Operasi berulang sebaiknya dihindari karena haya akan mengakibatkan kekakuan
sendi, luka operasi, pengerasan jaringan dan bahkan atrofi karena imobilisasi dalam
waktu lama. Salah satu penyebab operasi berulang biasanya adalah koreksi yang
tidak adekuat, sehingga memerlukan koreksi berikutnya.7
Dengan menggunakan Ponsetti atau French method, jumlah operasi akan lebih
sedikit pada kasus-kasus relaps atau kegagalan koreksi. Biasanya posterior release,
seperti Achilles tendon lengthening dan posterior capsulotomy dari sendi tibiotalar
dan subtalar, cukup untuk mengoreksi sisa equinus dan minimal hindfoot varus.
Sekitar 15% idiopati clubfoot memerlukan posteromedial release. Beberapa teknik
operasi dan prosedur telah dikemukakan untuk mengembalikan clubfoot kembali
ke posisi anatomis, beberapa diantaranya adalah:7
14
BAB III
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, De Jong, W. ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Jakarta: EGC;
2004. p.835-7
2. Miedzybrodzka, Zosia. (2003). Review: Congenital talipes equinovarus
(clubfoot): a disorder of the foot but not the hand. J.Anat 21. Department of
Medicine & Therapeutics, University of Aberdeen, Foresterhill, Aberdeen,
UK
3. Netter, Frank. Congenital Clubfoot. In: Development Disorders, Tumors,
Rheumatic Diseases and Joint Replacement. Vol 8. Musculoskeletal
System. New Jersey: CIBA; 1987. p.93-4
4. Boo NY, Ong CL(1990) Congenital talipes in Malaysian neonates:
incidence, pattern and associated factors.Singapore Med.J.31, 39–542.
5. Fritsch H, Eggers R(1999) Ossification of the calcaneus in the normal fetal
foot and in clubfoot. J.Pediatr.Orthop.19,22–26.
6. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 3, 2009. Jakarta:
PT. Yarsif Watampone
7. Faulks, S., Richard, B. Clubfoot treatment: ponseti and french fungtional
methods are equally effective. Clinical orthopaedics and related research
[internet]. 2009. [diakses tanggal 27 Maret 2017];467(5);1278-1282.
Tersedia dari: www.the journal of bone and join surgery.org.
16